Anda di halaman 1dari 6

ISNAD

Tampaknya isnad telah dipakai sebelum Islam untuk menukil beberapa buku, atau
beberapa informasi (sebagai) metode yang serupa dengan isnad pada batasan-batasan
tertentu, akan tetapi tanpa memberikan ayat yang penting. Contoh dari hal itu kita dapatkan
dalam kitab Yahudi “MISHNA” misalnya

Dan tampaknya, bahwa isnad telah dipergunakan juga dalam menukil syair jahiliyyah
dalam batas-batas tertentu tetapi urgensinya (telah) muncul dalam menukil hadits-hadits Nabi
saja. Dan telah sampai pada akhirnya, hingga Ibnu Mubarok berkata “Isnad itu bagian dari
agama”

Metode dalam penukilan hadits-hadits Nabi ini telah bisa diambil manfaat yang
sempurna, dan hal ini sangat natural/alami, karena sunnah Nabi merupakan sumber kedua
dari syariatIslam. Untuk itu haruslah ada pengetahuan dan penelitian mendalam dalam
menukil dan menerimanya, bagaimanapu itu. Dalam memsukkan isnad dalam penukilan
hadits-hadits Nabi muncul ilmu baru yang tidak ada contoh sebelum atau sesudahnya, yaitu
“ilmu cacat dan koreksi”/ilmu tentang cacat dan pembetulan hadits. Dan ilmu itu untuk
meluruskan para perowi dan selanjutnya meluruskan hadits-hadits yang datang dari jalur
perowi tersebut.

Permulaan Isnad Hadits

Telah kita lihat pada bab V, bahwa diantara kebiasaan para syahabat adalah
meriwayatkan hadits-hadits Nabi ketika beliau SAW masih hidup. Dan kebiasaan mereka,
seorang saksi menyampaikan yang tidak hadir dan mereka sewaktu menyebutkan sesuatu
yang mereka dengar dari Nabi atau melihat beliau SAW melakukannya, mereka
menyandarkan perkataan dan perbuatan mereka kepadda Nabi SAW. Bahkan kadang-kadang
Nabi menyandarkan sabda beliau kepada Jibril as. Para sahabat menyendarkan perkataan
kepada yang mengatannya, baik itu kepada nabi atau sahabat yang lain. Dan pada dasarnya
jika seoang perowi termasuk salah satu dari mereka yang tidak menyaksikan sendiri
peristiwa/kejadian dan tidak mendengar sendiri hadits dari rosul, tetapi hanya mendengar dari
dari orang lain, kemudian menukilkan/tranfer kepada yang lainya, biasanya perowi dalam hal
ini, menyebutkan sumber berita/hadits dan semua ini dalam setiap kejadian harus ada isnad,
buan yang lain. Dan metode ini yang dipakai para sahabat dalam masa nabi yang telah
menghasilkan isnad.

Dan urgensinya yaang diakui pada masa nabi sendiri, akan tetapi sampai akhir abad I
ilmu danad telah sangat diperhitungkan Syu’bah melihat perkataan Qotadah (wafat 117 H).
Jika dia bilang “Bekata kepadaku...” maka ia (Syu’bah) menulisnya. Dan jika dia berkata
“berkata ...” maka ia tidak menulisnya.

Isnad dan orientalis

Para pakar (orientalis) telah berbeda pendapat tentang permulaan penggunaan Isnad
dalam hadits Nabi. Berkata al Amir Kaytani : orang pertama yang mengumpulkan hadits-
hadits adalah Urwah (wafat 94 H) tidak menggunakan isnad, juga tidak menyebutkan sumber
perrkataan itu kecuali Al Quran. Seperti halnya yang jelas dalam nukilan-nukilan at Thobary,
hal itu karena Kaytani yakin bahwa dia ada di masa Abdul Malik (kira-kira 70-80) atau
sesudah lebih dari 60 tahun wafatnya nabi, dia belum dikenel setelah menggunakan isnad
dalam hadits-hadits nabi, atas dasar ini beliau berpendapat mungkin saja dikatakan bahwa
pengguaan isnad dalam hadits-hadits dimulai antara Urwah dan Ibnu Ishaq (151 H), untuk itu
maka bagian yang paling besar dari isnad yang ada dalam buku-buku sunnah haruslah sudah
diteliti/dikoreksi oleh para ahli hadits pada abad ke 2. Bahkan pada abad ke 3 juga.

