Kata-kata sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari kata mashadir
yang berarti wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum. Sumber hukum
Islam yang utama adalah Al-Qur’an dan sunah. Selain menggunakan kata sumber,
juga digunakan kata dalil yang berarti keterangan yang dijadikan bukti atau alasan
suatu kebenaran. Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas juga merupakan sumber hukum
karena sebagai alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh
Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW
Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku
manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi
wewenang oleh masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”. Bila
definisi ini dikaitkan dengan Islam atau syara’ maka hukum Islam berarti:
“seperangkat peraturan bedasarkan wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW
tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang diakui dan
diyakini mengikat semua yang beragama Islam”. Maksud kata “seperangkat
peraturan” disini adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci dan mempunyai
kekuatan yang mengikat, baik di dunia maupun di akhirat.
A. Al Qur’an
1. Segi Kuantitas
Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa
kata
2. Segi Kualitas
Isi pokok Al Qur’an (ditinjau dari segi hukum) terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:
1. Hukum yang berkaitan dengan amal ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji,
nadzar, sumpah dan sebagainya yang berkaitan dengan hubungan manusia
dengan tuhannya.
2. Hukum yang berkaitan dengan amal kemasyarakatan (muamalah) seperti
perjanjian perjanjian, hukuman (pidana), perekonomian, pendidikan,
perkawinan dan lain sebagainya.
Sedangkan ayat ahkam (hukum) yang bersifat garis besar, umumnya berkaitan
dengan muamalah, seperti perekonomian, ketata negaraan, undang-undang
sebagainya. Ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan masalah ini hanya berupa
kaidah-kaidah umum, bahkan seringkali hanya disebutkan nilai-nilainya, agar dapat
ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Selain ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang
berkaitan dengan masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan lain-lainnya.
Ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali.
B. Hadits
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum
Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati
hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad
SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT: (lihat Al-Qur’an
onlines di google)
Artinya: “ … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)
Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat
selama kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah rasulnya”.
(HR Imam Malik)
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai
berikut.
Ayat diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.
Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan
bangkai mana yang boleh dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa
ada bangkai yang boleh dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah
SAW:
Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun
dua macam bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah
hati dan limpa…” (HR Ibnu Majjah)
1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil,
sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat
hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat
menodai keshohehan suatu hadits
2. Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak
begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat
illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul
biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak
terlalu penting
3. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih
syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam
ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan
banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak
dipenuhi
C. Ijtihad
Hasil ini berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang
bernama muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya
kepada Muadz,” bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada
satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan
menetapkan hukumdengan Al Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak
ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan
tetapkan dengan Hadits”. Rasul bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan
ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad
dengan pendapat saya sendiri” kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu
Muadz bi Jabal, tanda setuju.
Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan
hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits.
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:
Dalam berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas.
Ijma’ adalah kese[akatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada
suatu masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada
hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman
Allah SWT: (lihat Al-Qur’an onlines di google)
Artinya: “Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri
diantara kamu….” (QS An Nisa : 59)
Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai
kekuasaan dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid.
Dengan demikian, ijma’ ulam dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam. Contoh
ijam’ ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian
membukukannya menjadi mushaf Al Qur’an, seperti sekarang ini.
Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya
dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat
persamaan illat atau sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras,
seperti bir dan wiski. Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang
disebut dalam Al Qur’an karena antara keduanya terdapat persamaan illat (alasan),
yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukmnya
dalam Al Qur’an atau hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan
dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al Qur’an.
Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya
mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:
1. Dasar (dalil)
2. Masalah yang akan diqiyaskan
3. Hukum yang terdapat pada dalil
4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan
1. Wajib, yaitu perintah yang harus dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi
(dikerjakan), maka yang mebgerjakannya akan mendapat pahala, jika tidak
dikerjakan maka ia akan berdosa
2. Sunah, yaitu anjuran. Jika dikerjakan dapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak
berdosa
3. Haram, yaitu larangan keras. Kalau dikerjakan berdosa jika tidak dikerjakan
atau ditinggalkan mendapat pahala, sebagaiman dijelaskan oleh nabi
Muhammad SAW dalam sebuah haditsnya yang artinya:
Jauhilah segala yang haram niscaya kamu menjadi orang yang paling beribadah.
