Anda di halaman 1dari 11

REFERAT

INFORMED CONSENT PSIKIATRI

Pembimbing

Disusun Oleh:

Harisma Minarti Maakh (11-2017-191)

KEPANITERAAN DASAR

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

JAKARTA

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pola pikir
masyarakat saat ini pun kian maju oleh karena mudahnya pengaksesan informasi,
termasuk informasi kesehatan. Hal ini membuat sebagian besar masyarakat menjadi lebih
kritis dalam menilai setiap tindakan media yang diperolehnya. Sehingga hubungan
dokter-pasien yang pada awalnya adalah hubungan yang bersifat paternalistic lambat laun
berubah menjadi hubungan yang kontraktual, dimana dokter dan pasien adalah pihak-
pihak yang bebas, yang meskipun memliki perbedaan kapasitas dalam membuat
keputusan, tetapi saling menghargai. Dokter akan mengemban tanggung jawab atas segala
keputusan teknis, sedangkan pasien tetap memegang kendali keputusan penting, terutama
yang terkait dengan nilai normal dan gaya hidup pasien. Hubungan kontrak
mengharuskan terjadinya pertukaran informasi dan negosiasi sebelum terjadinya
kesepakatan, namun juga memberikan peluang kepada pasien untuk menyerahkan
pengambilan keputusan kepada dokter.
Pasien memiliki hak untuk diinformasikan dan secara aktif terlibat dalam
perawatan yang akan dilakukan. Hak membuat keputusan dan menolak tentang
perawatan yang akan dilakukan. Informed consent merupakan perlindungan etis yang
paling dikenal secara luas dalam perawatan klinis dan penelitian. Namun, bagaimana
menjaga prinsip etika pada orang dengan gangguan mental menimbulkan dilema.
Menurut definisi orang dengan gangguan mental tidak selalu memiliki fungsi kognitif
yang berkurang dan penilaian yang buruk dan oleh karena itu tidak selalu terganggu
untuk dilakukan informed consent. Di sebagian negara, kebijakan etika medis yang ada
mengharuskan praktisi kesehatan untuk memperoleh informed consent dari pasien
sebelum memulai intervensi, baik invasif atau sebaliknya. Informed consent, sebagai
faktor yang paling mendasar untuk praktik medis.
Dengan demikian referat ini bertujuan menyajikan hal-hal penting dari informed
consent pada pasien dengan kondisi mental yang berkurang ataupun pasien psikiatri serta
menentukan situasi dimana persetujuan mungkin tidak diperlukan.
1.2.Tujuan
Tujuan dari referat ini diantaranya untuk memberikan gambaran mengenai hal-hal
penting pada informed consent yang dilakukan pada psikiatri dan situasi apa saja dimana
persetujuan atau informed consent tidak diperlukan.

1.3.Manfaat
Referat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis serta pembaca
mengenai informed consent pada psikiatri. Selain itu, referat ini juga akan dijadikan untuk
melengkapi persyaratan Kepaniteraan Dasar di Universitas Kristen Krida Wacana.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Informed Consent

Informed consent didefinisikan sebagai proses dimana informasi eksplisit


diberikan kepada pasien atau subjek eksperimental yang relevan bagi mereka untuk
memutuskan apakah akan atau tidak berpartisipasi dalam perlakuan tertentu. Informed
consent juga didefinisikan sebagai penerimaan sukarela dari rencana perawatan medis
oleh pasien yang berkompeten setelah dokter mengungkapkan rencana, resiko, manfaat
dan pendekatan alternatifnya secara memadai.1 Dari sudut pandang etis, informed
consent adalah proses komunikasi, dimana seseorang pasien diberi kesempatan untuk
membuat keputusan yang diinformasikan dan sukarela menerima atau menolak
perawatan medis.2

Landasan etika utama dari informed consent adalah prinsip menghormati otonomi
pribadi dan penentuan nasib sendiri. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa setiap
orang memiliki nilai dan martabat yang melekat, yang dilestarikan dengan
memungkinkan mereka kebebasan untuk mengatur agenda kehidupan mereka sendiri dan
membuat pilihan mereka sendiri berdasarkan pada nilai-nilai dan sistem kepercayaan
mereka sendiri.

