Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

Gangguan Neurobehavior dan Deficit Memori:

Amnesia pasca trauma, Demensia

Pembimbing :

dr. Wisnu Aji Aribowo, spS

Penyusun :

Jessica Tobing

030.13.093

KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 23 SEPTEMBER – 26 OKTOBER 2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Gangguan Neurobehavior dan
Deficit Memori: Amnesia pasca trauma, Demensia” tepat pada waktunya. Penyusunan referat ini
ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh kepaniteraan
klinik di bagian Ilmu Saraf. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar besarnya kepada dr. Wisnu
Aji Aribowo., Sp.S

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, hal tersebut tidak lepas dari segala
keterbatasan kemampuan yang peneliti miliki. Oleh karena itu bimbingan dan kritik yang
membangun dari semua pihak sangatlah diharapkan

Tegal, 2019

Penulis

2
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT DENGAN JUDUL

“Gangguan Neurobehavior dan Deficit Memori:

Amnesia pasca trauma, Demensia”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH

Tegal, 2019

Koorpanit

3
DAFTAR ISI
BAB I .............................................................................................................................................. 5
PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 5
1.1 Latarbelakang ..................................................................................................................... 5
BAB II ............................................................................................................................................ 7
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................ 7
Amnesia Pasca Trauma
2.1 Definisi dan Deskripsi..........................................................Error! Bookmark not defined.
2.2 patofisiologi post traumatic amnesia ..................................Error! Bookmark not defined.
2.3 Klasifikasi post traumatic amnesia ......................................Error! Bookmark not defined.
2.4 gejala klinis post traumatic amnesia ....................................Error! Bookmark not defined.
2.5 Instrumen pemeriksaan post traumatic amnesia ..................Error! Bookmark not defined.
2.6 Prognosis post traumatic amnesia ........................................Error! Bookmark not defined.
2.7 Penatalaksanaan post traumatic amnesia .............................Error! Bookmark not defined.
2.8 Epidemiologi post traumatic amnesia ..................................Error! Bookmark not defined.
2.9 Etiologi post traumatic amnesia ..........................................Error! Bookmark not defined.
3.0 Diagnosis post traumatic amnesia .......................................Error! Bookmark not defined.
Demensia
3.1 Definisi demensia ................................................................Error! Bookmark not defined.
3.2 Epidemiologi demensia ........................................................Error! Bookmark not defined.
3.3 Klasifikasi ..........................................................................Error! Bookmark not defined.
3.4 Etiologi ................................................................................Error! Bookmark not defined.
3.5 Gambaran klinis ...................................................................Error! Bookmark not defined.
3.6 Diagnosis .............................................................................Error! Bookmark not defined.
3.7 Penatakaksanaan .................................................................Error! Bookmark not defined.
3.8 Prognosis…………………………………………………………………………………39
BAB III......................................................................................................................................... 35
KESIMPULAN ........................................................................................................................... 35
3.1 Kesimpulan ......................................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 36

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latarbelakang

Dalam Pengertian secara umum, amnesia didefinisikan sebagai kegagalan memori. Dalam
bidang klinis, istilah ini digunakan secara lebih berhati-hati, didefinisikan sebagai
ketidakmampuan mengumpulkan kembali informasi dalam bentuk verbal, walaupun kemampuan
berbicara terjaga.

Amnesia pasca trauma cenderung menjadi indikator cedera otak trauma tertutup dan
elemen penting keadaan fungsional.Semakin lama periode amnesia pasca trauma semakin buruk
cedera otak trauma tertutup dan semakin buruk keadaan fungsionalnya.(2) Amnesia anterogade
karakteristik utama dari Amnesia paska trauma dan kadang-kadang digunakan sebagai sinonim.
Dengan kata lain, Amnesia pasca trauma merupakan keadaan subakut yang mengikuti trauma
kepala tertutup dapat termasuk sebelumnya deskripsi perubahan perilaku seperti pada amnesia
retrogad.Selanjutnya amnesia pasca trauma secara khusus mengeidetifikasi pada memori
deklaratif yang digunakan untuk mengingat fakta dan peristiwa atau pengetahuan.(7)

Penuaan adalah suatu proses biologis, meskipun para ahli biologis belum menemukan
kesimpulan untuk menjelaskan karakteristik umum dari penuaan.8 Tahap usia tua akan dialami
oleh semua orang, ada perubahan fisik, psikis dan sosial yang terjadi. Di sisi lain kondisi fisik dan
psikis setiap orang lanjut usia akan berbeda.9 Proses penuaan otak abnormal merupakan bagian
dari proses degenerasi pada seluruh organ tubuh. Hal ini akan menimbulkan berbagai gangguan
neuropsikologis, dan masalah yang terbesar adalah demensia.

Menurut World Health organization (WHO), demensia adalah sindroma klinis yang
meliputi hilangnya fungsi intelektual dan memori yang sedemikian berat sehingga menyebabkan

5
disfungsi hidup sehari-hari.10 Menurut WHO, penduduk lansia dibagi atas; usia pertengahan
(middle age) : 45-69 tahun, usia lanjut (elderly) : 60-74 tahun, tua (old) : 75-90 tahun, dan usia
sangat tua (very old) : lebih dari 90 tahun. Demensia merupakan penyakit endemik di Indonesia,
banyak sekali kasus demensia sekarang ini. Prevalensi demensia diperkirakan sekitar 15% pada
penduduk berusia lebih dari 65 tahun.11

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Amnesia pasca trauma


2.1 DEFINISI DAN DESKRIPSI
2.1.1 Ingatan (Memory)
Ingatan adalah kemampuan otak untuk menerima, menyimpan, dan
mereproduksikan apa yang telah dipelajari atau dialami. Pada dasarnya ingatan dapat
dibagi menjadi dua kategori yaitu ingatan eksplisti dan implisit. Ingatan eksplisit adalah
ingatan yang diperoleh melalui suatu maksud tertentu dan juga disebut sebagai ingatan
deklaratif. Sedangkan ingatan implisit adalah ingatan yang dicapai secara otomatis dan
juga disebut sebagai ingatan non deklaratif. Dalam proses mengingat informasi terdapat 3
tahapan yaitu memasukkan informasi (encoding), penyimpanan (storage), dan mengingat
(retrieval stage)
2.1.2 Gangguan Amnestik (Amnesia)
Amnesia adalah suatu keadaan di mana terjadi kehilangan atau gangguan daya ingat
yang bersifat parsial maupun lengkap. Amnesia dapat berupa amnesia anterograde di mana
pasien tidak dapat mengingat apapun yang terjadi setelah munculnya amnesia, ataupun
amnesia retrograde di mana pasien tidak mampu mengingat kembali masa lalu yang
sebelumnya diingat. Gangguan amnestik sering dijumpai pada pasien yang mengalami
cedera kepala.
2.1.3 Trauma Kapitis
Cedera kepala atau trauma kapitis merupakan trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu
gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik bersifat temporer maupun permanen.
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah
karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, kecelakaan secara
umum 19%, kekerasan 11%. Cedera otak dapat dibedakan menjadi cedera otak primer dan
sekunder. Kerusakan primer merupakan kerusakan otak yang timbul saat cedera, sebagai

