Anda di halaman 1dari 15

MANAJEMEN KONFLIK KEPERAWATAN

1. Risada Septriella 1611313011


2. Deanisa Hasananah 1611313020
3. Clarissa Pramestya 1611313023
4. Meuthia Chalyta 1611313019
5. Yolanda Faradila 1611313016
6. Dona Mulianti 1311311095

Ilmu Keperawatan
Fakultas Keperawatan
Universitas Andalas
2019
KONFLIK

Definisi Konflik

Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide, nilai-nilai,
dan perasaan antara dua orang atau lebih (Marquis & Huston, 1996 dalam Hendel
dkk, 2005).
Menurut Kazimoto (2013), konflik adalah adanya perselisihan yang terjadi ketika
tujuan, keinginan, dan nilai bertentangan terhadap individu atau kelompok.

Sumber Konflik

Shetach (2012) menyatakan bahwa konflik terjadi disebabkan karena: (1) perbedaan
interpersonal pada setiap dimensi-umur, jenis kelamin, ras, pandangan, perasaan,
pendidikan, pengalaman, tingkah laku, pendapat, budaya, kebangsaan, keyakinan,
dll, (2) perbedaan kepentingan dalam hubungan antar manusia karena perbedaan
budaya, posisi, peran, status, dan tingkat hirarki.
Menurut Robbins (2008), konflik muncul karena ada kondisi yang
melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga
sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu : komunikasi,
struktur, dan variabel pribadi.
a. Komunikasi

Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalahpahaman


antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil
penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak
cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap
komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
b. Struktur

Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran
(kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan
jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan
kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan,

dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran


kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya
konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka
semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.
c. Variabel Pribadi

Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem
nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan
individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain.
Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang
sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber
konflik yang potensial.

Jenis-jenis Konflik

Menurut Rigio (2003) jenis-jenis konflik yang ada antara lain konflik intrapersonal,
konflik interpersonal, konflik intra kelompok dan konflik antar kelompok.
a. Konflik Intrapersonal

Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi pada individu sendiri. Keadaan ini
merupakan masalah internal untuk mengklasifikasinilai dan keinginan dari konflik
yang terjadi. Hal ini sering dimanifestasikan sebagai akibat dari kompetisi peran.
Misalnya seorang manajer mungkin merasa konflik intrapersonal dengan loyalitas
terhadap profesi keperawatan, loyalitas terhadap pekerjaan, dan loyalitas kepada
pasien.
b. Konflik Interpersonal

Konflik interpersonal terjadi antara dua orang atau lebih, dimana nilai, tujuan, dan
keyakinan berbeda. Konflik ini sering terjadi karena seseorang secara konstan
berinteraksi dengan orang lain sehingga
ditemukan perbedaan-perbedaan. Sebagai contoh seorang manajer sering mengalami
konflik dengan teman sesame manajer, atasan, dan bawahannya.
c. Konflik Intra kelompok

Konflik ini terjadi ketika seseorang didalam kelompok melakukan kerja berbeda dari
tujuan, dengan contoh seorang perawat tidak mendokumentasikan rencana tindakan
perawatan pasien sehingga akan mempengaruhi kinerja perawat lainnya dalam satu
tim untuk mencapai tujuan perawatan di ruangan tersebut.
d. Konflik Antar Kelompok

Konflik ini dapat timbul ketika masing-masing kelompok bekerja untuk mencapai
tujuan kelompoknya. Sumber konflik jenis ini adalah hambatan dalam mencapai
kekuasaan dan otoritas (kualitas jasa layanan), keterbatasan prasarana.