Dalam psikiatri, seperti dalam cabang kedokteran lainnya, informed consent


adalah perjanjian yang didasarkan pada pemahaman dan penghargaan yang tepat
terhadap informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan. Hal ini umumnya
dianggap sebagai tindakan bebas pikiran, dan biasanya disertai dengan beberapa tingkat
pertimbangan mental yang beralasan. Secara hukum, pasien harus memberikan izin
mereka sebelum dokter dapat melanjutkan perawatan, kecuali dalam situasi terbatas.
Psikiater memiliki tugas khusus untuk memastikan bahwa pasien dengan penyakit mental
mampu memberikan persetujuan yang bebas yang telah diinformasikan.2

2.2. Dasar Hukum Informed Consent

Adapun aspek prosedural hukum yang penting untuk informed consent yang
seharusnya tidak diabaikan. Psikiater harus benar-benar paham mengenai unsur-unsur
persetujuan serta persyaratan undang-undang.2
Informed consent diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
290/MENKES/ PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Informed
consent atau persetujuan tindakan kedokteran merupakan persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Pihak
yang bertanggung jawab menyampaikan penjelasan kepada pasien adalah dokter yang
melakukan tindakan kedokteran. Tetapi apabila dokter yang bersangkutan berhalangan
untuk menyampaikan penjelasan, penjelasan dapat diwakilkan kepada dokter lain dengan
sepengetahuan dokter yang bersangkutan. Pendelegasian wewenang kepada perawat
hanya dibenarkan apabila tindakan kedokteran tersebut bukan merupakan tindakan bedah
atau tindakan invasif lainnya. Berdasarkan Pasal 7 dan Pasal 8 Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/ III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran, penjelasan yang disampaikan haruslah mudah dipahami dan setidak-
tidaknya berkisar padahal pokok sebagai berikut:3

a) Penjelasan mengenai diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran, yang meliputi: (1)
temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut; (2) diagnosis
penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka sekurang-kurangnya
diagnosis kerja atau diagnosis banding; (3) indikasi atau keadaan klinis pasien yang
membutuhkan dilakukannya tindakan kedokteran; (4) prognosis apabila dilakukan
tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan; dan (5) tata cara pelaksanaan
tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah tindakan, serta efek
samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.
b) Penjelasan tentang tujuan tindakan kedokteran yang akan dilakukan, meliputi tujuan
tindakan kedokteran yang dapat berupa preventif, diagnostik, terapeutik, ataupun

rehabilitatif. 


c) Penjelasan tentang alternatif tindakan kedokteran lain yang tersedia dan risikonya
masing-masing, meliputi: (1) alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan
kekurangannya dibandingkan dengan tindakan yang direncanakan; (2) risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan; (3)
perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat

risiko dan komplikasi tersebut dan keadaan tak terduga lainnya. 



d) Penjelasan tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi , meliputi: (1) risiko
dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum; (2) risiko dan komplikasi
yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat ringan; dan (3) risiko dan
komplikasi yang tidak dibayangkan sebelumnya (unforeseeable).
e) Penjelasan tentang prognosis penyakit apabila tindakan kedokteran tersebut
dilakukan atau tidak dilakukan, meliputi: (1) prognosis tentang hidup dan matinya
(ad-vitam); (2) prognosis tentang fungsinya (ad functionam); dan (3) prognosis
tentang kesembuhan (ad sanationam).

2.3 Bentuk Informed Consent

Bentuk informed consent di bedakan menjadi dua yaitu :4

1. Informed consent yang dinyatakan secara tegas

a) Informed consent yang dinyatakan secara lisan yaitu apabila tindakan medis itu
tidak berisiko, misalnya pada pemberian terapi obat dan pemeriksaan terapi medis,
sedangkan untuk tindakan medis yang mengandung risiko misalnya pembedahan,
informed consent dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh pasien
b) Informed consent yang dinyatakan secara tertulis yaitu bentuk yang paling tidak
diragukan. Namun jika dilakukan dengan cara lisan juga sah, kecuali jika ada
syarat hukum tertentu yang menuntut informed consent tertulis untuk prosedur
tertentu.

2. Informed consent yang dinyatakan secara tersirat

Informed consent juga dianggap ada, hal ini dapat tersirat ada gerakan pasien
yang diyakini oleh dokter. dengan anggukan kepala, maka dokter dapat menanggap
isyarat tersebut sebagai tanda setuju. Dapat dikatakan bahwa pasien membiarkan
dokter untuk memeriksa bagian tubuhnya, dengan pasien membiarkan / menerima dan
tidak menolak maka dokter menganggap hal ini sebagai suatu persetujuan untuk
dilakukan oleh pasien jika pasien telah menyetujui ataupun tidak bertanya lebih lanjut
tentang informasi dari dokter, dianggap telah mengetahui penjelasan dokter.

