Menceritakan tentang kehidupan seorang gadis desa bernama Winastika, yang ditinggal mati
keluarganya karena pembersihan PKI di Madiun.
Ia selamat karena ia tak terlibat dalam organisasi PKI, tapi lalu menjadi budak di rumah
seorang jenderal. Hidupnya kembali berwarna setelah ada Banyu dalam kehidupannya.
Baru sebentar ia menghirup udara kebahagiaan, hingga akhirnya Banyu gugur dalam
medan pertempuran di perbatasan. Akhirnya, ia memutuskan untuk membaktikan dirinya di
perbatasan tempat dimana cintanya mati.
Rincian Tokoh
Winastika : Kuat, tegar, bertahan walaupun cobaan terus menghantamnya.
Banyu (Tentara 3) : Pembela kebenaran, bijaksana.
Ibu Widuri : Keras kepala, penghianat.
Nyonya Maylaf : Sombong dan angkuh.
Makarena : Sombong, angkuh dan centil.
Sadeli : Penyampai berita
Dialog
(Siang itu langit kelabu. Mendung menyisakan luka bagi yang melihatnya. Padahal mereka hidup di
desa, tempat yang penuh ketenangan dan kenyamanan. Bagaimana jika keadaan terbalik? Tidak
ada yang tahu bagaimana hidup berlanjut seterusnya.
Ibu Widuri sedang berada di dalam gubug reotnya yang hampir ambruk bersama putrinya,
Winastika. Dengan semangat hidup yang hampir pupus, atmosfer keputus-asaan menyeruak di
udara.)
Ibu Widuri : ”Entah seberapa lama lagi kita akan hidup, Nak. Aku sudah tak begitu memikirkan
itu, tapi tetap saja bayangan kematian terus menghantuiku.“ (melamun ke
jendela yang gelap.)
Winastika : ”Kita tidak bersalah, Bu. Tak sepantasnya kita takut akan hal itu.“
Ibu Widuri : ”Tentara itu tak pernah memandang benar atau salahnya hidupmu. Mereka tidak
akan mau tahu. Mereka hanya memandang mengapa kau ada disini. Pandangan
mereka hanya mengenai kita adalah kaki tangan PKI. Tak peduli benar salahnya
hal itu!“ (berapi-api)
Ibu Widuri : ”Sudahlah, Nak. aku benar-benar sudah putus asa. Lihatlah desa seberang sana.
Desa itu mati, dalam tangan para Tentara bayaran itu. Biarlah nanti aku yang
memasang tubuhku untuk langsung menjadi sasaran tembak para tentara.“
Ibu Widuri : ”Lihatlah bapakmu, Nduk! Dia ditelanjangi, dia disiksa hingga mati perlahan-
lahan! Itu semua sudah melanggar hak bapakmu! Dan kakakmu! Dia diperkosa
hingga akhirnya mati! Keluarga kita satu persatu mati dan sekarang tinggal kita
berdua! Apa yang diharapkan dari kesepian ini, Nduk?! Kita tinggal keluar rumah
dan matilah kita! Tidak ada jalan yang lebih mudah daripada itu!“
Winastika : ”Itu karena Bapak dan Mbak Citrawati terbukti sebagai anggota PKI, Buk. Kita
tidak akan diperlakukan seperti itu kalau kita tidak bersalah.“
Winastika : ”Ibu...“
(Tiba-tiba pintu rumah Ibu Widuri digedor-gedor oleh seseorang dengan sangat kasar. Tak ayal, Ibu
Widuri dan Winastika terlonjak kaget dan langsung menoleh menuju pintu.)
Ibu Widuri : ”Inilah, Nak. inilah saatnya.“ (tetap tenang dan berjalan menggandeng Winastika
menuju daun pintu)
(pintu terbuka)
Ibu Widuri : ”Untuk apa kalian kemari?!” (tetap tenang walaupun yang dihadapi adalah
Tentara)
Tentara 1 : ”Anda kami tangkap atas tuduhan keterlibatan anda dalam organisasi PKI! Ikut
kami dengan tenang atau menolak tapi mati!“ (membentak)
Ibu Widuri : ”Bunuh aku! Matikanlah aku! Biar ketakutan ini mengalir dan meledak dengan
sendiirinya. Akhirnya melahirkan suatu keberanian dan membesarkan jiwamu!
Bunuh aku! Tidak akan pernah aku mengikutimu. Aku akan mulia dengan mati di
tanganmu!”
Winastika : “Apa salah ibuku?! Apa salahnya wanita tua yang berjuang menghadapi kerasnya
hidup ini sendirian?! Apa salahnya Widuri yang melunakkan batu kehidupan?!?
Ibuku sudah banyak berjuang! Apa gunanya perjuangan itu jika akhirnya ia mati
dalam keadaan hina seperti ini?!” (meraung kepada para Tentara)
Tentara 2 : “Sungguh memalukan gadis cantik nan anggun ini. Apa guna paras elok, jika ia
seorang penghianat Negara. Lihatlah. Air matanya, mengalir deras, tapi apa
gunanya. Air matanya, hanyalah air mata buaya.”
Winastika : ”Jaga ucapanmu, wahai Tentara muda. Bagaimana bisa kesetiaanku pada negara
kau lecehkan dan kau buang ke tong sampah yang paling hina.“ (marah dan
berapi-api.)
Tentara 2 : ”Wahai engkau, gadis PKI. Masih berani engkau membela diri. Sama sekali tak
pantas kau mengucapkan kesetiaanmu pada negeri. Keluargamu anggota PKI. Dan
bersiaplah menunggu kematianmu menghampiri.“
Tentara 3 : ”Tunggu dulu, Letnan. Dia tak masuk dalam daftar anggota PKI. Kita hanya
ditugaskan untuk menangkap Ibu Widuri malam ini.”
Winastika : ”Apa kau sadar apa yang kau ucapkan? Kau menyebut ibuku anggota PKI?!” (kaget)
Tentara 3 : ”Ketahuilah, gadis muda. Ibu Widuri adalah anggota aktif PKI. Belalah dirimu kalau
kau bukan nggota PKI.”
Tentara 3 : ”Kita menjunjung tinggi hak asasi manusia, Letnan. Bagaimanapun, jika gadis itu
bukanlah anggota PKI, kita tak berhak untuk memusnahkannya.”
Tentara 2 : ”Haah. Simpanlah bualanmu itu untuk berbicara pada Jenderal selepas matahari
tenggelam nanti. Kami tidak akan membela atau menjatuhkanmu. Semua perihal
tentang gadis ini kau lah yang bertanggung jawab!” (memandang bawahannya
agak lama lalu berlalu meninggalkannya.)
Winastika : ”Tuan… terima kasih telah membelaku. Tapi, alangkah baiknya jika engkau tadi
membiarkanku mati saja. Apa artinya aku hidup jika tak ada pelabuhan yang akan
kusinggahi.“ (dengan mata berkaca-kaca.)
Tentara 3 : ”Yang Diatas belum mengizikan engkau untuk mati. Itu yang ku tahu. Jika hidup
masih bisa diusahakan, alangkah buruknya jika kita malah mengakhirinya. Jangan
pernah menyerah. Inilah kehidupan, tanpa hujan, langit tak akan bisa
menghasilkan pelangi.“
Winastika : ”Lalu kemana lagi aku harus hidup, Tuan? Lihat! Bumiku sudah mati dan banjir
darah. Pertiwiku menangis, dan tak tahu kemana harus pergi.“ (mulai terisak lagi)
Tentara 3 : ”Tidak aman bagimu jika kau terus hidup disini. Kau bisa bergabung dengan kami.
Jika kau berjanji untuk tidak menghianati. Kau dalam kebenaran jika kau bersama
dan setia pada Negara.—kalau begitu, mari kita pergi dari sini.“
Winastika : ”Tapi Tuan... bagaimana dengan ibuku? Bagaimana tega aku meninggalkannya
sendiri disini?“
Tentara 3 : ”Tidak ada waktu lagi untuk menguburkan ibumu. Sebentar lagi desa ini akan
dihanguskan. Ayolah, kita tak punya banyak waktu lagi.“
(Sementara waktu terus berjalan. Winastika yang sebatang kara itu bekerja sebagai budak di rumah
seorang jenderal.)
Nyonya Maylaf : ”Wahai Budak nan cantik jelita. Uh, sayang sekali kecantikanmu itu tidak berarti
karena kau hanyalah wanita PKI. Cepat bersihkan lantai kotor ini!”
Makarena : ”Tidak, Ibu. Ia harus membersihkan kamarku dahulu. Tapi ingat ya, jangan sampai
kamarku kau mantrai dengan paham PKI itu. Bisa-bisa ikut dibantai aku nanti.
Hahaha.“
Nyonya Maylaf : (ikut tertawa) ”Hahaha. Benar juga kau Nak. Tapi jangan keras-keras kau bicara
seperti itu. Kalau terdengar Ayahmu, bias dibantai dulu kau nanti.
Hahaha.” (tertawa bersama Makarena)
(Tidak lama setelah itu, terketuklah pintu rumah Nyonya Maylaf. Dengan cepat, Nyonya Maylaf dan
Makarena pun membukanya.)
Nyonya Maylaf : ”Ternyata engkau, Banyu. Ada apa engkau kemari? Jenderal Muda tak ada di
rumah.” (judes)
Makarena : ”Halah paling tentara miskin ini mau mencari wanita PKI itu.”
Banyu : “Maaf telah lancang, Nyonya. Memang benar, saya mencari Winastika. Dimana ia
berada sekarang, Nyonya?“
Nyonya Maylaf : ”Kau bisa menunggunya disini.“ (dengan judesnya) ”Winastikaa!! Winastika!!“
Makarena : “Halah paling mau membicarakan utang Negara. Ah, dasar orang miskin. Ayo Bu,
kita pergi saja.” (meninggalkan Winastika dan Banyu.)
Banyu : ”Ya. Seperti yang Adik lihat. Tapi.. adik tidak apa-apa diperlakukan seperti itu oleh
Nyonya Maylaf dan Makarena?”
Winastika : ”Tidak. Aku tidak mempermasalahkan hal itu. Jenderal Muda sangat baik padaku.”
Banyu : ”Umm—baguslah kalau begitu. Jenderal Muda memang sangat baik dan bijaksana.
Walaupun tidak untuk anak dan istrinya. Oh ya Dik, aku ingin membicarakan
sesuatu padamu.“
Banyu : “Lusa aku akan berangkat ke perbatasan. PKI berulah lagi di Borneo. Aku benar-
benar harus menjalankan tugas ini.“
Winastika : ”Jadi... selain itu... Kakak kemari juga pamit untuk pergi ke medan pertempuran?“
Banyu : ”Iya, Dik. Bahkan aku sendiri tak tahu apakah aku kembali nantinya.“
Banyu : ”Iya, Dik. Memang aku selalu memenangkan pertempuran. Tapi aku tak boleh
sesombong itu. Intinya, kemenangan itu hanya bias diraih dengan kerendah hatian
dan budi yang luhur. Bagaimanapun, itu pertolongan dari Yang Diatas, Dik.“
Winastika : (mendesah agak lama.) ”Apa tidak ada orang lain selain Kakak?“
Banyu : ”Maafkan aku, Dik. Negara sedang membutuhkan pembela-pembelanya. Aku tak
akan sanggup membiarkan kawan-kawanku berjuang sementara aku hanya
berpangku tangan. Aku berjanji, Dik. Sebisa mungkin aku akan kembali.“
Winastika : ”Kalau begitu, pergilah, Kak. Belalah negaramu. Tapi berjanjilah kau akan kembali,
Kak.“
Banyu : ”Dik, hanya untuk pengingat. Terimalah selendang sutera ini.“ (menyerahkan
selendang sutera berwarna putih kepada Winastika.) ”Jagalah baik-baik. Kenakan
selendang ini saat aku kembali nanti. Berjanjilah untuk setia, Dik.“
Winastika : ”Aku berjanji. Aku akan menjaganya seperti menjaga jiwaku untuk tidak lepas dari
raganya.“
(Berbulan-bulan lamanya Banyu pergi ke medan pertempuran. Winastika yang setiap hari diliputi
kekhawatiran pun semakin memuncak rasa cemasnya. Ia memang sudah benar-benar sayang
terhadap Banyu. Hingga penantian itu pun berakhir...)
Sadeli : ”Aku mendapatkan berita dari Jenderal Muda, sebagian besar tentara yang dikirim
di perbatasan telah gugur. Termasuk... Banyu.“
Winastika : (terkejut) ”Apa yang kau katakan...“ (ambruk dan mulai berurai air mata.)
Sadeli : ”Maafkan aku, Winastika. Tapi kau harus menerima kenyataan. Inilah
kenyataannya. Letnan Banyu telah gugur. Jiwanya telah terbang bersama
hembusan angin ke tempatnya yang paling tenang. Dia mati dalam keadaan mulia.
Bukankah tak ada yang lebih berharga daripada itu?“
Winastika : ”Dia lah satu-satunya yang kupunya di dunia ini. Lalu punya apa lagi aku setelah ia
pergi juga?“ (merintih, meratap.)
Lihatlah awan hitam itu... yang lama kunanti perginya… kini makin menggumpal, menutupi seluruh
langit biruku.
Dimana letak lazuardi? Dimana matahari yang cerah berseri? Katamu langitku akan ber-pelangi. Tapi
apa ini?! Bagaimana bisa pelangi terbentuk jika air terlalu banyak berjatuhan?
Katamu inilah kehidupan. Katamu alangkah baiknya jika hidup masih bisa diusahakan, kita harus
benar-benar mempertahankannya. Lalu apa ini?! Lihat! Bahkan kematian jauh lebih baik daripada
hidupku saat ini. Kau telah pergi! Kau tak tahu bagaimana rasanya!
Lihat aku! Selendang sutra darimu, hingga kini masih kujaga baik-baik dan akan kukenakan saat kau
kembali. Tapi aku tak akan pernah sempat memakainya.
Mana janjimu?! Apa kau pembohong?! Ksatria itu tak pernah berbohong, kan?!
Lalu apa jadinya aku selanjutnya?! Bayangan masa depan yang indah telah musnah. Apa yang bisa
kuharapkan dari orang lain selainmu? Maafkan, tapi hidup harus kuakhiri.
Akhir hidupku tak akan sia-sia. Aku akan menyusulmu. Aku bersumpah! Cintamu pada Negara, yang
juga membuatmu sirna, akan kuhidupkan kembali bersama sisa-sisa jiwa yang kautinggalkan. Tunggu
aku, berjanjilah kau akan bawakan jiwa yang kau bawa bersamamu disana.
(Winastika berangkat ke perbatasan. Ia berjanji akan membaktikan seluruh hidupnya untuk negara.
Hingga akhir hayatnya, hingga titik akhir tenaganya.)
Rifina Fithrotunnisa
Hari Kesaktian Pancasila, di malam gelap penuh renungan
1 Oktober 2013 21.31 WIB