Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

EVALUASI BIOLOGIS KOMPONEN PANGAN

INDEKS GLIKEMIK

DOSEN PENGAMPU:

ULYARTI, S.TP., M.Sc.


MP. 197403241999032001

ASISTEN DOSEN

1. DINI LINDA ARYATI (J1A116004)

2. PUTI NANDA NURUNNISA (J1A116003)

DISUSUN OLEH :
DAVID DENI SAPUTRA (J1A117041)
DIAH NOPITA (J1A117048)
ANWAR SADAD (J1A117081)
FATTAHIRA INSANI (J1A117090)
FIWI REVALIA ANGGRAINI (J1A117091)

KELAS/ SHIFT : R-002/ 2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS JAMBI

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan
akhir praktikum Evaluasi Biologis Komponen Pangan.
Laporan akhir ini disusun guna memenuhi tugas akhir dari praktikum
Evaluasi Biologis Komponen Pangan bagi mahasiswa Fakultas Teknologi
Pertanian, Universitas Jambi. Adapun isi laporan akhir ini adalah kumpulan
laporan mingguan selama praktikum berlangsung. Laporan akhir ini merupakan
syarat untuk dapat mengikuti ujian praktikum dan merupakan syarat dalam
mengontrak mata kuliah Evaluasi Biologis Komponen Pangan.
Kami sebagai penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang mendukung, membantu, dan memfasilitasi penyusunan
laporan akhir ini sehingga berjalan dengan lancar. Dalam penyusunan laporan
akhir ini, kami menyadari bahwa hasil laporan ini masih jauh dari kata sempurna.
Sehingga kami selaku penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca sekalian
Akhir kata semoga laporan akhir praktikum ini dapat memberikan manfaat
untuk kelompok kami khususya, pembaca, dan masyarakat indonesia umumnya.

Jambi,18 November 2019

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan berkembangnya zaman kesehatan manusia semakin


memburuk yang disebabkan karena pola makan yang buruk. Manusia lebih
memilih untuk membeli makanan dari pada membuat sendiri dengan alasan
mempertimbangkan waktu dan tenaga. Setiap bahan pangan seperti karbohidrat,
protein, vitamin, mineral memiliki zat gizi dan karekteristik yang berbeda-beda
berdasarkan jenis dan kuantitasnya.
Karbohidrat merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki
kandungan energi. Energi sangat diperlukan bagi tubuh manusia dalam melakukan
berbagai aktivitas. Energi berkaitan erat dengan kadar glukosa darah dalam tubuh
seseorang . jika kadar glukosa darah seseorang diatas kategori normal maka
potensi timbulnya beberapa penyakit degeneratif seperti penyakit diabetes militus
yang sangat peka terhadap respon asupan glukosa makanan. Oleh karena ith,
penderita diabetes mellitus perlu mengatur pola makan dan memilih jenis pangan
yang tepat. Pemilihan jenis makanan yang tepat terutama dari jenis pangan
sumber karbohidrat dengan indeks glikemik (IG) yang rendah.
Indeks glikemik merupakan tingkatan pangan menurut efeknya (immediate
effect) terhadap kadar gula darah. Pangan yang menaikkan gula darah dengan
cepat, memiliki indek glikemik tinggi, sebaliknya yang lambat menaikkan gula
darah, memiliki indeks glikemik rendah. Glukosa murni digunakan sebagai
pembandingnya karena (IG glukosa murni adalah 100). Konsep indeks glikemik
(IG) menekankan pada pentingnya mengenal pangan (karbohidrat) berdasarkan
kecepatannya menaikkan kadar glukosa darah setelah pangan tersebut
dikonsumsi. Pangan dengan IG rendah memiliki potensi sebagai pangan
fungsional.
Indeks glikemik merupakan rasio antara luas kurva respon glukosa
makanan yang mengandung karbohidrat total setara dengan 50 gram gula terhadap
luas kurva respon glukosa setelah makan 50 gram glukosa, pada hari yang
berbeda dan pada orang yang sama. Kedua tes tersebut dilakukan pada pagi hari
setelah puasa 10 jam dan penentuan kadar gula ditentukan selama dua jam. Dalam
hal ini, glukosa digunakan sebagai standar (nilai 100) dan nilai makanan yang
diuji merupakan persen terhadap standar tersebut.
Pemilihan kentang rebus sebagai reference dan jagung manis sebagai
bahan dikarenakan kedua sampel tersebut dapat digunakan sebagai substitusi nasi.
Kadar glukosa kentang rebus dan jagung rebus hampir sama dengan kadar
glukosa nasi.
Berdasarkan hal yang disebutkan diatas maka dilakukanlah uji indeks
glikemik dengan menggunakan 2 sukarelawan dan menggunakan bahan pangan
berupa kentang rebus dan jagung rebus, untuk mengetahui kadar gula darah serta
memperoleh informasi bahan makanan yang sesuai pada kondisi tubuh seseorang
untuk memaksimalkan derajat tingkat kesehatan individu.