2.4 Prinsip Informed Consent


Informed consent dimaksudkan persetujuan bebas yang diberikan oleh pasien
terhadap suatu tindakan medis, setelah ia memperoleh semua informasi penting mengenai
sifat serta konsekuensi tindakan tersebut. Prinsip informed consent berakar pada martabat
manusia di mana otonomi dan integritas pribadi pasien harus dilindungi. Integritas
manusia menuntut bahwa setiap orang bertindak menurut apa yang diketahuinya dan
berdasarkan pilihan bebasnya. Pilihan sedemikian secara personal bersumber dari dalam
diri sendiri,dan bukan dari dorongan internal buta atau karena tekanan eksternal. Prinsip
informed consent merupakan hak dan kewajiban setiap individu yang kompeten untuk
meningkatkan kehidupan spiritualnya dan kesejahteraan jasmaninya melalui persetujuan
bebasnya, atau dengan menolak memberi persetujuan atas tindakan medis tertentu
berdasarkan pengetahuan yang cukup tentang keuntungan, kerugian dan resiko yang
terkait. Bagi individu yang tidak kompeten, hak dan kewajiban ini harus diinterpretasi
oleh penjamin individu tersebut (pasien) yang sah sesuai pengetahuannya atau
keinginannya yang rasional.5

2.5 Fungsi Informed Consent

Fungsi-fungsi informed consent adalah melindungi dan meningkatkan otonomi


pasien, melindungi pasien dan subyek peserta penelitian, mencegah tindakan manipulatif
dan pemaksaan, meningkatkan sikap mawas diri dari tim medis, meningkatkan
pengambilan keputusan rasional, dan melibatkan publik dalam pengembangan otonomi
sebagai nilai sosial dan kontrol terhadap penelitian biomedis. Fungsi-fungsi ini dibuat
berdasarkan beberapa prinsip moral, yaitu prinsip autonomi, beneficentia, non
maleficentia, dan utilitas. Prinsip autonomia dalah melindungi dan meningkatkan otonomi
individu. Hubungan baik antara dokter dan pasien akan mencegah terjadinya
ketidaktahuan yang justru menghambat otonomi pasien dan/atau keluarga untuk
memutuskan, ketidaktahuan mana dapat berasal dari kekurangan informasi atau karena
kurang paham. Prinsip beneficentia adalah melindungi pasien serta subyek peserta
penelitian, sedangkan prinsip non maleficentia mencegah timbulnya kerugian atas pasien,
terutama pasien tidak sadar, anak-anak, mental terbelakang, dan sebagainya. Dalam hal
ini, orang tua atau keluarga pasien atau orang lain yang secara legal dapat diterima untuk
mewakili pasien, dapat memberi persetujuan. Prinsip utilitas adalah meningkatkan sikap
mawas diri tim medis dalam melakukan tindakan yang menguntungkan setiap orang
dalam masyarakat, termasuk tenaga kesehatan sendiri, pasien-pasien dan para peneliti
sehingga dapat tetap terbina sikap saling percaya.6

