Anda di halaman 1dari 33

ANALISIS JURNAL

PENGKAJIAN NYERI PADA PASIEN PENURUNAN


KESADARAN DENGAN MENGGUNAKAN CRITICAL PAIN
OBSERVATION TOOLS (CPOT) DI INTENSIVE CARE UNIT
(ICU)

OLEH

SAWITRI TOLINGGILO

841719001

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang
mandiri (instalasi di bawah direktur pelayanan), dengan staf khusus dan
perlengkapan khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi
pasien-pasien yang menderita penyakit dan cedera yang mengancam nyawa
atau berpotensi mengancam nyawa dengan prognosis yang tidak tentu.
Ruang ICU merupakan ruang perawatan bagi pasien sakit kritis yang
memerlukan intervensi segera untuk pengelolaan fungsi sistem organ tubuh
secara terkoordinasi dan memerlukan pengawasan yang konstan secara
menerus juga dengan tindakan segera (Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, 2010).
Kebutuhan utama pasien ICU adalah tindakan resusitasi meliputi
dukungan hidup untuk fungsi-fungsi vital seperti Airway (fungsi jalan
napas), Breathing (fungsi pernapasan), Circulation (fungsi sirkulasi), Brain
(fungsi otak) dan fungsi organ lain. Selanjutnya dengan diagnosis dan terapi
definitif (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Pelayanan di
ruang ICU merupakan pelayanan yang bersifat multidisiplin dan
komprehensif, tindakan suportif terhadap fungsi organ-organ tubuh menjadi
utama dikarenakan sebagian besar pasien yang dirawat di ICU merupakan
pasien yang mengalami penurunan kesadaran..
Menurut Hardisman (2018), hampir 5 juta orang dirawat di unit
perawatan intensif setiap tahunnya dan dari 454 pasien yang dirawat 43,5%
pasien yang dirawat di ICU mengalami penurunan kesadaran. Penurunan
kesadaran yaitu ketidaksiagaan seseorang terhadap diri dan sekitarnya.
Masalah keperawatan pada pasien penurunan kesadaran yaitu gangguan
perubahan perfusi jaringan, gangguan pernafasan, hambatan mobilitas fisik,
gangguan aktivitas menelan, hambatan komunikasi dan nyeri akut.
Definisi nyeri menurut Association For Study Of Pain (IASP), nyeri
adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang

1
berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan atau keadaan
yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut. Dalam literatur
dinyatakan bahwa nyeri adalah stressor yang sering terjadi di Ruang
perawatan intensif, tingginya tingkat nyeri yang tidak terkontrol sangat
umum terjadi di ruang perawatan intensif. Puntillo dalam penelitiannya juga
menyebutkan bahwa nyeri adalah salah satu gejala yang paling umum
muncul pada pasien sakit kritis dan dialami oleh setiap pasien dalam cara
yang unik. Beliau juga melakukan wawancara dengan 24 pasien pasca
perawatan di perawatan intensif, 63% dari pasien tersebut menyatakan
bahwa selama perawatan di perawatan intensif mereka merasakan nyeri
dengan derajat sedang sampai berat, namun penatalaksanaan nyeri yang
diberikan pada mereka masih belum memuaskan.
Pasien dengan sakit kritis cenderung merasakan nyeri sebagai
dampak dari proses patofisiologis penyakitnya. Disamping itu nyeri yang
dirasakan pasien juga timbul sebagai dampak dari tingginya frekuensi terapi
dan prosedur yang telah mereka jalani di unit perawatan intensif. Beberapa
prosedur yang sering mengakibatkan nyeri akut adalah perubahan posisi
pasien, penggantian balutan luka dan pemasangan ataupun pelepasan kateter
serta , penghisapan lendir dari trakea pada pasien dengan ventilasi mekanik,
Pasien membutuhkan ventilasi mekanik karena pasien mengalami
kegagalan pada sistem pernapasannya. Mekanisme pertukaran gas didalam
paru-paru mengalami gangguan alat pernafasan sehingga diperlukan alat
bantu yang dapat memberikan tekanan negatif atau positif yang dapat
mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam waktu yang lama
(Mackenzie, 2018). Dilaporkan bahwa separuh dari ruang ICU di Amerika
Utara memiliki 40% pasien dewasa dengan ventilasi mekanik (Im et al.,
2014). Sedangkan diIndonesia, khususnya RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta,
terdapat 511 pasien dengan ventilasi mekanik di IRI (Rekam Medis RSUP
Dr. Sardjito, 2013).
Menurut WHO, pada tahun 2014 jumlah penggunaan ventilator di
dunia mencapai 13-20 juta orang. Penelitian sebelumnya telah

2
menunjukkan bahwa pasien sakit kritis dengan ventilasi mekanik mengalami
stres, perasaan yang tidak menyenangkan, dan berpotensi mengalami
pengalaman yang buruk selama perawatan di ICU. Pada pasien dengan
ventilasi mekanik, persoalan nyeri menjadi lebih komplek, karena tidak
mampu untuk melaporkan rasa nyeri yang mereka rasakan sebagai efek
penggunaan obat penenang (hipnotis) atau sebagai akibat adanya kerusakan
otak parah. Tetapi tidak berarti pasien dengan ventilasi mekanik tidak dapat
dilakukan penilaian nyeri, banyak ekspresi wajah dan gerakan tangan yang
bisa dijadikan sarana berkomunikasi untuk menyatakan nyeri kepada tenaga
kesehatan. Indikator yang bisa diobservasi meliputi indikator fisiologik dan
indikator sikap yang bisa digunakan untuk menilai nyeri. Indikator fisiologik
bisa dengan mudah didokumentasi pada pasien-pasien diICU. Peningkatan
tekanan darah dan peningkatan laju nadi adalah tanda umum yang
dikorelasikan dengan nyeri akut. Indikator sikap seperti ekspresi wajah,
pergerakan badan, postur rigid, keteraturan dengan ventilator juga
dikorelasikan dengan nyeri akut. Hasil-hasil dari penilaian ini bisa
digunakan untuk menilai nyeri pada pasien-pasien unit perawatan intensif.
American Association of Critical-Care Nurses (AACN), American
College of Chest Physicians (ACCP), Society for Critical Care Medicine
(SCCM) dan American Society for Pain Management (ASPM),
menyarankan agar dalam pelaksanaannya harus menggunakan alat
pengkajian nyeri terstandar yang mencakup beberapa indikator perilaku
pada pasien dengan ventilasi mekanik yang tidak mampu melaporkan rasa
nyeri yang dirasakan, atau pada mereka yang mungkin mampu melaporkan
rasa nyeri namun tidak dapat diandalkan. Hal ini mendorong mereka untuk
mengembangkan cara untuk megukur skala nyeri berbasis perilaku untuk
menilai nyeri pada pasien yang tidak mampu mengungkapkan nyeri yang
mereka rasakan. Alat tersebut didasarkan pada identifikasi perilaku, seperti
ekspresi wajah, vokalisasi, refleks menarik dan gerakan motorik lainnya,
yang berhubungan dengan adanya nyeri. Beberapa instrumen berbasis
perilaku telah dikembangkan, satu diantaranya yaitu Nonverbal Pain Scale

