Anda di halaman 1dari 14

“PERJANJIAN PEMBERIAN KREDIT DAN JAMINAN”

BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Kegiatan pinjam meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan
masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dapat diketahui bahwa
hampir semua masyarakat telah menjadikan kegiatan pinjam meminjam uang sebagai
alat sesuatu yang sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan kegiatan
perekonomiannya dan untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Pihak pemberi pnjaman
yang mempunyai kelebihan uang bersedia meminjamkan uang kepada yang
memerlukan. Sebaliknya, pihak peminjam berdasarkan keperluan atau tujuan tertentu
melakukan peminjaman uang tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa pihak
peminjam meminjam uang kepada pihak pemberi pinjaman untuk membiayai
kebutuhan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari atau untuk memenuhi
keperluan dana guna pembiayaan kegiatan usahanya.

Selanjutnya dalam kegiatan pinjam meminjam uang yang terjadi di masyarakat


dapat diperhatikan bahwa umumnya sering dipersyaratkan adanya penyerahan jaminan
utang oleh pihak peminjam kepada pihak pemberi pinjaman. Jaminan utang dapat
berupa barang (benda) sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau berupa janji
penanggungan utang sehingga merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan
memberikan hak kebendaan kepada pemegang jaminan.

Hukum jaminan merupakan himpunan ketentuan yang mengatur atau berkaitan


dengan peminjaman dalam rangka utang piutang (pinjaman uang) yang terdapat dalam
berbagai peraturan perundangan-undangan yang berlaku saat ini.[1]

Bank dalam memberikan kredit kepada pengusaha/nasabah wajib mempunyai


keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai
dengan yang diperjanjikan, krena kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko,
sehingga dalam pelaksanannya bank harus memperhatikan asas perkreditan yang
sehat.[2]

Sehubungan dengan jaminan utang, pemahaman tentang hukum jaminan


sebagaimana yang terdapat dalam berbagai peraturan perundangan-undangan yang
berlaku sangat diperlukan agar pihak-pihak yang berkaitan dengan penyerahan jaminan
kredit dapat mengamankan kepentingannya, antara lain bagi bank sebagai pihak

1
pemberi kredit. Peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan hukum jaminan
yang dikodifikasi adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang), sedangkan yang berupa
undang-undang, misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (UU No. 4
Tahun 1996), dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU
No. 42 Tahun 1999).[3]

Bank dalam memberikan kredit kepada pengusaha/nasabah wajib mempunyai


keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai
dengan yang diperjanjikan, karena kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko,
sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang
sehat.

II. RUMUSAN MASALAH

1. Apa itu perjanjian dan perikatan?


2. Apa itu perjanjian kredit?
3. Apa saja jenis perjanjian kredit?
4. Apa saja subjek dalam perjanjian kredit?
5. Apa isi dari perjanjian kredit?
6. Apa yang dapat menjadi jaminan pada perjanjian kredit?

III. TUJUAN PENELITIAN


1. Mengetahui pengertian pejanjian dan perikatan
2. Mengetahui pengertian perjanjian kredit secara luas
3. Mengetahui jenis-jenis perjanjian kredit
4. Mengetahui subjek subjek dalam perjanjian kredit
5. Mengetahui isi perjanjian kredit
6. Mengetahui jaminan pada perjanjian kredit

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian perjanjian dan perikatan

Perjanjian adalah salah satu bagian terpenting dari hukum perdata. Sebagaimana
diatur dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di dalamnya diterangkan
mengenai perjanjian, termasuk di dalamnya perjanjian khusus yang dikenal oleh
masyarakat seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa,dan perjanjian pinjam-
meminjam.

Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang
satu berhak menuntut hal dari pihak lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu.

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.

Pengertian perjanjian secara umum adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal. Dari peristiwa itulah maka timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut
yang dinamakan perikatan. Dalam bentuknya, perjanjian merupakan suatu rangkaian
perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Sedangkan definisi dari perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang
atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari
pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan Perikatan
adalah suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang
konkret atau suatu peristiwa.

Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua


persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh
undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan
subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan
pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang
sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua
belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang
berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan
suatu perbuatan.

3
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu pokok persoalan tertentu.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan
keempat disebut syarat obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama
(kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat dibatalkan.
Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur
keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum.

B. Pengertian perjanjian kredit

Secara etimologi istilah kredit berasal dari bahasa Latin “credere”, yang berarti
kepercayaan. Hal ini menunjukkan, bahwa yang mnenjadi dasar pemberian kredit oleh
bank kepada nasabah debitur adalah kepercayaan. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, salah satu pengertian kredit adalah pinjaman uang dengan pembayaran
pengembalian secara mengangsur atau pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang
diijinkan oleh bank atau badan lain.Pasal 1 angka 11 Undang-undang No. 10 Tahun
1998 merumuskan, bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Berdasarkan Pasal 1754 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)


terdapat istilah perjanjian pinjam-meminjam, yang dinyatakan sebagai berikut:

“Pinjam-meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan pihak
yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena
pemakaian,dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan
sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”

Perjanjian Kredit adalah perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang.Perjanjian


pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman
mengenai hubungan-hubungan hukum antar keduanya. Oleh karena itu, pengertian
perjanjian kredit tidak terbatas pada apa yang telah dijelaskan diatas akan tetapi lebih
luas lagi penafsirannya. Perjanjian kredit dapat juga disebut perjanjian pokok (prinsipil)
yang bersifat riil. Sebagai perjanjian prinsipiil, maka perjanjian jaminannya adalah
assesoirnya.

4
Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil
ialah bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank
kepada nasabah debitor. Sehingga dapat dikatakan juga perjanjian kredit merupakan
perjanjian baku, dengan di sana sini diadakan penyesuaian seperlunya.

Biasanya pihak bank telah mempunyai draft tersendiri, dimana para pihak dapat
mengisi data pribadi dan data tentang pinjaman yang diambil, sedangkan jangka waktu
dan bentuknya sudah dicetak secara baku. Apabila debitur menerima semua ketentuan
dan persyaratan yang ditentukan oleh bank, maka debitur berkewajiban untuk
menandatangani perjanjian kredit tersebut.

Apabila debitur menolak, maka debitur tidak perlu untuk menandatangani


perjanjian kredit tersebut. Selanjutnya untuk dapat terjadinya suatu perjanjian, maka ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi salah satunya adalah sepakat, sehingga dengan
ditandatanganinya perjanjian kredit tersebut berarti berlakulah perjanjian kredit antara
kreditur dan debitur.

C. Jenis perjanjian kredit

Secara yuridis ada dua jenis perjanjian kredit yang digunakan bank, yaitu; perjanjian
kredit dibawah tangan atau akta dibawah tangan dan perjanjian kredit yang dibuat oleh
dan dihadapan notaris (notaril) atau akta otentik

1. Perjanjian Kredit di Bawah Tangan

Yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit di bawah tangan adalah perjanjian
pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat di antara mereka
(kreditor dan debitor) tanpa notaris. Akta perjanjian kredit dibawah tangan ini memiliki
beberapa kelemahan, antara lain:

a) Apabila akan diambil tindakan hukum melalui proses peradilan karena misalnya
alasan debitor wanprestasi, maka seandainya debitor yang bersangkutan
menyangkal atau memungkiri tandatangannya akan berakibat mentahnya
kekuatan hukum perjanjian kredit yang telah dibuat tersebut. Dalam pasal 1877
KUH Perdata disebutkan bahwa jika seseorang memungkiri tulisan atau
tandatangannya, maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari pada
tulisan atau tandatangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan, tentunya hal ini
akan merepotkan bank.
b) Oleh karena perjanjian ini dibuat hanya oleh para pihak, dimana formulirnya
telah disediakan oleh bank (formulir baku), maka ada kemungkinan terdapat
kekurangan data-data yang seharusnya dilengkapi untuk suatu kepentingan

5
pengikatan kredit, bahkan dapat terjadi karena alasan-alasan pelayanan,
penandatanganan perjanjian dilakukan walaupun formulir perjanjian masih
dalam bentuk blangko kosong, bila terjadi perselisihan, debitor dapat
menyangkal menandatangani akta perjanjian tersebut atau mengelak mengakui
perjanjian kredit dengan alasan yang bersangkutan menandatangani blangko
kosong.
c) Apabila akta perjanjian kredit dibawah tangan tersebut hilang karena sebab
apapun, maka bank tidak lagi memiliki arsip asli mengenai adanya perjanjian
tersebut sebagai alat bukti, keadaan ini akan membuat posisi bank menjadi
lemah bila terjadi perselisihan. Berbeda dengan akta perjanjian kredit notaril,
walaupun arsip di bank hilang, masih ada arsip lainnya di notaris.

2. Perjanjian Kredit Notaril

Yang dimaksud dengan perjanjian kredit notaril (otentik) adalah perjanjian


pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat oleh atau dihadapan notaris.
Mengenai definisi akta otentik dapat dilihat pada Pasal 1868 KUH Perdata. Dari
ketentuan/definisi akta otentik yang diberikan oleh Pasal 1868 KUH Perdata tersebut,
dapat ditemukan beberapa hal sebagai berikut :

1) Yang berwenang membuat akta-otentik adalah notaris, terkecuali wewenang


tersebut diserahkan pada pejabat lain atau orang lain.
2) Pejabat lain yang dapat membuat akta otentik adalah misalnya seorang panitera
dalam sidang-pengadilan, seorang juru sita, seorang jaksa atau polisi dalam
membuat pemeriksaan pendahuluan, seorang pegawai catatan sipil yang
membuat akta kelahiran atau perkawinan, pemerintah dalam membuat peraturan.

Jenis akta otentik :

a) yang dibuat “oleh”, produknya disebut “proses verbal akta” karena prosesnya
hanya menulis apa yang dilihat dan yang dialami sendiri oleh seorang notaris
tentang perbuatan (handeling) dan kejadian (daadzaken); membaca dan
menandatangani hanya bersama para saksi akta tersebut di luar hadirnya atau
karena penolakan para penghadap.
b) yang dibuat “dihadapan” pejabat umum dengan produk berupa “party akta”
prosesnya berupa membaca isi akta tersebut, disusul oleh penandatanganan akta
tersebut oleh para penghadap dan para saksi, terakhir oleh notaris itu sendiri.

6
Isi akta otentik

a) semua “perbuatan” yang oleh undang-undang diwajibkan dibuat dalam akta


otentik (jual beli tanah).
b) semua “perjanjian” dan “penguasaan” yang dikehendaki oleh mereka yang
berkepentingan (perjanjian sewa-menyewa).

Akta otentik memberikan kepastian mengenai/tentang penanggalan. Seorang notaris


memberi kepastian tentang penanggalan dari pada aktanya yang berarti bahwa ia
berkewajiban menyebut dalam akta bersangkutan tahun, bulan dan tanggal pada waktu
mana akta tersebut dibuat. Pelanggaran daripada kewajiban tersebut berakibat akta
tersebut kehilangan sifat otentiknya dan dengan demikian hanya berkekuatan akta di
bawah tangan.

D. Subjek-subjek dalam perjanjian kredit

A. PEMBERI KREDIT (KREDITUR)

Berdasarkan Pasal 1 butir 12 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 menyebutkan


bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

berdasarkan Undang-undang tersebut diatas, maka yang dimaksud kreditur adalah


Bank. Selanjutnya jenis bank menurut Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 adalah bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank umum menurut
Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, dapat untuk mengkhususkan diri
untuk melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar
kepada kegiatan tertentu.

Bank Perkreditan rakyat, yaitu bank yang dapat menerima simpanan hanya dalam
bentuk deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan
itu pemberian kredit pada hakekatnya melaksanakan secara langsung tugas-tugas
pemerintah yang berkaitan dengan pengembangan sektor ekonomi, untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat menurut pola yamg ditetapkan oleh pemerintah.

7
B. PENERIMA KREDIT (DEBITUR)

Rumusan mengenai penerima kredit diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun


1992, akan tetapi menurut Pasal 8 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, “dalam
pemberian kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan
kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”.
Keyakinan bank tersebut menurut penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 berdasarkan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan
prospek usaha debitur.

Berkenaan dengan hal tersebut pengaturan tentang debitur tidak diatur secara tegas
siapa saja yang dapat menjadi debitur, akan tetapi hanya disebutkan bahwa debitur
adalah orang yang mendapat fasilitas dari pihak kreditur (bank) berupa kredit dengan
kewajiban mengembalikan pada waktu yang telah disepakati. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa debitur adalah perseorangan atau badan usaha yang mendapatkan
kredit dan wajib mengembalikan setelah jangka waktu yang telah ditentukan.

E. ISI PERJANJIAN KREDIT

Isi dari Perjanjian Pemberian Kredit Setiap kredit yang telah disepakati oleh
pemberi kredit (Kreditor) dan penerima kredit (Debitor) maka wajib dituangkan dalam
bentuk perjanjian yaitu perjanjian kredit. Perjanjian itu sendir diatur dalam Pasal 1313
KUHPerdata. Perjanjian kredit sendiri berakar pada perjanjian pinjam meminjam
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata. Perjanjian kredit antara Bank
dengan nasabah Debitor merupakan perjanjian pokok, dan sebagaimana perjanjian pada
umumnya harus memenuhi syarat umum yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata,
yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.

Dalam praktek perbankan setiap pemberian kredit bank Wajib menggunakan


akad kredit secara tertulis sebagai alat bukti. Biasanya perjanjian tersebut berbentuk
baku atau standart, yaitu perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh Bank,
sedangkan pihak Debitor hanya menyetujui atau menyepakati isi perjanjian
tersebut. Perjanjian dapat dibuat secara autentik maupun dibawah tangan.
Universitas Sumatera Utara Menurut Undang-Undang Perbankan dalam Pasal 1

8
ayat 12 menyebutkan bahwa arti kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalah
atau pembagian hasil keuntungan.
Dari pengertian diatas diperoleh dapat dimengerti bahwa dalam perjanjian kredit
tersebut berisi tentang unsure-unsur perjanjian, yaitu;
1. Persetujuan dan kesepakatan pinjam meminjam;
2. Adanya kesepakatan antara para pihak yang nama dan identitasnya
disebutkan secara jelas dan tegas dalam perjanjian tersebut. Agar di
kemudian hari tidak terjadi masalah.
3. Antara pihak bank dengan pihak lain;
4. Para pihak dapat berupa bank dengan individu, bank dengan badan hukum
maupun bank dengan bank lainnya.
5. Kewajiban untuk melunasi hutangnya;
6. Adanya kewajiban untuk melunasi hutang yang apabila wanprestasi dapat
menimbulkan akibat hukum secara pidana maupun perdata. Debitor
bertanggung jawab penuh dalam pelunasan hutang.
7. Untuk jangka waktu tertentu;
8. Biasanya dalam suatu perjanjian kredit bank, diberi jangka waktu yang
tertentu. Umumnya 2 tahun, namun jangka waktu tersebut berkaitan erat
dengan jumlah kedit yang dipinjam Universitas Sumatera Utara
9. Adanya bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.
10. Bank memberikan kredit pasti juga dengan adanya keuntungan yang
didapat. Bank menetapkan bunga yang harus dipenuhi oleh si nasabah bank,
yang juga merupakan kewajibannya untuk dilunasi.

Surat permintaan/permohonan kredit tersebut harus mencantumkan tentang alasan


mengajukan permohonn kredit, jumlah kredit yang diperlukan, kesanggupan untuk
membayar kembali utangnya sesuai dengan rencana yang ditetapkam, jaminan yang
disediakan dari keterangan-keterangan lain yang dianggap perlu. Walaupun semua
keterangan telah dipenuhi, akan tetapi hal itu masih dianggap kurang lengkap, sehingga
pihak bank biasanya menyediakan formulir permohonan kredit yang harus diisi oleh
pihak yang membutuhkan kredit. Biasanya daftar isian ini memuat hal-hal yang
menyangkut tentang kondisi si pemohon, untuk dijadikan bahan pertimbangan oleh
bank, umumnya daftar isian tersebut memuat pertanyaan-pertanyaan, sebagai berikut
status hukum si pemohon kredit, keduduan dan kekuasaan si pemohon kredit, apabila ia
mewakili badan hukum, bergerak dalam bidang usaha apa, berapa omset penjualan,
berapa jangka waktu kredit yang direncanakan dan bagaimana bentuk dan nilai
pengikatan jaminan.

