Filsafat pendidikan adalah suatu kegiatan berpikir kritis, bebas, teliti, dan teratur tentang masalah-masalah yang terdapat di dalam dunia pendidikan agar masalah-masalah tersebut dapat diatasi dengan cepat dan tepat. II. Asumsi Filsafat Pendidikan Asumsi dapat dikatakan sebagai latar belakang intelektual suatu jalur pemikiran dan dapat pula diartikan sebagai gagasan primitif atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan yang tersirat . McMullin menyatakan hal yang paling mendasar yang harus ada dalam ontology suatu ilmu pengetahuan dalam menentukan asumsi pokok keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian. Sebuah contoh asumsi yang baik adalah pada pembukaan UUD 1945 “kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa “ “penjajah diatas bumi …tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” tanpa asumsi-asumsi ini, semua pasal UUD 1945 menjadi tidak bermakna. Pertanyaan yang penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana penggunaan asumsi secara tepat? Untuk menjawab permasalahan ini perlu tinjauan daria awal bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik menurut Junjung,2005. A. Deterministik Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalism yang berpendapat bahwa setiap kejadian ditentukan oleh nsib yang telah ditentukan terlebih dahulu. B. Pilihan Bebas Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihanya tidak terikat pada hokum yang memberikan alternative. Karakteristik ini banyak ditemukan pada bidang ilmu sosial. Sebagai missal “ tidak ada tolak ukur yang tepat dalam melabangkan suatu kebahagiaan”. Masyarakat materialistik menunjukan semakin banyak harta maka hidup akan emakin bahagia, tetapi dibelahan dunia lain, kebahagiaan suatu suku primitive bisa jadi bisa jadi jika mampu diartikan melestarikan budaya animismenya. C. Probablistik Pada filsafat probablistik, kecendrungan keumuman dikenal memang ada, namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministic dengan peluang tertentu. Probablistik menunjukan sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat determenistik dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan modern, karakteristik probabilitas ini lebih banyak digunakan. Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat,permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada diri sendiri apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat kecendrungan sekiranya menyambung pada hokum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham determniistik.sekiranya yang dipilih adalah hokum kejadian yang bersifat khas bagi setiap individu manusia maka akan dipergunakan asumsi pilihan bebas. Diantara kutub Deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probablistik merupakan jalan tengahnya. III. Hubungan Filsafat dengan Pendidikan Pandangan filsafat pendidikan sama pernaannya dengan landasan filosofis yang menjiwai seluruk kebijaksanaan pelaksanaan pendidikan. Antara filsafat dan pendidikan terdapat kaitan yang sangat erat. Filsafat mencoba merumuskan citra tentang manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan citra tersebut. Formula tentang hakekat dan martabat manusa serta masyarakat erutama di Indonesia dilandasi oleh filsafat yagn dianus bangsa Indonesia dilandasi oleh fislafat yagn dianus bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila merupakan sumber dari segala gagasan mengenai wujud manusia dan masyarakat yang dianggap baik, sumber dari egama sumber yang menadi pangkal serta muara dari setiap keputusan dan tindakan dalam pendidikan dan pembelajaran. Filsafat mengadakan tinjauan yang luas mengani realita, maka dikupaslan antara lain pandangan dunia dan pandangan hidup. Konsep- konsep mengenai ini dapat menjadi landasan penyusunan konsep tujuan dan metodologi pendidik. Disamping itu, pengalaman pendidik dalam menuntut pertumbuhan danperkembangan anak akan berhubungan dan berkenalan dengan realita. Semuanya itu dapat disampaikan kepada flsafat untuk dijadikan bahan-bahan pertimbangan dan tinjauan untuk memperkembangkan diri. Hubungan filsafat dengan filsafat pendidikan dapat dirumuskan sebagai berikut : A. Filsafat mempuyai objek lebih luas, sifatnya universal. Sedangkan filsafat pendidikan objeknya terbatas dalam dunia filsafat pendidikan saja B. Filsafat hendak memberikan pengetahuan/ pendiidkan atau pemahaman yang lebih mendalam dan menunjukkan sebab-sebab, tetapi yang tak begitu mendalam C. Filsafat memberikan sintesis kepada filsafat pendidikan yang khusus, mempersatukan dan mengkoordinasikannya D. Lapangan filsafat mungkin sama dengan lapangan filsafat pendidikan tetapi sudut pandangannya berlainan
Dalam menerapkan filsafat pendidikan, seoran guru sebagai pendidik
dia mengharapkan dan mempunyai hak bahwa ahli-ahli filsafat pendidikan menunjukkan dirinya pda masalah pendiidkan pad aumumnya serta bagaimna amasalah itu mengganggu pada penyekolhan yang menyangkut masalah perumusan tujuan, kurkulum, organisasi sekolah dan sebagainya. Dan para pendidik juga mengahrapkan dari ahli filsafat pendiidkan suatu klasifikasi dari uraian lebih lanjut dari konsep, argumen dirinya literatur pendidikan terutam adalam kotraversi pendidikan sistem-sistem, pengjuian kopetensi minimal dan kesamaan kesepakatan pendidikan.
Brubacher (1950) mengemukakan tentang hubungan antara filsafat
dengan filsafat pendidikan, dalam hal ini pendidikan : bahwa filsafat tidak hanya melahirkan sains atau pengetahuan baru, melainkan juga melahirkan filsafat pendidikan. Filsafat merupakan kegiatan berpikir manusia yang berusaha untuk mencapai kebijakan dankearifan. Sedangkan filsafat pendidikan merupakan ilmu ayng pad ahakekantya jawab dari pertanyaa- pertanyaan yagn timbul dalam lapangan pendidkan. Oleh karen aberisfat filosofis, dengan sendirinya filsafat pendidikan ini hakekatnya adalah penerapan dari suatu analisa filosofis terhadap lapangan pendidikan.