3
(NVPS), Behavioral Pain Scale (BPS), Critical-Care Pain Observation Tool
(CPOT), Pain Assessment and Intervention Notation (P.A.I.N.).
Instrument ini sudah diuji melalui uji psikometrik dan bisa
digunakan untuk menilai nyeri pada pasien unit perawatan intensif dengan
pemakaian ventilasi mekanik. CPOT mempunyai empat penilaian dengan
kategori sikap yang berbeda, yaitu: ekspresi wajah, pergerakan badan,
ketegangan otot serta keteraturan dengan ventilator untuk pasien terintubasi
atau vokalisasi untuk pasien yang tidak terintubasi. Priambodo (2016) juga
menjelaskan bahwa CPOT memiliki indikator yang lebih komprehensif dan
memiliki definisi operasional yang lebih detil dalam mengidentifikasi nyeri
yang dirasakan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk
melakukan analisis jurnal tentang “Pengkajian Nyeri Pada Pasien
Penurunan Kesadaran Dengan Menggunakan Critical Pain Observation
Tools (CPOT)”.
1.2 Tujuan
Mendeskripsikan Pengkajian Nyeri Pada Pasien Penurunan
Kesadaran Dengan Menggunakan Critical Pain Observation Tools (CPOT)
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
Bagi Program Studi Profesi Ners, diharapkan analisis jurnal ini
dapat dijadikan sebagai perkembangan teori yang dapat diterapkan dalam
teori tambahan dan aplikasi dalam asuhan keperawatan gawat darurat dan
keperawatan kritis.
1.3.2 Manfaat Praktis
a. Bagi Program Studi Profesi Ners
Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan tambahan teori dan
bahan bacaan tentang keperawatan gawat darurat dan keperawatan
kritis.

4
b. Bagi Perawat
Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan sebagai bahan
masukan bagi perawat dalam asuhan keperawatan gawat darurat dan
keperawatan kritis.
c. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan analisis jurnal ini dapat menjadi masukan bagi Rumah
Sakit dalam melaksanakan penatalaksanaan asuhan keperawatan gawat
darurat dan keperawatan kritis.
d. Bagi Pasien
Diharapkan dapat membantu pasien dalam menangangan nyeri
sehingga nyeri yang dirasakan dapat dengan cepat diatasi oleh perawat

5
BAB II
METODE DAN TINJAUAN TEORITIS

2.1 Metode Pencarian


Analisis jurnal ini menggunakan metode pencarian jurnal, yaitu
1. Google Cendekia dengan alamat situs: https://scholar.google.co.id

Kata kunci Pencarian

Penurunan kesadaran 6.580.000

Search 1 + nyeri 814.000

Search 2 + CPOT 1.240

2.2 Konsep Tentang Tinjauan Teoritis


2.2.1 Nyeri
1. Definisi
Nyeri adalah perasaan tidak nyaman dan sangat individual yang tidak
dapat dirasakan atau dibagi dengan orang lain. Setiap individu akan
merasakan reaksi dan persepsi yang berbeda. Adapun definisi menurut IASP,
1979 (Intenational Association for Study of Pain) nyeri adalah sensori
subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang dikaitkan dengan
kerusakan jaringan aktual dan potensial ataumenggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan (Tamsuri, 2017). Sedangkan menurut Jamie (2016),
nyeri merupakan segala sesuatu yang dikatakan seseorang dan dirasakannya
berhubungan dengan rasa tidak nyaman. Berdasarkan Dari ketiga definisi
yang terdapat diatas dapat disimpulkan bahwa nyeri adalah perasaan yang
tidak nyaman yang dirasakan oleh seseorang dan bersifat individual yang
berkaitan dengan kerusakan jaringan baik aktual dan potensial yang
menyangkut dua aspek yaitu aspek psikologis dan aspek fisiologis.

6
2. Proses terjadinya nyeri
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana
nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal
berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul,
namun teori Gate control theory dianggap paling relevan (Tamsuri,
2017). Teori gate control dari Melzack dan Wall (2015) menjelaskan
bahwa impuls nyeri diatur oleh mekanisme pertahanan di sepanjang
sistem saraf pusat. Keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan
serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron
delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk
mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu terdapat
mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang
melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang
dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme
pertahanan. Mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat
menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan
menstimulasi mechanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal
dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan
tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls
nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak
yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen,
seperti endorfin dan dinorfin, pembunuh nyeri alami yang berasal dari
tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan
menghambat pelepasan substansi P. Tehnik distraksi, musik, konseling
dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorphin
(Potter dan Perry, 2015).

7
3. Faktor yang mempengaruhi nyeri
Menurut Smeltzer & Barre (2014). Faktor yang mempengaruhi respon
terhadap nyeri usia, jenis kelamin, budaya,
a) Usia
Batasan usia menurut DepKes RI (2010) yaitu anak-anak mulai usia
0-12 tahun, remaja usia 13-18 tahun, dewasa usia 19-59 tahun, lansia
usia lebih dari 60 tahun. Usia mempunyai peranan yang penting
dalam mempersepsikan dan mengekspresikan rasa nyeri. Pasien
dewasa memiliki respon yang berbeda terhadap nyeri dibandingkan
pada lansia. Nyeri dianggap sebagai kondisi yang alami dari proses
penuaan. Cara menafsirkan nyeri ada dua. Pertama, rasa sakit adalah
normal dari proses penuaan. Kedua sebagai tanda penuaan. Usia
sebagai faktor penting dalam pemberian obat. Perubahan Metabolik
pada orang yang lebih tua mempengaruhi respon terhadap analgesic
opioid. Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh
usia terhadap persepsi nyeri dan hasilnya sudah tidak konsisten.
Washington, Gibson dan Helme (2010) menemukan bahwa orang tua
membutuhkan intensitas lebih tinggi dari rangsangan nyeri
dibandingkan orang usia muda. Menurut Edwards & Fillingham
(2010) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan persepsi nyeri antara
orang muda dengan orang tua, sedangkan menurut Li, Green-wald
dan Gennis (2011) menemukan bahwa nyeri pada lansia pasien
merupakan bagian dari proses penuaan. Pasien usia lanjut melaporkan
nyeri kurang signifikan dibandingkan pasien yang lebih muda
b) Jenis kelamin
Respon nyeri di pengaruhi oleh jenis kelamin. Logan dan Rose (2014)
telah melakukan penelitian terhadap sampel 100 pasien untuk
mengetahui perbedaan respon nyeri antara laki-laki dan perempuan.
Hasilnya menunjukan bahwa ada perbedaan antara lakilaki dan

