Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN MINI CLINICAL EXAMINATION

HEMATEMESIS MELENA

Pembimbing :
dr. Nani Widorini, Sp. PD

Disusun Oleh:

Muhammad Mahdi Alattas G4A016038

STASE KOMPREHENSIF
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AJIBARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui laporan Mini Clinical Examination dengan judul :

HEMATEMESIS MELENA

Diajukan untuk memenuhi salah satu ujian


kepanitraan klinik dokter muda stase komprehensif

Disusun Oleh:

Muhammad Mahdi Alattas G4A016038

Ajibarang, Oktober 2018

Mengetahui,
Dokter Pembimbing,

dr. Nani Widorini, Sp. PD

2
I. LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Usia : 77 tahun
No. RM : 224944
Alamat : Petahunan 5/2, Pekuncen, Banyumas
Jenis Kelamin : Laki laki
Agama : Islam
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 17 Oktober 2018
Tanggal Periksa : 19 Oktober 2018

B. Anamnesis
1. Keluhan utama
Muntah berdarah
2. Keluhan tambahan
Bab hitam dan terasa keras, lemas, pusing.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang diantar keluarganya ke IGD RSUD Ajibarang pada hari
Rabu tanggal 17 Oktober 2018 pukul 21.15 dengan keluhan muntah
berdarah. Muntah berdarah terjadi secara tiba-tiba sejak 7 jam sebelum
masuk rumah sakit, darah berwarna merah segar, pasien sudah muntah
darah sebanyak 2 kali dalam satu hari, tiap muntah banyaknya ± 1 gelas
belimbing, berbau amis. muntahan bercampur makanan (+), lendir (-),
dahak (-), batuk (-). Muntah disertai dengan perut yang terasa sebah dan
penuh. Setelah muntah pasien mengaku badannya terasa lemas, badan
keluar keringat banyak dan pusing. Keluhan muntah darah dirasakan
pasien sangat mengganggu aktivitas kesehariannya sebagai seorang petani.
Pasien juga mengeluh berak berwarna hitam seperti petis mrongkol-
mrongkol 3 jam sebelum masuk rumah sakit. BAB terasa keras, Nyeri saat
BAB disangkal. Menurut keterangan pasien, keluhan BAB hitam baru

3
pernah dirasakannya sekali ini. Keluhan ini semakin membuat pasien dan
keluarga khawatir dan cemas, hingga aktivitas pekerjaan pasien terganggu
dan akhirnya keluarga pasien memutuskan untuk membawa pasien ke
RSUD Ajibarang. Nyeri perut disangkal. Riwayat batuk lama dan sesak
napas disangkal.
4. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat anemia : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat penyakit liver : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat gastritis : disangkal
5. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat anemia : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat penyakit liver : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat gastritis : disangkal
6. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok : diakui hingga 12 batang sehari dan pasien sudah
merokok sejak usia remaja
Riwayat mengkonsumsi minuman beralkohol : disangkal
Riwayat mengkonsumsi jamu : diakui sejak 1 tahun yang lalu

4
Riwayat mengkonsumsi obat anti nyeri : diakui sudah mengkonsumsi obat
antinyeri untuk lututnya sejak 2 tahun yang lalu
7. Riwayat sosial ekonomi
a. Community
Pasien tinggal di lingkungan pedesaan padat penduduk. Hubungan
pasien dengan tetangga sekitar baik, pasien aktif dalam kegiatan sosial
setempat. Pasien menggunakan air sumur untuk kebutuhan mandi.
b. Home
Pasien tinggal dengan istri dan satu orang anak di sebuah rumah
berukuran cukup, ventilasi udara cukup, dan cahaya matahari dapat
memasuki area rumah melalui jendela.
c. Occupational
Pasien bekerja sebagai petani. Pekerjaan yang dilakukan pasien tidak
terlalu berat, mengingat usia pasien sudah tua.
d. Personal habit
Pasien jarang berolahraga secara rutin. Pasien jarang mengkonsumsi
buah-buahan dan sayur-sayuran. Pasien mengaku tidak pernah
konsumsi alkohol.

C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : Tampak lemas
2. Kesadaran : Compos mentis/E4V5M6
3. Vital sign
a. Tekanan Darah : 110/70 mmHg
b. Nadi : 86 x/menit
c. Respiration Rate : 20 x/menit
d. Suhu : 36.80 C
4. Berat badan : 58 kg
5. Tinggi badan : 161 cm
6. Indeks Massa Tubuh : 22,38 kg/m2 (normoweight)
7. Status generalis
a. Bentuk kepala : mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-)

5
b. Rambut : warna rambut hitam, tidak mudah dicabut dan
terdistribusi merata
c. Mata : konjungtiva anemis (+/+), sklera kuning (-/-), mata
cekung (-/-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+)
d. Telinga : membran timpani intak +/+, hiperemi -/-, serumen
-/-, discharge -/-
e. Hidung : discharge -/-, konka edema -/-, hiperemis -/-, napas
cuping hidung -/-
f. Mulut : sianosis (-), bibir kering (-), stomatitis (-), gusi
berdarah (-), lidah kotor tepi hiperemis (-), lidah tremor (-), faring
hiperemis (-), tonsil T1-T1, kripte (-), gigi karies (-).
g. Pemeriksaan leher : simetris, deviasi trachea (-), pembesaran kelenjar
getah bening (-), pembesaran kelenjar tiroid (-).
h. Pemeriksaan thoraks
1) Paru
a) Inspeksi : Dinding dada tampak simetris, ketertinggalan
gerak (-/-), retraksi (-/-)
b) Palpasi : Vokal fremitus kanan = kiri
c) Perkusi : Perkusi orientasi seluruh lapang paru sonor, batas
paru-hepar SIC V LMCD
d) Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+, Ronki basah halus -/-,
Ronki basah kasar -/-, Wheezing -/-
2) Jantung
a) Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
b) Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V 2 jari medial LMCS
dan kuat angkat (-)
c) Perkusi :
Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC V 2 jari medial LMCS
d) Auskultasi : S1>S2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)

6
i. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Datar, dinding perut sejajar dinding dada, spider
nevi (-), sikatriks (-), striae (-)
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat
Perkusi : Pekak alih (-), pekak sisi (-), tes undulasi (-),
timpani di semua kuadran abdomen
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak
teraba, turgor kembali cepat
j. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas
Superior inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -
Reflek fisiologis + + + +
Reflek patologis - - - -
8. Status lokalis
Rectal Touche
Mukosa rectum licin, Sfingter ani kuat, Feses (+), Discharge (-), Darah (-)

D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium RSUD Ajibarang 17 Oktober 2018

Pemeriksaan Hasil
Darah Lengkap
Hemoglobin 11,3 (L)
Leukosit 8660
Hematokrit 33,7 % (L)
Eritrosit 3,60 Juta
Trombosit 156.000

7
MCV 93,6
MCH 31,4 (H)
MCHC 33,5
RDW 13,5
MPV 11.1
Basofil 1,0
Eosinofil 4,0
Batang 0,0 (L)
Segmen 59,5
Limfosit 25
Monosit 11 (H)
Kimia Klinik
SGOT 19
SGPT 16
Ur 86 (H)
Cr 0,80 (L)
GDS 129

E. Diagnosis Kerja
Hematemesis Melena, anemia ringan

F. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
a. Inj. Omeprazol 40 mg / 24 jam IV
b. Inj. Ondansentron 4 mg/ 12 jam IV
c. Inj. Asam Traneksamat / 12 jam IV
d. Inj. Vitamin K 10 mg/ 12 jam IV
e. PO Sucralfat syrup 3x2 cth
2. Non farmakologi

8
a. IVFD Rl 20 tpm
b. Perbanyak minum air putih, 2 liter/hari
c. Diet TKTP
d. Bed rest
3. Edukasi
a. Edukasi pasien dan keluarga mengenai penyebab, penyakit, rencana
tatalaksana dan, pencegahan.
b. Edukasi pasien untuk menghindari makanan pedas, kopi, soda dan
goreng gorengan.
c. Edukasi pasien untuk memperbanyak makan dari bahan alami seperti
buah dan sayur.
d. Edukasi pasien untuk berhenti merokok
e. Edukasi pasien untuk berhenti mengkonsumsi jamu
f. Edukasi pasien untuk mengkontrol konsumsi obat antinyeri serta rutin
kontrol ke dokter spesialis untuk masalah nyeri di persendiannya.

G. Usulan Pemeriksaan Penunjang


a. Pemerikaan darah lengkap ulangan, sebagai bahan evaluasi.
b. Endoscopi jika keluhan muntah darah serta bab darah tak kunjung
membaik.
c. Usg Abdomen

H. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam

9
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Saluran Cerna

B. Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas yaitu perdarahan yang berasal dari
dalam lumen saluran cerna di atas ligamentum Treitz, mulai dari jejunum

10
proksimal, duodenum, gaster, dan esofagus. Hal tersebut mengakibatkan
muntah darah (hematemesis) dan berak darah berwarna hitam seperti aspal
(melena).
Hematemesis adalah dimuntahkannya darah dari mulut, darah bisa dalam
bentuk segar (bekuan/ gumpalan/ cairan warna merah cerah) atau berubah
karena enzim dan asam lambung menjadi kecoklatan dan berbentuk seperti
butiran kopi. Melena yaitu keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti aspal
dengan bau khas, yang menunjukkan perdarahan saluran cerna atas serta
dicernanya darah pada usus halus.

C. Epidemiologi
Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu kasus kegawatan di bidang
gastroenterologi yang saat ini masih menjadi permasalahan di bidang kesehatan
dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir ini tidak terdapat
perubahan angka kejadian meskipun telah dicapai kemajuan dalam pengelolaan
atau terapi. Peningkatan insidensi di sebagian negara berhubungan dengan
penggunaan aspirin dan obat antiinflamasi non steroid (OAINS). Selain itu,
prevalensi perdarahan saluran cerna bagian atas sangat bervariasi berdasarkan
umur, jenis kelamin dan beberapa faktor lainnya. Hasil akhir berupa
perdarahan ulang dan kematian merupakan akibat dari penatalaksanaan yang
kurang adekuat (Maduseno, 2011).
Di Amerika Serikat angka kejadiannya berkisar antara 50-150 per 100.000
penduduk per tahun. Angka kematiannya bervariasi antara 4-14% tergantung
pada kondisi pasien dan penanganan yang tepat. Pasien dengan komplikasi atau
tanpa komplikasi di Amerika serikat rata-rata lama rawat inap adalah 4,4 dan
2,7 hari dengan biaya perawatan sebesar 5632 US dollar dan 3402 US dollar.
Umumnya 80% dari kasus dapat berhenti dengan sendirinya. 10% kasus
membutuhkan prosedur intervensi untuk mengontrol perdarahan (Mazen.
2010).

11
D. Etiologi
Terdapat perbedaan distribusi penyebab perdarahan saluran cerna bagian
atas (SCBA) di Indonesia dengan laporan pustaka Barat. Penyebab terbanyak
di Indonesia adalah perdarahan varises karena sirosis hati (65%), sedangkan di
negara Eropa dan Amerika adalah perdarahan non variceal karena ulkus
peptikum (60%). Penyebab lain yang jarang meliputi, Malory Weiss tears,
duodenitis erosive, ulkus dielafoy (salah satu tipe malformasi vaskuler),
neoplasma, aortoenteric fistula, GAVE (gastric antral vascular ectasia) dan
gastropathy prolapse (Purnomo, 2010).
Tabel 1. Penyebab Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (Green, 20003)
Cerna Bagian Atas Kurang sering Jarang
Sering (common) (less common)
Ulkus gaster Erosi/ gastropati gaster Ulkus esophagus
Ulkus duodenum Esofagitis Duodenitis erosive
Varises esophagus Lesi Dielafoy Fistula Aortoenterik
Mallory Weiss tear Telangiektasis Hemobilia
Gastropati hipertensi Penyakit Pankreas
portal Penyakit Crhon’s
GAVE (Gastric Antral
Vascular Ectasia) =
watermelon stomach
Varises gaster
Neoplasma

E. Faktor risiko
Terdapat beberapa faktor risiko yang dianggap berperan dalam patogenesis
perdarahan SCBA. Faktor risiko yang telah di ketahui adalah usia, jenis
kelamin, penggunaan OAINS, penggunaan obat antiplatelet, merokok,
mengkonsumsi alkohol, riwayat ulkus, diabetes mellitus dan infeksi bakteri
Helicobacter pylori (Siregar, 2011).
1. Usia
Perdarahan SCBA sering terjadi pada orang dewasa dan risiko
meningkat pada usia >60 tahun. Penelitian pada tahun 2001-2005 dengan
studi retrospektif di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo terhadap 837
pasien yang memenuhi kriteria perdarahan SCBA menunjukkan rata-rata
usia pasien laki-laki adalah 52,7 ± 15,82 tahun dan rata-rata usia pasien
wanita adalah 54,46 ± 17,6.26 Usia ≥ 70 tahun dianggap sebagai faktor

12
risiko karena terjadi peningkatan frekuensi pemakaian OAINS dan
interaksi penyakit komorbid yang menyebabkan terjadinya berbagai
macam komplikasi (Soll, 2009).
2. Jenis kelamin
Kasus perdarahan SCBA lebih sering dialami oleh laki-laki.
Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sekitar 51,4% yang
mengalami perdarahan SCBA berjenis kelamin laki-laki. Dari penelitian
yang sudah dilakukan mayoritas menggunakan pendekatan epidemiologi
dan belum ada penelitian yang secara spesifik menjelaskan hubungan
perdarahan SCBA dengan jenis kelamin (Wasse, 2003).
3. Penggunaan obat antiinflamasi non steroid (OAINS)
Peningkatan risiko komplikasi ulkus (rawat inap, operasi,
kematian) terjadi pada orang tua yang mengkonsumsi OAINS. Studi cross
sectional terhadap individu yang mengkonsumsi OAINS pada dosis
maksimal dalam jangka waktu lama 35% hasil endoskopi adalah normal,
50% menunjukkan adanya erosi atau petechiae, dan 5%-30%
menunjukkan adanya ulkus.Jenis-jenis OAINS yang sering dikonsumsi
adalah ibuprofen, naproxen, indomethacin, piroxicam, asam mefenamat,
diklofenak (Soll, 2009).
4. Penggunaan obat-obat antiplatelet
Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg per hari) dapat
menyebabkan faktor perdarahan naik menjadi dua kali lipat, bahkan dosis
subterapi 10 mg per hari masih dapat menghambat siklooksigenase.19
Aspirin dapat menyebabkan ulkus lambung, ulkus duodenum, komplikasi
perdarahan dan perforasi pada perut dan lambung. Obat antiplatelet seperti
clopidogrel berisiko tinggi apabila dikonsumsi oleh pasien dengan
komplikasi saluran cerna (Soll, 2009).
5. Merokok
Dari hasil penelitian menunjukkan merokok meningkatkan risiko
terjadinya ulkus duodenum, ulkus gaster maupun keduanya. Merokok
menghambat proses penyembuhan ulkus, memicu kekambuhan, dan
meningkatkan risiko komplikasi (Soll, 2009).

13
6. Alkohol
Mengkonsumsi alkohol konsentrasi tinggi dapat merusak
pertahanan mukosa lambung terhadap ion hidrogen dan menyebabkan lesi
akut mukosa gaster yang ditandai dengan perdarahan pada mukosa (Soll,
2009).
7. Riwayat Gastritis
Riwayat Gastritis memiliki dampak besar terhadap terjadinya
ulkus. Pada kelompok ini diprediksi risiko terjadi bukan karena sekresi
asam tetapi oleh adanya gangguan dalam mekanisme pertahanan mukosa
dan proses penyembuhan (Soll, 2009).
8. Diabetes mellitus (DM)
Beberapa penelitian menyatakan bahwa DM merupakan penyakit
komorbid yang sering ditemui dan menjadi faktor risiko untuk terjadinya
perdarahan.11 Namun, belum ada penelitian yang menjelaskan mekanisme
pasti yang terjadi pada perdarahan SCBA yang disebabkan oleh diabetes
mellitus.
9. Infeksi bakteri Helicobacter pylori
Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif berbentuk
spiral yang hidup dibagian dalam lapisan mukosa yang melapisi dinding
lambung. Beberapa penelitian di Amerika Serikat menunjukkan tingkat
infeksi H.pylori <75% pada pasien ulkus duodenum. Dari hasil penelitian
di New York 61% dari ulkus duodenum dan 63% dari ulkus gaster
disebabkan oleh infeksi H.pylori (Soll, 2009).
10. Chronic Kidney Disease
Patogenesis perdarahan saluran cerna pada chronic kidney disease
masih belum jelas, diduga faktor yang berperan antara lain efek uremia
terhadap mukosa saluran cerna, disfungsi trombosit akibat uremia,
hipergastrinemia, penggunaan antiplatelet dan antikoagulan, serta
heparinisasi pada saat dialysis (Shirazian, 2010).
11. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan disfungsi endotel sehingga mudah terkena
jejas. Selain itu hipertensi memperparah artherosklerosis karena plak

14
mudah melekat sehingga pada penderita hipertensi dianjurkan untuk
mengkonsumsi obat-obat antiplatelet.
12. Chronic Heart Failure
Penelitian yang ada mengatakan bahwa chronic heart failure dapat
meningkatkan faktor risiko perdarahan SCBA sebanyak 2 kali lipat.

F. Patogenesis
Lumen gaster memiliki pH yang asam. Kondisi ini berkontribusi dalam
proses pencernaan tetapi juga berpotensi merusak mukosa gaster. Beberapa
mekanisme telah terlibat untuk melindungi mukosa gaster. Musin yang
disekresi sel-sel foveola gastrica membentuk suatu lapisan tipis yang
mencegah partikel makanan besar menempel secara langsung pada lapisan
epitel. Lapisan mukosa juga mendasari pembentukan lapisan musin stabil pada
permukaan epitel yang melindungi mukosa dari paparan langsung asam
lambung, selain itu memiliki pH netral sebagai hasil sekresi ion bikarbonat sel-
sel epitel permukaan. Suplai vaskular ke mukosa gaster selain mengantarkan
oksigen, bikarbonat, dan nutrisi juga berfungsi untuk melunturkan asam yang
berdifusi ke lamina propia. Gastritis akut atau kronik dapat terjadi dengan
adanya dekstruksi mekanisme-mekanisme protektif tersebut (Turner, 2010).

Gambar 1. Patogenesis Perdarahan Saluran Cerna bagian Atas (Turner, 2010)

15
Pada orang yang sudah lanjut usia pembentukan musin berkurang
sehingga rentan terkena gastritis dan perdarahan saluran cerna (Turner, 2010).
OAINS dan obat antiplatelet dapat mempengaruhi proteksi sel yang umumnya
dibentuk oleh prostaglandin atau mengurangi sekresi bikarbonat yang
menyebabkan meningkatnya perlukaan mukosa gaster (Soll, 2009). Infeksi
Helicobacter pylori yang predominan di antrum akan meningkatkan sekresi
asam lambung dengan konsekuensi terjadinya tukak duodenum. Inflamasi pada
antrum akan menstimulasi sekresi gastrin yang merangsang sel parietal untuk
meningkatkan sekresi lambung (Djokomoeljanto, 2010). Perlukaan sel secara
langsung juga dapat disebabkan konsumsi alkohol yang berlebih. Alkohol
merangsang sekresi asam dan isi minuman berakohol selain alkohol juga
merangsang sekresi asam sehingga menyebabkan perlukaan mukosa saluran
cerna (Soll, 2009).
Penggunaan zat-zat penghambat mitosis pada terapi radiasi dan
kemoterapi menyebabkan kerusakan mukosa menyeluruh karena hilangnya
kemampuan regenerasi sel (Turner, 2010). Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit komorbid pada
perdarahan SCBA dan menjadi faktor risiko perdarahan SCBA. Pada pasien
DM terjadi perubahan mikrovaskuler salah satunya adalah penurunan
prostasiklin yang berfungsi mempertahankan mukosa lambung sehingga
mudah terjadi perdarahan (Djokomoeljanto, 2010).
Gastritis kronik dapat berlanjut menjadi ulkus peptikum. Merokok
merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya ulkus peptikum. Merokok
memicu kekambuhan, menghambat proses penyembuhan dan respon terapi
sehingga memperparah komplikasi ulkus kearah perforasi (Soll, 2009).

G. Manifestasi Klinis Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas


Manifestasi klinik yang sering terjadi adalah adanya hematemesis (muntah
darah segar dan atau disertai hematin/ hitam) yang kemudian dilanjutkan
dengan timbulnya melena. Hal ini terutama pada kasus dengan sumber
perdarahan di esofagus dan gaster. Sumber perdarahan di duodenum relatif

16
lebih sering bermanifestasi dalam bentuk melena atau tidak jarang dalam
bentuk hematochezia (Djojoningrat, 2011).
Hal ini banyak dipengaruhi oleh jumlah darah yang keluar persatuan
waktu dan fungsi pilorus. Terkumpulnya darah dalam volume banyak dalam
waktu singkat akan menimbulkan refleks muntah sebelum komponen darah
tersebut bercampur dengan asam lambung (sehingga muntah darah segar). Hal
ini berbeda dengan perdarahan yang memberi kesempatan darah yang keluar
terpapar lengkap dengan asam lambung sehingga membentuk hematin hitam.
Perdarahan yang masif, terutama yang berasal dari duodenum, kadang tidak
terpapar asam lambung dan keluar dalam bentuk darah segar (hematochezia)
atau merah hati (maroon stool) (Djojoningrat, 2011).

H. Diagnosis Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas


Diagnosis perdarahan SCBA dibuat berdasarkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, inspeksi dengan pemasangan nasogastric tube (NGT),
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan endoskopi, radionuclide scanning,
radiografi barium kontras (Djojoningrat, 2011).
1. Anamnesis
Dalam anamnesis yang perlu ditekankan adalah waktu terjadinya
perdarahan, perkiraan darah yang keluar, riwayat perdarahan sebelumnya,
riwayat perdarahan dalam keluarga, ada tidaknya perdarahan di bagian
tubuh lain, penggunaan obat-obatan terutama anti inflamasi non steroid,
penggunaan obat antiplatelet, kebiasaan minum alkohol, kemungkinan
adanya penyakit hati kronik, diabetes mellitus, demam tifoid, gagal ginjal,
hipertensi dan riwayat transfusi sebelumnya (Adi, 2010).
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan tekanan darah sederhana dapat memperkirakan
seberapa banyak pasien kehilangan darah. Kenaikan nadi >20 kali
permenit dan tekanan sistolik turun >10 mmHg menandakan telah banyak
kehilangan darah (Djojoningrat, 2011).
3. Inspeksi dengan nasogastric tube (NGT)

17
Pemasangan NGT dan inspeksi aspirat dapat digunakan pada
penilaian awal kasus. Aspirat warna merah terang, pasien memerlukan
pemeriksaan endoskopi segera baik untuk evaluasi maupun perawatan
intensif. Jika cairan aspirat berwarna seperti kopi, maka diperlukan rawat
inap dan pemeriksaan endoskopi dalam 24 jam pertama. Meskipun
demikian aspirat normal tidak dapat menyingkirkan perdarahan SCBA.
Studi melaporkan 15% kasus perdarahan SCBA pemeriksaan NGT normal
tetapi terdapat lesi dengan risiko tinggi perdarahan (terlihat/ tidak terlihat
pembuluh darah dengan perdarahan) pada endoskopi (Aljebreen, 2004).
4. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium penunjang awal ditujukan untuk menilai
kadar hemoglobin, fungsi hemostasis, fungsi hati dan kimia dasar yang
berhubungan dengan status haemodinamik. Pemeriksaan kadar
haemoglobin dan hematokrit dilakukan secara serial (setiap 6-8 jam) agar
dapat dilakukan antisipasi transfusi secara lebih tepat serta untuk
memantau lajunya proses perdarahan (Djojoningrat, 2011).
5. Endoskopi diagnostik
Endoskopi merupakan pemeriksaan pilihan utama untuk diagnosis,
dengan akurasi diagnosis > 90%. Waktu yang paling tepat untuk
pemeriksaan endoskopi tergantung pada derajat berat dan dugaan sumber
perdarahan. Dalam 24 jam pertama pemeriksaan endoskopi merupakan
standar perawatan yang direkomendasikan. Pasien dengan perdarahan
yang terus berlangsung, gagal dihentikan dengan terapi suportif
membutuhkan pemeriksaan endoskopi dini (urgent endoscopy) untuk
diagnosis dan terapi melalui teknik endoskopi (Grace, 2009). Tujuan
pemeriksaan endoskopi selain menemukan penyebab serta asal
perdarahan, juga untuk menentukan aktivitas perdarahan. Forest membuat
klasifikasi perdarahan ulkus peptikum atas dasar penemuan endoskopi
yang bermanfaat untuk menentukan tindakan selanjutnya (Adi, 2010).
Tabel 2. Klasifikasi Aktivitas Perdarahan Ulkus Peptikum Menurut Forest
(Adi, 2010).
Aktivitas perdarahan Kriteria endoskopi
Forest Ia Perdarahan aktif Perdarahan arteri menyembur
Forest Ib Perdarahan aktif Perdarahan merembes

18
Forest II Perdarahan berhenti dan Gumpalan darah pada dasar tukak
masih terdapat sisa perdarahan atau terlihat pembuluh darah
Forest III Perdarahan berhenti Lesi tanpa tanda sisa perdarahan
tanpa sisa perdarahan

6. Arteriografi selektif
Arteriografi selektif melalui aksis seliak, arteri mesenterika
superior, arteri mesenterika inferior dan cabangnya dapat digunakan untuk
diagnosis, sekaligus dapat untuk terapeutik. Pemeriksaan ini
membutuhkan laju perdarahan minimal 0,5-1,0 mililiter permenit
(Djojoningrat, 2011).
7. Radiografi barium kontras
Teknik pemeriksaan ini kurang direkomendasikan. Selain sulit
untuk menentukan sumber perdarahan, juga adanya zat kontras akan
mempersulit pemeriksaan endoskopi maupun arteriografi (Djojoningrat,
2011).

I. Perbedaan Perdarahan Saluran cerna Bagian Atas Dengan Bagian


Bawah
Perbedaan Perdarahan SCBA Perdarahan SCBB
Manifestasi klinik Hematemesis dan/atau Hematokezia
umumnya melena
Aspirasi nasogastrik Berdarah Jernih
Rasio (BUN : Meningkat >35 <35
kreatinin)
Auskultasi usus Hiperaktif Normal

J. Penatalaksanaan
Tujuan utama pengelolaan perdarahan SCBA adalah stabilisasi
hemodinamik, menghentikan perdarahan, mencegah perdarahan ulang dan
menurunkan mortalitas.
1. Resusitasi
Bila sudah dalam keadaan hemodinamik tidak stabil atau dalam
keadaan renjatan, maka proses resusitasi cairan (cairan kristaloid atau
koloid) harus segera dimulai tanpa menunggu data pendukung lainnya.

19
Pilihan akses, jenis cairan resusitasi, kebutuhan transfuse darah,
tergantung derajat perdarahan dan kondisi klinis pasien. Cairan kristaloid
dengan akses perifer dapat diberikan pada perdarahan ringan sampai
sedang tanpa gangguan hemodinamik (Purnomo, 2010).
Cairan koloid diberikan jika terjadi perdarahan yang berat sebelum
transfuse darah bisa diberikan. Pada keadaan syok dan perlu monitoring
ketat pemberian cairan, diperlukan akses sentral. Target resusitasi adalah
hemodinamik stabil, produksi urin cukup (>30 cc/jam), tekanan vena
sentral 5-10 cm H2O, kadar Hb tercapai (8-10 gr%) (Purnomo, 2010).
2. Terapi obat
PPI (Proton Pump inhibitor) merupakan pilihan utama dalam
pengobatan perdarahan SCBA non variseal. Beberapa studi melaporkan
efektifitas PPI dalam menghentikan perdarahan karena ulkus peptikum dan
mencegah perdarahan berulang. PPI memiliki dua mekanisme kerja yaitu
menghambat H+/K+ATPase dan enzim karbonik anhidrase mukosa
lambung manusia. Hambatan pada H+/K+ATPase menyebabkan sekresi
asam lambung dihambat dan pH lambung meningkat. PPI yang tersedia di
Indonesia antara lain omeprazol, lansoprazole, pantoprazole, rabeprazole,
dan esomeprazole. PPI intravena mampu mensupresi asam lebih kuat dan
lama tanpa mempunyai efek samping toleransi. Studi Randomized
Controlled Trial (RCT) menunjukkan PPI efektif jika diberikan dengan
dosis tinggi intravena selama 72 jam setelah terapi endoskopi pada
perdarahan pada ulkus dengan stigmata endoskopi risiko tinggi misalnya,
lesi tampak pembuluh darah dengan atau tanpa perdarahan akut (Purnomo,
2010).
Dosis rekomendasi omeprazol untuk resiko tinggi pada
pemeriksaan endoskopi adalah 80 mg bolus diikuti dengan 8 mg/jam
infuse selama 72 jam dilanjutkan dengan terapi oral. Pada pasien dengan
endoskopi risiko rendah, PPI oral dosis tinggi direkomendasikan. PPI oral
diberikan selama 6-8 minggu setelah pemberian intravena, atau bisa lebih
lama diberikan jika ada infeksi Helicobacter pylori atau penggunaan
regular aspirin, OAINS dan obat antiplatelet (Purnomo, 2010).

20
K. Komplikasi
1. Syok hipovolemik
2. Aspirasi pneumonia
3. Gagal ginjal akut
4. Sindrom hepatorenal koma hepatikum
5. Anemia karena perdarahan

21
III. KESIMPULAN

1. Tn. S usia 77 tahun, pada kasus ini terdiagnosis Hematemesis, melena serta
anemia ringan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang sudah dilakukan.
2. Hematemesis adalah dimuntahkannya darah dari mulut, darah bisa dalam
bentuk segar (bekuan/ gumpalan/ cairan warna merah cerah) atau berubah
karena enzim dan asam lambung menjadi kecoklatan dan berbentuk seperti
butiran kopi.
3. Melena yaitu keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti aspal dengan bau
khas, yang menunjukkan perdarahan saluran cerna atas serta dicernanya darah
pada usus halus.
4. Penyebab terbanyak terjadinya hematemesis dan melena di Indonesia adalah
perdarahan varises karena sirosis hati (65%), sedangkan di negara Eropa dan
Amerika adalah perdarahan non variceal karena ulkus peptikum (60%).
5. Faktor risiko terjadinya hematemesis dan melena diantaranya yaitu: faktor
usia, jenis kelamin, penggunaan obat antiinflamasi non steroid (OAINS),
penggunaan obat-obat antiplatelet , kebiasaan merokok, mengkonsumsi
alkohol , memiliki riwayat Gastritis, Diabetes mellitus (DM), Infeksi bakteri
Helicobacter pylori, Chronic Kidney Disease, Hipertensi serta Chronic Heart Failure.
6. Tujuan utama pengelolaan perdarahan SCBA adalah stabilisasi hemodinamik,
menghentikan perdarahan, mencegah perdarahan ulang dan menurunkan
mortalitas.

22
DAFTAR PUSTAKA

Adam V, Barkun A. Estimates of costs of hospital stay for variceal and non-
variceal upper gastrointestinal bleeding in the United States. Value Health.
2008;11:1-4.

Adi P. Pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2010: 447-
53.

Aljebreen AM FC, Barkun AN. Nasogastric aspirate predicts high-risk endoscopic


lesions in patients with acute upper-GI bleeding. Gastrointest Endosc. 2004;
59: 17.

Becker J,C, Domsche W, Pohle T. current approach to prevent NSAID induced


gastrophathy-COX selectivity and beyond. Br J Clin Pharm. 2004; 58(6):587-
600.

Chak A CG, Llyod LE, Kolz CS, Barnhart BA, Wong RC. Effectiveness of
endoscopy in patients admitted to the intensive care unit with upper GI
hemorrhage. Gastrointest endosc. 2001; 53:6-13.

Corley DA SA, Wolf M, Cook EF, Lee TH. Early indicators of prognosis in upper
gastrointestinal hemorrhage. Am J Gastroenterol.1998; 93:336-40.

Davey, P. Hematemesis & Melena : dalam At a Glance Medicine. Jakarta :


Erlangga. 2006 : 36 - 7.

Derry S, Loke YK. Risk of gastrointestinal haemorrhage with long term use of
aspirin: meta-analysis. Br Med J. 2000; 321:1183-7.

Djojoningrat D. Perdarahan saluran cerna bagian atas (hematemesis melena).


Dalam: Rani AA, K MS, Syam AF, editor. Buku ajar gastroenterology. Edisi
ke-1. Jakarta: Pusat penerbit Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2011: 33-44.

Gilbert DA, Silverstein FE. Acute upper gastrointestinal bleeding. In: Sivak MV,
Schleutermann DA, eds. Gastroenterologic endoscopy. 2nd ed. Philadelphia:
WB Saunders; 2000. 284-300.

Grace HE. Approach to the patient with gross gastrointestinal bleeding. In:
Yamada T, ed. Atlas of Gastroenterology. 4th ed; 2009; 1-9.

Gralnek I.M, Barkun A.N, Bardou M. Management of acute bleeding from a


peptic ulcer. N Engl J Med. 2008; 359:928-37.

Green BT, Rockey DC. Acute gastrointestinal bleeding. Semin Gastrointest Dis.
2003;14(2):44-65.

23
Hadi, S. Perdarahan Saluran Makan : dalam Gastroenterologi. Bandung : PT
Alumni. 2002 : 281 – 305.

Kaaroud H, Ben FL, Beji S, Boubaker K, Hedri H, Ben HF. Gastrointestinal


angiodysplasia in chronic renal failure. Saudi J kidney Dis
Transplant.2008:19(5):809-12.

Lanas A, Garcia-Rodri’guez LA, Polo-Toma’s M, Ponce M,.Alonso-Abreu I,


perez-Aisa MA, et al. Time trends and impact of upper and lower
gastrointestinal bleeding and perforation in clinical practice. Am J
Gastroenterol. 2009;104:1633-41.

Lanza FL. A review of gastric ulcer and gastroduodenal injury in normal


volunteers receiving aspirin and other non-steroidal anti-inflamatory drugs.
Scand J Gastroenterol. 1988; 24(163): 24-31.

Loren L. Gastrointestinal bleeding. In: Braunwald E, Fauci AS, Dasper DL,


hauser SL. Longo DL, Jameson JL, eds. Harrisons’s Principle of Internal
medicine. 18th ed. USA: McGraw-Hill Companies Inc: 2005; 235.

Maduseno S. Rekomendasi terbaru perdarahan ulkus peptic, “konsensus


internasional”. Dalam: Purnomo HD, Hirlan, editor. Semarang
Gastroenterohepatology update 2011 “Current issues in
gastroenterohepatology: from theory to clinical Practice; 2011 Apr 8-10”.
Semarang (Indonesia): Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2011:33-51.

Mazen A, Mohammed A, John J. Managing acute upper GI bleeding, preventing


recurrences. Clev Clin J Med. 2010;105:84-93.

Mourkarbel GV, Signorovitch JE, Pfeffer MA, McMurray J, White HD, Maggioni
AP, et al. gastrointestinal bleeding in high risk survivors of myocardial
infarction : the VALIANT Trial. Eur Heart J. 2009;(30):2226-32.

Ng F, Wong SY, Lau YK, Kng PLC. Upper gastrointestinal bleeding during Anti-
platelet. Hong Kong Med J. 2008; 13(3):27-39.

Newton JL. A review of improving the gastrointestinal tolerability of aspirin in


older people. Clin Interv Aging. 2006; 1(1):33-9.

Noolima G, Vallurupalli MD, Samuel Z, Goldhaber M. Gastrointestinal


complications of dual antiplatelet therapy. Circulation. 2006;(113):655-58.

Purnomo HD. Pengelolaan perdarahan akut saluran cerna bagian atas. Dalam:
Suharti C, Sugiri, Gasem MH, editor. Pertemuan ilmiah tahunan XIV PAPDI;
2010 24-26 sept. Semarang (Indonesia): Badan Penerbit Universitas
Diponegoro; 2010:45-55.

24
Purwadianto, A. & Budi S. Hematemesis & Melena : dalam Kedaruratan Medik.
Jakarta : Binarupa Aksara. 2000 : 105 – 10.

Robinson M, Syam FA, Abdulah M. Mortality risk factors in acute upper


gastrointestinal bleeding. Indones J Gastroenterol Hepatol Dig Endosc. 2012;
13:1-37.

Rockall TA, Logan RFA, Northfield TC. Risk assessment after acute upper
gastrointestinal haemorrhage. Gut.1996;38:316-21.

Saeed F, Agrawal N, Greenberg E, Holley JL. Lower gastrointestinal bleeding in


chronic hemodyalisis patients. Int J Nephrol.2011;20(11):272-535.

Serano P, Lanas A, Arroyo MT, Ferreira IJ. Risk of upper gastrointestinal


bleeding in patients taking low-dose aspirin for the prevention of
cardiovaskuler disease. Aliment Pharmacol Ther. 2002; 16:1945-53.

Shah AA, Fitzgerald DJ, and Murray FE. Non steroidal anti inflammatory drugs
(NSAIDS) and gastro intestinal toxicity: current issues. In J Med. 1999;
168(4):242-7.

Shirazian S, Radhakrishnan J. Gastrointestinal symptoms in patients undergoing


peritoneal dialysis: Multivariate analysis of correlated factors. World J
Gastroenterol.2010;16(22):2812-7.

Silverstein FE, GD, Tedesco FJ, Buenger NK, Persing J. The national ASGE
survey on upper gastrointestinal bleeding. II. Clinical prognostic factors.
Gastrointest endosc. 1981; 27:80-93.

Siregar L, Rani AA, Manan C, Simadibrata M, Makmun D. Clinical profile and


outcome of non-variceal upper gastrointestinal bleeding in relation to timing
of endoscopic Procedure in patient undergoing elective endoscopy. Indones J
Gastroenterol Hepatol Dig Endosc. 2011; 12(3):140-5.

Soll AH, Graham YD. Peptic ulcer disease. In: Yamada T, ed. Textbook of
gastroenterology. 5th ed. 2009; 936-46.

Syam A.F, Abdullah M, Makmun D, Simandabrata MK, Djojoningrat D, M, et al.


The cause of upper gastrointestinal bleeding in the national referral hospital:
evaluation on upper gastrointestinal bleeding tract endoscopic result in five
years period. Indones J Gastroenterol Hepatol Dig Endosc. 2005; 6(3):71-4.

Tan VP, Yan BP, Kieman TJ, Ajani AE. Risk and management of upper
gastrointestinal bleeding associated with prolonged dual-antiplatelet therapy
after percutaneous coronary intervention. Cardiovasc Revasc Med. 2009:36-
44.

25
Thomson ICR, Teo E. The changing face of non-variceal, upper gastrointestinal
hemorrhage. J Gastroenterol Hepatol. 2007; (22): 13-7.

Turner JR. The gastrointestinal tract. In: Kumar V, Abbas A.K, Fausto N, Aster
J.C. Robbins and cotran pathologis basis of disease. 8th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders Inc; 2010; 763-70.

Wasse H, Gillen LD, Ball AM, Kestenbaum BR, Seliger SL, Sherrard D,
Stehman-Breen CO. Risk factors for upper gastrointestinal bleeding among
end-stage renal disease patients. Kidney Int. 2003; 64: 1455-61.

26

Anda mungkin juga menyukai