Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

CLOSE FRACTURE FEMUR

1. Konsep Penyakit
A. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan
luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, ruptur tendon, kerusakan pembuluh darah,
dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur
jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya
(Smeltzer, 2001)

FRAKTUR FEMUR ATAU PATAH TULANG PAHA ADALAH RUSAKNYA


KONTINUITAS TULANG PANGKAL PAHA YANG DISAEBABKAN OLEH
TRAUMA LANGSUNG, KELELAHAN OTOT, DAN KONDISI TERTENTU,
SEPERTI DEGENERASI TULANG ATAU OSTEOPOROSIS (MUTTAQIN,
2008). SEDANGKAN menurut Sjamsuhidajat & Jong (2005) fraktur femur adalah
fraktur pada tulang femur yang disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun
tidak langsung.

B. Etiologi
Pada dasarnya tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan daya
pegas untuk menahan tekanan. Penyebab fraktur batang femur antara lain (Muttaqin,
2011) :
1. Fraktur femur terbuka
Fraktur femur terbuka disebabkan oleh trauma langsung pada paha.
2. Fraktur femur tertutup
Fraktur femur tertutup disebabkan oleh trauma langsung atau kondisi tertentu, seperti
degenerasi tulang (osteoporosis) dan tumor atau keganasan tulang paha yang
menyebabkan fraktur patologis.

C. Klasifikasi
Dua tipe fraktur femur adalah sebagai berikut:
1. Fraktur interkapsuler femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul, dan melalui
kepala femur (fraktur kapital).
2. Fraktur ekstrakapsular

1
a) Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokanter femur yang lebih besar / lebih
kecil/ pada daerah intertrokanter.
b) Terjadi di bagian distal menuju leher femur, tetapi tidak lebih dari 2 inci di bawah
trokanter minor.

Jenis – jenis fraktur femur menurut Muttaqin (2008) yaitu :


1. Fraktur leher femur
Fraktur leher femur merupakan jenis fraktur yang sering ditemukan pada orang tua
terutama wanita usia 60 tahun ke atas disertai tulang yang osteoporosis. Fraktur leher
femur pada anak anak jarang ditemukan fraktur ini lebih sering terjadi pada anak laki-
laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 3:2. Insiden tersering pada usia
11-12 tahun.
2. Fraktur subtrokanter
Fraktur subtrokanter dapat terjadi pada semua usia, biasanya disebabkan trauma yang
hebat. Pemeriksaan dapat menunjukkan fraktur yang terjadi dibawah trokanter minor.
3. Fraktur intertrokanter femur
Pada beberapa keadaan, trauma yang mengenai daerah tulang femur. Fraktur daerah
troklear adalah semua fraktur yang terjadi antara trokanter mayor dan minor. Frkatur
ini bersifat ekstraartikular dan sering terjadi pada klien yang jatuh dan mengalami
trauma yang bersifat memuntir. Keretakan tulang terjadi antara trokanter mayor dan
minor tempat fragmen proksimal cenderung bergeser secara varus. Fraktur dapat
bersifat kominutif terutama pada korteks bagian posteomedial.
4. Fraktur diafisis femur
Fraktur diafisis femur dapat terjadi pada daerah femur pada setiap usia dan biasanya
karena trauma hebat, misalnya kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian.
5. Fraktur suprakondilar femur
Daerah suprakondilar adalah daerah antar batas proksimal kondilus femur dan batas
metafisis dengan diafisis femur. Trauma yang mengenai femur terjadi karena adanya
tekanan varus dan vagus yang disertai kekatan aksial dan putaran sehingga dapat
menyebabkan fraktur pada daerah ini. Pergeseran terjadi karena tarikan otot.