Snajr (Wenger) mengatakan hal itu : Bahwa tulisan-tulisan Urwah kepada Abdul Malik
tidak ada isnadnya. Jadi apa yang dikaitkan kepada Urwah tentang penggunaan isnad harus
dikatakan sesuatu yang terlambat.

Sedangkan pengutipan-pengutipan pada kitab Urwah, hal itu tidak ada dalam sejara at
Thobari saja tetapi ada di banyak buku dari buku-buku sunnah yang mencakup tulisan-
tulisanyya, yaitu lebih dahulu daripada at Tahobari, sedangkan salah satu jalur yang dipakai
Thobari kita dapati Urwah menyebut sumbernya yaitu Aisyah ra..

Dalam keyakinan saya, bahwa ... merupakan masalah yang paling besar yang kita
hadapi dalam membahas sumber-sumber urwah yaitu tidak adanya teks / karya yang kita
pegang secara bebas dan bahan yang tersedia dari tulisan-tulisan beliau hanyalah kutipan-
kutipan tidak yang lain. Dan kutipan-kutipan ini (sesungguhnya mengikuti tujuan
selera/keinginan pengutip. Dan yang jelas peneliti pada setiap zaman/era mengutip sesuai
dengan yang dibutuhkan dari tulisan-tulisan sebelumnya. Dan karena Urwah telah sangat
maju, sumber-sumbernya berdasar pada sahabat kontemporer atau sahabat yang mempunyai
perhatian dengan masa kini (sahabat yang terlibat pada masa itu sendiri). Oleh karena itu
sering isnad (penyandaran) pada satu orang saja, untuk itu yang paling mudah adalah
menghilangkan nama dari kutipan-kutipan tersebut karena suatu sebab atau yang lain. Dan
kedua, beberapa orang telah meriwayatkan buku urwah, diantaranya : Az Zahry. tatkala kita
merujuk pada riwayat Az Zahry terhadap kitabnya Urwah kita akan dapati beliau
menyebutkan isnad, kadang-kadang satu sanad dan kadang-kadang dua (ganda) dan hal itu
bertolak belakang dengan yang diklaim oleh Kaytani dan Wenger bahwa Urwah tidak
menggunakan isnad.

Dan sebagaian pakar (orientalis) yang mempelajari masalah permulaan isnad adalah
Harovis. Dia menanngapi penilaian Kaytani dan Wenger dengan respon yang berbeda. Dia
menunjuk karyanya/penelitiannya bahwa orang-orang yang menolak penggunaan Urwah
dalam isnad, mereka belum mempelajari tulisan-tulisanya atau isnad-isndanya secara utuh.
Kemudian beliau menunjukan bahwa ada perbedaan antara gaya bahasa (uslub) penulisan.
Tatkala seorang peneliti menulis sebagai respon atas tafsir dan menjelaskannya tatkalaia
menulis untuk sebagian intelektual. Dan terakhir sampai Horovis pada nilai/derajad sebagai
berikutb : yaitu bahwa awal mula isnad dalam hadits berlangsung sampai sepetiga sisa abad
pertama.

Ada seorang peneliti Scotlandia, yaitu prof. Robson yang telah belajar tentang masalah
isnad denga yang lebiih luas, dia berkata “pada pertengahan abad pertama boleh/mungkin
saja orang mengharapkan sesuatu yang mirip denga isnad. Tatkala beberapa sahabat telah
meninggal pada saat itu dan orang-orang yang belum pernah melihat nabi saw mulai
mengisahkan (hadits) darinya, dan wajar saja seseorang yang mendengar menanyakan kepada
mereka tentang sumber-sumber mereka atau informasi-informasi mereka, meski tidak secara
langsung dikarenakan mereka tidak melihat nabi.

Sedang bentuk aturan yang dalam (ketat/rumit) bagi isnad, maka haruslah sedikit demi
sedikit (berangsur-angsur) ... lalu beliau meringkas dan berkata : Kita tidak tahu bahwa Ibnu
Ishaq pada setengah abad ke 2 telah memberikan banyak informasi tanpa isnad, dan sebagian
besar yang tersisa darinya tanpa isnad sempurna dan para pendahulunya mereka malah sedikit
perrhatiannya terhadap isnad, tetapi kita juga tidak bisa mengatakan : susungguhhnya isnad
itu kembali pada masa Az Zahary dan tidak dikenal pada masa Urwah, saat aturan isnad yang
sampai kesempurnaanya memakan waktu yang lama dan tumbuh perlahan mungkin saja akan
dianggap bahwa sebagia isnad kembali yang diharapkan orang

Prof. Syict dan Isnad

Prof. Syict telah mempelajari hadits-hadits fiqh dan perrkembangannya

- Dalam batas keinginan- dan dalam sebuah pendapat, bahwa isnad itu bagian ... dari
hadits, tumbuh dan berkembang pada golongan-golongan yang bermacam-macam, yang
pandangan-pandangannya dikaitkan kepada personil-personil ... dari orang-orang terdahulu.
Robson berkata kaitannya dengan pendapat/pandangan Syict : bahwa kritik-kritik yang
ditujukan pada isnad adalah kritik yang dalam, telah ada hujjah-hujjah yang kuat senagai
penjelas/keterangan bahwa penggunaan isnad adalah sesuatu yang terlambat akan tetapi
orang berkali-kali menerima pendapatnya.

..... Syict telah meneliti berkisar tentang hadits fiqh, dan mungkin pendapatnya lebih
kuat dalam hal ini dari pada pada hal-hal (wilayah) lain dalam hadits karena berubahnya
keadaan dan perkembangan dalam pemikiran UU dan harus menuntut aturan-aturan yang
baru, akan tetapi seseoramg merasa heran bukanlah pengujiannya/test tuntas/bersih.

Pendapat Ibnu Sirin isnad dan pendapat Syict tentang isnad

Schact berkata : telah dinukil dari Tabi’ Ibnu Sirin bahwa penelitian dalam isnad dan
pertanyaan tentang itu dimulai setelah adanya fitnah/makar dimana tidak mungkin lagi
mempertimbangkan orang yang dapat dipercaya tanpa adanya penelitian dan audit. Dan akan
kita lihat bahwa fitnah makar yang dimulai dengan terbunuhnya walid bin Yazid (126 H)
yang dekat dengan akhir masa daulah Umayah yang menjadi istilah sejarah untuk
dipertimbangkan menjadi hari-hari yang indah dulu, masa dimana pada saat itu dikendalikan
oleh sunnah nabi saw, dan sejak tanggal/sejarah kematian/wafatnya Ibnu Sirin yaitu 110 H.
Untuk itu haruslah kita mengambil pelajaran bahwa pengaitan pembicaraan ini kepada Ibnu
Sirin tidaklah benar dan pendapat ini telah dibuang/tidak dipakai. Atas ini semua tidak alasan
untuk menerima bahwa permulaan Isnad terjadi pada awal abad ke 2.

Yang jelas sekarang, setiap perbedatan yang didasarkan pada penafsiran kata
fitnah/makar adalah penafsiran berdasar pada mengikuti hawa nafsu. Dan yang benar hal itu
tidak disebutkan dalam sejarah islam pada tahun 126 H sebagai titik balik, dan akhir hari-hari
yang lalu (masa lalu) yang indah. Dan jika ada masa orang islam mengenali sifat/diskripsi ini
yaitu masa khulafaurrosyidin tidak yang lalin.

