Ringkasan
PENDAHULUAN
Gagal ginjal kronik merupakan kondisi ketika pasien mengalami kerusakan ginjal
yang berlanjut sehingga memerlukan terapi pengganti ginjal secara terus menerus,
kondisi penyakit pasien telah masuk ke stadium akhir penyakit ginjal kronis, yang dikenal
juga dengan gagal ginjal tahap akhir (Smeltzer & Bare, 2010).
2
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2012 penderita gagal
ginjal baik akut maupun kronik mencapai 50% sedangkan yang diketahui dan
mendapatkan pengobatan hanya 25% dan 12,5% yang terobati dengan baik. Berdasarkan
Data Laporan Tahunan USRDS (UnitedStates Renal Data System) tahun 2013, lebih dari
615.000 orang Amerikasedang dirawat karena gagal ginjal. Berdasarkan jumlah tersebut,
lebih dari 430.000 adalah pasien dialisis dan lebih dari 185.000 melakukan transplantasi
ginjal. Sejak tahun 2000, jumlah pasien yang telah didiagnosis dengan gagal ginjal telah
meningkat sebanyak 57%. Prevalensi ESRD (End Stage RenalDiases) pada tahun 2011 di
Amerika Serikat sebesar 1.901/1.000.000penduduk. Pada tahun 2011, lebih dari 92.000
pasien meninggal akibat komplikasi gagal ginjal.
3
Penyakit gagal ginjal di Indonesia menempati urutan ke 10 dalam penyakit tidak
menular (Kemenkes RI, 2013). Prevalensi gagal ginjal di Indonesia mencapai 400.000 juta
orang tetapi belum semua pasien tertangani oleh tenaga medis, baru sekitar 25.000 orang
pasien yang dapat ditangani, artinya ada 80% pasien yang tidak mendapat pengobatan
dengan baik.
BAB II
PERMASALAHAN DAN SOLUSI
Solusi permasalahan dalam penelitian ini adalah perlu adanya kesadaran diri, upaya
spiritual dan dukungan sosial berperan penting dalam mengatasi permasalahan
psikososialspiritual pasien dengan hemodialisis.
Perlu juga adanya : (1) Tenaga kesehatan perlu memfasilitasi dan mempertahan
koping adaptif pasien PGK dengan hemodialisi, (2) Dukungan sosial perlu ditingkatkan
untuk mencegah dan mengatasi permasalahan psikososialspiritual.
2.2 Diagnosa
Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluaran urine, diet berlebih dan retensi
cairan serta natrium
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari tubuh b.d anoreksia, mual dan muntah,
pembatasan diet, dan perubahan membrane mukosa mulut
3. Intoleransi aktivitas b.d keletihan, anemia, retensi, produk sampah
4. Gangguan pertukaran gas
5. Kerusakan integritas kulit.
2.3 Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluaran urine , diet berlebih dan retensi
cairan serta natrium
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kelebihan
volume cairan
teratasi dengan kriteria:
Terbebas dari edema, efusi, anaskara
Intervensi :
a. Kaji adanya oedema
Rasional : Oedema menunjukan adanya kelebihan volume cairan
b. Ukur denyut jantung dan awasi TD
Rasional : Perawatan invasif diperlukan untuk mengkaji volume intravaskuler
khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk
c. Monitor pemasukan cairan.
Rasional : Untuk menentukan fungsi ginjal
d. Ukur balance cairan
Rasional : Untuk menentukan output dan input
e. Kolaborasi pemberian obat diuritika dengan dokter
Rasional : Untuk mempercepat pengeluaran urine
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari tubuh b.d anoreksia, mual dan muntah,
pembatasan diet, dan perubahan membrane mukosa mulut
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan selama 3 x 14 jam pasien diharapkan
mempertahankan/meningkatkan berat badan dan selera untuk makan. Dengan kriteria
hasil : tidak ada penurunan berat badan
Intervensi :
a. kaji/catat pemasukan diet.
Rasional : Membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan diet.
b. Tawarkan perawatan mulut / sering cuci mulut.
Rasional : memberi kesegaran pada mulut dan miningkatkan selera makan.
c. Ajurkan / berikan makan sedikit tapi sering.
Rasional : meminimalkan anoreksia dan mual.\
d. Kolborasi dengan ahli gizi untuk diit rendah protein dan rendah garam
Rasional : diit untuk pasien gagal ginjal
2.3.2 Pengobatan
Penyakit ginjal tidak dapat disembuhkan. Perawatan difokuskan untuk meredakan gejala,
mencegah kemungkinan komplikasi, serta menghambat perkembangan penyakit gagal ginjal
kronis menjadi lebih parah. Langkah penanganan yang bisa dilakukan dokter adalah dengan
pemberian obat. Tujuan tindakan ini adalah untuk mengendalikan penyakit yang menyertai
kondisi ginjal, sehingga penurunan fungsi ginjal tidak bertambah buruk. Obat yang diberikan
antara lain:
Obat hipertensi. Tekanan darah tinggi dapat menurunkan fungsi ginjal dan mengubah
komposisi elektrolit dalam tubuh. Bagi penderita GGK yang juga disertai hipertensi,
dokter dapat memberikan obat ACE inhibitor atau ARB.
Suplemen untuk anemia. Untuk mengatasi anemia pada penderita GGK adalah suntikan
hormon eritropoietin yang terkadang ditambah suplemen besi.
Obat diuretik. Obat ini dapat mengurangi penumpukan cairan pada bagian tubuh, seperti
tungkai. Contoh obat ini adalah furosemide. Efek samping yang mungkin ditimbulkan
adalah dehidrasi serta penurunan kadar kalium dan natrium dalam darah.
Suplemen kalsium dan vitamin D. Kedua suplemen ini diberikan untuk mencegah kondisi
tulang yang melemah dan berisiko mengalami patah tulang.
Obat kortikosteroid. Obat ini diberikan untuk penderita GGK karena penyakit
glomerulonefritis atau peradangan unit penyaringan dalam ginjal.
Di samping pemberian obat, penderita gagal ginjal kronis juga disarankan untuk melakukan
perubahan pola hidup yang meliputi:
Menjalankan pola makan yang sehat dan seimbang dengan mengurangi konsumsi garam,
serta membatasi asupan protein dan kalium dari makanan untuk meringankan kerja ginjal.
Makanan dengan kadar kalium tinggi, di antaranya adalah pisang, jeruk, kentang, bayam,
dan tomat. Sedangkan makanan dengan kadar kalium rendah, antara lain adalah apel,
kol, wortel, buncis, anggur, dan stroberi. Selain itu, batasi juga konsumsi minuman
beralkohol.
Berolahraga secara teratur, setidaknya 150 menit dalam seminggu.
Menurunkan berat badan jika berat badan berlebih atau obesitas.
Tidak mengonsumsi obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) yang dapat menyebabkan
gangguan pada ginjal.
Menerima vaksinasi karena GGK membuat tubuh rentan terserang infeksi. Contohnya
adalah vaksinasi flu dan dan pneumonia.
Berkonsultasi dan senantiasa mengamati kondisi kesehatan dengan memeriksakan diri ke
dokter secara teratur.
Sementara untuk penderita gagal ginjal kronis tahap akhir atau berada pada stadium 5, maka
penanganan yang dapat dilakukan mengganti tugas ginjal dalam tubuh dengan terapi pengganti
ginjal, yang terdiri dari:
Dialisis atau penyaringan limbah serta cairan dalam tubuh dengan mesin atau
memanfaatkan rongga perut. Dialisis yang dilakukan dengan mesin disebut hemodialisis
atau yang dikenal dengan cuci darah. Sedangkan dialisis yang dilakukan dalam rongga
perut dengan menggunakan cairan dialisis untuk menyerap cairan atau limbah yang
berlebih disebut continuous ambulatory peritoneal dialysis atau CAPD.
Tranplantasi ginjal. Untuk prosedur transplantasi ginjal, ginjal penderita diganti dengan
ginjal sehat yang didapat dari donor. Penderita GGK bisa lepas dari cuci darah seumur
hidup pasca transplantasi. Namun, untuk menghindari risiko penolakan organ cangkok,
pasien perlu mengonsumsi obat imunosupresif untuk jangka panjang.
BAB III
METODELOGI PERMASALAHAN
b. Permasalahan sosial
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasien tidak mengalami
masalah dalam sosialiasi. Beberapa pasien menyebutkan bahwa dukungan sekunder dari
orang-orang disekitar pasien meningkat ketika pasien sakit. Seperti diungkapkan oleh
beberapa partisipan berikut:
“...dengan teman di kantor ini … semakin ada perhatian, jadi mereka empatinya lebih ”
(Partisipan 4, perempuan, 42 tahun)
“Tetangga saya biasa saja....tidak ada yang menjauhi, malah lebih perhatian
”(Partisipan 3, laki-laki, 46 tahun)
“Meskipun istrinya pergi...tapi teman pak S sangat perhatian,bergantian mengantar dan
menunggui pak S cuci dialisis...” (Perawat 2, laki-laki, 50 tahun)
Meskipun demikian masih ada yang ditinggalkan orang-orang tercinta dan tinggal sendiri
setelah didiagnosis PGK yang harus menjalani hemodialisis rutin. Temuan ini diungkapkan
oleh beberapa partisipan primer didukung oleh partisipan sekunder (perawat ruangan)
berikut:
“Keluarga jarang ketemu ya...jarang berhubungan yaa...istri sudah pergi setelah saya seperti
ini,...kadang saya merasa jengkel”(Partisipan 3, laki-laki, 46 tahun)
“Suami saya menikah lagi setelah saya sakit,dirumah pagi sampai sore...tidur malam selalu
ditempat istri kedua” (Partisipan 1, perempuan, 42 tahun)
“Istri pak AB minta cerai setelah pak AB dialisis dan tidak kerja lagi, anaknya dibawa”
(Perawat 1, laki-laki 42 tahun)
Kelelahan, infertilitas, energi yang rendah, suasana hati, perubahan fisik pada tubuh
memainkan peran dalam merusak kepercayaan dan harga diri pasien hemodialisis. Aktivitas
seksual dan keintiman juga berpengaruh terhadap hubungan pasien PGK dan pasangannya
(John & Thomas, 2013). Gangguan penyesuan diri dapat menyebabkan terganggunya
sosialisasi dan gangguan peran.
c. Permasalahan spiritual
Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa diawal mereka didiagosa PGK dan
harus menjalani hemodialisis rutin beberapa partisipan mengungkapkan rasa marahnya dan
mempertanyakan kekuasaan Tuhan, namun perlahan pasien bisa menerima dan beribadah
lebih khusuk.
Berikut pernyataan partisipan tentang aspek spiritual dan permasalahan spiritual pada
pasien:
“Awalnya perasaan protes pada Tuhan pasti ada.. karena dari sekian ribu manusia, kenapa
harus saya? Ternyata bahwa ini pilihan dari Tuhan banwa kita yang terbaik. Jadi yang
awalnya negative, itu menjadi positif...setelah sakit saya merasa ibadah saya lebih baik”
(Partisipan 4, perempuan, 42 tahun)
“Pertama saya sakit saya down... perasaan marah, kenapa harus saya...apa salah saya...apa
saya sakit karena saya banyak dosa? Semakin hari saya bisa menerima dan ikhlas... Kalau
saya tidak bisa ke Gereja, saya telpon dan minta pendeta datang ke rumah...suami kadang
yang mengajak pendeta ke rumah...” (Partisipan 5, perempuan, 50 tahun)
Sekarang saya lebih rajin solat karena tidak tahu umur sampai kapan.(Partisipan 1,
perempuan, 48 tahun)
Kebanyakan tidak terganggu ibadahnya..beberapa pasien laki-laki minta tukar jadwal HD
tidak di hari Jumat agar bisa sholat Jum’at...ada juga yang HDnya ditukar siang setelah solat
Jumat.” (Perawat 4, Laki-laki, 22 tahun).
Tiga partisipan menunjukkan perilaku yang tidak efektif pada konsep diri (personal self)
terkait aspek moral dan sistem kepercayaan ditunjukkan dengan data berupa pernyataan
menyalahkan Tuhan dan kegagalan menjalankan aktifitas beribadah diawal-awal menjalani
hemodialisis. Temuan penelitian menunjukkan ada partisipan yang mengalami gangguan
spiritual dan mengarah ke distress spiritual seperti yang diungkapkan partisipan sekunder
(perawat) dan keluarga berikut:
“Ada pasien yang marah-marah ketika rohaniawan mendoakan....akhirnya sampai sekarang
Rohaniawannya kapok tidak mau ke HD lagi” (Perawat 2, lakilaki, 50 tahun)
“Ada pasien yang berpindah Agama setelah mejalani HD, katanya Tuhan tidak adil...setelah
pindah Agama yang baru pasien masih merasa belum tenang, pindah lagi agama asal sembu “
(Perawat 1, laki-laki, 42 tahun).
“Dulu awal sakit dan harus cuci darah suami saya sering marah jika diingatkan untuk sholat,
sering marah-marah berkata..dosa saya apa? Kenapa tidak penjahat saja sakit seperti ini
(Keluarga partisipan7, perempuan, 42 tahun)
” Distress spiritual sering terjadi pada pasien dengan penyakit kronis dan terminal karena
perubahan pada sistem keyakinan, perubahan gaya hidup, kehilangan fungsi tubuh dan tidak
efektifnya sistem pendukung. Masalah ini memerlukan penanganan agar adaptasi pasien bisa
efektif, karena ketidakefektifan dalam aspek spiritual dapat menimbulkan masalah dan
mempengaruhi kualitas hidup. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa spiritualitas
mempengaruhi kualitas hidup pasien CKD (Finkelstein, West, Gobin & Wuerth, 2007)
Simpulan dari penelitian ini adalah: 1) Sebagaian besar pasien PGK dengan
hemodialisis tidak mengalami masalah psikologis dan masalah sosialisasi. Masalah
psikolososial spiritual yang masih dialami beberapa pasien adalah perasaan cemas, sedih,
takut, putus asa, rendah diri, kecewa karena ditinggalkan pasangan, menyalahkan Tuhan
dan gangguan beribadah 2) Kesadaran diri, upaya spiritual dan dukungan sosial berperan
penting dalam mengatasi permasalahan psikososialspiritual pasien dengan hemodialisis.
Saran dari penelitian ini adalah: (1) Tenaga kesehatan perlu memfasilitasi dan
mempertahan koping adaptif pasien PGK dengan hemodialisi, (2) Dukungan sosial perlu
ditingkatkan untuk mencegah dan mengatasi permasalahan psikososialspiritual.
BAB IV
Pencatatan dan pelaporan yang berjalan dengan baik akan menghasilkan kualitas
pencatatan dan pelaporan inilah yang dibutuhkan dalam perencanaan yang baik. Kualitas
pencatatan dan pelaporan inilah yang dibutuhkan dalam perencanaan program manajemen
keperawatan. Oleh karena itu, pencatatan dan pelaporan adalah satu komponen terpenting dalam
penyelenggaraan manajemen keperawatan
Harapan dari penelitian ini adalah masyarakat, petugas kesehatan dan pihak lain yang
bersangkutan dapat menyadari terkait pentingnya arsip pencatatan manajemen keperawatan pada
pasien CKD. Hal yang terpenting juga adalah informasi dari penelitian ini dapat dimanfaatkan
sebagai bahan dalam merencanakan program penelitian selanjutnya, dan perawat lebih
memahami tentang manajemen masalah psikososiospiritual pada pasien CKD
BAB V
PETA LOKASI
DAFTAR PUSTAKA
Faktor yang berkorelasi terhadap mekanisme koping pasien ckd yang menjalani hemodialisis di
rsud kota semarang . In prosiding seminar nasional & internasional. 2014
Nursing Intervention Classification (NIC). 6 th edition. St Louis: Mosby Cruz, J.P. Colet.,
J.P.Inocian., E.P., Al-Otaibi., R.S & Islam., S.M.S., (2016).
Cukor, D., Coplan, J., Brownm C., Friedman, S., Smith, A.C., Peterson, R.A., Kimmel, P.L., (2007).
Depression and Anxiety in Urban Hemodialysis Patients. Clin J Am Soc Nephrol . 2. 484-490
Finkelstein, F., West, W., Gobin, J. Finkelstein, S.H., & Wuerth, D.,(2007)