7
akibat dari kekuatan mekanik yang menyebabkan deformitas jaringan. Kerusakan ini dapat
bersifat fokal atau difus. Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai
komplikasi dari kerusakan primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemik,
pembengkakan otak, peningkatan TIK.
Cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan derajat kesadarannya serta berdasarkan
klinis. Berdasarkan derajat kesadaran, cedera kepala dibagi menjadi
 Cedera kepala ringan, ditandai dengan:
o GCS>13
o Tidak didapatkan kelainan pada CT scan otak
o Tidak memerlukan tindakan operasi
o Tidak ada hilang kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10 menit
o Keluhan pusing, sakit kepala, muntah, amnesia retrograde dan tidak
ditemukan kelainan pada pemeriksaan neurologis
 Cedera kepala sedang, ditandai dengan:
o GCS 9-13
o Ditemukan kelainan pada CT Scan otak
o Kehilangan kesadaran lebih dari 10 menit
o Keluhan sakit kepala, muntah, kejang, dan amnesia retrograd. Pemeriksaan
neurologis didapatkan kelumpuhan saraf dan anggota gerak.
o Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial
 Cedera kepala berat
o GCS<9
o Terjadi penurunan kesadaran secara progresif
o Gejalanya serupa dengan cedera kepala sedang hanya dalam tingkat yang
lebih berat

Berdasarkan klinis, trauma kapitis dibagi menjadi:


 Komosio serebri (Gegar otak)
Komosio serebri adalah keadaan di mana penderita setelah mendapat trauma kapitis
mengalami kesadaran yang menurun sejenak. Gejala yang dapat dilihat adalah:

8
o Penderita tidak sadar sejenak , kurang lebih 10 menit
o Wajah pucat
o Kadang disertai dengan muntah
o Tidak ada Post traumatic amnesia
 Kontusio serebri (Memar otak)
Kontusio serebri adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh trauma kapitis yang
menimbulkan lesi perdarahan interstisial nyata pada jaringan otak tanpa
terganggunya kontinuitas jaringan dan dapat mengakibatkan gangguan neurologis
yang menetap.
2.1.4 Post Traumatic Amnesia
PTA (Post traumatic amnesia) adalah salah satu gangguan memori yang biasanya
disebabkan oleh pasca trauma kapitis. Kebanyakan pasien yang mengalami trauma kapitis
ringan atau sedang, pulih setelah beberapa minggu sampai dengan bulan tanpa terapi
spesifik. Akan tetapi, sekelompok pasien akan terus mengalami sequele setelah periode ini,
yang mengganggu pekerjaan atau aktivitas sosial. PTA dipertimbangkan sebagai suatu
marker yang sensitif untuk tingkat keparahan trauma kapitis dan sebagai suatu prediktor
outcome yang berguna.
Post traumatic amnesia didefinisikan oleh Russel dan Smith sebagai periode
setelah trauma kapitis di mana informasi tentang kejadian yang berlangsung tidak
tersimpan. Russel dan Smith kemudian memperhalus konsep PTA untuk memfokuskan
pada gangguan penyimpanan informasi kejadian yang berlangsung. Russel dan Smith telah
membuat suatu taksonomi keparahan trauma kapitis berdasarkan PTA sebagai berikut :
- Trauma kapitis ringan jika PTA kurang dari 1 jam
- Trauma kapitis sedang jika PTA antara 1 sampai 24 jam
- Trauma kapitis berat jika PTA 1 sampai 7 hari
- Trauma kapitis sangat berat jika PTA lebih dari 7 hari

Pada keadaan akut trauma kapitis maka gangguan memori mempunyai peranan
penting. Amnesia post trauma kapitis dapat meliputi kejadian sebelum trauma (retrograde
amnesia) atau setelah trauma (anterograd amnesia). Lamanya amnesia dapat digunakan

9
sebagi patokan akan luas lesi yang terjadi di otak. Pasien umumnya hanya terganggu
memorinya tanpa kehilangan fungsi yang lainnya.

Dalam istilah neuropsikiologi kognitif, PTA adalah suatau gangguan pada memori
episodik yang digambarkan sebagai ketidakmampuan pasien untuk menyimpan informasi
kejadian yang terjadi dalam konteks temporospatial yang spesifik. Akan tetapi, fase
penyembuhan dini setelah gangguan kesadaran juga dikarakteristikkan oleh gangguan
atensi dan perubahan behavioral yang bervariasi dari mulai letargi sampai agitasi.
Post traumatic amnesia adalah suatu gangguan mental yang dikarakteristikkan oleh
disorientasi, gangguan atensi, kegagalan memori kejadian dari hari ke hari, ilusi, dan salah
dalam mengenali keluarga, teman, ataupun staf medis.
2.2 PATOFISIOLOGI POST TRAUMATIC AMNESIA
Dasar patologi dari PTA masih tidak jelas, meskipun korelasinya terhadap MRI
terlihat mengindikasikan sesuatu yang berasal dari hemisfer dibanding dengan
diencephalic. Memori dan new learning dipercaya melibatkan korteks serebral, proyeksi
subkortikal, hippocampal formation ( gyrus dentatus, hipokampus, gyrus
parahippocampal), dan diensefalon, terutama bagian medial dari dorsomedial dan adjacent
mideline nuclei of thalamus. Sebagai tambahan, lesi pada lobus frontalis juga dapat
menyebabkan perubahan pada behaviour, termasuk iritabilitas, aggresiveness, dan
hilangnya inhibisi dan judgement. Sekarang ini, telah didapati bukti adanya keterlibatan
lobus frontalis kanan pada atensi.
Trauma kapitis dapat bersifat primer ataupun sekunder. Cedera primer dihasilkan
oleh tekanan akselerasi dan deselerasi yang merusak kandungan intrakranial oleh karena
pergerakan yang tidak seimbang dari tengkorak dan otak.
Akan tetapi, faktor yang paling penting pada cedera otak adalah shearing yang berupa
tekanan rotasi yang cepat dan berulang terhadap otak segera setalah trauma kapitis. Jika
tekanan shearing lebih banyak dan berulang, kerusakan akson menjadi lebih banyak, durasi
hilangnya kesadaran menjadi lebih panjang dan penyembuhan melambat. Dalam praktek,
gambaran klinisnya adalah koma yang diikuti oleh PTA. Oleh karena itu tingkat keparahan
trauma kapitis tertutup dapat dinilai dengan durasi koma dan PTA.

10
2.3 KLASIFIKASI POST TRAUMATIC AMNESIA
Post Traumatic Amnesia dapat dibagi dalam 2 tipe. Tipe yang pertama adalah
retrograde, yang didefinisikan oleh Cartlidge dan Shaw, sebagai hilangnya kemampuan
secara total atau parsial untuk mengingat kejadian yang telah terjadi dalam waktu sesaat
sebelum trauma kapitis. Lamanya amnesia retrograde biasanya akan menurun secara
progresif.
Tipe yang kedua dari PTA adalah amnesia anteretrograde yang merupakan suatu
defisit dalam membentuk memori baru setelah kecelakaan, yang menyebabkan penurunan
atensi dan persepsi yang tidak akurat. Memori anteretrograde merupakan fungsi terakhir
yang paling sering kembali setelah sembuh dari hilangnya kesadaran.
Amnesia anterograd dan retrograd mengenai periode waktu yang bervariasi setelah
dan sebelum cedera, dan dapat pula inkomplit, menyisakan yang disebut dengan pulau
memori di antara jeda memori amnestik. Orang yang mengalami amnesia retrograd
biasanya memiliki kemampuan memanggil (recall) kejadian yang sangat lama dengan
lebih baik.

(berdasarkan durasi) :
o Amnesia kurang dari 1 jam, trauma kapitis ringan
o Amnesia antara 1 dan 24 jam, trauma kapitis sedang
o Amnesia 1 dan 7 hari, trauma kapitis berat.
o Amnesia lebih dari 7 hari, trauma kapitis sangat berat.

(berdasarkan jenis) :
o Amnesia Retrograde
 Hilangnya kemampuan secara total atau parsial untuk mengingat kejadian
yang baru berlangsung/telah terjadi dalam jangka waktu sesat sebelum
trauma kapitis.
 Lamanya trauma ini biasanya akan menurun secara pogresif.

11
o Amnesia Anterograde
 Suatu defisit dalam membentuk memori baru/ ketidakmampuan untuk
mengingat kejadian yang terjadi setelah cedera dan ketidakmampuan
menyimpan ingatan untuk di simpanan dalam jangka panjang untuk
kembali diingat nantinya.
 Biasanya berkaitan dengan lesi di bagian medial lobus temporalis.
 Tidak dapat disembuhkan dengan terapi (bersifat permanen).

2.4 GEJALA KLINIS POST TRAUMATIC AMNESIA


Gejala utama ditandai dengan ketidakmampuan untuk mempelajari informasi baru
atau gangguan pada kemampuan untuk mengingat pengetahuan yang sebelumnya
diingatnya. Gejala tersebut harus menyebabkan masalah bermakna bagi pasien dalam
fungsi sosial dan pekerjaannya. Pada trauma kepala onset gejala biasanya mendadak.

2.5 INSTRUMEN PEMERIKSAAN POST TRAUMATIC AMNESIA


Untuk menilai apakah seseorang mengalami amnesia post trauma bisa dilakukan tes
objektif kepada pasien. Tes yang dilakukan adalah Tes Orientasi dan Amnesia Galvelston
(TOAG) dan ada pula tes lain seperti NRS
2.5.1 Test Orientasi dan Amnesia Galveston (TOAG)
Di antara beberapa penilaian PTA yang tersedia sekarang, TOAG merupakan yang paling
banyak digunakan. Penilaian ini pendek dan mudah digunakan. Penilaiannya terdiri dari
sejumlah poin yang ditambahkan ketika menjawab pertanyaan dengan benar. Skor yang
mendekati angka 100, berarti fungsi masih terjaga. Tes ini dapat diberikan beberapa kali
dalam sehari, meskipun pada hari yang berturut-turut. Sehingga dapat dibuat grafik untuk
menggambarkan kapasitas dari mulai waktu tertentu sampai orientasi total tercapai. Tes ini
sesuai bagi pasien untuk memulai pemeriksaan koginitif ketika skor 75 atau lebih dicapai,
yang mengindikasikan pasien tidak disorientasi lagi.

12
2.5.2 Neurobehavioral Rating Scale (NRS)
NRS awalnya dikembangkan untuk memeriksa perubahan behavior akibat trauma. Tes ini
terdiri dari suatu wawancara yang berstruktur yang menitikberatkan pada laporan pasien
sendiri terhadap gejala, self-appraisal, planning, dan beberapa aspek tertentu dari fungsi
kognitif, meliputi orientasi, memori, reasoning, dan atensi. Pemeriksa mengevaluasi
respon spesifik dan penggabungan dengan observasi behavioral untuk menentukan level
tiap-tiap 27 subskala, dengan memilih 1 dari 7 tingkatan, berkisar dari 1= tidak ada sampai
dengan 7=sangat berat. Total skor dari NRS merupakan penjumlahan dari skor 27 subskala.
Pemeriksaan NRS memiliki korelasi baik terhadap tingkatan keparahan trauma maupun
tingkat kronisitas dari trauma kapitis.

2.6 PROGNOSIS POST TRAUMATIC AMNESIA


Levin dkk menemukan bahwa PTA yang berlangsung kurang dari 14 hari adalah
prediktif dari good recovery, sedangkan PTA yang berlangsung lebih dari 14 hari adalah
prediktif untuk disabilitas sedang sampai berat.
Menurut Oddy, Humphrey, dan Uttley, 71% PTA yang kurang dari 7 hari telah kembali
bekerja dalam waktu 6 bulan setelah cedera kepala. Sedangkan pada PTA yang lebih dari
7 hari, hanya 27% yang dapat kembali bekerja

2.7 PENATALAKSANAAN POST TRAUMATIC AMNESIA


Secara umum, pasien post trauma harus dikenalkan pada lingkungan yang familiar dengan
menggunakan benda atau gambar, lingkungan juga harus tenang. Pasien tidak boleh
dibiarkan terstimulasi secara berlebihan. Yang dimaksud dengan stimulus adalah semua
yang dapat dilihat, didengar, atau dirasakan yang dapat membuat pasien berpikir. Beberapa
hal yang bisa dilakukan misalnya: menghindari televisi, radio, telpon serta meminimalkan
kebisingan. Selain penatalaksaan secara umum, edukasi terhadap keluarga juga perlu
dilakukan. Edukasi yang dimaksud adalah :
 Setiap perilaku menantang mungkin dikarenakan efek dari cedera dan tidak boleh
ditanggapi secara personal

13
 Stimulasi terlalu banyak pada PTA dapat meningkatkan tingkat kebingungan dan
penderitaan pada orang tersebut. Penting bagi keluarga untuk menjaga kegiatan di
sekitar individu. Sebaiknya pasien dengan PTA menghindari untuk bertemu dengan
banyak orang yang mengakibatkan terlalu banyak informasi yang digali sekaligus
untuk menghindari kebingungan pada pasien.
 Penderita PTA kurang memiliki kapasitas belajar, karena itu sebaiknya kerika
berinteraksi dengan pasien menggunakan percakapan dan instruksi yang sederhana
dan sebaiknya bisa berbicara dengan cara yang tenang dan meyakinkan.
2.7.1 Picture Recall (PRL) and Picture Recognition Task (PRT)
Pasien diminta untuk melihat tiga gambar yang berbeda lalu pasien diminta untuk
menggambarkan ketiga gambar itu. Jika pasien tidak bisa mengingat maka pasien diminta
untuk mengulang sebanyak tiga kali dengan bantuan pemeriksa untuk sedikit
menggambarkannya.
2.7.2 Word Recall Task (WRT)
Pasien diminta untuk mengingat dan menghafalkan tiga kata setelah diberikan pengarahan.
Jika pasien tidak dapat mengulangnya maka pemeriksa membantu mengingatnya sampai
bisa
2.8 EPIDEMIOLOGI POST TRAUMATIC AMNESIA
o Termasuk pada penyakit tidak menular
o Prevalensinya 1:10.000
o Dapat terjadi pada semua orang

2.9 ETIOLOGI POST TRAUMATIC AMNESIA


o Ensefalitis herpes simplex, sering mengenai struktur limbik dan biasanya
menimbulkan lesi bilateral pada lobus temporalis.
o Infark talamik, karena sifat perdarahan talamik, umumnya bilateral.
o Perdarahan setelah ruptur dan terapi aneurisma sakular pada arteria cerebri
anterior dengan pembedahan saraf.

14
o Lesi splenium pada korpus kalosum (baik traumatik maupun iskemik), yang
biasanya juga mengenai komissura fornicis yang terletak tepat dibawahnya.
o Pasca trauma

3.0 DIAGNOSA POST TRAUMATIC AMNESIA


o Anamnesis
o Pemeriksaan fisik dan neurologis
o Tes kognitif
 Short term memory :
 Px. Memori verbal
o Menilai orientasi: individu, waktu, dan tempat
o Test dengan 4 kata yang tidak berhubungan:
 Pasien diminta mengulangi 4 kata yang telah
disebutkan oleh pemeriksa.
 Bila ada kesalahan pada pengulangan, maka akan
diperbaiki oleh pemeriksa.
 Jika kesalahan terjadi sampai 4-5 kali dicurigai ada
gangguan memori
 Contoh item test : coklat, jujur, mawar, lengan
 Px. Memori Visual
o Pemeriksaan dengan menggunakan 5 benda yang
disembunyikan disekitar pasien dengan pasien melihat
benda-benda tersebut saat di sembunyikan.
o Setelah itu pasien dialihkan dengan mengajukan
pertanyaan.
o Setelah 5 menit, pasien ditanya kembali dimana letak
barang-barang yang tadi disembunyikan.
o Bila pasien hanya dapat menyebutkan kurang dari 3 benda,
maka terdapat gangguan pada memori.

15
 Immediate memory :
 Kemampuan memanggil kembali biasanya dites dengan tes
mengulang angka.
 Caranya ; beritahu pasien angka-angka dan menyuruh pasien untuk
dengarkan baik-baik.
 Setelah selesai disebutkan pasien mengulangi apa yang disebutkan.
Mula-mula menyebutkan 2 angka, kemudian 3, dan seterusnya.
 Apabila tidak mampu mengurangi lebih dari 5 angka menunjukkan
atensi/memori yang terganggu.

 Long term memory :


 Tes mengenai informasi pribadi dan pengetahuan.
 Data pribadi memerlukan verifikasi dari orang lain yang
mengetahui.
 Pengetahuan umum dipengaruhi oleh edukasi.
 Jika pasien tidak dapat menyebutkan tentang informasi pribadi
maupun pengetahuan yang ditanyakan, maka terjadi gangguan
memori.
o Tes pencitraan

16
Demensia
3.1 DEFINISI DEMENSIA

Definisi lain yaitu menurut Perdossi, demensia adalah kumpulan gejala kronik yang
disebabkan oleh berbagai latar belakang penyakit dan ditandai oleh hilangnya daya ingat jangka
pendek (recent memory) dan gangguan global fungsi mental termasuk fungsi bahasa, mundurnya
kemampuan berpikir abstrak, kesulitan merawat diri sendiri, perubahan perilaku, emosi labil dan
hilangnya pengenalan waktu dan tempat, tanpa adanya gangguan tingkat kesadaran atau situasi
stress, sehingga menimbulkan gangguan pekerjaan, aktivitas harian dan sosial.4

3.2 EPIDEMIOLOGI DEMENSIA

Demensia adalah suatu kemunduran intelektual berat dan progresif yang menggu fungsi
sosial, pekerjaan, dan aktivitas harian seseorang.5 Penyakit Alzheimer (AD) merupakan penyebab
yang paling sering, ditemukan pada 50-60% pasien demensia; penderitanya diperkirakan
berjumlah 35,6 juta di seluruh dunia (2010), yang akan meningkat mencapai 65,7 juta di tahun
2030,6 sehingga diantara penduduk usia lanjut dunia, penyakit Alzheimer diidap oleh setidaknya
5% populasi.7 Demensia vaskular merupakan jenis demensia terbanyak ke-2 setelah demensia
Alzheimer, dengan angka kejadian 47% dari populasi demensia secara keseluruhan. Sisanya
disebabkan demensia lainnya.

3.3 KLASIFIKASI

Demensia berhubungan dengan beberapa jenis penyakit:8


a. Penyakit yang berhubungan dengan Sindrom Medik:

Hal ini meliputi hipotiroidisme, penyakit Cushing, defisiensi nutrisi, kompleks


demensia AIDS, dan sebagainya.
b. Penyakit yang berhubungan dengan Sindrom Neurologi:

17
Kelompok ini meliputi korea Huntington, penyakit Schilder, dan proses demielinasi
lainnya; penyakit Creutzfeldt-Jakob; tumor otak; trauma otak; infeksi otak dan
meningeal; dan sejenisnya.
c. Penyakit dengan demensia sebagai satu-satunya tanda atau tanda yang mencolok:

Penyakit Alzheimer dan penyakit Pick

Demensia dari segi anatomi dibedakan antara demensia kortikal dan demensia subkortikal.
Dari etiologi dan perjalanan penyakit dibedakan antara demensia yang reversibel dan irreversibel
(tabel).

Tabel 1. Perbedaan demensia kortikal dan subkortikal9

Ciri Demensia Kortikal Demensia Subkortikal

Penampilan Siaga, sehat Abnormal, lemah

Aktivitas Normal Lamban

Sikap Lurus, tegak Bongkok, distonik

Cara berjalan Normal Ataksia, festinasi, seolah


berdansa

Gerakan Normal Tremor, khorea, diskinesia

Output verbal Normal Disatria, hipofonik, volum


suara lemah

Berbahasa Abnormal, parafasia, anomia Normal

Kognisi Abnormal (tidak mampu Tak terpelihara (dilapidated)


memanipulasi pengetahuan)

Memori Abnormal (gangguan belajar) Pelupa (gangguan retrieval)

18
Kemampuan visuo-spasial Abnormal (gangguan Tidak cekatan (gangguan
konstruksi) gerakan)

Keadaan emosi Abnormal (tak Abnormal (kurang dorongan


memperdulikan, tak drive)
menyadari)

Contoh Penyakit Alzheimer, Pick Progressive Supranuclear


Palsy, Parkinson, Penyakit
Wilson, Huntington.

Tabel 2. Beberapa penyebab demensia pada dewasa yang irreversibel9

Primer degeneratif
- Penyakit Alzheimer
- Penyakit Pick
- Penyakit Huntington
- Penyakit Parkinson
- Degenerasi olivopontocerebellar
- Progressive Supranuclear Palsy
- Degenerasi cortical-basal ganglionic

Infeksi
- Penyakit Creutzfeldt-Jakob
- Sub-acute sclerosing panencephalitis
- Progressive multifocal leukoencephalopathy

Metabolik
- Metachromatic leukodyntrophy
- Penyakit Kuf
- Gangliosidoses

19
Tabel 3. Beberapa penyebab demensia yang dapat reversibel10

Obat-obatan anti-kolinergik (mis. Atropin dan sejenisnya); anti-konvulsan


(mis. Phenytoin, Barbiturat); anti-hipertensi (Clonidine,
Methyldopa, Propanolol); psikotropik (Haloperidol,
Phenothiazine); dll (mis. Quinidine, Bromide, Disulfiram).

Metabolik-gangguan gangguan elektrolit atau asam-basa; hipo-hiperglikemia; anemia


sistemik berat; polisitemia vera; hiperlipidemia; gagal hepar; uremia;
insufisiensi pulmonal; hypopituitarism; disfungsi tiroid, adrenal,
atau paratiroid; disfungsi kardiak; degenerasi hepatolenticular.

Gangguan intrakranial insufisiensi cerebrovascular; meningitis atau encephalitis


chronic, neurosyphilis, epilepsy, tumor, abscess, hematoma
subdural, multiple sclerosis, normal pressure hydrocephalus.

Keadaan defisiensi vitamin B12, defisiensi folat, pellagra (niacin).

Gangguan collagen-vascular systemic lupus erythematosus, temporal arteritis, sarcoidosis,


syndrome Behcet.

Intoksikasi eksogen alcohol, carbon monoxide, organophosphates, toluene,


trichloroethylene, carbon disulfide, timbal, mercury, arsenic,
thallium, manganese, nitrobenzene, anilines, bromide,
hydrocarbons.

3.4 ETIOLOGI DEMENSIA

Demensia Alzheimer dan demensia vaskular merupakan demensia yang paling banyak kasusnya.
Penyebab demensia lainnya yang disebutkan dalam DSM-IV adalah penyakit Pick, penyakit
Creutzfeldt-Jakob, penyakit Huntington, penyakit Parkinson, Human Immunodeficiency Virus
(HIV), dan trauma kepala.4

20
1. Demensia Alzheimer11,12,13

Adalah gangguan degeneratif yang menyerang sel-sel otak atau neuron secara progresif yang
mengakibatkan hilangnya memori, kemampuan berpikir dan berbahasa, serta perubahan perilaku.
Penyakit Alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif yang secara epidemiologi terbagi 2
kelompok yaitu kelompok yang menderita pada usia kurang 65 tahun disebut sebagai early onset
sedangkan kelompok yang menderita pada usia lebih dari 65 tahun disebut sebagai late onset.
Faktor resiko penyakit Alzheimer sampai saat ini masih belum pasti, tetapi beberapa faktor yang
diperkirakan menjadi penyebab Alzheimer adalah :
a. Usia

Bertambahnya usia memang menjadi salah satu faktor resiko penyakit Alzheimer, namun
begitu penyakit ini dapat diderita oleh semua orang pada semua usia. 96% diderita pada
yang berusia 40 tahun keatas.
b. Genetik

Individu yang memiliki hubungan keluarga yang dekat dengan penderita beresiko dua kali
lipat untuk terkena Alzheimer.
c. Jenis kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, maka prevalensi wanita yang menderita Alzheimer lebih
banyak tiga kali lipat dibandingkan pria.
d. Pendidikan

Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi memiliki faktor pelindung dari resiko
menderita Alzheimer, tetapi hanya untuk menunda onset manifestasi klinis.

21
Secara makroskopik, perubahan otak pada alzheimer melibatkan kerusakan berat pada
neuron korteks dan hipokampus serta penimbunan amiloid pada pembuluh darah intrakranial.
Secara mikroskopik, terdapat perubahan morfologis (struktural) dan biokimia pada neuron-neuron.
Perubahan morfologis terdiri dari dua ciri khas lesi yang pada akhirnya berkembang menjadi
degenari soma (badan) dan/atau akson dan dendrit neuron. Dua ciri khas lesi tersebut yaitu
kekusutan neurofibrilaris dan plak senile.

Neurofibrillary Tangle merupakan suatu struktur intraseluler yang berisi serat kusut dan
sebagian besar terdiri dari protein "tau". Dalam sistem saraf pusat, protein "tau" sebagian besar
sebagai penghambat pembentuk struktural yang terikat dan menstabilkan mikrotubulus dan
merupakan komponen penting dari sitoskeleton sel neuron. Pada alzheimer ini, terjadi fosforilasi
abnormal dari protein "tau" yang secara kimia menyebabkan perubahan pada tau sehingga tidak
lagi dapat terikat pada mikrotubulus secara bersama-sama. Tau yang abnormal dapat terpuntir
masuk ke filamen heliks ganda. Dengan kolapsnya sistem transport internal, hubungan interseluler
adalah yang pertama kali tidak berfungsi dan akhirnya diikuti oleh kematian sel. Pembentukan
neuron yang kusut dan berkembangnya neuron yang rusak ini yang salah satunya menyebabkan
alzheimer.

Lesi khas yang kedua yaitu plak senilis, terdiri dari beta amiloid (A-beta) yang terbentuk
dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel neuronal. A-beta adalah fragmen
protein prekursor amiloid (APP) yang pada keadaan normal melekat pada membran neuron yang
22
berperan dalam pertumbuhan dan pertahanan neuron. APP terbagi menjadi fragmen-fragmen oleh
enzim protease yang salah satu fragmennya adalah A-beta, suatu fragmen yang lengket dan
berkembang menjadi gumpalan yang bisa larut. Pada alzheimer, gumpalan tersebut akhirnya
tercampur dengan bagian dari neuron dan sel-sel glia (khususnya mikroglia dan astrosit). Setelah
beberapa waktu, campuran tersebut membeku menjadi fibril-fibril yang membentuk plak yang
matang, padat, tidak dapat larut, dan diyakini beracun bagi neuron yang utuh. Selain itu, A-beta
mengganggu hubungan interselular dan menurunkan respons pembuluh darah sehingga
menyebabkan makin rentannya neuron-neuron terhadap stressor (missal iskemia). Kemungkinan
lain adalah bahwa A-beta menghasilkan radikal bebas sehingga mengganggu hubungan
intraseluler dan menurunkan respon pembuluh darah sehingga mengakibatkan rentannya neuron
terhadap stressor.
Perubahan biokimia dalam sistem saraf pusat adalah temuan mikroskopis khas lain yang
ditemukan pada alzheimer. Diketahui bahwa korteks otak manusia terdiri dari sejumlah besar
akson kolinergik yang melepaskan asetilkolin yang mana merupakan kunci neurotransmitter dalam
fungsi kognitif yang kemudian pada penderita alzheimer ini terjadi penurunan pada
neurotransmitter ini berhubung akson kolinergiknya mengalami kerusakan. Oleh karena itu salah
satu obat-obatan yang bekerja berupa inhibitor kolinesterase yang bekerja menghambat enzim
tersebut agar tidak mendegradasi asetilkolin sehingga tidak memperparah kondisi.

2. Demensia Vaskular12,13

Demensia vaskuler merupakan suatu kelompok kondisi heterogen yang meliputi semua
sindroma demensia akibat iskemik, perdarahan, anoksik atau hipoksik otak dengan penurunan
fungsi kognitif mulai dari yang ringan sampai paling berat dan tidak harus dengan gangguan
memori yang menonjol.

Demensia vaskular diakibatkan oleh adanya penyakit pembuluh darah serebral. Adanya
infark tunggal di lokasi tertentu, episode hipotensi, leukoaraiosis, infark komplit, dan perdarahan
juga dapat menyebabkan timbulnya kelainan kognitif. Sindrom demensia yang terjadi pada
demensia vaskular merupakan konsekuensi dari lesi hipoksia, iskemia, atau adanya perdarahan di
otak. Tingkat prevalensi demensia adalah 9 kali lebih tinggi pada pasien yang telah mengalami

23
stroke. Satu tahun setelah stroke, 25% pasien masuk dengan onset baru dari demensia. Prevalensi
demensia vaskular akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya usia seseorang, dan
lebih sering dijumpai pada laki-laki. Sebuah penelitian di Swedia menunjukkan resiko terjadinya
demensia vaskular pada laki-laki (khususnya pada mereka dengan hipertensi yang telah ada
sebelumnya atau faktor risiko kardiovaskular lainnya) sebesar 34,5% dan perempuan sebesar
19,4%.

Gangguan terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran kecil dan sedang, yang
mengalami infark menghasilkan lesi parenkim multipel yang menyebar pada daerah otak yang
luas. Penyebab infark mungkin termasuk oklusi pembuluh darah oleh plak arteriosklerotik atau
tromboemboli dari tempat asal yang jauh sebagai contohnya katup jantung.
3. Penyakit Pick14

Penyakit Pick disebabkan penurunan fungsi mental dan perilaku yang terjadi secara
progresif dan lambat. Kelainan terdapat pada kortikal fokal pada lobus frontalis. Penyakit ini juga
sulit dibedakan dengan Alzheimer hanya bisa dengan otopsi, dimana otak menunjukkan inklusi
intraneunoral yang disebut “badan Pick” yang dibedakan dari serabut neurofibrilaris pada
Alzheimer. Diagnostik penyakit demensia penyakit Pick:

 Adanya gejala demensia yang progresif.

 Gambaran neuropatologis berupa atrofi selektif dari lobus frontalis yang menonjol disertai
euforia, emosi tumpul, dan perilaku sosial yang kasar, disinhibisi, apatis, gelisah.

 Manifestasi gangguan perilaku pada umumnya mendahului gangguan daya ingat.

4. Penyakit Creutzfeldt-Jakob14,15

Suatu kelainan otak yang ditandai dengan penurunan fungsi mental yang cepat, disertai
kelainan pergerakan, terutama menyerang usia dewasa diatas 50 tahun. Penyakit yang mirip terjadi
pada domba dan sapi, jadi penularan bisa terjadi karena memakan jaringan hewan yang terinfeksi.
Terjadi kerusakan jaringan otak oleh suatu organisme yang menyerupai virus (protein yang bisa
ditularkan, yang disebut prion). Gejalanya ditandai dengan kemunduran mental yang cepat,
biasanya dalam beberapa bulan. Meliputi perubahan kepribadian, depresi, kecemasan, demensia,

24
penuruanan kemampuan intelektual, kesulitan berbicara dan menelan, serta gerakan tersentak-
sentak yang tiba-tiba.
5. Penyakit Parkinson15

Demensia ini disebabkan adanya penyakit parkinson yang menyertai dengan gejala :

 Disfungsi motorik.

 Gangguan kognitif / demensia bagian dari gangguan.

 Lobus frontalis dan defisit daya ingat.

 Depresi.

6. Penyakit Huntington15

Suatu penyakit yang diturunkan, dimana sentakan atau kejang dan hilangnya sel-sel otak
secara bertahap mulai timbul pada usia pertengahan dan berkembang menjadi korea, atetosis serta
kemunduran mental. Disebabkan oleh adanya degenerasi bagian otak pada ganglia basalis dan
kortex serebral. Gejala muncul pada usia 35-40 tahun berupa demensia progresif, hipertonisitas
mascular, gerakan koreiform yang aneh.

7. Human Immunodeficiency Virus (HIV)15

Adalah suatu infeksi oleh salah satu dari 2 jenis virus (retrovirus), yaitu HIV-1 atau HIV-
2, yang secara progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit CD4+, dan menyebabkan
AIDS )Acquired Immunodeficiency Syndrome) dan penyakit lainnya sebagai akibat dari gangguan
kekebalan tubuh. Gejala pada otak biasanya berupa hilangnya memori, kesulitan berpikir dan
berkonsentrasi, demensia, lemas, tremor atau kesulitan berjalan.

8. Trauma kepala

25
3.5 GAMBARAN KLINIK11,16

Gambaran utama demensia adalah munculnya defisit kognitif multipleks, termasuk


gangguan memori, setidak-tidaknya satu di antara gangguan gangguan kognitif berikut ini: afasia,
apraksia, agnosia, atau gangguan dalam hal fungsi eksekutif. Defisit kognitif harus sedemikian
rupa sehingga mengganggu fungsi sosial atau okupasional (pergi ke sekolah, bekerja, berbelanja,
berpakaian, mandi, mengurus uang, dan kehidupan sehari-hari lainnya) serta harus
menggambarkan menurunnya fungsi luhur sebelumnya.
a. Gangguan memori

Dalam bentuk ketidakmampuannya untuk belajar tentang hal-hal baru, atau lupa akan hal-
hal yang baru saja dikenal, dikerjakan atau dipelajari. Sebagian penderita demensia mengalami
kedua jenis gangguan memori tadi. Penderita seringkali kehilangan dompet dan kunci, lupa bahwa
sedang meninggalkan bahan masakan di kompor yang menyala, dan merasa asing terhadap
tetangganya. Pada demensia tahap lanjut, gangguan memori menjadi sedemikian berat sehingga
penderita lupa akan pekerjaan, sekolah, tanggal lahir, anggota keluarga, dan bahkan terhadap
namanya sendiri.
b. Gangguan orientasi

Karena daya ingat adalah penting untuk orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu.
Orientasi dapat terganggu secara progresif selama perjalanan penyakit demensia. Sebagai
contohnya, pasien dengan demensia mungkin lupa bagaimana kembali ke ruangannya setelah pergi
ke kamar mandi.
c. Gangguan bahasa

Penderita akan terlihat sulit untuk mencari kata yang tepat dalam mengungkapkan isi
pikirannya. Semakin parah penyakitnya, maka ucapan dan atau tulisan penderita jadi sulit untuk
dimengerti karena penderita menggunakan kalimat dengan substitusi kata-kata yang tidak biasa
digunakan. Contohnya: jika penderita sulit menemukan sikat giginya, maka ia akan bertanya
"sesuatu untuk mulut saya".
d. Apraksia

26
Penderita sulit mengerjakan tugas yang familiar. Penderita sering mengalami kesulitan
dalam menyelesaikan tugas sehari-hari yang sangat mereka ketahui, contohnya mereka tidak
mengetahui langkah-langkah untuk menyiapkan makanan, berpakaian, atau menggunakan perabot
rumah tangga.
e. Agnosia

Ketidakmampuan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda maupun fungsi


sensoriknya utuh. Sebagai contoh, penderita tak dapat mengenali kursi, pena, meskipun visusnya
baik. Akhirnya, penderita tak mengenal lagi anggota keluarganya dan bahkan dirinya sendiri yang
tampak pada cermin. Demikian pula, walaupun sensasi taktilnya utuh, penderita tak mampu
mengenali benda yang diletakkan di tangannya atau yang disentuhnya misalnya kunci atau uang
logam.
f. Gangguan fungsi eksekutif

Hal ini disebabkan karena frontal lobe penderita mengalami gangguan, ditandai dengan:
sulit menyelesaikan masalah, reasoning, pembuatan keputusan dan penilaian. Misalnya penderita
mengenakan baju tanpa mempertimbangkan cuaca, memakai beberapa kaos di hari yang panas/
memakai pakaian yang sangat minim ketika cuaca dingin.
g. Perubahan Kepribadian

Perubahan kepribadian pasien demensia merupakan gambaran yang paling mengganggu


bagi keluarga pasien yang terkena. Pasien dengan demensia juga mungkin menjadi introvert dan
tampaknya kurang memperhatikan tentang efek perilaku mereka terhadap orang lain. Pasien
demensia yang mempunyai waham paranoid biasanya bersikap curiga atau bermusuhan terhadap
anggota keluarga dan pengasuhnya. Pasien dengan gangguan frontal dan temporal kemungkinan
mengalami perubahan kepribadian yang jelas dan mungkin mudah marah dan meledak-ledak.
Selain itu penderita juga sering mengalami delusi paranoid dan terkadang juga mengalami
halusinasi (dengar, visual, dan haptic). Sedangkan untuk gangguan perilaku, meliputi agitasi
(aktivitas verbal maupun motorik yang berlebihan dan tidak selaras), wandering (mondar-mandir,
mencari-cari/ membututi caregiver ke mana pun mereka pergi, berjalan mengelilingi rumah,

27
keluyuran), dan gangguan tidur (berupa disinhibisi, yaitu perilaku yang melanggar norma-norma
sosial, yang disebabkan oleh hilangnya fungsi pengendalian diri individu).

3.6 DIAGNOSIS4,17,18
Diagnosis demensia ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
neuropsikologis.
a. Anamnesis
Wawancara sebaiknya dilakukan pada penderita dan mereka yang sehari-hari berhubungan
langsung dengan penderita (pengasuh). Hal yang penting diperhatikan adalah riwayat
penurunan fungsi terutama kognitif dibandingkan dengan sebelumnya,
mendadak/progresif lambat dan adanya perubahan perilaku dan kepribadian.

 Riwayat kesehatan/medis umum

Ditanyakan faktor resiko demensia, riwayat infeksi kronis (misalnya HIV dab sifilis),
gangguan endokrin (hiper/ hipotiroid), diabetes mellitus, neoplasma, penyakit jantung,
penyakit kolagen, hipertensi, hiperlipidemia, dan aterosklerosis.
 Riwayat neurologis

Untuk mencari etiologi demensia seperti riwayat gangguan serebrovaskuler, trauma


kapitis, infeki SSP, epilepsy, tumor serebri, dan hidrosefalus.

 Riwayat gangguan kognitif

Riwayat gangguan memori sesaat, jangka pendek dan jangka panjang: gangguan
orientasi ruang, waktu dan tempat; gangguan berbahasa/ komunikasi (meliputi
kelancaran, menyebut nama benda, maupun gangguan komprehensi); gangguan fungsi
eksekutif (meliputi pengorganisasian, perencanaan, dan pelaksanaan suatu aktivitas),
gangguan praksis dan visuospasial. Selain itu perlu ditanyakan mengenai aktivitas
harian, di antaranya melakukan pekerjaan, mengatur keuangan, mepersiapkan
keperluan harian, melaksanakan hobi, dan mengikuti aktivitas sosial.

28
 Riwayat Gangguan Perilaku dan Kepribadian

Gejala psikiatri dan perubahan perilaku sering dijumpai pada penderita demensia. Hal
ini perlu dibedakan dengan gangguan psikiatri murni, misalnya depresi, skizofrenia,
terutama tipe paranoid. Pada penderita demensia dapat ditemukan gejala
neuropsikologis berupa waham, halusinasi, miss-identifikasi, depresi, apatis, dan
cemas. Gejala perilaku dapat berupa bepergian tanpa tujuan (wandering), agitasi,
agresivitas fisik maupun verbal, restlessness, dan disinhibisi.

 Riwayat Intoksikasi

Adanya riwayat intoksikasi aluminium, air raksa, pestisida, insektisida, dan lem;
alkoholisme, dan merokok. Riwayat pengobatan terutama pemakaian kronis obat
antidepresan dan antidepresan dan narkotik perlu diketahui pula.

 Riwayat keluarga

Adakah keluarga yang mengalami demensia atau riwayat penyakit serebrovaskular,


gangguan psikiatri, depresi, penyakit Parkinson, Sindrom Down dan retardasi mental.
b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik terdiri dari pemeriksaan umum, neurologis dan neuropsikologis.

 Pemeriksaan fisik umum

Terdiri dari pemeriksaan medis umum sebagaimana yang dilakukan dalam praktek
klinis.
 Pemeriksaan neurologis

Adanya tekanan tinggi intra kranial, gangguan neurologis fokal, misalnya: gangguan
berjalan, gangguan motorik, sensorik, otonom, koordinasi, gangguan penglihatan,
pendengaran, keseimbangan, tonus otot, gerakan abnormal/ apraksia, dan adanya
refleks patologis dan primitif.

29
c. Pemeriksaan neuropsikologis

Meliputi evaluasi memori, orientasi, bahasa, kalkulasi, praksis, visuospasial, dan


visuoperseptual. Mini Mental State Examination (MMSE) dan Clock Drawing Test (CDT)
adalah pemeriksaan penapisan yang berguna untuk mengetahui adanya disfungsi kognisi,
menilai efektivitas pengobatan, dan untuk menentukan progresivitas penyakit. Nilai normal
MMSE adalah 24-30. Gejala awal demensia perlu dipertimbangkan pada penderita dengan
nilai MMSE kuurang dari 27, terutama pada golongan berpendidikan tinggi. Selain itu pula
dilakukan pemeriksaan aktivitas harian dengan pemeriksaan Activity of Daily Living (ADL)
dan Instrumental Activity of Daily Living (IADL). Hasil pemeriksaan tersebut dipengaruhi
oleh tingkat pendidikan, social, dan budaya.

d. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium, pencitraan otak,


elektroenseflografi dan pemeriksaan genetika.

 Pemeriksaaan laboratorium

Pemeriksaaan yang dianjurkan oleh American Academy of Neurology berupa


pemeriksaan darah lengkap termasuk elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati, hormone
tiroid, dan kadar vitamin B12. Pemeriksaan HIV dan neurosifilis pada penderita
dengan resiko tinggi. Pemeriksaa cairan otak dilakukan hanya atas indikasi.

 Pemeriksaaan pencitraan otak

Pemeriksaan ini berperan dalam menunjang diagnosis, menentukan beratnya penyakit,


meupun prognosis.

Computerized Tomography (CT)- Scan atau Metabolic Resonance Imaging (MRI) dapat
mendeteksi adanya kelainan structural, sedangkan Positron Emission Tomography (PET) dan

30
Single Photon Emission Tomography (SPECT) digunakan untuk mendeteksi pemeriksaan
fungsional. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya:

 Gambaran normal sesuai dengan usia


 Atrofi serebri umum
 Perubahan pada pembuluh darah kecil yang tampak sebagai leukoensefalopati
 Atrofi fokal terutama pada lobus temporal medial yang khas pada demensia Alzheimer
 Infark serebri, perdarahan subdural, atau tumor otak
MRI dapat menunjukkan kelainan struktur hipokampus secara jelas & berguna untuk
membedakan demensia Alzhimer dengan demensia vaskular pada stadium awal.

 Pemeriksaaan EEG

EEG tidak menunjukkan kelainan yang spesifik. Pada stadium lanjut dapat ditemukan
adanya perlambatan umum dan kompleks periodik.

 Pemeriksaaan Genetika

Pemeriksaan genetika belum merupakan pemeriksaan rutin, dalam penelitian


dilakukan untuk mencari maka APOE, protein Tau, dll.

3.7 TATALAKSANA

Penatalaksanaan farmakologis pada penderita dementia reversibel bertujuan untuk


pengobatan kausal, misalnya pada hiper/ hipotiroidi, defisiensi vitamin B12, intoksikasi, gangguan
nutrisi, infeksi dan ensefalopati metabolik. Progresifitas demensia vaskuler dapat dihentikan
dengan pengobatan terhadap faktor resiko dan pengobatan simptomatis untuik substitusi defisit
neurotransmitter. Namun hal ini tidak dapat menyembuhkan penderita.

Pada demensia Alzheimer pengobatan bertujuan untuk menghentikan progresivitas


penyakit dan mempertahankan kualitas hidup. Beberapa golongan obat yang direkomendasikan,
antara lain:

a. Pengobatan simptomatis:
31
Pengobatan dengan golongan penghambat asetilkoloinesterase (seperti donepezil hidroklorida,
rivastigmin dan galantamin) bertujuan untuk mempertahankan jumlah asetilkolin yang
produksinya menurun. Obat golongan NMDA seperti memantin dipasarkan di Indonesia saat ini.

b. Pengobatan dengan disease modifiying agents:

 Obat golongan obat antiinflamasi non steroid (OAINS)


Pada proses pembentukan senile plaque dan neurofibrillary tangle dapat diidentifikasi adanya
elements of cell mediated immune response, sehingga pemakaian OAINS dapat mengurangi proses
ini.

 Antioksidan
Antioksidan berfungsi menghambat oksidasi oleh radikal bebas yang berlebihan sehingga merusak
sel neuron. Antioksidan ini terdapat pada sayuran dan buah-buahan, vitamin E, A, dan C.

 Neurotropik
Obat golongan ini merupakan derivate neurotransmitter GABA yang mempunyai efek fasilitasi
neurotransmisi kolinergik dengan stimulasi sintesis dan pelepasan asetilkolin.

 Obat yang bekerja pada beta amiloid protein tau, dan presenilin
Penatalaksanaan non-farmakologis ditujukan untuk keluarga, lingkungan, dan penderita
dengan tujuan:

 Menetapkan program aktivitas harian penderita


 Orientasi realitas
 Modifikasi perilaku
 Memberikan informasi dan pelatihan yang benar pada keluarga, pengasuh dan penderita.
 Mepertahankan lingkungan yang familiar akan membantu penderita tetap memiliki
orientasi.
Program Harian Penderita:

 Kegiatan harian teratur dan sistematis, meliputi latihan fisik untuk memacu aktivitas fisik
dan otak yang baik (brain- gym)

32
 Asupan gizi berimbang, cukup serat, mengandung antioksidan, mudah dicerna, penyajian
menarik dan praktis
 Mencegah/ mengelola faktor resiko yang dapat memperberat penyakit, misalnya:
hipertensi, gangguan vascular, diabetes, dan merokok.
 Melaksanakan hobi dan aktivitas social sesuai dengan kemampuan
 Melaksanakan “LUPA” (Latih, Ulang, Perhatian, dan Asosiasi)
 Tingkatkan aktivitas saat siang hari, tempatkan di ruangan yang mendapatkan cahaya
cukup

Orientasi realitas:

 Penderita diingatkan akan waktu dan tempat


 Beri tanda khusus untuk tempat tertentu, misalnya kamar mandi
 Pemberian stimulasi melalui latihan/ permainan, misalnya permainan monopoli, kartu,
scrabble, mengisi teka-teki silang, sudoku, dll. Hal ini member manfaat yang baik pada
predemensia (Mild Cognitive Impairment)
 Menciptakan lingkungan yang familiar , aman, dan tenang. Hindari keadaan yang
membingungkan dan menimbulkan stress. Berikan keleluasaan bergerak.
3.8 PROGNOSIS
Perkembangan demensia pada setiap orang berbeda. Demensia karena AIDS biasanya
dimulai secara samar tetapi berkembang terus selama beberapa bulan atau tahun. Sedangkan
demensia karena penyakit Creutzfeldt-Jakob biasanya menyebabkan demensia hebat dan
seringkali terjadi kematian dalam waktu 1 tahun. Pada demensia stadium lanjut, terjadi penurunan
fungsi otak yang hamper menyeluruh. Penderita tidak mampu mengendalikan perilakunya,
suasana hati sering berubah-ubah dan senang berjalan-jalan. Pada akhirnya penderita tidak mampu
mengikuti suatu percakapan dan bisa kehilangan kemampuan berbicara.

3.9 PENCEGAHAN

33
 Jaga agar pikiran selalu aktif. Seperti teka-teki dan permainan kata, belajar bahasa, bermain
alat music, membaca, menulis, melukis atau menggambar.
 Aktif secara fisik dan sosial. Hal ini dapat menunda mulainya demensia dan juga
mengurangi gejala.
 Kejarlah pendidikan. Para peneliti berpendapat bahwa pendidikan dapat membantu
seseorang mengembangkan jaringan sel saraf otak yang kuat yang mengkompensasi
kerusakan sel saraf yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer.
 Menurunkan kadar kolesterol, tekanan darah dan mengendalikan diabetes adalah upaya
untuk mengurangi faktor resiko pada demensia vaskular.
 Pola makan yang sehat. Studi menunjukan bahwa makanan yang kaya buah-buahan,
sayuran dan omega-3 asam lemak, dapat memiliki efek perlindungan dan menurunkan
resiko demensia.

34
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Terjadinya amnesia paska trauma pada penderita cedera kepala menunjukkan adanyanya
kerusakan otak diffus,gangguan pada struktur hipokampus akan memberikan gambaran klinis
berupa gangguan memori anterogade, sedangkan lesi pada struktur diensefalon (korpus
mammilares atau thalamus akan memberikan kesulitan mmengingat kembali memori(amnesia
retrogade)
Demensia adalah sindrom neurodegenerative yang timbul karena adanya kelainan yang
bersifat kronis dan progresif disertai dengan gangguan fungsi luhur multiple seperti kalkulasi,
kapasitas belajar, bahasa, dan mengambil keputusan. Kesadaran pada demensia tidak terganggu.
Gangguan fungsi kognitif biasanya disertai dengan perburukan kontrol emosi, perilaku, dan
motivasi.
Demensia Alzheimer merupakan demensia yang paling sering terjadi dan belum ada
penyembuhannya. Demensia vascular merupakan merupakan penyakit kedua setelah demensia
Alzaimer yang dapat menyebabkan demensia. Sebagai dokter kita perlu memberikan edukasi
terhadap pasien dan keluarga pasien. Menasihati keluarga pasien supaya sentiasa mendukung dan
bersabar.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Suarez,John.dkk.Global Amnesia: Oranic and Functional Considerations.UCLA


Neuropsyciatric Institute.
2. Crisrina,Silva.dkk.Post Traumatic Amnesia and Post Trauma Quality of Life.Portugele
Online.2012.hal:31
3. Harnoz,Josi.Amnesia Post Trauma.Anonymous.2008.hal:2-15
4. Shager,Yael,Dr..Amnesia.Scholarpedia.2008.hal1-3
5. Dyer,Kerry,dr.Post Traumatic Amnesia.Departement of Clinical Psychology and
Neuropsychology.2014:hal3-5
6. Gumm,K,dkk.Post Traumatic Amnesia Screening and Management.The Royal Merlboune
Hospital.
7. Cristina,Silvia.Gavelsrtone Amnesia Test(GOAT).Anonymous.2009.hal:1029
8. Shirdev, E.B & Levey, D.A. 2004. Cross-Cultural Psychology, Critical Thinking and
Contemporary Application, Boston: Pearson Education,Inc
9. Schaie K.W. & Willis, S.L. 1991. Adult Development and Aging, New York:
HarperCollins Publishers
10. Jefferies, K and Agrawal, N. 2009. Early-Onset Dementia. Jurnal of Continuing
Professional Development. 15: 380-388.
11. Dikot Y, Ong PA, 2007. Diagnosis Dini dan Penatalaksanaan Demensia. Jakarta:
PERDOSSI.
12.

36

Anda mungkin juga menyukai