Dan dari sisi kedua ada banyak fitnah/makar dalam sejarah islam sebelum ini.
Contohnya fitnah Ibnu Zubair dan juga sebelumnya adalah fitnah antara Ali dan Mu’awiyah.
Fitnah yang pengaruhnya berakibat kepada umat Islam sampai sekarang. Toha Husain
berkata : “Tatkala orang-orang Islam saling menyerang maka kekerasan sreangan itu akan
diketahu oleh sejarah mereka” untuk itu kita mengatakan dengan segala kebaikan harus
menafsiri fitnah ini dengan fitnah terbunuhnya Walid bin Yazid. Dan jikalau seseorang
manafsiri peristiwa-peristiwa tersebut dengan mengikuti hawa nafsu dengan meninggalkan
seluruh fakta-fakta sejarah yang sudah terpapar mungkin saja kita bisa menafsiri fitnah ini
dengan fitnah Hulagu atau Tartar.

Demikian Schact berpendapat (memakai/mengambil) yang terbaru dan menafsirkannya


sesuai yang diharapkan, tidak meenetapkan pandangan-pandangan lain yang bertujuan
menghilangjkan semuanya terhadap fakta-fakta sejarah. Dan tidak diragukan lagi apa-apa
yang menjadi pendapatnya dari tafsir itu bertentangan dengan fakta-fakta sejarah. Adapun
prof Robson dia condong kepada tafsir kata (fitnah) yang telah disebut dalam nas/teks Ibnu
Sirin tentang fitnah Ibnu Zubair untuk menerangi (memperjelas) sejarah kelahiran Ibnu Sirin,
dan bentuk kata fitnah dalam Muatho’, Imam Malik yang menunjukkan fitnah Ibnu Fubair.
Akan tetapi yang terjadi adalah bahwa fitnah yang ditunjuukan dalam teks Ibnu Sirin adalah
fitnah antara Ali dan Muawiyah. Dan inilah dasar sebab-sebab berikut :

Pertama : Prof Robson telah menunjukkan bahwasanya pada pertengahan abad I tatkala
banyak sahabat yang meninggal, dan pada saat itu banyak orang yang belum pernah melihat
nabi mulai memperbincangkannya. Pada waktu itu sangat mungkin ada orang yang bertanya
kepada mereka tentang sumber-sumber hadits. Dan kalau kita selamat dengan kedudukan
nabi dalam islam dan pada orang-orang muslim seperti yang telah digambarkan prof. Robson
kepada kita, yang ia (hal tersebut) sangat jauh dari kebenaran, jika tunduk dengannya
mungkin saja masalah yang disebutkan Robson ini tentang pada penafsiran isnad pada
pertengahan abad I.

Akan tetapi sebelum sampai pada sejarah ini telah berlalu fitnah`yang banyak pada
umat islam pada dekade ke 4 abad pertama.

Kelihatannya peletakan dalam hadits dimulai pertama kali saat dimulainya pada saat itu
di dunia politik untuk menangani masyarakat atau untuk mendapatkan sesuatu dari
masyarakat yang berbeda-beda. Dan dengan mempelajari buku Syaukani dengan tema-tema
kita akan sampai pada nilai-nilai di bawah ini :

42 – hadits bertemakan kekhususan nabi saw

32 – hadits bertemakan kekhususan khulafaur Rasyidin yang tiga

96 – hadits bertemalan Ali dan Fatimah


14 – hadits khusus bertemakan Muawiyah.

Untuk itu tampak nyata bahwa kebanyakan penerapan itu dalam bidang politik dan
mungkin saja mulai penerapan tujuan ini pada saat perang antara Ali dan Mua’wiyah

Dan pada waktu itu sudah terbiasa bagi ahli-ahli hadits dalam memilih guru-guru
mereka. Dan sebab kedua dalam pendapat ini adlah pendapat ibnu Sirin sendriri dan tak ada
pendapat lain yang masuk akal dalam keshohehan pengaitan pendapat itu kepada Ibnu Sirin,
dan kata-kata Ibnu Sirin menunjukkan bahwasanya beliau mengabarkan kebiasaan yang
muncul sebelum masa-masa beliau. Untuk itulah digunakan nama orang yang tidak hadir
(menyaksikan) dalam seluruh teks.

