Anda di halaman 1dari 38

A.

Pengertian, Klasifikasi, Prevalensi

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis


dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang
dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya
meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem.
Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan
edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendo,
kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami
cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang.

Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang.
Jika terjadi fraktur, maka jaringan lunak disekitarnya juga sering kali terganggu.
Radiografi (sinar-x) dapat menunjukkan keberadaan cedera tulang, tetapi tidak
mampu menunjukkan otot atau ligamen yang robek, saraf yang putus, atau
pembuluh darah yang pecah yang dapat menjadi komplikasi pemulihan klien.
Untuk menentukan perawatan yang sesuai, seorang perawat akan memulai dengan
deskripsi cedera yang ringkas dan tepat.

Berdasarkan RISKESDAS oleh Badan Penelitian dan Pengembangan


Depkes RI tahun 2011 dari sekian banyak kasus fraktur di Indonesia, fraktur pada
ekstremitas bawah akibat kecelakaan memiliki prevalensi yang paling tinggi
diantara fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2%. Dari 45.987 orang dengan kasus
fraktur ektremitas bawah akibat kecelakaan, 14.027 orang mengalami fraktur
cruris, 3.775 orang mengalami fraktur tibia dan 336 orang mengalami fraktur
fibula. Walaupun peran fibula dalam pergerakan ekstremitas bawah sangat sedikit,
tetapi terjadinya fraktur pada fibula tetap saja dapat menimbulkan adanya
gangguan aktifitas fungsional tungkai. Fraktur tibia adalah fraktur tulang yang
paling umum. Kejadian tahunan fraktur terbuka tulang panjang diperkirakan 11,5
per 100.000 orang, dengan 40% terjadi pada anggota tubuh bagian bawah.
Desiartama & Aryana (2017) di Indonesia kasus fraktur femur merupakan
yang paling sering yaitu sebesar 39% diikuti fraktur humerus 15%, fraktur tibia
dan fibula 11%, dimana penyebab terbesar fraktur femur adalah kecelakaan lalu
lintas yang biasanya disebabkan oleh kecelakaan mobil, motor, atau kendaraan
rekreasi 62,6% dan jatuh 37,% dan mayoritas adalah pria 63,8%. 4,5% puncak
distribusi usia pada fraktur femur adalah pada usia dewasa (15-34 tahun) dan
orang tua (diatas 70tahun).

Secara klinis, fraktur dibagi menurut ada tidaknya hubungan patahan


tulang dengan dunia luar, yaitu fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tulang
terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan
fraktur yang terjadi, seperti yang dijelaskan pada tabel 1. 7 Tabel 1. Derajat fraktur
terbuka menurut Gustillo Derajat Luka Fraktur I Laserasi 1cm tidak ada kerusakan
jaringan yang hebat atau avulsi, ada kontaminasi III Luka lebar dan rusak hebat
atau hilangnya jaringan disekitarnya. Kontaminasi hebat (Sumber: Sjamsuhidajat
& Jong, 2010) Sederhana, dislokasi fragen minimal Dislokasi fragmen jelas
Kominutif, segmental, fragmen tulang ada yang hilang Fraktur sangat bervariasi
dari segi klinis, namun untuk alasan praktis, fraktur dibagi menjadi beberapa
kelompok, yaitu :

a. Complete fractures
Tulang terbagi menjadi dua atau lebih fragmen. Patahan fraktur yang dilihat
secara radiologi dapat membantu untuk memprediksi tindakan yang harus
dilakukan setelah melakukan reduksi. Pada fraktur transversal (gambar 1a),
fragmen tetap pada tempatnya setelah reduksi, sedangkan pada oblik atau
spiral (gambar 1c) lebih cenderung memendek dan terjadi pergeseran
meskipun tulang telah dibidai. Fraktur segmental (gambar 1b) membagi tulang
menjadi 3 bagian. Pada fraktur impaksi fragmen menumpuk saling tumpang
tindih dan garis fraktur tidak jelas. Pada raktur kominutif terdapat lebih dari
dua fragmen, karena kurang menyatunya permukaan fraktur yang membuat
tidak stabil (Solomon et al., 2010). 8
b. Incomplete fractures
Pada fraktur ini, tulang tidak terbagi seutuhnya dan terdapat kontinuitas
periosteum. Pada fraktur buckle, bagian yang mengalami fraktur hampir tidak
terlihat (gambar 1d). Pada fraktur greenstick (gambar 1e dan 1f), tulang
melengkung atau bengkok seperti ranting yang retak. Hal ini dapat terlihat
pada anak‒anak, yang tulangnya lebih elastis daripada orang dewasa. Pada
fraktur kompresi terlihat tulang spongiosa tertekan kedalam

Jenis Fraktur

1. Fraktur komplit : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
mengalami pergeseran.
2. Fraktur tidak komplit: patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang
3. Fraktur tertutup ; tidak menyebabkan robeknya kulit
4. Fraktur terbuka ; dg luka pada kulit atau membrane mukosa sampai ke patahan
tulang
5. Green stick fraktur; salah satu sisi tulang patah sedangkan sisilain
membengkak
6. Fraktur transversal ; sepanjang garis tengah tulang
7. Fraktur komunitif ; dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
8. Depresi ; fraktur patahan terdorong kedalam
9. Kompresi ; dimana tulang mengalami kompresi terjadi pada tulang belakang
10. Pathologic ; fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligament atau tendon
pada daerah perlekatannya
B. Etiologii dan Faktor Resiko
1. Etiologi
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian besar disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan
yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran atau
penarikan.
 Terkena kekuatan langsung
Fraktur dapat terjadi karena gaya secara langsung, seperti saat sebuah
benda bergerak menghantam suatu area tubuh di atas tulang.
Tulang dapat patah dan dapat mengenai jaringan lunak. Karena
pemukulan (pukulan sementara) biasanya menyebabkan fraktur
melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran
kemungkinan dapat menyebabkan fraktur kominutif disertai kerusakan
jaringan lunak yang luas.
 Terkena kekuatan tak langsung
Fraktur dapat terjadi karena gaya secara tidak langsung, seperti ketika
suatu kontraksi kuat dari otot menekan tulang.
Tulang mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang
terkena kekuatan itu. Kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur
mungkin tidak ada.
b. Fraktur kelelahan atau tekanan
Tekanan dan kelelehan dapat menyebabkan fraktur karena penurunan
kemampuan tulang menahan gaya mekanikal.
Retak dapat terjadi pada tulang, seperti pada logam dan benda lain akibat
tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia
dan fibula atau metatarsal, terutama pada atlet, penari dan calon tentara
yang jalan berbaris dengan jarak jauh.
c. Fraktur patalogik
Fraktur dapat terjadi oleh kekuatan tulang yang berkurang atau rapuh oleh
karena adanya proses patologis. Proses patologis tersebut antara lain
adanya tumor, infeksi atau osteoporosis pada tulang.

2. Faktor Resiko
a. Usia
Ketika anda beranjak tua, tulang menjadi lebih rapuh dan umumnya lebih
mungkin untuk istirahat, apa pun kepadatan tulang Anda yang diukur pada
scan. Hal ini sebagian karena umumnya berkurang kekuatan tulang tetapi
juga hasil dari peningkatan risiko jatuh seiring bertambahnya usia.
Pada kelompok umur muda lebih banyak melakukan aktivitas yang berat
daripada kelompok umur tua. Aktivitas yang banyak akan cenderung
mengalami kelelahan tulang dan jika ada trauma benturan atau kekerasan
tulang bisa saja patah. Aktivitas masyarakat umur muda di luar rumah
cukup tinggi dengan pergerakan yang cepat pula dapat meningkatkan risiko
terjadinya benturan atau kecelakaan yang menyebabkan fraktur.
Berdasarkan penelitian Nazar Moesbar tahun 2007 di Rumah Sakit Haji
Adam Malik Medan terdapat sebanyak 864 kasus patah tulang, di
antaranya banyak penderita kelompok umur muda. Penderita patah tulang
pada kelompok umur 11 – 20 tahun sebanyak 14% dan pada kelompok
umur 21 – 30 tahun sebanyak 38% orang.
b. Jenis Kelamin
Osteoporosis dan patah tulang lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan pria. Wanita cenderung hidup lebih lama, yang membuat
patah tulang lebih mungkin, tetapi dalam setiap kelompok usia risiko patah
tulang lebih tinggi. Pria memiliki tulang yang lebih besar, dan ukuran
tulang itu sendiri tampaknya untuk melindungi terhadap fraktur. Selain itu,
pada sekitar usia 50, wanita mengalami menopause, di mana titik indung
telur mereka hampir berhenti memproduksi hormon seks estrogen, yang
membantu untuk menjaga tulang yang kuat.
Laki – laki pada umumnya lebih banyak mengalami kecelakaan yang
menyebabkan fraktur yakni 3 kali lebih besar daripada perempuan.18 Pada
umumnya Laki – laki lebih aktif dan lebih banyak melakukan aktivitas
daripada perempuan. Misalnya aktivitas di luar rumah untuk bekerja
sehingga mempunyai risiko lebih tinggi mengalami cedera. Cedera patah
tulang umumnya lebih banyak terjadi karena kecelakaan lalu lintas.
Tingginya kasus patah tulang akibat kecelakaan lalulintas pada laki – laki
dikarenakan laki – laki mempunyai perilaku mengemudi dengan kecepatan
yang tinggi sehingga menyebabkan kecelakaan yang lebih fatal
dibandingkan perempuan. Berdasarkan penelitian Juita, pada tahun 2002 di
Rumah Sakit St. Elisabeth Medan terdapat kasus fraktur sebanyak 169
kasus dimana jumlah penderita laki –laki sebanyak 68% dan perempuan
sebanyak 32%.
c. Gen
Gen kita menentukan risiko kami osteoporosis untuk sebagian besar
meskipun tidak ada tes genetik sederhana untuk osteoporosis. Penelitian
telah menunjukkan bahwa jika salah satu orangtua Anda memiliki patah
pinggul Anda lebih mungkin untuk memiliki kerapuhan sebuah fraktur
sendiri.
d. Ras
Orang Afro-Karibia berada pada risiko yang lebih rendah dari osteoporosis
dan patah tulang daripada Kaukasia atau asal Asia karena tulang mereka
lebih besar dan kuat.
e. Gaya Hidup
1. Merokok
Merokok adalah faktor risiko patah tulang karena pengaruhnya
terhadap kadar hormon. Perokok cenderung memiliki berat badan lebih
rendah dan wanita yang merokok memiliki menopause lebih awal,
yang meningkatkan risiko osteoporosis. Namun, merokok tampaknya
memiliki efek langsung pada sel-sel pembentuk tulang juga.
2. Minum Alkohol
Alkohol tampaknya mempengaruhi sel-sel yang membangun dan
memecah tulang, dan bahkan jumlah kecil dapat menyebabkan
kegoyangan dan meningkatkan kesempatan Anda akan jatuh. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa pria dengan asupan alkohol yang
berlebihan juga telah memiliki diet yang kurang bergizi, yang mungkin
telah membuat osteoporosis lebih mungkin.
3. Aktifitas Yang Beresiko
Aktivitas yang berat dengan gerakan yang cepat pula dapat menjadi
risiko penyebab cedera pada otot dan tulang. Daya tekan pada saat
berolah raga seperti hentakan, loncatan atau benturan dapat
menyebabkan cedera dan jika hentakan atau benturan yang timbul
cukup besar maka dapat mengarah pada fraktur. Setiap tulang yang
mendapat tekanan terus menerus di luar kapasitasnya dapat mengalami
keretakan tulang. Kebanyakan terjadi pada kaki, misalnya pada pemain
sepak bola yang sering mengalami benturan kaki antar pemain.
Kelemahan struktur tulang juga sering terjadi pada atlet ski, jogging,
pelari, pendaki gunung ataupun olahraga lain yang dilakukan dengan
kecepatan yang berisiko terjadinya benturan yang dapat menyebabkan
patah tulang.
4. Penyakit
Beberapa kondisi medis yang berhubungan dengan peningkatan risiko
osteoporosis dan / atau fraktur.
1. Rheumatiod Arthritis. Pada penyakit autoimun yang melemahkan
ini - yang menyerang wanita dua sampai tiga kali lebih banyak
daripada pria - tubuh menyerang sel-sel dan jaringan sehat di
sekitar sendi, yang mengakibatkan kehilangan tulang dan sendi
yang parah.
2. Kondisi dimana ada ketidakseimbangan hormon
 Rendahnya tingkat hormon seks estrogen pada wanita akibat
menopause dini atau memiliki histerektomi dengan
pengangkatan indung telur (sebelum 45), anoreksia nervosa
atau sindrom Turner; olahraga berlebihan juga bisa mengurangi
kadar hormon. Dalam percobaan binatang, defisiensi estrogen
akan menyebabkan terjadinya osteoklastogenesis yang
meningkat dan berlanjut dengan kehilangan tulang. Estrogen
adalah hormon wanita yang berperan dalam menjaga
kelangsungan pertumbuhan dan kepadatan tulang saat usia
pertumbuhan. Estrogen bekerja dengan menghalangi produksi
sel-sel yang dapat menghancurkan tulang (osteoclast).
 Rendahnya tingkat hormon testosteron seks pada pria dapat
terjadi karena sejumlah alasan termasuk setelah operasi untuk
beberapa jenis kanker; beberapa kondisi langka yang laki-laki
dilahirkan dengan, seperti sindrom Klinefelter atau sindrom
Kallman, kadar testosteron juga rendah. Testosteron juga
berfungsi untuk percepatan pertumbuhan tulang. Defisiensi
testosteron juga menyebabkan tulang keropos. Awalnya bisa
berupa osteopenia, dimana kepadatan mineral tulang yang lebih
rendah dari normal, yang bisa berkembang jadi osteoporosis.
 Hipertiroidisme, di mana kadar hormon tiroid yang abnormal
tinggi. Pada hipertiroidisme, fase resorbsi dan formasi
dipersingkat. Kedalamam resorbsi normal, namun completed
wall thickness pada akhir tiap siklus memendek, memicu
hilangnya ketebalan tulang pada tiap siklus. Pada pasien
dengan hipertiroid terjadi peningkatan asupan kalsium namun
absorbsi berkurang serta meningkatnya kehilangan kalsium
melalui feses dan kulit sehingga memicu keseimbangan yang
negatif.
 Penyakit paratiroid, di mana tingkat hormon paratiroid yang
abnormal tinggi. Hormon paratiroid (PTH) menstimulasi
osteoklas untuk melepaskan kalsium dan fosfat dari tulang
sehingga meningkatkan resorbsi tulang.
3. Kondisi yang mempengaruhi penyerapan makanan, seperti Crohn
atau penyakit celiac
4. Kondisi yang menyebabkan periode panjang imobilitas, seperti
stroke.
5. Kondisi lain dapat berhubungan dengan osteoporosis, seperti
diabetes, HIV (AIDS), penyakit hati, cystic fibrosis, demensia dan
penyakit Parkinson. penerima transplantasi organ dan orang-orang
dengan beberapa penyakit pernapasan juga mungkin berisiko lebih,
meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami
mengapa.
f. Penggunaan obat-obatan
Beberapa obat meningkatan risiko osteoporosis dan / atau patah tulang.
1. Steroid (kortikosteroid) sering diresepkan untuk mengobati kondisi
peradangan kronis, seperti rheumatoid arthritis, penyakit radang
usus dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).Sayangnya,
kebutuhan untuk menggunakannya pada dosis yang meningkat
sering dapat menyebabkan keropos tulang dan patah tulang. Efek
samping yang tidak diinginkan ini tergantung pada dosis dan
berhubungan langsung dengan kemampuan steroid untuk
menghambat pembentukan tulang, mengurangi penyerapan kalsium
dalam saluran pencernaan, dan meningkatkan hilangnya kalsium
melalui urin. Bahkan, keropos tulang terjadi lebih cepat dengan
penggunaan steroid.

C. Patofisiologi
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur.
Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin
hanya retak saja dan bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem, seperti tabrakan
mobil, maka tulang dapat peah berkeping-keping.

Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu.
Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi.
Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang kuat dan bahkan dapat
menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun bagian proksimal dari tulang
patah tetap pada tempatnya, namun bagian distal dapat bergeser karena penyebab
patah maupun spasme pada otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke
samping, pada suatu sudut (membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain.
Fragmen juga dapat berotasi atau berpindah.
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari
tulang yang patah juga terganggu. Sering terjadi cedera lunak. Perdarahan terjadi
karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran
sumsum (medulla), hematoma terjadi di antara fragmen-fragmen tulang dan di
bawah periosteum. Jaringan tulang di sekitar lokasi fraktur akan mati dan
menciptakan respons peradangan yang hebat. Akan terjadi vasodilatasi, edema,
nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan leukosit, serta infiltrasi sel darah
puith. Respon patifisiologi ini juga merupakan tahap awal dari penyembuhan
tulang.

D. Tanda dan gejala

Mendiagnosis fraktur harus berdasarkan manifestasi klinis klien, riwayat,


pemeriksaan fisik, dan temuan radiologis. Beberapa fraktur sering langsung
tampak jelas; beberapa lainnya terdeteksi hanya dengan rontgen (sinar-x).

Pengkajian fisik dapat menemukan beberapa hal berikut.

1. Deformitas. Pembengkakan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan


deformitas pada lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan
tungkai, deformitas rotasional, atau angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat,
lokasi fraktur dapat memiliki deformitas yang nyata.

2. Pembengkakan. Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi


cairan serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.

3. Memar (ekimosis). Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi


fraktur.

4. Spasme otot. Sering mengiringi fraktur, spasme otot involuntar sebenarnya


berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi gerakan lebih lanjut dari
fragmen fraktur.
5. Nyeri. Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi
fraktur; intensitas dan keparahan dari nyeri akan berada pada masing-masing
klien. Nyeri biasanya terus-menerus, meningkat jika fraktur tidak
dimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang
bertindihan, atau cedera pada struktur sekitarnya.

6. Ketegangan. Ketegangan di atas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang


terjadi.

7. Kehilangan fungsi. Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan


fraktur atau karena hilangnya fungsi pengungkit-lengan pada tungkai yang
terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera saraf.

8. Gerakan abnormal dan krepitasi. Manifestasi ini terjadi karena gerakan


dari bagian tengah tulang atau gesekan antar fragmen fraktur yang
menciptakan sensasi dan suara deritan.

9. Perubahan neurovaskular. Cedera neurovaskular terjadi akibat kerusakan


saraf perifer atau struktur vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa
kebas atau kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur.

10. Syok. Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau
tersembunyi dapat menyebabkan syok.

E. Komplikasi
1. Komplikasi awal
a. Cedera Saraf
Faragmen tulang dan edema jaringan yang berikatan dengan cedera dapat
menyebabkan cedera saraf. Hati-hati jika ada pucat dan tungkai klien yang
teraba dingin, perubahan pada kemampuan klien untuk menggerakan jari-
jari tangan atau tungkai, parestesia atau adanya keluhan nyeri yang
meningkat
b. Sindroma Kompartemen
Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi gangguan sirkulasi yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan yang terjadi secara progresif
pada ruang terbatas , hal ini akan menyebabkan penurunan ukuran
kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat,
penggunaan gips atau balutan terlalu ketat.

Edema yang terjadi sebagai respons terhadap fraktur dapat menyebabkan


peningkatan tekanan kompartemen yang dapat mengurangi perfusi darah
kapiler. Jika suplai darah lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolik
jaringan, maka terjadi iskemia.

c. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak ada nadi, CRT
menurun, Sianosis bagian distal, hematoma yang lebar dan dingin pada
ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan
posisi pada yang sakit, tindakan reduksi dan pembedahan.

d. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak apabila ada trauma pada jaringan. Biasanya
terjadi pada fraktur terbuka.

e. Syok Hipovolemik
Terjadi akibat perdarahan (banyak kehilangan darah eksternal maupun
yang tidak kelihatan yang bisa menyebabkan penurunan oksigen) dan
kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada
fraktur ekstremitas, thoraks, pelvis dan vertebra.

2. Komplikasi Jangka Panjang


a. Malunion
Malunion adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh
dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion ini dapat terjadi karena
klien menaruh beban pada tungkai yang sakit, menyalahi instruksi dokter
atau jika alat bantu jalan di gunakan sebelum penyembuhan yang baik di
mulai pada lokasi fraktur . manifestasi awal adalah deformitas eksternal
dari tungkai yang terlibat , malunion dapat di diagnosa dengan radiografi.
Pencegahan dapat di lakukan dengan reduksi fraktur yang baik dan
imobilisasi dan memastikan klien memahami pentingnya membatasi
aktivitas atau posisi tertentu.

b. Delayed union
Delayed Union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Penyatuan terhambat
terjadi ketika penyembuhan melambat tapi tidak benar-benar berhenti,
mungkin karena adanya distraksi pada fragmen fraktur atau adanya
penyebab sistemik seperti menurunnya suplai darah.

c. Non-Union
Non-Union adalah ketika penyembuhan fraktur tidak terjadi 4 hingga 6
bulan setelah cedera awal dan setelah penyembuhan spontan sepertinya
tidak akan terjadi. Biasanya diakibatkan oleh suplai darah yang tidak cukup
dan tekanan berulang yang tidak terkontrol pada lokasi fraktur, mungkin
karena adanya otot, tendon, atau jaringan lunak antara fragmen freaktur.

F. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologis yang wajib dilakukan pada fraktur terbuka yakni
pemeriksaan rontgen. Terdapat aturan “Rule of Two”, antara lain:
 Two views : Foto harus mencakup 2 arah pandang yaitu anteroposterior
(AP) dan lateral.
 Two joints : Foto harus meliputi sendi yang berada di atas dan di bawah
daerah fraktur.
 Two limbs : Foto ekstremitas yang mengalami trauma dan normal.
 Two injuries : Kadangkala trauma tidak hanya menyebabkan fraktur pada
satu daerah, misalnya fraktur femur diperlukan foto femur dan pelvis.
 Two occasions : Ada beberapa fraktur yang sulit dinilai segera setelah
trauma sehingga diperlukan pemeriksaan 1-2 minggu setelahnya. Contoh:
fraktur pada ujung distal os klavikula, scaphoid, femoral neck dan
malleolus lateral.

a) Absorpsiometri sinar-X dual energy, DEXA (Rontgen)


Untuk menentukan luas/lokasi fraktur. Pemeriksaan kepadatan tulang
dilakukan untuk mengevaluasi kepadatan mineral tulang dan derajat
osteoporosis. DEXA dapat menghitung ukuran dan kepadatan tulang.
Osteoporosis didiagnosis jika kadar massa tulang puncak dibawah >2,5
standar deviasi.
Nilai Normal: 1 standar deviasi di bawah puncak massa tulang

b) Sinar-X skeletal
Sinar-X dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi kepadatan
dan struktur tulang

c) Scan tulang
Selama scan tulang, derajat ambilan radioisotope (berdasarkan pada suplai
darah ke tulang) diukur dengan penghitung Geiger dan dicatat pada kertas.
Ambilan meningkat pada osteomielitis, osteoporosis, kanker tulang, dan
pada beberapa fraktur. Ambilan menurun paada nekrosis avaskular.
d) Computed Tomography (CT) Scan tulang panjang dan sendi, spina
Untuk memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan
kerusakan jaringan lunak. CT tulang panjang dan sendi memberikan
gambaran tiga dimensi yang digunakan untuk mengevaluasi trauma
muskuloskeletal (fraktur) dan abnormalitas tulang (seperti tumor). CT
spina dapat mengidentifikasi tumor, kista, malformasi vaskular, dan
herniasi diskus intervertebra.

e) Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI struktur tulang digunakan dalam diagnosis dan evaluasi nekrosis
avaskular, osteomielitis, tumor, abnormalitas diskus, dan robekan pada
ligament atau kartilago. Pemeriksaan ini menggunakan gelombang radio
dan bidang magnet; gadolinium dapat diinjeksi untuk meningkatkan
visualisasi tulang atau struktur otot.

f) Arteriogram
Dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.

2. Hasil lab/ pemeriksaan darah


a) Alkali Fosfatase (ALP) :
Untuk mengidentifikasi penyakit tulang. Meningkat pada kanker tulang,
penyakit Paget, penyembuhan fraktur, artritis reumatoid, osteoporosis.
Nilai Normal: 42-136 unit/L ALP² dan 20-130 unit/L ALP² (meningkat
sedikit pada penuaan)

b) Kalsium (CA) : Untuk memonitor kadar kalsium dan mendeteksi


ketidakseimbangan kalsium. Menurun dengan kekurangan kalsium dan
asupan vitamin D, dan malabsorbsi dari saluran gastrointestinal. Meningkat
pada kanker tulang dan fraktur multiple.
Nilai Normal: 4,5-5,5 mEq/L atau 9-11 mg/dL (serum)

c) Fosfor (P), Fosfat (PO4) : Untuk mengkaji kadar fosfor. Meningkat dengan
tumor tulang dan penyembuhan fraktur.
Nilai Normal: 1,7-2,6 atau 2,5-4,5 mg/dL

d) Kreatinin Kinase (creatinin kinase, CK) : Untuk mendiagnosis trauma atau


penyakit otot. Meningkat pada distrofi muskular dan cedera traumatis
(khususnya, isoenzim CPK-MM). Trauma otot meningkatkan beban
kretatinin untuk klirens ginjal* Klirens adalah parameter eliminasi obat
yang meliputi metabolisme/ biotransformasi dan ekskresi untuk
dikeluarkan dari tubuh melalui organ ekskresi. Ginjal merupakan organ
utama dalam proses ekskresi.
Nilai Normal: 94%-100%.

e) Leukosit : Peningkatan leukosit sebagai respon terhadap peradangan.


