Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap ilmu dan kitab-kitab yang ada di dunia ini pasti mempunyai sejarah,
karena memang pada haqiqatnya ilmu itu asalnya cuman satu saja. Tapi kenapa
sekarang ilmu itu banyak sekali bahkan terpecah belah, memang pada saat itu mereka
para ulama merangkai ilmu menjadi terbagi-bagi itu supaya dikalangan kita semua ini
agar tidak bingung untuk memahaminya. Ilmu itu juga memang pasti saling
keterkaitan antara yang satu dengan yang lain.
Adapun para ulama menyusun kitab-kitab sangat banyak sekali, agar ilmu itu
tidak akan hilang dan musnah begitu saja. Mereka juga para ulama mengarang kitab-
kitab itu bukan karangan sendiri yang ngaur asal tulis aja. Tapi mereka berdasarkan
peunjuk-petunjuk dari Nabi Muhammad SAW. dan berdasarkan pengetahuan yang
mereka dapat dari sanad gurunya sendiri.
Kitab-kitab sekarang ini yang kita kaji, adalah karya para ulama pada masa
lalu. Dan kitab-kitab itu juga sampai sekarang masih bisa terjaga, itu karena memang
barokah serta manfaat. Tanpa ada referensi dari kitab-kitab kalangan ulama itu, kita
ini pasti tak akan mampu untuk memahami isi kandungan dan maksud yang ada
didalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dari sinilah kita bisa mengerti, bagaimana
perjuangan ulama pada zaman dulu, yang sangat bermanfaat sekali karya-karya dan
kitab-kitabnya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah kitab itu?
2. Siapa saja pengarang kitab itu?
3. Apa saja nama-nama kitab itu?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah kitab.
2. Untuk mengetahui pengarang kitab.
3. Untuk mengetahui nama-nama kitab.

D. Manfa’at
1. Menambahkan wawasan dan pengetahuan kita.
2. Berguna bagi orang lain.
3. Insya Allah mendapatkan ridha Allah Swt. dan syafa’at Nabi Muhammad Saw.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kitab
Kitab secara etimologi itu berasal dari bahasa Arab “Kataba” yang berarti
menulis. Setelah jadi Mashdar yang berarti tulisan, atau yang ditulis. Bentuk jamak
dari kitab adalah “Kutub”. Kalau dalam bahasa Indonesia itu kitab berarti buku.
Secara terminologi kitab sebuah karangan dari ulama-ulama terdahulu yang berupa
penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan yang berkaitan serta bersumber dari
Al-Qur’an dan Al-Hadits.
B. Sejarah Perkembangan kitab
1. Kitab Ilmu Nahwu
Bangsa Arab merupakan bangsa yang memiliki nilai sastra yang tinggi. Di
zaman Arab kuno setiap tahunnya diadakan pasar seni dimana mereka berkumpul dan
membanggakan syair-syair yang ada diantara mereka. Salah satu pasar seni yang
terkenal adalah ‘Ukadz yang diadakan pada bulan syawal.
Awalnya bahasa Arab amat terjaga sampai islam menyebar luas ke negeri-
negeri ‘Ajam (bukan Arab). Dari sinilah mulai timbul kesalahan dalam melafadzkan
bahasa Arab. Penyebab utamanya adalah adanya pencampuran antara bahasa Arab
dengan ‘Ajam. Kekeliruan ini sangat berbahaya karena boleh merusak makna ayat Al-
Qur’an. Sehingga akhirnya kaidah-kaidah bahasa Arab disusun dan diberi nama ilmu
nahwu. Para ulama hampir bersepakat bahwa penyusun ilmu nahwu pertama kali
adalah Abu Aswad Ad-Dualy (67 H) dari Bani Kinanah atas perintah Amirul
Mukminin Khalifah Rabi’ Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah.
Sejarah munculnya ilmu nahwu ini adalah ketika zaman Abu Aswad Ad-
Dualy datang kerumah puterinya di tanah Bashrah (Iraq), pada saat itu puterinya
mengatakan ‫الح ِّر‬
َ ‫ش ُّد‬ َ َ‫ت َما ا‬
ِ َ‫ يَا اَب‬dengan membaca Rofa’ pada lafadz ‫ش ُّد‬ َ َ‫ ا‬dan membaca Jar
pada lafadz ‫الح ِّر‬
َ yang menurut bahasa yang benar ‫ َما‬nya dilakukan sebagai Istifham
yang artinya “Wahai Ayahku ! kenapa sangat panas?” Dengan spontan Abu Aswad
menjawab ‫ش ْه ُرنَا َه َذا‬
َ (Wahai puteriku, bulannya memang panas). Mendengar jawaban
ayahnya, puterinya langsung berkata : “Wahai Ayah, saya tidak bertanya kepadamu
tentang panasnya bulan ini, tetapi saya memberi Khabar atas kekagumanku pada
panasnya bulan ini.” (yang semestinya jika dikehendaki Ta’ajub di ucapkan َ‫الح ّر‬ َ َ‫َما ا‬
َ ‫ش ُّد‬
dengan membaca fathah pada ‫ش ُّد‬ َ َ‫ ا‬dan membaca Nashab pada ‫الح َّر‬
َ ).
Sejak kejadian itu, Abu Aswad lalu datang kepada sahabat Ali, seraya berkata
“Wahai Amirul Mukminin, bahasa kita telah tercampur dengan yang lain.” Sambil
menceritakan kejadian antara dia dan puterinya, maka buatlah saya sebuah ilmu
kemudian sahabat Ali mengatakan :
‫الكالم كله اليخرج عن اسم و فعل و حرف الخ على هذا النحو‬

2
“Kalam itu tidak boleh lepas dari kalimat isim, fiil, dan huruf, dan
teruskanlah untuk sesamanya ini.”
Kemudian Abu Aswad mengarang bab Istifham dan Ta’ajub, dan dikisahkan
pula dari Abu Aswad ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca Al-Qur’an
ia mendengar sang Qari membaca surat At-Taubah ayat 3 :
‫س ْولِ ِه‬
ُ ‫ َو َر‬    
Dengan mengkasrohkan huruf lam pada kata “Rasuulihi” yang seharusnya di
dhammah. Menjadikan artinya “Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang
Musyrik dan Rasulnya.” Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak
dan menyesatkan, seharusnya kalimat tersebut adalah :
ُ‫س ْولُه‬ ُ ‫ َو َر‬    
Yang artinya adalah “Sesungguhnya Allah dan Rasulnya berlepas diri dari
orang-orang Musyrikin.”
Karena mendengar perkataan ini Abu Aswad menjadi ketakutan, ia takut
keindahan bahasa Arab menjadi rusak dan gagahnya bahasa Arab ini menjadi hilang,
padahal hal tersebut terjadi di awal mula daulah islam. Lalu beliau mengarang bab
Athaf dan Na’at, yang pada setiap karangan selalu di haturkannya ke sahabat Ali bin
Abi Thalib, sehingga sampai mencukupi ilmu nahwu yang mencukupi.
Dengan melihat cerita tersebut maka pengarang ilmu nahwu pada haqiqatnya
adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan yang melaksanakannya adalah Abu Aswad.
Pada perkembangan selanjutnya, banyak orang yang menimba ilmu dari Abu Aswad,
diantaranya Maimun Al-Aqran, kemudian generasinya Abu Amr bin Ala’, kemudian
generasinya Imam khalil Al-Farahidi AL-Bashri (peletak ilmu Arudh dan penulis
Mu’jam pertama), kemudian generasinya Imam Sibaweh dan Imam Al-Kisa’i (pakar
ilmu nahwu dan menjadi rujukan dalam bahasa Arab).
Seiring dengan berjalannya waktu, kaidah bahasa Arab terpecah belah menjadi
2 Madzhab, yakni Madzhab Bashrah dan Madzhab Kuufi (padahal kedua-duanya
bukan termasuk daerah Jazirah Arab). Kedua madzhab ini tidak henti-hentinya
tersebar sampai akhirnya mereka membaguskan pembukuan ilmu nahwu sampai
kepada kita sekarang ini.
2. Kitab Ilmu Sharaf
Di sebutkan oleh sebagian riwayat, bahwa pertama kali yang mengarang ilmu
sharaf adalah Nashir bin Ashim (W. 89 H), adapun Abdurrahman bin Harmaz (W.
117 H), adapun Abu Ishaq Al-Hadromi (W. 117 H), adapun Yahya bin Ya’mar (W.
169 H), dan riwayat ini belum menyimpulkan kebenaran
Di sebutkan oleh Syekh Khalid, Syekh Sayuthi, Syekh Shiban, dan Syekh
Ahmad Al-Hamlawi bahwa pengarang pertama ilmu sharaf adalah Mu’adz bin
Muslim Al-Harra (W. 187 H). Sayuthi mengatakan : Abu Ja’far yang menjabat
sebagai ketua pemerintahan saat itu berkata :“Muadz bin Muslim Al-Harra dia adalah
seorang ahli nahwu terkenal dan dia juga yang mengarang ilmu sharaf”. Dan pada
saat itu Abu Ja’far mengabarkan kepada rakyatnya bahwa pengarang ilmu sharaf yang

3
terkenal adalah Mu’adz bin Muslim Al-Harra dan dia juga yang menyusun susunan
kata-kata sesuai kaidah bahasa Arab.
Ustadz Doktor Abdul Fakhir berpendapat bahwa pengarang ilmu sharaf adalah
pengarang ilmu nahwu juga, dan dia menolak pendapat bahwa Mu’adz adalah
pengarang ilmu sharaf, dan alasan ini diperkuat dengan bukti-bukti berikut :
a. Bahwa terjemahan kitab yang dikarang Sayuthy pada saat itu tidak
menerangkan bahwa Mu’adz adalah pengarang ilmu sharaf.
b. Bahwa ulama terdahulu dan modern dari Bashrah dan Kuffah dan lain-lain
belum menyampaikan kepada kami kaidah ilmu sharaf yang dinyatakan
bahwa pengarangnya adalah Mu’adz yang sebagai pendahulu Kuffah.
c. Dikatakan dalam kitab “Abniyatul Fi’li” bahwa pengarang ilmu sharaf
yang pertama adalah Muadz bin Muslim Al-Harra, namun pendapat ini
dinilai lemah karena sanadnya yang lemah juga. Dan pendapat ini tidak
menyimpulkan kepastian bagi para ulama.
Dan dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa pengarang ilmu nahwu
sekaligus ilmu sharaf adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah. Dan
dari sini Doktor Muhammad Salim Muslim berpendapat : pengarang ilmu sharaf
pertama adalah Imam Ali bin Abi Thalib (W. 40 H), dan beliau berkata bahwa imam
Ali adalah pertama kali yang mengingatkan tentang kesalahan susunan kata oleh para
pembicara, dan imam Ali yang menyusun serta mengarang bab-bab dalam unsur ilmu
sharaf.
Ashim Nuruddin berpendapat yang berdasar pada bukti ini : “Maka Ali adalah
orang yang pertama yang berbicara tentang ilmu nahwu dan sharaf, dan membuat
sebuah ketetapan dalam aturan-auran tata bahasa.” Alasan-alasan in diperkuat
dengan bukti :
1) Sesungguhnya Ali adalah orang Arab yang berfasih setelah Rasulallah
Saw.dan banyak kelebihan dari Rasulullah Saw. yang tergambar dalam diri
Ali, begitu juga kecerdasannya yang berkesan bagi umat muslim yang
berasaskan Al-Qur’an dan syariat-syariat.
2) Bahwa ilmu nahwu yang ditegaskan oleh Ali tidak bertentangan dengan
kehidupan agama, karena nahwu bermanfaat dalam memahami Al-Qur’an
dan Al-Hadits yang berhubungan dengan kehidupan agama dan dunia.
3) Banyak dari pakar sejarah berpendapat bahwa Ali adalah pengarang dari
ilmu nahwu, dan sesungguhnya beliau bekata kepada Abu Aswad “Ikutilah
jalan ini.”
Namun dari alasan-alasan tadi, terdapat alasan yang menunjukkan bahwa Ali
belum pernah mengarang kitab yang lengkap dan sempurna dalam ilmu nahwu dan
sesungguhnya Ali hanya mengarang tentang cara-cara umum dalam ilmu nahwu, dan
beliau meninggalkan bagian-bagian yang penting dalam ilmu nahwu yang mana
bagian itu dikarang oleh Abu Aswad. Hal ini di umpamakan seperti seorang arsitektur
yang menggambar garis-garis yang tersusun menjadi sebuah gambar bangunan dan
meninggalkan bagian terpentingnya yaitu pembangunannya, yang mana pembangunan
itu dikerjakan oleh ahli bangunan. Dan tidak diragukan lagi gagasan ini cukup

4
memuaskan para pakar sejarah bahwa Ali dan Abu Aswad memiliki jalur dan tujuan
yang sama.
Telah jelas bahwa pengarang ilmu sharaf adalah Mu’adz bin Muslim Al-Harra
(W. 187 H) dan telah dijelaskan oleh orang-orang yang benar bahwa dia adalah orang
yang pertama menyusun ilmu sharaf menjadi bentuk teratur. Ustadz Doktor Ghuraib
Nafi’ berkata : “Sesungguhnya orang yang pertama menyusun ilmu sharaf, dengan
penjelasannya adalah Mu’adz bin Muslim Al-Harra dialah yang memulai
pembahasan secara mendalam tentang kaidah perubahan kata dalam bahasa Arab.”
Dari sini banyak para ulama menginguti langkah-langkah yang dikarang oleh Mu’adz.
Abdul Aziz fakhir berpendapat bahwa orang yang pertama dalam mengarang
ilmu sharaf dan kaidah-kaidah dalam ilmu nahwu adalah Abu Utsman Al-Mazani (W.
249 H) dalam kitab At-Tashrif yang dijelaskan oleh Ibnu Jani dalam keterangannya,
namun pendapat itu lemah sebagaimana Ahmar Abi Hasan Ali bin Hasan yang
terkenal dengan Ahmar (W. 194 H) yang membuat kitab Tashrif yang dikutip oleh
Doktor Abu Ali Al-Faris.
3. Kitab Ilmu Balaghah
Tema-tema ilmu balaghah mulai muncul belakangan setelah muncul dan mulai
berkembangnya ilmu nahwu dan sharaf. Tema-tema ini yang dulunya dikenal sebagai
kritik sastra (Naqd Al-Adab) semakin berkembang lebih dari pada masa jahiliyahnya.
Mulai dari masa khilafah Umawiyah, sebenarnya para ulama pakar sastra
mulai bicara tentang makna Fashahah dan Balaghah dan mulai berusaha
menjelaskannya dengan contoh dan bukti-bukti dari apa yang diriwayatkan dari
orang-orang sebelum mereka. Dari sinilah kemudian mulai muncul ilmu balaghah
Arabiyyah dari berbagai segi. Disusunlah buku-buku yang berbicara tentangnya
hingga sampailah masa pengajaran dari sebuah ilmu. Kitab yang pertama kali disusun
dalam ilmu balaghah adalah tentang ilmu bayan, yaitu kitab Majazul Qur’an
Mushannif Abu Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (W. 28 H) murid Al-Khalil (W.
170 H).
Untuk ilmu ma’ani tidak diketahui pasti orang yang pertama kali menyusun
ilmu tersebut. Namun, ilmu ini sangat kental dalam pembicaraan para ulama terutama
Al-Jahidz (W. 255 H) dalam I’jazul Qur’annya.
Adapun penyusun kitab tentang ilmu badi’ pada masa awal yang di anggap
sebagai pelopor, adalah Abdullah bin Mu’taz (W. 296 H) dan Qudaman bin Ja’far
dengan Naqd Asy-Syi’ir dan Naqd An-Nashr (W. 337 H).
Itulah ilmu balaghah pada awal masa kemunculannya yaitu terutama pada
masa Abbasiyyah kedua (232-334 H) dalam fase tersebut balaghah dengan 3
cabangnya masih belum jelas keterkaitannya dalam kesatuan balaghah hingga
nantinya memasuki masa perkembangannya di abad ke 5 H.
Setelah kemunculannya dimasa awal para ulama berikutnya saling melengkapi
dan menambahi khazanah ilmu ini hingga hadirlah seorang pakar balaghah, Abu
Bakar Abdul Qahir Al-Jurjaniy (W. 471 H) yang mengarang tentang kitab ilmu
ma’ani dengan judul Dalailul Ijaz, dan tentang ilmu bayan dengan judul Asrarul

5
Balaghah kemudian setelah beliau hadirlah Abu Ya’kub Siradjuddin Yusuf As-
Sakakiy Al-Khawarizmi (W. 626 H) dengan kitabnya yang membahas tentang ilmu
balaghah lebih lengkap daripada lainnya, yaitu kitab dengan judul Miftahul Ulum.
Perkembangan balaghah pada masa ini salah satunya disebabkan oleh
persinggungannya dengan ilmu kalam dan filsafat terkait dengan Ijazul Qur’an.
Adanya fenomena inilah yang kemudian oleh para pakar sekarang dimunculkan istilah
madrasah adabiyyah dan madrasah kalamiyyah atas dasar kecenderungan yang dipilih
dalam melakukan pembahasan balaghah.
Tiap-tiap madrasah ini memiliki ciri khas masing-masing. Para pembela
madrasah kalamiyyah memfokuskan pembahasan balaghah mereka dengan membuat
batasan-batasan lafdzi dan spirit perdebatan. Kemudian fokus membuat dengan
berbagai macam definisi-definisi dan kaidah-kaidah tanpa banyak menunjukkan
contoh-contoh bukti sastrawi baik puisi maupun prosa. Untuk menentukan tepat dan
indah atau tidaknya bahasa mereka banyak berpegang pada anologi filsafat dan
kaidah-kaidah logika.
Sedangkan madrasah adabiyyah mereka sangat berlebihan dalam mengajukan
bukti-bukti baik puisi maupun prosa, dan sedikit sekali memperhatikan tentang
definisi dan lain-lainnya. Untuk menetapkan tepat dan indah atau tidaknya bahasa
mereka lebih banyak berpegang pada rasa seni, keindahan daripada kepada filsafat
logika.
Demikianlah madrasah kalamiyyah memang sangat berkepentingan dengan
penguatan Ijazul Qur’an yang mana hal itu adalah titik temu antara sastra, akidah,
filsafat ketuhanan, dan lainnya. Sedangkan madrasah adabiyyah mereka banyak
menguatkan karya sastra, latihan menyusun bahasa yang baik, dan mendidik rasa
kritis.
Masa berjalan, pada akhirnya madrasah kalamiyyah lebih lebih menguat di
bandingkan adabiyyah hingga sampailah konsep balaghah yang kita kenal saat ini,
dari kitab-kitab yang ditulis para pakarnya tersebut dari masa ke masa.
4. Kitab Ilmu Mantiq
Ilmu mantiq atau ilmu logika adalah cabang ilmu yang mendorong manusia
agar tidak salah berpikir. Dengan kata lain, jawab yang yang dikeluarkan oleh
seseorang dapat disampaikan dengan logis dan tertata rapi. Pemikiran logis nyata ada
sejak manusia diciptakan ini. Dengan kata lain karena manusia sadar, tidak memiliki
potensi oleh Allah untuk dapat berpikir secara rasional. Hanya saja, waktu yang
belum ada yang belum ada yang membukukan sistematika berpikir logis ini.
Strukturisasi yang diterjemahkan dalam bentuk cabang ilmu, baru ditulis oleh para
filsuf Yunani, diterbitkan oleh Aristoteles dalam bukunya Novum Organum. Astaga
jawab penemu ilmu logika. Namun, filsuf yang pertama yang mula-mula memberikan
rumusan dasar yang berkaitan dengan pemikiran logis ini.
Ilmu mantiq mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa khilafah
Abbasiyah. Mulanya, penerjemahan dilakukan apa adanya sesuai naskah asli dari
bahasa Yunani. Para ulama lantas mempelajari ilmu ini secara rinci dan mendalam.

6
Banyak tema yang masuk dalam ilmu mantiq, diantaranya terkait dengan tasawurat,
tasdiqat, jadal, syi’ir, khithabah, dan lain-lain. Contoh-contoh yang disampaikan
sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat Yunani.
Waktu ilmu ini diterjemahkan, terjadi perdebatan panjang dikalangan para
ulama, antara yang membolehkan atau mengharamkan. Bagi yang membolehkan,
mereka menganggap bahwa ilmu ini sekadar sarana untuk dapat berpikir benar dan
logis. Sementara bagi yang mengharamkan, mereka melihat bahwa ilmu ini merusak
dan membahayakan akidah. Adapula yang beralasan bahwa ilmu ini tidak berguna.
Alasannya manusia sudah dapat membedakan benar salah dan dapat berfikir logis
sebelum datangnya para filsuf Yunani.
Perdebatan ini bisa dilihat ketika terjadi debat terbuka antara Yunus bin Mata
yang pakar mantiq dan Abu Said Asairafi yang pakar bahasa Arab. Bagi Yunus bin
Mata, ilmu logika sangat penting dan bisa dipakai oleh setiap manusia. Ia adalah ilmu
alat untuk mengatur makna-makna kalimat secara logis.
Sementata Abu Said Asairafi berpendapat bahwa ilmu mantiq adalah
logikanya orang Yunani. Orang arab punya filsafat bahasa yang mempunyai struktur
dan makna bahasa tersendiri. Logika Yunani tidak dapat diterapkan bagi orang Arab
yang punya logika bahasa arab.
Perdebatan mengenai penggunaan ilmu mantiq cetus berjalan Ibni Shalah
misalnya, beliau mengharamkan ilmu mantiq. Lalu muncul ulama generasi
setelahnya yaitu Ibnu Taimiyah Beliau mengarang kitab Arraddu Alal Mantiqiyyin
dan Dar’ul Mantiq. Setelah mereka, dilanjutkan oleh Imam Suyuti yang mengarang
kitab Shaunul Mantik.
Beda lagi dengan para ulama ilmu kalam, filsuf dan ushul fikih. Mereka
menggunakan ilmu logika sebagai sarana untuk memperkuat argumen keilmuan
mereka secara logis. Ilmu mantiq dalam tiga cabang ilmu tadi bahkan sering dijadikan
sebagai mukadimah kitab.
Dalam sejarahnya, sesungguhnya ilmu mantiq tidak ditelan mentah-mentah
oleh para ulama Islam. Pasca terjemahan, para ulama menela’ah ulang ilmu ini dan
disesuaikan dengan akidah islam. Setidaknya ada dua tugas yang dilakukan oleh para
pakar mantiq Islam, yaitu pertama membersihkan ilmu mantiq dari paham pemikiran
yang tidak sesuai dengan akidah islam. Kedua memberikan tema tambahan dan
merapikan struktur penulisan sehingga ilmu mantiq lebih mudah dicerna.
Dengan melihat pada dua hal tadi, ilmu mantiq yang dipelajari umat islam,
bisa dikatakan adalah ilmu mantiq dengan bentuk baru. Ilmu mantiq menjadi ilmu
baru yang mempunyai perbedaan dengan mantiq Yunani.
Barangkali mantiq karya Ibnu Sina yang masih merrpresentasikan mantiq
Yunani. Buku beliau yang berjudul ilmu mantiq, baik dari sisi tema maupun cakupan
bahasan, banyak kesamaan dengan mantiq Yunani. Tidak heran jika mantiq Ibnu Sina
cukup luas hingga tiga jilid besar.
Imam Ghazali sebagai salah satu pakar mantiq, juga banyak andil dalam
pembaruan ilmu mantiq ini. Beliau menuliskan beberapa buku yaitu Mahak Kun

7
Nazhar, Mi’yarul Ilmi dan juga dijadikan mukadimah dalam kitab Al-Musthasfa.
Imam Ghazali selain pakar mantiq juga pakar kalam, filsafat, ushul fikih dan fikih.
Beliau mencoba untuk menggeser beberapa terminologi dalam ilmu mantiq dengan
terminologi yang dekat dengan ushul dan fikih.
Apa yang dilakukan oleh Imam Ghazali tidak mendapatkan sambutan baik
oleh para pakar mantiq. Sebaliknya beliau dikecam banyak ulama karena mencoba
merubah terminologi ilmu yang sudah baku. Bagi para ulama, perubahan terminologi
dapat berdampak negatif. Ia akan mengacaukan sistem keilmuan yang sudah mapan.
Pada akhirnya, ilmu mantiq tetap konsisten dengan terminologi yang umum
digunakan hingga saat ini.
5. Kitab Ilmu Tafsir
Pada saat Al-Qur’an diturunkan Rasul Saw., yang berfungsi sebagai Mubayyin
menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-Qur’an,
khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau sama artinya. Keada’an
ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul Saw. walaupun harus diakui bahwa
penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat
tentangnya atau karena Rasul Saw. sendiri tidak menjelaskan isi kandungan dari Al-
Qur’an
Kalau pada masa Rasul Saw. para sahabat menanyakan persoalan-persoalan
yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya mereka terpaksa melakukan
Ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam Ali bin Abi
Thalib, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Ibnu Mas’ud.
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya
sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur’an kepada tokoh-
tokoh Ahlul kitab yang telah memeluk agama islam, seperti Abdullah bin Salam,
Ka’ab Al-Akhbar, inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyat.
Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas
mempunyai murid-murid dari para tabi’in, khususnya di kota-kota tempat mereka
tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi’in di kota-kota
tersebut, seperti :
 Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada
Ibnu ‘Abbas.
 Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru
kepada Ubay bin Ka’ab.
 Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya’bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada
‘Abdullah bin Mas’ud.
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul saw., penafsiran
sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi’in, dikelompokkan menjadi satu kelompok yang
dinamai Tafsir bi Al-Ma’tsur. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama dari
perkembangan tafsir. Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa
tabi’in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan
tafsir.

8
Pada periode kedua ini, hadits-hadtis telah beredar sedemikian pesatnya, dan
bermunculanlah hadits-hadits palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat.
Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa persoalan
yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad saw., para
sahabat, dan tabi’in.
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih
sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung
oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat,
berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam
penafsiran ayat-ayat Al-Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau
penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang pula oleh
Al-Quran, yang keadaannya seperti dikatakan oleh ‘Abdullah Darraz dalam Al-
Naba’Al-Azhim : “Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang
berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil
jika anda mempersilakan orang lain memandangnya., maka ia akan melihat lebih
banyak dari apa yang anda lihat.”
Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa :
“Al-Quran memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan
yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat
wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru,
tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.”
Ada beberapa tempat yang oleh tabi’in dijadikan sebagai pusat perkembangan
ilmu tafsir. Para tokoh tabi’in mendapatkan qaul-qaul sahabat di tiga tempat yaitu
Makkah, Madinah dan di Iraq. Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Orang-orang yang
paling mengerti tentang tafsir adalah orang-orang Makkah, karena mereka adalah
murid-murid Ibnu Abbas seperti Mujahid, ‘Atho’ ibn Abi Riyah, ‘Ikrimah, Jubair,
Thawus, dan lain-lain. Begitu juga di Kuffah ada murid-murid Ibnu Mas’ud.
Sedangkan ulama Madinah di bidang tafsir seperti Zaid Ibnu Aslam.”
Sebagaimana para sahabat, tabi’in pun ada yang menerima tafsir dengan
ijtihad ada pula yang menolaknya. Golongan yang tidak membolehkan mengkritik
orang yang membolehkan dengan beberapa hadits, seperti. :
‫من تكلّم في القرأن فأصاب فأخطأ‬
Diantara tabi’in yang menolak metode Tafsir Bi Al-Ijtihad adalah Sa’id Ibnu
al-Musayyab dan Ibnu Sirin. Diantara tabi’in yang membolehkan seperti Mujahid,
‘Ikrimah dan sahabat-sahabatnya.
Para tabi’in juga memberikan perhatian yang sangat besar kepada Israiliyyat
dan Nasraniyyat. Mereka menerima berita-berita dari orang-orang Yahudi dan
Nashrani yang masuk Isam, kemudian mereka memasukkannya kedalam tafsir.
Menurut keterangan yang ditulis Hamka, para mufassir saat itu sangat berbaik sangka
kepada pembawa berita. Mereka menganggap orang yang telah masuk Islam tidak
mau berdusta. Oleh sebab itu, para mufassir saat itu tidak mengoreksi lagi khabar-
khabar yang mereka terima.

9
Masa Tadwin dimulai dari awal zaman Abbasiah. Para ulama saat itu
mengumpulkan hadits-hadits yang mereka peroleh dari para sahabat dan tabi’in.
Mereka menyusun tafsir dengan menyebutkan sepotong ayat, kemudian menyebutkan
riwayat dari para sahabat dan tabi’in. Namun demikian, ayat-ayat al-Quran yang
ditafsiri ini masih belum tersusun sesuai dengan susunan mushaf.
Untuk memisahkan hadits-hadits tafsir dari hadits yang lain, para ulama
mengumpulkan hadits-hadits yang marfu’ dan hadits-hadits mauquf tentang tafsir.
Mereka mengumpulkan hadits bahkan dengan mengambilnya dari berbagai kota. Di
antara ulama yang mengumpulkan hadits dari berbagi daerah ini adalah Sufyan Ibnu
‘Uyainah, Waki’ Ibnu Jarrah, Syu’bah Ibnu Hajjaj, Ishaq Ibnu Rahawaih.
Pada akhir abad kedua barulah hadits-hadits tafsir dipisahkan dari hadits-
hadits lainnya dan disusun tafsir berdasarkan urutan mushaf. Menurut penelitian Ibnu
Nadim, orang yang pertama kali menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an menurut tertib
mushaf adalah Al-Farra’. Ia melakukannya atas permintaan ‘Umar Ibnu Bakir, ia
mendiktekan tafsirnya kepada murid-muridnya di masjid setiap hari Jum’at.
Pada masa Abbasiyah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan
berkembang pula ilmu tafsir. Para ulama’ nahwu seperti Sibawaihi dan Al-Kisa’i
mengi’rabkan al-Quran. Para ahli nahwu dan bahasa menyusun kitab yang dinamakan
dengan Ma’ani al-Quran.
6. Kitab Ilmu Hadits
Pada awalnya, kata hadits dipergunakan untuk menunjuk kepada cerita-cerita
dan berita-berita secara umum. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, istilah
hadits mengalami pergeseran, dimana hadits dimaksudkan sebagai kabar-kabar yang
berkembang dalam masyarakat keagamaan tanpa memindahkan maknanya dari
konteksnya yang umum, hingga pada akhirnya istilah hadits secara eksklusif
digunakan untuk menunjuk cerita-cerita tentang Rasulullah.
Hal demikian dibenarkan oleh Mustafa A’zami yang menceritakan bahwa
pada masa-masa awal Islam, cerita – cerita dan perkataan Nabi mendominasi atas
segala macam komunikasi dan cerita-cerita yang lain di kalangan masyarakat. Pada
waktu itu. Kata hadits yang awalnya bersifat umum, semakin lama semakin eksklusif
dan sering digunakan di kalangan bangsa Arab untuk memaksudkan hal-hal yang
bersumber pada Nabi.
Dari keterangan tersebut kiranya dapat dipahami bahwa tradisi “tutur” dan
“tinular” mengenai perilaku Nabi sudah hidup pada masa-masa awal Islam. Begitu
juga tradisi “periwayatan”, dalam bentuknya yang sederhana dan mungkin tak pernah
dimaksudkan untuk meriwayatkan, sudah dimulai sejak masa awal, sehingga ketika
generasi selanjutnya melakukan kodifikasi terhadap hadits dapat dilacak apakah benar
berasal dari Nabi atau tidak.
Pada era Nabi SAW, kaitannya dengan penulisan hadits, Nabi pernah
menyampaikan sejumlah larangan sekaligus perintah. Kongritnya, suatu saat Nabi
pernah melarang sahabat untuk menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur
dengan Al-Qur’an yang pada saat itu masih turun (proses pewahyuan belum final),
namun pada saat yang lain, justru Nabi memerintahkan agar hadits itu ditulis.

10
Dalam hadits yang melarang sahabat menulis sesuatu selain Al-Qur’an,
ternyata setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, terdapat illat khusus bagi
pelarangannya yaitu karena adanya naskah yang ditulis dalam selembar kertas yang
didalamnya bercampur antara al Qur’an dengan naskah lain. Namun, dalam
pernyataan Nabi SAW di hadits yang lain, Nabi SAW justru menyuruh untuk
menuliskan hadits. Contohnya adalah hadits yang menyuruh sahabat menulis hadits
kepada Abu Syah.
Menurut perspektif hukum, ketika ada sesuatu yang awalnya dilarang, namun
kemudian justru ada perintah yang menunjukkan kebalikannya, maka itu
menunjukkan kebolehan melakukan hal itu, yakni penulisan dan pelestarian sumber
keagamaan tersebut (hadits).
Berangkat dari sini dapat dipahami, diakui atau pun tidak, bahwa apa yang
diucapkan, dilakukan, serta ditetapkan oleh Nabi banyak sekali yang tidak ditulis oleh
para sahabat, meskipun juga tidak menafikan bahwa penulisan hadits telah ada sejak
zaman Nabi SAW. Paling tidak ini dapat dibuktikan oleh Musthafa Al Siba’i dengan
memberikan beberapa bukti, antara lain :
 Rasulullah menulis surat kepada raja-raja zamannya dan Amir - Amir jazirah
Arabia untuk menyeru mereka kepada Islam.
 Sebagian sahabat memiliki shuhuf, “lembaran-lembaran bertulis” yang
didalamnya berisi catatan tentang apa yang mereka dengar dari Rasulullah,
seperti lembaran ‘Abdullah Ibn ‘Amr Ibn Ash yang dinamainya Ash-
Shadiqah.
 Rasulullah menulis surat kepada sebagian petugas Beliau yang berisi
ketentuan-ketentuan zakat unta dan domba.
Melihat keterangan diatas, berarti anggapan yang berkembang selama ini
bahwa Ibn Syihab Az-Zuhri adalah orang pertama yang menulis hadits telah
terbantahkan. Dengan demikian, mungkin istilah yang lebih tepat, Ibn Syihab Az-
Zuhri adalah orang pertama yang disponsori secara resmi oleh pemerintah, khalifah
Umar Ibn Abd Al-Aziz, untuk mengumpulkan hadits. Dengan kata lain, pengumpulan
hadits tertulis oleh pribadi telah umum dilakukan, tetapi tidak seperti Al-Qur’an,
sampai kemudian pada masa Ibn Syihab Az-Zuhri, hadits menjadi fokus upaya resmi
regulasi atau sistematisasi.
Seperti kita lihat, sebagian hadits hampir pasti ditulis pada tahap awal, tetapi
tidak secara formal dan tidak sistematis. Kumpulan hadits secara sistematis baru
didapati pada karya Imam Malik, Al-Muwatha’, yang dijuluki Mushannaf karena
mengklasifikasikan hadits sesuai dengan subyeknya.
Walaupun demikian, Imam Malik belum menggunakan standar formal
kritisisme dalam menyeleksi hadits. Baru pada masa generasi setelahnya
dikembangkan metode kritis keaslian hadits dengan merujuk kepada isnad hadits-
hadits tersebut. Jelasnya, isnad baru digunakan secara luas pada abad kedua hijriah,
dimana para penyusun koleksi shahih mulai memaparkan aturan formal untuk menilai
keotentikan hadits atas dasar isnad-nya. Mereka harus menyaring semua hadits yang
dapat mereka temukan, dan memilih hadits yang isnad-nya memenuhi standar yang
ketat.
Seperti disebutkan di muka bahwa “periwayatan” sudah dimulai sejak masa-
masa awal Islam, namun baru pada pertengahan abad ke-3 H / 9 M, hadits mempunyai

11
bentuk yang tertentu. Hampir semua isinya secara mendetail telah terkukuhkan, dan
perlawanan terhadapnya juga telah terpatahkan.
Untuk mencapai bentuk ini para ahli telah mengumpulkan, menyaring dan
mensistematisir produk hadits yang sangat melimpah. Para ahli, atau yang biasa
disebut sebagai Muhadditsin, telah melakukan perjalanan menjelajah ke seluruh
penjuru dunia Islam pada waktu itu. Mereka pergi dari satu tempat ke tempat yang
lain dan bertanya dari satu orang ke orang lainnya. Akhirnya, pada akhir abad ke-3
H / permulaan 10 M beberapa koleksi hadits telah dihasilkan, bahkan enam
diantaranya mulai saat itu sudah dipandang otoritatif secara khusus dan dikenal
dengan "enam yang asli".
Adapun yang paling terdepan dari keenam kitab hadits itu adalah Shahih
Bukhari yang kemudian dinyatakan oleh kaum muslimin hanya berada di bawah Al-
Qur’an dalam otoritasnya, Shahih Muslim menempati urutan selanjutnya, dan
kemudian disusul berturut-turut oleh karya-karya Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i
dan Ibn Majah.
Dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa rentang waktu antara masa
hidup Nabi dengan kodifikasi hadits begitu jauhnya, sehingga hal ini dimanfaatkan
oleh para orientalis untuk menyerang Islam, melalui salah satu sumber hukumnya,
yaitu hadits. Mereka menganggap bahwa sunnah adalah tradisi yang diciptakan oleh
para sahabat, sebagai hasil interpretasi terhadap ajaran Nabi.
Seorang orientalis bernama Ignas Goldziher sangat meragukan materi hadits
yang sedemikian banyak dapat disaring dan kemudian diperoleh suatu bagian yang
dapat dinyatakan sebagai asli berasal dari Nabi atau generasi sahabat yang awal. Ia
berpendapat : “seharusnya hadits dianggap sebagai catatan pandangan-pandangan
dan sikap-sikap generasi muslim yang awal dari pada sebagai catatan tentang
kehidupan dan ajaran-ajaran Nabi atau bahkan sahabat-sahabat Beliau.”
Lain lagi dengan Margoliouth yang menganggap bahwa : “Nabi Muhammad
sama sekali tidak meninggalkan sunnah ataupun hadits. Sunnah yang dipraktikkan
kaum muslim awal sama sekali bukan sunnah Nabi, melainkan kebiasaan-kebiasaan
bangsa Arab pra-Islam yang telah dimodifikasi Al-Qur’an.”
Dalam karyanya The Origins of Muhammadans Jurisprudence, Joseph
Schacht mengatakan bahwa : "Tradisi yang hidup (living tradition) telah ada
mendahului tradisi Nabi.” Schacht berargumen bahwa : “ketika hadits pertama kali
beredar pada sekitar abad kedua hijriyah, ia tidak dirujukkan kepada Nabi,
melainkan kepada tabi’in, kemudian sahabat dan setelah beberapa waktu akhirnya
hadits disandarkan kepada Nabi.”
Mereka juga menemukan kitab Al-Muwatha’, kitab tertua sesudah Al-Qur’an
yang dapat ditemukan, mempunyai sanad yang kurang tertib. Dan sistem Isnad itu
tertib setelah memasuki generasi Al-Bukhari, yang jangka waktunya dari Imam Malik
(penyusun Al-Muwatha’) cukup jauh (Imam Malik : 93-179 H ; al Bukhari : 194-296
H). Di sini para orientalis mengungkapkan bahwa Isnad yang awalnya tidak ada itu
kemudian ada tetapi tidak tertib, dan akhirnya menjadi sangat rapi. Dengan demikian
mereka berkesimpulan bahwa ahli hadits generasi Al-Bukhari, dengan kelihaiannya,
telah merekayasa Isnad. Hadits yang tadinya tidak jelas siapa pembawanya, disulap
sedemikian rupa sehingga menjadi shahih sanad-nya.

12
Beberapa pendapat kaum orientalis tersebut, jelas sangat memancing
kontroversi dan tidak dapat diterima oleh umat Islam. Namun begitu, kita tidak boleh
hanya mempertahankan diri hanya dengan mengedepankan emosi belaka, tetapi harus
meng-counter-nya dengan dalil-dalil yang ilmiah.
7. Kitab Ilmu Arudh
Sejak pertama kali diperkenalkan oleh Imam Kholil, ilmu ‘Arudh menjadi
ilmu yang mengukur keindahan dan kebenaran pembuatan sastra Arab. Hal ini terus
berlanjut hingga pertengahan abad kedua Hijriyah. Setelah itu banyak ulama yang
turut memperhatikan perkembangan ilmu ini. Sebagian dari mereka menguraikan
kaidah yang diperkenalkan Imam Kholil, memperluas keterangannya, meringkas,
dan lain sebagainya. Sejak saat itulah banyak ulama yang juga menulis ilmu ‘Arudh.
Diantaranya, Imam Al-Akhfas Al-Ausath (sekitar tahun 215 H), kemudian
dilanjutkan Abu Al-Abbas Muhammad bin Yazid Al-Mubarrad (kira-kira tahun 285
H), Ibnu Kisan (kira-kira tahun 310 H), Ibnu Siraj (kira-kira tahun 316 H), Ibnu
Abdu Rabah (kira-kira 328 H), Zajaji (kira-kira tahun 340 H), Shahib bin Ibad (kira
kira tahun 385 H), Abu al- Fatah bin Jany (kira-kira tahun 392 H), Jauhary (kira-kira
tahun 400 H), Khotib at-Tibrizy (502 H), Zamahksary (kira-kira tahun 538 H), Ibnu
Hajib (kira-kira 646 H), Damaminy (kira kira tahun 827 H), dan banyak lagi yang
lain.
Di kalangan orang Arab ilmu Arudh termasuk ilmu yang dianggap istimewa.
Ibnu Faris berkomentar dalam salah satu kitabnya, bahwa : “Ilmu ‘Arudh merupakan
pengukur bagi sya’ir-sya’ir orang arab. Dengan ilmu ‘Arudh mereka bisa
mengetahui sya’ir yang benar dan yang salah. Siapa saja yang berhasil mengetahui
keindahan dan rahasia ilmu ‘Arudh, berarti dia telah melampaui segala sesuatu
yang dianggap tidak berarti.”
Para ahli sejarah kesusasteraan Arab telah mengungkapkan bahwa syi’ir Arab
itu tidak timbul sekaligus dalam bentuk yang sempurna, akan tetapi sedikit demi
sedikit berkembang menuju kesempurnaan, yaitu mulai dari bentuk ungkapan kata
yang bebas (mursal) menuju Saja’, dan dari potongan-potongan saja’ menuju syi’ir
yang berbahar Rajaz. Mulai fase inilah syi’ir Arab dikatakan sempurna, bahkan pada
fase inilah muncul seorang tokoh penyair yang bernama ‘Adi bin Rabi’ah Al-
Muhalhi. Yang hidup pada masa pertengahan abad kedua (antara tahun 491-531 M),
dia inilah orang yang pertama kali menyempurnaaan syi’ir Arab dalam bentuk
Qasidah dengan bermacam-macam wazan, antara lain bahar Wafir, bahar Basith,
Khafif , Ramal dan Rajaz.
Pada zaman Jahiliyah syi’ir ini terus berkembang dengan pesat sehingga
banyak tokoh penyair muncul dimasa itu, demikian pula pada masa permulaan
Islam, akan tetapi wazan-wazan baru yang telah diciptakan oleh para penyair
tersebut belum terbukukan secara ilmiah. Baru pada masa pemerintahan Bani
Umaiyah wazan-wazan tersebut ditemukan setelah melalui penelitian yang cermat
terhadap syi’ir Arab yang ada dan dilakukan oleh seorang ulama’ Bashrah yang
bernama Khalil bin Ahmad Al-Farahidi dari kabilah Al-Azdi Yamani. Hal-hal yang
mendorong dirinya untuk mengadakan penelitian ini adalah karena ia melihat
bahwa para penyair modern pada masanya ini mulai keluar dari wazan-wazan Arab
yang ada, adakalanya wazan-wazan lama itu dikurangi dan ditambahi, bahkan

13
sebagian mereka ada yang menciptakan wazan baru yang tidak pernah didengar
sama sekali oleh orang Arab.
Setelah melihat demikian maka ia mulailah berpikir untuk meletakkan aturan-
aturan dasar di dalam syi’ir Arab. Dan mulailah penelitian itu dilakukannya dengan
cara mengumpulkan berbagai macam syi’ir Arab yang mengandung wazan berbeda-
beda, akhirnya ia menemukan 15 (lima belas) wazan dalam syi’ir Arab, yaitu bahar
Thawil, bahar Madid, bahar Basith, bahar Wafir, bahar Kamil, bahar Hazaj, bahar
Rajaz, bahar Sari’, bahar Munsharih, bahar Khafif, bahar Mudlara’, bahar
Muqtadlab, bahar Mujtats, bahar Ramal dan bahar Mutaqarab. Kemudian ditambahi
satu wazan lagi yakni bahar Mutadarak oleh muridnya yang bernama Al-Akhfasy,
akhirnya jumlah wazan seluruhnya menjadi 16 (enam belas) macam.
Adapun kitab-kitab yang telah disusun oleh Khalil bin Ahmad dalam bidang
musik syi’ir adalah kitab “Al-Iqa” dan kitab “An-Nagham”, dua kitab ini memuat
aturan-aturan ilmu Arudl dan Qawafi yang lengkap. Sedangkan dalam bidang
kamus, ia telah menyusun kitab yang berjudul “Al-‘Ain”. Penemuan Khalil bin
Ahmad ini kemudian diikuti oleh para penyusun selanjutnya, di antaranya yang
terkenal adalah Sibawaihi, Akhfasy, Ibnu ‘Abdi Rabbih (penyusun kitab Al-‘Aqdul-
Farid), dan Zamakhsyary (penyusun kitab Al-Qisthas dalam ilmu Arudl).
8. Kitab Ilmu kalam
Adapun yang melatar belakangi sejarah munculnya persoalan-persoalan kalam
adalah disebabkan faktor-faktor politik pada awalnya setelah khalifah Ustman
terbunuh kemudian digantikan oleh Ali menjadi khalifah. Peristiwa menyedihkan
dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar),
sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat
(dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan
paham keagamaan. Maka ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan
penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik
tolak dari Fitnah Besar itu.
Pada zaman khalifah Abu Bakar ( 632-634 M ) dan Umar bin Khattab ( 634-
644 ) problema keagamaan juga masih relative kecil termasuk masalah Aqidah. Tapi
setelah Umar bin Khattab wafat dan Ustman bin Affan naik tahta ( 644-656 ) fitnah
pun timbul. Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi asal Yaman yang mengaku
Muslim, salah seorang penyulut pergolakan. Meskipun itu ditiupkan, Abdullah bin
Saba’ pada masa pemerintahan Ustman namun kemelut yang serius justru terjadi di
kalangan Umat Islam setelah Ustman mati terbunuh.
Perselisihan di kalangan Umat islam terus berlanjut di zaman pemerintahan
Ali bin Abi Thalib ( 656-661 ) dengan terjadinya perang saudara, pertama, perang
Ali dengan Zubair, Thalhah dan Aisyah yang dikenal dengan perang jamal, kedua,
perang antara Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan perang Shiffin. Pertempuran
dengan Zubair dan kawan-kawan dimenangkan oleh Ali, sedangkan dengan
Muawiyah berakhir dengan tahkim ( Arbritrase ).
Hal ini berpengaruh pada perkembangan tauhid, terutama lahir dan tumbuhnya
aliran-aliran Teologi dalam islam. Ketauhidan pada Zaman Bani Umayyah ( 661-
750 M ) masalah Aqidah menjadi perdebatan yang hangat di kalangan umat islam.
Di zaman inilah lahir berbagai aliran teologi seperti Murji’ah, Qadariah, Jabariah
dan Mu’tazilah.

14
Pada zaman Bani Abbas ( 750-1258 M ) Filsafat Yunani dan Sains banyak
dipelajari Umat Islam. Masalah Tauhid mendapat tantangan cukup berat. Kaum
Muslimin tidak bisa mematahkan argumentasi filosofis orang lain tanpa mereka
menggunakan senjata filsafat dan rasional pula. Untuk itu bangkitlah Mu’tazilah
mempertahankan ketauhidan dengan argumentasi-argumentasi filosofis tersebut.
Namun sikap Mu’tazilah yang terlalu mengagungkan akal dan melahirkan berbagai
pendapat controversial menyebabkan kaum tradisional tidak menyukainya.
Akhirnya lahir aliran Ahlussunnah Waljama’ah dengan Tokoh besarnya Abu
Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. Mula-mula ialah untuk membuat
penalaran logis oleh orang-orang yang melakukan pembunuhan Utsman atau
menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-
kira akan berjalan seperti ini : Mengapa Utsman boleh atau harus dibunuh? Karena
ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan) padahal
berbuat dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi
kafir setelah Muslim), harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu
kekafiran? Karena manusia berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap
menentang Tuhan. Maka harus dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para (bekas)
pembunuh Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu
mereka yang berpaham Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu
menentukan amal perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas
segala perbuatannya itu, yang baik dan yang buruk.
Ditegaskan oleh Ibnu Taymiyyah bahwa Ilmu Kalam adalah keahlian khusus
kaum Mu’tazilah. Maka salah satu ciri pemikiran Mu’tazili ialah rasionalitas dan
paham Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar
menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang
bernama Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu
pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan
kehendak dan ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran
Jabariyyahnya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang
mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan
alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal
keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala
dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti
perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi
(impersonal) dan bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles
mengingkari adanya Tuhan yang berpribadi personal God. Baginya Tuhan adalah
kekuatan maha dasyat namun tak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal universal.
Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm dan para pengikutpya sampai kepada sikap
mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat kasib, pengampun, santun,
maha tinggi, pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka, adanya sifat-sifat itu membuat
Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan dengan konsep Tauhid yang mereka akui
sebagai hendak mereka tegakkan. Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat
Tuhan itu dikenal sebagai al-Nufat (“pengingkar” [sifat-sifat Tuhan]) atau al-
Mu’aththilah (“pembebas” [Tuhan dari sifat-sifat])
Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli
kaum Mu’tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu al-

15
Hasan al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) yang terdidik dalam alam pikiran
Mu’tazilah (dan kota Basrah memang pusat pemikiran Mu’tazili). Tetapi kemudian
pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mu’tazilinya, dan justru mempelopori
suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mu’tazilah. Ilmu Kalam al-Asy’ar’i itu, yang juga
sering disebut sebagai paham Asy’ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang
untuk menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang,
karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar kaum Sunni.
Ilmu Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh al-Asy’ari, juga dikecam
kaum Hanbali dari segi metodologinya. Persoalan yang juga menjadi bahan
kontroversi dalam Ilmu Kalam khususnya dan pemahaman Islam umumnya ialah
kedudukan penalaran rasional (‘aql, akal) terhadap keterangan tekstual (naql,
“salinan” atau “kutipan”), baik dari Kitab Suci maupun Sunnah Nabi. Kaum
“liberal”, seperti golongan Mut’azilah,cenderung mendahulukan akal, dan kaum
“konservatif” khususnya kaum Hanbali, cenderung mendahulukan naql. Terkait
dengan persoalan ini ialah masalah interprestasi (ta’wil). Berkenaan dengan masalah
ini, metode al-Asy’ari cenderung mendahulukan naql dengan membolehkan
interprestasi dalam hal-hal yang memang tidak menyediakan jalan lain. Atau
mengunci dengan ungkapan “bi la kayfa” (tanpa bagaimana) untuk pensifatan Tuhan
yang bernada antropomorfis (tajsim) –menggambarkan Tuhan seperti manusia,
misalnya, bertangan, wajah, dan lain-lain. Metode al-Asy’ari ini sangat dihargai, dan
merupakan unsur kesuksesan sistemnya.Tetapi bagian-bagian lain dari metodologi
al-Asy’ari, juga epistemologinya, banyak dikecam oleh kaum Hanbali. Di mata
mereka, seperti halnya dengan Ilmu Kalam kaum Mu’tazilah, Ilmu Kalam al-Asy’ari
pun banyak menggunakan unsur-unsur filsafat Yunani, khususnya logika (manthiq)
Aristoteles. Dalam penglihatan Ibn Taymiyyah, logika Aritoteles bertolak dari
premis yang salah, yaitu premis tentang kulliyyat (universals) atau al-musytarak al-
muthlaq (pengertian umum mutlak), yang bagi Ibn Taymiyyah tidak ada dalam
kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia saja karena tidak lebih daripada hasil
ta’aqqul (intelektualisasi).
9. Kitab Ilmu Qira’at
Pembahasan tentang sejarah dan perkembangan ilmu qira’at ini dimulai
dengan adanya perbedaan pendapat tentang waktu mulai diturunkannya qira’at. Ada
dua pendapat tentang hal ini; Pertama, qira’at mulai diturunkan di Makkah
bersamaan dengan turunnya al-Qur’an. Alasannya adalah bahwa sebagian besar
surat-surat al-Qur’an adalah Makkiyah di mana terdapat juga di dalamnya qira’at
sebagaimana yang terdapat pada surat-surat Madaniyah. Hal ini menunjukkan bahwa
qira’at itu sudah mulai diturunkan sejak di Makkah.
Kedua, qira’at mulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana
orang-orang yang masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa
Arab dan dialeknya. Pendapat ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dalam kitab shahihnya, demikian juga Ibn Jarir At-Tabari dalam kitab
tafsirnya. Hadits yang panjang tersebut menunjukkan tentang waktu dibolehkannya
membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah sesudah Hijrah, sebab sumber air
Bani Gaffar yang disebutkan dalam hadits tersebut terletak di dekat kota Madinah.
Kuatnya pendapat yang kedua ini tidak berarti menolak membaca surat-surat
yang diturunkan di Makkah dalam tujuh huruf, karena ada hadits yang menceritakan

16
tentang adanya perselisihan dalam bacaan surat Al-Furqan yang termasuk dalam
surat Makkiyah, jadi jelas bahwa dalam surat-surat Makkiyah juga dalam tujuh
huruf. Ketika mushaf disalin pada masa Utsman bin Affan, tulisannya sengaja tidak
diberi titik dan harakat, sehingga kalimat-kalimatnya dapat menampung lebih dari
satu qira’at yang berbeda. Jika tidak bisa dicakup oleh satu kalimat, maka ditulis
pada mushaf yang lain. Demikian seterusnya, sehingga mushaf Usmani mencakup
ahruf sab’ah dan berbagai qira’at yang ada.
Periwayatan dan Talaqqi (si guru membaca dan murid mengikuti bacaan
tersebut) dari orang-orang yang tsiqoh dan dipercaya merupakan kunci utama
pengambilan qira’at Al-Qur’an secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan
Rasulullah Saw. kepada para sahabatnya. Para sahabat berbeda-beda ketika
menerima qira’at dari Rasulullah. Ketika Utsman mengirimkan mushaf-mushaf ke
berbagai kota Islam, beliau menyertakan orang yang sesuai qira’atnya dengan
mushaf tersebut. Qira’at orang-orang ini berbeda-beda satu sama lain, sebagaimana
mereka mengambil qira’at dari sahabat yang berbeda pula, sedangkan sahabat juga
berbeda-beda dalam mengambil qira’at dari Rasulullah SAW.
Dapat disebutkan di sini para Sahabat ahli qira’at, antara lain adalah : Utsman
bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu
Darda’, dan Abu Musa ‘Asy’ari. Para sahabat kemudian menyebar ke seluruh
pelosok negeri Islam dengan membawa qira’at masing-masing. Hal ini
menyebabkan berbeda-beda juga ketika Tabi’in mengambil qira’at dari para
Sahabat. Demikian halnya dengan Tabiut-tabi’in yang berbeda-beda dalam
mengambil qira’at dari para Tabi’in.
Keadaan ini terus berlangsung sehingga muncul para imam qiraat yang
termasyhur, yang mengkhususkan diri dalam qira’at– qira’at tertentu dan
mengajarkan qira’at mereka masing-masing. Perkembangan selanjutnya itu ditandai
dengan munculnya masa pembukuan qira’at. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa
orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at adalah Imam Abu Ubaid al-Qasim
bin Salam yang wafat pada tahun 224 H. Ia menulis kitab yang diberi nama al-
Qira’at yang menghimpun qiraat dari 25 orang perawi. Pendapat lain menyatakan
bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qiraat adalah Husain bin Usman
bin Tsabit al-Baghdadi al-Dharir yang wafat pada tahun 378 H. Dengan demikian
mulai saat itu qira’at menjadi ilmu tersendiri dalam ‘Ulum al-Qur’an.
Menurut Sya’ban Muhammad Ismail, kedua pendapat itu dapat
dikompromikan. Orang yang pertama kali menulis masalah qiraat dalam bentuk
prosa adalah al-Qasim bin Salam, dan orang yang pertama kali menullis tentang
qira’at sab’ah dalam bentuk puisi adalah Husain bin Usman Al-Baghdadi.
Pada penghujung Abad ke III Hijriyah, Ibn Mujahid menyusun qira’at Sab’ah
dalam kitabnya Kitab Sab’ah. Dia hanya memasukkan para imam qiraat yang
terkenal siqat dan amanah serta panjang pengabdiannya dalam mengajarkan Al-
Qur’an, yang berjumlah tujuh orang. Tentunya masih banyak imam qira’at yanng
lain yang dapat dimasukkan dalam kitabnya.
Ibn Mujahid menamakan kitabnya dengan Kitab al-Sab’ah hanyalah secara
kebetulan, tanpa ada maksud tertentu. Setelah munculnya kitab ini, orang-orang
awam menyangka bahwa yang dimaksud dengan ahruf sab’ah adalah qira’at sab’ah

17
oleh Ibn Mujahid ini. Padahal masih banyak lagi imam qira’at lain yang kadar
kemampuannya setara dengan tujuh imam qira’at dalam kitab Ibn Mujahid
Abu Abbas bin Ammar mengecam Ibn Mujahid karena telah mengumpulkan
qira’at sab’ah. Menurutnya Ibn Mujahid telah melakukan hal yang tidak selayaknya
dilakukan, yang mengaburkan pengertian orang awam bahwa Qiraat Sab’ah itu
adalah ahruf sab’ah seperti dalam hadis Nabi itu. Dia juga menyatakan, tentunya
akan lebih baik jika Ibn Mujahid mau mengurangi atau menambah jumlahnya dari
tujuh, agar tidak terjadi syubhat. Banyak sekali kitab-kitab qiraat yang ditulis para
ulama setelah Kitab Sab’ah ini. Yang paling terkenal diantaranya adalah : Taysir fi
al-Qira’at al-Sab’i yang diisusun oleh Abu Amr Dani, Matan Syatibiyah Fi Qira’at
Sab’i karya Imam Syatibi, Nasyr Fi Qira’at ‘Asyr karya Ibnu Jazari dan Itaf Fudala’
Basyar Fi Qira’at Arba’ah ‘Asyara karya Imam Dimyati Banna. Masih banyak lagi
kitab-kitab lain tentang qira’at yang membahas qiraat dari berbagai segi secara luas,
hingga saat ini.
10. Kitab Ilmu Tasawwuf
Benih-benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini
dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi
Muhammad SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari–hari ia berkhalwat di
gua Hira terutama pada bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak berdzikir bertafakur
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan diri Nabi di gua Hira ini
merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Sumber lain yang
diacu oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan dengan
keteduhan iman, ketaqwa’an, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu
setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat
mengabaikan kehidupan kerohanian sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di
abad–abad sesudahnya.
Setelah periode sahabat berlalu, muncul pula periode tabiin (sekitar abad ke I
dan ke II H). Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah dari masa
sebelumnya. Konflik –konflik sosial politik yang bermula dari masa Utsman bin
Affan berkepanjangan sampai masa-masa sesudahnya. Konflik politik tersebut
ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya
kelompok-kelompok Bani Umayyah, Syiah, Khawarij, dan Murjiah.
Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan
sistem pemerintahan monarki, khalifah-khalifah Bani Umayyah secara bebas berbuat
kezaliman-kezaliman, terutama terhadap kelompok Syiah, yakni kelompok lawan
politiknya yang paling gencar menentangnya. Puncak kekejaman mereka terlihat
jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein bin Ali bin Abi Thalib di Karbala. Kasus
pembunuhan itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam
ketika itu. Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti-hentinya itu membuat
sekelompok penduduk Kuffah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati
Husein dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka
menyebut kelompoknya itu dengan Tawwabun (kaum Tawabin). Untuk
membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan
sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaumTawabin itu dipimpin oleh Mukhtar
bin Ubaid as-Saqafi yang terbunuh di Kuffah pada tahun 68 H.

18
Disamping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosialpun
terjadi.halini mempunyai pengaruh yang besar dalam pertumbuhan kehidupan
beragama masyarakat Islam. Pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat, secara
umum kaum muslimin hidup dalam keadaan sederhana. Ketika Bani Umayyah
memegang tampuk kekuasaan, hidup mewah mulai meracuni masyarakat, terutama
terjadi di kalangan istana Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah tampak
semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi SAW serta sahabat utama dan semakin
dekat dengan tradisi kehidupan raja-raja Romawi. Kemudian anaknya,Yazid
(memerintah 61 H/680 M – 64 H/683M), dalam sejarah dikenal sebagai seorang
pemabuk. Dalam situasi demikian kaum muslimin yang saleh merasa berkewajiban
menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, saleh, dan tidak
tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Diantara para penyeru tersebut ialah Abu Dzar
Ghiffari. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang
tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial
dalam Islam.
Dari perubahan-perubahan kondisi sosial tersebut sebagian masyarakat mulai
melihat kembali pada kesederhanaan kehidupan Nabi SAW para sahabatnya. Mereka
mulai merenggangkan diri dari kehidupan mewah. Sejak saat itu kehidupanzuhud
menyebar luas dikalangan masyarakat. Para pelaku zuhud itu disebut zahid (jamak :
zuhhad) atau karena ketekunan mereka beribadah, maka disebut abid (jamak : abidin
atauubbad) atau nasik (jamak : nussak)
Kalau ditilik dari segi historis tasawuf, menurut kalangan peneliti yang
menjadi faktor penyebab munculnya antara lain:
 Karena adanya “pious opposition” (oposisi yang bermuatan kesalehan)
dari sekelompok umat Islam terhadap praktek-praktek regementer
pemerintahan Bani Umayah di Damaskus.
 Karena ada sekelompok (dalam hal ini para sahabat) yang selalu ingin
meniru seperti pekerti Rasulullah SAW, khususnya Khulafa al-Rasyidin.
Menurut Prof. Dr. H. Asmaran As, MA dalam buku beliau Pengantar Studi
Tasawuf, asal-usul dan motivasi lahirnya tasawuf adalah :
 Beberapa asumsi orang yang melatarbelakangi lahirnya tasawuf dalam
Islam seperti adanya unsur kristen, teori filsafat, unsur India, unsur Persia.
 Ayat-ayat Alquran yang dijadikan landasan maqamat dan ahwal dalam
tasawuf.
 Kehidupan dan sabda Rasulullah Saw.
 Kehidupan dan ucapan sahabat dan Tabi’in.
 Dari gerakan zuhud menjadi tasawuf.
11. Kitab Ilmu Falaq
Ilmu falak, merupakan ilmu yang sudah tua, yang dikenal oleh manusia,
bangsa-bangsa mesir, mesopotamia, babilonia dan konvensi, sejab abad ke-20
sebelum masehi telah diketahui dan dipelajari ilmu falak ini. yang dikenal dengan
ilmu perbintangan. menurut suatu edisi, pembagian sepeken (perkiraan) selama tujuh
hari, kehadiran sejak lebih dari 5000 tahun yang lalu, kemudian, hari-hari yang tujuh
itu, untuk tidak mengelirukan, lalu diberinyalah nama-nama objek langit yang telah
mereka ketahui, yaitu:

19
 Matahari untuk hari Ahad
 Bulan untuk hari Senin
 Mars untuk hari Selasa
 Marcurius untuk hari Rabu
 Yupiter untuk hari Kamis
 venus untuk hari Jum'at
 Saturnus untuk hari Sabtu
kemudian sekitar abad ke-12 SM, di negeri Tiongkok, ilmu falak telah
mengalami banyak kemajuan-kemajuan. Mereka harus mampu menghitung kapan
saja akan menghitung gerhana, serta menghitung perbedaan bintang-bintang. sekitar
abad ke-4 SM, di negeri Yunani yang sementara berada di zaman keemasannya ilmu
pengetahuan, ilmu falak telah mendapat kedudukan yang sangat penting dan luas.
Pada abab ke-2 Masehi, seorang ahli bintang di Iskandaria (mesir) keturunan
bangsa Yunani, yang bernama Claudius Ptolomeaus (90-168 M.) telah berhasil
menghimpun pengetahuan tentang bintang-bintang dalam suatu tulisan yang disebut
Tabril Magesthi. Naskah ini kemudian terserah keseluruh dunia dan dijadikan dasar
sebagai petunjuk ilmu perbintangan selanjutnya. Kemudian, sekitar tahun 325
Masehi, naskah itu diterbitkan oleh Theodoseus Keizer di Roma dan pada abad ke-9,
naskah itu harus disalin orang ke dalam bahasa arab. Claudius Ptolomeaus ini, selain
ahli bintang, juga ahli geografi, yang dalam catatatannya telah mencantumkan nama
Jawa dan Tapanuli, sebagai tempat yang telah dikenal pada waktu itu. Dia yakin,
itulah bumi tidak bergerak dan bumi disetujui oleh falkanya bulan, matahari dan
planet-planet lainnya.
Pada abad ke-8 Masehi, pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mansur (754-
775), khalifah dari bani Umayyah, telah mendirikan sekolah astronomi di kota
Baghdad. Khalifah sendiri termasuk, termasuk salah seorang ahli astronomi. Di
bawah pemerintahan pendanaan-penggantinya, Harun Al-Rasyid dan Al-Ma'mun
sekolah yang menghasilkan karya-karya penting, teori-toeori kuno yang didukung,
berbagai masalah Ptolomeaus di perbaiki. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh
sekolah di Baghdad telah dicatat dalam tabel yang diperoleh dengan teliti. Yahya bin
Manshur dianggap sebagai orang yang penting dalam pekerjaan ini.
12. Kitab Ilmu Tajwid
Jika dibincangkan kapan bermulanya ilmu Tajwid, maka kenyataan
menunjukkan bahwa ilmu ini telah bermula sejak dari al-Quran itu diturunkan
kepada Rasulullah Saw. Ini karena Rasulullah sendiri diperintah untuk membaca Al-
Quran dengan tajwid dan tartil seperti yang disebut dalam ayat 4, surah al-
Muzammil :
‫ورتل القرأن ترتيال‬
“Bacalah al-Quran itu dengan tartil (perlahan-lahan).”
Kemudian baginda Saw. mengajar ayat-ayat tersebut kepada para sahabat
dengan bacaan yang tartil. Sayyidina Ali r.a apabila ditanya tentang apakah maksud
bacaan al-Quran secara tartil itu, maka beliau menjawab” adalah membaguskan
sebutan atau pelafalan bacaan pada setiap huruf dan berhenti pada tempat yang
betul”.
Ini menunjukkan bahwa pembacaan Al-Quran bukanlah suatu ilmu hasil dari
Ijtihad (fatwa) para ulama’ yang diolah berdasarkan dalil-dalil dari al-Quran dan

20
Sunnah, tetapi pembacaan al-Quran adalah suatu yang Taufiqi (diambil terus)
melalui riwayat dari sumbernya yang asal yaitu sebutan dan bacaan Rasulullah Saw.
Walau bagaimanapun, apa yang dikira sebagai penulisan ilmu Tajwid yang
paling awal ialah apabila bermulanya kesedaran perlunya Mushaf Utsmaniah yang
ditulis oleh Sayyidina Utsman itu diletakkan titik-titik kemudiannya baris-baris bagi
setiap huruf dan perkataannya. Gerakan ini telah diketuai oleh Abu Aswad Ad-Duali
dan Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi, apabila pada masa itu Khalifah umat Islam
memikul tugas untuk berbuat demikian ketika umat Islam mula melakukan-kesalaha
dalam bacaan.
Ini karena semasa Utsman menyiapkan Mushaf al-Quran dalam enam atau
tujuh buah itu, beliau telah membiarkannya tanpa titik-titik huruf dan baris-barisnya
kerana memberi keluasan kepada para sahabat dan tabi’in pada masa itu untuk
membacanya sebagaimana yang mereka telah ambil dari Rasulullah sesuai dengan
Lahjah (dialek) bangsa Arab yang bermacam-macam.
Tetapi setelah berkembang luasnya agama Islam ke seluruh tanah Arab serta
jatuhnya Roma dan Parsi ke tangan umat Islam pada tahun pertama dan kedua
Hijrah, bahasa Arab mulai bercampur dengan bahasa penduduk-penduduk yang
ditaklukkan umat Islam. Ini telah menyebabkan berlakunya kesalahan yang banyak
dalam penggunaan bahasa Arab dan begitu juga pembacaan al-Quran.
Selepas itu lahirlah para ulama yang tampil memelihara kedua-dua ilmu ini
dengan karangan-karangan mereka dari masa ke masa seperti Abu ‘Amr Ad-Dani
dengan kitabnya At-Taysir, Imam Asy-Syatibi Tahani dengan kitabnya “Hirzul
Amani wa Wajhut Tahani” yang menjadi tonggak kepada karangan-karangan tokoh-
tokoh lain yang sezaman dan yang setelah mereka. Tetapi yang jelas dari karangan-
karangan mereka ialah ilmu Tajwid dan ilmu Qiraat senantiasa bergandengan, ditulis
dalam satu kitab tanpa dipisahkan pembahasannya. Penulisan ini juga diajarkan
kepada murid-murid mereka.
Kemudian lahir pula seorang tokoh yang amat penting dalam ilmu Tajwid dan
Qiraat yaitu Imam (ulama) yang lebih terkenal dengan nama Ibnul Jazari dengan
karangan beliau yang masyhur yaitu “An-Nasyr”, “Toyyibatun Nasyr” dan “Ad-
Durratul Mudhiyyah” yang mengatakan ilmu Qiraat adalah sepuluh sebagai
pelengkap bagi apa yang telah dinaytakan Imam Asy-Syatibi dalam kitabnya “Hirzul
Amani” sebagai Qiraat tujuh. Imam Al-Jazari juga telah mengarang karangan yang
berasingan bagi ilmu Tajwid dalam kitabnya “At-Tamhid” dan puisi beliau yang
lebih terkenal dengan nama “Matan Al-Jazariah”. Imam Al-Jazari telah mewariskan
karangan-karangannya yang begitu banyak berserta bacaannya sekali yang
kemudiannya telah menjadi ikutan dan panduan bagi karangan-karangan ilmu
Tajwid dan Qira’at serta bacaan al-Qur’an hingga ke hari ini.
13. Kitab Ilmu Khat (Kaligrafi)
Kaligrafi adalah seni menuliskan teks ke dalam bentuk lukisan menggunakan
pena, kuas, atau alat tulis lainnya ke media tertentu. Awalnya kaligrafi dituangkan
ke media kertas papyrus, namun seiring dengan perkembangan waktu, media
kaligrafi juga ditemukan di media lainnya yang lebih bervariasi seperti batu,
dinding, koin, sutra, kertas kanvas, perhiasan, plat kuningan, kaca, keramik, dan
lainnya. Bagi Muslim, kemampuan menulis dalam arti luas merupakan pembeda
antara manusia dengan hewan, menulis merupakan wujud dari kecerdasan tertinggi

21
manusia. Bapak hukum internasional Islam, Ibrahim ash-Shaybani, mengatakan
tulisan adalah “bahasa tangan, idiom pikiran, ambassador akal, otoritas tertinggi
pemikiran, senjata pengetahuan, dan sahabat terbaik bagi keimanan diantara
jurang waktu.”
Abad ke-16 adalah permulaan dari seni kaligrafi Islam menjadi bentuk risalah,
di mana gaya-gaya dalam kaligrafi sudah menemukan formulasi bakunya. Al-Qur’an
dan puisi-puisi Islam dituangkan secara massif dituangkan ke dalam bentuk kaligrafi
dengan kekhasan gaya kaligrafi dari berbagai aliran. Semenjak itu seni kaligrafi
telah memainkan peran penting bagi perkembangan kebudayaan Islam. Seni
kaligrafi Islam boleh dibilang memiliki lingkup tidak terbatas, variasi serta aplikasi
pemakaiannya bisa dituangkan ke media seni tulis apapun. Maka tidak
mengherankan, bukan hanya dunia Islam saja yang menggunakan kaligrafi dengan
teks Arab, dunia barat pun terpengaruh oleh kaligrafi Islam.
Teknik menulis kaligrafi bukanlah sesuatu yang asal-asalan, ada alasan
tertentu dibalik setiap teknik, ada geometri yang akurat, ada kaidah-kaidah ketat di
dalamnya, ada kesepakatan tidak tertulis diantara para seniman kaligrafi: seindah,
sevariatif, serumit apapun kaligrafi, jangan sampai mengubah makna dan teks asli
Al-Qur’an. Bahkan di awal perkembangan pencatatan Al-Qur’an ke dalam media
tulis, kaligrafi difungsikan sebagai alat bantu untuk membaca Al-Qur’an agar tidak
salah ucap yang bisa mengakibatkan perubahan makna. Diantara sumbangan
kaligrafi untuk pencatatan Alquran adalah munculnya tanda baca dan pewarnaan
tertentu supaya orang tidak salah dalam membaca Alquran. Kaligrafi untuk tujuan
pencatatan Al-Quran pertama kali dibuat di masa kepemimpinan Abdul Malik bin
Marwan (685-705).
Pada abad ke-7, yaitu pada masa awal pencatatan Al-Qur’an, muncul istilah
“Kufic”, yaitu gaya kaligrafi pertama yang digunakan untuk mencatat Al-Quran,
gaya tersebut dikembangkan di kota Kuffah, salah satu kota di Iraq. Oleh karena
itulah disebut Kufic, diambil dari kata “Kufa”. Namun sebenarnya dari manakah asal
usul munculnya Alphabet Arab? Alphabet Arab yang digunakan di dalam Al-Quran
sulit dilacak dari mana asal usulnya, namun legenda mengatakan bahwa penemu
Alphabet Arab adalah Nabi Idris, konon Alphabet ini tidak memiliki garis
melengkung sebagaimana Alphabet Arab yang kita ketahui hari ini. Namun terlepas
dari hal tersebut, seniman Kufic pada masa itu mengatakan bahwa seniman kaligrafi
Islam yang pertama adalah Ali Bin Abi Thalib, beliau adalah penemu pertama gaya
kufic. Beliau adalah master kaligrafi yang pertama. Bahkan seniman kufic ternama,
Sultan Ali Mashhadi, salah satu master gaya Nasta’liq Persia mengatakan
“kemasyuran karyaku adalah haknya Ali“. Pernyataan bahwa Ali Bin Abi Thalib
adalah kaligrafer Islam yang pertama dapat dilacak dari karya Ali yang khas, yakni
cara penulisan Alphabet Arab dengan 1/6 garis melengkung dan 5/6 garis lurus ,
atau dengan definisi lain “lengkungan kecil di awal huruf“.
Gaya menulis kaligrafi memiliki koneksi yang kuat dengan politik dan
kebudayaan pada saat gaya tersebut diciptakan. Walaupun demikian, belum tentu
seniman penciptanya mendukung penguasa pada saat itu, namun gaya kaligrafi
minimal dapat digunakan sebagai alat identifikasi perjalanan sejarah Islam, misalnya
saja gaya Mushaf Al-Hadina diciptakan pada saat dinasti Zirid berkuasa. Di tempat
lain, ada Al-Qur’an mushaf Ibnu Al Bawwab (wafat 1022) yang hidup di masa

22
dinasti Buyid. Di masa selanjutnya ada nama Mir Ali Tabrizi (wafat 1420), dan Mir
Ali Harafi (1506-1544), yang termasyur dengan gaya Nasta’lic, atau juga dikenal
dengan gaya Persia, mereka di masa dinasti Shaybanid. Gaya-gaya tersebut
bermigrasi ke daerah lain, dan mempengaruhi atau saling mempengaruhi di daerah
baru, kemudian seiring berjalannya waktu muncul penguasa baru, dan ada gaya baru
kaligrafi pula yang melekat dengan penguasa tersebut.
14. Kitab Ilmu Fiqih
Pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H merupakan titik awal
pertumbuhan fikih sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan
bertebarannya para sahabat ke nerbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasidin,
munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antar satu daerah dengan
daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut. Di Irak,
Ibnu Masud muncul sebagai fukaha yang menjawab berbagai persoalan hukum yang
dihadapinya disana.
Sementara itu, di Madinah yang masyarakatnya lebih homogen, Zaid bin Sabit
(11 SH ./611 M.-45 H/ 665M) dan Abdullah bin Umar bin Khattab (Ibnu Umar)
bertindak menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul didaerah itu.
Sedangkan di Makkah, yang bertindak menjawab berbagai persoalan hukum adalah
Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan sahabat lainnya. Pola dalam menjawab
persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah dan Makkah sama, yaitu berpegang kuat
pada Al-Qur’an dan hedits nabi SAW. Oleh karenanya, pola fukoha Mekah dan
Madinah dalam menangani segala persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang
digunakan fuqaha di Irak. Cara-cara yang ditempuh para sahabat di mekah dan
Madinah menjadi cikal bakal bagi munculnya aliran ahlul hadits.
Pertentangan antara ahlul hadits dan ahlul ra ‘yi sangat tajam,sehingga
menimbulkan semangat berijjtihad bagi masing- masing aliran. Semangat para
fukaha melakukan ijtihad juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqih, yaitu
mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Pertentangan kedua aliran ini baru
mereda setelah murid-murid kelompok ahlul ra’yi berupaya membatasi,
mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra’yu yang dapat digunakan untuk meng-
instinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlul hadits dapat menerima
pengertian ra’yu yang dimaksudkan ahlul ra’yi, sekaligus menerima ra’yu sebagai
salah satu cara dalam meng-instinbat-kan hukum. juga ditandai dengan dimulainya
penyusunan kitab fiqih dan usul fiqih. Diantara kitab fiqih yang lebih awal disusun
adalah Al-Muwatha oleh Imam Malik, Al-Umm oleh Imam Syafi’i, Zahir Ar-
Riwayah dan An-Nawadir oleh Imam Asy-Syaibani. Kitab usul fiqih yang pertama
pada masa ini adalah ar-Risalah oleh Imam Syafi’i. Teori ushul fiqih dalam masing-
masing madzhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan marsalah
mursalah.
15. Kitab Ilmu Tauhid
Sejarah menunjukkan, bahwa pengertian manusia terhadap tauhid itu sudah
tua sekali, yaitu sejak diutusnya nabi Adam. Adam mengajarkan tauhid kepada anak
cucunya. Merekapun taat dan tunduk kepada ajaran Adam yang meng-Esa-kan Allah
Swt. Tegasnya sejak permulaan manusia mendiami bumi ini, sejak itu telah
diketahui dan diyakini adanya dan Esanya Allah pencipta alam. Hal ini (adanya

23
tauhid sejak zaman Nabi Adam) seperti firman Allah dalam surat Al Anbiya’ ayat 25
yang berbunyi :
              

Artinya: “Dan tidaklah kami mengutus sebelum engkau seseorang Rasul pun
melainkan kami wahyukan kepadanya bahwasanya tiada tuhan yang sebenarnya
disembah melainkan Aku, maka sembahlah Daku.”
Semua nabi mulai nabi Adam sampai nabi Muhammad, mengajar dan
memimpin umat, untuk meyakinkan bahwa yang menjadikan alam atau pencipta
alam semesta ini adalah Tunggal, Esa, yaitu Allah SWT. Demikianlah adanya garis
lurus sejak Nabi Adam sampai kepada Nabi Muhammad SAW yang meyakini dan
memercayai suatu keyakinan dan kepercayaan yang tunggal tentang sifat dan zat
pencipta alam yaitu Allah SWT.
Rasulullah saw merupakan periode pembinaan aqidah dan peraturan peraturan
dengan prinsip kesatuan umat dan kedaulatan Islam. Segala masalah yang kabur
dikembalikan langsung kepada Rasulullah saw sehingga beliau berhasil
menghilangkan perpecahan antara umatnya. Masing-masing pihak tentu
mempertahankan kebenaran pendapatnya dengan dalil-dalil, sebagaimana telah
terjadi dalam agama-agama sebelum Islam. Rasulullah mengajak kaum muslimin
untuk mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya serta menghindari dari perpecahan yang
menyebabkan timbulnya kelemahan dalam segala bidang sehingga menimbulkan
kekacauan
Bila terjadi perdebatan haruslah dihadapi dengan nasihat dan peringatan.
Berdebat dengan cara baik dan dapat menghasilkan tujuan dari perdebatan, sehingga
terhindar dari pertengkaran. Dengan demikian Tauhid di zaman Rasulullah saw tidak
sampai kepada perdebatan dan polemik yang berkepanjangan, karena Rasul sendiri
menjadi penengahnya.
Setelah rosulullah Saw. wafat, dalam masa khalifah pertama dan kedua, umat
islam tidak sempat membahas dasar-dasar akidah karena mereka sibuk menghadapi
musuh dan berusaha memprtahankan kesatuan dan kesatuan umat. Tidak pernah
terjadi perbedan dalam bidang akidah. Mereka membaca dan memahamkan al
qur’an tanpa mencari ta’wil dari ayat yang mereka baca. Mereka mengikuti perintah
Al-Qur’an dan mereka menjauhi larangannya. mereka mensifatkan allah swt dengan
apa yang allah swt sifatkan sendiri. Dan mereka mensucikan allah swt dari sifat-sifat
yang tidak layak bagi keagungan allah swt. Apabila mereka menghadapi ayat-ayat
yang mutasyabihah mereka yang mengimaninya dengan menyerahkan
penta’wilannya kepada allah swt sendiri.
Di masa khalifah ketiga akibat terjadi kekacauan politik yang diakhiri dengan
terbunuhnya khalifah utsman. Umat islam menjadi terpecah menjadi beberapa
golongan dan partai, barulah masing-masing partai dan golongan-golongan itu
dengan perkataan dan usaha dan terbukalah pintu ta’wil bagi nas al qur’an dan
hadits. Karena itu, pembahasan mengenai akidah mulai subur dan berkembang,
selangkah demi selangkah dan kian hari kian membesar dan meluas.
C. Macam-Macam Kitab Di Pesantren
Di pesantren ada beberapa tema kajian yang wajib dipelajari dan didalami.
Seperti tafsir, ilmu alat (gramatika bahasa arab), hadits, akhlak, tauhid, fiqih dan lain

24
sebagainya beserta cabang-cabang ilmunya. Setidaknya ada tujuh kitab kuning dasar
yang diajarkan di pesantren sebelum mengkaji lebih dalam tentang Islam. Tujuh kitab
dasar tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Kitab Aj-Jurrumiyyah
Syarat utama seorang santri untuk mempelajari kitab kuning adalah harus
menguasai dulu ilmu alatnya (gramatika bahasa arab/nahwu). Kitab dasar mengenai
gramatika bahasa arab tersebut adalah kitab tipis yang berjudul AJ-Jurrumiyyah yang
dikarang oleh Syaikh Sonhaji dengan penjelasan materi yang sistematis dan mudah
dipahami. Adapun tingkatan selanjutnya setelah kitab Jurrumiyyah adalah Imrithi,
Mutammimah, dan yang paling tinggi adalah Alfiyah.
2. Kitab Amtsilati At-Tashrifiyyah
Selain harus menguasai ilmu ilmu nahwu (gramatika bahasa arab), hal yang
wajib bagi seorang untuk mengetahui isi kitab kuning harus tahu ilmu tashrifnya
(perubahan pola kalimat). Sehingga ketika sudah memahami gramatika dan perubahan
pola kalimatnya baru bisa mengartikannya. Salah satu kitab yang paling dasar dalam
mempelajari ilmu shorof adalah Kitab Amtsilah Tashrifiyah yang dikarang salah satu
ulama Indonesia, beliau KH. Ma’shum ‘Aly dari Jombang.
3. Kitab Musthalahul Hadits
Tradisi keilmuan pesantren sudah sejak dahulu mempunyai prinsip menjaga
sanad keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan. Salah satu alat pendeteksi
keilmuan dalam pendidikan pesantren adalah dengan menggunakan kitab Mustholahul
Hadits. Kitab Mushtholah Al-Hadits yang mempelajari ilmu mengenai seluk beluk
ilmu hadits. Mulai dari macam-macam hadits, kriteria hadits, syarat orang yang
berhak meriwayatkan hadits dan lain-lain dapat dijadikan bukti kevalidan suatu matan
hadits. Kitab ini dikarang oleh Al-Qodhi Abu Muhammad Ar-Romahurmuzi yang
mendapatkan perintah dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz karena pada waktu itu
banyak orang yang meriwayatkan hadist-hadist palsu sehingga sang khalifah
memutuskan untuk mencegah dari penyebaran hadits palsu tersebut.
4. Kitab Arbain Nawawi
Dasar bagi seorang santri memahami sebuah hadits berawal dari kitab ini,
Arbain Nawawi. Kitab ini adalah hasil karya Abu Zakariya Yahya bin Syarif bin
Murri Al Nizami An-Nawawi yang berisi 42 matan hadits.
5. Kitab Taqrib
Salah satu yang paling pokok dalam kajian pesantren adalah kitab fiqih.
Bahwa setiap cabang ilmu memiliki tingkatan yang berbeda. Kitab taqrib merupakan
kitab matan dan memiliki banyak penjelasan (syarah) seperti Fathul Qorib, Tausyaikh,
Fathul Mu’in.
6. Kitab Aqidatul Awam
Hal yang mendasar dalam ajaran Islam adalah aqidah, dimana setiap amal
perbuatan disandarkan kepada akidah. Jika seorang memiliki amal yang baik dan
dengan akidah yang benar, maka amal tersebut akan berbuah kebaikan di surga nanti.
Begitu juga sebaliknya. Kitab dasar aqidah yang dipelajari dipesantren adalah kitab
Aqidatul Awam karangan Syaikh Ahmad Marzuqi Al-Maliki berisi 57 bait nadzom.
7. Kitab Ta’lim Muta’lim
Akhlak adalah puncak dari ilmu seperti disampaikan dalam salah satu kata
mutiara “akhlak diatas ilmu”. Kata mutiara tersebut memiliki arti seberapa luas pun

25
ilmu seseorang harus menjadikan akhlak sebagai pedoman jalannya. Hal dasar bagi
para pencari ilmu agar ilmunya manfaat dan barokah adalah harus mengutamakan
akhlaq. Kitab dasar yang menerangkan mengenai akhlaq di dunia pesantren adalah
kitab Ta’limul Muta’alim karangan Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji.

BAB III

26
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kitab secara etimologi itu berasal dari bahasa Arab “Kataba” yang berarti
menulis. Setelah jadi Mashdar yang berarti tulisan, atau yang ditulis. Bentuk jamak
dari kitab adalah “Kutub”. Kalau dalam bahasa Indonesia itu kitab berarti buku.
Secara terminologi kitab sebuah karangan dari ulama-ulama terdahulu yang berupa
penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan yang berkaitan serta bersumber
dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Ilmu itu satu asalnya cuman dari Allah Swt. karena pada haqiqatnya memang
yang maha tahu dan maha berilmu itu adalah Allah Swt. kita diberi oleh Allah ilmu
itu adalah sebuah anugerah besar bagi kita semua. Dengan ilmulah hidup kita akan
bahagia, tentram, damai, dan sentosa.
Adapun ilmu-ilmu yang sekarang ini banyak adalah cabang-cabang dari ilmu
yang Allah berikan kepada kita ini. Dari mulai ilmu Nahwu, Sharaf, Balaghah,
Mantiq, dan lainnya. Dan dari situlah timbulah sejarah lahirnya ilmu-ilmu tersebut,
orang yang pertama menemukannya.
Kitab kuning yang kita pelajari di pesantren juga tak jauh dari ilmu-ilmu
tersebut apalagi yang paling menonjol adalah ilmu nahwu dan sharaf. Konon kata
para ulama jika kita menguasai kedua ilmu itu pasti kita akan menguasai ilmu yang
lainnya juga. Karena memang pada haqiqatnya itu, nahwu itu ibarat bapaknya ilmu
dan sharaf itu ibarat ibunya ilmu.
B. Saran
Kami selaku penulis menyadari bahwa makalah yang kami buat ini kurang
sempurna, isinya kurang bagus. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya karena
kami semua ini masih belajar dan kurang tahu tentang ilmu pengetahuan. Kami
harap para pembaca memakluminya. Sekian dan terima kasih.

27
DAFTAR PUSTAKA

 Azka Darul, Nailul Huda. 2013. Kajian dan Penjelasan Ilmu Mantiq Sulamunawaraq.
Lirboyo; Santri Salaf Press.
 Zuhri Muhammad. 2003. Hadits Nabi Telah Historis dan Metodologis. Yogyakarta:
PT Tiara Wacana Yogya.
 Al-Qaththan, Manna’ Khalil. Study Ilmu Quran, Jakarta : Litera Antar Nusa, 2000.
 Aqil, Sayid Munawwar, Membangun Metodologi Fiqih, Jakarta: Ciputat Press, 2004.

28

Anda mungkin juga menyukai