Anda di halaman 1dari 12
FERTILISASI IN VITRO: DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA Ih Vitro Fertilization: from the point of View of the Civil Law Salim HS' dan Sudikno Mertokusumo” Program Studi Iimu Hukum Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada The aim of this research is to establish the legal position of a child born by the process of “in vitro fertilization’, using (a) sperm and ovum of the couple ted afterwards into wlerus of the wife, (b) donor sperm and ovum of the wife transplanted afterwards into her uterus, (c) sperm and ovum of the couple transplanted afterwards inlo the uterus of o surrogate mother, and (d) to know the position of that a child in the civil law. The conclusion of this research is that the legal position of a child born theprocess of "in vitro fertilization’, with the use of (a) sperm and ovum. ythecouple transplanted ofterwards into the ulerus of the wife, as of the legal child and they have the same positifon as ones own flesh and blood, (b) donor sperm with the husband's consent and ovum of the wife transplanted afterwards into her uterus, acknowledged as legal child, and donor sperm without the husband’s consent as illegitimate child, (c) sperm ahd ovum of the couple transplanted aflerwards into the uterus of a surrogate mother as an adopted son or daughter. According to the civil law, the legal child, acknowledged as legal child, and an adopled child have the right to obtained the inheritance from their parents, while the illegitimate child has no right to get inheritance from their parents, while the illegitimate child has no right to get inheritance from yuridical parents, but just get its basic necessities for live [ ‘ABSTRACT TT | | Key Words: in vitro fertilization -- civil law. PENGANTAR Ilmu dan teknologi di bidang kedokteran pada dua dekade terakhir mengalami perkembangan yang pesat seria memberikan dampak positif bagi umat manusia, Salah satu hasil penemuan di bidang ini, adalah dengan telah ditemukannya cara-cara baru baru dalam mereproduksi manusia atau yang Gikenal dengan fertilisasi in vitro (bayi tabung). Pada hakekatnya program fertilisasi in vitro adalah untuk membantu pasangan suami isteri yang tidak mampu melahirkan keturunan secara alami 1 Fakultas Hukum Universitas Mataram Lombok 2 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 299 300 BPPS-UGM, 4 (2A), 1991 dan ternyata teknologi ini mampu memberikan kebahagiaan bagi mereka yang telah hidup bertahun-tahun dalam ikatan perkawinan yang sah. Dan program inj semakin lama semakin disenangi oleh pasangan sumai isteri yang mandul untuk mendapatkan keturunan. Namun di balik kebahagiaan itu, ternyata teknologi ini menimbulkan persoalan di bidang hukum, oleh karena peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kedudukan yuridis anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitro sampai sekarang belum. ada. Sedangkan hukum itu bertujuan untuk melindungi kepentingan manusia agar di dalam masyarakat terdapat ketertiban, keadilan dan kepastian hukum. Hukum positif yang berlaku di Indonesia yang mengatur tentang status hukum seorang anak diatur di dalam KUH Perdata dan UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang UU Pokok Perkawinan. Di dalam kedua UU tersebut tidak ada suatu pasal atau ketentuan yang Mengatur secara tegas tentang kedudukan anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitro, baik yang menggunakan sperma suami, sperma donor maupun yang menggunakan cara surrogate mother. Dalam kedua UU tersebut hanya diatur tentang konsepsi anak sah, pengesahan anak luar kawin dan pengakuan terhadap anak luar kawin. n~ Pengertian anak sak diatur di dalam Pasal 250 KUH Perdata dan Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 250 KUH Perdata berbunyi: "Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau djtumbuhkan sepanjang perkawinan, mempesoleh si suami sebagai bapaknya". Selanjutnya dalam Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa "Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah". Kedua rumusan ini sangat sederhana, karena di dalam pasal tersebut tidak dipersoalkan tentang asai-usul sperma dan ovum yang digunakan, namun apabila anak itu dilahirkan dalam perkawinan yang sah, maka sahlah kedudukan hukum anak itu. Walaupun anak itu produk dari sperma donor maupun ovum donor. Karena sederhananya pengertian tersebut, maka perlu kiranya dibentuk dan dibuat hukum perdata Nasional yang sesuai dengan perkembangan zaman. Karena hukum perdata yang berlaku saat ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman sebagai akibat kemajuan ilmu dan teknologi, terutama teknologi yang berkaitan dengan bayi tabung. Sehingga dalam pembentukan hukum perdata nasional pada masa mendatang perlu dimasukkan tentang status hukum anak yang dilahirkan melalui proses fer- Ulisasi in vitro yang menggunakan sperma suami, sperma donor dan surrogate mother. Oleh karena peraturan hukum yang mengatur tentang status hukum anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitro belum ada, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, adalah: 1, Bagaimanakah status hukum anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitro yang menggunakan: a, Sperma dan ovum dari pasangan suami isteri kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim isteri. Salim HS dan Soedikno Mertokusumo, Fertilitas In Vitro 301 b. Spermanya berasal dari donor dan ovumnya berasal dari isteri kemudian empbrionya ditransplantasikan ke dalam rahim isteri. c, Sperma dan ovum dari pasangan suami isteri lalu embrionya ditsansplan- tasikan ke dalam rahim surrogate mother. 2. Bagaimanakah kedudukan anak tersebut dalam hukum waris perdata. CARA PENELITIAN Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis. Deskriptis, karena dari penelitian ini diharapkan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh dan sistematis tentang kedudukan anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitro beserta berbagai aspek hukumnya. Analitis, karena kemudian dilakukan analisis terhadap berbagai aspek hukum tersebut guna untuk menentukan kedudukan dan legalitas anak tersebut dalam sistem hukum perdata Indonesia, dan kemungkinan pengaturan aspek hukum tersebut pada masa mendatang. Apabila dilihat dari pendekatannya, penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yang mencakup: 1. Penelitian terhadap asas-asas hukum. Asas-asas hukum yang ditetiti adalah tentang kedudukan yuridis anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitro yang menggunakan sperma suami, sperma donor dan surrogate mother. Di samping itu, yang diteliti adalah kedudukan tersebut dalam hukum watis perdata. 2, Penelitian perbandingan hukum, oleh karena yang diteliti adalah kaidah tentang kedudukan anak yang dilahirkan melahirkan melalui proses fer- tilisasi in vitro yang menggunakan sperma suami, sperma donor dan sur- Togate mother di dalam sistem hukum Anglo Saxon kemudian diperban- dingkan dengan sistem hukum Indonesia. Data dari penelitian ini diperoleh dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Bahan/materi yang digunakan dalam penelitian kepustakaan meliputi: (a) bahan hukum primer, (b) bahan hukum sekunder dan (c) bahan hukum tersier. Subyek dalam penelitian lapangan, adalah: pasangan suami isteri yang telah berhasil dan yang belum berhasil dalam mengikuti program fertilisasi in vitro, dokter spesial kandungan dan pejabat yang berpengaruh dalam menen- tukan sahnya anak yang dilahirkan melalui proses fertiliasi in vitro. Alat analisis data dalam penelitian kepustakaan adalah studi dokumen, sedangkan data yang diperoleh dari penelitian lapangan diolah dengan menggunakan metode kualitatif. 302 BPPS-UGM, 4 (2A), 1991 HASIL DAN PEMBAHASAN, Kedudakan yuridis anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitro a, Kedudukan anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitro yang Menggunaka sperma suami. Seperti telah disebutkan di muka bahwa peraturan hukum yang meng- atur tentang status anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitro di Indonesia belum ada, sedangkan hukum positif yang mengatur tentang status hukum anak diatur dalam KUH Perdata dan UU Nomor 1 Tahun 1974, Di dalam Pasal 250 KUH Perdata diatur tentang pengertian anak sah. Anak sah adalah tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh suami sebagai bapaknya, Selanjutnya dalam Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa “Anak sah adalak anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah". Pengertian anak sah yang disebutkan di dalam kedua UU tersebut adalah bertitik tolak dari hasi] hubungan secara badani antara pasangan suami isteri dan pasangan itu terikat dalam perkawinan yang sah. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan intervensi teknologi belum terpikirkan oleh pemben- tuk UU pada saat itu, Dan wajarlah dalam Pasal 4 ayat (2c) UU Nomor 1 tahun 1974 diatur tentang kewenangan pengadilan untuk memberikan izin kepada suami untuk beristeri lebih dari satu apabila isterinya tidak dapat melahirkan keturunan. Tetapi dengan adanya teknologi bayi tabung, maka syarat yang tercan- tum dalam Pasal 4 ayas (2c) UU Nomor 1 Tahun 1974 perlu diadakan penyempurnaan, oleh karena setiap suami yang ingin mengadakan perceraian dengan alasan isterinya tidak dapat mefahirkan ketucunan, maka ia bisa disarankan oleh hakim, alim ulama maupun BP4 untuk mengikuti fertilisasi in vitro yang menggunakan sperma suami. Karena dengan cara ini isteri yang mandul dapat memperoieh keturunan. Apabifa cara ini tidak berhasil, maka barujah hakim memperkenankan mereka untuk mengadakan perceraian. Sehingga Pasal 4 ayat (2c) UU Nomor 1 Tahun 1974 disempurnakan menjadi “Isteri tidak dapat melahirkan keturunan secara alami atav melalui proses fertilisasi in vitro". Apabila upaya yang dilakukan oleh pasangan suami isteri yang meng- ikuti program fertilisasi in vitro yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim isteri memperoleh anak, apakah anak tersebut dikualifikasi sebagai anak sah atau tidak? Apabila ditinjau dari sperma dan ovum yang digunakan Serta tempat embrionya ditransplantasikan, maka nampaklah bahwa: 1, Anak itu secara biologis adalah anak dari pasangan suami isteri; 2. Yang melahirkan adalah isteri yang sah dari suami; 3, Orang tua anak itu terikat dalam perkawinan yang sah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitro yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan Salim HS dan Soedikno Mertokusumo, Fertilitas In Vitro 303 suami isteri kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim isteri secara hukum dapat dikatakan sebagai anak sah dan ia menggantikan kedudukan anak kandung. Dan semua responden menyebutkan bahwa anak jenis ini sebagai anak sah (anak kandung), oleh karena menurut moral, agama dan hukum dibenarkan. b. Kedudukan anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitro yang menggunakan sperma donor. Fertilisasi in vitro semula dianjurkan sebagai pengobatan untuk keman- dulan yang tubanya tersumbar dan hanya menyangkut pasangan suami isteri yang sah (stabil) Edouard Bone, 1988;50). Namun cara ini juga dapat mem- bantu pasangan suami isteri yang kemandulannya disebabkan karena sel mani dari suami yang hidup dalam air mani sangat kurang (azzoospermia), yaitu dengan menggunakan sperma donor. Apabila cara ini ditempuh oleh pasangan suami isteri yang mandul, maka cata ini menimbulkan persoalan di bidang hukum, oleh karena anak itu mempunyai 2 macam ayah, yaitu ayah yuridis dan ayah biologis. Dengan demikian, apakah seorang anak yang dilahirkan melatui proses fertilisasi in vitro yang menggunakan sperma yang berasal dari donor dan ovumnya berasal dari isteri dapat dikualifikasi sebagai anak sah atau anak zina? Pertanyaan ini akan menimbulkan 2 macam jawaban, yaitu pertama bahwa anak itu sebagai anak sah melalui pengakuan, dan kedua bahwa anak itu sebagai anak zina. Alasan yang dapat dikemukakan bahwa anak itu sebagai anak sah melalui pengakuan, adalah bahwa sebelum penggunaan sperma donor yang berbentuk pre-embrio itu seorang isteri harus mendapat izin dari suaminya. Karena tanpa izin suaminya itu, maka ia dapat menyangkal tentang keabsahan anak yang dilahirkan oleh isteri. Dan ia dapat menuduh isterinya telah melakukan perzinahan, Dengan demikian izin suami dalam penggunaan sper- ma donor mempunyai makna yang sangat penting dalam menentukansah atau tidaknya anak yang dilahirkan oleh isterinya. Masalah anak sah diatur di dalam Pasal 250 KUH Perdata dan Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974, Apabila kita menerapkan kedua pasal ini dalam menentukan status hukum anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitro yang menggunakan sperma donor, maka jelaslah bahwa anak itu difahirkan oleh isteri dalam jkatan perkawinan yang sah. Tetapi penulis tidak menyetujui Penerapan kedua pasal itu di dalam menentukan kedudukan hukum anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitro yang menggunakan sperma donor, akan tetapi penulis lebih menyetujui penerapan Pasal 285 KUH Perdata, oleh karena anak itu dibenihkan oleh orang lain lalu diakui oleh pasangan suami isteri. Pasal 285 KUH Perdata berbunyi: "Pengakuan yang dilakukan sepan- jang perkawinan oleh syami atau isteri atas kebahagiaan anak luar kawin, yang sebelumnya kawin diperbuahkan dengan seorang lain daripada isteri atau suami itu, maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka". 304 BPPS-UGM, 4 (2A), 1991 Pasal ini menentukan bahwa anak yang diakui oleh pasangan suami isteri adalah seorang anak yang sebelum mereka kawin difertilisasi oleh orang Jain. Dengan menggunakan argumentum a contrario, maka ketentuan yang tercantum dalam Pasal 285 KUH Perdata dapat diterapkan.terhadap anak yanig dilahirkan melaui proses FIV yang menggunakan sperma donor. Kajau dalam Pasal 285 KUH Perdata ditentukan bahwa anak yang diakui oleh pasangan suami isteri adalah anak yang diperbuahkan oleh orang lain sebelam mereka kawin, maka dalam pelaksanaan FIV yang menggunakan sperma donor isteri menerima sperma donor setelah pasangan suami isteri itu kawin. Dan sebelum penggunaan sperma donor itu isteri mendapat izin dari suaminya. Menurut ketentuan salah satu pasal yang tercantum dalam UU yang berlaku di Australia pada tahun 1984 ditentukan bahwa: "Suamiseorang isteri yang melahirkan anak yang kehamilannya terjadi karena sel sperma donor adalah ayah dari anak itu, karena pemakaian sperma donor itu atas izinnya (dalam Sudradji Sumapraja, 1989:15). Sedangkan menurut Rekomendasj Dewan Penasehat Etik Amerika Serikat disebutkan bahwa: "Dewan mengakui penggunaan teknik fertilisasi in vitro, asal ada persetujuan dari pasangan suami isteri (John C. Fletcher, 1981:538). Dari ketentuan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa kedudukan anak yang dilahirkan melalui proses FIV yang menggunakan sperma donor sebagai anak sah dari pasangan suami isteri, asal penggunaan sperma donor itu mendapat persetujuan atau izin dari suaminya. Pemberian kebebasan ini tidak terlepas dari berpikir yang meng- utamakan kebebasan individu. Kebebasan itu meliputi bidang agama, ber- bicara, pers dan terkumpul serta kebebasan individu dalam masalah-masaiah seks dan akhlak. Kebebasan itu dipengaruhi oleh dua hal, yaitu: Pertama, pengaruh yang timbul karena menurunnya sikap keagamaan masyarakat, sebagai penggantinya adalah pandangan yang bersifat sekuler. ‘Kedua, adanya pengaruh kebebasan yang terkandung dalam Konstitusi, perundang-undangan serta Keputusan Pengadilan. Bertitik tolak dari beberapa hal di atas, maka dapatiah dikemukakan bahwa kedudukan yuridis anak yang dilahirkan rselalui peroses FIV yang menggunakan sperma donor dengan adanya izin Gari suami, maka anak itu sebagai anak dan melalui pengakuan. Tetapi baj ana halnya, dengan penggunaan sperma donor tanpa adanya izin dari suami? Apabila penggunaan sperma donor tidak mendapat izin dari suaminya, maka anak itu sebagai anak zina karena suami dapat menyangkal tentang keabsahan anak yang dilahirkan oleh isterinya. ‘Didaiam Pasal 44 UU Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa: Salim HS dan Soedikno Mertokusumo, Fertilitas In Vitro 305 1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu sebagai akibat dari perzinahan. 2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak yang dilahirkan atas permintaan pihak yang berkepentingan. Apabila suami dapat membuktikan bahwa anak yang dilahirkan oleh isterinya adalah produk dari zina, maka anak yang dilahirkan oleh isterinya itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarganya. Namur didalam praktek pengadilan untuk membuktikan bahwa seorang anak yang dilahirkan sebagai akibat perzinahan adalah sangat sukar dan sulit, oleh karena di dalam pembuktiannya memerlukan pemeriksaan yang seksama. Tidak saja pembuktikan dengan beberapa saksi, tetapi juga memerlukan pemeriksaan darah dari pasangan suami isteri dan anaknya. c. Kedudukan anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitro yang menggunakan cara surrogate mother. Pergoalan lain yang muncul berkaitan dengan fertilisasi in vitro, adalah - fenomena ibu pengganti (surrogate mother) atau disebut dengan rahim sewaan di mana sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang difertilisasi dalam tabung lalu dimasukkan ke dalam rahim orang Jain dan bukan ke dalam rahim isteri. Munculnya ide surrogate mother ini, disebabkan karena isteri tidak dapat mengandung karena kelainan/kerusakan pada rahimnya atau isterisejak kecil punya rahim atau bahkan isteri tidak mau bersusah payah untuk me- ngandung karena ingin mempertahankan tubuh yang atletis. Fertilisasi in vitro yang menggunakan cara surrogate mother apabila ditinjau dari segi teknologis dan ekonomis tidak menimbulkan masalah, tetapi bagaimana dengan persoaian hukum. Hukum positif yang mengatur tentang surrogate mother secara khusus di Indonesia belum ada, namun apabila kita menggunakan cara berpikir argumentum a contrario, maka kita dapat menerapkan Pasal 1548, 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata. Pasal 1548 KUH Perdata berbunyi: Sewa menyewa ialah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya kepada pihak yang lainnya kenikmatan suatu barang, selama waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga, dan pihak yang tersebut belakangan disanggupi pembayarannya. Berdasarkan bunyi Pasal 1548 di atas, maka yang dijadikan objek dalam sewa menyewa, adalah barang yang dapat memberikan kenikmatan bagi para pihak selama waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga. Tetapi kini muncul suatu pertanyaan, apakah rahim seorang wanita dapat dianggap sebagai barang atau tidak? Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata telah diatur tentang syarat-syarat sahnya perjanjian. Bila syarat-syarat pertama dan kedua (subjektif) tidak dipenuhi, maka perjanjiannya dapat dimintakan pembatalannya kepada pengadilan (vertietig- 306 BPPS-UGM, 4 (2A), 1991 baar), sedangkan kalau syarat ketiga dan keempat tidak dipenuhi maka per- janjiannya batal demi hukur (null abd void). Apabila syarat pertama dan kedua diterapkan dalam perjanjian sewa menyewa rahim maka perjanjian itu dapat terpenuhi, karena di sini orang- orang yang terlibat yaitu orang tua yang menitipkan embrio dan ibu pengganti adalah orang-orang yang cakap melakukan perbuatan hukum, sedangkan masalah syarat ketiga dan keempat dalam Pasal 1320 KUH Perdata dapat diterapkan dalam perjanjian sewa menyewa rahim karena rahim dapat dijadikan obyek dalam perjanjian dan sebab yang halal juga dapat diterapkan dalam perjanjian tersebut, walaupun kasus ini belum muncui di Indonesia. Tetapi pada akhirnya kasus semacam ini akan labir dan tumbuh di Indonesia, seperti halnya apa yang terjadi di Ingeris dan Amerika Serikat. Hal ini disebab- kan perkembangan ilmu dan teknologi tidak mengenal batas wilayah. ‘Walaupun persoalan sewa menyewa rahim pada waktu KUH perdata dibuat belum ada, tetapi UU sendiri memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan isi perjanjian, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya”. Oleh karena itu perjanjian sewa menyewa rahim secara hukum dapat dikatakan sah, karena telah memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam UU. Selain penulis berpatokan kepada ketentuan hukum positif Indonesia dalam menentukan sahnya perjanjian sewa menyewa rahim, maka penulis juga bertitik tolak kepada Keputusan Pengadilan Amerika Serikat, yaitu Superior Court of New Jersey, tertanggal 31 Maret yang menetapkan bahwa perjanjian “ibu titipan” antara Tn Stern dan Ny Marry Whitehead adalah sah dan meng- ikat kedua belah pihak, karena perjanjian itu dibuat secara bebas menurut ‘kehendak kedua belah pihak. Dan kasus ini terkenal dengan kasus Bayi M yang terjadi pada tahun 1987 (Purwoto S. Gandasubrata, 1989:6). ‘Walaupun ada keputusan pengadilan yang melegitimir tentang sahnya perjanjian sewa menyewa rahim, namun komisi Warnock di Ingeris tidak menyetujui perjanjian sewa menyewa rahim. Rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komisi Warnock kepada Pemerin- tah Inggris, adalah sebagai berikut: "Sewa menyewa rahim tidak sah, karena bagaimanapun harus diper- hatikan tentang perlindungan tbu pengganti dan orang tua genetis dari eksploitas] dan menghindarkan akibat-akibat yang tidak manusiawi terhadap komersialisasi kehamilan pengganti, dan selanjutnya komisi meminta kepada Pemerintah Inggris untuk: 1, Melarang agent yang merekrut atau mengatur wanita untuk menjadi ibu pengganti; 2. Pembuat sustu kegiatan yang mengorganisir kegiatan serupa dapat dihukum sebagai suatu kejahatan; 3, Kepada pelaksana UU diminta untuk membatalkan setiap perjanjian yang dibuat dengen ibu pengganti di Pengadilan (John C. Fletcher, 1951 1538). Salim HS dan Soedikno Mertokusuma, Fertilitas In Vitro 307 Rekomentasi komisi Warnock ini senada dengan ketentuan Surrogate Asrangement Act yang melarang "bayi titipan" dengan pembayaran, tetapi apabila pihak yang menyewakan rahim dapat membuktikan bahwa pem- bayaran itu bukanlah untuk pembayaran penyewaan rahim, tetapi untuk biaya membuat catatan harian tentang perkembangan bayi yang dikandungnya, maka hal itu tidak dilarang. Menurut Prof. Leenen bahwa perjanjian antara ibu pengganti dengan orang tua genetis adalah batal demi hukum, karena satu syarat untuk men- jadikan perjanjian tersebut sah adalah "syarat yang halal" dan syarat ini tidak dipenuhi sehingga tidak mungkin seorang ibu menyerahkan seorang bayi yang ia lahirkan kepada pihak Jain, berdasarkan suatu perjanjian (baringscontract) (Fred Amein, 1988:8). Prof. Leenen melihat perjanjian antara surrogate mother dengan orang tua genetis adalah dari segi hukum perdata terutama pasal 1320 KUH perdata dan ia menyimpulkan bahwa perjanjian tersebut adalah batal demi hukum, karena syarat keempat tidak terpenuhi, yaitu sebab yang halal. Tetapi anehnya Prof. Leenen tidak melihat kepada pasal-pasal yang Iain, terutama pasal 1338 KUH Perdata, yang memberikan kebebasan kepada individu untuk membuat atau tidak membuat perjanjian. Dan pasal inilah yang merupakan inti dari hukum perjanjian. Supaya perjanjian antara surrogate mother dengan orang tua genetis mempunyai kekuatan mengikat, maka sebaiknya dibuatkan perjanjian secara tertulis dan bila perlu dibuatkan di Notaris. Adapun persyaratan yang harus dimuat dalam perjanjian antara ibu pengganti dengan orang tua pemesan, adalah misalnya mengenai imbalan jasa, bagaimanakah status anak-anaknya nanti, bagaimana kalau ibu pengganti itu hidupnya kurang berhati-hati schingga menyebabkan anak yang dikan- dungnya meninggal dunia. Di samping hak-haknya, antara [ain atas balas jasa dan pelayanan kesehatan yang baik, ibu pengganti mempunyai kewajiban, yaitu agar anak yang dikandungnya lahir sehat dan menyerahkan kepadasuami isteri yang menitipkan embrio (Sudikno Mertokusumo, 1990:4). Apabila diperhatikan isi perjanjian dan persyaratan-persyaratan di atas, maka nampaknya bahwa ibu pengganti harus menyerahkan kepada kepada suami isteri yang menitipkan embrio kepadanya dan membantu dalam proses penyclesaian prosedur-prosedur hukum yang berkaitan dengan status hukum yang diinginkannya. Kalau demikian halnya, maka dapat dikatakan bahwa kedudukan hukum anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitro yang menggunakan cara surrogate mother sebagai anak angkat dan ia menggan- tikan kedudukan anak kandung. Oleh karena anak itu secara yuridis anak ibu pengganti dengan suaminya, sedangkan secara genetis anak ibu pemesan. Kedudukan anak yang dilahirkan metatui proses fertilisasi in vitro dalam Hukum Waris Perdata Didalam hukum waris perdata tidak ada suatu ketentuan yang mengatur secara khusus tentang warisan anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitro, tetapi yang ada hanya mengatur tentang warisan anak yang dilahirkan secara alamiah, seperti warisan anak yang dilahirkan secara alamiah, seperti 308 BPPS-UGM, 4 (2A), 1991 warisan anak yang dilahirkan secara alamiah, seperti warisan anak-anak sah, anak luar kawin yang diakui dan Jain-lain. Namun tidak berarti bahwa keten- tuan tersebut tidak dapat diterapkan terhadap anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitto. Caranya yaitu dengan mengaitkan kedudukan yuridis mempunyai pengaruh dalam menentukan berhak atau tidaknya seorang anak terhadap warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya (pewaris). Di dalam hukum waris perdata ditentukan bahwa suatu warisan baru dikatakan terbuka apabila pewaris meninggal dunia. Sedangkan orang yang berhak untuk mendapatkan/menikmati warisan, adalah keturunan atau anak- anaknya serta janda atau duda. Berikut ini dikemukakan tentang kedudukan anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitro yang menggunakan sperma suami, sperma donor dan surrogate mother dalam hukum waris perdata. a. Kedudukan anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitro yang menggunakan sperma suami dalam hukum waris Kedudukan yuridis anak yang dilahirkan melalui proses fertilisast in vitro yang menggunakan sperma suami dapat dikatakan sebagai anak sah, dan ia menggantikan kedudukan anak kandung. Dan ia atas pemeliharaan, pen- didikan dan warisan dari orang tuanya. ‘b. Kedudukan anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitro yang menggunakan sperma donor dalam hukum waris Kedudukan yuridis anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitro yang menggunakan sperma donor, dapat dikualifikasi menjadi 2 macam jenis anak, yaitu: (1) bahwa anak itu sebagai anak sah melalui pengakuan apabila penggunaan sperma donor itu mendapat izin dari suaminya, dan (2) bahwa anak itu sebagai anak zina apabila penggunaan sperma donor itu tidak mendapat izin dari suaminya. Anak sah melalui pengakuan dengan sendirinya berhak untuk men- dapatkan warisan dari orang tua yang mengakuinya, sedangkan anak zina tidak berhak untuk mendapatkan warisan dari orang tuanya, tetapi ia hanya berhak untuk mendapatkan nafkah seperlunya, Naskah itu diatur selaras dengan kemampuan orang tuanya. ¢. Kedudukan anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitro yang menggunakan cara surrogate mother dalam hukum waris Kedudukan yuridis anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitro yang menggunakan. sperma dan ovum dari pasangan suami isteri kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim surrogate mother adalah sebagai anak angkat, dan anak angkat menggantikan kedudukan anak kandung. Maka dengan senditinya anak itu berhak untuk mewaris dari orang tua yahg mengangkatnya. Salim HS dan Soedikna Mertokusumo, Fertilitas In Vitro $09 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari beberapa uraian di atas, maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: : a. Bahwa kedudukan yuridis anak yang dilahirkan melalui proses fertilisasi in vitro yang menggunakan: (1) Sperma dan ovum dari pasangan suami isteri kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim isteri adalah sebagai anak sah dan ia menggantikan kedudukan anak kandung. (2) Sperma berasal dari donor dan penggunaan sperma donor itu men- dapat izin dari suaminya, ovumnya dari isteri kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim isteri adalah sebagai anak sah melalui pengakuan. Sedangkan sperma donor yang digunakan tanpa ada izin dari suaminya adalah sebagai anak zina, karena suami dapat menyangkal tentang keabsahan anak yang dilahirkan oleh isterinya. (3) Sperma dan ovum dari pasangan suami isteri kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim surrogate mother adalah sebagai anak angkat, dan ja dapat disamakan dengan anak kandung. b, Menurut hukum waris perdata bahwa anak sah (anak kandung) anak sah melalui pengakuan dan anak angkat berhak untuk mewaris dari orang tuanya, sedangkan anak zina tidak berhak untuk mewaris, tetapi ia hanya berhak atas nafkah seperlunya. a. Pengertian anak sah yang tercantum dalam Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 250 KUH Perdata sangat sederhana, karena tidak menjelas- kan tentang asal usul sperma dan ovum yang digunakan. Apabila anak itu lahir dari pasangan suami isteri yang sah, maka sahlah kedudukan hukum anaknya, walaupun anak itu produk dari sperma donor atau ovum donor. Dan penulis menyarankan bahwa yang dikatakan anak sah adalah seorang anak yang dilahirkan dari hasil hubungan secara alami antata pasangan. Suamti isteri atau melalui proses fertilisasi in vitro di mana sperma dan ‘erasal dari pasangan suami isteri yang sah, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim isteri. b. Bahwa dalam rangka pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang baru, maka penulis menghimbau kepada pembantuk Undang-Undang supaya diadakan pengaturan tentang kedudukan yuridis anak yang dilahitkan melalui proses fertilisasi in vitro. 310 . BPPS-UGM, 4 (2A), 1991 DAFTAR PUSTAKA Amen, Fred, 1988, Aspek Etis-Yuridis Bayi Tabung dan Bentuk- Benak Lain dari Prokreasi, makalah pada pertemuan Ilmiah PERHUKI, 28 Nopember 1988, Jakarta. Bone, Edouard, 1988, Bioteknologi dan Bioetika, Kanisius, Jakarta. Fletcher, John C.,1981, Reproductive Technology, James . Childress and John Macquarriie (E4.), A New Dictionary of Christian Ethics, Fress. Gandasubrata, Purwoio, S., 1989, Perkembangan Teknologi Reproduksi Bara dan Imaplikasi ‘Hukumnya, 20. Mertokusumo, Sudikno, 1990, Bayi Tabung Ditinjaw dari Segi Huan, Seminar Bayi Tabung, FK-UGM, 25 Maret 1990, Yogyakarta. Sumadipradja, Suradji, 1989, Perkembangan Teknologi Reproduksi, 1SW/, 20 September 1989, Jakarta,

Anda mungkin juga menyukai

  • AYU Botani
    AYU Botani
    Dokumen20 halaman
    AYU Botani
    Febriani Ayu Lestari
    Belum ada peringkat
  • Tugas Mikrobiologi Farmasi
    Tugas Mikrobiologi Farmasi
    Dokumen13 halaman
    Tugas Mikrobiologi Farmasi
    Febriani Ayu Lestari
    Belum ada peringkat
  • Anfisman
    Anfisman
    Dokumen7 halaman
    Anfisman
    Febriani Ayu Lestari
    Belum ada peringkat
  • LKMM
    LKMM
    Dokumen8 halaman
    LKMM
    Febriani Ayu Lestari
    Belum ada peringkat
  • PK Asam Cuka
    PK Asam Cuka
    Dokumen2 halaman
    PK Asam Cuka
    Febriani Ayu Lestari
    Belum ada peringkat
  • LKMM
    LKMM
    Dokumen8 halaman
    LKMM
    Febriani Ayu Lestari
    Belum ada peringkat
  • Responsi Anfisman
    Responsi Anfisman
    Dokumen5 halaman
    Responsi Anfisman
    Febriani Ayu Lestari
    Belum ada peringkat
  • Review Jurnal PPT Mikdas Ayu
    Review Jurnal PPT Mikdas Ayu
    Dokumen12 halaman
    Review Jurnal PPT Mikdas Ayu
    Febriani Ayu Lestari
    Belum ada peringkat
  • Translate Tugas
    Translate Tugas
    Dokumen8 halaman
    Translate Tugas
    Febriani Ayu Lestari
    Belum ada peringkat