KELOMPOK 1
M. ISKANDAR
ARIE TRIE WAHYUNIE
RISKI SIREGAR
DEWI JUNITA
DESVI NATALIA HUTAGALUNG
IRWAN
LATAR BELAKANG
Seperti yang kita ketahui bersama dewasa ini, di Indonesia banyak terjadi kasus KKN
( Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) KKN bukanlah suatu hal yang tabu lagi. Semua orang di
Indonesia telah mengetahui apa yang dimaksud dengan KKN. Korupsi, sebagian pejabat di
Indonesia melakukanya, baik dalam jumlah yang besar atau kecil uang yang diambilnya.
Banyak orang yang masih melakukan KKN, Padahal ia telah mengetahui bahwa hal tersebut
dilarang. KKN adalah satu kesatuan yang saling berkaitan. Kolusi dan Nepotisme dapat
dikatakan sebagai hasil dari lahirnya Korupsi. Padahal jelas landasan hukum pemberantasan
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Berdasarkan hal itu, bila tidak dicegah dan ditanggulangi serta diberantas sampai
kepada akar-akarnya tidak menutup kemungkinan jika KKN akan seperti bom waktu yang
mengeroggoti keutuhan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu,
diperlukan upaya-upaya untuk dapat mencegah dan memberantas masalah KKN agar
kehidupan berbangsa dan bernegara dapat senantiasa selaras dengan Pancasila dan Konstitusi.
Dalam tulisan ini kami memusatkan perhatian pada masalah Nepotisme dengan
mengusulkan dampak dari Nepotisme dan juga upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam
menganggulangi Nepotisme. Pembahasaan mengenai nepotisme masih jarang. Penelitian baru
berkembang setelah tahun 2010, dimana ada beberapa penelitian yang menunjukan dampak
nepotisme dan performa perusahaan keluarga dan korporasi.
Hasil dari riset tersebut menunjukan bahwa nepotisme menghasilkan keputusan yang tidak
berimbang, perlakuan tidak adil dan merusak kinerja perusahaan dalam jangka panjang.
Penelitian terbaru juga menunjukan bahwa nepotisme menyebabkan kehilangan motivasi,
Kepercayaan diri, keterasingan, menyingkirkan karyawan yang memiliki keterampilan yang
tinggi, dan membatasi persaingan dan inovasi.
Konsekuensi dari dampak nepotisme diatas melemahkan fondasi organisasi yang pada
akhirnya akan berdampak pada pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Nepotisme
menyebabkan banyak dampak pada kinerja organisasi, tetapi kurangnya minat diantara para
peneliti dikajian ini bisa menyebabkan daampak yang lebih besar dari yang dibayangkan.
Dengan cara ini diharapkan program penanganan masalah Nepotisme akan lebih terarah dan
memnerikan hasil yang setahap demi setahap dapat dipergunakan untuk dijadikan basis bagi
seterusnya sampai tuntas.
Nepotisme memiliki cakupan yang cukup luas, yakni penyalahgunaan kekuasaan
untuk kepentingan golongan tertentu dan biasanya di motivasi oleh keserakahan pribadi.di
Indonesia, istilah nepotisme mulai populer pada 1990an. Aktivis mahasiswa, yang menuntut
Soeharto untuk mengakhiri kekuasaanya, memakai istilah” Korupsi, Kolusi dan Nepotisme(
KKN)”.
Praktik mengistimewakan orang tertentu, yang didasarkan pada preferensi pribadi,
ikatan darah dan hubungan kekeluargaan masih kental hingga kini. Ada beberapa partai
politik yang dibentuk berdasarkan pada ikatan kekeluargaan seperti misalnya partai Demokrat
dan Partai Berkarya.
Praktik nepotisme juga berlangsung di pemerintahan lokal. Seperti misalnya di
Banten dan Sulawesi Selatan. Para pemimpin daerah disana menjalankan kekuasaanya
dengan mengistimewakan keluarga dekatnya dalam pemerintahan. Ketika pemimpin daerah
dengan keluarga dan handai tolan di administrasi sudah tidak lagi berkuasa, pengaruh dan
warisan politik mereka akan tetap kuat. Ini menunjukan bahwa praktik nepotisme ada disetiap
level pemerintahan di Indonesia.
Kata nepotisme berasal dari kata latin nepos, yang berarti ”keponakan” atau ”cucu”,
secara istilah berarti mendahulukan anggota keluarga atau kawan dalam memberikan
pekerjaan atau hak istimewa. Menurut kamus besar bahasa indonesia Nepotisme dapat berarti
perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat terdekat,
kecendrungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam
jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah, tindakan memilih kerabat atau sanak saudara
sendiri untuk memegang pemerintahan. Pakar –pakar bilogi telah mengisyaratkan bahwa
tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari
pemilihan saudara.
Pengertian nepotisme sebagai tindakan mengambil kesempatan terhadap suatu
keadaan, posisi atau jabatan berdasarkan hubungan kekerabatan, tidak selalu mempunyai
konotasi makna yang negatif. Nepotisme menjadi sebuah perilaku positif (baik), apabila
objek yang diuntungkan memang dianggap kompeten. Indonesia sebagai sebuah negara
memiliki landasan hukum dasar yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila sebagai
pedoman dan falsafah bangsa Indonesia. Menurut undang-undang pemberantasan tindak
pidana korupsi no. 28 tahun 1999 pasal 1 Ayat 5, Tentang Penyelenggaraan Yang Bersih Dan
Bebas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme terdapat pada pasal 22 yaitu :
“Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan nepotisme
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat
2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,-
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.
Menurut pasal diatas nepotisme telah dinyatakan sebagai kejahatan dalam Undang-Undang
Nomor 28 tahun 1999 Tentang Penyelenggara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme. Kehadiran Undang-Undang ini diharapkan dapat membuka cakrawala baru
bagi penegakan hukum pidana terhadap nepotisme yang sampai saat ini belum ada yang
dilimpahkan ke pengadilan.
Praktik nepotisme juga berlangsung di pemerintahan lokal. seperti misalnya Banten.
Para pemimpin daerah disana menjalankan kekeuasaannya dengan mengistimewakan keluarga
dekatnya dalam pemerintahan. ketika pemimpin pemerintahan daerah dengan keluarga
diadminstrasi sudah tidak lagi berkuasa, pengaruh dan warisan politik mereka akan tetap kuat.
Ini menunjukanbahwa praktik nepotisme ada disetiap level pemerintahan di Indonesia
Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHSAAN
NEPOTISME
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya
bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.
Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara,
bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan
bersalah karena nepotisme. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap
nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara. Kata
nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang berarti “keponakan” atau “cucu”. Pada Abad
Pertengahan beberapa paus Katholik dan uskup- yang telah mengambil janji “chastity” ,
sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung – memberikan kedudukan khusus kepada
keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri. Beberapa paus diketahui
mengangkat keponakan dan saudara lainnya menjadi kardinal. Seringkali, penunjukan tersebut
digunakan untuk melanjutkan “dinasti” kepausan. Contohnya, Paus Kallistus III, dari keluarga
Borja, mengangkat dua keponakannya menjadi kardinal; salah satunya, Rodrigo, kemudian
menggunakan posisinya kardinalnya sebagai batu loncatan ke posisi paus, menjadi Paus
Aleksander VI. Kebetulan, Alexander mengangkat Alessandro Farnese, adik kekasih gelapnya,
menjadi kardinal; Farnese kemudian menjadi Paus Paulus III. Paul juga melakukan nepotisme,
dengan menunjuk dua keponakannya (umur 14 tahun dan 16 tahun) sebagai Kardinal.
Praktek seperti ini akhirnya diakhiri oleh Paus Innosensius XII yang mengeluarkan
bulla kepausan Romanum decet pontificem pada tahun 1692. Bulla kepausan ini melarang
semua paus di seluruh masa untuk mewariskan tanah milik, kantor, atau pendapatan kepada
saudara, dengan pengecualian bahwa seseorang saudara yang paling bermutu dapat dijadikan
seorang Kardinal.
Yang menjadi persoalan, jika tindakan Nepotisme dikaitkan pemberian posisi atau jabatan
tertentu kepada orang yang mempunyai kekerabatan dengan seorang pelakunya tanpa
memperdulikan unsur-unsur berikut :
1. Unsur keahlian atau kemampuan yang dimiliki, kalau nepotisme dilakukan dengan
tidak memeprdulikan kualitas, maka pelakunya bisa dikategorikan sebagai orang yang
dzalim dan dapat merusak tatanan kehidupan, baik keluarga, masyarakat, negara,
maupun agama.
2. Kedua, unsur kejujuran dalam menjalankan amanat, Jika nepotisme dijalankan dengan
cara yang tidak dibenarkan dalam suatu peraturan atau hukum tertentu, seperti menutup
kesempatan kepada orang lain yang sama-sama mempunyai hak, maka ia termasuk
kelompok yang bisa dikategorikan sebagai orang yang tidak jujur dan khianat terhadap
amanat.
Seperti yang kita tahu Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sangat merugikan dalam hal
apapun,dan dibawah ini akan dijelaskan tentang dampak negativenya dalam berbagai bidang
diantaranya:
1.DEMOKRASI
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik,
korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan
cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif
mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem
pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik
menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi
mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan
sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat
yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti
kepercayaan dan toleransi.
2.EKONOMI
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak
efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena
kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup,
dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan
bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang
baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk
membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi
ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki
koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-
perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan
investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih
banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk
menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan.
Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup,
atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan
infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan
pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang
berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital
investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan
yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda
sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari
semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui
investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts
memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara
berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri.
(Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan
modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu
faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru
sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi
dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, diluar
jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.
3) KESEJAHTERAAN UMUM NEGARA
Korupsi politis ada dibanyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya.
Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok,
bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang
melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME).
Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan
besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
BENTUK-BENTUK PENYALAHGUNAAN
Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan
nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan
seperti penyogokan, pemerasan, campuran tangan, dan penipuan.
1) Penyogokan: penyogok dan penerima sogokan
Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima
sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup sehari-hari,
meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan.
Negara-negara yang paling sering memberikan sogokan pada umumnya tidak sama dengan
negara-negara yang paling sering menerima sogokan.
Dua belas negara yang paling kurang korupsinya, menurut survey persepsi (anggapan tentang
korupsi oleh rakyat) oleh Transparansi Internasional di tahun 2001 adalah sebagai berikut
(disusun menurut abjad):
Australia, Kanada, Denmark, Finlandia, Islandia, Luxemburg, Belanda, Selandia Baru,
Norwegia, Singapura, Swedia, dan Swiss.
Menurut survei persepsi korupsi , tigabelas negara yang paling korup adalah (disusun
menurut abjad):
Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Indonesia,Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan, Rusia,
Tanzania, Uganda, dan Ukraina
Namun demikian, nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini dilakukan
berdasarkan persepsi subyektif dari para peserta survei tersebut, bukan dari penghitungan
langsung korupsi yg terjadi (karena survey semacam itu juga tidak ada)
Sumbangan kampanye dan "uang lembek"
Di arena politik, sangatlah sulit untuk membuktikan korupsi, namun lebih sulit lagi untuk
membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip menyangkut politisi.
Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan
keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk bertindak hanya demi
keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya menyebabkan
munculnya tuduhan korupsi politis.
2) Tuduhan korupsi sebagai alat politik
Sering terjadi di mana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka dengan tuduhan
korupsi. Di Republik Rakyat Cina, fenomena ini digunakan oleh Zhu Rongji, dan yang
terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan politik mereka.
3) Mengukur korupsi
Mengukur korupsi - dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa negara, secara
alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin bersembunyi.
Transparansi Internasional, LSM terkemuka di bidang anti korupsi, menyediakan tiga tolok
ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks Persepsi Korupsi (berdasarkan dari pendapat para
ahli tentang seberapa korup negara-negara ini); Barometer Korupsi Global (berdasarkan
survei pandangan rakyat terhadap persepsi dan pengalaman mereka dengan korupsi); dan
Survei Pemberi Sogok, yang melihat seberapa rela perusahaan-perusahaan asing memberikan
sogok.
Transparansi Internasional juga menerbitkan Laporan Korupsi Global; edisi tahun 2004
berfokus kepada korupsi politis. Bank Dunia mengumpulkan sejumlah data tentang korupsi,
termasuk sejumlah Indikator Kepemerintahan.
Permasalahan pokok yang menyebabkan ketidaktertiban hukum ini adalah karena adanya
ketidaktertiban sosial. Bila bicara masalah hukum seharusnya tidak dilepaskan dari kehidupan
sosial masyarakat karena hukum merupakan hasil cerminan dari pola tingkah laku, tata aturan
dan kebiasaan dalam masyarakat. Namun sangat disayangkan hukum sering dijadikan satu-
satunya mesin dalam penanggulangan kejahatan dan melupakan masyarakat yang sebenarnya
menjadi basis utama dalam penegakan hukum. Jadi jelas bahwa aspek sosial memegang peran
yang penting dalam upaya pencegahan kejahatan yang tentunya hasilnya akan lebih baik karena
memungkinkan memutus mata rantainya.
Kata nepotisme berasal dari kata latin nepos, yang berarti ”keponakan” atau ”cucu”,
secara istilah berarti mendahulukan anggota keluarga atau kawan dalam memberikan pekerjaan
atau hak istimewa.
Menurut kamus besar bahasa indonesia Nepotisme dapat berarti perilaku yang memperlihatkan
kesukaan yang berlebihan kepada kerabat terdekat, kecendrungan untuk mengutamakan
(menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan
pemerintah, tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang
pemerintahan. Pakar –pakar bilogi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme
adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.
Walaupun praktek nepotisme ini sudah berlangsung sejak lama, istilah nepotisme mulai
digunakan secara luas di Indonesia sejak tahun 1998. Fakta yang terjadi sampai sekarang,
praktek nepotisme masih kerap dilakukan di Indonesia, bahkan sudah menjadi rahasia umum
dalam proses perekrutan pengawal baru, baik di instansi-instansi pemerintah dan perusahaan-
perusahaan BUMN maupun swasta.
Masyarakat masih mengangap bahwa tindakan nepotisme tidak melanggar hukum
seperti halnya korupsi. Padahal, pengesahaan Undang-Undang No.28 tahun 1999,tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, itu sudah merupakan dasar hukum sah yang melarang
praktek nepotisme, bersama dengan korupsi dan kolusi.
Studi Kasus
Awal mula kemunculan fenomena dinasti politik di Banten dimulai sejak Ratu Atut
Chosiyah naik posisi dari Wakil Gubernur menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur pada tahun
2005, menggantikan Djoko Munandar, Gubernur Banten definitif pertama pasca provinsi yang
diberhentikan karena kasus dana perumahan anggota DPRD Banten. Namun demikian, sinyal
dan potensi ke arah terbentuknya dinasti politik sebetulnya sudah mulai tampak sejak pilgub
pertama tahun 2001.
Sinyal dan potensi itu paling tidak, tampak pada dominasi Tb.Chasan Sochib, ayahanda
Ratu Atut, dengan kekeuatan jaringan jawaranya yang mendominasi jalanya proses perhelatan
pilgub pada waktu itu. Kurang lebih setahun setelah menjabat sebagai Plt Gubernur Banten,
tahun 2006 Pilgub Banten kedua yang untuk pertama kalinya dilaksanakan secara langsung
digelar. Ratu Atut kemudian maju sebagai calon Gubernur didampingi Masduki, dan terpilih.
Sejak menjadi orang nomor satu di Banten inilah, satu per satu anggota keluarga besar Ratu
Atut masuk ke arena politik praktis, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif di berbagai
tingkatan lembaga perwakilan. Diawali oleh Airin Rachmi Diany yang maju dalam Pilkada
Kabupaten Tangerang tahun 2008 sebagai calon Wakil Bupati mendampingi Jazuli Juwaini
(politisi PKS). Airin adalah adik ipar Ratu Atut; isteri Tb. Chaeri Wardana. Pada waktu itu
pasangan mereka dikalahkan pasangan petahana, Ismet Iskandar-Rano Karno. Pada tahun ini
juga adik tiri Atut, Tubagus Haerul Jaman, maju sebagai calon Wakil Walikota Serang
berpasangan dengan Bunyamin dan menang.
Tidak sampai tiga tahun kemudian, jaman naik menjadi Walikota Serang,
menggantikan Bunyamin yang meninggal dunia. Pada Pilkada Kota Serang tahun 2013, Jaman
kembali maju dan menang. Tahun 2010, giliran adik kandung Ratu Atut, Ratu Tatu Chasanah,
mengikuti Pilkada Kabupaten Serang sebagai calon Wakil Bupati Serang 2010-2015
mendampingi Taufik Nuriman dan terpilih. Pada tahun 2010 ini juga, Airin yang gagal di
Pilkada Kabupaten Tangerang tahun 2008, kembali maju pada Pilkada Kota Tangerang Selatan
sebagai calon Walikota. Berpasangan dengan Benyamin Davnie, Airin akhirnya terpilih
sebagai Wali Kota Tangerang Selatan 2011-2015. Tahun 2011, Heryani, ibu tiri Ratu Atut, juga
tak ketinggalan. Ia maju sebagai calon Wakil Bupati Kabuapaten Pandeglang periode 2011-
2016 mendampingi Erwan Kurtubi dan terpilih. Pada tahun ini pula Ratu Atut kembali
mencalonkan diri sebagai Gubernur Banten didampingi Rano Karno. Untuk kedua kalinya,
Ratu Atut terpilih sebagai Gubernur Banten periode 2012-2017, hingga akhirnya datanglah
malapetaka itu: Ratu Atut divonis 4 tahun (kemudian diperberat menjadi 7 tahun oleh MA)
karena terbukti melakukan penyuapan terhadap Akil Mochtar untuk memenangi gugatan
PHPU Pemilukada Lebak tahun 2013 bersama Wawan yang divonis 5 tahun penjara oleh
Majelis Hakim Tipikor.
Berikut ini adalah nama-nama keluarga yang dilibatkan dalam dinasti di Arena Eksekutif dan
Legislatif Era Kepemimpinan Gubernur Banten Ratu Atut 2006-2013:
Berikut ini adalah nama-nama Keluarga Dinasti di Kadin Provinsi Banten Era Kepemimpinan
Gubernur Banten Ratu Atut 2006-2013 :
No Nama Jabatan Hubungan
Keluarga
1 Tb. Chaeri Wardana Ketua Umum Adik
2 Hikmat Tomet Ketua Dewan Suami (Alm)
3 Ratu Tatu Chasanag Anggota Dewan Penasihat Adik
4 Tb. Khaerul Jaman Anggota Dewan Penasihat Adik
5 Aden Abdul Khalik Anggota Dewan Penasihat Adik Ipar
6 Ratu Lilis Karyawati Wakil Ketua Umum Bidang Adik tiri
Perikanan dan Kelautan
7 Ratu Ella yatibi Wakil Ketua Umum Bidang Sepupu
Perkebunan dan Kehutanan
8 Ratu Wawat Cherawati Komite Tetap Pengolahan dan Adik tiri
Pemanfaatan Limbah Industri
Pertambangan
Seperti kasus dinasti politik Ratu Atut, yang membawa seluruh sanak keluarganya untuk
memiliki jabatan di dalam pemerintahan. Kasus tersebut dapat digolongkan dalam kasus
korupsi nepotisme. Korupsi nepotisme atau korupsi kekerabatan meliputi penunjukan secara
tidak sah terhadap sanak saudara untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan. Orientasi yang
dituju adalah sebagai proses mematangkan jabatan sesuai dengan kedekatan kekerabatan atau
keluarga. Proses ini seringkali merupakan ajang pelanggengan sanak saudara untuk mengisi
jabatan di lingkungan kerja tertentu. Dalam Nepotisme ini juga dapat berdampak kepada
korupsi yang lain dapat juga suap, transaksi jabatan, bahkan korupsi dana keuangan daerah
secara masif dan terstruktur dengan modal kedekatan kekerabatan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
. KESIMPULAN
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 di atas,
maka jelas dan tegas bahwa “Nepotisme” di Indonesia adalah sebuah pelanggaran
hukum. Perlunya pendidikan tentang nepotisme sejak dini sangatlah penting, guna
memahamkan secara detail mengenai apa itu nepotisme dan apa dampak dari
nepotisme. Walaupun secara gamblang masih beredar luas kasus mengenai
nepotisme, diharapkan dengan adanya makalah tentang “Nepotisme” ini dapat
berguna untuk kepentigan individu maupun kelompok.
B. SARAN
Perlu sebuah wadah atau lembaga seperti KPK yang dikhususkan untuk bertugas
mencegah dan menangani nepotisme dan pelu diadakan pendidikan nepotisme di
lembaga pendidikan formal maupun non formal, sehingga pemahaman tentang
nepotisme sanggup membudaya di kalangan masyarakat.
BENTUK-BENTUK PENYALAHGUNAAN
Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti
penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor
swasta dan pemerintahan seperti penyogokan, pemerasan, campuran tangan, dan
penipuan.
1) Penyogokan: penyogok dan penerima sogokan
Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan
penerima sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua
aspek hidup sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat
penyogokan.
Negara-negara yang paling sering memberikan sogokan pada umumnya tidak sama
dengan negara-negara yang paling sering menerima sogokan.
Dua belas negara yang paling kurang korupsinya, menurut survey persepsi
(anggapan tentang korupsi oleh rakyat) oleh Transparansi Internasional di tahun
2001 adalah sebagai berikut (disusun menurut abjad):
Australia, Kanada, Denmark, Finlandia, Islandia, Luxemburg, Belanda, Selandia
Baru, Norwegia, Singapura, Swedia, dan Swiss.
Menurut survei persepsi korupsi , tigabelas negara yang paling korup adalah
(disusun menurut abjad):
Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Indonesia,Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan,
Rusia, Tanzania, Uganda, dan Ukraina
Namun demikian, nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini dilakukan
berdasarkan persepsi subyektif dari para peserta survei tersebut, bukan dari
penghitungan langsung korupsi yg terjadi (karena survey semacam itu juga tidak
ada)
Sumbangan kampanye dan "uang lembek"
Di arena politik, sangatlah sulit untuk membuktikan korupsi, namun lebih sulit lagi
untuk membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip
menyangkut politisi.
Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan
keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk bertindak hanya
demi keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya
menyebabkan munculnya tuduhan korupsi politis.
2) Tuduhan korupsi sebagai alat politik
Sering terjadi di mana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka dengan
tuduhan korupsi. Di Republik Rakyat Cina, fenomena ini digunakan oleh Zhu Rongji,
dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan politik mereka.
3) Mengukur korupsi
Mengukur korupsi - dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa negara,
secara alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin
bersembunyi. Transparansi Internasional, LSM terkemuka di bidang anti korupsi,
menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks Persepsi Korupsi
(berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa korup negara-negara ini);
Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei pandangan rakyat terhadap persepsi
dan pengalaman mereka dengan korupsi); dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat
seberapa rela perusahaan-perusahaan asing memberikan sogok.
Transparansi Internasional juga menerbitkan Laporan Korupsi Global; edisi tahun
2004 berfokus kepada korupsi politis. Bank Dunia mengumpulkan sejumlah data
tentang korupsi, termasuk sejumlah Indikator Kepemerintahan.
Permasalahan pokok yang menyebabkan ketidaktertiban hukum ini adalah karena
adanya ketidaktertiban sosial. Bila bicara masalah hukum seharusnya tidak
dilepaskan dari kehidupan sosial masyarakat karena hukum merupakan hasil
cerminan dari pola tingkah laku, tata aturan dan kebiasaan dalam masyarakat.
Namun sangat disayangkan hukum sering dijadikan satu-satunya mesin dalam
penanggulangan kejahatan dan melupakan masyarakat yang sebenarnya menjadi
basis utama dalam penegakan hukum. Jadi jelas bahwa aspek sosial memegang
peran yang penting dalam upaya pencegahan kejahatan yang tentunya hasilnya
akan lebih baik karena memungkinkan memutus mata rantainya.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat penulis paparkan mengenai dampak korupsi,kolusi
dan nepotisme.Tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam
penyusunan makalah ini,karena itu penulis berharap para pembaca dapat
memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi kesempurnaan
makalah ini dan penulisan makalah dikesempatan-kesempatan berikutnya.Semoga
makalah ini berguna bagi penulis dan kepada para pembaca.
Kesimpulan dan Saran
Dari artikel diatas kita dapat menyimpulkan bahwa korupsi,kolusi dan nepotisme
sangat merugikan bangsa dan Negara oleh karena itu kita sebagai penerus bangsa
harus berusaha memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme agar dimasa depan di
Indonesia tidak terjadi lagi korupsi dan Indonesia bisa menjadi negara yang lebih
baik serta bebas dan bersih dari KKN.
Tumbuhkanlah budaya malu dan budaya jujur sejak dini karena malu dan jujur
adalah sikap yang bisa mengatasi masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jika
seseorang sudah membudayakan rasa malu dan sifat jujurnya maka orang itu tidak
akan mau melakukan tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
REFERENSI
https://www.academia.edu/6803007/artikel_kewarganegaraan?email_work_card=...
http://e-journal.uajy.ac.id/6535/2/KOM104107.pdf
https://www.scribd.com/document/368056270/Makalah-atut#download BY FEBRIANSYAH
NUGRAHA date upload on DEC 29,2017.