Relalah dengan pembagian (rezeki) Allah kepadamu niscaya kamu menjadi orang
paling kaya. Berperilakulah yang baik kepada tetanggamu niscaya kamu
termasuk orang mukmin. Cintailah orang lain pada hal-hal yang kamu cintai bagi
dirimu sendiri niscaya kamu tergolong muslim, dan janganlah terlalu banyak
tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa itu mematikan hati. (HR. Ahmad
dan Tirmidzi)
4. Makruh, yaitu larangan yang tidak keras. Kalau dilanggar tidak dihukum (tidak
berdosa), dan jika ditinggalkan diberi pahala
5. Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan.
Kalau dikerjakan tidak berdosa, begitu juga kalau ditinggalkan.
Dalil fiqih adalah Al Qur’an, hadits, ijma’ mujtahidin dan qiyas. Sebagian ulama
menambahkan yaitu istihsan, istidlal, ‘urf dan istishab.
1. Hukum yang diambil dari nash yang tegas, yakni adanya dan maksudnya
menunjukkan kepada hukum itu
Hukum seperti ini tetap, tidak berubah dan wajib dijalankan oleh seluruh kaum
muslim, tidak seorangpun berhak membantahnya. Seperti wajib shalat lima
waktu, zakat, puasa, haji dan syarat syah jual beli dengan rela. Imam syafi’ie
berpendapat apabila ada ketentuan hukum dari Allah SWT, pada suatu kejadian,
setiap muslim wajib mengikutinya.
2. Hukum yang diambil dari nash yang tidak yakin maksudnya terhadap
hukum-hukum itu.
Dalam hal seperti ini terbukalah jalan mujtahid untuk berijtihad dalam batas
memahami nas itu. Para mujtahid boleh mewujudkan hukum atau menguatkan
salah satu hukum dengan ijtihadnya. Umpamanya boleh atau tidakkah khiar
majelis bagi dua orang yang berjual beli, dalam memahami hadits:
Dua orang yang jual beli boleh memilih antara meneruskan jual beli atau tidak
selama keduanya belum berpisah. Kata “berpisah” yang dimaksud dalam hadits ini
mungkin berpisah badan atau pembicaraan, mungkin pula ijab dan kabul. Sperti
wajib menyapu semua kepala atau sebagian saja ketika wudhu’, dalam memahami
ayat:
Alat apapun yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan padanya nama Allah.
1. Hukum yang tidak ada nas, baik secara qa’i (pasti) maupun zanni (dugaan),
tetapi pada suatu masa telah sepakat (ijma’) mujtahidin atas hukum-hukumnya
Seperti bagian kakek seperenam, dan batalnya perkawinan seorang muslimah
dengan laki-laki non muslim. Di sini tidak ada jalan untuk ijtihad, bahkan setiap
muslim wajib mengakui untuk menjalankannya. Karena hukum yang telah
disepakati oleh mujtahdidin itu adalah hukum untuk seluruh umat, dan umat itu
menurut Rasulullah SAW tidak akan sepakat atas sesuatu yang sesat. Mujtahidin
merupakan ulil amri dalam mempertimbangkan, sedangkan Allah SWT
menyuruh hambanya menaati ulil amri. Sungguhpun begitu, kita wajib
betul-betul mengetahui bahwa pada huku itu telah terjadi ijma’ (sepakat) ulama
mujtahidin. Bukan hanya semata-mata hanyan didasarkan pada sangkaan yang
tidak berdasarkan penelitian.
2. Hukum yang tidak ada dari nas, baik qat’i ataupun zanni, dan tidak pula ada
kesepakatan mujtahidin atas hukum itu. Seperti yang banyak terdapat dalam
kitab-kitab fiqih mazhab. Hukum seperti ini adalah hasil pendapat seorang
mujtahid. Pendapat menurut cara yang sesuai denngan akal pikirannya dan
keadaan lingkungannya masing-masing diwaktu terjadinya peristiwa itu.
Hukum-hukum seperti itu tidak tetap, mungkin berubah dengan berubahnya
keadaan atau tinjauannya masing-masing. Maka mujtahid dimasa kini atau
sesduahnya berhak membantah serta menetapkan hukum yang lain.
Sebagaimana mujtahid pertama telah memberi (menetapkan) hukum itu
sebelumnya. Ia pun dapat pula mengubah hukum itu dengan pendapatnya yang
berbeda dengan tinjauan yang lain, setelah diselidiki dan diteliti kembali pada
pokok-pokok pertimbangannya. Hasil ijtihad seperti ini tidak wajib dijalankan
oleh seluruh muslim. Hanya wajib bagi mujtahid itu sendiri dan bagi orang-orang
yang meminta fatwa kepadanya, selama pendapat itu belum diubahnya.