D. Manifetasi Klinis
Tanda dan gejala fraktur femur (Brunner & Suddarth, 2001) terdiri atas:
1. Nyeri
Nyeri yang terjadi terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
dimobilisasi. Terjadi karena adanya spasme otot tekanan dari patahan tulang atau
kerusakan jaringan sekitarnya. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan
bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Pemendekan tulang
Terjadi pada fraktur panjang karena kontraksi otot yang melekat di atas dan
dibawah tempat fraktur. Leg length discrepancy (LLD) atau perbedaan panjang
tungkai bawah adalah masalah ortopedi yang biasanya muncul di masa kecil, di
mana dua kaki seseorang memiliki panjang yang tidak sama. Penyebab dari
masalah Leg length discrepancy (LLD), yaitu osteomielitis, tumor, fraktur,
hemihipertrofi, di mana satu atau lebih malformasi vaskular atau tumor (seperti
hemangioma) yang menyebabkan aliran darah di satu sisi melebihi yang lain.
3. Krepitus tulang (derik tulang)
Krepitasi tulang terjadi akibat gerakan fragmen satu dengan yang lainnya.
4. Pembengkakan dan perubahan warna tulang
Pembengkakan muncul dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah
fraktur dan ekstravasi daerah jaringan sekitarnya. Pembengkakan dan perubahan
warna tulang terjadi akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda
ini terjadi setelah beberapa jam atau hari
5. Spasme otot
Merupakan kontraksi involunter yang terjadi disekitar fraktur.
6. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot,
paralisis dapat terjadi karena kerusakan saraf.
7. Mobilisasi abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian yang pada kondisi normalnya tidak
terjadi pergerakan.

E. Pathway
F. Pemeriksaan Penunjang
I.1.1 Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
I.1.2 Scan tulang, scan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
I.1.3 Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
I.1.4 Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur) perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau
organ jauh pada trauma multipel.
I.1.5 Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.
I.1.6 Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multipel,
atau cidera hati. Golongan darah, dilakukan sebagai persiapan transfusi darah jika ada
kehilangan darah yang bermakna akibat cedera atau tindakan pembedahan.

I.2 Komplikasi
Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam beberapa jam setelah
cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih, dan sindrom
kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika tidak ditangani
segera. Adapun beberapa komplikasi dari fraktur femur yaitu:

I.2.1 Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan darah eksterna
maupun interna) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak dapat terjadi
pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra karena tulang merupakan organ
yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi kehilangan darah dalam jumlah yang besar
sebagai akibat trauma, khususnya pada fraktur femur pelvis.
I.2.2 Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau cidera remuk dapat
terjadi emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-30 tahun. Pada saat
terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam darah karna tekanan sumsum
tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karna katekolamin yang di lepaskan oleh
reaksi stres pasien akan memobilitasi asam lemak dan memudahkan terjadiya globula
lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit
membentuk emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang
memasok otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan dan gejalanya yang sangat cepat
dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah cidera, gambaran khasnya
berupa hipoksia, takipnea, takikardi dan pireksia.
I.2.3 Sindrom Kompertemen
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan
interstisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam kompartemen osteofasial
yang tertutup. Peningkatan tekanan intra kompartemen akan mengakibatkan
berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi
gangguan sirkulasi dan fungsi jaringan di dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut
terisi oleh otot, saraf dan pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta
otot-otot individual yang dibungkus oleh epimisium. Sindrom kompartemen ditandai
dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat, disertai denyut nadi yang hilang.
Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak dan paling
sering disebabkan oleh trauma, terutama mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai
atas.

I.2.4 Nekrosis avaskular tulang


Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali mengakibatkan iskemia tulang yang
berujung pada nekrosis avaskular. Nekrosis avaskuler ini sering dijumpai pada kaput
femoris, bagian proksimal dari os. Scapphoid, os. Lunatum, dan os. Talus (Suratum,
2008).
I.2.5 Atropi Otot
Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai ukuran normal.
Mengecilnya otot tersebut terjadi karena sel-sel spesifik yaitu sel-sel parenkim yang
menjalankan fungsi otot tersebut mengecil. Pada pasien fraktur, atrofi terjadi akibat
otot yang tidak digerakkan (disuse) sehingga metabolisme sel otot, aliran darah tidak
adekuat ke jaringan otot (Suratum, dkk, 2008).

I.3 Penatalaksanaan
Tindakan penanganan fraktur dibedakan berdasarkan bentuk dan lokasi serta usia. Berikut
adalah tindakan pertolongan awal pada penderita fraktur :
I.3.1 Kenali ciri awal patah tulang memperhatikan riwayat trauma yang terjadi karena
benturan, terjatuh atau tertimpa benda keras yang menjadi alasan kuat pasien
mengalami fraktur.
I.3.2 Jika ditemukan luka yang terbuka, bersihkan dengan antiseptik dan bersihkan
perdarahan dengan cara dibebat atau diperban.
I.3.3 Lakukan reposisi (pengembalian tulang ke posisi semula) tetapi hal ini tidak boleh
dilakukan secara paksa dan sebaiknya dilakukan oleh para ahli dengan cara operasi
oleh ahli bedah untuk mengembalikan tulang pada posisi semula.
I.3.4 Pertahankan daerah patah tulang dengan menggunakan bidai atau papan dari kedua
posisi tulang yang patah untuk menyangga agar posisi tetap stabil.
I.3.5 Berikan analgetik untuk mengaurangi rasa nyeri pada sekitar perlukaan.
I.3.6 Beri perawatan pada perlukaan fraktur baik pre operasi maupun post operasi.

Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semula
(reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang
(imobilisasi). (Sjamsuhidajat & Jong, 2005)
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah :
1.7.1 Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan
disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum
terlalu jauh meresap dilakukan : pembersihan luka, exici, hecting situasi, antibiotik.
Ada bebearapa prinsipnya yaitu :
1.7.1.1 Harus ditegakkan dan ditangani dahulu akibat trauma yang membahayakan
jiwa airway, breathing, circulation.
1.7.1.2 Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang memerlukan
penanganan segera yang meliputi pembidaian, menghentikan perdarahan
dengan perban tekan, menghentikan perdarahan besar dengan klem.
1.7.1.3 Pemberian antibiotika.
1.7.1.4 Debridement dan irigasi sempurna.
1.7.1.5 Stabilisasi.
1.7.1.6 Penutup luka.
1.7.1.7 Rehabilitasi.
1.7.1.8 Life saving
Semua penderita patah tulang terbuka harus di ingat sebagai penderita dengan
kemungkinan besar mengalami cidera ditempat lain yang serius. Hal ini perlu
ditekankan mengingat bahwa untuk terjadinya patah tulang diperlukan suatu
gaya yang cukup kuat yang sering kali tidak hanya berakibat total, tetapi
berakibat multi organ. Untuk life saving prinsip dasar yaitu : airway, breath
and circulation.
1.7.1.9 Semua patah tulang terbuka dalam kasus gawat darurat.
Dengan terbukanya barier jaringan lunak maka patah tulang tersebut terancam
untuk terjadinya infeksi seperti kita ketahui bahwa periode 6 jam sejak patah
tulang tebuka luka yang terjadi masih dalam stadium kontaminsi (golden
periode) dan setelah waktu tersebut luka berubah menjadi luka infeksi. Oleh
karena itu penanganan patuah tulang terbuka harus dilakukan sebelum golden
periode terlampaui agar sasaran akhir penanganan patah tulang terbuka,
tercapai walaupun ditinjau dari segi prioritas penanganannya. Tulang secara
primer menempati urutan prioritas ke 6. Sasaran akhir di maksud adalah
mencegah sepsis, penyembuhan tulang, pulihnya fungsi.
1.7.1.10 Pemberian antibiotika
Mikroba yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangat bervariasi
tergantung dimana patah tulang ini terjadi. Pemberian antibiotika yang tepat
sukar untuk ditentukan hany saja sebagai pemikiran dasar. Sebaliklnya
antibiotika dengan spektrum luas untuk kuman gram positif maupun negatif.
1.7.1.11 Debridemen dan irigasi
Debridemen untuk membuang semua jaringan mati pada darah patah
terbuka baik berupa benda asing maupun jaringan lokal yang mati. Irigasi
untuk mengurangi kepadatan kuman dengan
cara mencuci luka dengan larutan fisiologis dalam jumlah banyak baik
dengan tekanan maupun tanpa tekanan.
1.7.1.12 Stabilisasi.
Untuk penyembuhan luka dan tulang sangat diperlukan stabilisasi fragmen
tulang, cara stabilisasi tulang tergantung pada derajat patah tulang
terbukanya dan fasilitas yang ada. Pada derajat 1 dan 2 dapat
dipertimbangkan pemasangan fiksasi dalam secara primer. Untuk derajat 3
dianjurkan pemasangan fiksasi luar. Stabilisasi ini harus sempurna agar
dapat segera dilakukan langkah awal dari rahabilitasi penderita.
1.7.2 Seluruh Fraktur
1.7.2.1 Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
1.7.2.2 Reduksi/Manipulasi/Reposisi
1.7.2.3 Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula
secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah
mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis.
1.7.2.4 OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan cara
reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction and external
fixation=OREF) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan
fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus menilai
jaringan lunak sekitar dalam masa penyembuhan fraktur. Penanganan
pascaoperatif yaitu perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk
mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah lengkap, serta
rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan bertahap sehingga ketiga
tujuan utama penanganan fraktur bisa tercapai, yakni union (penyambungan
tulang secara sempurna), sembuh secara anatomis (penampakan fisik organ
anggota gerak; baik, proporsional), dan sembuh secara fungsional (tidak ada
kekakuan dan hambatan lain dalam melakukan gerakan).
1.7.2.5 ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi
pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan
posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran.
Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail biasanya digunakan untuk
fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers.
1.7.2.6 Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan
dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi
pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator
eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
1.7.2.7 Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya
diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan
imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis.
pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli
bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
1.8 Pathway
II. Rencana Asuhan Klien Dengan Fraktur Femur
II.1 Pengkajian
2.1.1 Pemeriksaan fisik: data fokus
2.1.1.1 Primery survey
a. Airway: Memastikan kepatenan jalan napas tanpa adanya
sumbatan atau obstruksi,
b. Breathing: memastikan irama napas normal atau cepat, pola
napas teratur, tidak ada dyspnea, tidak ada napas cuping
hidung,dan suara napas vesikuler,
c. Circulation: nadi lemah/ tidak teraba, cepat >100x/mt, tekanan
darah dibawah normal bila terjadi syok, pucat oleh karena
perdarahan, sianosis, kaji jumlah perdarahan dan lokasi,
capillary refill >2 detik apabila ada perdarahan.
d. Disability: kaji tingkat kesadaran sesuai GCS, respon pupil
anisokor apabila adanya diskontinuitas saraf yang berdampak
pada medulla spinalis.
e. Exposure/Environment: fraktur terbuka di femur dekstra, luka
laserasi pada wajah dan tangan, memar pada abdomen, perut
semakin menegang.
2.1.1.2 Secondary survey
a. Fokus Asesment
1. Kepala: Wajah, kulit kepala dan tulang tengkorak, mata,
telinga, dan mulut. Temuan yang dianggap kritis:
Pupil tidak simetris, midriasis tidak ada respon terhadap
cahaya ?
Patah tulang tengkorak (depresi/non depresi,
terbuka/tertutup)?
Robekan/laserasi pada kulit kepala?
Darah, muntahan atau kotoran di dalam mulut?
Cairan serebro spinal di telinga atau di hidung?
Battle sign dan racoon eyes?
2. Leher: lihat bagian depan, trachea, vena jugularis, otot-otot
leher bagian belakang. Temuan yang dianggap kritis:
Distensi vena jugularis, deviasi trakea atau tugging,
emfisema kulit
3. Dada: Lihat tampilan fisik, tulang rusuk, penggunaan otot-
otot asesoris, pergerakan dada, suara paru. Temuan yang
dianggap kritis: Luka terbuka, sucking chest wound, Flail
chest dengan gerakan dada para doksikal, suara paru hilang
atau melemah, gerakan dada sangat lemah dengan pola
napas yang tidak adekuat (disertai dengan penggunaaan
otot-otot asesoris).
4. Abdomen: Memar pada abdomen dan tampak semakin
tegang, lakukan auskultasi dan palpasi dan perkusi pada
abdomen. Temuan yang dianggap kritis ditekuannya
penurunan bising usus, nyeri tekan pada abdomen bunyi
dullness.
5. Pelvis: Daerah pubik, Stabilitas pelvis, Krepitasi dan nyeri
tekan. Temuan yang dianggap kritis: Pelvis yang lunak,
nyeri tekan dan tidak stabil serta pembengkakan di daerah
pubik
6. Extremitas: ditemukan fraktur terbuka di femur dextra dan
luka laserasi pada tangan. Anggota gerak atas dan bawah,
denyut nadi, fungsi motorik, fungsi sensorik.Temuan yang
dianggap kritis: Nyeri, melemah atau menghilangnya
denyut nadi, menurun atau menghilangnya fungsi sensorik
dan motorik.
7. Pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi suhu, nadi,
pernafasan dan tekanan darah.
Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS (Glasgow Coma Scale):
terjadi penurunan kesadaran pada pasien.

II.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1 : Nyeri akut (NANDA NIC-NOC, 2015: 317 [45])
II.2.1 Definisi : Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang
muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau
digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International
Association for the study of Pain); awitan yang tiba-tiba atau lambat dari
intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau
diprediksi dan berlangsung < 6 bulan.
II.2.2 Batasan karakteristik
II.2.2.1 Perubahan selera makan
II.2.2.2 Perubahan tekanan darah
II.2.2.3 Perubahan frekuensi jantung
II.2.2.4 Perubahan frekuensi pernapasan
II.2.2.5 Laporan isyarat
II.2.2.6 Diaforesis
II.2.2.7 Perilaku distraksi (mis. Berjalan mondar-mandir mencari orang
lain dan atau aktivitas lain, aktivitas yang berulang)
II.2.2.8 Mengekspresikan perilaku (mis. Gelisah, merengek, menangis)
II.2.2.9 Masker wajah (mis. Mata kurang bercahaya, tampak kacau,
gerakan mata berpencar atau tetap pada satu focus meringis)
II.2.2.10 Sikap melindungi area nyeri
II.2.2.11 Fokus menyempit (mis. gangguan persepsi nyeri, hambatan
proses berfikir, penurunan interaksi dengan orang dan
lingkungan)
II.2.2.12 Indikasi nyeri yang dapat diamati
II.2.2.13 Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
II.2.2.14 Sikap tubuh melindungi
II.2.2.15 Dilatasi pupil
II.2.2.16 Melaporkan nyeri secara verbal
II.2.2.17 Gangguan tidur
II.2.3 Faktor yang berhubungan
Agen cedera (mis. biologis, zat kimia, fisik, psikologis)

