Anda di halaman 1dari 33

DAFTAR ISI

SKENARIO .......................................................................................................................... 2

Kata Sulit .............................................................................................................................. 3

Pertanyaan ............................................................................................................................ 3

Jawaban ................................................................................................................................ 3

Hipotesis ............................................................................................................................... 4

Sasaran Belajar ..................................................................................................................... 4

LI.1. Memahami dan Menjelaskan Malpraktik ..................................................................... 5

LI.2. Memahami dan Menjelaskan Informed Consent .......................................................... 11

LI.3. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Dalam Malpraktik .............................. 19

LI.4. Memahami dan Menjelaskan Alur Hukum Penyelesaian Malpraktik ........................... 23

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 33

1
SKENARIO
Operasi Caesar berujung kematian

Diduga lakukan malpraktik, RSUD Bangil didatangi suami Nurul .Pasalnya, selama hidup
korban tidak pernah menghidap penyakit yang dinilai kronis. Suami Nurul mengatakan,
istrinya melakukan operasi caisar anak keduanya dengan menggunakan kartu Indonesia
Sehat. Usai dioperasi, bukan membaik, malah semakin buruk. Masalah muncul ketika tiga
minggu kemudian. Tepatnya, tanggal 20 September 2017. Ketika itu, korban kembali datang
ke RSUD Bangil, karena adanya keluhan bercak-bercak di kulitnya. Setelah dilakukan
opname, diketahuilah kalau korban mengalami steven jhonson syndrome. Pihak rumah sakit
sudah melakukan prosedur yang sesuai. Tidak ada malpraktik yang dilakukan tim medis,
terhadap pasien.

Dengan didampingi pengacara, keluarga berencana akan melaporkan kejadian ini ke pihak
kepolisian. Sebelumnya keluarga telahmengunjungi tokoh agama setempat untuk meminta
petunjuk terkait malpraktik dalam Islam.

Pihak manajemen RSUD Bangil diminta untuk memberikan rekam medis korban untuk
dipelajari. Rencananya, dari rekam medis tersebut, akan diijadikan bahan untuk melaporkan
pihak RSUD Bangil ke pihak kepolisian. Menanggapi dugaan mal pratik, Pihak RSUD
Bangil Ghozali, berjanji akan memberikan rekam medis korban, asalkan pihak pasien juga
membuat surat pernyataan.

Pengacara pasien juga menuliskan dasar gugatannya berdasarkan:


1. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
4. UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
5. UU No 29 tahun 2004 tentang praktik Kedokteran
6. UU No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
7. Kode Etik Kedokteran
8. UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

2
Kata Sulit
1. Malpraktik: kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam melaksanakan
profesinya sesuai dengan standar profesi dan operasional.
2. Hukum Pidana: keseluruhan peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan yang
dilarang dan hukuman.
3. Hukum Perdata: ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan individu dalam
masyarakat.

Pertanyaan
1. Apa saja jenis-jenis malpraktik?
2. Bagaimana cara menyelesaikan masalah dalam kasus ini?
3. Bagaimana hukum malpraktik dalam Islam?
4. Apa yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk menghindari tuduhan
malpraktik?
5. Apa dampak malpraktik bagi dokter yang di tuntut?
6. Apa saja kriteria tindakan malpraktik?
7. Bagaimana bentuk perlindungan hukum untuk seorang dokter?
8. Apa landasan hukum yang mengatur hak dan kewajiban pasien?
9. Siapa yang bertanggung jawab apabila dokter melakukan malpraktik?
10. Mengapa dokter bisa dituduh melakukan malpraktik?

Jawaban
1. Medis: Menyebabkan dampak medis pada pasien
Yuridis: Kelalaian dengan pelaksanaan kedokteran yang melanggar hukum yuridis
Etik: Tindakan dokter yang bertentangan dengan etika kedokteran
2. Menyiapkan bukti (rekam medis,informed consent) ke pengadilan dengan
berlandaskan UU,KODEKI, dan KUHP
3. Haram
4. Informed consent, melakukan tindakan sesuai kompetensi dan mempunyai lisensi yang
jelas
5. Hukum penjara, denda, pencabutan surat izin praktik dan kehilangan kepercayaan
6. Kurangnya informed consent, salah diagnosis dan salah prosedur serta melakukan
tindakan diluar kompetensi
7. Rekam medis dan informed consent
8. KODEKI,UU dan KUHP

3
9. Dokter dan tempat praktik dokter
10. Kurangnya informed consent, salah diagnosis dan salah prosedur serta melakukan
tindakan diluar kompetensi

Hipotesis
Kurangnya informed consent, melakukan tindakan diluar kompetensi, salah dalam
menegekan diagnosis dan prosedur dapat mengakibatkan dampak buruk terhadap pasien yang
mengundang tuduhan malpraktik. Dalam pandangan Islam melakukan malpraktik hukumnya
haram dan sesuai hukum Indonesia dapat diberikan hukuman berupa penjara,denda dan
pencabutan izin praktik.

Sasaran Belajar
LI.1. Memahami dan Menjelaskan Malpraktik

LI.2. Memahami dan Menjelaskan informed consent

LI.3. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Dalam Malpraktik

LI.4. Memahami dan Menjelaskan Alur Hukum Penyelesaian Malpraktik

4
Sasaran Belajar

LI.1. Memahami dan Menjelaskan Malpraktik


Definisi Menurut Kedokteran
Kegagalan dokter untuk memenuhi standar pengobatan dan perawatan terhadap pasien
atau adanya kekurangan keterampilan atau kelalaian dalam pengobatan dan perawatan yang
menimbulkan cedera pasien. Namun,tidak semua kegagalan medis disebabkan oleh
malpraktek kedokteran. Contohnya adalah perjalanan penyakir seorang pasien yang semakin
berat, reaksi tubuh yang tidak dapat diramalkan, komplikasi penyakit yang terjadi secara
bersamaan. (World Medical Association, 1992)
Sesuatu perbuatan atau sikap medis dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur 4D,
yaitu:
a. Duty. Ada kewajiban medis untuk melakukan tindakan medis tertentu terhadap pasien
pada situasi kondisi tertentu
b. Derelection of that duty. Adanya penyimpangan kewajiban tersebut
c. Damage. Segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari
layanan kesehatan kedokteran yang diberikan
d. Direct causal relationship. Dapat dibuktikan adanya hubungan sebab akibat yang
nyata antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian

Definisi Menurut Hukum


Istilah malpraktek hanya digunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah
dalam pelaksanaan suatu profesi; baik dibidang kedokteran maupun bidan hukum. Tindakan
yang salah secara yuridis penal diartikan setelah melalui putusan pengadilan. Tindakan yang
salah dimaksud sebagai tindakan yang dapat menumbuhkan kerugian baik nyawa, maupun
harta benda.

5
Jenis-jenis Malpraktik

a. Criminal Malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala
perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana, yakni:

 Perbuatan tersebut (positive/negative act) merupakan perbuatan tercela


 Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan
(intensional), kecerobohan (recklessness) atau kealpaan (negligence)
o Intensional: melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia
jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263
KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis (pasal 299 KUHP)
o Recklessness: melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed
consent
o Negligence: kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya
pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi

6
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat
individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada
rumah sakit / sarana kesehatan

b. Civil Malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak
melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah
disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil
malpractice antara lain:
 Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
 Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melakukannya
 Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna
 Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan

Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat
pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka
RS / sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya
(tenaga kesehatan) tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

c. Administrative Malpractice
Tenaga perawatan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga
tenaga perawatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa
melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menertibkan berbagai
ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk
menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta
kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang
bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance:
• Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat /
layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi
yang memadai.

7
• Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi
dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya
melakukan tindakan medisdengan menyalahi prosedur.
• Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban
baginya.
Pasal-pasal yang Mengatur Malpraktek
Peraturan Non Hukum
Diatur oleh Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). KODEKI semula merupakan
peraturan non hukum karena peraturan ini telah menjadi petunjuk perilaku atau etika seorang
dokter dalam menjalankan profesinya. Dalam KODEKI diatur tentang kewajiban dokter
terhadap pasien yang dicantumkan di dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 14, yaitu:
• Pasal 10 KODEKI: “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya
melindungi makhluk insani”
• Pasal 11 KODEKI: “Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan
segala ilmu dan keterampilannya untu kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak
mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka ia wajib merujuk
penderita kepada dokter lain yang mempunyai keahlian dalam bidang penyakit
tersebut”
• Pasal 13 KODEKI: “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia”
• Pasal 14 KODEKI: “ Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai
suatu tugas perikemanusiaan, kecuali ia yakin ada orang lain yang bersedia dan lebih
mampu memberikan pertolongan darurat terhadap pasien yang membutuhkannya,
padahal ia mampu dapat terkena sasaran tuntutan malpraktek juga”
Peraturan Hukum
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pasal-pasal didalam KUHP yang terkait dengan malpraktik medik, yaitu:
a. Pasal 263 dan 267 KUHP (Membuat Surat Keterangan Palsu)
b. Pasal 290 KUHP (Melakukan Pelanggaran Kesopanan)
c. Pasal 299 KUHP (Mengobati seorang wanita dengan memberitahukan atau
menimbulkan harapan bahwa kandungannya dapat digugurkan)
d. Pasal 322 KUHP (Membuka Rahasia)
e. Pasal 304 KUHP (Pembiaran / Penelantaran)

8
f. Pasal 306 KUHP (Apabila tindakan penelantaran tersebut mengakibatkan
kematian)
g. Pasal 322 KUHP (Membocorkan rahasia profesi)
h. Pasal 333 KUHP (Dengan sengaja dan tanpa hak telah merampas kemerdekaan
seseorang)
i. Pasal 344 KUHP (Euthanasia)
j. Pasal 347 KUHP (Sengaja melakukan abortus tanpa persetujuan wanita yang
bersangkutan)
k. Pasal 348 KUHP (Sengaja melakukan abortus dengan persetujuan)
l. Pasal 349 KUHP (Membantu atau melakukan tindakan abortus provocatus
criminalis)
m. Pasal 359 KUHP (Kelalaian yang menyebabkan kematian)
n. Pasal 360 KUHP (Kelalaian yang menyebabkan luka / cacat)
o. Pasal 386 KUHP (Memberi atau menjual obat palsu)
p. Pasal 531 KUHP (Tidak memberi pertolongan pada orang yang berada dalam
keadaan bahaya)
Pemberlakukan hukum pidana dalam kasus-kasus kelalaian medis yang terjadi di
dalam penyelenggaraan praktek kedokteran haruslah sebagai ultimatum remidium artinya
hukum pidana sebagai alternatif terakhir apabila upaya-upaya non litigasi sudah tidak bisa
lagi berhasil untuk mengatasi permasalahan yang timbul. Selain iitu juga karena praktek
kedokteran merupakan profesi yang sangat mulia dan luhur yang diperlukan oleh banyak
orang dan praktek kedokteran dijamin pelaksanaannya oleh undang-undang.
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pasal-pasal didalam KUHPerdata yang terkait dengan malpraktek medik, yaitu:
a. Pasal 1239 KUH Perdata (Melakukan wanprestasi atau cidera janji)
b. Pasal 1365 KUH Perdata(Melakukan perbuatan melawan hukum)
c. Pasal 1366 KUH Perdata (Melakukan kelalaian sehingga menimbulkan
kerugian)
d. Pasal 1367 KUH Perdata (Bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan
oleh bawahannya)
3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
a. Pasal 54 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Kesalahan atau
kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan)

9
b. Pasal 80 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja melakukan
tindakan medis tidak sesuai dengan Standart Operational Procedure pada ibu
hamil)
c. Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja melakukan
transplantasi organ tubuh untuk tujuan komersil)
d. Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Tanpa keahlian
sengaja melakukan transplantasi, implan alat kesehatan, bedah plastik)
e. Pasal 81 ayat 2a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja mengambil
organ tanpa memperhatikan kesehatan dan persetujuan pendonor / ahli waris)
4) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran
a. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Pengaturan praktek
kedokteran bertujuan untuk, Pertama memberikan perlindungan kepada pasien,
Kedua mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang
diberikan oleh dokter dan dokter gigi, dan Ketiga memberikan kepastian
hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi)
b. Pasal 44 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Mensyaratkan kepada setiap
dokter dan dokter gigi dalam memberikan pelayanan haruslah mempunyai
standar pelayanan. Standar pelayanan disini adalah pedoman yang harus diikuti
oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktek kedokteran)
c. Pasal 75 dan 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Mensyaratkan setiap
dokter harus mempunyai surat registrasi yang ditandatangani oleh konsil
kedokteran. Sedangkan surat izin praktek kedokteran ditandatangani oleh
pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktek
kedokteran atau dokter gigi dilaksanakan. Kedua persyaratan tersebut menjadi
suatu hal yang mutlak dimiliki oleh seorang dokter. Apabila dokter tidak
mempunyai surat registrasi dan surat izin praktek, maka selain dokter tersebut
tidak sah, masyarakat juga tidak berani di diagnosa oleh dokter tersebut karena
takut terjadi malpraktek)
5) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan
a. Pasal 32 (Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan
yang diberikan oleh tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian yang terjadi
karena kesehatan atau kelalaian

10
Dalam perikatan sebagaimana diatur di dalam KUHPerdata dikenal adanya dua
macam perjanjian, yaitu:
 Inspanningverbintenis: perjanjian upaya, artinya kedua belah pihak yang
berjanji berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang
diperjanjikan
 Resultaatbintennis: perjanjian bahwa pihak yang berjanji akan memberikan
result, yaitu sesuatu hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.

LI.2. Memahami dan Menjelaskan Informed Consent


Definisi Informed Consent
Menurut Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989, PTM berarti ”persetujuan yang
diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut”. Dari pengertian di atas PTM adalah persetujuan yang
diperoleh dokter sebelum melakukan pemeriksaan, pengobatan atau tindakan medik apapun
yang akan dilakukan.