Manajemen Konflik

a. Definisi Manajemen Konflik

Manajeman konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau


pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah penyelesaian yang
konstruktif atau destruktif (Ross, 1993).
b. Gaya Penyelesaian Konflik

Terdapat 2 hal yang memegang peranan penting dalam keberhasilan penyelesaian


konflik, yaitu menentukan besarnya konflik dan gaya penanganan konflik (Rahim,
2002). Yang dimaksud dengan besarnya konflik terkait dengan jumlah individu yang
terlibat, apakah konflik mengarah pada intrapersonal, interpersonal, intra kelompok,
atau antar kelompok. Kreitner dan Kinicki (2005) mengungkapkan lima gaya
penanganan konflik (Five Conflict Handling Styles). Model ini ditujukan untuk
menangani konflik disfungsional dalam organisasi. Menggambarkan sisi pemecahan
masalah yang berorientasi pada orang
lain (concern for others) dan pemecahan masalah yang berorientasi pada diri sendiri
(concern for self). Kombinasi dari kedua variabel ini menghasilkan lima gaya
penanganan masalah yang berbeda, yaitu: integrating, obliging, dominating,
avoiding, dan compromising.
1) Integrating (Problem Solving)

Proses integrasi berkaitan dengan mekanisme pemecahan masalah (problem


solving), seperti dalam menentukan diagnosis dan intervensi yang tepat dalam suatu
masalah. Dalam gaya ini pihak- pihak yang berkepentingan secara bersama-sama
mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, bertukar informasi, kemudian mencari,
mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah. Gaya ini
cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah paham
(misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang terjadi
karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu
yang lama dalam penyelesaian masalah (Rahim, 2002). Langkah-langkah untuk
mencapai solusi ini antara lain adalah mulai dengan berdiskusi, dengan waktu dan
tempat yang kondusif, menghargai perbedaan individu, bersikap empati dengan
semua pihak, menggunakan komunikasi asertif dengan mamaparkan isu dan fakta
dengan jelas, membedakan sudut pandang, meyakinkan bahwa tiap individu dapat
menyampaikan idenya masing-masing, membuat kerangka isu utama berdasarkan
prinsip yang umum, menjadi pendengar yang baik. Setuju terhadap solusi yang
menyeimbangkan kekuatan dan memuaskan semua pihak sehingga dicapai “win-win
solution”.
2) Obliging (Smoothing)

Seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk
memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering pula disebut smothing
(melicinkan), karena berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan menekankan
pada persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan
strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya kerjasama.
Kelemahannya, penyelesaian bersifat sementara dan tidak menyentuh masalah
pokok yang ingin dipecahkan.

3) Dominating (Forcing)

Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian terhadap
kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk menggunakan taktik “saya
menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut memaksa (forcing) karena
menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok
digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam penyelesaian
masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan harus mengambil
keputusan dalam waktu yang cepat. Namun, teknik ini tidak tepat untuk menangani
masalah yang menghendaki adanya partisipasi dari mereka yang terlibat dan juga
tidak tepat untuk konflik yang bersifat kompleks . Kekuatan utama gaya ini terletak
pada minimalnya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik.
Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk
menerima keputusan oleh mereka yang terlibat.

4) Avoiding

Teknik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah yang


sederhana, atau jika biaya yang
harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar daripada keuntungan yang
akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk menyelesaikan masalah-malasah yang
sulit atau “buruk”. Teknik ini kurang tepat pada konflik yang menyangkut isu-isu
penting, dan adanya tuntutan tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah secara
tuntas (Rahim, 2002). Kekuatan dari strategi penghindaran adalah jika kita
menghadapi situasi yang membingungkan atau mendua (ambiguous situations).
Sedangkan kelemahannya, penyelesaian masalah hanya bersifat sementara dan tidak
menyelesaikan pokok masalah.

5) Compromising

Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang
memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan
pendekatan saling memberi dan menerima (give and take approach) dari pihak-
pihak yang terlibat. Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah yang
melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan
yang sama. Kekuatan utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis
dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang
bersifat sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam penyelesaian
masalah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hendel (2005), gaya ini
merupakan gaya yang paling banyak dipilih oleh perawat dalam menyelesaikan
konflik yang terjadi.
Gambar 1. Gaya Penyelesaian Konflik

c. Proses Manajemen Konflik

Proses manajemen konflik meliputi proses dari diagnosis, intervensi, dan evaluasi
(feedback). Penentuan diagnosis merupakan dasar dari keberhasilan suatu intervensi.
Berikut adalah skema proses manajemen konflik menurut Rahim (2002):
Diagnosis Intervention Learning&
Conflict effectiveness

Measurem - Leadership - Amount of - Individual


ent - Culture conflict - Group
Analysis - Design - Conflict - Organization
styles

FEEDBACK

Gambar 2. Proses Manajemen Konflik (Rahim, 2002)


Gambar 2. Proses Manajemen Konflik (Rahim, 2002)

Dalam proses diagnosis yang perlu dilakukan adalah pengumpulan data-data antara
lain identifikasi batasan konflik, besarnya konflik, sumber konflik, kemudian
mengkaji sumber daya yang ada apakah menjadi penghalang atau dapat
dioptimalkan untuk membantu penyelesaian konflik (Huber, 2010). Setelah proses
identifikasi (measurement), selanjutnya dilakukan proses analisis terhadap data- data
yang telah dikumpulkan, hal ini bertujuan untuk menentukan strategi resolusi
konflik yang akan diambil disesuaikan berdasarkan besarnya konflik dan gaya
manajemen konflik yang akan dipakai (integrating, obliging, dominating, avoiding,
dan compromising).

Proses selanjutnya adalah intervensi. Terdapat bermacam-macam strategi intervensi


konflik, antara lain negosiasi, fasilitasi, konsiliasi, mediasi, arbitrasi, litigasi, dan
force. Intervensi ditentukan berdasarkan dua hal, yaitu proses dan struktural. Proses
yang dimaksud adalah intervensi yang dilaksanakan harus mampu memperbaiki
keadaan dalam suatu organisasi, seperti misalnya intervensi mampu memfasilitasi
keterlibatan aktif dari individu yang berkonflik, dan juga penggunaan gaya
penyelesaian konflik diharapkan bersifat sealami mungkin dengan tujuan
meningkatkan proses belajar dan pemahaman individu atau organisasi dalam
menyelesaikan konflik saat ini ataupun yang akan datang (Shetach, 2012). Proses ini
juga diharapkan dapat merubah pola kepemimpinan seseorang dan budaya dalam
menyelesaikan konflik. Dengan demikian organisasi atau individu akan memperoleh
keterampilan baru dalam penanganan konflik. Selain itu, intervensi juga diharapkan
dapat memperbaiki struktur organisasi, seperti dalam hal mekanisme integrasi dan
diferensiasi, hirarki, prosedur, reward system, dan lain sebagainya. Pendekatan ini
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan suatu organisasi untuk menyelesaikan
konflik berdasarkan berbagai sudut pandang individu yang terlibat di dalamnya
menuju ke arah konstruktif (Rahim, 2002).

Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya proses


kreativitas di dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara bersama-sama,
dimana konflik dianggap sebagai suatu masalah yang

berkualitas terhadap perkembangan individu atau suatu organisasi yang harus


ditemukan pemecahan masalahnya (Hendel, 2005). Setelah intervensi, dilaksanakan
suatu evaluasi terhadap setiap tindakan yang dilakukan, sekaligus hal ini sebagai
feedback proses diagnosing pada konflik yang sudah ada ataupun konflik yang baru.

d. Outcome Resolusi Konflik

Menurut Huber (2010) outcome conflict adalah hasil dari proses manajemen konflik
antara lain:
1) Win-lose

Salah satu pihak mendominasi dan pihak yang lain terabaikan. Yang menduduki
porsi lebih besar mendapatkan kemenangan dan sebaliknya yang lebih sedikit
mengalami kekalahan.
2) Lose-lose

Semua pihak yang bertentangan mengalami kerugian. Teknik penyuapan,


memperjualbelikan, menggunakan pihak ketiga untuk mengancam dapat
memuncullkan hasil resolusi ini.
3) Win-win

Resolusi ini dicapai saat semua pihak menyetujui dan mendapatkan manfaat dari
penyelesaian konflik

Pengaruh Kepemimpinan dalam Manajemen Konflik

Pemimpin yang dikatakan mampu menerapkan manejemen konflik (a conflict-


competent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami dinamika terjadinya
suatu konflik. Diversitas atau keragaman pihak yang terlibat dalam suatu konflik juga
perlu diidentifikasi karena merupakan sumber potensial terjadinya konflik, antara lain
budaya, gender, posisi (jabatan), dan umur (Ayoko and Hartel, 2006). Menurut
Ayoko (2007) keragaman budaya yang tidak mendapatkan perhatian dari pemimpin
akan menimbulkan dampak destruktif pada suatu organisasi, seperti terhambatnya
komunikasi dan koordinasi. Pemimpin juga harus mampu memahami reaksi yang
ditimbulkan dari suatu konflik, mendorong respon konstruktif, dan membangun suatu
organisasi yang mampu menangani konflik secara efektif (a conflict-competent
organization) (Runde and Flanagan, 2007).

Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya proses kreativitas
di dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara bersama-sama, dimana konflik
dianggap sebagai suatu masalah yang berkualitas terhadap perkembangan individu
atau suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan masalahnya (Hendel, 2005).
Menurut Ayoko dan Hartel (2006) untuk meningkatkan respon konstruktif, seorang
pemimpin juga harus mampu memanajemen timbulnya konflik emosional karena
akan menghambat terbentuknya persatuan dan perkembangan organisasi.

Gaya kepemimpinan sangat mempengaruhi pengambilan strategi penyelesaian


masalah atau konflik, seperti misalnya gaya kepemimpinan demokratis cenderung
memilih strategi integrating (problem solving), obliging, dan compromising yang
lebih menekankan pada kepentingan bersama, gaya kepemimpinan autokratis
cenderung memilih dominating (forcing), sedangkan gaya kepemimpinan Laissez
faire cenderung memilih strategi avoiding (Rahim, 2002). Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Brewer (2002) dalam jurnal The International Journal of
Conflict Management, gender juga memegang peranan penting dalam pemilihan
strategi penyelesaian konflik, dimana berdasarkan kuisioner yang dibagikan, feminine
group cenderung memilih strategi avoiding, masculine group memilih dominating,
dan androgynous group (transgender) cenderung memilih strategi integrating. Dalam
penelitian tersebut tidak ditemukan kelompok gender tertentu yang khusus memilih
strategi compromising dan obliging.

Selain itu pemilihan strategi penyelesaian konflik juga dipengaruhi oleh suasana saat
berkomunikasi. Bila suasana komunikasi terjalin baik, strategi yang bisa

digunakan adalah obliging, integrating, dan compromising. Sebaliknya, bila suasana


komunikasi bersifat defensive, dominating dan avoiding menjadi pilihan (Hassan, B.
et al, 2011).

Pengaruh kepemimpinan dalam pemecahan masalah konflik juga bisa dilihat dalam
model “CAPI” yang dirumuskan oleh Shetach (2012). Dengan menerapkan CAPI
(Coaleshing Authority, Power, and Influence) model’s dalam manajemen kelompok,
diharapkan pemimpin mampu menggunakan kekuatan, otoritas, dan pengaruhnya
dalam memutuskan strategi penyelesaian konflik yang tepat.
KASUS
Ns. Dahliah (25 th) lulus pendidikan S1 Keperawatan langsung bekerja di
Rumah Sakit (RS Segar) tahun pertama bekerja Ns. Dahlia ditempatkan di ruang
belimbing, yaitu ruang rawat inap penyakit dalam dan berperan sebagai perawat
pelaksana. Tahun ke dua ia menduduki posisi sebagai ketua TIM di ruangan yang
sama. Kemudian pada tahun ketiga ia menjadi kepala ruangan di ruangan tersebut.
Rumah sakit segar merupakan RSU tipe C dengan Kapasitas 250 TT, jumlah perawat
200 orang dengan latar belakang pendidikan 60 % SPK, 38% DIII keperawatan dan 2
% S1 keperawatan, BOR saat ini 60 % sejak menjabat sebagai kepala Ruangan NS.
Dahlia banyak mengalami pengalaman yang kurang menyenangkan, Misalnya :
banyak komentar-komentar tidak sedap tentang dirinya yang ia dengar (ada staf
perawat) yang mengatakan bahwa ia masih muda, belum banyak pengalaman belum
senior, belum mengetahui seluk beluk RS Segar dan Ruang belimbing, tidak mungkin
dapat melakukan sesuatu untuk ruang belimbing). Namun demikian, walaupun
banyak yang tidak mendukung, masih ada juga beberapa perawat yang mendukung
Ns. Dahlia.

A. Identifikasi Masalah
Dari kasus masalah yang terjadi yaitu konflik antara individu dan kelompok dilihat
dari berbagai masalah yang muncul yaitu :
 Ketegangan antara kelompok
 Perbedaan pandangan
 Hambatan komunikasi
 Masalah status
B. Identifikasi Dampak
Identifikasi dampak yang dapat terjadi pada case study di atas :
 Tidak adanya rasa saling percaya.
 Menurungkan rasa tanggung jawab terhadap pekerjaannya.
 Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh
teguran dari atasan.
 Menurunkan moral, semangat, dan motivasi kerja.
C. Penyelesaian Masalah
1. Strategi Smoothing
Teknik ini merupakan penyelesaian konflik dengan cara mengurangi
komponen emosional dalam konflik. Pada strategi ini, individu yang terlibat
dalam konflik berupaya mencapai kebersamaan daripada perbedaan dengan
penuh kesasaran dan intropeksi diri. Strategi ini bisa diterapkan pada konflik
yang ringan, tetapi tidak dapat dipergunakan pada konflik yang besar,
misalnya persaingan pelayanan / hasil produksi.
Beberapa cara yang dilakukan dalam strategi smoothing :
 Menciptakan kontak dan membina hubungan
 Menumbuhkan rasa percaya dan penerimaan
 Menentukan tujuan
 Merencanakan pelaksanaan jalan keluar
2. Strategi Kolaborasi
Strategi ini merupakan strategi win – win sololution. Dalam kolaborasi,
kedua pihak yang terlibat menentukan tujuan bersama dan bekerjasama dalam
mencapai suatu tujuan. Oleh karena keduanya yakin akan tercapainya suatu
tujuan yang telah ditetapkan. Strategi kolaborasi tidak akan bisa berjalan bila
kompetisi insentif sebagai bagian dari situasi tersebut, kelompok yang terlibat
tidak mempunyai kemampuan dalam menyelesaikan masalah, dan tidak
adanya kepercayaan dari kedua kelompok / seseorang.
Beberapa cara yang dilakukan dalam strategi kolaborasi :
 Atur dan rencanakan pertemuan antara individu-individu yang terlibat
konflik
 Memantau sudut pandang dari semua individu yang terlibat
 Mengembangkan dan menguraikan solusi
 Memilih solusi dan melakukan tindakan
 Merencanakan pelaksanaannya
Daftar Pustaka
Ayoko, O.B. & Hartel C.E. (2006). Cultural diversity and leadership “a
conceptual model of leader intervention in conflict events in
culturally heterogenous workgroups. Cross Cultural Management:
An International Journal, 13(4), 345-360.
Brewer, N., Mitchell, P., Weber, N. (2002). Gender role, organizational
status, and conflict management styles. The International Journal
of Conflict Management. 13(1), 78-94.
Hassan, B., Maqsood, A., & Muhammad, N. R. (2011). Relationship
between organizational communication climate and interpersonal
conflict management style. Pakistan Journal of Physicology,
42(2), 23-41.
Hendel, T., Fish, M..,Galon, V. (2005). Leadership style and choice of
strategy in conflict management among Israeli nurse managers in
general hospitals. Journal of Nursing Management, 13, 137-146.
Huber, D. L. (2010). Leaderhip and Nursing Care Management ed. 4.
Maryland Heights: Saunders/Elsevier.
Rahim, M. Afzalur. (2002). Toward a theory of managing organizational
conflict. The International Journal of Conflict Management, 13
(3), 206-235.
Runde, C. E. & Flanagan, T. A. (2007). Effective leadership stems from
ability to handle conflict. (2007). Dispute Resolution Journal, 62(2),
92.
Shetach, A. (2012). Conflict leadership: Navigating toward effective
and efficient team outcomes. The Journal for Quality and
Participation, 35(2), 25-30.

Anda mungkin juga menyukai