Manajemen Konflik Keperawatan
Manajemen Konflik Keperawatan
Ilmu Keperawatan
Fakultas Keperawatan
Universitas Andalas
2019
KONFLIK
Definisi Konflik
Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide, nilai-nilai,
dan perasaan antara dua orang atau lebih (Marquis & Huston, 1996 dalam Hendel
dkk, 2005).
Menurut Kazimoto (2013), konflik adalah adanya perselisihan yang terjadi ketika
tujuan, keinginan, dan nilai bertentangan terhadap individu atau kelompok.
Sumber Konflik
Shetach (2012) menyatakan bahwa konflik terjadi disebabkan karena: (1) perbedaan
interpersonal pada setiap dimensi-umur, jenis kelamin, ras, pandangan, perasaan,
pendidikan, pengalaman, tingkah laku, pendapat, budaya, kebangsaan, keyakinan,
dll, (2) perbedaan kepentingan dalam hubungan antar manusia karena perbedaan
budaya, posisi, peran, status, dan tingkat hirarki.
Menurut Robbins (2008), konflik muncul karena ada kondisi yang
melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga
sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu : komunikasi,
struktur, dan variabel pribadi.
a. Komunikasi
Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran
(kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan
jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan
kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan,
Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem
nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan
individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain.
Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang
sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber
konflik yang potensial.
Jenis-jenis Konflik
Menurut Rigio (2003) jenis-jenis konflik yang ada antara lain konflik intrapersonal,
konflik interpersonal, konflik intra kelompok dan konflik antar kelompok.
a. Konflik Intrapersonal
Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi pada individu sendiri. Keadaan ini
merupakan masalah internal untuk mengklasifikasinilai dan keinginan dari konflik
yang terjadi. Hal ini sering dimanifestasikan sebagai akibat dari kompetisi peran.
Misalnya seorang manajer mungkin merasa konflik intrapersonal dengan loyalitas
terhadap profesi keperawatan, loyalitas terhadap pekerjaan, dan loyalitas kepada
pasien.
b. Konflik Interpersonal
Konflik interpersonal terjadi antara dua orang atau lebih, dimana nilai, tujuan, dan
keyakinan berbeda. Konflik ini sering terjadi karena seseorang secara konstan
berinteraksi dengan orang lain sehingga
ditemukan perbedaan-perbedaan. Sebagai contoh seorang manajer sering mengalami
konflik dengan teman sesame manajer, atasan, dan bawahannya.
c. Konflik Intra kelompok
Konflik ini terjadi ketika seseorang didalam kelompok melakukan kerja berbeda dari
tujuan, dengan contoh seorang perawat tidak mendokumentasikan rencana tindakan
perawatan pasien sehingga akan mempengaruhi kinerja perawat lainnya dalam satu
tim untuk mencapai tujuan perawatan di ruangan tersebut.
d. Konflik Antar Kelompok
Konflik ini dapat timbul ketika masing-masing kelompok bekerja untuk mencapai
tujuan kelompoknya. Sumber konflik jenis ini adalah hambatan dalam mencapai
kekuasaan dan otoritas (kualitas jasa layanan), keterbatasan prasarana.
Manajemen Konflik
Seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk
memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering pula disebut smothing
(melicinkan), karena berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan menekankan
pada persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan
strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya kerjasama.
Kelemahannya, penyelesaian bersifat sementara dan tidak menyentuh masalah
pokok yang ingin dipecahkan.
3) Dominating (Forcing)
Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian terhadap
kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk menggunakan taktik “saya
menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut memaksa (forcing) karena
menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok
digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam penyelesaian
masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan harus mengambil
keputusan dalam waktu yang cepat. Namun, teknik ini tidak tepat untuk menangani
masalah yang menghendaki adanya partisipasi dari mereka yang terlibat dan juga
tidak tepat untuk konflik yang bersifat kompleks . Kekuatan utama gaya ini terletak
pada minimalnya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik.
Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk
menerima keputusan oleh mereka yang terlibat.