Tujuan Informed Consent


Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk
dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga
berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat
terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan
sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila
informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.
Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan etik yang
kuat. Menurut American College of Physicians’ Ethics Manual, pasien harus mendapat
informasi dan mengerti tentang kondisinya sebelum mengambil keputusan. Berbeda dengan
teori terdahulu yang memandang tidak adanya informed consent menurut hukum
penganiayaan, kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus
lengkap, tidak hanya berupa jawaban atas pertanyaan pasien.

Manfaat Informed Consent


a. Perlindungan pasien untuk segala tindakan medik. Perlakuan medik tidak
diketahui/disadari pasien/keluarga, yang seharusnya tidak dilakukan ataupun yang
merugikan/membahayakan diri pasien.

11
b. Perlindungan tenaga kesehatan terhadap terjadinya akibat yang tidak terduga serta
dianggap meragukan pihak lain. Tak selamanya tindakan dokter berhasil, tak terduga
malah merugikan pasien meskipun dengan sangat hati-hati, sesuai dengan SOP. Peristiwa
tersebut bisa ”risk of treatment” ataupun ”error judgement”

Bentuk Informed Consent


a. Implied Constructive Consent (Keadaan Biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan, telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat
umum, sehingga tidak perlu lagi dibuat tertulis. Misalnya pengambilan darah untuk
laboratorium, suntikan, atau hecting luka terbuka.

b. Implied Emergency Consent (Keadaan Gawat Darurat)


Bila pasien dalam kondiri gawat darurat sedangkan dokter perlu melakukan tindakan
segera untuk menyelematkan nyawa pasien sementara pasien dan keluarganya tidak bisa
membuat persetujuan segera. Seperti kasus sesak nafas, henti nafas, henti jantung.

c. Expressed Consent (Bisa Lisan/Tertulis Bersifat Khusus)


Persetujuan yang dinyatakan baik lisan ataupun tertulis, bila yang akan dilakukan
melebihi prosedur pemeriksaan atau tindakan biasa. Misalnya pemeriksaan vaginal,
pencabutan kuku, tindakan pembedahan/operasi, ataupun pengobatan/tindakan invasive.

Persetujuan Informed Consent


Bentuk persetujuan atau penolakan

Rumah sakit memiliki tugas untuk menjamin bahwa informed consent sudah didapat.
Istilah untuk kelalaian rumah sakit tersebut yaitu ”fraudulent concealment”. Pasien yang akan
menjalani operasi mendapat penjelasan dari seorang dokter bedah namun dioperasi oleh
dokter lain dapat saja menuntut malpraktik dokter yang tidak mengoperasi karena kurangnya
informed consent dan dapat menuntut dokter yang mengoperasi untuk kelanjutannya.
Bentuk persetujuan tidaklah penting namun dapat membantu dalam persidangan bahwa
persetujuan diperoleh. Persetujuan tersebut harus berdasarkan semua elemen dari informed
consent yang benar yaitu pengetahuan, sukarela dan kompetensi.
Beberapa rumah sakit dan dokter telah mengembangkan bentuk persetujuan yang
merangkum semua informasi dan juga rekaman permanen, biasanya dalam rekam medis
pasien. Format tersebut bervariasi sesuai dengan terapi dan tindakan yang akan diberikan.
Saksi tidak dibutuhkan, namun saksi merupakan bukti bahwa telah dilakukan informed

12
consent. Informed consent sebaiknya dibuat dengan dokumentasi naratif yang akurat oleh
dokter yang bersangkutan.
Otoritas untuk memberikan persetujuan

Seorang dewasa dianggap kompeten dan oleh karena itu harus mengetahui terapi yang
direncanakan. Orang dewasa yang tidak kompeten karena penyakit fisik atau kejiwaan dan
tidak mampu mengerti tentu saja tidak dapat memberikan informed consent yang sah.
Sebagai akibatnya, persetujuan diperoleh dari orang lain yang memiliki otoritas atas nama
pasien. Ketika pengadilan telah memutuskan bahwa pasien inkompeten, wali pasien yang
ditunjuk pengadilan harus mengambil otoritas terhadap pasien.
Persetujuan pengganti ini menimbulkan beberapa masalah. Otoritas seseorang terhadap
persetujuan pengobatan bagi pasien inkompeten termasuk hak untuk menolak perawatan
tersebut. Pengadilan telah membatasi hak penolakan ini untuk kasus dengan alasan yang tidak
rasional. Pada kasus tersebut, pihak dokter atau rumah sakit dapat memperlakukan kasus
sebagai keadaan gawat darurat dan memohon pada pengadilan untuk melakukan perawatan
yang diperlukan. Jika tidak cukup waktu untuk memohon pada pengadilan, dokter dapat
berkonsultasi dengan satu atau beberapa sejawatnya.
Jika keluarga dekat pasien tidak setuju dengan perawatan yang direncanakan atau jika
pasien, meskipun inkompeten, mengambil posisi berlawanan dengan keinginan keluarga,
maka dokter perlu berhati-hati. Terdapat beberapa indikasi dimana pengadilan akan
mempertimbangkan keinginan pasien, meskipun pasien tidak mampu untuk memberikan
persetujuan yang sah. Pada kebanyakan kasus, terapi sebaiknya segera dilakukan (1) jika
keluarga dekat setuju, (2) jika memang secara medis perlu penatalaksanaan segera, (3) jika
tidak ada dilarang undang-undang.
Cara terbaik untuk menghindari risiko hukum dari persetujuan pengganti bagi pasien
dewasa inkompeten adalah dengan membawa masalah ini ke pengadilan.

Kemampuan memberi perijinan

Perijinan harus diberikan oleh pasien yang secara fisik dan psikis mampu memahami
informasi yang diberikan oleh dokter selama komunikasi dan mampu membuat keputusan
terkait dengan terapi yang akan diberikan. Pasien yang menolak diagnosis atau tatalaksana
tidak menggambarkan kemampuan psikis yang kurang. Paksaan tidak boleh digunakan dalam
usaha persuasif. Pasien seperti itu membutuhkan wali biasanya dari keluarga terdekat atau
yang ditunjuk pengadilan untuk memberikan persetujuan pengganti.

13
Jika tidak ada wali yang ditunjuk pengadilan, pihak ketiga dapat diberi kuasa untuk
bertindak atas nama pokok-pokok kekuasaan tertulis dari pengacara. Jika tidak ada wali bagi
pasien inkompeten yang sebelumnya telah ditunjuk oleh pengadilan, keputusan dokter untuk
memperoleh informed consent diagnosis dan tatalaksana kasus bukan kegawatdaruratan dari
keluarga atau dari pihak yang ditunjuk pengadilan tergantung kebijakan rumah sakit. Pada
keadaan dimana terdapat perbedaan pendapat diantara anggota keluarga terhadap perawatan
pasien atau keluarga yang tidak dekat secara emosional atau bertempat tinggal jauh, maka
dianjurkan menggunakan laporan legal dan formal untuk menentukan siapa yang dapat
memberikan perijinan bagi pasien inkompeten.
Pihak Yang Berhak Menyatakan Persetujuan:

1. Pasien sendiri (bila telah berumur 21 tahun atau telah menikah)

2. Bagi pasien di bawah umur 21 tahun diberikan oleh mereka menurut hak sebagai
berikut: (1) Ayah/ibu kandung, (2) Saudara-saudara kandung.

