Anda di halaman 1dari 3

Tugas Individu

1. Lakukan wawancara dengan salah satu tokoh partai, dengan pertanyaan: “Apakah praktik
demokrasi Indonesia saat ini telah sesuai dengan nilai Pancasila dan UUD NRI 1945 ?
2. Buatlah kesimpulan terhadap hasil wawancara tersebut Hasilnya disusun dalam bentuk
laporan tertulis, dengan ketentuan :
a. Di kertas double folio
b. Di tulis dengan pena warna biru
c. Tidak boleh mewancarai tokoh partai yang sama.

Secara sederhana, demokrasi sering diartikan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat. Maka aktualisasi demokrasi di dalam suatu negara tidak lain tidak
bukan adalah kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, demokrasi seharusnya menjadi
semangat dari terbentuknya suatu negara yang menginginkan keadilan dan
kemakmuran bagi rakyat.

Menurut penulis, keadilan dan kemakmuran rakyat diukur dari sejauh mana
hak asasi manusia (HAM) ditegakkan. HAM merupakan hak dasar setiap insan yang
harus dihargai. Walaupun Undang-Undang Dasar dan peraturan lainnya sudah
mengatur dan menjamin hak seseorang, namun apakah hak asasi manusia sudah
ditegakkan dengan benar masih sulit untuk dijawab. Maka kita perlu mengkaji
bagaimana penegakkan HAM di negara kita yang berasaskan demokrasi ini. Dan hal
inilah yang menjadi latar belakang saya untuk menulis artikel ini.

Demokrasi sering digadang-gadang sebagai penghubung antara pemerintah dengan


rakyat. Memang benar, demokrasi merupakan satu-satunya konsep pemikiran yang
berkembang pesat saat ini, sebagai wujud penyuaraan aspirasi rakyat secara langsung
terhadap pemerintah atau jajaran pemerintahan tinggi negara. Dalam era reformasi
sekarang, kita punya hak mengkritik pemerintah, baik melalui aksi demonstrasi
(damai bukan anarki), melalui tulisan, diskusi maupun jejak pendapat. Hal ini
merupakan bentuk kemajuan kongkret yang diterapkan pada sistem pemerintahan
Indonesia.
Namun, demokrasi justru menjadi sebuah boomerang yang pelaksanaannya sangat
kontradiktif. Secara hukum rakyat memiliki hak mutlak untuk mengaspirasikan
segala bentuk ketidakadilan yang mengancam kesejahteraan mereka, selama aspirasi
tersebut tidak melewati batas demokrasi yang diberlakukan bagi seluruh rakyat
Indonesia, tanpa memandang ras, suku, agama, serta kedudukan dan kepentingan
golongan. Namun apa yang terjadi? Banyak ketidakadilan yang malah dirasakan oleh
masyarakat.
Demokrasi yang tidak bersifat adil terhadap rakyat telah berlangsung lama di tengah
bangsa kita. Beberapa kekerasan dan perlakuan semena-mena oleh oknum aparat
penegak hukum pada penyelesaian konflik pelanggaran HAM merupakan bukti yang
nyata. Arti demokrasi yang selama ini dipahami sebagai berpihak kepada rakyat
mulai berubah maknanya menjadi istilah demo-keras-i. Demokrasi sudah berubah
bahasa dan pengertian menjadi mengerasi atau berlaku bengis dan kejam. Sentuhan
kekerasan oknum aparat penegak hukum itu sudah terjadi berulangkali, namun
lembaga seolah tak pernah bercermin dan belajar.
Sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, beberapa oknum polisi
selaku aparat penegak hukum sepertinya semakin tak punya batas dalam
menggunakan kekuasaannya. Melalui demokrasi, seharusnya rakyat memperoleh
hidup yang selayaknya seperti jaminan kemakmuran dan rasa aman, yang tertera
dalam UUD 1945. Sekarang ini jaminan itu sulit dicapai apalagi didukung oleh fakta
perlakuan kekerasan oknum aparat penegak hukum pada kasus PT. Freeport, Mesuji,
dan Bima.
Setelah penulis mempelajari berbagai konflik di tanah air, konflik-konflik yang
terjadi dalam kurun waktu beberapa pekan terakhir merupakan konflik berdarah
antara polisi dengan masyarakat kita sendiri. Tindak kekerasan yang dilakukan oleh
oknum kepolisian terhadap masyarakat sipil ini telah menunjukkan bagaimana wajah
polisi Republik Indonesia saat ini. Bagaimana oknum polisi sebagai lembaga
keamanan negara yang katanya pelindung, pengayom, dan pelayan rakyat itu justru
seolah-olah menganggap masyarakat yang tanpa senjata, dan tanpa kekuatan sebagai
musuh yang patut di-door, dengan bedil atau senapan besar, senjata dan adu jotos.
Akibatnya pelanggaran HAM pun banyak terjadi. Dalam konflik PT. Freeport dengan
warga Papua, 2 orang masyarakat tewas dengan bukti adanya penembakan. Kejadian
ini justru setelah terlaksananya kongres antara warga dengan pihak kepolisian.
Sedangkan kasus Mesuji telah menelan korban 9 orang dengan bukti adanya
penembakan dan pemakaian benda tajam. Sementara itu, konflik Bima pun
kejadiannya hampir serupa, bahwa secara terang-terangan oknum polisi melakukan
tindak kekerasan terhadap masyarakat dengan tembakan dan penganiayaan terhadap
para pendemo, hingga 2 orang tewas tertembak dan puluhan lain dalam kondisi kritis.
Lalu yang menjadi pertanyaannya, pantaskah seorang pelindung, pengayom, dan
pelayan masyarakat berlaku sedemikian bengis?
Biasanya konflik dipicu oleh aksi demonstrasi yang dilakukan warga. Fakta
membuktikan alasan utama bagi sekelompok orang untuk mengadakan aksi massa
atau demo dipicu oleh kegelisahan bersama akan sejumlah harapan yang tidak sesuai
dengan realitas, penyimpangan-penyimpangan yang merajalela baik dalam sisi
keadilan, kesejahteraan, HAM, dan kekuasaan. Justru melalui demokrasi harusnya
kita sama-sama membenahi bangsa ini ke arah yang lebih baik, tidak malah berpihak
kepada kesalahan dan memusuhi rakyat. Rakyat hanya meminta kembali hak-haknya
kepada pemerintah. Paling tidak dengan aksi itu, pemerintah tergerak hatinya untuk
memberikan sedikit perhatian terhadap kondisi rakyatnya.
Latar belakang mengapa kebanyakan rakyat berdemonstrasi adalah seperti yang
terjadi di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat. Masyarakat Bima melakukan
orasi atau seperti aksi mogok atau pemblokadean karena ketidakadilan yang mereka
rasakan yang menjadikan posisi mereka terpinggirkan sejak beroperasinya
perusahaan pertambangan di Bima.
Namun tampaknya, pemerintah kurang mencermati apa yang menjadi kebutuhan
masyarakat sejak disetujuinya SK pembukaan tambang di Bima, seolah-olah
pemerintah hanya terfokus pada investasi yang dihasilkan, sedang kondisi
masyarakat adalah nomor kesekian. Sama halnya dengan kasus PT. Freeport dan
Mesuji, pemerintah pun tetap melakukan kekeliruan yang sama. Maka dengan
kondisi demikianlah mengapa Soekarno sejak dulu anti-kapitalisme. Menurut beliau
mereka adalah lintah darat yang awalnya bicara manis dan pada akhirnya kekayaan
alam bangsa kita lambat laun semakin disedotnya. Lalu yang dirugikan siapa?
Tampaknya pemerintah perlu mengkaji lebih dalam akar permasalahan terjadinya
berbagai konflik tersebut.
Lalu polisi sebagai bagian yang seharusnya ada di pihak rakyat sepertinya perlu
untuk membenahi diri, belajar untuk bisa menjadi sahabat karib, dan memahami
posisi rakyat yang memilih jalan demonstrasi sebagai bentuk aspirasi terhadap
kondisi yang semakin membelit ekonomi mereka. Polisi seharusnya menjadi pihak
yang netral dan cermat dalam mengambil sikap, apakah penting melakukan tindakan
represif, ataukah polisi hanya menegakkan wibawa/kekuasaan, bukan hukum. Polisi
jangan mau dibutakan oleh kebutuhan finansial yang diperoleh dari pihak yang
seharusnya bertanggungjawab atas persoalan yang terjadi.
Sebagai warga negara Indonesia yang berbahasa satu, bertanah air satu, dan
bertumpah darah satu, seharusnya kita bekerjasama dalam upaya melindungi segala
hal yang mengancam keamanan dan pertahanan bangsa, yang bisa saja berasal dari
luar. Kita dituntut untuk setia menegakkan keadilan, berpihak pada yang benar, dan
berjuang bersama demi menciptakan kehidupan yang aman, tenteram, dan damai.
Karena hal inilah yang menjadi buah perjuangan Soekarno dan kawan-kawan bagi
bangsa Indonesia. Rakyat adalah objek sekaligus subjek dari sebuah bangsa, rakyat
adalah kekayaan bangsa, dan rakyat seharusnya diberi perlindungan yang wajar dan
adil sebagai manusia yang sejatinya memiliki hak asasi. Semoga pemerintah dan
segala jajaran yang bertugas semakin belajar dari banyak permasalahan yang ada.
Semoga aparat penegak hukum benar-benar melindungi, mengayomi, dan melayani
rakyat, berbenah diri agar tragedi Mesuji, PT. Freeport, dan Bima tidak terulang lagi
di kemudian hari. Semoga Pancasila dan UUD 1945 masih tetap menjadi pilar bangsa
yang masih berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Demi hak asasi manusia dan demi
rakyat Indonesia semoga tidak ada lagi praktik demo-keras-i.

Anda mungkin juga menyukai