2.6 Alasan Moral Persetujuan Tindakan Medis

Memutuskan apakah seseorang kompeten untuk membuat keputusan secara hukum


mengenai persetujuan tindakan medis memerlukan penilaian kapasitas mereka. Ketika
seorang pasien menolak perawatan medis, secara hukum mensyaratkan bahwa ini adalah
pernyataan keinginan mereka untuk dihormati kecuali mereka dikatakan secara hukum tidak
kompeten. Akan tetapi kelainan yang terdapat pada penderita gangguan jiwa dapat mencegah
pasien dari pemahaman maksud dan tujuan intervensi medis yang akan dilakukan dan
mencegah pasien untuk dapat memilih secara tegas tindakan mana yang akan diambil atau
kelainan yang dapat menghambat komunikasi dalam pengambilan persetujuan tindakan
medis. Dalam praktik klinik dikatakan bahwa kurangnya penerimaan akan perawatan yang
diperlukan oleh pasien adalah penghormatan dari keputusan pasien berdasarkan alasan yang
diberikan dengan kata lain penolakan pasien dapat diasumsikan sebagai hak otonom yang
sah. Sebuah komisi hukum di Inggris merekomendasikan bahwa ”dugaan terhadap kurangnya
kapasitas” dan bahwa keputusan yang dihasilkan tidak boleh dianggap sebagai tidak sah
hanya karena itu ” tidak akan dilakukan oleh orang-orang yang biasa berhati-hati”. Namun,
dalam kasus dimana penderita tidak dapat menerima suatu intervensi medis yang dibenarkan
atau diperlukan karena gangguan mental yang dideritanya, maka pilihan penderita seperti ini
dianggap tidak otonom. Demikian sebaliknya bila penderita menyetujui intervensi medis,
harus dibuktikan bahwa ia benar-benar memahami dan mengerti tentang persetujuan tindakan
medis yang diberikannya.6
Alasan moral tentang pentingnya persetujuan tindakan medis:6
1. Penderita yang cakap, menurut definisi dapat memberikan persetujuan tindakan medis
2. Pentingnya persetujuan tindakan medis didukung oleh
a) Prinsip-prinsip otonomi yaitu untuk menghormati penderita terutama untuk penderita
yang memerlukan penghargaan dalam pengambilan keputusan tindakan medis yang
telah diinformasikan kepadanya
b) Prinsip-prinsip beneficence/non-maleficence yang secara umum merupakan sesuatu
yang diinformasikan kepada pasien adalah suatu keputusan terbaik mengenai terapi
apa yang terbaik untuk pasien itu sendiri
3. Pada penderita yang tidak cakap(incapable) prinsip beneficence adalah:
a) Penilaian atau pengukuran kapasitas seseorang menolong kita memecahkan masalah
yang terjadi secara moral
b) Pada kasus-kasus pasien yang tidak cakap (incapable), maka kita tidak lagi
mengandalkan prinsip otonomi dalam menolong penderita
c) Prinsip dari beneficence /non malefisence mewajibkan klinisi atau dokter bahwa
penderita yang tidak cakap harus dilindungi dari pengambilan keputusan yang
membahayakan.
4. Bila pasien tidak cakap, dokter harus mendapatkan consent yang ditandatangani oleh wali
atau pengampu yang mengambil keputusan.

2.7 Pemberian Informasi dan Persetujuan

Komunikasi diperlukan jika informed consent harus direalisasikan. Psikiater


harus memberi pasien informasi yang mereka butuhkan untuk memungkinkan mereka
membuat keputusan yang tepat tentang perawatan medis mereka, dan harus mencari cara
untuk memfasilitasi pertukaran informasi apa pun yang mungkin diperlukan untuk
memungkinkan pasien mereka membuat keputusan. Psikiater harus menjawab setiap
pertanyaan dengan kemampuan terbaik mereka dan sesuai dengan praktik berbasis
bukti.2

Psikiater harus mengakui bahwa dokumen persetujuan yang ditandatangani tidak


memastikan bahwa proses informed consent telah terjadi dengan cara yang berarti atau
bahwa persyaratan etis telah terpenuhi. Psikiater harus siap untuk terlibat dalam
persetujuan untuk diskusi pengobatan secara berkelanjutan, dan mendokumentasikan
dengan tepat isi percakapan ini sebagai bagian dari rekam medis permanen. Psikiater
harus menghormati keputusan otonom pasien, termasuk hak untuk menerima atau
menolak perawatan medis apapun yang direkomendasikan. Ini berarti bahwa psikiater
harus secara tepat menilai masalah otonomi dan kapasitas, dengan mempertimbangkan
setiap hambatan eksternal atau psikopatologi yang dapat mempengaruhi masalah ini.2

Surat Persetujuan Tindakan Medis dan Penolakan Tindakan Medis merupakan bentuk
informed consent yang dinyatakan secara tertulis, yaitu berupa persetujuan atau penolakan
terhadap tindakan kedokteran terhadap pasien yang dalam hal ini diisi oleh keluarga/instansi
pemerintah yang bertanggung jawab atas diri pasien penderita gangguan jiwa setelah mendapat
penjelasan yang lengkap dari dokter mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan.3

Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Grhasia, yang bertanggung jawab untuk
memberikan penjelasan mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien
penderita gangguan jiwa adalah dokter yang menangani pasien yang bersangkutan. Untuk pasien
yang direkomendasikan untuk menjalani rawat inap di rumah sakit harus mengisi lembar
Persetujuan Tindakan Medis. Untuk pasien yang baru pertama kali akan menjalani perawatan di
rumah sakit, sebelum dilakukan pengisian terhadap lembar Persetujuan Tindakan Medister lebih
dahulu dokter menjelaskan secara lengkap mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengisian
lembar tersebut, mengenai jenis-jenis tindakan kedokteran yang mungkin akan dilakukan terhadap
pasien di kemudian hari selama perawatan, sedangkan untuk pasien lama yang sebelumnya sudah
pernah menjalani rawat inap di rumah sakit maka dokter memberikan penjelasan sebatas
mengenai hal yang belum diketahui oleh keluarga/instansi pemerintah yang bertanggung jawab
atas diri pasien berkaitan dengan perawatan pasien. Persetujuan Tindakan Medis ini diberikan
satu kali oleh keluarga/instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas diri pasien untuk seluruh
tindakan kedokteran yang kemudian akan dilakukan terhadap pasien selama pasien menjalani
perawatan di rumah sakit. Persetujuan Tindakan Medis sebagai bentuk informed consent
diberikan untuk tindakan-tindakan kedokteran yang dilakukan pada Rumah sakit Grhasia berupa
injeksi, infus, isolasi, pengikatan, terapi kejang listrik, dan lain-lain. Untuk pasien yang tidak
memerlukan rawatinap di rumah sakit tidak perlu dilakukan pengisian terhadap Persetujuan
Tindakan Medis secara tertulis.3

Persetujuan Tindakan Medis di Rumah Sakit Grhasia diberikan satu kali oleh keluarga/
instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas diri pasien untuk seluruh tindakan kedokteran
yang akan dilakukan terhadap pasien selama menjalani perawatan di rumah sakit dengan
pertimbangan bahwa ketika pasien sudah mulai menjalani rawat inap di rumah sakit biasanya
keluarga sulit dihubungi untuk dimintai persetujuan kembali atas tindakan-tindakan kedokteran
yang akan dilakukan terhadap pasien, selain itu terkait dengan perkembangan jiwa pasien yang
sulit diprediksi sehingga terkadang diperlukan tindakan secara cepat yang tidak memungkinkan
untuk menunggu persetujuan dari keluarga atau instansi pemerintah, serta untuk efisiensi waktu
dalam melakukan penanganan terhadap pasien. Tidak semua tindakan yang bersifat invasif dan
mengandung risiko yang tinggi yang dilakukan terhadap pasien di Rumah Sakit Grhasia
memerlukan informed consent secara khusus karena informed consent tertulis yang diberikan
pada saat pertama pasien akan menjalani rawat inap sudah mencakup untuk seluruh tindakan
yang diperlukan dalam masa perawatan dan pasien memerlukan penanganan yang cepat. Pihak
rumah sakit melakukan pemberitahuan kepada keluarga instansi pemerintah yang bertanggung
jawab atas diri pasien terhadap perkembangan pasien, dalam hal kondisi pasien menurun atau
kondisi pasien sudah membaik sehingga sudah dapat segera dibawa pulang.3

BAB III

KESIMPULAN

Daftar Pustaka

1. Amer AB. Informed consent in adult psychiatry. Oman Medical Journal. 2013; 28 (4):
228-231
2. Neilson G, Chaimowitz G. Informed consent to treatment in psychiatry. The Canadian
Journal of Psychiatry. 2014; 60 (4): 3
3. Darmini N, Widyaningtyas RS. Informed consent atas tindakan kedokteran di rumah sakit
grhasia pakem Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. 2012;
26 (2): 234-46
4. Kinanti AD, Permatasari DA, Shinta DC. Urgensi penerapan mekanisme informed
consent untuk mencegah tuntutan malpraktik dalam perjanjian terapeutik. FH Universitas
Sebelas Maret Surakarta : Privat Law. 2015; 3(2): 111
5. Felenditi D. Penegakan otonomi pasien melalui persetujuan tindakan medis (informed
consent). Fakultas Kedokteran Unsrat :Jurnal Biomedik. 2009; 1(1): 29-40.
6. Basbeth F. Sejauh mana competency dan capacity diperlukan dalam pengambilan consent
seseorang?. Fakultas Kedokteran Universitas YARSI. 2009; h.7-8.

Anda mungkin juga menyukai