Kasus 1 - Fraktur
Kasus 1 - Fraktur
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang.
Jika terjadi fraktur, maka jaringan lunak disekitarnya juga sering kali terganggu.
Radiografi (sinar-x) dapat menunjukkan keberadaan cedera tulang, tetapi tidak
mampu menunjukkan otot atau ligamen yang robek, saraf yang putus, atau
pembuluh darah yang pecah yang dapat menjadi komplikasi pemulihan klien.
Untuk menentukan perawatan yang sesuai, seorang perawat akan memulai dengan
deskripsi cedera yang ringkas dan tepat.
a. Complete fractures
Tulang terbagi menjadi dua atau lebih fragmen. Patahan fraktur yang dilihat
secara radiologi dapat membantu untuk memprediksi tindakan yang harus
dilakukan setelah melakukan reduksi. Pada fraktur transversal (gambar 1a),
fragmen tetap pada tempatnya setelah reduksi, sedangkan pada oblik atau
spiral (gambar 1c) lebih cenderung memendek dan terjadi pergeseran
meskipun tulang telah dibidai. Fraktur segmental (gambar 1b) membagi tulang
menjadi 3 bagian. Pada fraktur impaksi fragmen menumpuk saling tumpang
tindih dan garis fraktur tidak jelas. Pada raktur kominutif terdapat lebih dari
dua fragmen, karena kurang menyatunya permukaan fraktur yang membuat
tidak stabil (Solomon et al., 2010). 8
b. Incomplete fractures
Pada fraktur ini, tulang tidak terbagi seutuhnya dan terdapat kontinuitas
periosteum. Pada fraktur buckle, bagian yang mengalami fraktur hampir tidak
terlihat (gambar 1d). Pada fraktur greenstick (gambar 1e dan 1f), tulang
melengkung atau bengkok seperti ranting yang retak. Hal ini dapat terlihat
pada anak‒anak, yang tulangnya lebih elastis daripada orang dewasa. Pada
fraktur kompresi terlihat tulang spongiosa tertekan kedalam
Jenis Fraktur
1. Fraktur komplit : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
mengalami pergeseran.
2. Fraktur tidak komplit: patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang
3. Fraktur tertutup ; tidak menyebabkan robeknya kulit
4. Fraktur terbuka ; dg luka pada kulit atau membrane mukosa sampai ke patahan
tulang
5. Green stick fraktur; salah satu sisi tulang patah sedangkan sisilain
membengkak
6. Fraktur transversal ; sepanjang garis tengah tulang
7. Fraktur komunitif ; dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
8. Depresi ; fraktur patahan terdorong kedalam
9. Kompresi ; dimana tulang mengalami kompresi terjadi pada tulang belakang
10. Pathologic ; fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligament atau tendon
pada daerah perlekatannya
B. Etiologii dan Faktor Resiko
1. Etiologi
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian besar disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan
yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran atau
penarikan.
Terkena kekuatan langsung
Fraktur dapat terjadi karena gaya secara langsung, seperti saat sebuah
benda bergerak menghantam suatu area tubuh di atas tulang.
Tulang dapat patah dan dapat mengenai jaringan lunak. Karena
pemukulan (pukulan sementara) biasanya menyebabkan fraktur
melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran
kemungkinan dapat menyebabkan fraktur kominutif disertai kerusakan
jaringan lunak yang luas.
Terkena kekuatan tak langsung
Fraktur dapat terjadi karena gaya secara tidak langsung, seperti ketika
suatu kontraksi kuat dari otot menekan tulang.
Tulang mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang
terkena kekuatan itu. Kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur
mungkin tidak ada.
b. Fraktur kelelahan atau tekanan
Tekanan dan kelelehan dapat menyebabkan fraktur karena penurunan
kemampuan tulang menahan gaya mekanikal.