9
Menurut Ch. Gatot Wardoyo, beberapa klausul yang selalu dan perlu
dicantumkan dalam setiap perjanjian kredit, yaitu : Surat permohonan kredit atau daftar
isian merupakan dokumen/data pertama bagi bank untuk melangkah leih jauh lagi,
maka pihak bank meminta kepada pemohon kredit agar melengkapi lampiran-lampiran
yang diperlukan,seperti akta otentik, surat jaminan, referensi, neraca laba rugi
perusahaan yang bersangkkutan, feasibility study dan sebagainya. Sehingga lampiran-
lampiran tersebut merupakan bagian mutlak dan tidak dapat dipisahkan dari perumusan
permohonan kredit. Apabila semua keterangan/datanya telah lengkap, maka langkah
selanjutnya adalah menganalisis data tersebut dan melakukan penilaian secara umum
yang kemudian dilanjutkan dengan acara, memeriksa langsung (insection on the spot)
ke perusahaan Debitor, sesudah semua acara dapat diselesaikan, maka langkah
berikutnya adalah melaksanakan pemberian kredit serta pengatusan administrasi. Hal
tersebut diperlukan karena di dalam setiap pemberian kredit harus dibuat suatu
perjanjian tertulis antara pihak bank dengan si pemohon kredit, perjanjian kredit itu
biasanya disebut dengan “perjanjian kredit/akad kredit”

1. Syarat-syarat penarikan kredit pertama kali (predisbursement clause).


Klausul ini menyangkut pembayaran provisi, premi asuransi kredit,
penyerahan barang jaminan dan dokumennya, pelaksanaan pengikatan
barang jaminan tersebut serta pelaksanaan penutupan asuransi barang
jaminan dan asuransi kredit.
2. Klausul mengenai maksimum kredit (amount clause). Klausul ini
merupakan objek dari perjanjian kredit sehingga perubahan kesepakatan
mengenai materi ini menimbulkan konsekwensi diperlukannya
pembuatan perjanjian kredit baru.
3. Klausul mengenai jangka waktu kredit. Klausul ini menyangkut tentang
jangka waktu berlakunya kredit yang disepakati oleh kedua belah pihak
yang biasanya ditentukan oleh bank.
4. Klausul mengenai bunga pinjaman (interest clause). Klausul ini
mengatur tentang bunga dari pinjaman kredit bank yang harus
dibayarkan setiap bulannya oleh Debitor kredit kepada bank.
5. Klausul mengenai barang agunan. Klausul ini membahas mengenai
barangbarang/benda-benda apa saja yang dapat dijadikan agunan.
Biasanya jumlah agunan harus jauh lebih besar dari jumlah kredit yang
diminta oleh Debitor. Hal ini dilakukan untuk menjamin bank apabila
terjadinya penurunan harga barang agunan.
6. Klausul asuransi (insurance clause). Klausul ini memberikan perlindugan
terhadap barang agunan yang dijadikan jaminan oleh Debitor. Segala
kerusakan dan kelalaian merupakan tanggung jawab si Debitor.

10
7. Klausul mengenai tindakan yang dilarang oleh bank (negative clause).
Universitas Sumatera Utara
8. Trigger clause atau Opeisbaar Clause. Klausul ini mengatur hak bank
untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak walaupun jangka
waktu perjanjian kredit tersebut belum berakhir. Klausul ini memat hal-
hal mengenai hilangnya kewenangan bertindak atau kehilangan hak bagi
Debitor untuk mengatur harta kekayaannya, barang jaminan serta
kelalaian Debitor untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam perjanjian
kredit/pengakuan utang, sehingga Debitor harus membayar secara
seketika dan sekaligus lunas.
9. Klausul mengenai denda (penalty clause). Klausul ini berisi tentang
jumlah denda yang wajib dibayarkan oleh si Debitor apabila terjadi
keterlambatan pembayaran bunga kredit setiap bulannya.
10. Expence Clause. Klausul ini mengatur mengenai beban biaya dan ongkos
yang timbul sebagai akibat pemberian kredit, yang biasanya dibebankan
kepada Debitor antara lain biaya pengikatan jaminan, pembuatan akta
dan penagihan kredit.
11. Debet Authorization Clause. Klausul ini berisi pendebetan rekening
pinjaman Debitor haruslah dengan seizin Debitor. Bahwa yang
mempunyai hak untuk mendebet adalah Debitor sendiri atau yang telah
diberi kuasa oleh Debitor yang melalui persetujuan dari bank dengan
memakai lampiran surat kuasa.
12. Representation and Warranties. Klausul ini berisi pernyataan-pernyataan
hal tertentu nasabah debitr mengenai fakta-fakta yang menyangkut status
hukum,keadaan keuangan dan harta kekayaan nasabah Debitor pada
waktu kredit diberikan, yaitu yang menjadi asumsi bagi bank dalam
mengambil keputusan untk memberikan kredit tersebut. Universitas
Sumatera Utara
13. Klausul Financial Cobenants. Klausul yang berisi janji-janji nasabah
Debitor untuk menyampaikan laporan keuangannya kepada bank dan
memelihara posisi keuangannya pada minimal taraf tertentu.
14. Miscellaneous (Pasal-Pasal tambahan). Klausul ini berisi tentang
peraturanperaturan tambahan yang berbeda di setiap bank-nya yang
merupakan salah satu syarat mengajukan kredit pada bank tersebut.
15. Dispute Settlement (Alternatif Dispute Resolution). Klausul ini mengatur
mengenai penyelesaian jika antara Kreditor dan Debitor terjadi
perselisihan. Bagaimana tindakan bank apabila Debitor melakukan
wanprestasi, dimana disebutkan bahwa barang jaminan dikuasai oleh
bank.

11
16. Pasal Penutup, memuat eksemplar perjanjian kredit yang memuat
pengaturan mengenai jumlah alat bukti, tanggal berlakunya serta tanggal
penandatanganan perjanjian kredit.

F. JAMINAN PADA PERJANJIAN KREDIT

Kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko dalam pelaksanaannya.


sehingga, bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Perjanjian
kredit dibuat berdasarkan prinsip Character, Capacity, Capital, Collateral dan
Conditio of Economic yang merupakan unsur penting untuk menganalisa apakah
calon debitur bisa mendapat kredit dari bank atau tidak. Fungsi jaminan ini antara
lain adalah sebagai pengaman apabila di kemudian hari debitur tidak memenuhi
kewajiban-kewajibannya. Berdasarkan Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang mengatur jaminan. Pasal 1131
menyebutkan bahwa segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun
yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian
hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa semua harta kekayaan si


berhutang di jadikan jaminan bagi semua kewajibannya, yang mana hutang tersebut
meliputi :

a. Benda bergerak dan tidak bergerak;

b. Benda yang sudah ada pada saat perjanjian dibuat;

c. Benda yang baru akan ada pada saat perjanjian dibuat.

Selanjutnya Pasal 1132 KUHPerdata menjelaskan bahwa kebendaan tersebut


menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menghutangkan padanya,
pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu
menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para
berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata
merupakan suatu perlindungan kepada kreditur yang bersifat umum yang artinya
bahwa yang dapat dijadikan jaminan adalah semua harta debitur.

12
Menurut Hartono Hadisoeprapto menjelaskan yang dimaksud dengan
jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan
keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan
uang yang timbul dari suatu perikatan. Jadi tujuannya adalah untuk memberikan
keyakinan kepada kreditur bahwa piutangnya akan dikembalikan oleh debitur.

BAB III

KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa pengertian perjanjian secara umum adalah
suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang
itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itulah maka timbul
suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian Kredit
adalah perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang.Perjanjian pendahuluan ini
merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai
hubungan-hubungan hukum antar keduanya. Isi dari Perjanjian Pemberian Kredit Setiap
kredit yang telah disepakati oleh pemberi kredit (Kreditor) dan penerima kredit
(Debitor) maka wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian yaitu perjanjian kredit. Kredit
yang diberikan oleh bank mengandung risiko dalam pelaksanaannya. sehingga, bank
harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Perjanjian kredit dibuat
berdasarkan prinsip Character, Capacity, Capital, Collateral dan Conditio of
Economic yang merupakan unsur penting untuk menganalisa apakah calon debitur bisa
mendapat kredit dari bank atau tidak. Fungsi jaminan ini antara lain adalah sebagai
pengaman apabila di kemudian hari debitur tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya

13
DAFTAR PUSTAKA

Mudrajat Kuncoro dan Suhardjono, (2010), Manajemen Perbankan, Teori Dan


Aplikasi, Edisi Kedua, Yogyakarta, Penerbit: BPFE Yogyakarta.
Kasmir, (2012), Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta, Penerbit: PT Raja Grafindo Persada.
Malayu S. P. Hasibuan, (2008), Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta, Penerbit: PT. Bumi
Aksara,
Maryanto Supriyono, (2011), Buku Pintar Perbankan, Yogyakarta, Penerbit: Andi
Yogyakarta.
R. Subekti dan R. Tjitrosubdibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata . Jakarta:
Pradnya Paramita.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah


dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

14

Anda mungkin juga menyukai