Nilai Normal: Leukosit normal pada orang dewasa adalah 4500-10000
sel/mm.

f) Hematokrit (Ht) : Hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada


perdarahan. Nilai Normal:

g) Hemoglobin (Hb) : Nilai Normal: Kadar Hb yang normal bagi pria


umumnya sekitar 13,8 sampai 17,2 g/dL. Sedangkan untuk wanita adalah
12,1 sampai 15,1 g/dL
h) GDS : Nilai Normal: Sebelum makan: sekitar 70-130 mg/dL. Dua jam
setelah makan: kurang dari 140 mg/dL. Setelah tidak makan (puasa)
selama setidaknya delapan jam: kurang dari 100 mg/dL.
i) Profil Koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi atau cedera hati.
G. Penatalaksanaan medis
1. Pengkajian

Pengkajian dan penanganan dilakukan bersamaan seiring penolong menilai


kondisi umum dari klien. Saat pengkajian awal, penolong berfokus pada
manajemen jalan napas, perdarahan, dan manifestasi syok. Adanya cedera
yang mengancam jiwa harus distabilkan sesegera mungkin dan memanggil
bantuan gawat darurat untuk memindahkan klien ke fasilitas kesehatan untuk
intervensi lebih lanjut. Klien yang cedera tidak boleh dipindahkan, kecuali jika
lokasinya tidak aman.

Oleh karena kebanyakan fraktur tidak mengancam jiwa, manajemen fraktur


merupakan prioritas kedua dalam penanganan trauma. Pengecualian terhadap
aturan ini adalah pada cedera tulang belakangservikal; jika klien mengeluh
spasme otot setelah cedera tulang belakang servikal atau cedera kepala, harus
dianggap terjadi fraktur atau dilokasi pada leher. Kepala dan leher harus
diimobilisasi untuk transport, dan foto lateral dari tulang belakang servikal
merupakan salah satu pengkajian awal.

2. Reduksi

Langkah pertama dalam penanganan fraktur yang bergeser adalah reduksi:


manipulasi tulang untuk mengembalikan kelurusan, posisi, dan panjang
dengan mengembalikan fragmen tulang sedekat mungkin. Reduksi, yang juga
disebut bone setting, mengurangi tekanan atau tarikan pada saraf dan
pembuluh darah. Oleh karena biasanya reduksi sangat menyakitkan, maka
dibutuhkan sedasi atau anestesi local atau umum.

Tidak semua fraktur harus direduksi. Fraktur yang tidak bergeser masih
memiliki kelurusan yang baik
a) Reduksi tertutup

Untuk melakukan reduksi tertutup, seorang petugas medis memberikan


traksi manual untuk menggerakkan fragmen tulang dan mengembalikan
kelurusan tulang. Reduksi tertutu harus dilakukan segera setelah cedera
untuk meminimalkan resiko kehilangan fungsi, untuk mencegah atau
menghambat terjadinya artritis traumatic, dan meminimalkan efek
deformitas dari cedera tersebut. Reduksi fraktur bukan prosedur darurat,
dan kelangsungan hidup klien tidak boleh diabaikan dengan melakukan
reduksi dini.

b) Reduksi terbuka dan fiksasi internal/ ORIF (Open Reduction Internal


Fixation)

Bebrapa fraktur memiliki banyak serpihan tulang, memiliki cedera


neurovascular, atau tidak dapat lurus dengan baik hingga sembuh setelah
reduksi tertutup. Reduksi terbuka merupakan prosedur bedah dimana
fragmen fraktur disejajarkan.

Reduksi terbuka sering dikombinasikan dengan fiksasi internal untuk


fraktur femur dan sendi. Sekrup, plat, pin, kawat, atau paku dapat digunakan
untuk menjaga kelurusan dari fragmen fraktur. Batang logan juga dapat
ditempatkan melalui fragmen-fragmen tulang atau difiksasi terhadap sisi
tulang, atau dapat dimasukkan langsung kedalam rongga medularis tulang.
Fiksasi internal memberikan imobilisasi dan membantu mencegah deformitas,
namun bukan suatu pengganti untuk penyembuhan tulang. Jika penyembuhan
gagal, alat fiksasi internal dapat menjadi longgar atau pecah karena adanya
tekanan.

3. Fiksasi eksternal/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)


Bergantung pada kondisi klien dan keputusan dokter,mungkin akan digunakan
alat fiksasi eksternal untuk imobilisasi fragmen fraktur. Misalnya, jika
kerusakan jaringan lunak menghalangi penggunaan gips, fiksasi eksternal
dapat diindikasikan untuk imobilisasi fraktur. Alat fiksasi eksternal menjaga
posisi untuk fraktur-fraktur yang tidak stabil dan untuk otot-otot yang
melemah, dan alat tersebut dapat menyangga area-area dengan infeksi jaringan
atau tulang. Alat tersebut memungkinkan klien menggunakan sendi yang di
dekatnya sementara area yang terkena tetap diimobilisasi.

Fiksasi eksternal juga diindikasi untuk non-union tulang jika penyembuhan


tidak berhasil setelah waktu tertentu. Lokasi-lokasi yang sering diberikan
fiksasi eksternal antara lain wajah dan rahang, tungkai, panggul, tulang rusuk,
jari tangan, dan jari kaki. Pin yang digunakan pada fiksasi eksternal bervariasi
jumlah, panjang, dan ketebalannya bergantung pada area yang ditangani.

4. Open Reduction Interna Fixation (ORIF)


Open Reduction Interna Fixation (ORIF) adalah fiksasi interna dengan
pembedahan terbuka untuk mengistirahatkan fraktur dengan melakukan
pembedahan untuk memasukkan paku, screw, pen kedalam tempat fraktur
untuk menguatkan/mengikat bagian-bagian tulang yang fraktur secara
bersamaan (Reeves, 2001). Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi
fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergerakan.
Indikasi dilakukannya ORIF :

 Fraktur yang tidak dapat direduksi kecuali dengan operasi.


 Fraktur yang tidak stabil secara bawaan dan cenderung mengalami
pergeseran kembali setelah reduksi, selain itu juga fraktur yang
cenderung
ditarik terpisah oleh kerja otot.
 Fraktur yang penyatuannya kurang sempurna dan perlahan-lahan
terutama
fraktur pada leher femur.
 Fraktur patologik dimana penyakit tulang dapat mencegah
penyembuhan.
 Fraktur multiple, bila fiksasi dini mengurangi resiko komplikasi umum
dan kegagalan organ pada bagian system.
 Fraktur pada pasien yang sulit perawatannya.

5. Bidai atau spalk


Bidai atau spalk adalah alat dari kayu, anyaman kawat atau bahan lain yang
kuat tetapi ringann yang digunakan untuk menahan atau menyangga agar
orang yang patah tidak bergerak (imobilisasi) sehingga istirahat dan
mengurangi rasa sakit.
6. Gips
Gips adalah alat imobilisasi eksternal yang kaku yang di cetak sesuai dengan
kontur tubuh tempat gips di pasang (brunner & sunder, 2000) Gips adalah
balutan ketat yang digunakan untuk imobilisasi bagian tubuh dengan
mengunakan bahan gips tipe plester atau fiberglass (Barbara Engram, 1999).

7. Traksi
Traksi adalah tahanan yang dipakai dengan berat atau alat lain untuk
menangani kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot. Traksi digunakan
untuk meminimalkan spame otot, untuk mereduksi, mensjajarkan, dan
mengimubilisasi fraktur; untuk mengurangi deformitas, dan untuk menambah
ruangan di antara kedua permukaan patahan tulang. Beban traksi pada orang
dewasa 5-7 kg, Anak : 1/13 x BB (Barbara, 1998)
8. Pemberian Antibiotik
Infeksi luka operasi (ILO) adalah penyebab signifikan dari morbiditas dan
kematian. Pasien yang mengalami ILO akan memiliki risiko lima kali lebih
besar untuk masuk rumah sakit kembali dan risiko dua kali lebih besar untuk
mengalami kematian, dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami ILO.
Faktor risiko ILO dibagi menjadi dua kategori, yaitu pasien dan karakteristik
tindakan operasi (Ulman dan Rotschafer, 2016).

Untuk mencegah terjadinya ILO, maka perlu diberikan antibiotik yang tepat.
Penggunaan antibiotik terbagi menjadi tiga yaitu sebagai profilaksis, terapi
empiris, dan terapi definitif. Pembagian golongan ini berdarkan keaadaan
pasien saat antibiotik diberikan.

a) Antibiotik profilaksis
adalah antibiotik yang diberikan pada pasien yang belum mengalami
infeksi atau belum terkena penyakit. Tujuan dari pemberian antibiotik
profilaksis adalah untuk mencegah terjadinya infeksi pada pasien atau
mencegah timbulnya penyakit berbahaya, yang dipicu oleh adanya infeksi
(Gumbo, 2011). Antibiotik profilaksis yang ideal adalah yang merupakan
antibiotik tunggal dan bertahan kurang dari 24 jam (Ulman dan Rotschafer,
2016).

b) Terapi empiris (atau presumptive)


Apabila terdapat tanda-tanda terjadi infeksi pada pasien, antibiotic harus
diganti. Antibiotic ini diberikan ketika bakteri patogen yang menyebabkan
infeksi belum diketahui (Lampiris dan Maddix, 2012). Tujuannya adalah
untuk eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga
menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan
mikrobiologi. Lama pemberian dari antibiotik empiris adalah 48 – 72 jam
(Kemenkes RI, 2011).
c) Terapi Definitif
Setelah bakteri patogen berhasil diisolasi dan hasilnya sudah dapat
diketahui, maka terapi antibiotik harus dipersempit dan disebut sebagai
terapi definitif. Terapi harus dilakukan sesingkat mungkin karena dapat
memicu terjadinya resistensi (Gumbo, 2011).

9. Tahap Penyembuhan Tulang


Agar penyembuhan fraktur dapat berjalan normal, beberapa syarat harus
dipenuhi, yaitu viabilitas dari fragmen (suplai darah yang intak), immobilisasi
mekanik, dan absennya infeksi.

a) Tahap Pembentukan Hematom

Saat patah tulang, fragmen tulang yang patah akan merusak jaringan serta
memutus pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan di luar pembuluh
darah lalu terjadi penumpukan di tempat cedera yang disebut Hematoma.
Berkumpulnya darah pada fase hematom awalnya diduga akibat robekan
pembuluh darah lokal yang terfokus pada suatu tempat tertentu. Namun
pada perkembangan selanjutnya hematom bukan hanya disebabkan oleh
robekan pembuluh darah tetapi juga berperan faktor-faktor inflamasi yang
menimbulkan kondisi pembengkakan lokal. Tempat cedera kemudian
diinvasi oleh makrofag (Sel darah putih besar) yang membersihkan daerah
tersebut.
b) Tahap Proliferasi Sel

Dalam sekitar 5 hari hematoma akan mengalami organisasi. Terbentuk


benang-benang fibrin, membantu jaringan untuk membuat revaskularisasi
dan invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteoblast
(berkembang dari osteosit, sel endotelium dan sel periosteum) akan
menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada
patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrous dan tulang rawan
(osteoid).

c) Tahap Pembentukan Kalus

Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh


mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan
tulang digabungkan dengan jaringan fibrous, tulang rawan dan tulang
serat imatur. Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan untuk
menghubungkan defek secara langsung dengan jumlah kerusakan dan
pergeseran tulang. Perlu waktu 3 sampai 4 minggu agar fragmen tulang
tak bisa lagi digerakkan. (Smeltzer dan Bare, 2001).

d) Tahap Osifikasi

Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2 sampai 3


minggu patah tulang. Mineral terus ditimbun sampai tulang benar-benar
telah bersatu dengan keras. Permukaan kalus tetap bersifat elektronegatif.
Pada patah tulang panjang orang dewasa normal, penulangan memerlukan
waktu 3 sampai 4 bulan ( Smeltzer dan Bare, 2001).

e) Tahap Remodelling
Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati
dan reorganisasi tulang baru ke susunan structural sebelumnya.
Remodeling memerlukan waktu berbulan-bulan sampi bertahun-tahun
tergantung modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang, dan stress
fungsional pada tulang.
Prosess penyembuhan tulang dapat dipantau dengan pemeriksaan
radiologi. Imobilisasi harus memadai hingga tampak tanda-tanda adnya
kalus pada gambaran sinar-x. (Smeltzer dan Bare, 2001)