Retak dapat terjadi pada tulang, seperti pada logam dan benda lain akibat
tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia
dan fibula atau metatarsal, terutama pada atlet, penari dan calon tentara
yang jalan berbaris dengan jarak jauh.
c. Fraktur patalogik
Fraktur dapat terjadi oleh kekuatan tulang yang berkurang atau rapuh oleh
karena adanya proses patologis. Proses patologis tersebut antara lain
adanya tumor, infeksi atau osteoporosis pada tulang.
2. Faktor Resiko
a. Usia
Ketika anda beranjak tua, tulang menjadi lebih rapuh dan umumnya lebih
mungkin untuk istirahat, apa pun kepadatan tulang Anda yang diukur pada
scan. Hal ini sebagian karena umumnya berkurang kekuatan tulang tetapi
juga hasil dari peningkatan risiko jatuh seiring bertambahnya usia.
Pada kelompok umur muda lebih banyak melakukan aktivitas yang berat
daripada kelompok umur tua. Aktivitas yang banyak akan cenderung
mengalami kelelahan tulang dan jika ada trauma benturan atau kekerasan
tulang bisa saja patah. Aktivitas masyarakat umur muda di luar rumah
cukup tinggi dengan pergerakan yang cepat pula dapat meningkatkan risiko
terjadinya benturan atau kecelakaan yang menyebabkan fraktur.
Berdasarkan penelitian Nazar Moesbar tahun 2007 di Rumah Sakit Haji
Adam Malik Medan terdapat sebanyak 864 kasus patah tulang, di
antaranya banyak penderita kelompok umur muda. Penderita patah tulang
pada kelompok umur 11 – 20 tahun sebanyak 14% dan pada kelompok
umur 21 – 30 tahun sebanyak 38% orang.
b. Jenis Kelamin
Osteoporosis dan patah tulang lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan pria. Wanita cenderung hidup lebih lama, yang membuat
patah tulang lebih mungkin, tetapi dalam setiap kelompok usia risiko patah
tulang lebih tinggi. Pria memiliki tulang yang lebih besar, dan ukuran
tulang itu sendiri tampaknya untuk melindungi terhadap fraktur. Selain itu,
pada sekitar usia 50, wanita mengalami menopause, di mana titik indung
telur mereka hampir berhenti memproduksi hormon seks estrogen, yang
membantu untuk menjaga tulang yang kuat.
Laki – laki pada umumnya lebih banyak mengalami kecelakaan yang
menyebabkan fraktur yakni 3 kali lebih besar daripada perempuan.18 Pada
umumnya Laki – laki lebih aktif dan lebih banyak melakukan aktivitas
daripada perempuan. Misalnya aktivitas di luar rumah untuk bekerja
sehingga mempunyai risiko lebih tinggi mengalami cedera. Cedera patah
tulang umumnya lebih banyak terjadi karena kecelakaan lalu lintas.
Tingginya kasus patah tulang akibat kecelakaan lalulintas pada laki – laki
dikarenakan laki – laki mempunyai perilaku mengemudi dengan kecepatan
yang tinggi sehingga menyebabkan kecelakaan yang lebih fatal
dibandingkan perempuan. Berdasarkan penelitian Juita, pada tahun 2002 di
Rumah Sakit St. Elisabeth Medan terdapat kasus fraktur sebanyak 169
kasus dimana jumlah penderita laki –laki sebanyak 68% dan perempuan
sebanyak 32%.
c. Gen
Gen kita menentukan risiko kami osteoporosis untuk sebagian besar
meskipun tidak ada tes genetik sederhana untuk osteoporosis. Penelitian
telah menunjukkan bahwa jika salah satu orangtua Anda memiliki patah
pinggul Anda lebih mungkin untuk memiliki kerapuhan sebuah fraktur
sendiri.
d. Ras
Orang Afro-Karibia berada pada risiko yang lebih rendah dari osteoporosis
dan patah tulang daripada Kaukasia atau asal Asia karena tulang mereka
lebih besar dan kuat.
e. Gaya Hidup
1. Merokok
Merokok adalah faktor risiko patah tulang karena pengaruhnya
terhadap kadar hormon. Perokok cenderung memiliki berat badan lebih
rendah dan wanita yang merokok memiliki menopause lebih awal,
yang meningkatkan risiko osteoporosis. Namun, merokok tampaknya
memiliki efek langsung pada sel-sel pembentuk tulang juga.
2. Minum Alkohol
Alkohol tampaknya mempengaruhi sel-sel yang membangun dan
memecah tulang, dan bahkan jumlah kecil dapat menyebabkan
kegoyangan dan meningkatkan kesempatan Anda akan jatuh. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa pria dengan asupan alkohol yang
berlebihan juga telah memiliki diet yang kurang bergizi, yang mungkin
telah membuat osteoporosis lebih mungkin.
3. Aktifitas Yang Beresiko
Aktivitas yang berat dengan gerakan yang cepat pula dapat menjadi
risiko penyebab cedera pada otot dan tulang. Daya tekan pada saat
berolah raga seperti hentakan, loncatan atau benturan dapat
menyebabkan cedera dan jika hentakan atau benturan yang timbul
cukup besar maka dapat mengarah pada fraktur. Setiap tulang yang
mendapat tekanan terus menerus di luar kapasitasnya dapat mengalami
keretakan tulang. Kebanyakan terjadi pada kaki, misalnya pada pemain
sepak bola yang sering mengalami benturan kaki antar pemain.
Kelemahan struktur tulang juga sering terjadi pada atlet ski, jogging,
pelari, pendaki gunung ataupun olahraga lain yang dilakukan dengan
kecepatan yang berisiko terjadinya benturan yang dapat menyebabkan
patah tulang.
4. Penyakit
Beberapa kondisi medis yang berhubungan dengan peningkatan risiko
osteoporosis dan / atau fraktur.
1. Rheumatiod Arthritis. Pada penyakit autoimun yang melemahkan
ini - yang menyerang wanita dua sampai tiga kali lebih banyak
daripada pria - tubuh menyerang sel-sel dan jaringan sehat di
sekitar sendi, yang mengakibatkan kehilangan tulang dan sendi
yang parah.
2. Kondisi dimana ada ketidakseimbangan hormon
Rendahnya tingkat hormon seks estrogen pada wanita akibat
menopause dini atau memiliki histerektomi dengan
pengangkatan indung telur (sebelum 45), anoreksia nervosa
atau sindrom Turner; olahraga berlebihan juga bisa mengurangi
kadar hormon. Dalam percobaan binatang, defisiensi estrogen
akan menyebabkan terjadinya osteoklastogenesis yang
meningkat dan berlanjut dengan kehilangan tulang. Estrogen
adalah hormon wanita yang berperan dalam menjaga
kelangsungan pertumbuhan dan kepadatan tulang saat usia
pertumbuhan. Estrogen bekerja dengan menghalangi produksi
sel-sel yang dapat menghancurkan tulang (osteoclast).
Rendahnya tingkat hormon testosteron seks pada pria dapat
terjadi karena sejumlah alasan termasuk setelah operasi untuk
beberapa jenis kanker; beberapa kondisi langka yang laki-laki
dilahirkan dengan, seperti sindrom Klinefelter atau sindrom
Kallman, kadar testosteron juga rendah. Testosteron juga
berfungsi untuk percepatan pertumbuhan tulang. Defisiensi
testosteron juga menyebabkan tulang keropos. Awalnya bisa
berupa osteopenia, dimana kepadatan mineral tulang yang lebih
rendah dari normal, yang bisa berkembang jadi osteoporosis.
Hipertiroidisme, di mana kadar hormon tiroid yang abnormal
tinggi. Pada hipertiroidisme, fase resorbsi dan formasi
dipersingkat. Kedalamam resorbsi normal, namun completed
wall thickness pada akhir tiap siklus memendek, memicu
hilangnya ketebalan tulang pada tiap siklus. Pada pasien
dengan hipertiroid terjadi peningkatan asupan kalsium namun
absorbsi berkurang serta meningkatnya kehilangan kalsium
melalui feses dan kulit sehingga memicu keseimbangan yang
negatif.
Penyakit paratiroid, di mana tingkat hormon paratiroid yang
abnormal tinggi. Hormon paratiroid (PTH) menstimulasi
osteoklas untuk melepaskan kalsium dan fosfat dari tulang
sehingga meningkatkan resorbsi tulang.
3. Kondisi yang mempengaruhi penyerapan makanan, seperti Crohn
atau penyakit celiac
4. Kondisi yang menyebabkan periode panjang imobilitas, seperti
stroke.
5. Kondisi lain dapat berhubungan dengan osteoporosis, seperti
diabetes, HIV (AIDS), penyakit hati, cystic fibrosis, demensia dan
penyakit Parkinson. penerima transplantasi organ dan orang-orang
dengan beberapa penyakit pernapasan juga mungkin berisiko lebih,
meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami
mengapa.
f. Penggunaan obat-obatan
Beberapa obat meningkatan risiko osteoporosis dan / atau patah tulang.
1. Steroid (kortikosteroid) sering diresepkan untuk mengobati kondisi
peradangan kronis, seperti rheumatoid arthritis, penyakit radang
usus dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).Sayangnya,
kebutuhan untuk menggunakannya pada dosis yang meningkat
sering dapat menyebabkan keropos tulang dan patah tulang. Efek
samping yang tidak diinginkan ini tergantung pada dosis dan
berhubungan langsung dengan kemampuan steroid untuk
menghambat pembentukan tulang, mengurangi penyerapan kalsium
dalam saluran pencernaan, dan meningkatkan hilangnya kalsium
melalui urin. Bahkan, keropos tulang terjadi lebih cepat dengan
penggunaan steroid.
C. Patofisiologi
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur.
Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin
hanya retak saja dan bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem, seperti tabrakan
mobil, maka tulang dapat peah berkeping-keping.
Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu.
Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi.
Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang kuat dan bahkan dapat
menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun bagian proksimal dari tulang
patah tetap pada tempatnya, namun bagian distal dapat bergeser karena penyebab
patah maupun spasme pada otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke
samping, pada suatu sudut (membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain.
Fragmen juga dapat berotasi atau berpindah.
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari
tulang yang patah juga terganggu. Sering terjadi cedera lunak. Perdarahan terjadi
karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran
sumsum (medulla), hematoma terjadi di antara fragmen-fragmen tulang dan di
bawah periosteum. Jaringan tulang di sekitar lokasi fraktur akan mati dan
menciptakan respons peradangan yang hebat. Akan terjadi vasodilatasi, edema,
nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan leukosit, serta infiltrasi sel darah
puith. Respon patifisiologi ini juga merupakan tahap awal dari penyembuhan
tulang.
10. Syok. Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau
tersembunyi dapat menyebabkan syok.
E. Komplikasi
1. Komplikasi awal
a. Cedera Saraf
Faragmen tulang dan edema jaringan yang berikatan dengan cedera dapat
menyebabkan cedera saraf. Hati-hati jika ada pucat dan tungkai klien yang
teraba dingin, perubahan pada kemampuan klien untuk menggerakan jari-
jari tangan atau tungkai, parestesia atau adanya keluhan nyeri yang
meningkat
b. Sindroma Kompartemen
Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi gangguan sirkulasi yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan yang terjadi secara progresif
pada ruang terbatas , hal ini akan menyebabkan penurunan ukuran
kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat,
penggunaan gips atau balutan terlalu ketat.
c. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak ada nadi, CRT
menurun, Sianosis bagian distal, hematoma yang lebar dan dingin pada
ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan
posisi pada yang sakit, tindakan reduksi dan pembedahan.
d. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak apabila ada trauma pada jaringan. Biasanya
terjadi pada fraktur terbuka.
e. Syok Hipovolemik
Terjadi akibat perdarahan (banyak kehilangan darah eksternal maupun
yang tidak kelihatan yang bisa menyebabkan penurunan oksigen) dan
kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada
fraktur ekstremitas, thoraks, pelvis dan vertebra.
b. Delayed union
Delayed Union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Penyatuan terhambat
terjadi ketika penyembuhan melambat tapi tidak benar-benar berhenti,
mungkin karena adanya distraksi pada fragmen fraktur atau adanya
penyebab sistemik seperti menurunnya suplai darah.
c. Non-Union
Non-Union adalah ketika penyembuhan fraktur tidak terjadi 4 hingga 6
bulan setelah cedera awal dan setelah penyembuhan spontan sepertinya
tidak akan terjadi. Biasanya diakibatkan oleh suplai darah yang tidak cukup
dan tekanan berulang yang tidak terkontrol pada lokasi fraktur, mungkin
karena adanya otot, tendon, atau jaringan lunak antara fragmen freaktur.
F. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologis yang wajib dilakukan pada fraktur terbuka yakni
pemeriksaan rontgen. Terdapat aturan “Rule of Two”, antara lain:
Two views : Foto harus mencakup 2 arah pandang yaitu anteroposterior
(AP) dan lateral.
Two joints : Foto harus meliputi sendi yang berada di atas dan di bawah
daerah fraktur.
Two limbs : Foto ekstremitas yang mengalami trauma dan normal.
Two injuries : Kadangkala trauma tidak hanya menyebabkan fraktur pada
satu daerah, misalnya fraktur femur diperlukan foto femur dan pelvis.
Two occasions : Ada beberapa fraktur yang sulit dinilai segera setelah
trauma sehingga diperlukan pemeriksaan 1-2 minggu setelahnya. Contoh:
fraktur pada ujung distal os klavikula, scaphoid, femoral neck dan
malleolus lateral.
b) Sinar-X skeletal
Sinar-X dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi kepadatan
dan struktur tulang
c) Scan tulang
Selama scan tulang, derajat ambilan radioisotope (berdasarkan pada suplai
darah ke tulang) diukur dengan penghitung Geiger dan dicatat pada kertas.
Ambilan meningkat pada osteomielitis, osteoporosis, kanker tulang, dan
pada beberapa fraktur. Ambilan menurun paada nekrosis avaskular.
d) Computed Tomography (CT) Scan tulang panjang dan sendi, spina
Untuk memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan
kerusakan jaringan lunak. CT tulang panjang dan sendi memberikan
gambaran tiga dimensi yang digunakan untuk mengevaluasi trauma
muskuloskeletal (fraktur) dan abnormalitas tulang (seperti tumor). CT
spina dapat mengidentifikasi tumor, kista, malformasi vaskular, dan
herniasi diskus intervertebra.
f) Arteriogram
Dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
c) Fosfor (P), Fosfat (PO4) : Untuk mengkaji kadar fosfor. Meningkat dengan
tumor tulang dan penyembuhan fraktur.
Nilai Normal: 1,7-2,6 atau 2,5-4,5 mg/dL
2. Reduksi
Tidak semua fraktur harus direduksi. Fraktur yang tidak bergeser masih
memiliki kelurusan yang baik
a) Reduksi tertutup
7. Traksi
Traksi adalah tahanan yang dipakai dengan berat atau alat lain untuk
menangani kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot. Traksi digunakan
untuk meminimalkan spame otot, untuk mereduksi, mensjajarkan, dan
mengimubilisasi fraktur; untuk mengurangi deformitas, dan untuk menambah
ruangan di antara kedua permukaan patahan tulang. Beban traksi pada orang
dewasa 5-7 kg, Anak : 1/13 x BB (Barbara, 1998)
8. Pemberian Antibiotik
Infeksi luka operasi (ILO) adalah penyebab signifikan dari morbiditas dan
kematian. Pasien yang mengalami ILO akan memiliki risiko lima kali lebih
besar untuk masuk rumah sakit kembali dan risiko dua kali lebih besar untuk
mengalami kematian, dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami ILO.
Faktor risiko ILO dibagi menjadi dua kategori, yaitu pasien dan karakteristik
tindakan operasi (Ulman dan Rotschafer, 2016).
Untuk mencegah terjadinya ILO, maka perlu diberikan antibiotik yang tepat.
Penggunaan antibiotik terbagi menjadi tiga yaitu sebagai profilaksis, terapi
empiris, dan terapi definitif. Pembagian golongan ini berdarkan keaadaan
pasien saat antibiotik diberikan.
a) Antibiotik profilaksis
adalah antibiotik yang diberikan pada pasien yang belum mengalami
infeksi atau belum terkena penyakit. Tujuan dari pemberian antibiotik
profilaksis adalah untuk mencegah terjadinya infeksi pada pasien atau
mencegah timbulnya penyakit berbahaya, yang dipicu oleh adanya infeksi
(Gumbo, 2011). Antibiotik profilaksis yang ideal adalah yang merupakan
antibiotik tunggal dan bertahan kurang dari 24 jam (Ulman dan Rotschafer,
2016).
Saat patah tulang, fragmen tulang yang patah akan merusak jaringan serta
memutus pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan di luar pembuluh
darah lalu terjadi penumpukan di tempat cedera yang disebut Hematoma.
Berkumpulnya darah pada fase hematom awalnya diduga akibat robekan
pembuluh darah lokal yang terfokus pada suatu tempat tertentu. Namun
pada perkembangan selanjutnya hematom bukan hanya disebabkan oleh
robekan pembuluh darah tetapi juga berperan faktor-faktor inflamasi yang
menimbulkan kondisi pembengkakan lokal. Tempat cedera kemudian
diinvasi oleh makrofag (Sel darah putih besar) yang membersihkan daerah
tersebut.
b) Tahap Proliferasi Sel
d) Tahap Osifikasi
e) Tahap Remodelling
Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati
dan reorganisasi tulang baru ke susunan structural sebelumnya.
Remodeling memerlukan waktu berbulan-bulan sampi bertahun-tahun
tergantung modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang, dan stress
fungsional pada tulang.
Prosess penyembuhan tulang dapat dipantau dengan pemeriksaan
radiologi. Imobilisasi harus memadai hingga tampak tanda-tanda adnya
kalus pada gambaran sinar-x. (Smeltzer dan Bare, 2001)
H. Asuhan Keperawatan
DATA FOKUS
ANALISA DATA
DO :
DO :
NO. DIAGNOSA
NOC NIC
KEPERAWATAN
Pengaruh Terapi Musik Klasik Untuk Mengurangi Nyeri Pada Pasien Post
Judul
Operasi Fraktur Di Ruang Flamboyan Rsud Brebes
Tahun 2019
Untuk memahami pengaruh terapi terhadap musik klasik agar nyeri dapat
Tujuan
berkurang oleh pasien post operasi fraktur
Dua pasien yang dirawat diruang Flamboyan RSUD Brebes dengan kriteria :
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dengan
Jenis
mengaplikasikan terapi musik klasik untuk menurunkan rasio nyeri terhadap
penelitian
responden post operasi fraktur di ruangan Flamboyan RSUD kabupaten brebes.
Berdasarkan hasil yang telah dibahas di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
penerapan terapi musik klasik bermanfaat untuk mengurangi tingkat nyeri
Kesimpulan
terhadap responden post operasi fraktur dan diharapkan perawat dapat
dan Saran
menerapkan teknik tersebut agar rasio nyeri terhadap responden post operasi
dapat berkurang.
Arisnawati., Zakiudin, Ahmad., dan Iskandar, Riki. (2019). Pengaruh Terapi Musik
Klasik Untuk Mengurangi Nyeri Pada Pasien Post Operasi Fraktur Di Ruang Flamboyan
Rsud Brebes. Jurnal Ilmiah Indonesia. 4(6), 1-7.
LeMone, Priscilla; Burke, Karen M.; Bauldoff, Gerene. (2016). Buku ajar keperawatan
medikal bedah: gangguan muskuloskeletal. Ed. 5 bahasa indonesia. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C. ( 2001). Buku ajar keperawatan medical bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta : EGC.