Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bencana (disaster) merupakan fenomena yang terjadi karena
komponen-komponen pemicu (trigger), ancaman (hazard), dan kerentanan
(vulnerability) bekerja bersama secara sistematis, sehingga menyebabkan
terjadinya risiko (risk) pada komunitas. Bencana terjadi apabila komunitas
mempunyai tingkat kemampuan yang lebih rendah dibanding dengan tingkat
ancaman yang mungkin terjadi padanya. Ancaman menjadi bencana apabila
komunitas rentan, atau memiliki kapasitas lebih rendah dari tingkat bahaya
tersebut, atau bahkan menjadi salah satu sumber ancaman tersebut. Tentu
sebaiknya tidak dipisah-pisahkan keberadaannya, sehingga bencana itu terjadi
dan upaya-upaya peredaman risiko itu dilakukan.
Bencana dapat dikurangi apabila masyarakat dan sistem sosial yang
lebih tinggi yang bekerja padanya tidak mempunyai kapasitas untuk
mengelola ancaman yang terjadi padanya. Ancaman, pemicu dan kerentanan,
masing-masing tidak hanya bersifat tunggal, tetapi dapat hadir secara jamak,
baik seri maupun paralel, sehingga disebut bencana kompleks. Hal yang sama
juga terjadi pada konflik. Konflik antar komunitas maupun unit sosial di
atasnya terjadi apabila secara langsung maupun tidak langsung ada upaya
saling mengambil aset-aset atau mengganggu proses mengakses aset
penghidupan tersebut di atas. Pengambilan aset maupun gangguan atas akses
penghidupan dapat dipicu oleh permasalahan lingkungan. Aktivitas
komunitas maupun unit sosial di atasnya yang memunculkan permasalahan
lingkungan akan menjadi ancaman bagi pihak lain apabila aset-aset
penghidupannya dan akses penghidupannya terganggu. Bencana dalam
kenyataan keseharian dapat menyebabkan:
1) Berubahnya pola-pola kehidupan dari kondisi normal;
2) Merugikan harta, benda dan jiwa manusia;
3) Merusak struktur sosial komunitas;
4) Memunculkan lonjakan kebutuhan pribadi/komunitas.
B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana sistem manajemen bencana pada struktur operasi tanggap
darurat ?
2) Bagaimana standar sistem manajemen keadaan darurat pada struktur
operasi tanggap darurat ?
3) Bagaimana manajemen berbasis komunitas pada struktur operasi tanggap
darurat ?
4) Bagaimana manajemen bencana yang sesuai untuk Indonesia pada struktur
operasi tanggap darurat ?

C. Tujuan
1) Agar mahasiswa mampu mengetahui sistem manajemen bencana pada
struktur operasi tanggap darurat !
2) Agar mahasiswa mampu mengetahui standar sistem manajemen keadaan
darurat pada struktur operasi tanggap darurat!
3) Agar mahasiswa mampu mengetahui manajemen berbasis komunitas pada
struktur operasi tanggap darurat !
4) Agar mahasiswa mampu mengetahui manajemen bencana yang sesuai
untuk Indonesia pada struktur operasi tanggap darurat !
BAB II
PEMBAHASAN
STRUKTUR OPERASI TANGGAP DARURAT

1. Sistem Manajemen Bencana


a. Pengertian menejemen bencana nasioal (diaster menjement national)
Menejemen bencana adalah segala upaya atau kegiatan yang di
laksanakan dalam rangka pencegahan, mitigasi kesiap siagaan, tanggap
darurat dan berkaitan dengan bencana yang di lakukan pada sebelum, saat,
dan sesudah terjadi bencana secara nasional.
b. Kegiatan menejemen bencana nasional
1) Pencegahan (prevention) yaitu upaya yang di lakukan untuk mencegah
terjadinya bencana, jika mungkin dengan menyediakan bahaya
misalnya : melarang pembakaran hutan dan perladangan, melarang
penebangan di daerah yang curam, dll.
2) Mitigasi yaitu upaya yang di lakukan untuk meminimalkan yang di
timbulakan oleh bencana. Ada 2 bentuk mitigasi yaitu:
 Mitigasi struktural (pembuatan tanggul, bendungan sungai dll)
 Mitigasi non stuktural (peraturan tata ruang, dan pelatihan)
3) Kesiapan (preparedness) yaitu upaya yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian, langkah-langkah
yang tepat dan siapa siaga. Misalnya : persiapan alat komunikasi, pos
komando bencana, dll.
4) Peringatan dini (earlywarning) yaitu upaya untuk memberiakan tanda
peringatan bahwa bencana mungkin akan terjadi. Pemberian
peringatan dini harus:
 Menjangkau masarakat
 Segera
 Tegas tidak membingungkan
 Bersifat resmi
5) Tanggap darurat atau response yaitu upaya yang dilakukan segera
pada saat kejadian bencana,untuk menanggulangi damak yang di
timbulkan terutama berupa penyelamatan korban dan harta
benda,evakuasi dan pengungsian.
6) Bantuan darurat (relief )yaitu merupakan upaya untuk memberikan
bantuan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar berupa :
pangan sandan, tempat tinggal, dll.
7) Pemuliahan (recovery) yaitu proses pemuliahan darurat kondisi
masyarakat yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali
sarana dan prasarana pada keadaan semula. Upaya yang di lakukan
adalah memperabiki prasarana dan pelayanan dasar.
8) Rehabilitasi yaitu upaya langkah yang diambil setelah kejadian
bencana untuk membantu masyarakat untuk memperbaiki rumahnya,
fasilitas umum, fasilitas sosial lainnya yang penting, dan
menghidupkan kembali roda perekonomian masyarakat tersebut.
9) Rekontruksi yaitu merupakan program jangka menengah dan jangka
panjang juga memperbaiki fisik, sosial dan ekonomi untuk
mengembalikan kehidupan masyarakat pada kondisi yang sama atau
lebih baik sebelum terkena bencana.
c. Siklus mitigasi menejemen bencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap
meliputi:
1) Pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, serta peringatan dini :
 Pencegahan (prevension); upaya untuk menghilangkan atau
mengurangi kemungkinan timbulnya suatu ancaman. Misalnya :
pembuatan bendungan untuk menghindari terjadinya banjir,
biopori, penanaman tanaman keras di lereng bukit untuk
menghindari banjir dsb. Namun perlu disadari bahwa pencegahan
tidak bisa 100% efektif terhadap sebagian besar bencana.
 Mitigasi (mitigation); yaitu upaya yang dilakukan untuk
mengurangi dampak buruk dari suatu ancaman. Misalnya :
penataan kembali lahan desa agar terjadinya banjir tidak
menimbulkan kerugian besar.
 Kesiap-siagaan (preparedness); yaitu persiapan rencana untuk
bertindak ketika terjadi(atau kemungkinan akan terjadi) bencana.
Perencanaan terdiri dari perkiraan terhadap kebutuhan-kebutuhan
dalam keadaan darurat danidentifikasi atas sumber daya yang ada
untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Perencanaan ini dapat
mengurangi dampak buruk dari suatu ancaman.
2) Tanggap Darurat(Emergency Response), saat terjadi bencana yang
mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meringankan penderitaan
sementara, seperti kegiatan search and rescue (SAR), bantuan darurat
dan pengungsian.
3) Pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan
rekonstruksi.
 Pemulihan (recovery) : adalah suatu proses yang dilalui agar
kebutuhan pokok terpenuhi. Proses recovery terdiri dari.
 Rehabilitasi : perbaikan yang dibutuhkan secara langsung yang
sifatnya sementara atau berjangka pendek.
 Rekonstruksi : perbaikan yang sifatnya permanen.

2. Standar Sistem Manajemen Keadaan Darurat


Sistem Komando Tanggap Darurat Bencana diselenggarakan dengan pola
yang terdiri atas rencana operasi, permintaan, pengerahan/mobilisasi
sumberdaya yang didukung dengan fasilitas komando yang diselenggarakan
sesuai dengan jenis, lokasi dan tingkatan bencana. Penyelenggaraan Sistem
Komando Tanggap Darurat Bencana diakhiri oleh pembubaran Komando
Tanggap Darurat Bencana.
Penyelenggaraan Sistem Komando Tanggap Darurat Bencana
dilaksanakan sebagai berikut :
a. Rencana Operasi
Rencana Operasi Komando Tanggap Darurat Bencana berikut Rencana
Tindakan Operasi penanganan tanggap darurat bencana, merupakan
acuan bagi setiap unsur pelaksana dalam komando.
b. Permintaan sumberdaya(bahan pangan,dll)
Mekanisme permintaan sumberdaya untuk penanganan tanggap darurat
bencana dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Komandan Tanggap Darurat Bencana tingkat kabupaten/kota, atau
tingkat provinsi yang terkena bencana, mengajukan permintaan
kebutuhan sumberdaya kepada Kepala BPBD
Kabupaten/Kota/Provinsi maupun kepada Kepala BNPB, berdasarkan
atas ketersediaan sumberdaya di lokasi dan tingkatan bencana.
2) Kepala BPBD Kabupaten/Kota/Provinsi maupun Kepala BNPB,
sesuai dengan lokasi dan tingkatan bencana, meminta dukungan
sumberdaya manusia, logistik dan peralatan untuk menyelamatkan dan
mengevakuasi korban, memenuhi kebutuhan dasar hidup dan
memulihkan fungsi prasarana dan sarana vital yang rusak kepada
pimpinan instansi/lembaga terkait sesuai tingkat kewenangannya.
3) Instansi/lembaga terkait dimaksud adalah: Departemen/Dinas Sosial,
BULOG/DOLOG, Departemen/Dinas Kesehatan, Departemen/Dinas
Pekerjaan Umum, Departemen/Dinas Perhubungan, Basarnas/Basarda
Kabupaten/Kota, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik
Indonesia, Palang Merah Indonesia, Departemen/Dinas Energi dan
Sumber Daya Mineral serta instansi/lembaga lainnya sesuai tingkat
kewenangannya.
4) Instansi/lembaga terkait wajib segera mengirimkan serta memobilisasi
sumberdaya manusia, logistik dan peralatan ke lokasi bencana.
5) Penerimaan serta penggunaan sumberdaya manusia, peralatan dan
logistik di lokasi bencana sebagaimana dimaksud dilaksanakan
dibawah kendali Kepala BPBD/BNPB dan atau Departemen
Keuangan
c. Fasilitas dan standart komando tanggap darurat bencana
1) Untuk meningkatkan efektifitas dan mempercepat respons penanganan
tanggap darurat bencana, Komando Tanggap Darurat Bencana perlu
menyiapkan dan menghimpun dukungan operasi penanganan darurat
bencana yang terdiri dari:
 Pos Komando, meliputi Posko Tanggap Darurat dan Poskolap.
 Personil Komando, adalah semua sumberdaya manusia yang
bertugas dalam organisasi Komando Tanggap Darurat Bencana
dengan kualifikasi dan kompetensi yang diperlukan untuk
penugasan penanganan darurat bencana.
 Gudang, tempat penyimpanan logistik dan peralatan.
 Sarana dan prasarana transportasi, baik yang merupaka fasilitas
dasar maupun spesifik sesuai jenis bencana.
 Peralatan, baik yang merupakan fasilitas dasar maupun fasilitas
yang spesifik sesuai jenis bencana.
 Alat komunikasi dan peralatan komputer.
2) Data serta informasi bencana dan dampak bencana. Konfigurasi
fasilitas alat komunikasi untuk Komando

Standar sistim menejemen keadaan darurat harus memilki :


a. Pengorganisasian
 Organisasi Pos Komando dan Koordinasi Tanggap Darurat
Bencana merupakan Organisasi satu komando dengan mata rantai
garis komando serta tanggung jawab yang jelas. Lembaga /
Majelis dapat dikoordinasikan dalam satu organisasi berdasarkan
satu kesatuan komando. Organisasi ini dapat dibentuk di semua
tingkatan wilayah bencana baik dari tingkat pusat , wilayah , atau
daerah.
 Struktur Organisasi Pos Komando dan Koordinasi Tanggap
Darurat terdiri atas Ketua PosKo yang dibantu oleh staf PosKo
dan gugus tugas operasi, yang terdiri dari :
 Ketua PosKo Tanggap Darurat Bencana
 Wakil Ketua PosKo Tanggap Darurat Bencana
 Staf PosKo
 Sekretaris Keuangan
 Publikasi dan Dokumentasi
 Kerelawanan
 Gugus Tugas Operasi
 Unit kerja Assesment
 Unit kerja Medis (DMC)
 Unit kerja SAR
 Unit kerja Psikososial
 Unit kerja Logistik dan Peralatan
 Struktur organisasi ini dapat diperluas sesuai kebutuhan
b. Tugas Pokok dan Fungsi Organisasi
Tugas Pokok Pos Komando dan Koordinasi Tanggap darurat bencana :
 Menjamin berjalannya operasi Tanggap Darurat oleh berbagai
unit kerja yang ada secara terpimpin, terkoordinasi, efektif, dan
efisien dilokasi bencana.
 Melaksanakan pengumpulan informasi dan data lapangan serta
perkembangan informasi sebagai dasar penyusunan rencana
Operasi Tanggap darurat Bencana.
 Menyusun rencana Operasi penanganan Tanggap Darurat
Bencana.
 Menentukan lokasi pendampingan dan pelayanan korban bencana
alam berdasar dari hasil kajian dan analisis tim reaksi cepat dan
tim assessment.
 Menempatkan Tim relawan dilokasi yang telah ditentukan sesuai
unit kerja Tanggap Darurat Bencana dengan berdasar kapasitas
dan keahlian secara terukur dan sistematis.
 Merencanakan, Mengkoordinasikan, Mengendalikan, memantau
pengerahan sumberdaya untuk Operasi penanganan Tanggap
darurat bencana secara cepat tepat bermartabat, efektif dan efisien
serta mengevaluasi pelaksanaan Operasi penanganan Tanggap
darurat..
 Melaporkan Pelaksanaan Penanganan Tanggap darurat kepada
Pimpinan LPB / MDMC Daerah / Wilayah / Pusat, dan kepada
Pimpinan Daerah / Pimpinan Wilayah / Pimpinan Pusat.
 Menyebar luaskan informasi mengenai kejadian bencana secara
akurat dan benar kepada media dan masyarakat luas.
3. Manajemen berbasis komunitas
Berangkat dari pemikiran bahwa ketika masyarakat dapat mengatasi
masalahnya sendiri maka otomatis masyarakat tersebut sudah dapat berdaya
atau dengan kata lain berfungsi secara sosial. Demikian pula dalam
menghadapi bencana yang merupakan masalah sosial. Berdasarkan pemikiran
tersebut, hadirlah Community Based Disaster Management (CBDM) sebagai
sikap baru untuk masyarakat Indonesia dalam berhadapan dengan bencana.
Community Based Disaster Management (CBDM) adalah sebuah
pendekatan yang mendorong komunitas akar rumput dalam mengelola risiko
bencana lokal setempat. Upaya tersebut memerlukan serangkaian upaya
dalam melakukan interpretasi sendiri atas ancaman dan risiko bencana yang
dihadapinya, melakukan prioritas penanganan/pengurangan risiko bencana
yang dihadapinya, mengurangi serta memantau dan mengevaluasi kinerjanya
sendiri dalam upaya pengurangan bencana. Namun pokok dari keduanya
adalah penyelenggaraan yang seoptimal mungkin memobilisasi sumber daya
yang dimiliki dan yang dikuasainya serta merupakan bagian internal dari
kehidupan keseharian komunitas
Community-based disaster membantu masyarakat mengorganisir
dirinya untuk mandiri menghadapi bencana baik dari pra, saat terjadi, dan
pasca bencana. Selain hal yang telah disebutkan, pentingnya perubahan
paradigma penanggulangan bencana yang bergeser dari tanggap darurat
kepada pendekatan mitigasi dan preparadness adalah hal utama. Community-
based disaster dapat membantu meminimalisir korban bencana, kerugian
yang diakibatkan bencana, maupun ketergantungan terhadap bantuan.
Pentingnya penciptaan community-based disaster tentunya perlu didukung
dengan penciptaan ruang yang dapat memfasilitasi pekerja social sebagai
salah satu pihak yang bergerak di setting primer dan sekunder manajemen
bencana yang berbasis komunitas. Hal tersebut dapat berupa dalam
pendampingan dan perancanangan community-based disaster bersama
masyarakat maupun menghubungkan masyarakat sebagai basis dengan
stakeholders. Dapat melalui kegiatan formal maupun informal dalam bentuk
sosialisasi maupun edukasi dan simulasi. Melalui berbagai kegiatan pelatihan
formal/informal fasilitator masyarakat maupun relawan-relawan desa
menekankan pada beberapa hal: (a) pengenalan konsep dasar pengurangan
resiko bencana, (b) pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat, (c)
pelatihan pengenalan standar minimun dalam situasi darurat, (d) pelatihan
pertolongan pertama gawat darurat (e) gender dan bencana (f) penyusunan
rencana kontijensi kedaruratan dan standar operasional dan (g) teknis
manajemen darurat dan berbagai materi dasar yang dianggap relevan.
Dalam melaksanakan penanggulangan bencana, maka penyelenggaraan
penanggulangan bencana meliputi tahap prabencana, tahap tanggap darurat,
dan tahap pascabencana.
a) Pra Bencana
Pada tahap pra bencana ini meliputi dua keadaan yaitu :
- Situasi Tidak Terjadi Bencana Situasi tidak ada potensi bencana
yaitu kondisi suatu wilayah yang berdasarkan analisis kerawanan
bencana pada periode waktu tertentu tidak menghadapi ancaman
bencana yang nyata. Penyelenggaraan penanggulangan bencana
dalam situasi tidak terjadi bencana meliputi :
1) perencanaan penanggulangan bencana;
2) pengurangan risiko bencana;
3) pencegahan;
4) pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
5) persyaratan analisis risiko bencana;
6) pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
7) pendidikan dan pelatihan; dan
8) Persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
- Situasi Terdapat Potensi Bencana
Pada situasi ini perlu adanya kegiatan-kegiatan:
1) Kesiapsiagaan. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui
pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan
berdaya guna.
2) Peringatan Dini. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan
pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat
tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh
lembaga yang berwenang.
3) Mitigasi Bencana. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk
mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana.
b) Saat Bencana
Kegiatan-kegiatan pra-bencana ini dilakukan secara lintas sector dan
multi stakeholder, oleh karena itu fungsi BNPB/BPBD adalah fungsi
koordinasi.
1) Tahap Tanggap Darurat
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan
penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan
kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan, pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap
darurat meliputi:
 Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan,
dan sumber daya dilakukan untuk mengidentifikasi cakupan
lokasi bencana, jumlah korban, kerusakan prasarana dan sarana,
gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan,
dan kemampuan sumber daya alam maupun buatan.
 Penentuan status keadaan darurat bencana. Penetapan status
darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan
skala bencana.
 Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana,
dilakukan dengan memberikan pelayanan kemanusiaan yang
timbul akibat bencana yang terjadi pada suatu daerah melalui
upaya pencarian dan penyelamatan korban, pertolongan darurat,
dan/atau evakuasi korban.
 Pemenuhan kebutuhan dasar, meliputi bantuan penyediaan
kebutuhan air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan
kesehatan, pelayanan psikososial; dan penampungan dan tempat
hunian.
 Perlindungan terhadap kelompok rentan, dilakukan dengan
memberikan prioritas kepada kelompok rentan berupa
penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan, dan
psikososial. Kelompok rentan yang dimaksud terdiri atas bayi,
balita, anak-anak, ibu yang sedang mengandung atau menyusui;,
penyandang cacat, dan orang lanjut usia.
 Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Tahap tindakan dalam tanggap darurat dibagi menjadi dua fase
yaitu fase akut dan fase sub akut. Fase akut, 48 jam pertama sejak
bencana terjadi disebut fase penyelamatan dan pertolongan medis
darurat sedangkan fase sub akut terjadi sejak 2-3 minggu.
c) Pasca Bencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana
meliputi:
1) Rehabilitasi. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua
aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang
memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk
normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana.
2) Rekonstruksi. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua
prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana,
baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran
utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial
dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran
serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada
wilayah pasca bencana.
4. Tahapan dan Kegiatan dalam Manajemen Bencana indonesia
a. Fenomena Manajemen Bencana Di Indonesia
Penanggulangan bencana memiliki tiga siklus: Pencegahan–Tanggap
Darurat–Pemulihan. Tren yang masih terjadi di Indonesia dalam berhadapan
dengan bencana adalah pada tanggap darurat. Padahal meskipun tidak ada
kejadian yang memerlukan tanggap darurat, seharusnya tetap ada upaya-
upaya permanen untuk pencegahan. Dalam tahap pencegahan dengan
adanya edukasi terhadap masyarakat agar bergerak secara mandiri dan
gotong royong dalam berhadapan dengan bencana. Meskipun kita masih
belum memiliki teknologi secanggih negara lain tetapi itu bukanlah alasan
bahwa kita tidak mementingkan pentingnya pencegahan bencana dalam pra
darurat (pencegahan) . Kita memiliki sumber daya manusia yang banyak
yang berpotensi diarahkan untuk lebih “dewasa” dalam berhadapan dengan
bencana. Jika dibandingkan dengan Jepang yang merupakan negara yang
sama rawannya dengan Indonesia terkait bencana, ada beberapa perbedaan
signifikan antara manajemen bencana ala Jepang dengan yang ada di negeri
ini. Di Jepang semakin sering bencana, semakin terlatih dan semakin baik
pola penanganan bencana. Berbeda dengan di Indonesia, meski sering
dilanda bencana, akan tetapi kapasitas bangsa ini dalam menanggulangi
bencana nyaris belum banyak berubah. Poin penting yang dapat diambil
adalah perlunya perubahan paradigma masyarakat Indonesia untuk bergerak
secara mandiri dan gotong royong (mempersiapkan diri) bukan berpasrah
dan hanya menunggu bantuan tanggap darurat pemerintah dalam
menghadapi bencana. Selain itu jika berbicara tentang pemerintah, maka
akan terkait dengan kerawanan yang terjadi pada badan penanggulangan
bencana di Indonesia(BNPB dan BPBD) yang hanya diisi dengan personel
dan peralatan ala kadarnya. Mereka lebih mengandalkan pada personilyang
dipinjam dari instansi lain seperti dari Kementrian PU, Kementrian
Kesehatan, Kementrian Sosial, bahkan hingga BPPT atau Bakosurtanal
dalam bentuk Tim Satuan Respon Cepat (SRC) atau Taruna Siaga Bencana
(TAGANA). Teorinya, personil pinjaman ini sudah sepakat siap dikerahkan
sewaktu-waktu ada bencana. Kenyataan di lapangan tidak semudah itu.
kadang-kadang anggota SRC ataupun TAGANA sedang menghadapi tugas
pokok sehari-hari di instansinya. Dan tidak selalu mudah untuk setiap saat
meninggalkan tugas pokoknya tersebut dan dikerahkan ke daerah bencana.
Berdasarkan pembahasan tersebut, jika kita ambil sebuah contoh kasus
bencana yang pernah terjadi dan membandingkan manajemen bencana di
Indonesia dengan Jepang seperti gempa. Pada hal pra bencanalah yang
begitu membedakan manajemen bencana di Indonesia dengan Jepang. Kalau
di Indonesia proses pencegahan bencana hanya pada edukasi sederhana
seperti tindakan apa yang dilakukan saat gempa (seperti berlindung di
bawah meja) dan sasarannya kebanyakan anak sekolah. Selain itu dari sisi
lain, masyarakat Indonesia cenderung larut dalam rasa kehilangan setelah
bencana. Sedangkan di Jepang pada proses pencegahan sudah dibentuk
komunitas yang berbasis masyarakat yang berfungsi untuk bergerak secara
mandiri dan gotong royong dan terudukasi dengan baik sehingga
masyarakat Jepang sudah terlatih dengan disiplin dan ketika bencana sudah
terjadi, mereka tidak larut dalam kesedihan dan segera saling membahu
untuk bangkit.
b. Pembaruan Manajemen Bencana di Indonesia
Dari pembahasan sebelumnya dapat dikatakan bahwa ada beberapa
hal yang perlu dikritisi dari penanganan bencana di Indonesia:
 Pemerintah masih belum maksimal dalam penangan bencana. - Perlunya
paradigma penanggulangan bencana yang bergeser dari tanggap darurat
kepada pendekatan mitigasi dan preparadness.
 Perlunya perubahan paradigma masyarakat Indonesia dalam berhadapan
dengan bencana, dari yang berpasrah menjadi menyiapkan diri dalam
berhadapan dengan bencana.
 Community based disaster management adalah opsi yang menawarkan
solusi terhadap penanganan bencana di Indonesia yang lebih baik.
Melihat betapa pentingnya manajemen bencana di Indonesia kita tidak
dapat menyalahkan berbagai pihak, justru lebih baik merefleksi diri dan
membangun karakter manusia yang mau bersama-sama melakukan
perubahan pada manajemen bencana. Dengan kata lain penciptaan
komunitas yang siap menghadapi bencana. Komunitas ini tentunya akan
diberi edukasi dan pendampingan agar dapat mempersiapkan diri
menghadapi bencana yang terkadang datang begitu saja. Juga agar memiliki
paradigma yang baru dalam memandang bencana, bukan untuk berpasrah
tetapi menyiapkan diri.
c. Prinsip-Prinsip Penanggulangan Bencana Di Indonesia
Prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana berdasarkan pasal 3
UU No. 24 tahun 2007, yaitu:
1) Cepat dan tepat. Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan tepat” adalah
bahwa dalam penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat
dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan.
2) Prioritas. Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas” adalah bahwa apabila
terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan
diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia. 3.
3) Koordinasi dan keterpaduan. Yang dimaksud dengan “prinsip koordinasi”
adalah bahwa penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang
baik dan saling mendukung. Yang dimaksud dengan “prinsip keterpaduan”
adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagai sektor
secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling
mendukung.
4) Berdaya guna dan berhasil guna. Yang dimaksud dengan “prinsip berdaya
guna” adalah bahwa dalam mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan
dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.
5) Transparansi dan akuntabilitas. Yang dimaksud dengan “prinsip
transparansi” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara
terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud dengan
“prinsip akuntabilitas” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan
secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.
6) Kemitraan.
7) Pemberdayaan.
8) Nondiskriminatif. Yang dimaksud dengan “prinsip nondiskriminasi”
adalah bahwa negara dalam penanggulangan bencana tidak memberikan
perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan
aliran politik apa pun.
9) Nonproletisi. Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah bahwa
dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat
bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat
bencana.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perlindungan masyarakat dari ancaman bencana haruslah dilakukan
oleh semua pihak, seperti pemerintah, pekerja sosial, masyarakat, maupun
stakeholders lain yang dapat terkait. Hal yang paling mendesak adalah
menumbuhkan kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk melindungi diri
sendiri dari ancaman dan resiko bencana.
Pentingnya perubahan paradigma penanggulangan bencana yang
bergeser dari tanggap darurat kepada pendekatan mitigasi dan preparadness.
Community-based disaster dapat membantu meminimalisir korban bencana,
kerugian yang diakibatkan bencana, maupun ketergantungan terhadap
bantuan. Pentingnya penciptaan community-based disaster tentunya perlu
didukung dengan penciptaan setting yang dapat memfasilitasi pekerja social.

B. Saran
Untuk meberikan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki sehingga
dapat melakukan penanganan tanggap bencana dengan cepat dan tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Arief Mustofa Nur. 2009. Bencana Geologi Dan Manajemen Pengelolaannya.
Modul Pelatihan. Balai Informasi dan Konservasi Kebumian
Karangsambung LIPI.
Ramli, Suhatman. 2010. Pedoman Praktis Manajemen Bencana (Disaster
Management). Jakarta. Dian Rakyat.
UNDP. Panduan: Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas. 2012.

Anda mungkin juga menyukai