1.2 Tujuan
Tujuan dalam praktikum ini adalah untuk mengetahui dan menentukan
indeks glikemik dengan menggunakan kentang rebus sebagai reference dan
jagung rebus sebagai bahan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Respon glikemik dan indeks glikemik


Respons glikemik merupakan kondisi fisiologis kadar glukosa darah
selama periode tertentu setelah seseorang mengonsumsi pangan. Menurut Frei et
al. (2003), karbohidrat yang berasal dari tanaman yang berbeda mempunyai
respon glikemik yang berbeda pula. Perbedaan respons glikemik juga mungkin
terjadi pada karbohidrat yang berasal dari tanaman yang sama namun berbeda
varietas.
Seperti dijelaskan sebelumnya, pangan yang menaikkan kadar glukosa
darah dengan cepat memiliki IG tinggi, sebaliknya pangan yang menaikkan kadar
glukosa darah dengan lambat memiliki IG rendah (Ragnhild et al. 2004). Nilai IG
dihitung berdasarkan perbandingan antara luas kurva kenaikan glukosa darah
setelah mengonsumsi pangan yang diuji dengan kenaikan glukosa darah setelah
mengonsumsi pangan rujukan terstandar, seperti glukosa atau roti tawar Respons
glikemik ditunjukkan oleh kurva fluktuasi dari penyerapan glukosa dalam darah
(Brouns et al. 2005).
2.2 Faktor – faktor yang mempengaruhi indeks glikemik
Faktor-faktor yang memengaruhi IG pada pangan antara lain adalah
kadar serat, perbandingan amilosa dan amilopektin, daya cerna pati, kadar
lemak dan protein, dan cara pengolahan. Masing-masing komponen bahan
pangan memberikan kontribusi dan saling berpengaruh hingga menghasilkan
respons glikemik tertentu (Widowati 2007).
2.2.1 Kadar Serat Pangan
Serat pangan merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman
seperti pada buah-buahan, sayuran, serealia, dan aneka umbi. Komponen serat
pangan meliputi polisakarida yang tidak dapat dicerna, seperti selulosa,
hemiselulosa, oligosakarida, pektin, gum, dan waxes. Hasil-hasil penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara kadar serat
pangan dengan nilai IG pangan tersebut. Secara umum, buah-buahan yang
mengandung kadar serat pangan tinggi memiliki nilai IG yang rendah, misalnya
kadar serat pangan jambu biji 5,6 g/100 g dengan nilai IG 19 (Englyst dan
Cummings 1985).
Keberadaan serat pangan dapat memengaruhi kadar glukosa darah . Secara
umum, kandungan serat pangan yang tinggi berkontribusi pada nilai IG yang
rendah. Dalam bentuk utuh, serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada
pencernaan. Serat dapat memperlambat laju makanan pada saluran pencernaan
dan menghambat aktivitas enzim sehingga proses pencernaan khususnya pati
menjadi lambat dan respons glukosa darah pun akan lebih rendah. Dengan
demikian IG-nya cenderung lebih rendah (Trinidad et al. 2010).
2.2.2 Kadar Amilosa dan Amilopektin
Granula pati terdiri atas dua fraksi, yakni amilosa dan amilopektin yang
keduanya dapat dipisahkan dengan air panas. Amilosa disebut sebagai fraksi
terlarut, sedangkan amilopektin sebagai fraksi tidak larut. Amilosa merupakan
polimer rantai lurus glukosa yang dihubungkan oleh ikatan(1,4)-glikosidik.
Amilopektin merupakan polimer gula sederhana, bercabang, dan struktur terbuka .
Amilopektin pada dasarnya mirip amilosa, namun memiliki ikatan (1,6)-glikosidik
pada titik percabangannya. Amilopektin bersifat lebih rapuh (amorphous)
dibanding amilosa yang struktur kristalnya cukup dominan. Kandungan amilosa
yang lebih tinggi menyebabkan pencernaan menjadi lebih lambat karena amilosa
merupakan polimer glukosa yang memiliki struktur tidak bercabang (struktur
lebih kristal dengan ikatan hidrogen yang lebih ekstensif). Amilosa juga
mempunyai ikatan hidrogen yang lebih kuat dibandingkan dengan amilopektin,
sehingga lebih sukar dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan. Struktur yang
tidak bercabang ini membuat amilosa terikat lebih kuat sehingga sulit
tergelatinisasi dan akibatnya sulit dicerna . Selain itu, amilosa mudah bergabung
dan mengkristal sehingga mudah mengalami retrogradasi yang bersifat sulit untuk
dicerna (Meyer 1973).
2.2.3 Daya Cerna Pati
Daya cerna pati adalah tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk
dihidrolisis oleh enzim pemecah pati menjadi unitunit yang lebih sederhana.
Enzim pemecah pati dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu endo-amilase
dan ekso-amilase. Enzim alfa-amilase termasuk ke dalam golongan endo-
amilase yang bekerja memutus ikatan di dalam molekul amilosa dan
amilopektin (Tjokroadikoesoemo 1986).
Proses pencernaan pati dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor
intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik menyebabkan pati dicerna pada
usus halus. Faktor intrinsik berkaitan erat dengan sifat alami pati, seperti
ukuran granula, keberadaannya pada matrik pangan, serta jumlah dan ukuran
pori pada permukaan pati (Tharanthan dan Mahadevamma 2003).
2.2.4 Kadar Lemak dan Protein
Lemak merupakan sumber energi bagi tubuh yang lebih efektif daripada
karbohidrat dan protein. Satu gram lemak menghasilkan 9 kkal energi, sedangkan
karbohidrat dan protein hanya menghasilkan energi 4 kkal. Protein adalah sumber
asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N. Fungsi utama protein
adalah untuk membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah
ada. Protein juga berfungsi sebagai zat pengatur proses metabolisme tubuh.
Pangan dengan kadar lemak yang tinggi cenderung memperlambat laju
pengosongan lambung, sehingga laju pencernaan makanan pada usus halus juga
lambat. Sementara itu, kadar protein yang tinggi diduga merangsang sekresi
insulin sehingga glukosa dalam darah tidak berlebih dan terkendali. Oleh karena
itu, pangan dengan kandungan lemak dan protein tinggi cenderung memiliki IG
lebih rendah dibandingkan dengan pangan sejenis yang berkadar lemak dan
protein rendah. Hubungan nilai kadar protein, lemak, dan IG beberapa produk
pangan disajikan pada. Oku et al. (2010) menyatakan bahwa pangan dengan IG
rendah dapat menghasilkan banyak energi jika mengandung banyak lemak dan
protein. Namun, pangan berlemak harus dikonsumsi secara bijaksana. Total
konsumsi lemak tidak boleh melebihi 30% dari total energi dan total konsumsi
lemak jenuh tidak melebihi 10% dari total energi (Nisviaty 2006).
2.3 Cara Pengolahan
Salah satu faktor yang memengaruhi nilai IG suatu produk pangan adalah
cara pengolahan, seperti pemanasan (pengukusan, perebusan, penggorengan)
dan penggilingan (penepungan) untuk memperkecil ukuran partikel. Cara
pengolahan dapat mengubah sifat fisikokimia suatu bahan pangan seperti
kadar lemak dan protein, daya cerna, serta ukuran pati maupun zat gizi lainnya.
Pemanasan pati dengan air berlebihan mengakibatkan pati mengalami
gelatinisasi dan perubahan struktur. Pemanasan kembali dan pendinginan pati
yang telah mengalami gelatinisasi juga mengubah struktur pati lebih lanjut yang
mengarah pada terbentuknya kristal baru yang tidak larut, berupa pati
teretrogradasi, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan nilai IG (Haliza et
al. 2006).
Nilai IG jagung manis rebus, tumis, dan bakar tergolong rendah hingga
sedang. Produk olahan hotong, bubur instan hotong memiliki nilai IG paling
tinggi dibanding mi instan dan snack hotong. Hal ini diduga karena ukuran pati
bubur hotong lebih kecil, sehingga nilai IG-nya lebih tinggi. Dari beberapa hasil
penelitian yang dipublikasi dapat disimpulkan bahwa proses pengolahan dapat
mengubah ukuran partikel khususnya ukuran pati yang dapat mengubah nilai
IG (Prasetyo 2008).
BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan tempat


Praktikum ini dilaksankan pada hari Rabu, 23 Oktober 2019 dan 09
Oktober 2019 pada pukul 13.00 – 15.00 WIB di Laboratorium kimia. Fakultas
Teknologi Pertanian Universitas Jambi, Jambi.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada paktikum ini adalah piring, pisau, sendok,
timbangan analitik, stopwath, jarum tusuk, test ctrips (jarum tusuk), alat pengukur
kadar gula darah. Bahan yang adalah jagung rebus dan kentang rebus.
3.3 Prosedur kerja
Disiapkan alat dan bahan yang digunakan, diambil sampel darah kedua
praktikan, kemudian diukur atau dihitung kadar gula darah pada kedua praktikan.
Kedua praktikan diminta mengkonsumsi kentang rebus sebagai reference. Setelah
15 menit diambil pengambilan darah dan diukur dengan masing - masing jeda 15
menit selama 4 kali pengambilan. Hari berikutnya praktikan diminta
mengkonsumsi jagung rebus sebagai bahan dan diukur kadar gula darah tiap
praktikan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Tabel 1. Hasil Pengukuran Kadar Gula Darah pada Kentang Rebus
Humairoh Nia Devita Sari
Jam Hasil Pengukuran Jam Hasil Pengukuran
13.30 Sebelum Makan Kadar Gula 13.30 Sebelum Makan Kadar Gula
Darah = 80 mg/dL Darah = 84 mg/dL
13.36 Selesai Makan 13.35 Selesai Makan
13.51 Kadar Gula Darah = 92 mg/dL 13.50 Kadar Gula Darah = 105
mg/dL
14.06 Kadar Gula Darah = 106 14.21 Kadar Gula Darah = 123
mg/dL mg/dL
14.22 Kadar Gula Darah = 111 14.37 Kadar Gula Darah = 151
mg/dL mg/dL
14.54 Kadar Gula Darah = 116 14.53 Kadar Gula Darah = 133
mg/dL mg/dL

Tabel 2. Pengukuran Kadar Gula Darah pada Jagung Manis


Humairoh Nia Devita Sari
Jam Hasil Pengukuran Jam Hasil Pengukuran
Sebelum Makan Kadar Gula Sebelum Makan Kadar Gula
13.36 13.35
Darah = 83 mg/dL Darah = 78 mg/dL
13.46 Mulai Makan 13.46 Mulai Makan
14.11 Selesai Makan 14.11 Selesai Makan
Kadar Gula Darah = 135 Kadar Gula Darah = 116
14.16 14.14
mg/dL mg/dL
Kadar Gula Darah = 137 Kadar Gula Darah = 201
14.31 14.31
mg/dL mg/dL
Kadar Gula Darah = 123 Kadar Gula Darah = 203
14.46 14.46
mg/dL mg/dL
Kadar Gula Darah = 121 Kadar Gula Darah = 193
14.59 15.01
mg/dL mg/dL
Tabel 3. Hasil pengujian kadar gula darah sampel kentang rebus Istiqamah dan
Raden Ayu Miryanni

Istiqamah Raden Ayu Miryanni


Jam Hasil Pengukuran Jam Hasil Pengukuran
16:08 Kadar gula darah: 79 mg/dl 16:07 Kadar gula darah: 80 mg/dl
16:41 Kadar gula darah: 84 mg/dl 16:43 Kadar gula darah: 131 mg/dl
16:56 Kadar gula darah: 148 mg/dl 16:58 Kadar gula darah: 130 mg/dl
17:11 Kadar gula darah: 143 mg/dl 17:13 Kadar gula darah: 129 mg/dl
17:26 Kadar gula darah: 146 mg/dl 17:28 Kadar gula darah: 130 mg/dl

Tabel 4. Hasil pengujian kadar gula darah sampel jagung rebus Istiqamah dan
Raden Ayu Miryanni

Istiqamah Raden Ayu Miryanni


Jam Hasil Pengukuran Jam Hasil Pengukuran
15:26 Kadar gula darah: 85 mg/dl 15:24 Kadar gula darah: 90 mg/dl
16:00 Kadar gula darah: 143 mg/dl 15:57 Kadar gula darah: 131 mg/dl
16:15 Kadar gula darah: 153 mg/dl 16:12 Kadar gula darah: 133 mg/dl
- - 16:27 Kadar gula darah: 124 mg/dl

160
140
Kadar Gula Darah (mg/dl)

120
100
80
Series1
60
Series2
40
20
0
1 2 3 4 5
Waktu Pengukuran (menit)

Gambar 1. Grafik Respon Gula Darah Humairoh


250

Kadar Gula Darah (mg/dl)


200

150

100 Series1

50 Series2

0
1 2 3 4 5
Waktu Pengukuran (menit)

Gambar 2. Grafik Respon Gula Darah Nia Devita Sari

200
Kadar Gula Darah (mg/dl)

150

100
kentang rebus
50 jagung rebus

0
15 30 45 60 75
Waktu Pengukuran (menit)

Gambar 3. Grafik Respon Gula Istiqamah

140
120
100
80
kentang rebus
60
jagung rebus
40
20
0
15 30 45 60 75

Gambar 4. Respon gula darah Raden Ayu Miryanni

Tabel 5. Hasil perhitungan rata-rata indeks glikemik jagung rebus


Bahan Rata-rata Indeks Glikemik

Jagung rebus 2,56 ± 35,5

4.2 Pembahasan
Pada praktikum ini dilakukan pengukuran kadar indeks glikemik pada 4
orang mahasiswa sebagai subjek. Bahan yang digunakan yaitu berupa kentang
rebus dan jagung rebus. Sebelum dilakukan pengukuran, subjek diminta untuk
berpuasa selama 10 jam. Menurut ADA (2014), pengukuran kadar glukosa darah
salah satunya dengan cara tidak makan atau minum kecuali air putih karena
dengan berpuasa dapat menormalkan kadar gula darah.
Prinsip pengukuran indeks glikemik yaitu dilakukan melalui pengambilan
darah responden setelah mengkonsumsi makanan selama selang waktu tertentu.
Kemudian kadar glukosa darah subjek diplotkan ke dalam grafik dan
dibandingkan luas daerah dibawah kurva. Subjek harus berada dalam kriteria IMT
yaitu normal dan tidak menderita diabetes karena pada orang yang gemuk
cenderung cepat lapar dimana kadar glukosa darah mereka cepat turun sebagai
respon terhadap kebutuhan energi dan metabolisme basal yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan orang yang lebih kurus. (Ravussin et al, 1986).
Subjek diminta untuk mengkonsumsi makanan uji sebelum dilakukan
pengukuran kadar gula darah. Setelah itu, dilakukan pengambilan sampel darah
secara berkala dengan selang waktu selama 15 menit. Pengambilan darah
dilakukan melalui pembuluh darah kapiler yang terdapat pada jari tangan subjek.
Pembuluh darah kapiler dipilih karena berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Ragnhild et al. (2004), menunjukkan bahwa darah yang diambil dari pembuluh
kapiler memiliki variasi kadar glukosa darah pada panelis yang lebih kecil
dibandingkan darah yang diambil dari pembuluh vena.
Dari data yang didapatkan, diketahui bahwa indeks glikemik dari subjek
mengalami penaikkan dan penurunan walaupun tidak signifikan. Menurut
Waspadji (2003), Indeks Glikemik (IG) adalah kemampuan suatu makanan untuk
menaikkan kadar glukosa darah dengan kandungan karbohidrat tertentu dan
berguna untuk menentukan respon glukosa darah terhadap jenis dan jumlah
makanan yang dikonsumsi. Indeks glikemik bahan makanan berbeda-beda
tergantung pada fisiologi, bukan pada kandungan bahan makanan.
Menurut Miller dkk (1996), Kecepatan kenaikan kadar gula darah bahan
pangan sangat ditentukan oleh kecepatan pemecahan karbohidrat dan
penyerapannya oleh tubuh. Pemecahan dan penyerapan karbohidrat dalam tubuh
terlebih dahulu harus diubah menjadi komponen yang lebih kecil yaitu glukosa.
Terjadinya puncak kenaikan tergantung pada kecepatan pencernaan dan
penyerapan karbohidrat dalam tubuh manusia.
Respons glikemik adalah perubahan kadar glukosa darah setelah
mengonsumsi makanan atau minuman yang mengandung karbohidrat. Nilai IG
ditentukan dengan cara mengukur kadar gula darah beberapa kali setelah
mengonsumsi bahan makanan sumber karbohidrat dengan interval yang telah
ditentukan lalu hasilnya dibandingkan dengan reference. Kentang rebus dijadikan
reference karena kentang rebus memiliki kandungan amilopektin yang tinggi dan
jagung rebus dijadikan sebagai bahan.
Jagung diolah dengan cara direbus dalam waktu yang cukup lama. Hal ini
dapat menyebabkan daya cerna pati yang terdapat di dalam jagung meningkat.
Suhu yang tinggi selama perebusan membuat granula pati mengembang dan
beberapa granula terpisah dari molekul pati. Granula yang mengembang dan
molekul pati bebas dicerna dan diserap di dalam tubuh karena permukaan yag
bersentuhan dengan enzim pencernaan menjadi lebih luas. Reaksi inilah yang
menentukan kenaikan kadar gula darah (Fennema 1996).
Pada hasil pengamatan, pengkonsumsian jagung rebus menyebabkan
kenaikan kadar gula darah sangat cepat. Namun rata – rata IG dari jagung rebus
yaitu 2.56 sehingga jagung rebus memiliki IG yang sehingga menurut literatur
Siagian (2004), IG rendah memiliki rentang IG <55 menaikkan kadar glukosa
darah dengan lambat sehingga memiliki IG rendah. Hal ini dapat terjadi karena
kesalahan dalam praktikum terutama bisa disebabkan kondisi dari sukarelawan
yang kemungkinan tidak stabil, waktu pengukuran kadar gula darah yang tidak
konsisten dan juga karena aktivitas yang dilakukan sukarelawan setelah makan
sehingga akan menghasilkan pengukuran menjadi bias.
IG jagung rebus diketahui dapat menaikkan kadar gula darah responden.
Hal ini ditunjukkan oleh kondisi tubuh yang mampu mencerna dan menyerap
karbohidrat dengan cepat sehingga kadar gula darahnya mengalami peningkatan.

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa


jagung rebus dapat meningkatkan indeks glikemik. Hal ini juga dipengaruhi oleh
kondisi tubuh responden yang mampu mencerna dan menyerap karbohidrat
dengan cepat sehingga kadar gula darahnya mengalami peningkatan.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan yaitu sebaiknya praktikan yang diharuskan


untuk mengonsumsi kentang rebus dan jagung rebus lebih mengoptimalkan
kondisi tubuhnya sebelum melakukan uji indeks glikemik.

DAFTAR PUSTAKA

ADA (American Diabetes Association). (2014). Diagnosis and Classification of


Diabetes Mellitus. Diabetes Care.
Brand-Miller JB, Foster-Powell K, Colagiuri S. 1996. The G.I. factor: the
glycaemic index solution. Rydalmere: Hodder & Stoughton.
Brouns, F., I. Bjorck, K.N. Frayn, A.L. Gibbs, V. Lang, G. Slama, and T.M.S.
Wolever. 2005. Glycemic index methodology. Nutr.Res. Rev. 18(1):
145171.
Englyst, H.N. and J.H. Cummings. 1985. Digestion of the polysaccharides of
some cereal foods in the human small intestine. Am. J. Clin. Nutr. 34:
211217.
Fennema. 1996. Food Chemistry. New York : Macarell Dekker Inc
Frei, M., P. Siddhuraju, and K. Becker. 2003. Studies on the in vitro starch
digestibility and the glycemic index of six different indigenous rice
cultivars from the Philippines. Food Chem. 83(2003): 395–402.
Haliza, W., E.Y. Purwani, dan S. Yuliani. 2006. Evaluasi kadar pati tahan cerna
dan nilai indeks glikemik mi sagu. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan
XVII(2): 149152.
Nisviaty, A. 2006. Pemanfaatan tepung ubi jalar klon bb00105.10 sebagai bahan
dasar produk olahan kukus serta evaluasi mutu gizi dan indeks Ragnhild,
A.L., N.L. Asp, M. Axelsen, and A. Raben. 2004. Glycemic index
relevance for health, dietary recommendations, and nutritional labeling.
Scandinavian J. Nutr. 48(2): 8494.
Prasetyo, R. 2008. Evaluasi mutu gizi dan indeks glikemik produk olahan hotong
(Setaria etalica). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian
Bogor. 80 hlm. Prosky,
Ragnhild, A.L., N.L. Asp, M. Axelsen, and A. Raben. 2004. Glycemic
Index :Relevance for Health, Dietary Recommendations, and Nutritional
Labelling. Scandinavian J. Nutr. 48 (2): 84-94.
Ravussin E, Lillioja S, Anderson T. 1986. Determinants of 24-hour energy
expenditure in man: methods and results using respiratory chamber. J Clin
Invest 78: 1568-1578.
Rimbawan, Siagian. 2004. Indeks Glikemik Pangan Cara Mudah Memilih Pangan
yang Menyehatkan. Jakarta : Penerbit Swadaya
Tharanthan, R.N. and S. Mahadevamma. 2003. Grain legumes, a boon to human
nutrition. Trends Food Sci. Technol. 14(12): 507518. glikemiknya.
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. 110 hlm.
Tjokroadikoesoemo, P.S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. PT
Gramedia, Jakarta.
Waspadji S, Sukardji K, Octarina M. 2003. Pedoman diet diabetes melitus.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Widowati, S., M. Astawan, D. Muchtadi, dan T. Wresdiyati. 2007. Pemanfaatan
ekstrak teh hijau (Camellia sinensis O. Kuntze) dalam pengembangan
beras pratanak fungsional. hlm. 975987. Prosiding Seminar Nasional
PATPI 2007, Bandung, 1718 Juli 2007.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan
1. Luas Daerah Arsiran Reference Kentang Rebus dan Jagung rebus
 HUMAIROH
Grafik reference (L2)
Persegi: L1 = 36x 80=2880
L2 = 15x 92 =1380
L3 = 15 x 106 = 1590
L4 = 30 x 111= 3330
Jumlah luas total persegi = 9180
Segitiga: L1 = 36 x 92 / 2 = 1656
L2 = 15 x 14 / 2 = 105
L3 = 15 x 5 / 2 = 37,5
L4 = 30x 5 / 2 = 75
TOTAL Luas segitiga =1873,5
Jumlah luas persegi+luas segitiga =1053,5
Grafik bahan (L1)
Persegi: L1 = 20x 83=1660
L2 = 15x 135= 2025
L3 = 15 x 123 = 1845
L4 = 15x 121= 1815
Jumlah luas total persegi =7345
Segitiga:L1 = 20x 52 / 2 = 520
L2 = 15 x 2/ 2 = 15
L3 = 15x 14/ 2 = 105
L4 = 15x 2/ 2 =15
TOTAL Luas segitiga = 655
Jumlah luas persegi+luas segitiga =8000
IG = L2/L1= 1,38

 NIA DEVITA SARI


Grafik reference ( L2)
Persegi: L1 = 20 x 84 = 1680
L2 = 30 x 105 = 3150
L3 = 15x 123= 1845
L4 = 15 x 133= 1995
Jumlah luas persegi = 8670
Segitiga: L1 = 20 x 21 / 2 =210
L2 = 30 x 18/ 2 =270
L3 = 15x 28 / 2 = 210
L4 = 15x 18 / 2 = 135
Jumlah luas segitiga =825
Total luas persegi + total luas segitiga = 9495
Grafik bahan (L1)
Persegi: L1 = 26 x 78 = 2028
L2 = 20 x 119 = 2320
L3 = 15x201 = 3015
L4 = 15x 185 = 2775
Jumlah luas persegi = 10138
Segitiga: L1 = 26x 38 / 2 =494
L2 = 20 x 85/ 2 = 850
L3 = 15 x2 / 2 = 15
L4 = 15 x 18 / 2 = 135
Jumlah luas segita =1494
Total luas persegi + total luas segitiga = 11633
Indeks Glikemik = L2 / L1
= 0,8

Anda mungkin juga menyukai