3. Bagi yang di bawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya
berhalangan hadir diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai berikut: (l)
Ayah/ibu adopsi, (2) Saudara-saudara kandung, (3) Induk semang.

4. Bagi pasien dewasa dengan gangguan mental, diberikan oleh mereka menurut urutan
hak sebagai berikut: (1) Ayah/ibu kandung, (2) Wali yang sah, (3) Saudara-saudara
kandung.

5. Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan (curatelle), diberikan menurut
urutan hak sebagai berikut: (1) Wali, (2) Curator.

6. Bagi pasien dewasa yang telah menikah/orang tua, diberikan oleh mereka menurut
urutan hak sebagai berikut: a. Suami/istri, b. Ayah/ibu kandung, c. Anak-anak
kandung, d. Saudara-saudara kandung.

Wali: yang menurut hukum menggantikan orang lain yang belum dewasa untuk
mewakilinya dalam melakukan perbuatan hukum atau yang menurut hukum
menggantikan kedudukan orang tua. Induk semang : orang yang berkewajiban untuk
mengawasi serta ikut bertanggung jawab terhadap pribadi orang lain seperti pimpinan
asrama dari anak perantauan atau kepala rumah tangga dari seorang pembantu rumah
tangga yang belum dewasa.

14
Isi Informed Consent

Dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan
bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien / keluarga
diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.

Mengenai apa yang disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan
penyakit pasien. Tindakan apa yang dilakukan, tentunya prosedur tindakan yang akan dijalani
pasien baik diagnostic maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien atau keluarga dapat
memahaminya. Ini mencangkup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan
dilaksanakan dan alternative terapi (Hanafiah, 1999).\

Secara umum dapat dikatakan bahwa semua tindakan medis yang akan dilakukan
terhadap pasien yang harus diinformasikan sebelumnya, namun izin yang harus diberikan
oleh pasien dapat berbagai macam bentuknya, baik yang dinyatakan ataupun tidak. Yang
paling untuk diketahui adalah bagaimana izin tersebut harus dituangkan dalam bentuk
tertulis, sehingga akan memudahkan pembuktiannya kelak bila timbul perselisihan.

Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus
menjelaskan beberapa hal, yaitu:

1) Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan / pengobatan
yang akan diberikan / diterapkan.

2) Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul.

3) Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.

4) Alternative metode perawatan / pengobatan.

5) Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan.

6) Prosedur perawatan / pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu percobaan atau
menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan Dokter juga perlu
menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan pengalamannya
dalam melakukan tindakan medis tersebut (Achadiat, 2007).

Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran


dilaksanakan adalah:

15
1. Diagnosa yang telah ditegakkan.
2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran
tersebut.
5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara
pengobatan yang lain.
6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.

Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan
tindakan kedokteran :
 Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
 Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.

Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang
akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No
290 / Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2).
Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan
tindakan kedokteran adalah:
 Dalam keadaan gawat darurat (emergency), dimana dokter harus segera bertindak untuk
menyelamatkan jiwa.
 Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi
dirinya.Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.

Ketentuan Informed Consent

Ketentuan persetujuan tidakan medik berdasarkan SK Dirjen Pelayanan Medik


No.HR.00.06.3.5.1866 Tanggal 21 April 1999, diantaranya :

1 Persetujuan atau penolakan tindakan medik harus dalam kebijakan dan prosedur (sop)
dan ditetapkan tertulis oleh pimpinan rs.

2 Memperoleh informasi dan pengelolaan, kewajiban dokter

3. Informed consent dianggap benar :

16
 Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan untuk tindakan medis yang
dinyatakan secara spesifik.
 Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan tanpa paksaan (valuentery)
 Persetujuan dan penolakan tindakan medis diberikan oleh seseorang (pasien) yang
sehat mental dan memang berhak memberikan dari segi hukum
 Setelah diberikan cukup (adekuat) informasi dan penjelasan yang diperlukan

4 Isi informasi dan penjelasan yang harus diberikan :

 Tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang ada dilakukan (purhate
of medical procedure)
 Tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (consenpleated medical
procedure)
 Tentang risiko
 Tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
 Tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan risiko –risikonya (alternative
medical procedure and risk)
 Tentang prognosis penyakit, bila tindakan dilakukan
 Diagnosis

5. Kewajiban memberi informasi dan penjelasan

 Dokter yang melakukan tindakan medis tanggung jawab


 Berhalangan diwakilkan kepada dokter lain, dengan diketahui dokter yang
bersangkutan

6. Cara menyampaikan informasi

 Lisan
 Tulisan

7. Pihak yang menyatakan persetujuan

a. Pasien sendiri, umur 21 tahun lebih atau telah menikah


b. Bagi pasien kurang 21 tahun dengan urutan hak :
 Ayah/ibu kandung
 Saudara saudara kandung

17
c. Bagi pasien kurang 21 tahun tidak punya orang tua/berhalangan, urutan hak :
 Ayah/ibu adopsi
 Saudara-saudara kandung
 nduk semang
d. Bagi pasien dengan gangguan mental, urutan hak :
 Ayah/ibu kandung
 Wali yang sah
 Saudara-saudara kandung
e. Bagi pasien dewasa dibawah pengampuan (curatelle) :
 Wali
 Kurator
f. Bagi pasien dewasa telah menikah/orangtua
 Suami/istri
 Ayah/ibu kandung
 Anak-anak kandung
 Saudara-saudara kandung

8. Cara menyatakan persetujuan

 Tertulis; mutlak pada tindakan medis resiko tinggi


 Lisan; tindakan tidak beresiko

9. Jenis tindakan medis yang perlu informed consent disusun oleh komite medik ditetapkan
pimpinan RS.

10. Tidak diperlukan bagi pasien gawat darurat yang tidak didampingi oleh keluarga pasien.

11. Format isian informed consent persetujuan atau penolakan

 Diketahui dan ditandatangani oleh kedua orang saksi, perawat bertindak sebagai
salah satu saksi
 Materai tidak diperlukan
 Formulir asli harus dismpan dalam berkas rekam medis pasien
 Formulir harus ditandatangan 24 jam sebelum tindakan medis dilakukan
 Dokter harus ikut membubuhkan tanda tangan sebagai bukti telah diberikan
informasi

18
 Bagi pasien/keluarga buta huruf membubuhkan cap jempol ibu jari tangan
kanannya

12. Jika pasien menolak tandatangan surat penolakan maka harus ada catatan pada rekam
medisnya.

LI.3. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Dalam Malpraktik


Malpraktek berasal dari kata ‘malpractice’ dalam bahasa Inggris . Secara harfiah,
‘mal’ berarti ‘salah’, dan ‘practice’ berarti ‘pelaksanaan’ atau ‘tindakan’, sehingga
malpraktek berarti ‘pelaksanaan atau tindakan yang salah’ [1]. Jadi, malpraktek adalah
tindakan yang salah dalam pelaksanaan suatu profesi. Istilah ini bisa dipakai dalam berbagai
bidang, namun lebih sering dipakai dalam dunia kedokteran dan kesehatan. Artikel ini juga
hanya akan menyoroti malpraktek di seputar dunia kedokteran saja.

Perlu diketahui bahwa kesalahan dokter –atau profesional lain di dunia kedokteran
dan kesehatan- kadang berhubungan dengan etika/akhlak. Misalnya, mengatakan bahwa
pasien harus dioperasi, padahal tidak demikian. Atau memanipulasi data foto rontgen agar
bisa mengambil keuntungan dari operasi yang dilakukan. Jika kesalahan ini terbukti dan
membahayakan pasien, dokter harus mempertanggungjawabkannya secara etika.
Hukumannya bisa berupa ta’zîr [2], ganti rugi, diyat, hingga qishash [3].

Malpraktek juga kadang berhubungan dengan disiplin ilmu kedokteran. Jenis


kesalahan ini yang akan mendapat porsi lebih dalam tulisan ini.
BENTUK-BENTUK MALPRAKTEK
Malpraktek yang menjadi penyebab dokter bertanggung-jawab secara profesi bisa
digolongkan sebagai berikut:
1. Tidak Punya Keahlian (Jahil)
Yang dimaksudkan di sini adalah melakukan praktek pelayanan kesehatan tanpa
memiliki keahlian, baik tidak memiliki keahlian sama sekali dalam bidang kedokteran, atau
memiliki sebagian keahlian tapi bertindak di luar keahliannya. Orang yang tidak memiliki
keahlian di bidang kedokteran kemudian nekat membuka praktek, telah disinggung oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
‫ملذ َبَب ٌّطِ ْ َهن ْ َمل َل ْم َل َببَط ْ َن‬، ‫ٌنْ َن َوه‬

“Barang siapa yang praktek menjadi dokter dan sebelumnya tidak diketahui memiliki
keahlian, maka ia bertanggung-jawab” [4]

19
Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh kesehatan dan nyawa banyak
orang, sehingga para Ulama sepakat bahwa mutathabbib (pelakunya) harus bertanggung-
jawab, jika timbul masalah dan harus dihukum agar jera dan menjadi pelajaran bagi orang
lain.

2. Menyalahi Prinsip-Prinsip Ilmiah (Mukhâlafatul Ushûl Al-‘Ilmiyyah)


Yang dimaksud dengan pinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang telah
baku dan biasa dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan harus dikuasai
oleh dokter saat menjalani profesi kedokteran [5].
Para ulama telah menjelaskan kewajiban para dokter untuk mengikuti prinsip-prinsip
ini dan tidak boleh menyalahinya. Imam Syâfi’i rahimahullah –misalnya- mengatakan: “Jika
menyuruh seseorang untuk membekam, mengkhitan anak, atau mengobati hewan piaraan,
kemudian semua meninggal karena praktek itu, jika orang tersebut telah melakukan apa yang
seharusnya dan biasa dilakukan untuk maslahat pasien menurut para pakar dalam profesi
tersebut, maka ia tidak bertanggung-jawab. Sebaliknya, jika ia tahu dan menyalahinya, maka
ia bertanggung-jawab.”[6] Bahkan hal ini adalah kesepakatan seluruh Ulama, sebagaimana
disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah [7].
Hanya saja, hakim harus lebih jeli dalam menentukan apakah benar-benar terjadi
pelanggaran prinsip-prinsip ilmiah dalam kasus yang diangkat, karena ini termasuk
permasalahan yang pelik.
3. Ketidaksengajaan (Khatha’)
Ketidaksengajaan adalah suatu kejadian (tindakan) yang orang tidak memiliki maksud
di dalamnya. Misalnya, tangan dokter bedah terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien
yang terluka. Bentuk malpraktek ini tidak membuat pelakunya berdosa, tapi ia harus
bertanggungjawab terhadap akibat yang ditimbulkan sesuai dengan yang telah digariskan
Islam dalam bab jinayat, karena ini termasuk jinayat khatha’ (tidak sengaja).
4. Sengaja Menimbulkan Bahaya (I’tidâ’)
Maksudnya adalah membahayakan pasien dengan sengaja. Ini adalah bentuk
malpraktek yang paling buruk. Tentu saja sulit diterima bila ada dokter atau paramedis yang
melakukan hal ini, sementara mereka telah menghabiskan umur mereka untuk mengabdi
dengan profesi ini. Kasus seperti ini terhitung jarang dan sulit dibuktikan karena berhubungan
dengan isi hati orang. Biasanya pembuktiannya dilakukan dengan pengakuan pelaku,
meskipun mungkin juga factor kesengajaan ini dapat diketahui melalui indikasi-indikasi kuat

20
yang menyertai terjadinya malpraktek yang sangat jelas. Misalnya, adanya perselisihan antara
pelaku malpraktek dengan pasien atau keluarganya.
PEMBUKTIAN MALPRAKTEK
Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan. Demikian pula, tuduhan
malparaktek harus diiringi dengan bukti, dan jika terbukti harus ada pertanggungjawaban dari
pelakunya. Ini adalah salah satu wujud keadilan dan kemuliaan ajaran Islam. Jika tuduhan
langsung diterima tanpa bukti, dokter dan paramedis terzhalimi, dan itu bisa membuat mereka
meninggalkan profesi mereka, sehingga akhirnya membahayakan kehidupan umat manusia.
Sebaliknya, jika tidak ada pertanggungjawaban atas tindakan malpraktek yang terbukti,
pasien terzhalimi, dan para dokter bisa jadi berbuat seenak mereka.
Dalam dugaan malpraktek, seorang hakim bisa memakai bukti-bukti yang diakui oleh
syariat sebagai berikut:
1. Pengakuan Pelaku Malpraktek (Iqrâr ).
Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian atas diri sendiri,
dan ia lebih mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang membahayakan diri sendiri, biasanya
pengakuan ini menunjukkan kejujuran.
2. Kesaksian (Syahâdah).
Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta’zîr, dibutuhkan kesaksian dua pria
yang adil. Jika kesaksian akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti rugi,
dibolehkan kesaksian satu pria ditambah dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal yang
tidak bisa disaksikan selain oleh wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian empat
wanita tanpa pria. Di samping memperhatikan jumlah dan kelayakan saksi, hendaknya hakim
juga memperhatikan tidak memiliki tuhmah (kemungkinan mengalihkan tuduhan malpraktek
dari dirinya) [8].
3. Catatan Medis.
Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat
agar bisa menjadi referensi saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang
sah.
BENTUK TANGGUNG JAWAB MALPRAKTEK
Jika tuduhan malpraktek telah dibuktikan, ada beberapa bentuk tanggung jawab yang
dipikul pelakunya. Bentuk-bentuk tanggung-jawab tersebut adalah sebagai berikut:
1. Qishash
Qishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak malpraktek sengaja
untuk menimbulkan bahaya (i’tida’), dengan membunuh pasien atau merusak anggota
21
tubuhnya, dan memanfaatkan profesinya sebagai pembungkus tindak kriminal yang
dilakukannya. Ketika memberi contoh tindak kriminal yang mengakibatkan qishash, Khalil
bin Ishaq al-Maliki mengatakan: “Misalnya dokter yang menambah (luas area bedah) dengan
sengaja. [9]”
2. Dhamân (Tanggung Jawab Materiil Berupa Ganti Rugi Atau Diyat)
Bentuk tanggung-jawab ini berlaku untuk bentuk malpraktek berikut:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada
kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.
c. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi terjadi kesalahan tidak
disengaja.
d. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi tidak mendapat ijin dari
pasien, wali pasien atau pemerintah, kecuali dalam keadaan darurat.
3. Ta’zîr berupa hukuman penjara, cambuk, atau yang lain.
Ta’zîr berlaku untuk dua bentuk malpraktek:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada
kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah [10].
PIHAK YANG BERTANGGUNG-JAWAB
Tanggung-jawab dalam malpraktek bisa timbul karena seorang dokter melakukan
kesalahan langsung, dan bisa juga karena menjadi penyebab terjadinya malpraktek secara
tidak langsung. Misalnya, seorang dokter yang bertugas melakukan pemeriksaan awal
sengaja merekomendasikan pasien untuk merujuk kepada dokter bedah yang tidak ahli,
kemudian terjadi malpraktek. Dalam kasus ini, dokter bedah adalah adalah pelaku langsung
malpraktek, sedangkan dokter pemeriksa ikut menyebabkan malpraktek secara tidak
langsung.
Jadi, dalam satu kasus malpraktek kadang hanya ada satu pihak yang bertanggung-
jawab. Kadang juga ada pihak lain lain yang ikut bertanggung-jawab bersamanya.
Karenanya, rumah sakit atau klinik juga bisa ikut bertanggung-jawab jika terbukti teledor
dalam tanggung-jawab yang diemban, sehingga secara tidak langsung menyebabkan
terjadinya malpraktek, misalnya mengetahui dokter yang dipekerjakan tidak ahli.