Diagnosa 2 : Hambatan mobilitas fisik (NANDA NIC-NOC, 2011: 472)


2.2.1 Definisi : keterbatasan dalam, pergerakan fisik mandiri dan terarah pada
tubuh atau satu ekstremitas atau lebih (sebutkan tingkatnya) :
Tingkat 0 : mandiri total
Tingkat 1 : memerlukan penggunaan peralatan atau alat bantu
Tingkat 2 : memerlukan bantuan dari orang lain untuk pertolongan,
pengawasan, atau pengajaran
Tingkat 3 : membutuhkan bantuan dari orang lain dan peralatan atau alat
bantu
Tingkat 4 : ketergantungan, tidak berpartisipasi dalam aktivitas
2.2.2 Batasan karaktersitik
Objektif
2.2.2.1 Penurunan waktu reaksi
2.2.2.2 Kesulitan membolak balik tubuh
2.2.2.3 Asyik dengan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan
(misalnya peningkatan perhatian terhadap aktivitas orang lain,
perilaku mengendalikan, berfokus pada kondisi sebelum sakit atau
ketunadayaan aktivitas)
2.2.2.4 Dispnea saat beraktivitas
2.2.2.5 Perubahan cara berjalan (misalnya penurunan aktivitas dan
kecepatan berjalan, kesulitan untuk memulai berjalan, langkah
kecil, berjalan dengan menyeret kaki, pada saat berjalan badan
mengayun ke samping)
2.2.2.6 Pergerakan menyentak
2.2.2.7 Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik
halus
2.2.2.8 Keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik kasar
2.2.2.9 Keterbatasan rentang pergerakan sendi
2.2.2.10 Tremor yang diinduksi oleh pergerakan
2.2.2.11 Ketidakstabilan postur tubuh (saat melakukan rutinitas aktivitas
kehidupan sehari-hari)
2.2.2.12 Melambatnya pergerakan
2.2.2.13 Gerakan tidak teratur atau tidak terkoordinasi
2.2.3 Faktor yang berhubungan
2.2.3.1 Intoleransi aktivitas
2.2.3.2 Perubahan metabolism selular
2.2.3.3 Ansietas
2.2.3.4 Indeks masa tubuh di atas perentil ke 75 sesuai usia
2.2.3.5 Gangguan kognitif
2.2.3.6 Konstraktur
2.2.3.7 Kepercayaan budaya tentang aktivitas sesuai usia
2.2.3.8 Fisik tidak bugar
2.2.3.9 Penurunan ketahanan tubuh
2.2.3.10 Penurunan kendali otot
2.2.3.11 Penurunan massa otot
2.2.3.12 Malnutrisi
2.2.3.13 Gangguan muskuloskeletal
2.2.3.14 Gangguan neuromuskular, nyeri
2.2.3.15 Agens obat
2.2.3.16 Penurunan kekuatan otot
2.2.3.17 Kurang pengetahuan tentang aktivitas fisik
2.2.3.18 Keadaan mood depresif
2.2.3.19 Keterlambatan perkembangan
2.2.3.20 Ketidaknyamanan
2.2.3.21 Disuse, kaku sendi
2.2.3.22 Kurang dukungan lingkungan (misal fisik atau sosial)
2.2.3.23 Keterbatasan ketahanan kardiovaskuler
2.2.3.24 Kerusakan integritas struktur tulang
2.2.3.25 Program pembatasan gerak
2.2.3.26 Keengganan memulai pergerakan
2.2.3.27 Gaya hidup monoton
2.2.3.28 Gangguan sensori perseptual