H. Asuhan Keperawatan

DATA FOKUS

Data subjektif Data objektif

1. Klien mengatakan sakitnya karena 1. Tingkat kesadaran compos mentis


kecelakaan ditabrak motor 2. Tanda-tanda vital
2. Saat kecelakaan klien menyatakan sadar a. TD : 100/60 mmHg
akan kejadian dan tungkai sinistra sakit b. RR : 20x/menit
untuk digerakan c. HR ; 112x/menit
d. T : 37,0OC
3. Palpasi daerah fraktur ada bagian tulang
yang menonjol dan ada krepitus di femur
sinistra
4. Tulang keluar dari permukaan kulit
5. Perdarahan
6. Hasil pemeriksaan laboratorium
Hb : 12 gr/dl
Ht : 40%
Leukosit : 12.000
GDS : 125
7. Hasil rontgen femur sinistra fraktur
kominutif
8. Tindakan sementara klien terpasang
spalk dan akan direncanakan dilakukan
ORIF
9. Klien terpasang infus RL 28 tts/mnt
10. Mendapat antibiotik cefizox 1 gr/IV
11. Klien dirawat dengan keluhan patah
tulang pada femur sinistra dan luka
terbuka sehingga tulang keluar dari kulit,
nyeri hebat dan perdaharan.

ANALISA DATA

No Analisa data Masalah Etiologi

1 DS : Risiko syok (00205) Hipovolemia

1. Klien mengatakan sakitnya karena


kecelakaan ditabrak motor
DO :

1. Klien mengalami patah tulang


pada femur sinistra dan luka
terbuka
2. Klien mengalami perdarahan
3. Tingkat kesadaran composmentis
4. Ttv :
a. TD : 100/60 mmHg
b. HR: 112x/mnt
c. RR: 20x/mnt
d. Hb: 12 gr/dl
e. Ht: 40%
f. Leukosit: 12.000
2 DS : Nyeri akut (00132) Agen cedera fisik

1. Klien mengatakan sakitnya karena


kecelakaan ditabrak motor
2. Saat kecelakaan klien mengatakan
sadar akan kejadian dan tungkai
sinistra sakit untuk digerakan

DO :

1. Tingkat kesadaran composmentis


2. Tanda-tanda vital
a. TD : 100/60 mmHg
b. HR : 112x/menit
c. RR : 20x/menit
d. Suhu : 37,00C
3. Palpasi daerah fraktur aada bagian
tulang yang menonjol dan ada
krepitus di femur sinistra
4. Tulang keluar dari permukaan
kulit
5. Perdarahan
6. Hasil pemeriksaan laboratorium
a. Hb : 12 gr/dl
b. Ht : 40%
c. Leukosit : 12.000
d. GDS : 125
7. Hasil rontgen femur sinistra
fraktur kominutif
8. Tindakan sementara klien
terpasang spalk dan akan
direncanakan dilakukan ORIF
9. Klien terpasang infus RL
28tts/menit
10. Mendapat antibiotik cefizok 1
gr/dl
11. Klien dirawat dengan keluhan
patah tulang pada femur sinistra
dan luka terbuka sehingga tulang
keluar dari kulit, nyeri hebat, dan
perdarahan

3 DS : - Risiko infeksi gangguan integritas


(00004) kulit

DO :

1. Tingkat kesadaran composmentis


2. Palpasi daerah fraktur ada bagian
tulang yang menonjol dan ada
krepitus di femur sinistra
3. Tulang keluar dari permukaan
kulit
4. Perdarahan
5. Tindakan sementara klien
terpasang spalk dan akan
direncanakan dilakukan ORIF
6. Klien terpasang inful RL
28tts/menit
7. Klien dirawat dengan keluhan
patah tulang pada femur sinistra
dan luka terbuka sehingga tulang
keluar dari kulit, nyeri hebat dan
perdarahan
8. Tanda-tanda vital
a. TD : 100/60 mmHg
b. HR : 112x/menit
c. RR : 20x/menit
d. Suhu : 37,0o C

TUJUAN DAN KRITERIA HASIL DAN INTERVENSI

NO. DIAGNOSA
NOC NIC
KEPERAWATAN

1. Risiko syok d.d Setelah dilakukan asuhan 1. Pengurangan


Hipovolemia (00205) keperawatan selama 1x24 perdarahan (4020)
jam diharapkan risiko syok a. Monitor perdarahan
dapat teratasi. pasie ( jumlah dan
sifat kehilangan
darah).
b. Perhatikan kadar hb
1. Keparahan syok :
dan ht serta ttv .
hipovolemik (0419)
c. Monitor intake
Indikator:
output
1) Tekanan darah d. Pemberian cairan
kembali menjadi melalui IV
normal menjadi e. Instruksikan pasien
120/80. untuk pembatasan
aktifitas
2. Keparahan kehilangan
darah (041)
2. Manajemen
Indikator:
Hipovolemi (4180)
1) Darah yang keluar 1. Monitor status
berkurang hemodinamik
2) Denyut nadi menjadi meliputi nadi dan
normal 80 – tekanan darah
100x/menit 2. Monitor adanya
tanda tanda
dehidrasi ( turgor
kulit, kapilary refil,
membrane mukosa)
3. Dukung asupan
cairan oral
2. Nyeri akut b.d Agen Setelah dilakukan asuhan 1. Manajemen nyeri
cedera fisik (00132) keperawatan selama 1x24 Intervensi :
jam diharapkan nyeri pasien
a. Lakukan
berkurang.
pengkajian nyeri
1. Control nyeri (1605) b. Kaji pengaruh nyeri
Indikator: terhadap pasien
c. Ajarkan cara non
1) Pasien dapat
farmakologi seperti
mengenali kapan
teknik relaksasi
nyeri terjadi
napas dalam
2) Pasien mampu
d. Control lingkungan
menggunakan
e. Observasi TTV.
tindakan
pengurangan nyeri
tanpa analgesik 2. Pemberian Analgesik
3) Pasien mampu (2210)
menggunakan Intervensi :
analgesic yang
a. Cek perintah
direkomendasikan
pengobatan
4) Pasien mampu
meliputi obat, dosis
melaporkan
dan frekuensi obat
perubahan terhadap
analgesic yang
gejala nyeri
diresepkan
b. Cek adanya alergi
2. Tingkat Nyeri
obat
Indicator :
c. Monitor ttv
1) Panjang episode sebelum dan
nyeri berkurang setelah pemberian
2) Denyut nadi kembali analgesic
normal 80 – 100x/ d. Pemberitahuan
menit penggunaan obat
3) Tekanan darah
kembali menjadi
normal 120/80
3. Risiko infeksi b.d Setelah dilakukan asuhan 1. Control infeksi
gangguan integritas kulit keperawatan selama 1x24 Intervensi:
(00004) jam diharapkan risiko
a. Bersihkan area
infeksi dapat teratasi.
sekitar luka pasien
1. Keparahan cedera b. Cuci tangan
fisik (1913) sebelum dan
Indikator : sesudah menangani
pasien
1) Fraktur ekstremitas
c. Pakai sarung
dapat teratasi
tangan steril
dengan tepat
2. Keparahan infeksi
d. Kolaborasi dengan
(0703)
tenaga kesehatan
Indicator :
lain ( pembedahan
1. Sel darah putih kembali orif)
normal
I. Hasil penelitian terkait
Clara Septi Amanda 1710711066

Pengaruh Terapi Musik Klasik Untuk Mengurangi Nyeri Pada Pasien Post
Judul
Operasi Fraktur Di Ruang Flamboyan Rsud Brebes

Keyword Terapi musik, Nyeri, Responden post operasi fraktur.

Penulis Arisnawati, Ahmad Zakiudin dan Riki Iskandar

Tahun 2019

Untuk memahami pengaruh terapi terhadap musik klasik agar nyeri dapat
Tujuan
berkurang oleh pasien post operasi fraktur

Lokasi Ruang Flamboyan RSUD Brebes, Jawa Tengah

Fraktur merupakan patah tulang, pada umumnya diakibatkan oleh tekanan


mental atau mungkin tenaga fisik. Daya serta sudut dari tenaga inilah, posisi
tulang, serta jaringan lunak tulang dapat menetapkan apa mungkin fraktur yang
terjadi ini utuh atau tidak utuh. (Kusuma, 2015). Penanganan terhadap fraktur
dapat dengan pembedahan atau tanpa pembedahan, meliputi: Imobilisasi,
Reduksi, Proteksi saja, Reposisi, Traksi dan Rehabilitation (Mansjoer, 2000).
Efek samping yang bisa ditimbulkan oleh paisen post operasi adalah nyeri.
Latar Secara skema makro terdapat dua manajemen untuk menumpas nyeri yakni
belakang manajemen farmakologi serta manajemen non farmakologi.

Manajemen farmakologi yang umumnya diaplikasikan ialah analgetik supaya


meredakan nyeri. Manajemen non farmakologi supaya menumpaskan nyeri
terdiri atas berbagai upaya pengendalian fisik seperti stimulus kulit, stimulus
elektrik saraf kulit, akupuntur. Intervensi perilaku kognitif seperti tindakan
distraksi, teknik relaksasi, hypnosis serta sengatan terapeutik bahkan teknik
relaksasi diantaranya dengan menggunakan musik (Novita, 2012). Musik dapat
menyentuh individu baik secara fisik, psikososial, emosional dan spiritual.
Mekanisme musik ialah dengan memadukan pola getar dasar tubuh manusia.
Vibrasi musik yang terikat erat dengan frekuensi dasar tubuh atau pola getar
dasar bisa mempunyai dampak terhadap pengobatan yang begitu hebat bagi
tubuh, pikiran serta jiwa manusia. Getaran ini juga menimbulkan perubahan
emosi, organ, hormon, enzim, sel-sel dan atom di tubuh (Novita, 2012)

Dua pasien yang dirawat diruang Flamboyan RSUD Brebes dengan kriteria :

1. Partipisan yang mengalami nyeri post operasi fraktur

2. Tidak menderita penyakit sistemik


Sampel
3. Kondisi psikologis responden baik

4. Responden sudah melakukan mobilisasi 2 jam post operasi

5. Responden aktif dan mau bekerja sama bersedia menjadi partisipan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dengan
Jenis
mengaplikasikan terapi musik klasik untuk menurunkan rasio nyeri terhadap
penelitian
responden post operasi fraktur di ruangan Flamboyan RSUD kabupaten brebes.

Peneliti melakukan pemberian terapi musik klasik pada partisipan dengan


durasi kurang lebih 15 menit dalam waktu 2 hari. Setelah dilakukan terapi
musik klasik, kemudian dilakukan evaluasi untuk mengetahui apakah ada atau
tidaknya perubahan skala nyeri setelah dilakukan penerapan terapi musik
Hasil
klasik tersebut.

Berdasarkan intensitas skala nyeri yang diukur menggunakan skala nyeri


menurut Bill-Melzack di ruang Flamboyan RSUD Brebes disajikan pada tabel
1 untuk partisipan pertama dan partisipan kedua disajikan pada tabel 2.
Dari penelitian mengambarkan bahwa pada responden mengalami penurunan
dari nyeri sedang menjadi nyeri ringan, ternyata terbukti yakni terapi musik
klasik mampu memberikan rasa tenang sehingga responden tidak fokus
terhadap nyerinya.

Berdasarkan hasil yang telah dibahas di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
penerapan terapi musik klasik bermanfaat untuk mengurangi tingkat nyeri
Kesimpulan
terhadap responden post operasi fraktur dan diharapkan perawat dapat
dan Saran
menerapkan teknik tersebut agar rasio nyeri terhadap responden post operasi
dapat berkurang.

Arisnawati., Zakiudin, Ahmad., dan Iskandar, Riki. 2019. Pengaruh Terapi


Daftar
Musik Klasik Untuk Mengurangi Nyeri Pada Pasien Post Operasi Fraktur Di
Pustaka
Ruang Flamboyan Rsud Brebes. Jurnal Ilmiah Indonesia. 4(6), 1-7.
DAFTAR PUSTAKA

Arisnawati., Zakiudin, Ahmad., dan Iskandar, Riki. (2019). Pengaruh Terapi Musik
Klasik Untuk Mengurangi Nyeri Pada Pasien Post Operasi Fraktur Di Ruang Flamboyan
Rsud Brebes. Jurnal Ilmiah Indonesia. 4(6), 1-7.

Doengoes, 2000 dalam Wijaya & Putri, 2013: 241

LeMone, Priscilla; Burke, Karen M.; Bauldoff, Gerene. (2016). Buku ajar keperawatan
medikal bedah: gangguan muskuloskeletal. Ed. 5 bahasa indonesia. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne C. ( 2001). Buku ajar keperawatan medical bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai