Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP DASAR
1. Pengertian
Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang disebabkan oleh
reaksi alergi pada pasien-pasien yang memiliki atopi, yang sebelumnya sudah
tersensitisasi atau terpapar dengan allergen (zat/materi yang menyebabkan
timbulnya alergi) yang sama serta meliputi mekanisme pelepasan mediator
kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen yang serupa (Von
Pirquet, 1986).
Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala
bersin-bersin, keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh
IgE (WHO ARIA tahun 2001).Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan )
pada membran mukosa di hidung. (Dipiro, 2005 ).
Rhinitis adalah peradangan selaput lendir hidung ( Dorland, 2002).
Rhinitis alergi Adalah istilah umum yang digunakan untuk
menunjukkan setiap reaksi alergi mukosa hidung, dapat terjadi bertahun-tahun
atau musiman. (Dorland,2002 ).
Rinitis alergi adalah penyakit umum yang paling banyak di derita oleh
perempuan dan laki-laki yang berusia 30 tahunan. Merupakan inflamasi
mukosa saluran hidung yang disebabkan oleh alergi terhadap partikel, seperti:
debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada di udara.
2. Etiologi
 Inhalan : masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, virus,serbuk sari, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang
serta jamur
 Ingestan : masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur, coklat, ikan dan udang
 Injektan : masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah
 Kontaktan : masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan
3. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2
fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag
atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif
dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan
masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau
basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah
yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik
yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.
Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan
mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3,
IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF)
dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan
Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok,
bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi
(Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)
dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-
menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan
masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:
 Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak
berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon
sekunder.
 Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya
dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi
selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem
imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
 Respon tersier.
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh.
Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya
eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe,
yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2
atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau
reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis
kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1,
yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
6. Manifestasi Klinis
 Bersin berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari
(umumnya bersin lebih dari 6 kali).
 Hidung tersumbat
 Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan
alergi biasanya bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih
keruh atau kekuning-kuningan jika berkembang menjadi infeksi
hidung atau infeksi sinus.
 Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan
tenggorok.
 Badan menjadi lemah dan tak bersemangat.
Gejala klinis yang khas adalah terdapatnya serangan bersin yang
berulang-ulang terutama pada pagi hari, atau bila terdapat kontak dengan
sejumlah debu. Sebenarnya bersin adalah mekanisme normal dari hidung
untuk membersihkan diri dari benda asing, tetapi jika bersin sudah lebih dari
lima kali dalam satu kali serangan maka dapat diduga ini adalah gejala rhinitis
alergi. Gejala lainnya adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak.
Hidung tersumbat, mata gatal dan kadang-kadang disertai dengan keluarnya
air mata.
7. Pemeriksaan Penunjang
 In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent
test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi
pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis
alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna
adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA
(Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah
banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5
sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati,
2002).
 In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes
cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri
(Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan
dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Keuntungan
8. Penatalaksanaan
 Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan
allergen penyebab
 Pengobatan, penggunaan obat antihistamin H-1 adalah obat yang
sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi atau
dengan kombinasi dekongestan oral. Obat Kortikosteroid dipilih jika
gejala utama sumbatan hidung akibat repon fase lambat tidak berhasil
diatasi oleh obat lain
 Tindakan Operasi (konkotomi) dilakukan jika tidak berhasil dengan
cara diatas
 Penggunaan Imunoterapi.
Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal
antara lain :
 Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang.
 Tidak menimbulkan takifilaksis.
 Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal.
Meskipun demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan
kriteria yang lain.
 Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan
sehubungan dengan adanya efek samping sistemik.
Penatalaksanaan rinitis alergika meliputi edukasi, penghindaran alergen,
farmakoterapi dan imunoterapi. Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam
penatalaksanaan rinitis alergika, penghindaran alergen hendaknya merupakan
bagian terpadu dari strategi penatalaksanaan, terutama bila alergen penyebab
dapat diidentifikasi. Edukasi sebaiknya selalu diberikan berkenaan dengan
penyakit yang kronis, yang berdasarkan kelainan atopi, pengobatan
memerlukan waktu yang lama dan pendidikan penggunaan obat harus benar
terutama jika harus menggunakan kortikosteroid hirupan atau semprotan.
Imunoterapi sangat efektif bila penyebabnya adalah alergen hirupan.
Farmakoterapi hendaknya mempertimbangkan keamanan obat, efektifitas, dan
kemudahan pemberian. Farmakoterapi masih merupakan andalan utama
sehubungan dengan kronisitas penyakit. Tabel 3 menunjukkan obat-obat yang
biasanya dipakai baik tunggal maupun dalam kombinasi. Kombinasi yang
sering dipakai adalah antihistamin H1 dengan dekongestan. Medikamentosa
diberikan bila perlu, dengan antihistamin oral sebagai obat pilihan utama.
Imunoterapi pada anak diberikan secara selektif dengan tujuan pencegahan.
Jenis-jenis terapi medikamentosa akan diuraikan di bawah ini:
1) Antihistamin-H1 oral
Antihistamin-H1 oral bekerja dengan memblok reseptor H1
sehingga mempunyai aktivitas anti alergi. Obat ini tidak menyebabkan
takifilaksis. Antihistamin-H1 oral dibagi menjadi generasi pertama dan
kedua. Generasi pertama antara lain klorfeniramin dan difenhidramin,
sedangkan generasi kedua yaitu setirizin/levosetirizin dan
loratadin/desloratadin.Generasi terbaru antihistamin-H1 oral dianggap
lebih baik karena mempunyai rasio efektifitas/keamanan dan
farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja
cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata,
namun obat generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi
kongesti hidung.Efek samping antihistamin-H1 generasi pertama yaitu
sedasi dan efek antikolinergik. Sedangkan antihistamin-H1 generasi
kedua sebagian besar tidak menimbulkan sedasi, serta tidak
mempunyai efek antikolinergik atau kardiotoksisitas.
2) Antihistamin-H1 lokal
Antihistamin-H1 lokal (misalnya azelastin dan levokobastin)
juga bekerja dengan memblok reseptor H1. Azelastin mempunyai
beberapa aktivitas anti alergik. Antihistamin-H1 lokal bekerja sangat
cepat (kurang dari 30 menit) dalam mengatasi gejala hidung atau mata.
Efek samping obat ini relatif ringan. Azelastin memberikan rasa pahit
pada sebagian pasien.
3) Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid,
flunisolid, flutikason, mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi
hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat ini merupakan terapi
medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan efektif
terhadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan
efek maksimal terlihat setelah beberapa hari.
Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak
dipertentangkan karena efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal
obat ini. Namun belum ada laporan tentang efek samping setelah
pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis steroid
topikal hidung dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan
dianjurkan sekali sehari pada waktu pagi hari. Obat ini diberikan pada
kasus rinitis alergik dengan keluhan hidung tersumbat yang menonjol.
4) Kortikosteroid oral/IM
Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison,
metilprednisolon, prednisolon, prednison, triamsinolon, dan
betametason) poten untuk mengurangi inflamasi dan hiperreaktivitas
nasal. Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika
memungkinkan, kortikosteroid intranasal digunakan untuk
menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IM. Efek samping lokal
obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik mempunyai batas
yang luas. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan untuk
rinitis alergik pada anak. Pada anak kecil perlu dipertimbangkan
pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi.
5) Kromon lokal (‘local chromones’)
Kromon lokal (local chromones), seperti kromoglikat dan
nedokromil, mekanisme kerjanya belum banyak diketahui. Kromon
intraokular sangat efektif, sedangkan kromon intranasal kurang efektif
dan masa kerjanya singkat. Efek samping lokal obat ini ringan dan
tingkat keamanannya baik.
Obat semprot hidung natrium kromoglikat sebagai stabilisator
sel mast dapat diberikan pada anak yang kooperatif. Obat ini biasanya
diberikan 4 kali sehari dan sampai saat ini tidak dijumpai efek
samping.
6) Dekongestan oral
Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin,
merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala
kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada pasien dengan penyakit
jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain hipertensi,
berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala,
kekeringan membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma
atau tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan dengan perhatian
terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan antihistamin-H1 oral
efektifitasnya dapat meningkat, namun efek samping juga bertambah.
7) Dekongestan intranasal
Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin,
oksimetazolin, dan xilometazolin) juga merupakan obat
simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat
ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral.
Penggunaannya harus dibatasi kurang dari 10 hari untuk mencegah
terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti
sediaan oral tetapi lebih ringan.
Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk
rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun karena batas antara dosis
terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada dosis toksik akan terjadi
gangguan kardiovaskular dan sistem saraf pusat.
8) Antikolinergik intranasal
Antikolinergik intranasal (misalnya ipratropium) dapat
menghilangkan gejala beringus (rhinorrhea) baik pada pasien alergik
maupun non alergik. Efek samping lokalnya ringan dan tidak terdapat
efek antikolinergik sistemik. Ipratropium bromida diberikan untuk
rinitis alergik pada anak dengan keluhan hidung beringus yang
menonjol.
9) Anti-leukotrien
Anti-leukotrien, seperti montelukast, pranlukast dan zafirlukast,
akan memblok reseptor CystLT, dan merupakan obat yang
menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi dengan
antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data mengenai
obat-obat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.
9. Komplikasi
 Polip hidung
 Otitis media
 Sinusitis paranasal. (Mansjoer, 2001 : 107)

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
 Identitas Pasien
Identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, bangsa,
pendidikan dan pekerjaan pasien.
 Keluhan Utama
Pasien mengalami bersin-bersin, hidung mengeluarkan secret, hidung
tersumbat, dan hidung gatal.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Hal yang perlu dikaji yaitu apakah sebelumnya pasien pernah menderita
penyakit THT.
 Riwayat Keluarga
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga sebelumnya yang
mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk rhinitis alergi berfokus pada hidung, tetapi
pemeriksaan wajah,mata, dan telinga juga penting.
 Hidung
Inspeksi : permukaan hidung terdapat secret mukoid
Palpasi : nyeri, karena adanya inflamasi.
 Pada rinoskopi akan tampak mukosa edema, basah,
berwarna pucat,disertai adanya sekret encer yang banyak.
 Dalam hal ini kita menentukan karakteristik dan kuantitas
mukus hidung.
 Pada rinitis alergi mukus encer dan tipis. Jika kental dan
purulen biasanya berhubungan dengan sinusitis. Namun,
mukus kental, purulen, dan berwarna dapat timbul pada
rinitis alergi.
 Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi septum
atau perforasi septum yang dapat disebabkan oleh rinitis
alergi kronis.
 Wajah
Inspeksi :
 Adanya allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata
dan berhubungan dengan vasodilatasi atau obstruksi
hidung.
 Adanya nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal
crease) yang melalui setengah bagian bawah hidung akibat
kebiasaan menggosok hidung ke atas dengan tangan.
 Mata
Inspeksi :
 Adanya pembengkakan konjungtifa palpebral yang disertai
dengan produksi air mata.
 Telinga
Dengan otoskopi perhatikan adanya retraksi membran timpani.
Kelainan mobilitas dari membran timpani dapat terjadi pada rinitis
alergi yang disertai dengan disfungsi tuba eustachius dan otitits
media sekunder.
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a) Ketidak efektifan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi /adanya secret
yang mengental.
b) Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan adanya inflamasi.
c) Gangguan pola istirahat berhubungan dengan penyumbatan pada hidung.
d) Gangguan harga diri berhubungn dengan sigman berkenaan dengan kondisi.
e) Cemas berhubungan dengan Kurangnya Pengetahuan tentang penyakit dan
prosedur tindakan medis.

D. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi /adnya secret yang
mengental.
Tujuan : Jalan nafas efektif setelah secret dikeluarkan
Kriteria :
a. Klien tidak bernafas lagi melalui mulut
b. Jalan nafas kembali normal terutama hidung

INTERVENSI RASIONAL
a) Kaji penumpukan secret yang a. Mengetahui tingkat keparahan
ada dan tindakan selanjutnya
b) Observasi tanda-tanda vital b. Mengetahui perkembangan
c) kaji pasien untuk posisi yang klien sebelum dilakukan
nyaman mis : peninggian kepala operasi
tempat tidur, duduk pada c. peningian kepala tempat tidur
persandaran tempat tidur. mempermudah fungsi
d) Pertahankan polusi lingkungan pernapasan dengan mengunakn
minimum mis : debu asap dan grafitasi
bulu bantal yang berhubunggan d. Pencetus tipe reaksi alergi
dengan kondisi individu pernapasan yang dapat
e) tingkatkan masukan caian 3000 mentreger episode akut
/hari sesuai jantung, e. hidrasi membantu menurunkan
memberikan air hangat. kekentalan sekret,
f) Kolaborasi dengan team medis mempermudah pengeluaran.
f. Kerjasama untuk
menghilangkan obat yang
dikonsumsi

2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses inflamasi


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
suhu tubuh dapat normal (360-370C)
Kriteria Hasil :
 Suhu tubuh dalam rentang normal (360-370C)
 Kulit tidak teraba hangat
INTERVENSI RASIONAL
1. Pantau input dan output a. Untuk mengetahui balance cairan
2. Ukur suhu tiap 4-8 jam pasien
3. Kolaborasi dengan pemberian b. Untuk mengetahui perkembangan
antipiretik klien
4. Ajarkan kompres hangat dan c. Untuk menurunkan panas
banyak minum d. Untuk menurunkan panas tubuh
dan mengganti cairan tubuh yang
hilang

3. Gangguan pola istirahat berhubungan dengan penyumbatan pada hidung

Tujuan : klien dapat istirahat dan tidur dengan nyaman

Kriteria : Klien tidur 6-8 jam sehari


Intervensi Rasional
a) Kaji kebutuhan tidur klien. a. Mengetahui permasalahan klien
b) ciptakan suasana yang nyaman. dalam pemenuhan kebutuhan
c) Anjurkan klien bernafas lewat istirahat tidur
mulut b. Agar klien dapat tidur dengan
d) Kolaborasi dengan tim medis tenang
pemberian obat c. Pernafasan tidak terganggu.
d. Pernafasan dapat efektif

4. Cemas berhubungan dengan Kurangnya Pengetahuan tentang penyakit dan


prosedur tindakan medis
Tujuan : Cemas klien berkurang/hilang
Kriteria :
a) Klien akan menggambarkan tingkat kecemasan dan pola kopingnya
b) Klien mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang dideritanya serta
pengobatannya.