4) Avoiding
5) Compromising
Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang
memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan
pendekatan saling memberi dan menerima (give and take approach) dari pihak-
pihak yang terlibat. Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah yang
melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan
yang sama. Kekuatan utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis
dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang
bersifat sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam penyelesaian
masalah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hendel (2005), gaya ini
merupakan gaya yang paling banyak dipilih oleh perawat dalam menyelesaikan
konflik yang terjadi.
Gambar 1. Gaya Penyelesaian Konflik
Proses manajemen konflik meliputi proses dari diagnosis, intervensi, dan evaluasi
(feedback). Penentuan diagnosis merupakan dasar dari keberhasilan suatu intervensi.
Berikut adalah skema proses manajemen konflik menurut Rahim (2002):
Diagnosis Intervention Learning&
Conflict effectiveness
FEEDBACK
Dalam proses diagnosis yang perlu dilakukan adalah pengumpulan data-data antara
lain identifikasi batasan konflik, besarnya konflik, sumber konflik, kemudian
mengkaji sumber daya yang ada apakah menjadi penghalang atau dapat
dioptimalkan untuk membantu penyelesaian konflik (Huber, 2010). Setelah proses
identifikasi (measurement), selanjutnya dilakukan proses analisis terhadap data- data
yang telah dikumpulkan, hal ini bertujuan untuk menentukan strategi resolusi
konflik yang akan diambil disesuaikan berdasarkan besarnya konflik dan gaya
manajemen konflik yang akan dipakai (integrating, obliging, dominating, avoiding,
dan compromising).
Menurut Huber (2010) outcome conflict adalah hasil dari proses manajemen konflik
antara lain:
1) Win-lose
Salah satu pihak mendominasi dan pihak yang lain terabaikan. Yang menduduki
porsi lebih besar mendapatkan kemenangan dan sebaliknya yang lebih sedikit
mengalami kekalahan.
2) Lose-lose
Resolusi ini dicapai saat semua pihak menyetujui dan mendapatkan manfaat dari
penyelesaian konflik
Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya proses kreativitas
di dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara bersama-sama, dimana konflik
dianggap sebagai suatu masalah yang berkualitas terhadap perkembangan individu
atau suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan masalahnya (Hendel, 2005).
Menurut Ayoko dan Hartel (2006) untuk meningkatkan respon konstruktif, seorang
pemimpin juga harus mampu memanajemen timbulnya konflik emosional karena
akan menghambat terbentuknya persatuan dan perkembangan organisasi.
Selain itu pemilihan strategi penyelesaian konflik juga dipengaruhi oleh suasana saat
berkomunikasi. Bila suasana komunikasi terjalin baik, strategi yang bisa
Pengaruh kepemimpinan dalam pemecahan masalah konflik juga bisa dilihat dalam
model “CAPI” yang dirumuskan oleh Shetach (2012). Dengan menerapkan CAPI
(Coaleshing Authority, Power, and Influence) model’s dalam manajemen kelompok,
diharapkan pemimpin mampu menggunakan kekuatan, otoritas, dan pengaruhnya
dalam memutuskan strategi penyelesaian konflik yang tepat.
KASUS
Ns. Dahliah (25 th) lulus pendidikan S1 Keperawatan langsung bekerja di
Rumah Sakit (RS Segar) tahun pertama bekerja Ns. Dahlia ditempatkan di ruang
belimbing, yaitu ruang rawat inap penyakit dalam dan berperan sebagai perawat
pelaksana. Tahun ke dua ia menduduki posisi sebagai ketua TIM di ruangan yang
sama. Kemudian pada tahun ketiga ia menjadi kepala ruangan di ruangan tersebut.
Rumah sakit segar merupakan RSU tipe C dengan Kapasitas 250 TT, jumlah perawat
200 orang dengan latar belakang pendidikan 60 % SPK, 38% DIII keperawatan dan 2
% S1 keperawatan, BOR saat ini 60 % sejak menjabat sebagai kepala Ruangan NS.
Dahlia banyak mengalami pengalaman yang kurang menyenangkan, Misalnya :
banyak komentar-komentar tidak sedap tentang dirinya yang ia dengar (ada staf
perawat) yang mengatakan bahwa ia masih muda, belum banyak pengalaman belum
senior, belum mengetahui seluk beluk RS Segar dan Ruang belimbing, tidak mungkin
dapat melakukan sesuatu untuk ruang belimbing). Namun demikian, walaupun
banyak yang tidak mendukung, masih ada juga beberapa perawat yang mendukung
Ns. Dahlia.
A. Identifikasi Masalah
Dari kasus masalah yang terjadi yaitu konflik antara individu dan kelompok dilihat
dari berbagai masalah yang muncul yaitu :
Ketegangan antara kelompok
Perbedaan pandangan
Hambatan komunikasi
Masalah status
B. Identifikasi Dampak
Identifikasi dampak yang dapat terjadi pada case study di atas :
Tidak adanya rasa saling percaya.
Menurungkan rasa tanggung jawab terhadap pekerjaannya.
Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh
teguran dari atasan.
Menurunkan moral, semangat, dan motivasi kerja.
C. Penyelesaian Masalah
1. Strategi Smoothing
Teknik ini merupakan penyelesaian konflik dengan cara mengurangi
komponen emosional dalam konflik. Pada strategi ini, individu yang terlibat
dalam konflik berupaya mencapai kebersamaan daripada perbedaan dengan
penuh kesasaran dan intropeksi diri. Strategi ini bisa diterapkan pada konflik
yang ringan, tetapi tidak dapat dipergunakan pada konflik yang besar,
misalnya persaingan pelayanan / hasil produksi.
Beberapa cara yang dilakukan dalam strategi smoothing :
Menciptakan kontak dan membina hubungan
Menumbuhkan rasa percaya dan penerimaan
Menentukan tujuan
Merencanakan pelaksanaan jalan keluar
2. Strategi Kolaborasi
Strategi ini merupakan strategi win – win sololution. Dalam kolaborasi,
kedua pihak yang terlibat menentukan tujuan bersama dan bekerjasama dalam
mencapai suatu tujuan. Oleh karena keduanya yakin akan tercapainya suatu
tujuan yang telah ditetapkan. Strategi kolaborasi tidak akan bisa berjalan bila
kompetisi insentif sebagai bagian dari situasi tersebut, kelompok yang terlibat
tidak mempunyai kemampuan dalam menyelesaikan masalah, dan tidak
adanya kepercayaan dari kedua kelompok / seseorang.
Beberapa cara yang dilakukan dalam strategi kolaborasi :
Atur dan rencanakan pertemuan antara individu-individu yang terlibat
konflik
Memantau sudut pandang dari semua individu yang terlibat
Mengembangkan dan menguraikan solusi
Memilih solusi dan melakukan tindakan
Merencanakan pelaksanaannya
Daftar Pustaka
Ayoko, O.B. & Hartel C.E. (2006). Cultural diversity and leadership “a
conceptual model of leader intervention in conflict events in
culturally heterogenous workgroups. Cross Cultural Management:
An International Journal, 13(4), 345-360.
Brewer, N., Mitchell, P., Weber, N. (2002). Gender role, organizational
status, and conflict management styles. The International Journal
of Conflict Management. 13(1), 78-94.
Hassan, B., Maqsood, A., & Muhammad, N. R. (2011). Relationship
between organizational communication climate and interpersonal
conflict management style. Pakistan Journal of Physicology,
42(2), 23-41.
Hendel, T., Fish, M..,Galon, V. (2005). Leadership style and choice of
strategy in conflict management among Israeli nurse managers in
general hospitals. Journal of Nursing Management, 13, 137-146.
Huber, D. L. (2010). Leaderhip and Nursing Care Management ed. 4.
Maryland Heights: Saunders/Elsevier.
Rahim, M. Afzalur. (2002). Toward a theory of managing organizational
conflict. The International Journal of Conflict Management, 13
(3), 206-235.
Runde, C. E. & Flanagan, T. A. (2007). Effective leadership stems from
ability to handle conflict. (2007). Dispute Resolution Journal, 62(2),
92.
Shetach, A. (2012). Conflict leadership: Navigating toward effective
and efficient team outcomes. The Journal for Quality and
Participation, 35(2), 25-30.