Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ASBABUL NUZUL

Disusun guna untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah

TEORI DAN METODOLOGI STUDI AL QUR’AN

Dosen pengampu Prof. Dr. H. BUDIHARJO

Disusun oleh :

SUGIYANTO

M1.11.021

PROGRAM PASCA SARJANA

PROGRAM STUDY PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAM ISLAM NEGERI (STAIN)

SALATIGA

2 0 11
TURUNNYA AL QURAN

I. Pendahuluan

Ayat-ayat dan surat-surat Al-Quran tidak diturunkan menurut urutan yang kita baca

dalam Al-Quran sekarang ini, yakni pertama surat al-Fatihah, kemudian al-Baqarah, Ali

Imran, an-Nisa' dan seterusnya. Al Qur’an diturunkan sesuai dengan tugas kenabian

Rasulullah. Hal ini dapat dibuktikan dengan bukti-bukti sejarah tentang hal itu dan

kandungan ayat-ayat Al-Quran sendiri memberi kesaksian tentang hal tersebut. Di dalam Al

Qur’an yang seperti kit abaca sekarang ini, sebagian surat dan ayat yang berkenaan dengan

masalah-masalah yang terjadi pada awal masa kenabian, ternyata terletak di bagian akhir Al-

Quran, seperti surat al-'Alaq dan al-Qalam. Dan surat atau ayat yang berkenaan dengan

masalah- masalah pada masa sesudah hijrah dan akhir masa Nabi s.a.w., ternyata terletak di

awal Al-Quran, seperti surat-surat al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa', al-Anfal dan at-Taubah.

Al Quran merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw

sebagai pedoman hidup bagi umat Islam. Selain Al Qur’an, Allah juga menurunkan wahyu

kepada nabi-nabi lain seperti kepada nabi Musa yang terhimpiun dalam kitab Taurat, kepada

nabi Daud dalam kitab Zabur, dan kepada nabi Isa dalam kitab Injil.

Al Qur’an akan menjadi pedoman hidup apabila dipahami dan dilaksanakan isi

kandungannya. Salah satu syarat memahami isi kandungan Al Qur’an aadalah dengan

mengetahui hal-hal yang berkenaan dengan turunnya ayat yang bersangkutan.

II. Rumusan masalah

1. Cara Al Qu’an diturunkan.

2. Hikmah Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur.

3. Pedoman ahli tafsir menghadapi riwayat turunnya Al Qur’an.

III. Pembahasan masalah

A. Cara wahyu diturunkan.


Penurunan wahyu kepada para nabi melalui beberapa cara, yaitu :

1. Tanpa perantara

Artinya bahwa nabi menerima wahyu secara langsung dari Allah SWT. Cara

yang dilalui nabi menerima wahyu tanpa perantara adalah :

a. Mimpi yang benar dalam tidur

Sebelum Rosulullah menerima wahyu surat Al ‘Alaq, beliau menerima

wahyu melalui mimpi yang benar ketika tidur. Sejak menerima wahyu ini

Rasulullah rajin berkhalwat di gua Hira’ sampai menerima wahyu surat Al

‘Alaq 1-5. Sebagaimana matan hadits dari Aisyah Ummul Mukminin r.a,

yang artinya:

“Dari Aisyah Ummul Mukminin r.a. bahwa ia berkata, “Pertama


turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW secara mimpi yang benar waktu
beliau tidur. Biasanya mimpi itu terlihat jelas oleh beliau, seperti jelasnya
cuaca pagi. Semenjak itu hati beliau tertarik untuk mengasingkan diri ke
Gua Hira”.

b. Dari balik tabir

Berdasarkan Al Qur’an Surat As Syu’ara ayat 51, Allah SWT berfirman:

ً‫س ْوال‬
ُ ‫ب اَ ْو ي ُْر ِس َل َر‬
ٍ ‫ائ ِح َجا‬ ‫َوما َ َكاَنَ ِل َبش ٍَر ا َ ْن يُ َك ِله َمهُ ه‬
ِ ‫ّللاُ اِالَّ َو ْحيًا اَ ْو ِم ْن َو َر‬
‫ي َح ِكيْم‬ َ ُ‫فَي ُْو ِحي ِب ِا ْذ ِن ِه ما َ َيشا َ ُء اِنَّه‬
ُّ ‫ع ِل‬
Artinya : “dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-
kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di
belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan
(malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizing-Nya apa
yang dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha
Bijaksana”.
2. Dengan perantaraan malaikat Jibril

Keterlibatan malaikat Allah dalam proses pewahyuan dapat dilihat dalam Al

Qur’an Surat As Syu’ara ayat 51. Allah berfirman :

ً‫س ْوال‬
ُ ‫ب اَ ْو ي ُْر ِس َل َر‬
ٍ ‫ائ ِح َجا‬ ‫َوما َ َكاَنَ ِلبَش ٍَر ا َ ْن يُ َك ِله َمهُ ه‬
ِ ‫ّللاُ اِالَّ َو ْحيًا اَ ْو ِم ْن َو َر‬
‫ي َح ِكيْم‬ َ ُ‫فَي ُْو ِحي ِب ِا ْذنِ ِه ما َ َيشا َ ُء اِنَّه‬
ُّ ‫ع ِل‬
Artinya : “dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-
kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di
belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan
(malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizing-Nya apa
yang dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha
Bijaksana”.

Malaikat Jibril ketika menyampaiakn wahyu kepada nabi Muhammad saw

dengan menempuh cara-cara:

a. Seperti bunyi lonceng

‫ث بْنَ ِهش ٍَام رضى هللا‬ َ ‫ار‬ ِ ‫ أ َ َّن ْال َح‬- ‫ رضى هللا عنها‬- َ‫شةَ أ ُ ِ هم ْال ُمؤْ ِمنِين‬ َ ِ‫عائ‬ َ ‫ع ْن‬ َ
‫ّللاِ صلى هللا عليه‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫سأ َل َر‬َ َ - ‫يك فَقَا َل عنه‬ ْ
َ ‫ْف َيأ ِت‬ َ ‫ّللاِ َكي‬َّ ‫سو َل‬ ُ ‫وسلم َيا َر‬
‫ « أ َ ْحيَانًا يَأْتِينِى ِمثْ َل‬- ‫ّللاِ صلى هللا عليه وسلم‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ى فَقَا َل َر‬ ُ ‫ْال َو ْح‬
، ‫ع ْنهُ َما قَا َل‬ َ ُ‫ع ِنهى َوقَ ْد َو َعيْت‬ َ ‫ص ُم‬ َ ‫ فَيُ ْف‬- ‫ى‬ َّ َ‫عل‬
َ ُ‫شدُّه‬ َ َ‫ َو ُه َو أ‬- ‫صلَ ِة ْال َج َر ِس‬ َ ‫ص ْل‬
َ
ُ ‫شة‬َ ِ‫عائ‬ َ ‫ت‬ َ ‫ه‬ ً
ْ َ‫ قَال‬. » ‫ى ال َملَكُ َر ُجال فَيُ َك ِل ُمنِى فَأ ِعى َما يَقُو ُل‬ ْ َ ‫َوأ َ ْحيَانًا َيت َ َمث ُل ِل‬
َّ
، ‫شدِي ِد ْالبَ ْر ِد‬ َّ ‫ى ِفى ْاليَ ْو ِم ال‬ ُ ‫علَ ْي ِه ْال َو ْح‬
َ ‫رضى هللا عنها َولَقَ ْد َرأ َ ْيتُهُ يَ ْن ِز ُل‬
‫ع َرقًا‬ َ ُ ‫صد‬ َّ َ‫ع ْنهُ َو ِإ َّن َج ِبينَهُ لَ َيتَف‬ َ ‫ص ُم‬ ِ ‫فَ َي ْف‬
Artinya : Dari Aisyah Ummul Mukminin r.a. bahwa Harits bin Hisyam r.a.
bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, "Ya Rasulullah,
bagaimana caranya wahyu turun kepada Anda?" Rasulullah
menjawab, "kadang-kadang wahyu itu datang kepadaku seperti
bunyi lonceng. Itulah yang sangat berat bagiku. Setelah bunyi itu
berhenti, aku baru mengerti apa yang disampaikannya. Kadang
kadang malaikat menjelma seperti seorang laki-laki
menyampaikan kepadaku dan aku mengerti apa yang
disampaikannya," Aisyah berkata, "Aku pernah melihat Nabi
ketika turunnya wahyu kepadanya pada suatu hari yang amat
dingin. Setelah wahyu itu berhenti turun, kelihatan dahi Nabi
bersimpah peluh."