INTERVENSI RASIONAL
a) Kaji tingkat kecemasan klien a. Menentukan tindakan selanjutnya
b) Berikan kenyamanan dan b. Memudahkan penerimaan klien
ketentaman pada klien : terhadap informasi yang diberikan
 Temani klien c. Meningkatkan pemahaman klien
 Perlihatkan rasa empati tentang penyakit dan terapi untuk
( datang dengan penyakit tersebut sehingga klien
menyentuh klien ) lebih kooperatif
c) Berikan penjelasan pada klien d. Dengan menghilangkan stimulus
tentang penyakit yang yang mencemaskan akan
dideritanya perlahan, tenang seta meningkatkan ketenangan klien.
gunakan kalimat yang jelas, e. Mengetahui perkembangan klien
singkat mudah dimengerti secara dini.
d) singkirkan stimulasi yang f. Obat dapat menurunkan tingkat
berlebihan misalnya :
 Tempatkan klien kecemasan klien
diruangan yang lebih
tenang
 Batasi kontak dengan
orang lain /klien lain
yang kemungkinan
mengalami kecemasan
e) Observasi tanda-tanda vital.
f) Bila perlu , kolaborasi dengan
tim medis

5. Gangguan harga diri berhubungn dengan sigman berkenaan dengan kondisi.


Tujuan: mengidentifikasi perasaan dan metode untuk koping dengan persepsi
negative pada diri sendiri.
KH :
1. Pasien mampu mengungkapkan peningkatan rasa harga diri dalam
hubungannya dengan diagnose
2. Pasien mampu mengungkapkan persepsi reaslistis dan penerimaan diri
dalam perubahan peran gaya hidup.

INTERVENSI RASIONAL
1. Diskusikan perasaan pasien Reaksi yang ada bervariasi diantara
mengenai diagnostic,persepsi diri individu dan pengetahuan atau
terhadap penanganan yang pengalaman awal dengan keadaan
dilakukannya.anjurkan untuk penyakitnya akan mempengaruhi
mengungkapkan atau penerimaan terhadap penerimaan
mengekspresikan perasaan.nya pengobatan.adanya keluhan merasa
2. Identifikasi atau antisipasi takut,marah dan sangat
kemungkinan reaksi orang pada memperhatikan tentang implikasinya
keadaan penyakitnya.anjurkan pasien dimasa yang akan datang,dapat
untuk tidak merahasiakan membantu pasien menerima
masalahnya. keadaannya.
3. Galih bersama pasien mengenai
keberhasilan yang telah diperoleh Memberikn kesempatan untuk
atau yang akan dicapai selanjutnya berespon pada proses pemecahan
dan kekuatan yang dimilikinya. masalah dan memberikan tindakan
4. Hindari pemberian perlindungan control terhadap situasi yang
yang amat berlebihan kepada pasien. dihadapi.
Anjurkan aktivitas dengan
Memfokuskan pada aspek yang positif
memberikan pengawasan atau
dapat membantu untuk
dengan memantau jika ada indikasi.
menghilangkan perasaan dari
5. Tentukan sikap atau kecakapan orang
kegagalan atau kesadaran terhadap siri
terdekat,bantu ia menyadari persaan
sendiri.
tersebut adalah normal,sedangkan
merasa bersalah dan menyalahkan
Partisipasi dalam sebanyak mungkin
diri sendiri tidak ada manfaatnya.
pengalaman dapat mengurangi depresi
tentang keterbatasan.

Pandangan yang negative dari orang


terdekat dapat berpengaruh terhadap
perasaan harga diri pasien yang
mempunyai resiko membatasi
penangangan yang optimal.

E. IMPLEMENTASI
Adalah mengelolah dan mewujudkan dari rencana perawatan meliputi
tindakan yang telah direncanakan oleh perawat, melaksanakan anjuran dokter dengan
ketentuan rumah sakit.
F. EVALUASI
Evaluasi merupakan tahap akhir dari suatu proses perawatan dan merupakan
perbandingan yang sistematik dan terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan
yang telah dilakukan dengan cara melibatkan klien dan sesama tenaga kesehatan
(Nasrul F, 1995)
DAFTAR PUSTAKA

1. Carpenito, Lynda Juall.2009. Diagnosis Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinis Edisi 9.

Jakarta : EGC

2. Doengoes, Mariliynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta : EGC

3. Price, Sylvia. 2005. Patofisiologis : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai