Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hipertensi disebut sebagai si pembunuh senyap karena gejalanya sering tanpa

keluhan. Biasanya, penderita tidak mengetahui kalau dirinya mengidap hipertensi dan

baru diketahui setelah terjadi komplikasi. Satu-satunya cara untuk mencegahnya

adalah cek tekanan darah. Hipertensi dapat dicegah dengan mengendalikan perilaku

berisiko seperti merokok, diet tidak sehat, kurang konsumsi sayur dan buah, dan

menginsumsi garam yang berlebihan.

Hipertensi merupakan penyakit tidak menular, penyakit degenaratif ini banyak terjadi

dan mempunyai tingkat mortalitas yang cukup tinggi serta mempengaruhi kualitas

hidup dan produktifitas seseorang. Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi) adalah suatu

kondisi dimana tekanan sistolik darah > 140 mmHg dan/atau diastolik > 90 mmHg

(WHO, 2013).

Sebagai dampak positif pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah

adanya pergeseran pola penyakit di Indonesia. Penyakit infeksi dan kekurangan gizi

berangsur turun, diikuti dengan meningkatnya penyakit degeneratif atau tidak

menular. Salah satunya adalah Hipertensi.


Penyakit tidak menular (PTM) merupakan masalah kesehatan utama di negara-negara

maju. Beradasarkan data WHO (2013), pada tahun 2008 angka kematian Penyakit

Tidak Menular (PTM) di Indonesia mencapai 647 per 100.000 penduduk. Menurut

Kemenkes RI (2012), pada tahun 2008 di Indonesia terdapat 582.300 laki-laki dan

481.700 perempuan meninggal karena PTM.

Data WHO pada tahun 2014 terdapat sekitar 600 juta penderita hipertensi di seluruh

dunia. Prevalensi tertinggi terjadi di wilayah Afrika yaitu sebesar 30%. Prevalensi

terendah terdapat di wilayah Amerika sebesar 18%. Secara umum laki-laki memiliki

prevalensi hipertensi yang lebih tinggi dibandingkan wanita. Data WHO (World

Health Organization) (2015) menunjukkan sekitar 1,13 miliar orang di dunia

menderita hipertensi. Artinya 1 dari 3 orang di dunia terdiagnosis menderita

hipertensi, hanya 36,8% diantaranya yang minum obat. Jumlah penderita hipertensi di

dunia terus meningkat setiap tahunnya, diperkirakan pada 2025 akan ada 1,5 miliar

orang yang terkena hipertensi, diperkirakan juga setiap tahun ada 9,4 juta orang

meninggal akibat hipertensi dan komplikasinya. Prevalensi hipertensi di Indonesia

berdasarkan hasil pengukuran pada penduduk usia 18 tahun sebesar 34,1% tertinggi

di Kalimantan Selatan (44,1%), sedangkan terendah di Papua sebesar (22,2%).

Hipertensi terjadi pada kelompok 31-44 tahun (31,6%), umur 45-55 tahun (45,3),

umur 55-64 tahun (55,2%) (RISKESDAS, 2018).


Di Sulawesi Tenggara, data yang ada adalah data yang diperoleh dari kunjungan pada

unit-unit Pelayanan Kesehatan seperti Puskesmas dan Jaringannya. Dari 1.394.179

orang. Penduduk berusia 18 tahun keatas yang dilakukan pengukuran tekanan darah,

sebanyak 160.975 orang atau 11,55%, sebanyak 54.127 orang atau 33,62% yang

mengalami hipertensi. Berdasarkan jenis kelamin, hipertensi lebih banyak ditemukan

pada laki-laki yaitu sebesar 45,61%, sedangkan pada perempuan hanya sebesar

30,21%. Data ini berasal dari semua kabupaten/kota, data diatas menjadi acuan

tentang gambaran hipertensi di Sulawesi Tenggara yang presentasinya berada diatas

prevalensi nasional (Profil Kesehatan Sulawesi Tenggara, 2017).

Puskesmas Batauga merupakan puskesmas yang berada dalam naungan Dinas

Kesehatan Buton Selatan terdapat XII Desa yang menjadi Wilayah Kerja Puskesmas

Batauga dimana berdasarkan data kunjungan April sampai Agustus terdapat 532

pasien yang datang berobat ke puskesmas Batauga 38% diantaranya yakni 204 pasien

dengan hipertensi.

Meningkatnya prevalensi Hipertensi di Indonesia, diduga ada hubungannya dengan

cara hidup (pola makan), kegemukan, merokok, kurang aktivitas fisik, diet tinggi

lemak, konsumsi garam berlebih, dislipidemia, konsumsi aklkohol berlebih,

Psikososial dan stres. Pola makan bergeser dari pola makan tradisional yang banyak

mengandung karbohidrat, serat dan sayuran ke pola makan kebarat-baratan dengan

komposisi yang terlalu banyak mengandung protein, lemak, gula, garam, dan sedikit
serat. Hal ini juga didukung oleh kurangnya peran keluarga dalam pengelolaan pada

salah satu anggota keluarga yang menderita Hipertensi. Selain juga pola makan, gaya

hidup yang sangat sibuk, tidak adanya kesempatan untuk rekreasi atau olah raga

sehingga menyebabkan tingginya angka penyakit jantung koroner dan hipertensi. Di

samping cara hidup dan gaya hidup, peran keluarga dalam pengelolaan pasien

Hipertensi juga belum optimal.

Hipertensi jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan komplikasi pada

berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, syaraf dan

lain-lain. Dengan pengalaman yang baik, yaitu kerja sama antara pasien, keluarga,

dan petugas kesehatan, diharapkan komplikasi kronik Hipertensi akan dapat dicegah,

setidaknya dihambat perkembangannya. Untuk mencapai hal tersebut, keikutsertaan

pasien, keluarga untuk mengelola anggota keluarganya menjadi sangat penting.

Demikian pula adanya para petugas kesehatan sebagai penyuluh bagi keluarga dalam

membantu pasien dengan Hipertensi. Guna mendapatkan hasil yang maksimal,

penyuluhan bagi para petugas kesehatan sangat diperlukan agar informasi yang

diberikan pada keluarga dengan salah satu anggota keluarga menderita Hipertensi

bermanfaat.

Berdasarkan penemuan fakta di atas, maka perlu dilakukan penelitian guna

membuktikan pengaruh konseling keluarga terhadap peran keluarga dalam mengelola

anggota keluarga dengan Hipertensi, sehingga peneliti ingin meneliti pengaruh


konseling keluarga terhadap peran keluarga dalam pengelolaan anggota keluarga

dengan Hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Batauga.

Anda mungkin juga menyukai