Anda di halaman 1dari 51

FARMAKOLOGI

OBAT ANTIKONVULSI
(ANTIEPILEPSI)

Oleh :
Hadi Kurniawan, S.Farm., M.Sc., Apt.
PROGRAM STUDI D-IV KEBIDANAN JURUSAN KEBIDANAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK

TAHUN 2016
Merupakan gangguan fungsional yang kronik
definisi pada saraf yang ditandai oleh terjadinya
serangan yg timbul secara tiba-tiba,berkala
(episodik), berlebihan & cepat [Konsep John H.
Jakson (Bapak epilepsi modern)].

 Epilepsi :
Kondisi neurologis yang dikarakterisir dengan
kekambuhan kejang tak beralasan yang dapat dipicu oleh
berbagai penyebab tertentu.
 Kejang (seizures) : manifestasi klinis dari aktivitas saraf
yang berlebihan dan abnormal di dalam korteks serebral
EPILEPSI
 Merupakan kelainan  Serangan* epilepsi
kronis yg ditandai oleh merupakan akibat
kejang (seizures) disfungsi otak yg
berulang dan kerapkali bersifat fisiologis-
tanpa adanya faktor temporer dan terjadi
pencetus serta tidak krn pelepasan
bisa diramalkan. muatan listrik yg
abnormal oleh sel-
sel otak.
 Faktor pencetus terjadinya
serangan pada penyandang
epilepsi, diantaranya yaitu :

1. Kurang tidur
2. Stres emosional
3. Infeksi
4. Obat – obat tertentu
5. Alkohol
6. Perubahan hormonal
7. Terlalu lelah
8. Fotosensitif 10/
23/
201
5 8
Epidemiologi
di Indonesia

0,5%-2% dari jumlah penduduk;


Insiden paling tinggi pada umur
20 tahun pertama, menurun
sampai umur 50 tahun;
Pada 75% pasien, epilepsi terjadi
pada umur sebelum 18 tahun.
Epilepsi dpt terjadi pd semua umur,dg insidens tertinggi (75%) tjd
sebelum usia 20 tahun.
Insidens epilepsi lebih sering dijumpai pd keturunan orang yg
menderita epilepsi (30% kasus).
Berdasarkan Etiologi Epilepsi dapat
digolongkan atas:
1.Idiopatik atau Esensial/Primer
tidak dapat dibuktikan adanya lesi
pd otak (kejang tanpa sebab jelas)
2.Simtomatik / Sekunder
Etiologi ada kelainan serebral yg
mempermudah terjadinya respon
kejang (kejang sbg suatu gejala dr
penyakit yg diderita pasien).

PADA 60-70% KASUS


TIDAK DIKETAHUI
 Penyebab spesifik dari epilepsi
(faktor yg menyebabkan kejang
sekunder):

1. Kelainan yang terjadi selama


perkembangan janin / kehamilan ibu
2. Kelainan yang terjadi pada saat
kelahiran : hipoksia, kerusakan karena
tindakan, dll
3. Cedera kepala yang dapat menyebabkan
kerusakan pada otak
4. Tumor otak, terutama pada anak – anak
5. Penyumbatan pembuluh darah otak
atau kelainan pembuluh darah otak
6. Radang atau infeksi
7. Kecenderungan timbulnya epilepsi yang
diturunkan
patofisiologi
PATOLOGI
Lazimnya pelepasan muatan listrik ini terjadi scr
teratur dan terbatas pd kelompok-kelompok kecil
yg memberikan ritme normal pd
elektroencefalogram (EEG).

Terjadinya epilepsi disebabkan oleh aksi serentak


& mendadak dari sekelompok besar sel-sel
saraf di otak. Aksi ini disertai pelepasan muatan
listrik yang berlebihan dari neuron-neuron tsb.

Lesi pd mesensefalon, talamus & korteks serebri


→ kemungkinan bersifat epileptogenik.
Lesi pd serebelum & batang otak
→ tidak menyebabkan epilepsi
Pada tingkat membran sel dpt dijelaskan
fenomena biokimia tertentu a.l:
1. Ketidakstabilan membran sel saraf sehingga
lebih mudah diaktifkan.
2. Neuron hipersensitif dg ambang rangsang yg
menurun, sehingga mudah terangsang scr
berlebihan

Pengeluaran energi listrik oleh sel-sel saraf


motorik dpt meningkat sampai 1000/detik
Diagnosis
 Pasien didiagnosis epilepsi jika mengalami serangan
kejang secara berulang.
 Untuk menentukan jenis epilepsinya, selain dari
gejala, diperlukan berbagai alat diagnostik :
◦ EEG (elektroencefalogram)
◦ CT-scan
◦ MRI
◦ Lain-lain

EEG bukan penentu diagnosis, tapi


hanya merupakan suatu tes.

Biasanya pemeriksaan EEG dilakukan


bersama-sama dengan pemakaian
video, radiometri & CT Scan.
Klasifikasi epilepsi
I. Kejang parsial (awal serangan kejang terjadi secara lokal)
a. Sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1. Disertai gejala motor
2. Disertai gejala sensori khusus atau somatosensori
3. Disertai gejala kejiwaan
b. Kompleks (disertai gangguan kesadaran)
1. Mula kejang parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran dengan atau tanpa
gerakan otomatis
2. Gangguan kesadaran pada mula kejang dengan atau tanpa gerakan otomatis
c. Umum sekunder (mula kejang parsial berubah menjadi kejang tonik-klonik umum)
II. Kejang umum (simetris bilateral dan tanpa mula kejang lokal)
a. Absen
b. Myoklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Tonik-klonik
f. Atonik
g. Spasme Infantil
III. Kejang yang tidak dapat diklasifikasi
IV. Status epileptikus
.

adalah obat
yang
digunakan
untuk
mencegah
atau
mengobati
kejang.
Mekanisme kerja aed
.
1. Mencegah timbulnya pelepasan
muatan listrik yg abnormal
dipangkalnya dlm SSP.
2. Menghindarkan tersebarnya aktivitas
berlebihan pada neuron – neuron
otak lain.
3. Mengubah neurohormon –
neurohormon yaitu dengan
mengubah kadar glisin.
1. Peningkatan efek inhibisi dari GABA
GABA (gamma aminobutiric acid) & glicin merupakan penghambat
transmisi rangsangan listrik di sinaps.
Ex: BDZ,Vigabatrin, Fenobarbital, Valproat, Lamotrigin, BDZ (ex:
clonazepam)
Nor Adrenalin, glutamat, Ach, NE, histamin, steroid merupakan
neurotransmitter yang memperlancar transmisi rangsangan listrik
di sinaps

2. Pengurangan refluks Na+


Arus masuknya Na+ dikurangi scr progresif sampai ia benar-
benar tidak mencukupi untuk menimbulkan potensial aksi, tetapi
transmisi nueronal pd frekuensi normal relatif tidak
terpengaruh.
Ex: Fenitoin, karbamazepin, lamotrigin, topiramid.

3. Meningkatkan ambang serangan


Ex: Asetazolamid & felbamat

4. Mengurangi neurotransmisi glutamat


Ex: lamotrigin & topiramid
Tata laksana terapi
Penatalaksanaan :

1. Penatalaksanaan primer pd penderita epilpesi adalah terapi untuk


mencegah terjadinya serangan kejang atau mengurangi
frekuensinya sehingga pasien dapat hidup normal.
2. Pengobatan dihentikan setelah epilepsi hilang selama minimal 2-3
tahun. Pengobatan dihentikan scr berangsur dg menurunkan
dosisnya.
3. Pengobatan psikososial & vokasional:
 Pasien diberi penyuluhan bahwa dg pengobatan yang optimal
sebagian besar akan terbebas dari epilepsi.
 Menghindari berenang sendiri & melakukan olah raga berbahaya.

TERAPI NON FARMAKOLOGI:


Pembedahan, Diet ketogenik, Stimulasi nerves vagus

TERAPI FARMAKOLOGI
 Sasaran Terapi
1. Mengontrol supaya tidak terjadi kejang
2. Mengeliminasi ADR (Adverse Drug
Reaction)

 Prinsip umum terapi Epilepsi


1. Monoterapi lebih baik daripada politerapi
2. Meminimalkan penggunaan anti epilepsi
yang sedatif
3. Mulai dengan dosis terkecil
4. Adanya variasi individual
5. Lakukan monitoring kadar obat dalam
darah
6. Kepatuhan pasien 10/
23/
201
24 8
ALGORITMA TATALAKSANA EPILEPSI
Obat Pilihan Untuk Gangguan Kejang Khusus
Obat-obat anti epilepsi
Obat-obat yang sering digunakan pd
serangan epilepsi parsial & tonik klonik:

1. Karbamazepin, valproat, Lamotrigin


adalah obat pilihan utama pd epilepsi,
karena ES minimal. Namun Fenitoin &
fenobarbital juga poten utk mengatasi
serangan ini
2. Vigabatrin, Gabapentin & Topiramat
digunakan sbg obat tambahan pd pasien
dimana epilepsinya tidak terkontrol dg
baik oleh obat antiepilepsi lain.
Obat-obat yang efektif pd tonik-klonik (grand mal) &
Petit Mal:

1. Valproat
→ efek sedatif ringan
2. Biasanya dikombinasikan dengan obat dari golongan BDZ,
ex: klonazepam
Generasi 2:
Vigabatrin
Lamotrigin
Gabapentin (vigabatrin & Gabapentin juga digunakan
Felbamat untuk nyeri neuropati yg menusuk)
Tiagabin
Topiramit
Zonimid
3. Fenitoin
4. Lamotrigin (ES: pandangan kabur, pusing & mengantuk)
5. Fenobarbital
Sebagian obat epilepsi memiliki plasma t½
yang agak pamjang (10-20 jam lebih).
Lamanya terapi sukar untuk ditentukan,
karena tergantung dari banyak faktor a.l:
usia, frekuensi serangan & faktor
pemicu

Umumnya terapi diberikan bertahun-tahun


bahkan seumur hidup.
.
1. Gol. Barbiturat, ex : fenobarbital, heptobarbital,
primidon.
2. Hidantoin – hidantoin, ex : fenitoin (difonil
hidantoin), mefdinitoin, etotoin
3. Suksinimida, ex : etosuksimid,
metilfenil suksimid.
4. Oksazolidon, ex : etadion,
trimetadion.
5. Benzodiazepin, ex : diazepam, nitrazepam,
klonazepam
6. Asam Valproat

Benzodiazepin short acting seperti lorazepam merupakan pilihan pertama untuk


Status epileptikus
Profil farmakokinetik AED
Interaksi diantara aed
Interaksi aed dengan obat lain
Dosis aed
MONITORING DAN
EVALUASI HASIL TERAPI

 Rentang kadar terapetik secara


perseorangan harus ditetapkan untuk
masing-masing pasien.
 Pasien harus terus-menerus dipantau.
 Skrining terhadap gangguan
neuropsikiatrik.
. Preg. Cat. Parenteral D

☻ Indikasi : epilepsi
☻ KI : depresi pernapasan berat, porfiria
☻ ES : mengantuk, depresi mental,
hiperaktif pada anak, resah dan bingung, rx alergi pada

Toleransi pd penggunaan lama


Penghentian penggunaan mendadak dapat
menimbulkan status epileptikus
Hiperplasia pada anak
.
 Indikasi : semua jenis epilepsi
 KI : gangguan fungsi hati, hamil,
menyusui
 ES : jerawat, kulit berminyak, hiperplasia gusi
(tumbuh berlebih), gangguan sal.cerna,
pusing,
nyeri kepala, tremor, insomnia,
penglihatan kabur, dll.
. Preg. Cat. Peroral C

 ES : mual, sakit kepala, mengantuk


ruam kulit.
.
 ES : kelainan darah (anemia aplastik ),
gangguan fungsi
ginjal dan hati.
. Preg. Cat. Peroral, Parenteral, Rektal D

 Indikasi : epilepsi, kejang akibat


keracunan.
 KI : depresi pernapasan, porfiria.
 ES : mengantuk, pandangan kabur,
bingung, amnesia, ketergan-
tungan,gangguan sal.cerna dll.
 Dosis : 10 – 20 mg
EFEK KEHAMILAN PADA EPILEPSI
 Epilepsi menimbulkan bbrp masalah klinis pd ibu hamil meliputi: pengaruh siklus
menstruasi thd aktivitas kejang, interaksi obat antiepilepsi dg obat kontrasepsi, efek samping obat
antiepilepsi yg meliputi teratogenesis, dampaknya pada pemberian ASI dan kualitas hidup.

EFEK EPILEPSI PADA KEHAMILAN


 Komplikasi obstetri pd ibu hamil, peningkatan 2-3x lipat insiden pendarahan vaginal, solusio
plasenta, pre-eklamsia.
 Serangan epilepsi yg menyeluruh berpotensi utk membahayakan keselamatan ibu dan janinnya.
Serangan kejang tonik-klonik dpt menyebabkan hipoksia janin serta asidosis, dan bbrp perubahan
kardiotokografik. Serangan epilepsi pd kehamilan yg dini dpt menyebabkan kerusakan akibat
hipoksia pd embrio dan mengakibatkan malformasi.
 Kehamilan pd wanita yg menderita epilepsi dpt meningkatkan maternal seizures komplikasi selama
kehamilan, dan adverse fetal outcome (kecacatan pd janin), bahkan keguguran. Belum lagi obat-
obatan AED (spt barbiturat, fenitoin) dpt menyebabkan congengital hearth malformation, orofacial
clefts dan berbagai malformasi. Lalu asam valproat dan karbamazepin dpt menyebabkan spina
bifida (neural tube defect) dan hipospadias dengan kata lain pd umumnya obat-obat anti epileptik
bersifat teratogenik.

Jadi, harus bagaimana ?


Dibiarkan tanpa diobati epilepsi dapat membahayakan
sementara mengkonsumsi obat AED (Anti-Epileptic Drugs) jg memiliki efek samping.

POIN PRAKTIS :
Ibu hamil harus dijelaskan bahwa serangan epilepsi lebih menimbulkan efek yg merusak janin
ketimbang yg ditimbulkan oleh obat antiepilepsi (pd sebagian besar kasus).
PEMICU
 Ny.Y (24 th) seorang penderita epilepsi,
baru menikah 2 bulan lalu. Setiap hari
mengkonsumsi fenitoin 300 mg/hari,
fenobarbital 100 mg/hari dan
karbamazepin 200 mg/hari. Sudah
selama 2 tahun ini kadar obat-obat
tersebut di dalam darah konsisten dan
sudah tidak lagi pernah lagi mengalami
kejang selama 18 bulan terakhir. Apa saran
saudara bila dia ingin segera punya anak ?
AED (Anti-Epileptic Drug/Obat Anti-Epilepsi)

Generasi I Generasi II
Karbamazepin Velbamat
Natrium Valproat Gabapentin
Fenitoin Lamotrigin
Diazepam Okskarbazepin
Barbiturat Tiagabin
Etosuksimid Topiramat
Vigabatrin
Epilepsi pada kehamilan

1. Utamakan monoterapi dg dosis terbagi/lepas lambat guna menghindari pencapaian


konsentrasi puncak dlm plasma darah ibu (jika sebelum hamil menggunakan kombinasi obat
AED, turunkan dosis perlahan, putus obat mendadak dapat memicu serangan).
2. Gunakan dosis efektik yang terendah

 Obat epilepsi yang cukup aman bagi wanita hamil :


Lamotrigin dan Gabapentin  tidak ditemui efek teratogen pada hewan uji tapi
data pada manusia tidak cukup.
Hingga saat ini gabapentin, lamotrigin, oksakarbazepin, tiagabin, topiramat, dan
vigabatrin yg sudah tercantum dlm BNF (BNF, 2000).

EPILEPSI dan MALFORMASI JANIN


 Pemberian suplemen ASAM FOLAT dosis tinggi yaitu 5 mg (dosis yg
lazim 0,4 mg) sebelum terjadi pembuahan utk menghindari malformasi akibat
obat antiepilepsi atau oksidan/radikal bebas selama metabolisme obat
antiepilepsi, serta VITAMIN K diperlukan selama wanita hamil.

Obat-obat antiepilepsi (Obat-obat antiepilepsi (ex. fenitoin) dapat menurunkan


kadar asam folat tubuh).
 Namun pemberian suplemen folat harus dilakukan dibawah pengawasan dokter
karena asam folat dapat memicu konvulsi.
KESIMPULAN
 Semua pasien harus mendapatkan obat dg takaran
(DOSIS) minimal yg efektif.
 Pengobatan, MONOTERAPI miliki risiko yg jauh lebih
rendah bagi janin.
 Ibu hamil harus menyadari bahwa RESIKO yg berkaitan
dg serangan epilepsinya jauh LEBIH BESAR daripada
RISIKO yg berkaitan dg pemakaian obatnya.
 Penghentian obat antikonvulsan yg mendadak dpt
memicu serangan. Demikian pula, keadaan epilepsi
cenderung bertambah parah jika tidak diobati.
 Risiko terjadinya abnormalitas pd janin yg dikandung oleh
para ibu yg menderita epilepsi melebihi risiko yg dialami
oleh wanita normal. Namun peningkatan ini tdk akan
terjadi bila dilakukan MONOTERAPI dg disertai
KEPATUHAN thd petunjuk pelaksanaan terapinya.
Semoga diberi
kemudahan
dan
Sukses

Anda mungkin juga menyukai