3.1 Perencanaan
No. Tujuan & Kriteria Hasil
Intervensi (NIC) Rasional
Dx (NOC)
1. Setelah dilakukan asuhan 1. Pemberian analgesik 1. Menggunakan agen-agen
keperawatan selama … x farmakologi untuk mengurangi
24 jam diharapkan pasien atau menghilangkan nyeri
tidak mengalami nyeri 2. Manajemen medikasi 2. Memfasilitasi penggunaan obat
dengan kriteria hasil : resep atau obat bebas secara
1. Memperlihatkan teknik aman dan efektif
relaksasi secara 3. Manajemen nyeri 3. Meringankan atau mengurangi
individual yang efektif nyeri sampai pada tingkat
untuk mencapai kenyamanan yang dapat
keamanan diterima oleh pasien
2. Mempertahankan 4. Manajemen sedasi 4. Memberikan sedative,
tingkat nyeri pada __ memantau respon pasien, dan
atau kurang memberikan dukungan
3. Melaporkan nyeri pada fisiologis yang dibutuhkan
penyedia layanan selama prosedur diagnostic
kesehatan atau terapeutik
4. Tidak mengalami
gangguan dalam
frekuensi pernapasan,
frekuensi jantung atau
tekanan darah
2. Setelah dilakukan asuhan Exercice therapy : ambulation
keperawatan selama … x 1. Monitoring vital sign 1. Mencegah terjadinya
24 jam diharapkan pasien sebelum/sesudah latihan penurunan kondisi atau cedera
tidak mengalami hambatan dan lihat respon pasien pada pasien saat dilakukan
mobilitas fisik dengan saat latihan tindakan.
kriteria hasil : 2. Konsultasikan dengan 2. Meningkatkan mobilitas pasien
1. Klien meningkat dalam terapi fisik tentang rencana sesuai kondisi pasien
aktivitas fisik ambulasi sesuai dengan
2. Mengerti tujuan dari kebutuhan.
peningkatan mobilitas 3. Bantu pasien untuk 3. Membantu meningkatkan
3. Memverbalisasikan menggunakan tongkat saat kekuatan dan ketahanan otot.
perasaan dalam berjalan dan cegah
meningkatkan kekuatan terhadap cedera
dan kemampuan 4. Ajarkan pasien atau tenaga 4. Mampu melakukan tindakan
berpindah kesehatan lain tentang secara mandiri dan termotivasi
4. Memperagakan teknik ambulasi untuk meningkatkan mobilitas
kemampuan alat 5. Kaji kemampuan pasien 5. Mengetahui sejauh mana
5. Bantu untuk mobilisasi dalam mobilisasi peningkatan mobilisasi.
(walker) 6. Latih pasien dalam 6. Agar pasien mampu
pemenuhan kebutuhan melakukan aktivitas secara
ADLs secara mandiri mandiri.
sesuai kemampuan
7. Dampingi dan bantu pasien 7. Meningkatkan motivasi pasien
saat mobilisasi dan bantu dalam melakukan aktivitas
pemenuhan kebutuhan sehari-hari
ADLs pasien
8. Berikan alat bantu jika 8. Mampu melakukan aktivitas
pasien memerlukan secara mandiri guna
meningkatkan mobilitas
9. Ajarkan pasien bagaimana 9. Meningkatkan kesejahteraan
merubah posisi dan berikan fisologis dam psikologis
bantuan jika diperlukan

III. Daftar Pustaka


Ahern, N. R & Wilkinson, J. M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan
Edisi 9 Edisi Revisi. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

M a n s j o e r, A . ( 2 0 0 0 ) . Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2.


Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Nurarif, A. H & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC Edisi Revisi Jilid 2.
Yogyakarta: Penerbit Mediaction.

Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi II. Jakarta:
EGC.
Martapura, Juni 2017

Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

(…………………..……..) (…………………..……..)

Anda mungkin juga menyukai