Dan perlu diketahui dhomir mutakalim (nama yang berbicara) belum dipakai,
bahwasanya gaya-gaya ini (metode) banyak sekali dalam bahasa Arab, dan masih banyak
bertebaran sampai sekarang. Maka keseimbangan penggunaan dhomir mutakallim ke dhomir
ghoib dengan menggunakan sghoh (bentuk) madzi (lampau) menunjukkan kejadian itu telah
terdahuu. Dan kedua kita melihat bahwa beliau berkata : mereka tidak bertanya, dan tidak
mengatakan : Isnad tidak ada, dan orang yang memahami darinya bahwasanya manusia tidak
mendalaminya maka mereka membutuhkan penafsiran. Dan hal itu bagi perowi sendiri
tertinggal jika ia ingin menjelaskan gurunya lebih dulu.

Kritik, pendapat-pendapat para orientalis tentang isnad dan permulaannya.

Bahan-bahan belajar Isnad.

Prof. Robson berkata : HOROVIS menyatakan ada tiga sumber untuk mengetahui
sabda dan perbuatan nabi :

1. Hadits
2. Siroh Nabawiyah (sejarah Hidup Nabi)
3. Tafsir Al Quran

Sesuatu yang sudah jelas pada sumber-sumber 3 ini yaitu adanya perkataan yang
terjalin/tersmbung dari para saksi..... Bahwasanya hadits dan siroh keduanya bukanlah
sumber yang istimewa seperti yang diakui Harovis. Dari sini kelihatan bahwa Prof. Robson
cenderung kepada ... Sewaktu Harovis ingin menggambarkan garis yang terpisah antara siroh
dan hadits. Dan mengajarkan bahwa pandangan Harovis sangatlah alami dalam hal ini.

Tidak ada keraguan lagi bahwa ada perbedaan-perbedaan dalam keaslian buku-buku
siroh dan hadits, dan dalam penyusunan buku-buku hadits dimungkinkan disebut dua hadits
dalam satu waktu dan tidak ada hubungan diantara keduanya dari segi tema, maka hadits
pertama misalnya berkaitan dengan kebersihan sedangkan yang kedua berkaitan dengan
peperangan, seorang peneliti / penulis tidak merasa .... sebagaimana dia melihat hal itu dalam
musnad-musnad ibnu Hambal dan Hamidi dan yang lainnya. Sedangkan siroh menghendaki
kontinuitas / urutan kejadian dan cerita, untuk itulah para penyusun siroh membutuhkan
untuk mengumpulkan riwayat-riwayat yang banyak dan menggabungkan / mencampur
sebagian yang satu dengan yang lainnyaagar bisa mengeluarkan/menyimpulkan peristiwa
yang utuh/sempurna.akan tetapi para penyusun dan para ahli hadits ini tatkala meriwayatkan
hadits, kecuali siroh mereka tidak menggunakan metode itu, maka jelaslah hal itu
bahwasanya ada kelompok-kelompok .... antara keaslian dua bahan ini yaitu buku-buku
hadits dan buku-buku siroh. Untuk itulah siroh ditulis dalam bentuk yang ilmiyah dan lurus
dan tidak alami untuk mempelajari dhohir isnad

Dan yang banyak dilakukan oleh para orientalis dalam mempelajari isnad sampai
sekarang dalam menulis siroh, selanjutnya mereka sampai kepada nilai-nilai yang salah
karena mereka memilih bahan-bahan yang tidak sesuai dengan pembahasan dan pendalaman
dari apa yang mereka inginkan.

Schat dan study isnad dalam buku-buku fiqh.

Anda mungkin juga menyukai