b. Malaikat jibril datang menyerupai orang laki-laki

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah ditanya tentang tata cara turun

wahyu, maka beliau menjawab:

‫ى ْال َملَكُ َر ُجالً فَيُ َك ِله ُمنِى فَأ َ ِعى َما يَقُو ُل‬
َ ‫َوأ َ ْحيَانًا َيت َ َمث َّ ُل ِل‬
”Dan terkadang Malaikat menjelma kepadaku sebagai seorang laki-laki,
lalu ia berbicara kepadaku dan kemudian aku memahami apa yang dia
katakan.”

c. Malaikat datang sesuai dengan bentuk aslinya

‫َولَقَ ْد َرا َءهُ ن َْزلَةً ا ُ ْخ َرى ِع ْندَ ِسد َْرةِ ْال ُم ْنتَ َهى‬
Artinya : “dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam
rupanya yang asli) pada waktu yang lain. (yaitu) di sidrotul
muntaha”.

B. Hikmah Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur.

Hikmah dalam hal ini adalah pada hikmah diturunkannya Al Qur’an secara

berturut-turut kepada nabi Muhammad, karena terdapat pendapat bahwa sebelum

turun kepada Rasulullah, Al Qur’an mengalami beberapa tahap turun sebelum

sampai kepada Rasulullah saw. Adapun tahap turunnya Al Qur’an adalah sebagai

berikut:

1. Tahap pertama, Al-Qur’an berada di Lauh Mahfuzh, sebagaimana firman

Allah dalam Q.S. Al-Buruuj: 21-22

ٍ‫بَ ْل ُه َوقُ ْرءاَن َم ِجيد ِفى لَ ْوحٍ َم ْحفُوظ‬


Artinya : Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur'an yang mulia.
yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.”

Ketika Al-Qur’an berada di Lauh Mahfuzh tidak diketahui bagaimana

keadaannya, kecuali Allah yang mengetahuinya, karena waktu itu Al-Qur’an

berada di alam ghaib. Turunnya Al Qur’an di lauh mahfuzd secara

keseluruhan (jumlatan wahidatan)

2. Tahap kedua, dari lauh Mahfuzh Al Qur’an diturunkan ke langit bumi (Baitul

‘Izzah) juga secara keseluruhan. Waktu penurunan pada malam bulan

Ramadlon yang disebut malam kemulyaan (lailatul Qodr). Kapan malam

kemulyaan itu tidak ada yang mengetahui kecuali hanya Allah yang

mengetahui. Dasar yang digunakan pada tahapan ini oleh pendapat pertama

adalah:

a. Hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim dengan sanadnya sendiri, dari


Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas ia mengatakan :
‫فصل القُ ْران ِمن الذكر فو ضع فى بيت العزة من السماء الدنيا نجعل جبريل‬
‫ينزبه على النبى صلى هللا عليه وسلم‬
Artinya : “Al-Qur’an dipisahkan (dibedakan) dari al-dzikir, mula-mula
diletakkan (diturunkan) ke bait al-Izza yang berada di langit
dunia, kemudian Jibril membawanya (menyampaikannya)
kepada Nabi saw.

b. Hadits Nabi yang diriwayatkan al-Hakim dari Baihaqi serta lainnya dari

jalur Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas ra, bahwa ia berkata :

ُ‫النجوم وكان هللا‬


ِ ِ ‫القرأن جملةً واحدة ً إلى الس َم‬
ِ‫اء الدنيا وكانَ بمواقع‬ ُ ‫أنزل‬
. ‫بعض‬
ٍ ‫يُنزله ُ على رسوله صلى هللا عليه وسل هم بعضه فى إثر‬
Artinya : “Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus ke langit dunia,,
sebelumnya (Al Qur’an) berada “di tempat” bintang-bintang,
kemudian Allah menurunkan kepada Rasul-Nya bagian demi
bagian.

Selain dari hadits di atas, pendapat ini juga mengambil beberapa ayat Al

Qur’an, sebagai dasar pendapatnya bahwa Al Qur’an diturunkan sekaligus dari

lauhul mahfudz ke langit bumi. Keseluruhan Al qur’an yang diturunkan dari

lauh mahfudz ke langit dunia terjadi pada suatu malam yang disebut malam

kemulyaan (Lailatul Qodr) dalam bulan Ramadlon. Beberapa ayat dalam Al

Qur’an yang dijadikan dasar, yaitu :

a. Q.S. Al Qodar : 1
‫إِنَّا أ َ ْنزَ ْلنَاهُ فِي لَ ْيلَ ِة ْالقَد ِْر‬
Artinya : “ Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an pada malam
kemulyaan “

b. Q.S. Al-Dhukhan : 3
َ ‫ِإنَّا أ َ ْنزَ ْلنَاهُ ِفي لَ ْيلَ ٍة ُم َب‬
َ‫ار َك ٍة ِإنَّا ُكنَّا ُم ْنذ ِِرين‬
Artinya : “ Sesumgguhmya Kami menurunkan ( Al-Qur’an ) pada malam
yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi
peringatan “

c. Q.S. Al-Baqoroh : 185


ِ َ‫ت ِمنَ ْال ُهدَى َو ْالفُ ْرق‬
‫ان‬ ٍ ‫اس َو َبيِهنَا‬ ُ ‫ضانَ الَّذِي أ ُ ْن ِز َل فِي ِه ْالقُ ْر َء‬
ِ َّ‫ان ُهدًى ِللن‬ َ ‫ش ْه ُر َر َم‬
َ
Artinya : “ Bulan Ramadhan bulan yang didalmnya diturunkan Al-Qur’an
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan yang bathil “
3. Tahap ketiga, Al-Qur’an diturunkan dari Baitul-‘Izzah kepada Nabi

Muhammad SAW. Al Qur’an diturunkan dari baitul izzah kepada nabi

Muhammad secara berangsur-angsur, sesuai dengan kebutuhan tuntutan

kenabian. Dasar yang dipakai pada tahapan ini adalah Firman Allah dalam

surat al Isro’: 106

ُ‫ث َون ََّز ْلناَه‬


ٍ ‫علَى ُم ْك‬
َ ‫لى ا لنَّاس‬
َ ‫ع‬َ ُ‫َوقُ ْرانًا فَ َر ْقناهُ ِلت َ ْق َراَه‬
Artinya : “ Dan Al Qur’an itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur
agar kamu membacakan perlahan-lahan kepada manusia dan kami
menurunkannya bagian demi bagian“

Firman Allah yang lain dalam Surat Al furqon 32-33

ُ‫ت ِب ِه فُ َؤادَك َو َرت َّ ْلنَاه‬ ِ ‫ان ُج ْملةً َو‬


َ ‫احدَة ً َكذَ ِل َك ِلنُثَ ِبه‬ َ ‫َوقا َ َل الَّ ِذيْنَ َكفَ ُروا َل ْوالَنُ ِ هز َل‬
ُ ‫علَ ْي ِه القُ ْر‬
ً‫ت َ ْر ِت ْيال‬
Artinya : “ Berkatalah orang-orang kafir “Mengapa Al Qur’an itu tidak
diturunksn kepadanya sekali turun saja?”, Demikianlah supaya
Kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacakannya secara
tartil (teratur dan benar)

Diantara hikmah diturunkannya Al Qur’an kepada nabi Muhammad saw

secara berangsur-angsur adalah :

a. Menguatkan dan meneguhkan hati Raulullah SAW, dalam rangka

menyampaikan dakwahnya dalam menghadapi celaan orang-orang musyrik.

Sebagaimana Al-Qur’an Surat : Al-Furqan : 32

ِ ‫علَ ْي ِه ا ْلقُ ْر َءا ُن ُج ْملَةً َو‬


‫اح َدةً َكذَ ِلكَ ِلنُث َ ِِّبتَ بِ ِه‬ َ ‫َوقَا َل الَّذ‬
َ ‫ِين َكفَ ُروا لَ ْوالَ نُ ِ ِّز َل‬
( 32 : ‫فُؤَادَكَ َو َرت َّ ْلنَاهُ ت َ ْرتِيلً ) الفرقان‬
Artinya : “Berkatalah orang-orang kafir:”Mengapa al-Qur’an itu tidak
diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya
Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya
secara tartil (teratur dan benar). (QS.Al-Furqan / 25:32)
b. Mempermudah hafalan dan pemahaman, karena Al-Qur’an diturunkan

ditengah-tengah umat yang ummi dan yang tidak pandai membaca dan

menulis. Sebagaiman Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-

Qamar : 17.
(22 : ‫ان ِلل ِذِّك ِْر فَ َه ْل ِمن ُّم َّد ِك ٍر ) القمر‬
َ ‫س ْرنَا ا ْلقُ ْر َء‬
َّ َ‫َولَقَ ْد ي‬
Artinya : “dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk
pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaan?”.al-
Qomar : 22)
c. Dengan cara ini, turunya ayat sesuai dengan peristiwa yang terjadi akan

lebih berkesan dihati, karena segala persoalan dapat ditanyakan langsung

kepada Nabi SAW, seperti yang terjadi, dan Al-Qur’an langsung

menjawabnya, dalam persoalan istri su’ad bin Rabi’ yang datang kepada

Rasulullah.

d. Bukti yang pasti ( mu’jizat ) bahwa Al-Qur’an adalah dari sisi Allah SWT

Yang Maha bijaksana dan Maha Terpuji. Ketika terjadi pengingkaran

terhadap Al-Qur’an itu, maka Allah untuk mendatangkan yang serupa

dengannya, maka sekali lagi Allah menegasakan tidak akan bisa

sebagaimana Allah SWT berfirman : QS. Al-Isra’ : 88, QS. Hud : 13, QS.

Al-Baqarah : 23.

e. Supaya orang-orang mukmin antusias dalam menerima Qur'an dan giat

mengamalkannya.

f. Mengiringi kejadian-kejadian di masyarakat dan bertahap dalam menetapkan

suatu hukum.

C. Beberapa Riwayat Mengenai Sebab Nuzul

Terkadang terdapat banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat, jika terjadi

demikian maka jalan yang ditempuh mufasir sebagai berikut :

1. Apabila bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti: “Ayat ini turun

mengenai urusan ini”, atau ”aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini”,

maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi diantara riwayat-riwayat itu, sebab

meksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal


itu termasuk kedalam makna ayat dan disimpulkan darinya. Bukan

menyebutkan sebab nuzul.

2. Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya “Ayat ini

turun mengenai urusan ini”, sedang riwayat yang lain menyebutkan sebab

nuzul dengan tegas, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang

menyebutkan sebab nuzul secara tegas, dan riwayat yang lain dipandang

termasuk didalam hukum ayat. Contoh tentang hal ini ialah riwayat tentang

sebab nuzul firman Allah: “Isteri-isterimu adalah tanah tempat kamu bercocok

tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja

kamu kehendaki”. ( al-Baqarah : 223)

Dari Nafi disebutkan : “ Pada suatu hari aku membaca (isteri-isterimu adalah
ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam), maka kata Ibn Umar: “Tahukah
engkau mengenai apa ayat ini turun ?” Aku menjawab : “Tidak”. Ia berkata :
“Ayat ini turun mengenai persoalan mendatangi isteri dari belakang”.

Bentuk redaksi riwayat dari Ibn Umar tidak dengan tegas menunujukkan

sebab nuzul. Sementara itu terdapat riwayat lain yang secara tegas

menyebutkan sebab nuzul ayat di atas.

Melalui Jabir dikatakan; Orang-orang yahudi berkata: “ Apa bila seorang laki-
laki mendatangi isterinya dari belakang, maka anaknya nanti akan bermata
juling, maka turunlah ayat: “isteri-isterimu itu adalah ibarat tanah kamu
bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat kamu bercocok tanammu itu
sebagaiman saja kamu kehendaki”. (al-Baqarah : 223).

Riwayat melalui Jabir ini tegas menyatakan sebab turunnya ayat tersebut,

maka riwayat inilah yang dijadikan pegangan, karena ucapannya merupakan

pernyataan tegas tentang sebab nuzul. Sedang ucapan Ibn Umar, tidaklah

demikian, karena itulah ia dipandang sebagai kesimpulan atau penafsiran.

3. Apa bila riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, sedang

salah satu riwayat diantaranya itu sahih, maka yang menjadi pegangan adalah
riwayat yang sahih. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim

dan ahli hadis lainnya.

Dari Jundub al-Bajali : Nabi menderita sakit hingga dua atau tiga malam, tidak
bangun malam. Kemudian datanglah seorang perempuan kepadanya dan
berkata: “Muhammad, kurasa setanmu sudah meninggalkanmu, selama dua
tiga malam ini, sudah tidak mendekatimu lagi”. Maka Allah menurunkan
firman ini “Demi waktu Dhuha, dan demi malam apa bila telah sunyi;
Tuhanmu tiada meninggalkanmu dan tidak benci kepadamu”.

Sementara itu Tabarani dan Ibn Syaibah meriwayatkan:

dari Hafs bin Maisarah, dari ibunya, dari budak perempuannya pembantu
Rasulullah : “Bahwa seekor anak anjing telah masuk kedalam rumah Nabi,
lalu masuk kekolong tempat tidur dan mati. Karenanya selama empat hari
tidak turun wahyu kepadanya. Nabi berkata ; “Khaulah apa yang telah terjadi
diruamah Rasulullah ini ? sehingga jibril tidak datang kepadaku!”. Dalam hati
aku berkata: “Alangkah baiknya andai kata aku membenahi rumah ini dan
menyapunya”. Lalu aku menyapu kolong tempat tidurnya, maka kukeluarkan
seekor anak anjing. Lalu datanglah Nabi sedang janggutnya bergetar. Apabila
turun wahyu kepadanya ia tergetar. Maka Allah menurunkan “Demi waktu
Dhuha, dan demi malam apa bila telah sunyi; Tuhanmu tiada meninggalkanmu
dan tidak benci kepadamu”.

Menurut Ibn Hajar dalam syarah Bukhari, dalam isnad hadits terlambatnya

Jibril karena adanya anjing terdapat orang yang tidak dikenal, walaupun

masyhur. Maka hadits yang pertama yang lebih shahih dan digunakan sebagai

pedoman turunnya ayat.

4. Apabila riwayat-riwayat itu sama-sama sahih namun terdapat segi yang

memperkuat salah satunya, Seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut.

Atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih sahih. Maka riwayat yang lebih

kuat itulah yang didahulukan. Contohnya ialah sebab turunnya Q.S al-Israa:

85. Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibn Mas’ud yang mengatakan:

“Aku berjalan dengan Nabi di Madinah, ia berpegang pada tongkat dari pohon
kurma, dan ketika melewati serombongan orang-orang yahudi, seseorang
diantara mereka berkata: coba kamu tanyakan sesuatu kepadanya, lalu mereka
menanyakan: ceritaka kepada kami tentang roh. Nabi berdiri sejenak dan
mengangkat kepala. Aku tahu bahwa wahyu telah turun kepadanya, wahyu itu
turun hingga selesai. Kemudian ia berkata: “Dan mereka bertanya kepadamu
tentang roh”, Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah
kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. ( al-Israa: 85 ).
Sementaa hadits yang diriwayatkan dan disahihkan oleh Tirmizi, dari Ibn

Abbas yang mengatakan:

“Orang Quraisy berkata kepada orang yahudi; berilah kami suatu persoalan
untuk kami tanyakan kepada orang ini ( Muhammad ). mereka menjawab:
Tanyakan kepadanya tentang roh. Lalu mereka tanyakan kepada Nabi. Maka
Allah menurunkan: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh”,
Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit”. ( al-Israa: 85 ).

Riwayat pertama dikukuhkan oleh kehadiran Ibn Mas’ud dalam atau

menyaksikan kisah tersebut, maka riwayat yang pertama yang digunakan

sebagai dasar asbaun nuzzul dari ayat di atas.

5. Apabila riwayat-riwayat tersebut sama kuat dan tidak dapat dicari mana yang

lebih kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan.

Sehingga dapat dinyatkan bahwa ayat tersebut turun sesudah terjadi dua buah

sebab atau lebih karena jarak waktu diantara sebab-sebab itu berdekatan.

Misalnya, ayat orang yang menuduh isterinya berbuat zina (an-nur 6-9).

Bukhari Tirmizi dan Ibn Majah meriwayatkan, dari Ibn Abbas bahwa ayat

tersebut turun mengenai Hilal bin Umayah yang menuduh isterinya telah

berbuat serong dengan Suraik bin Sahma.

Riwayat lain yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan yang lain, dari Sahl

bin Sa’ad; Uwaimir datang kepada Asim bin Adi lalu berkata: “Tanyakan

kepada Rasulullah SAW tentang laki-laki yang mendapatkan isterinya dengan

laki-laki lain; apakah ia harus membunuhnya sehingga ia diqisas atau apakah

yang harus ia lakukan?`

kedua riwayat ini bisa dipadukan, yaitu ketika peristiwa Hilal terjadi labih

dahulu, dan kebetulan pula Uwaimir mengalami kejadian serupa, maka turun
ayat yang berkenaan dengan urusan kedua orang itu sesudah terjadi dua

peristiwa tersebut.

6. Bila riwayat-riwayat itu tidak bisa dikompromikan karena jarak waktu antara

sebab yang satu dengan sebab yang lain berjauhan, maka hal yang demikian

dipandang sebagai banyak atau berulangnya nuzul. Misalnya apa yang

diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dan al-Musayyab; ia berkata:

“Ketika Abu Thalib dalam keadaan sekarat, Rasulullah SAW menemuinya.


Dan disebelahnya ( Abu Thalib ) ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abu
Umayah. Maka kata Nabi: “ Pamanda, ucapkanlah lailahaillallah. Karena
dengan kalimat itu aku kelak aku dapat memintakan keringanan bagi paman
disisi Allah. Abu jahal dan Abdullah berkata “Abu Thalib apakah engkau
sudah tidak menyukai agama Abdul Muthalib?” kedua orang itu terus
berbicara kepada Abu Thalib sehingga masing-masing mangatakan bahwa ia
tetap dalam agama Abdul Muthalib. Maka kata Nabi: “Aku akan tetap
memintakan ampunan bagimu selama aku tidak dilarang berbuat demikian”.
Maka turunlah ayat: Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang yang beriman
memintakan ampun kepada Allah bagi orang musyrik”.( at-Taubah: 113 ).

Sementara Tirmizi meriwayatkan dari Ali yang mengatakan :

“aku mendengar seorang laki-laki meminta ampunan untuk kedua orang


tuanya, sedang keduanya itu musyrik. Lalu aku katakan kepadanya: “Apakah
engkau memintakan ampunan untuk kedua orang tuamu, sedang mereka itu
musyrik? ia menjawab: “Ibrahim telah memintakan ampunan untuk ayahnya,
sedang ayahnya juga musyrik”, lalu aku menceritakan hal itu kepada
Rasulullah SAW , maka turunlah ayat tadi”

Hakim dan yang lain juga meriwayatkan sebab turunnya ayat ini, dari Ibn

Mas’ud, yang mengatakan:

“Pada suatu hari Rasulullah SAW pergi kekuburan, lalu duduk didekat salah
satu makam. Ia bermunajat cukup lama, lalu menangis. Katanya: “Makam ini
dimana aku duduk disisihnya adalah makam ibuku, aku telah meminta izin
kepada Tuhanku untuk mendoakannya, tetapi Dia tidak mengizinkan, lalu
diturunkan wahyu kepadaku “Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang yang
beriman memintakn ampun kepada Allah bagi orang musyrik”.

Riwayat-riwayat ini dapat dikompromikan dengan berulang kalinya nuzul

maksudnya bahwa ayat itu Qur’an surat at-Taubah: 113 diturunkan berulang

kali.
IV. Kesimpulan

Al Qur’an merupakan pedoman hidup khusunya bagi muslim. Pemahaman

terhadap isi Al Qur’an menjadi penting agar dapat mengejawantahkan isi kandungan

Al Qur’an. Tidak mungkin seorang muslim dapat mempedomani Al Quar’an tanpa

mengetahui isi kandungannya. Dari sini maka pengetahuan tentang asbabun nuzul

sangat dibutuhkan untuk membantu memahami isi kandungan Al Qur’an.

Daftar pustaka

1. Manna’ul Qothon Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, Mana’ul Kholilul Qothon,

Mansyurotul ‘Ashril Hadits

2. Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al Qur’an,

K.H. Shaleh. H.AA Dahlan dll. Edisi 2 CV Penerbit Diponegoro, 2006

3. Drs. Usman, M.Ag Ulumul Qur’an, Sukses offset, 2009

4. Sejarah dan Pengantar Ilmu Qur’an dan Tafsir, Tengku Muhammad Hasby

Ash-Shidiqi

5. Pengantar Ulumul Qur’an Dr. Rosihon Anwar, M.Ag

Anda mungkin juga menyukai