8
perempuan dalam merespon nyeri yaitu perempuan mempunyai
respon nyeri lebih baik dari pada laki-laki.
c) Budaya
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka
berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut
kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena
mereka melakukan kesalahan jadi mereka tidak mengeluh jika ada
nyeri. Suza (2013), menemukan bahwa orang Jawa dan Batak
mempunyai respon yang berbeda terhadap nyeri. Dia menemukan
bahwa pasien Jawa mencoba untuk mengabaikan rasa sakit dan hanya
diam, menunjukkan sikap tabah, dan mencoba mengalihkan rasa sakit
melalui kegiatan keagamaan. Ini berarti bahwa pasien Jawa memiliki
kemampuan untuk mengelola nya atau rasa sakitnya. Di sisi lain,
pasien Batak merespon nyeri dengan berteriak, menangis, atau marah
dalam rangka untuk mendapatkan perhatian dari orang lain, sehingga
menunjukkan ekspresif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pasien dengan budaya yang berbeda dinyatakan dalam cara yang
berbeda yang mempengaruhi persepsi nyeri.
4. Pengukuran skala nyeri
a) Nonverbal Adult Pain Scale (NVPS)
NVPS dikembangkan oleh Odher et al pada tahun 2003 yang
digunakan untuk mengukur nyeri pada pasien dewasa yang
terintubasi dan tersedasi. NVPS merupakan instrumen pengkajian
nyeri pengembangan dari instrumen pengkajian nyeri FLACC
(Faces, Legs, Activity, Cry, Consolability). Komponen dari NVPS
antara lain 3 indikator perilaku dan indikator fisiologi (tekanan
darah, denyut jantung, respiratory rate, kulit). Penilaian dari
masing- masing indikator tersebut dari skor 1 sampai 2 dengan
total skor 0 (tidak nyeri) dan 10 (nyeri maksimal). Penelitian
Odher et al (2003) dengan subjek penelitian pasien dewasa yang
mengalami luka bakar, hasil penelitian menunjukkan bahwa

9
NVPS memiliki nilai validitas 0.78 dengan instrumen pembanding
FLACC. Kelebihan dari NVPS adalah nilai validitas yang cukup
tinggi untuk menilai nyeri pada pasien dewasa, kekurangan NVPS
adalah instrumen hanya dapat digunakan pada pasien yang tidak
sadar dan tersedasi.
Kriteria Skor 0 Skor 1 Skor 2
Wajah Tidak ada Sesekali meringis, Sering meringis,
ekspresi tertentu mengeluarka air mata, mengeluarkan air
atau senyum mengerutkan dahi. mata, mengerutkan
dahi.
Aktifitas Berbaring Mencari perhatian Gerakan gelisah
tenang. Posisi dengan gerakan dan atau melawan
normal berhati-hati.
Posisi Berbaring Gerakan mengeliat, Kekakuan tubuh
Tubuh tenang, tidak ketegangan pada
ada posisi tubuh
tangan diatas
tubuh
Fisiologis TD dan nadi Perubahan dalam 4 Perubahan dalam 4
stabil, tidak ada jam dari salah satu: jam dari salah
perubahan tekanan darah satu: tekanan darah
dalam 4 jam. sistolik>20, nadi>20, >30, nadi >25, laju
laju pernafasan>10 pernapasan >20
Pernafasan Pernafasan RR>10 dia atas RR > 20 di atas
sesuai base line, baseline atau baseline atau
SpO2 sesuai penurunan SpO2 tidak penurunan SpO2
setting ventilator sinkronisasi ringan 10%, tidak
dengan ventilator. sinkronisasi berat
dengan ventilator

b) Pain Assessment and Intervention Notation Algorithm


(P.A.I.N.)
P.A.I.N Algorithm dikembangkan oleh Puntilo et al pada tahun
1997. Instrumen tersebut terdiri dari 12 indikator perilaku dan 8
indikator fisiologi. P.A.I.N digunakan untuk menilai nyeri pasien
post operasi di ICU yang terintubasi dan terpasang ventilator.
Instrumen pengkajian nyeri tersebut digunakan untuk menilai ada
tidaknya nyeri pada pasien post operasi, dimana indikator perilaku
pasien dinilai dengan skala Numeric Rating Scale (NRS) dari skor

10
0- 10. Hasil penelitian Puntillo et al (1997) menunjukkan bahwa
nilai reliabilitas antara indikator perilaku dengan penilaian NRS
oleh perawat dengan nilai r= 0.24-0.77. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa instrumen tersebut memiliki nilai reliabilitas
yang sedang. Kelemahan instrumen P.A.I.N adalah memerlukan
waktu yang lama untuk menilai nyeri pada pasien karena tersiri
dari 12 indikator perilaku dan 8 indikator psikologis, selain itu
penilaian indikator perilaku dinilai dari skala NRS yang dilihat
dari sudut pandang perawat dengan skor 0-10.
c) Comfort Scale
Comfort Scale merupakan instrumen pengkajian nyeri yang
dikembangkan oleh Ambuel et al pada tahun 1992. Comfort scale
digunakan untuk mengukur tingkat distres psikologis pada pasien
kritis anak- anak dibawah usiaf 18 tahun dan dewasa yang
tersedasi dan terpasang ventilator (Ambuel et al, 1992;
Azhkenazy et al, 2011). Komponen penilaian dari comfort scale
terdiri dari 8 item indikator diantaranya, kewaspadaan,
ketenangan, respon pernapasan, gerakan fisik, ketegangan wajah,
gerakan otot, tekanan darah dan denyut nadi. Setiap item diukur
dengan skala dari 1- 5, dimana 1 merupakan tingkat tertinggi tidak
berespon dan 5 paling tidak nyaman. Penelitian Azhkenazy et al
(2011) dilakukan pada pasien yang terpasang ventilator dengan
usia dewasa lebih dari 18 tahun menunjukkan bahwa nilai
validitas instrumen yaitu 0.49-0.74 dan reliabilitas dengan
cronbach alpha 0.60- 0.66. Instrumen comfort scale memiliki
kelebihan dan kelemahan, kelebihannya memiliki indikator
psikologis dan indikator perilaku yang dinilai dari perilaku pasien
sebagai tanda adanya nyeri, namun kelemahannya instrumen
tersebut memiliki nilai validitas dan reliabilitas yang sedang jika
digunakan untuk pasien dewasa dengan ventilator.

11
Kategori Penilaian Nilai Skor
Tidur pulas/nyenyak 1
Tidur kurang nyenyak 2
Kewaspadaa
Gelisah 3
n
Sadar sepenuhnya dan waspada 4
Hiper Alert 5
Tenang 1
Agak cemas 2
Ketenangan Cemas 3
Sangat cemas 4
Panik 5
Tidak ada respirasi spontan dan tidak ada batuk 1
Respirasi spontan dengan sedikit/tidak ada respon
2
terhadap ventilasi
Kadang-kadang batuk atau terdapat tahanan
Distress 3
terhadap ventilasi
Pernafasan
Sering batuk, terdapat tahanan/perlawanan terhadap
4
ventilator
Melawan secara aktif terhadap ventilator, batuk
5
terus menerus/tersedak
Bernapas dengan tenang, tidak menangis 1
Sering terisak-isak 2
Menangis Merengek 3
Menangis 4
Berteriak 5
Tidak ada pergerakan 1
Kadang-kadang bergerak perlahan 2
Pergerakan Sering bergerak 3
Pergerakan aktif terbatas 4
Pergerakan aktif termasuk kepala dan badan 5
Otot relaks sepenuhnya, tidak ada tonus otot 1
Penurunan tonus otot 2
Tonus otot normal 3
Tonus Otot Peningkatan tonus otot dan fleksi jari tangan dan
4
kaki
Kekakuan otot ekstrim dan fleksi jari tangan tangan
5
dan kaki
Tegangan Otot relaks sepenuhnya 1
Wajah Tonus otot wajah normal, tidak terlihat tegangan
2
otot wajah yang nyata
Tegangan beberapa otot wajah terlihat nyata 3
Tegangan hampir di seluruh otot wajah 4

12
Seluruh otot wajah tegang, meringis 5
Tekanan darah di bawah batas normal 1
Tekanan darah berada di batas normal secara
2
konsisten
Tekanan Peningkatan tekanan darah sesekali ≥ 15% diatas
3
Darah Basal batas normal (1-3 kali)
Sering peningkatan tekanan darah ≥ 15% di atas
4
batas normal (>3 kali)
Peningkatan tekanan darah terus menerus ≥ 15% 5
Denyut jantung di bawah batas normal 1
Denyut jantung berada di batas normal secara
2
konsisten
Denyut
Peningkatan denyut jantung sesekali ≥15% di atas
Jantung 3
batas normal (1-3 kali)
Basal
Seringnya peningkatan denyut jantung ≥15% di
4
atas batas normal (>3 kali)
Peningkatan denyut jantung terus menerus ≥15% 5
Total Score

d) Behavioral Pain Scale (BPS)


Behavioral Pain Scale (BPS) adalah instrumen pengkajian nyeri
pada pasien kritis yang dikembangkan oleh Payen et al tahun
2001. Komponen penilaian BPS terdiri dari tiga item, yaitu
ekspresi wajah, pergerakan bibir atas dan komplians terhadap
ventilator. Skor dari masing- masing item tersebut antara skor 1-4,
dengan nilai total dari BPS berada dalam rentang skor 3 (tidak
nyeri) sampai skor 12 (sangat nyeri). Hasil penelitian Aissaoui et
al (2005) mengenai validitas dan reliabilitas pada pada 30 pasien
di ICU dengan 360 pengamatan menunjukkan bahwa BPS
memiliki nilai reliabilitas dengan cronbach alfa 0.72, nilai
interrater reliability antar 3 observer sebesar 0.95, dan nilai
validitas sebesar P <0.001. Penelitian Young et al (2006)
menunjukkan bahwa nilai validitas internal pada pasien dilakukan
perubahan posisi dengan Cronbach alpha 0.64 dan nilai interrater
reliability 82%-91% saat istirahat, 36%-46% selama prosedur
perubahan posisi. Penelitian lain Ahlers et al (2008)
membandingkan antara BPS dan NRS oleh perawat pada 113

13
pasien kritis dengan ventilator, hasilnya menunjukkan bahwa nilai
construct validity dengan r=0.55, P<.001 ketika BPS
dibandingkan dengan nilai NRS perawat dan nilai interrater
reliability 0.67 (95% CI, 0.54-0.80). Berdasarkan beberapa
penilitian tersebut menunjukkan bahwa kelebihan dari instrumen
BPS adalah dapat digunakan pada pasien yang terintubasi dan
tidak terintubasi pada pasien kritis di ICU dengan nilai validitas
dan reliabilitas yang cukup tinggi.
Perilaku Deskripsi Skor

Relaksasi 1

Partially tightened (misalnya


Ekspresi 2
menggerakkan alis)
wajah
Fully tightened (misalnya menutup mata) 3

Menyeringai 4

Tidak ada gerakan 1

Ekstremitas Menekuk sebagian 2


atas Menekuk penuh dengan fleksi jari-jari 3

Retraksi permanen 4

Mentoleransi pergerakan 1

Batuk namun masih mentolerasi ventilasi


Komplian 2
sebagian besar waktu
dengan
ventilasi Tidak bisa mengikuti ventilator (fighting
3
ventilator)

Tidak dapat mengonrrol ventilasi 4

e) Critical-Care Pain Observasion Tool (CPOT)


Critical-Care Pain Observasion Tool (CPOT) merupakan
instrumen pengkajian nyeri yang dikembangkan oleh Gelinas et al
pada tahun 2006. Instrumen pengkajian nyeri tersebut terdiri dari

14
4 item penilaian, setiap item memiliki kategori yang berbeda,
yaitu ekspresi wajah, pergerakan badan, tegangan otot dan
keteraturan dengan ventilator untuk pasien terintubasi dan pasien
yang tidak terintubasi. Jumlah skor yang diperoleh dalam rentang
0–8. Hasil penelitian menunjukkan bahwa CPOT memiliki nilai
inter-rater reliability yang cukup tinggi yang dinilai pada saat
pasien istirahat dengan nilai 0,95- 1 dan setelah prosedur dengan
nilai 0,86-1. Penelitian pada pasien bedah jantung menunjukkan
bahwa CPOT memiliki nilai inter-rater reliability sebesar 0,981
(Gelinas et al, 2006; Marmo, 2009). Penelitian Vazquez et al
(2011) pada 96 pasien dengan ventilator yang diteliti saat pasien
istirahat dan prosedur alih baring dengan nilai discriminant
validity: Mean score saat istirahat 0.27 (SD,0.64); selama
prosedur 1.93 (SD, 1.41). Sedangkan, nilai reliabilitasnya dengan
uji Kappa dengan nilai 0.97- 1. Hal ini menunjukkan bahwa
CPOT memiliki nilai interrater reliability sangat bagus.
Kelebihan dari CPOT adalah dapat digunakan untuk pengkajian
nyeri pada pasien bedah dan non bedah yang ditunjukkan dengan
nilai interrater reliability yang cukup tinggi, sedangkan
kelemahannya adalah CPOT belum diujikan pada pasien dengan
agitasi dan delirium pada pasien kritis di ICU.
Indikator Kriteria Skor Deskripsi
1 Ekspresi Santai, Netral 0 Tidak ada ketegangan otot yang
wajah terlihat
Tegang 1 Merenggut, alis menurun, orbit
menegang dan terdapat kerutan
levator atau perubahan lainnya
(misalnya membuka mata atau
menangis selama prosedur invasif)
Meringis 2 Semua gerakan wajah pada skor 1
ditambah kelopak mata tertutup
rapat (pasien dapat mengalami
mulut terbuka atau mengigit
endotrakeal tube)
2 Gerakan Tidak adanya 0 Tidak bergerak sama sekali (tidak