22
LI.4. Memahami dan Menjelaskan Alur Hukum Penyelesaian Malpraktik

Dalam praktik kedokteran, setidaknya ada 3 (tiga) norma yang berlaku yakni:
a. Disiplin, sebagai aturan penerapan keilmuan kedokteran;
b. Etika, sebagai aturan penerapan etika kedokteran (Kodeki); dan
c. Hukum, sebagai aturan hukum kedokteran.
Penegakan etika profesi kedokteran ini dilakukan oleh Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (“MKEK”). Dengan demikian, MKEK adalah lembaga penegak etika profesi
kedokteran (kodeki), di samping MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia) yakni lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang
dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran
gigi, dan menetapkan sanksi.
Sesuai UU Praktik Kedokteran, masyarakat yang merasa dirugikan atas tindakan
dokter/dokter gigi dapat melaporkan kepada MKDKI dan laporannya itu tak menghilangkan
hak masyarakat untuk melapor secara pidana atau menggugat perdata di pengadilan.
Berdasarkan Pasal 66 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (“UU
Praktik Kedokteran”), seseorang yang merasa dirugikan atas tindakan dokter dalam

23
menjalankan praktik kedokteran bisa mengadu kepada Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran
Indonesia. Pasal 66 UU Praktik Kedokteran berbunyi:
(1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau
dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis
kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
(2) Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. identitas pengadu;
b. nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan
dilakukan; dan
c. alasan pengaduan.
(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak
setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang
berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
Namun, dalam hal terjadi kelalaian dokter/tenaga kesehatan sehingga mengakibatkan
terjadinya malpraktik, korban tidak diwajibkan untuk melaporkannya ke MKEK/MKDKI
terlebih dahulu. Dalam Pasal 29 UU Kesehatan justru disebutkan bahwa dalam hal tenaga
kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut
harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Meskipun, korban malpraktik dapat saja
langsung mengajukan gugatan perdata.
Jadi, ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam hal terjadi kelalaian oleh tenaga
kesehatan yakni:
a. Melaporkan kepada MKEK/MKDKI;
b. Melakukan mediasi;
c. Menggugat secara perdata.
Setelah mendapatkan pengaduan, seorang dokter yang diduga melakukan pelanggaran
etika kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban
(etik dan disiplin profesi). Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan
akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Kemudian didapatkan sebuah keputusan
dan diberi sanksi.

Bentuk-Bentuk Sanksi Etik

24
Pelanggaran etik tidak memberikan/menyatakan sanksi formal bagi pelakunya,
sehingga terhadap pelakunya hanya diberikan sanksi formal. Secara maksimal MKEK atau
MKEKG memberikan usul kepada Kepala Kantor Dinas Kementerian Kesehatan Provinsi
atau Kementerian Kesehatan untuk memberikan sanksi administratif, sebagai langkah
pencegahan terhadap pengulangan pelanggaran. Sanksi yang diberikan tergantung berat
ringannya pelanggaran (sebaiknya sanksi yang bersifat mendidik).
Bentuk sanksi dapat berupa :
1. Teguran atau tuntunan secara lisan atau tulisan ;
2. Penundaan kenaikan gaji atau pangkat ;
3. Penurunan gaji atau pangkat setingkat lebih rendah ;
4. Pencabutan surat izin praktek untuk sementara atau selama-lamanya ;
5. Pada kasus pelanggaran hukum di bidang kesehatan, diberikan hukuman sesuai
peraturan kepegawaian yang berlaku dan diproses ke pengadilan.
Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan dan/atau ketentuan
penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang seharusnya diikuti oleh dokter dan
dokter gigi. Sebagian dari aturan dan ketentuan tersebut terdapat dalam UU Praktik
Kedokteran, dan sebagian lagi tersebar didalam Peraturan Pemerintah, Permenkes, Peraturan
KKI, Pedoman Organisasi Profesi, KODEKI, Pedoman atau ketentuan lain. Pelanggaran
disiplin pada hakikatnya dibagi menjadi :

1. Melaksanakan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.


2. Tugas dan tanggung jawab profesional pada pasien tidak dilaksanakan dengan baik.
3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi kedokteran.
Keputusan MKDKI mengikat dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia.
Keputusan dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin. Sanksi
disiplin dapat berupa:
1. Pemberian peringatan tertulis;
2. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran
atau kedokteran gigi.
MAJELIS KEHORMATAN ETIK KEDOKTERAN (MKEK)
MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) adalah badan otonom IDI yang
bertanggung jawab mengkoordinasi kegiatan internal organisasi dalam pengembangan
kebijakan, pembinaan pelaksanaan dan pengawasan penerapan etika kedokteran.

25
Dalam hal pengembangan dan pelaksaaan kebijakan yang bersifat nasional dan
strategis, MKEK wajib mendapat persetujuan dalam forum Musyawarah Pimpinan Pusat.
MKEK dibentuk pada tingkat pusat, wilayah, dan cabang. MKEK di tingkat cabang
dibentuk apabila dianggap perlu atas pertimbangan dan persetujuan dari MKEK wilayah.
MKEK bertanggung jawab kepada muktamar musyawarah wilayah dan musyawarah cabang
sesuai dengan tingkat kepengurusan. Masa jabatan MKEK sama dengan PB IDI
Kepengurusan MKEK sekurang-kurangnya terdiri dari ketua, sekretaris, dan anggota. MKEK
wilayah dan cabang mengadakan koordinasi dengan pengurus wilayah dan pengurus cabang,
sesuai dengan tingkat kepengurusan.
Fungsi MKEK
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota)
bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai
penuntut. Persidangan MKEK secara formil tidak menggunakan sistem pembuktian
sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap
berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.
Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :
1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait
(pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group atau para ahli di bidangnya
yang dibutuhkan.
2. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/brevet
dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin
Praktek Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter
dengan rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan
surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.
Tugas MKEK
1. Melakukan tugas bimbingan, pengawasan dan penilaian dalam pelaksanaan etik
kedokteran, termasuk perbuatan anggota yang melanggar kehormatan dan tradisi
luhur kedokteran.
2. Memperjuangkan agar etik kedokteran dapat ditegakkan di Indonesia.
3. Memberikan usul dan saran diminta atau tidak diminta kepada pengurus cabang.
4. Membina hubungan baik dengan majelis atau instansi yang berhubungan dengan etik
profesi, baik pemerintah maupun organisasi profesi lain.
5. Bertanggung jawab kepada musyawarah cabang.

26
Manfaat Pedoman MKEK
Pedoman MKEK ini merupakan jabaran dan pedoman pelaksanaan dari Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga IDI tentang MKEK dalam rangka pengaturan substansi etika
kedokteran bagi setiap pengabdian profesi dokter di Indonesia, penegakan, pengawasan,
bimbingan, penilaian pelaksanaan, penjatuhan sanksi etika, rehabilitasi (pemulihan hak-hak
profesi), dan interaksi kelembagaan MKEK dengan sesama perangkat dan jajaran internal IDI
atau lembaga etika lainnya di luar IDI.
Status MKEK
- Sebagai badan otonom IDI
- Segala keputusannya di bidang etika tidakdipengaruhi pengurus IDI
- Keputusan MKEK mengikat pengurus IDI
Kewajiban MKEK
1) MKEK wajib ikut mempertahankan hubungan dokter – pasien sebagai hubungan
kepercayaan.
2) MKEK Pusat mempertanggungjawabkan kinerja dari program kerjanya kepada
Muktamar, MKEK Wilayah kepada Musyawarah Wilayah IDI dan MKEK Cabang ke
Rapat Anggota Cabang IDI setempat
3) MKEK wajib menyimpan kerahasiaan medik kasus yang disidangkannya apabila
secara eksplisit diminta oleh pasien pengadu.
4) MKEK Pusat dalam batas kemampuannya wajib meningkatkan kapasitas
pengetahuan, sikap dan ketrampilan anggota MKEK Wilayah dan Cabang yang
memerlukannya.
Tatacara Pengelolaan
a. Ketua MKEK dipilih dan ditetapkan dalam muktamar, musyawarah wilayah dan
musyawarah cabang.
b. Pengurus MKEK adalah anggota biasa.
c. Ketua MKEK tingkat pusat dipilih dalam sidang khusus MKEK di muktamar dan
dikukuhkan dalam sidang pleno muktamar.
d. MKEK segera menjalankan tugas-tugasnya setelah selesainya muktamar, musyawarah
wilayah, dan musyawarah cabang.
e. MKEK dapat melakukan kegiatan atas inisiatif sendiri ataupun atas usul serta
permintaan.
f. MKEK mengadakan pertemuan berkala sesama pengurus ataupun dengan pihak lain
yang ditentukan sendiri oleh MKEK.
27
MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN KEDOKTERAN INDONESIA (MKDKI)
MKDKI adalah lembaga yang berwenang untuk :
1. Menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam
penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi.
2. Menetapkan sanksi disiplin.
Sesuai dengan UU PRADOK NO.29 Tahun 2004 Pasal 55 ayat (1) yang berisi
‘Menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktil kedokteran.
Tujuan penegakan disiplin
1. Memberikan perlindungan kepada pasien.
2. Menjaga mutu dokter/dokter gigi.
3. Menjaga kehormatan profesi kedokteran/kedokteran gigi.
Kedudukan dan Keanggotaan MKDKI
MKDKI sebagai lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia. Majelis ini dibentuk
ditingkat pusat dan provinsi. Anggota MKDKI terdiri dari 3 orang dokter dari organisasi
profesi, 1 orang dokter dari asosiasi rumah sakit (dalam hal ini PERSI), dan 3 orang sarjana
hukum. Anggota-anggota dalam majelis ditetapkan oleh menteri atas usulan organisasi
profesi. Masa bakti MKDKI adalah 5 tahun dan dapat diusulkan kembali untuk 1 kali masa
jabatan lagi.
Tugas MKDKI
a. menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin
dokter dan dokter gigi yang diajukan dan
b. menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter
atau dokter gigi.
Dalam melaksanakan tugas MKDKI mempunyai wewenang:
a) menerima pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
b) menetapkan jenis pengaduan pelanggaran disiplin atau pelanggaran etika atau bukan
keduanya
c) memeriksa pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
d) memutuskan ada tidaknya pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
e) menentukan sanksi terhadap pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
f) melaksanakan keputusan MKDKI
g) menyusun tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
h) menyusun buku pedoman MKDKI dan MKDKI-P
28
i) membina, mengkoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan tugas MKDKI-P
j) membuat dan memberikan pertimbangan usulan pembentukan MKDKI-P kepada
Konsil Kedokteran Indonesia
k) mengadakan sosialisasi, penyuluhan, dan diseminasi tentang MKDKI dan dan
MKDKI-P mencatat dan mendokumentasikan pengaduan, proses pemeriksaan, dan
keputusan MKDKI.
Disiplin Kedokteran
Disiplin kedokteran berarti kepatuhan menerapkan aturan-aturan atau ketentuan
penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan. Lebih khusus lagi yaitu kepatuhan
menerapkan kaidah-kaidah penatalaksanaan klinis yang mencakup penegakan diagnosis,
tindakan pengobatan, menetapkan prognosis, dengan standar atau indikator dari Standar
Kompetensi, Standar Perilaku Etis, Standar Asuhan Medis dan Standar Klinis
Tujuan Penegakan Disiplin Kedokteran
Tujuan utama adalah untuk proteksi pasien. Tujuan lainnya yaitu untuk menjaga mutu
dokter atau dokter gigi dan juga untuk menjaga kehormatan profesi kedokteran atau
kedokteran gigi.
Pelanggaran Disiplin
Sesuai putusan KKI No. 17/KKI/KEP/VIII/2006
1. Kegagalan penatalaksanaan pasien oleh karena:
- Ketidakcakapan (Incompetence)
- Kelalaian (Gross Negligence)
2. Perilaku tercela (menurut ukuran profesi)
3. Ketidaklayakan fisik dan mental (Unfit to practice)
Atau dengan kata lain Tidak memenuhi:
1. Standard of care, Clinical Standard
2. Standard of competence
3. Standard of professional atitude
Bentuk Pelanggaran Disiplin Kedokteran
1. Tidak kompeten
2. Tidak merujuk
3. Dokter atau dokter gigi pengganti tidak diberitahu ke pasien, Tidak memiliki SIP
4. Tidak layak praktik (kesehatan fisik dan mental)
5. Kelalaian dalam penatalaksanaan pasien
6. Pemeriksaan dan pengobatan berlebihan
29
7. Tidak memberikan informasi yang jujur
8. Tidak ada informed consent
9. Tidak membuat atau menimpan rekam medis
10. Penghentian kehamilan tanpa indikasi medis
11. Euthanasia
12. Penerapan pelayanan yang belum diterima ilmu kedokteran
13. Penelitian klinisi tanpa persetujuan etis.
14. Tidak memberi pertolongan darurat.
15. Menolak atau menghentikan pengobatan tanpa alasan yang sah
16. Membuka rahasia medis tanpa izin
17. Membuat keterangan medis tidak benar
18. Ikut serta tindakan penyiksaan
19. Peresepan obat psikotropik/narkotik tanpa indikasi
20. Pelecehan seksual, initimidasi, dan kekerasan
21. Penggunaan gelar akademik atau profesi palsu
22. Menerima komisi terhadap rujukan atau resepan
23. Pengiklanan diri yang menyesatkan
24. STR, SIP, Sertifikan kompetensi tidak sah
25. Imbalan jasa tidak sesuai tindakan.
Proses Pengaduan Pelanggaran
TAHAP PENEGAKAN DISIPLIN OLEH MKDKI
TAHAP 1: INVESTIGATIONAL STAGE (TAHAP INVESTIGASI)
 PENGADUAN (ADMISSION)
 VERIFIKASI
 PEMERIKSAAN AWAL OLEH MPA
 INVESTIGASI (INQUIRY)
TAHAP 2: ADJUDICATORY STAGE (PEMERIKSAAN DAN KEPUTUSAN)
 PEMERIKSAAN DISIPLIN OLEH MPD
 PEMBUKTIAN
 PENGAMBILAN KEPUTUSAN
TAHAP 3: DISPOSITIONAL STAGE (PENYAMPAIANKEPUTUSAN)
 PEMBACAAN KEPUTUSAN
 PENGAJUAN KEBERATAN TERADU (JIKA ADA)

30
 PENYAMPAIAN KEPUTUSAN KEPADA PIHAK TERKAIT
Pelanggaran disiplin kedokteran adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan dan/atau
ketentuan dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran/kedokteran gigi. Dokter/dokter gigi
dianggap melanggar disiplin kedokteran bila :
1. Melakukan praktik dengan tidak kompeten
2. Tidak melakukan tugas dan tanggung jawab profesionalnya dengan baik (dalam hal
ini tidak mencapai standar-standar dalam praktik kedokteran)
3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesinya
Yang termasuk pelanggaran disiplin kedokteran/kedokteran gigi antara lain
ketidakjujuran dalam berpraktik, berpraktik dengan ketidakmampuan fisik dan mental,
membuat laporan medis yang tidak benar, memberikan "jaminan kesembuhan" kepada
pasien, menolak menangani pasien tanpa alasan yang layak, memberikan tindakan medis
tanpa persetujuan pasien/keluarga, melakukan pelecehan seksual, menelantarkan pasien pada
saat membutuhkan penanganan segera, mengistruksikan atau melakukan pemeriksaan
tambahan/pengobatan yang berlebihan, bekerja tidak sesuai standar asuhan medis, dsb
Suatu pengaduan diputuskan menjadi kewenangan MKDKI apabila :
1. Dokter/dokter gigi yang diadukan telah terregistrasi di Konsil Kedokteran Indonesia.
2. Tindakan medis yang dilakukan oleh dokter/dokter gigi yang diadukan terjadi setelah
tanggal 6 Oktober 2004 (setelah diundangkannya UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran)
3. Terdapat hubungan profesional dokter-pasien dalam kejadian tersebut
4. Terdapat dugaan kuat adanya pelanggaran disiplin kedokteran/kedokteran gigi
Jika keempat kriteria tersebut terpenuhi, akan dilanjutkan dengan pemeriksaan oleh Majelis
Pemeriksa Disiplin (MPD)
Dalam formulir pengaduan, terdapat beberapa informasi yang harus diberikan, antara lain :
1. Identitas pengadu/pelapor;
2. Identitas pasien (jika pengadu bukan pasien);
3. Nama dan tempat praktik dokter/dokter gigi yang diadukan;
4. Waktu tindakan dilakukan;
5. Alasan pengaduan dan kronologis;
6. Pernyataan tentang kebenaran pengaduan, dsb
Setelah semua kelengkapan data pengaduan diterima, Anda akan mendapatkan tanda terima
pengaduan (berisi nomor register pengaduan). Setelah dilakukan verifikasi, pengaduan akan
ditangani oleh Majelis Pemeriksa Awal ataupun Majelis Pemeriksa Disiplin.
31
Sesuai UU Praktik Kedokteran, sanksi disiplin dalam keputusan MKDKI dapat berupa:
1. Pemberian peringatan tertulis
2. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Izin Praktik (SIP);
dan/atau
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran
atau kedokteran gigi
MKDKI dapat menangani permintaan ganti rugi/kompensasi yang diajukan terhadap
dokter teradu:
1. MKDKI berwenang untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran disiplin oleh
dokter/dokter gigi
2. MKDKI berwenang menetapkan sanksi disiplin kepada dokter/dokter gigi yang
dinyatakan melanggar disiplin kedokteran/kedokteran gigi
3. MKDKI tidak menangani sengketa antara dokter dan pasien/keluarganya
4. MKDKI tidak menangani permasalahan ganti rugi yang diajukan pasien/keluarganya
Keputusan MKDKI bersifat final dan mengikat dokter/dokter gigi yang diadukan, KKI,
Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, serta instansi terkait.
Dokter/dokter gigi yang diadukan dapat mengajukan keberatan terhadap keputusan MKDKI
kepada Ketua MKDKI dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sejak dibacakan atau
diterimanya keputusan tersebut dengan mengajukan bukti baru yang mendukung
keberatannya

32
DAFTAR PUSTAKA

Buku Panduan HAM bagi Pasien dan Dokter untuk Mencegah Malpraktek, Diakses dari:
http://www.balitbangham.go.id/index/images/judul_pdf/sipol/pengembangan/2008/malprakte
k.pdf

Febriyanti, Kartika dan Diana Kumasaru.2012. Langkah-langkah yang dapat dilakukan


pasien korban malpraktik, [online].(di update 26 Januari 2012), Diakses dari:
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl4224/kodeki/ [diakses 18 Oktober 2019,
20.00 WIB]

Hadi, Ilman.2012. Prosedur mengadukan dokter yang menghina pasien [online]. (diupdate 03
Agustus 2012), Diakses dari:
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt50018eda24203/penghinaan-dokter-saat-
konsultasi-medis-terhadap-pasien [diakses 18 Oktober 2019, 20.00 WIB]

Malpraktek Menurut Syariat Islam, Diakses dari:


http://almanhaj.or.id/content/2836/slash/0/malpraktek-menurut-syariat-islam/

Malpraktek Dalam Kajian Hukum Pidana, Diakses dari:


http://eprints.undip.ac.id/20768/1/2380-ki-fh-98.pdf

Malpraktek Medik, Diakses dari:


http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/matkul/Forensik/MALPRAKTEK%20MEDIK.pdf

33

Anda mungkin juga menyukai