15
tubuh gerakan atau berarti tidak adanya rasa sakit) atau
posisi normal posisi normal (gerakan tidak
dilakukan terhadap bagian yang
terasa nyeri atau tidak dilakukan
untuk tujuan perlindungan)
Ada gerakan 1 Gerakan lambat, gerakan hati-hati,
Perlindungan menyentuh atau menggosok bagian
yang nyeri, (mencari perhatian
melalui gerakan)
Kegelisahan / 2 Menarik-narik tube, mencoba untuk
Agitasi duduk, menggerakkan
tungkai/meronta-ronta, tidak
mengikuti perintah, menyerang staf,
mencoba turun dari tempat tidur.
3 Kepatuhan Toleransi 0 Alarm tidak aktif/tidak bunyi,
terhadap terhadap ventilasi mudah
pemasangan ventilator atau
ventilator gerakan
(atau pasien Batuk tapi masih 1 Batuk, alarm aktif/bunyi tapi
terpasang toleransi berhenti secara spontan
intubasi Melawan 2 Tidak sinkron, ventilasi tertahan,
ventilator alarm sering bunyi
Atau Atau
Berbicara dalam 0 Berbicara dalam suara normal atau
Vokalisasi nada normal atau tidak ada suara sama sekali.
(untuk Pasien tidak ada suara
tidak Menghela nafas, 1 Menghela napas, merintih
terpasang merintih
intubasi) Menangis 2 Menangis, terisak-isak.
terisak-isak
4 Ketegangan Santai 0 Tidak ada perlawanan pada gerakan
Otot pasien
Tegang kaku 1 Ada perlawanan pada gerakan pasif
Sangat tegang 2 Perlawanan kuat pada gerakan pasif
atau sangat kaku atau tidak bias dilakuakan gerakan
pasif
JUMLAH …./8

Hasil dari studi literatur ditemukan 5 instrumen pengkajian nyeri


pada pasien kritis dewasa yang terpasang ventilator. Kelima
instrumen tersebut memiliki indikator penilaian yang berbeda- beda
sehingga memiliki kelebihan dan kekurangan masing masing.
Menurut Penulis kelima instrumen tersebut memiliki kesamaan untuk

16
mengkaji nyeri pasien kritis dewasa dengan ventilator. Pada 3
instrumen NVPS, P.A.I.N, dan comfort scale memiliki beberapa
kesamaan yaitu ketiganya merupakan instrumen pengkajian nyeri
yang memiliki indikator perilaku dan fisiologis yang digunakan untuk
menilai nyeri pasien kritis dewasa dengan ventilator. Namun
kekurangannya, ketiga instrumen tersebut memiliki indikator
fisiologis berupa tanda- tanda vital, dimana indikator tersebut kurang
sensitif untuk menilai adanya nyeri pada pasien kritis yang terpasang
ventilator. Rose et al (2012) melaporkan bahwa penilaian tanda- tanda
vital (denyut jantung, tekanan darah, respon pernafasan) bukan
merupakan pedoman utama dalam menilai nyeri pada pasien kritis
dewasa. Hal tersebut dikarenakan tanda- tanda vital pasien bersifat
fluktuatif, sehingga tidak dapat menggambarkan adanya nyeri pada
pasien kritis. Nilai dari tanda- tanda vital dapat meningkat, menurun
atau stabil selama prosedur yang menyebabkan nyeri (Arroyo et al,
2008; Payen JF, 2009). Hal ini terlihat dari hubungan antara fluktuasi
tanda- tanda vital dengan skor perilaku dan pelaporan nyeri secara
verbal bersifat lemah (Aissaoui et al, 2005; Gelinas et al, 2014).
Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa BPS dan CPOT
merupakan instrumen pengkajian nyeri yang memiliki nilai
reliabilitas dan validitas yang lebih tinggi. Penelitian Aissaoui et al
(2005) menunjukkan bahwa Behaviour pain scale (BPS) digunakan
untuk mengukur nyeri pada pasien dewasa yang terpasang ventilator
dengan membandingkan penilaian fisiologis sebagai indikator
penilaian nyeri yang dilihat dari subjektivitas perawat. Namun, tidak
signifikan hubungan antara BPS dengan variabel fisiologis dengan
nilai r= 0.16 (P= 0.13) untuk denyut jantung dan r= - 0.02 (P= 0.84)
untuk MAP. Secara menyeluruh indikator perilaku lebih baik
dibanding indikator fisiologis, karena indikator fisiologis tidak
spesifik dalam menggambarkan adanya nyeri pada pasien (Gelinas et
al, 2008).

17
Selain BPS, instrumen pengkajian nyeri lainnya yang memiliki
nilai validitas dan reliabilitas lebih tinggi adalah CPOT. Instrumen
CPOT memiliki empat domain berkaitan dengan perilaku dan
dipergunakan untuk menilai nyeri pada pasien dewasa yang terpasang
ventilator atau tanpa ventilator pada kasus bedah, medikal dan trauma
di ICU. CPOT memiliki nilai discriminant validity yang cukup bagus
dengan mengobservasi pasien saat istirahat dan selama prosedur yang
menyebabkan nyeri dengan nilai interrater reliability cukup tinggi
yaitu 0.52- 0.88 (Payen et al, 2001; Gelinas et al, 2006). Selain itu,
CPOT juga telah diuji sensitivitas dan spesifisitasnya dengan gold
standard pelaporan nyeri secara verbal oleh pasien yang telah
diekstubasi dengan hasil nilai sensitivitas 86% dan nilai spesifisitas
78% (Gelinas et al, 2009). Akan tetapi, CPOT tidak digunakan untuk
menilai tingkat nyeri, namun untuk mendeteksi adanya nyeri pada
pasien kritis dewasa dengan ventilator. Metode validasi untuk menilai
tingkat nyeri pada pasien tidak berhasil (Pasero, 2005).
Diantara kelima instrumen pengkajian nyeri tersebut, BPS dan
CPOT merupakan instrumen pengkajian nyeri yang valid dan reliabel
untuk menilai adanya nyeri pada pasien kritis dewasa yang tidak
mampu melaporkan nyeri secara verbal. Nilai reliabilitas dan validitas
pada instrumen BPS dan CPOT lebih tinggi dari ketiga instrumen
lainnya. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa CPOT
memiliki nilai validitas dan reliabilitas yang lebih tinggi daripada
BPS. Kelebihan instrumen pengkajian nyeri CPOT lebih spesifik
digunakan pada pasien yang tidak mampu mengkomunikasikan nyeri
secara verbal dan telah diimplementasikan pada pasien dengan kasus
trauma kepala, post operasi jantung, penyakit medikal di ICU.
2.2.2 Critcal Pain Observation Tool (CPOT)
Petunjuk penggunaan CPOT menurut Gelinas, dkk (2006).
1. Amati pasien selama satu menit

18
2. Kemudian pasien harus diamati selama mendapatkan tindakan
pengobatan untuk mendeteksi perubahan yang terjadi
3. Pasien harus diamati sebelum dan pada puncak tindakan pengobatan
untuk menilai apakah pengobatan efektif atau tidak dalam
menghilangkan nyeri
4. Amati nilai CPOT setelah dilakukan tindakan pengobatan.
Critical-Care Pain Observasion Tool (CPOT) merupakan
instrumen pengkajian nyeri yang dikembangkan oleh Gelinas et al pada
tahun 2006. Instrumen pengkajian nyeri tersebut terdiri dari 4 item
penilaian, setiap item memiliki kategori yang berbeda, yaitu ekspresi
wajah, pergerakan badan, tegangan otot dan keteraturan dengan
ventilator untuk pasien terintubasi dan pasien yang tidak terintubasi.
Jumlah skor yang diperoleh dalam rentang 0-8. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa CPOT memiliki nilai inter-rater reliability yang
cukup tinggi yang dinilai pada saat pasien istirahat dengan nilai 0,95- 1
dan setelah prosedur dengan nilai 0,86-1. Penelitian pada pasien bedah
jantung menunjukkan bahwa CPOT memiliki nilai inter-rater reliability
sebesar 0,981 (Gelinas et al, 2006; Marmo, 2009). Penelitian Vazquez et
al (2011) pada 96 pasien dengan ventilator yang diteliti saat pasien
istirahat dan prosedur alih baring dengan nilai discriminant validity:
Mean score saat istirahat 0.27 (SD,0.64); selama prosedur 1.93 (SD,
1.41). Sedangkan, nilai reliabilitasnya dengan uji Kappa dengan nilai
0.97- 1. Hal ini menunjukkan bahwa CPOT memiliki nilai interrater
reliability sangat bagus. Kelebihan dari CPOT adalah dapat digunakan
untuk pengkajian nyeri pada pasien bedah dan non bedah yang
ditunjukkan dengan nilai interrater reliability yang cukup tinggi,
sedangkan kelemahannya adalah CPOT belum diujikan pada pasien
dengan agitasi dan delirium pada pasien.
Instrumen yang digunakan untuk penilaian nyeri pada pasien yang
dirawat di ruang ICU dengan ventilator adalah menggunakan Critcal
Pain Obserb Tool (CPOT) (Herr, 2016).

19
The Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT)
Tabel 2.1
No Indikator Kriteria Sko deskripsi
r
1 Ekspresi wajah Santai, netral 0 Tidak ada ketegangan otot
yang terlihat
Tegang 1 Merenggut, alis menurun,
orbit menegang dan terdapat
kerutan lewator atau
perubahan lainnya Imisalnya
membuka mata atau menangis
selama prosedur invasive
meringis 2 Semua gerakan mata pada
skor 1 ditambah kelopak mata
tertutup rapat (pasien dapat
mengalami mulut terbuka atau
mengingit endotrakeal tube)
2 Gerakan tubuh Tidak adanya 0 Tidak bergerak sama sekali
gerakan atau (tidak berarti adanya rasa
posisi sakit) atau posisi normal
mormal (gerakan tidak dilakukan
terhadap bagian yang terasa
nyeri atau tidak dilakukan
untuk tujuan perlindungan)
Ada gerakan 1 Gerakan lambat, gerakan hati-
perlindungan hati, menyentuh atau
menggosok bagian yang nyeri
(mencari perhatian melalui
gerakan)
Kegelisahan / 2 Menarik-narik tube, mencoba
agitasi untuk duduk, menggerakkan
tungkai/meronta-ronta, tidak
mengikuti perintah,

20
menyerang staf, mencoba
turun dari tempat tidur
3 Kepatuhan Toleransi 0 Alarm tidak aktif/ tidak bunyi,
terhadap terhadap ventilasi mudah
pemasangan ventilalor
ventilalor (atau atau gerakan
pasien Batuk tapi 1 Batuk, alarm aktif/bunyi tapi
terpasang masih berhenti secara spontan
intubasi) bertoleransi
Melawan 2 Tidak sinkron, ventilasi
ventilalor tertahan, alarm sering
berbunyi
Atau
Vokalisasi Berbcara 0 Berbicara dalam suara normal
(untuk pasien dalam nada atau tidak sama sekali
tidak terpasang normal ata
intubasi tidak ada
suara
Menghela 1 Menghela napas, merintih
napas,
merinti
Menangis 2 Menangis terisak-isak
terisak-isak
4 Ketegangan Saintai 0 Tidak ada perlawana pada
otot gerakan pasien
Tegang kaku 1 Ada perlawanan pada gerakan
pasif
Sangat 2 Perlawanan kuat pada gerakan
tegang atau pasif atau tidak biasa
sangat kaku dilakukan gerakan pasif
jumlah

Keterangan :
Ekspresi wajah
Pilih salah satu antara kepatuhan klien denganventilator saat diintubasi atau
vokalisasi saat diektubasi.
Catatan:
Skor 0 : tidak nyeri
Skor 1-2 : nyeri ringan
Skor 3-4 : nyeri sedang
Skor 5-6 : nyeri berat

21
Skor 7-8 : nyeri sangat berat.

22
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil
Author Tahun Judul Metode Hasil Source
Ayu 2016 Pengkajian Penelitian ini CPOT dapat Google
Prawesti Nyeri pada bersifat digunakan
Scholar
Priambodo, Pasien observasional sebagai alat
Kusman Kritis analitik dengan penilaian nyeri
Ibrahim, dengan rancangan yang dapat
Nursiswati Mengguna Crosssectional digunakan
kan Critical
dengan sampel dalam menilai
Pain pasien GICU rasa sakit
Observatio (General
n ToolIntensive Care
(CPOT) di Unit) dengan
Intensive penurunan
Care Unit kesadaran dan
(ICU) menggunakan
ventilasi
mekanik
sebanyak 48
pasien. Teknik
pengambilan
sampel dengan
consecutie
sampling.
Apriani, 2016 Pengkajian Penelitian Pengkajian nyeri Google
Rismia Nyeri Cpot observasional dengan
Scholar
Agustina, Dan Wong analitik dengan instrumen
Ifa Hafifah Bekker cross sectional CPOT lebih
Pasien pada 31 unggul karena
Penurunan responden di evaluasi nyeri
Kesadaran ruang ICU didasarkan pada
RSUD Ratu tanda-tanda
Zalecha perilaku dan
Martapura indikator
dengan komprehensif.
purposive Rumah sakit
sampling. dapat
Penelitian ini menggunakan
dilaksanakan pengkajian nyeri
September – dengan
Oktober 2017. instrument
CPOT

23
Andika 2016 Evaluasi Penelitian ini Hasil penelitian Google
Singgih Penggunaan menggunakan ini menunjukkan
Scholar
Purwana Alat Ukur desain bahwa semua
Nyeri kuantitatif non perawat
Critical eksperimentalde menggunakan
Pain ngan rancangan CPOT baik
Observatio Deskriptif. dengan SPO
nal Tool Jumlah sampel yang telah
( CPOT ) Di yang diperoleh ditentukan.
Ruang sebanyak 28 Perawat ICU
Intensive responden RSUD Dr.
Care Unit dengan teknik Moewardi
Rsud Dr. sampling yang Surakarta
Moewardi digunakan
Surakarta adalah total
sampling. Data
yang didapatkan
berasal dari
perawat ICU
Katarzyna 2017 Sensitivity Metode yang Hasil penelitian Google
Kotfis and digunakan yaitu menunjukkan
Scholar
Specificity Penilaian rasa bahwa dalam
of the sakit itu prosedur pra-
Comfort diberikan posisi, Skala
Scale to kepada pasien Kenyamanan
Assess dalam 2 periode memiliki
Pain oleh 2 pengamat nilai sensitivitas
in dengan 69% dan nilai
Ventilated membandingkan spesifisitas 81%.
Critically skala Sementara di
Ill Adult kenyamanan post posisi
Patients in pada CPOT prosedur,
Intensive Data dianalisis nilainya
Care Unit menggunakan menurun
kurva receiver (sensitivitas
operating curve 45%, yang
(ROC). spesifisitas
67%). Ini
menunjukkan
nilai sensitivitas
dari skala
kenyamanan
menurun dan
bisa diartikan
bahwa
kemampuan

24
instrumen
mendeteksi
nyeri
tetap rendah.
Sementara itu,
penurunan nilai
spesifisitas
instrumen
antara
administrasi
sebelum dan
sesudah tidak
jauh berbeda,
sehingga bisa
diartikan
bahwa
instrumen dapat
mengidentifikasi
pasien dengan
benar tanpa rasa
sakit.

25
Qingdong 2014 Pain Sifat Hasil penelitian Google
Li Assessment psikometrik dari menunjukkan
Scholar
Using the CPOT Di nilai bahwa domain
Critical- menggunakan 2 struktur CPOT
Care Pain penilai dapat diterima.
Observation independen Cronbach
Tool in yaitu pada saat memadai
Chinese istirahat, sebagai tolok
Critically Ill sebelum dan ukur untuk
Ventilated selama 2 konsistensi
Adults prosedur : internal berkisar
prosedur dari 0,57 - 0,86
nociceptive dan korelasi
nonnociceptive intraclass
koefisien
sebagai ukuran
untuk reliabilitas
antar penilai
berkisar dari
0,80 -0,91
Koefisien
nonparametrik
Spearman
sebagai ukuran
untuk reliabilitas
uji-ulang
berkisar
dari 0,81 - 0,93.
Skor total CPOT
secara signifikan
lebih tinggi
selama
prosedur
nociceptive,
menunjukkan
bahwa validitas
diskriminannya
baik.

26
3.2 Pembahasan
Penelitian yang dilakukan oleh Priambodo dkk 2016 yang berjudul ”
Pengkajian Nyeri pada Pasien Kritis dengan Menggunakan Critical Pain
Observation Tool (CPOT) di Intensive Care Unit (ICU)”. Penelitian ini
merupakan observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Sampel
penelitian adalah 48 pasien kritis dengan penurunan kesadaran dan ventilasi
mekanis yang menjalani perawatan di ruang General Intensive Care Unit
(GICU) di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Penelitian menggunakan
Consecutive sampling, dengan kriteria sampel berusia ≥ 18 tahun, tidak
dapat melaporkan rasa nyerinya, menggunakan ventilasi mekanik, pasien
dengan tingkat kesadaran somnolens dan stupor. Pada pasien yang sama
kemudian dilakukan pengkajian nyeri dengan CPOT yang berdasarkan pada
empat domain: ekspresi wajah, gerakan tubuh, ketegangan otot, dan
kepatuhan dengan ventilasi mekanis untuk pasien dengan intubasi dan
vokalisasi untuk pasien ekstubasi. Pasien dinilai 0, 1, atau 2 pada empat
domainnya, CPOT memberikan nilai keseluruhan dari 0 (tidak ada rasa
sakit) sampai 8 (sakit maksimum) (Gelinas, Fillion, et al, 2016). Sehingga
dianggap CPOT lebih mudah digunakan dan aplikatif karena memiliki
definisi operasional yang jelas.
Hal ini didukung oleh teori yang dijelaskan oleh Agastiya (2017)
yang menyatakan bahwa CPOT baik digunakan untuk mendeteksi intensitas
nyeri dari ringan sampai sedang tetapi tidak untuk nyeri yang berat. CPOT
lebih sensitif (76,5%) dan akurat (74,68%) untuk mengkaji pasien kritis di
ICU dibandingkan dengan instrument nyeri yang lain. CPOT memiliki
kelebihan dengan adanya indikator kekuatan otot pada lengan dan kaki
sehingga lebih sensitif dan akurat sedangkan BPS hanya mengkaji kekuatan
otot ekstremitas bagian atas. CPOT lebih rutin digunakan karena membantu
dalam perawatan dan memengaruhi pengkajian nyeri yang dilaksanakan.
CPOT juga mudah untuk digunakan mengkaji nyeri pada pasien yang
disedasi, tidak sadar dan diintubasi sehingga mencakup pasien di ICU.
CPOT lebih valid untuk mengkaji nyeri pasien kritis non-verbal

27
dibandingkan NVPS. CPOT dapat digunakan pada pasien ICU yang mampu
dan tidak mampu berkomunikasi verbal. Selain itu, CPOT juga dapat
digunakan pada pasien dengan pasca pembedahan otak. Kelemahan dari
CPOT yaitu tidak mampu untuk mengkaji pasien yang mengalami delirium.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Apriani dkk pada tahun 2016
tentang “Pengkajian Nyeri Cpot Dan Wong Bekker Pasien Penurunan
Kesadaran“ instumen Wong Bekker merupakan instumen yang
menggunakan ekspresi wajah sedangkan gambaran wajah yang terdapat
pada Wong Bekker kurang dapat mewakili gambaran wajah orang dewasa,
karena tidak semua orang dewasa mengekspresikan rasa nyeri yang mereka
rasakan dengan ekspresi wajah. Kebanyakan orang dewasa menunjukkan
rasa nyeri mereka dengan bentuk perilaku lain yang bisa ditunjukkan oleh
pasien yang tidak mampu berkomuniakasi secara verbal diantaranya
mengerang, menggosok-gosok area yang sakit, gelisah, mengepalkan
tangan, mengerutkan kening dan meringis. Pada skor terendah gambaran
wajah yang digambarkan oleh instrumen Wong Bekker adalah gambaran
wajah seseorang yang sedang tersenyum, namun tidak semua orang
mengungkapkan rasa tidak nyeri dengan tersenyum. Seseorang yang tidak
nyeri kebanyakan mengungkapkan nyeri mereka dengan gambaran wajah
yang datar. Sedangkan dalam CPOT didalamnya terdapat indikator perilaku,
sehingga nyeri yang dirasakan tidak hanya dilihat dari ekpresi wajah namun
dapat dilihat juga dari perilaku yang ditimbulkan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Purwana (2016) tentang “Evaluasi
Penggunaan Alat Ukur Nyeri Critical Pain Observational Tool (CPOT) Di
Ruang Intensive Care Unit“ dimana penggunaan alat ukur nyeri CPOT ini
baru dilaksanakan kurang lebih 3 bulan yang lalu sebelum beralih dari
Comfort Scale ke skala nyeri CPOT dalam menilai derajat nyeri di ruang
Intensive Care Unit(ICU). Berdasarkan hasil observasi selama ini tidak ada
kendala/masalah dalam menggunakan skala CPOT, perawat selalu
menggunakan SPO sebagai acuan untuk menilai derajat nyeri pada pasien di
ICU. Sedangkan cara perawat memberi nilai/skor nyeri terhadap pasien

28
adalah dengan cara memberi skor nyeri kepada pasien sesuai dengan SPO
yang ada yaitu dengan menjumlahkan skor setiap tools CPOT dan
mengintrepretasikan sesuai yang tercantum pada ketentuan SPO yang
berlaku. Sejalan dengan penelitian tersebut, Kotfis (2017) dalam
penelitiannya menjelaskan bahwa CPOT instrumen pernah diuji untuk
sensitivitas dan spesifisitas untuk pasien yang sakit kritis dengan ventilator.
Selain itu, hal ini juga sejalan dengan penelitian Li (2014) dimana CPOT
memiliki sifat psikometrik yang baik dan dapat digunakan sebagai
instrumen yang andal dan valid untuk penilaian nyeri pada pasien kritis
yang menggunakan ventilator.
3.3 Implikasi Keperawatan
Penggunaan Critcal Pain Observation Tool dapat digunakan dalam
pengkajian nyeri pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran.

29
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Pengkajian nyeri pada pasien penurunan kesadaran dengan menggunakan
Critical Pain Observation Tool (CPOT) dapat digunakan dengan sebagai
instrument mengidentifikasi nyeri yang kompeten karena mudah dan
strandar operasional prosedur dalam scoring nyeri sudah jelas. Selain itu
CPOT in dapat digunakan pada pasien dengan kesadaran somnolen maupun
stupor.
4.2 Saran
4.2.1 Bagi Program Studi Profesi Ners
Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan tambahan teori dan
bahan bacaan tentang keperawatan gawat darurat dan keperawatan kritis.
4.2.2 Bagi Perawat
Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan sebagai bahan
masukan bagi perawat dalam tindakan mandiri keperawatan yaitu
Pengkajian nyeri pada pasien penurunan kesadaran dengan menggunakan
Critical Pain Observation Tool (CPOT)
4.2.3 Bagi Rumah sakit
Diharapkan analisis jurnal ini dapat menjadi masukan bagi Rumah
Sakit dalam Pengkajian nyeri pada pasien penurunan kesadaran dengan
menggunakan Critical Pain Observation Tool (CPOT) dalam upaya
peningkatan pelayanan di Fasilitas Kesehatan.

30
DAFTAR PUSTAKA

Agastiya. 2017. Buku Ajar Keperawatan Klinis. Edisi 5. Jakarta: EGC.

Andika Singgih Purwana1, Nazwar Hamdani Rahil2, Arif Adi Setiawan3. 2016.
Evaluasi Penggunaan Alat Ukur Nyeri Critical Pain Observational Tool
( CPOT ) Di Ruang Intensive Care Unit Rsud Dr. Moewardi Surakarta.
Stikes Jenderal Achmad Yani Yogyakarta : Jurnal Penelitian Kesehatan

Apriani, Rismia Agustina, Ifa Hafifah. 2016. Pengkajian Nyeri Cpot Dan Wong
Bekker Pasien Penurunan Kesadaran. Universitas Lambung Mangkurat.
Dunia Keperawatan.

DepKes RI. 2010. Batasan usia. Jakarta : Kemenkes RI

Edwards & Fillingham. 2010. Chapter 3 Physiology of Pain Physiology of pain


Nociceptors and the transduction. International Association for the Study
of Pain.

Gelinas, dkk. 2016. Validation of the Critical-Care Pain Observational Tool


inadult patient. American Journal of Critical-Care, juli, 15(4):420-427..

Hardisman. 2018. Konsep dan proses keperawatan nyeri. Yogyakarta : Graha


Ilmu.

Herr. 2016. Essentials of Critical Care Nursing: A Holistic Approach. Wolters


Kluwer. Philadelphia.

Im and American Medical Association. 2014. Module pain management


pathophysiologyofpain and pain assessment. Available from:
www.ama.com

Jamie. 2016. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Fakultas KedokteranUniversitas


Indonesia.

Katarzyna Kotfis 1, Małgorzata Zegan-Barańska 1, Łukasz Szydlowski 1, Maciej


Zukowski 1, Eugene W. Ely 2. 2017. Methods of pain assessment in adult
intensive care unit patients — Polish version of the CPOT (Critical Care
Pain Observation Tool) and BPS (Behavioral Pain Scale). Via Medica :
Anaesthesiology Intensive Therapy

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Pedoman penyelenggaran


pelayanan HCU dan ICU di Rumah Sakit. Jakarta : diakses melalui
http://www.pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-
kesehatan-Indonesia/profil-kesehatan.

31
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman penyelenggaran
pelayanan HCU dan ICU di Rumah Sakit. Jakarta : diakses melalui
http://www.pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-
kesehatan-Indonesia/profil-kesehatan.
Li, Qingdong. 2014. Pain Assessment Using the Critical-Care Pain Observation
Tool in Chinese Critically III Ventilated Adults. Journal of Pain and
Symptom Management Vol 48: No 5

Logan dan Rose. 2014. Chapter 3 Physiology of Pain Physiology of pain


Nociceptors and the transduction. International Association for the Study
of Pain.

Mackenzie. 2018. Keperawatan Kritis : Pendekatan asuhan holistik edisi. 8.


Jakarta : EGC

Melzack dan Wall. 2015. Fundamental nursing skill and concepts.Philadelphia

Potter dan Perry. 2015. Sedation and analgesia in the intensive care unit: Drug
review. Medical Diary.

Priambodo, Kusman Ibrahim, Nursiswati. 2016. Pengkajian Nyeri pada Pasien


Kritis dengan Menggunakan Critical Pain Observation Tool (CPOT) di
Intensive Care Unit (ICU). Padjajaran: Jurnal Kesehatan

Puntillo. 2014 .Buku ajar fundamental keperawatan : Konsep proses dan praktik.
Vol. 2. Edisi 4. Jakarta : EGC

Rekam Medis RSUP Dr. Sardjito. 2013. Data pasien terpasang ventilalor
mekanik. Yogjakarta : Rekam medic

Smeltzer & Barre. 2014. Acute pain management. New York:Cambridge


University Press,

Suza. 2013. Monitoring sedation.American Journal of Nursing , 102(2). 67-69.

Tamsuri. 2017. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC

Washington, Gibson dan Helme. 2010. Buku Ajar Fundamental : konsep, proses,
dan praktik. Jakarta : EGC

32

Anda mungkin juga menyukai