Anda di halaman 1dari 7

Sensitivitas dan Spesifisitas Skala Kenyamanan untuk Menilai Nyeri

pada Pasien Dewasa Berventilasi Kritis di Indonesia

Unit perawatan intensif

Pasien sakit kritis yang dirawat di ICU sering mengalami kecemasan dan rasa sakit. Nyeri
adalah penyebab utama pasien yang menjalani perawatan di ICU (Gelinas et al., 2011; Gelinas et
al., 2014). Rasa sakit yang dialami oleh pasien bervariasi dan khas akut dari tingkat sedang
hingga berat (Gelinas et al., 2014). Sebuah studi sebelumnya menunjukkan bahwa dari hampir
lima juta pasien yang dirawat di ICU setiap tahun, 71% dari mereka mengalami rasa sakit selama
perawatan (Stites M, 2008).

Rasa sakit yang dialami oleh pasien di ICU adalah karena beberapa alasan, seperti
penyakit patofisiologis dan efek samping dari terapi dan prosedur yang dilakukan untuk pasien
(Cade, 2008). Prosedur ini termasuk prosedur medis dan keperawatan. Operasi, pemasangan
endotrakeal, dan penggunaan drainase adalah beberapa prosedur medis yang menyebabkan rasa
sakit pada pasien. Sementara itu, beberapa prosedur keperawatan seperti penentuan posisi,
pengisapan lendir dari trakea pada pasien dengan ventilasi mekanis, pembalut luka, dan
pemasangan atau pelepasan kateter juga menyebabkan rasa sakit (Alderson et al., 2013; Dunn &
Murphy, 2009; Puntillo et al., 2004; Sutari et al., 2014).

Prosedur keperawatan dan tindakan medis yang diberikan secara tidak tepat dapat
menyebabkan rasa sakit bagi pasien yang menjalani perawatan di ICU. Nyeri ini dapat
diminimalkan melalui manajemen nyeri sehingga toleransi terhadap penggunaan ventilator dan
lama tinggal di ICU dapat ditingkatkan (Alderson & McKechnie, 2013). Langkah pertama
manajemen nyeri pada pasien yang sakit kritis adalah menilai nyeri secara akurat. Dalam sebuah
penelitian yang melibatkan 1.144 pasien di ICU, penilaian nyeri diberikan kepada 513 pasien,
dan tidak ada penilaian dilakukan pada 631 sisanya. Hasilnya mengungkapkan bahwa pasien
dengan penilaian nyeri menunjukkan penurunan penggunaan ventilator (8 hari vs 11 hari, p
<0,01) dan lama tinggal di ICU (13 hari vs 18 hari, p <0,01) (Chanques et al., 2009; Kollef et al.,
1998).

Penilaian nyeri pada pasien sakit kritis digunakan sebagai pedoman dalam pengambilan
keputusan klinis terkait dengan manajemen nyeri (Cade, 2008). Mempertimbangkan manajemen
nyeri pada pasien sakit kritis di ICU, perawat memainkan peran sebagai pengasuh yang
melakukan penilaian nyeri yang efektif sebagai bagian integral dari proses keperawatan (Poter &
Perry, 2006). Selain itu, perawat juga berperan sebagai advokat untuk penilaian yang akurat
dengan bekerja sama dengan dokter mengenai pengobatan analgesik yang diberikan kepada
pasien sesuai dengan kebutuhan mereka. Pendekatan komprehensif diperlukan untuk menilai
rasa sakit pada pasien sakit kritis di ICU yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal seperti
yang terlihat dalam indikator perilaku mereka (Blenkharn A., 2002; Herr et al., 2006).
Pengamatan di ICU menunjukkan bahwa ekspresi seperti wajah meringis, kekakuan, mata
tertutup dan tangan yang terkepal adalah indikator perilaku nyeri seperti yang ditunjukkan oleh
pasien untuk penilaian nyeri (Gelinas et al., 2014).

Beberapa instrumen penilaian nyeri yang didasarkan pada indikator perilaku untuk pasien
dewasa yang sakit kritis telah dikembangkan, seperti Algoritma Penilaian Nyeri, Penilaian Nyeri
dan Notasi Intervensi (PAIN), Skala Nyeri Dewasa Nonverbal (NVPS), Skala Nyeri Perilaku
(BPS), Skala Nyeri Perilaku (BPS) ) dan Cognical-Care Pain Observational Tool (CPOT) (Payen
et al., 2001; Young et al., 2006). Beberapa penelitian terkait dengan rasa sakit alat pengukuran
menunjukkan bahwa CPOT memiliki skor validitas dan reliabilitas yang lebih tinggi daripada
Pain Assessment Algorithm, P.A.I.N, NVPS, dan BPS (Tahka et al., 2009). Ini juga didukung
oleh American Society for Pain Management Nursing (ASPMN) yang merekomendasikan
penggunaan CPOT sebagai instrumen yang valid dan dapat diandalkan untuk menilai rasa sakit
pada orang dewasa yang sakit kritis yang tidak dapat melaporkan secara verbal rasa sakit mereka
(Asosiasi Critical-Care Amerika) Perawat, 2013).

Beberapa rumah sakit di Semarang, Indonesia, telah menggunakan instrumen berbasis


perilaku untuk menilai rasa sakit pada pasien dewasa yang sakit kritis yang tidak dapat
berkomunikasi secara verbal. Skala kenyamanan adalah contoh dari instrumen yang telah
digunakan oleh dua rumah sakit di Semarang. Secara khusus, instrumen ini dikembangkan oleh
Ambuel et al. pada tahun 1992 dan digunakan untuk menilai nyeri pada pasien anak kritis di
bawah usia 18 tahun. Instrumen ini telah diuji validitas dan reliabilitasnya untuk digunakan pada
pasien dewasa. Hasil penelitian menunjukkan nilai 0,49-0,74 untuk validitasnya, dan Cronbach
alpha 0,60-0,66 untuk keandalannya (Ashkenazy & DeKeyser-Ganz, 2011). Skala Kenyamanan
belum pernah diuji kepekaan dan spesifisitasnya pada pasien dewasa yang sakit kritis dengan
ventilator. Menurut American Association of Critical-Care Nurses (AACN), dilaporkan bahwa 2
dari 8 item dalam Skala Kenyamanan (tekanan darah dan denyut nadi) tidak dapat digunakan
sebagai indikator rasa sakit dengan tingkat bukti C (Asosiasi Amerika) Perawat Perawatan Kritis,
2013; Chanques, et al., 2009).

Salah satu rumah sakit di Semarang telah menggunakan Skala Kenyamanan sebagai
ukuran penilaian rasa sakit untuk pasien dewasa yang sakit kritis di ICU yang tidak dapat
melaporkan rasa sakit mereka secara lisan. Berdasarkan data pada Januari 2016,
dilaporkan bahwa total jumlah pasien dengan ventilator dalam tiga bulan terakhir adalah
93. Beberapa masalah dilaporkan mengenai penggunaan instrumen, seperti lamanya
waktu untuk pemberian karena dua item dalam instrumen (tekanan darah dan denyut
nadi) tidak sesuai untuk kondisi klinis pasien. Selain itu, instrumen ini belum pernah diuji
kepekaan dan spesifisitasnya untuk pasien dewasa yang sakit kritis dengan ventilator.
Untuk semua alasan itu, sangat penting untuk memeriksa sensitivitas dan spesifisitas Skala
Kenyamanan untuk menilai nyeri pada pasien dewasa yang sakit kritis dengan ventilator
di ICU.
TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki sensitivitas dan spesifisitas Skala Kenyamanan
sebagai penilaian rasa sakit pada pasien dewasa yang sakit kritis dengan ventilator di ICU.

METODE

Penelitian ini menggunakan desain kuantitatif non-eksperimental dengan pendekatan cross-


sectional. Pengambilan sampel non-probabilitas dengan teknik consecutive sampling digunakan.
Sampel adalah pasien dewasa yang sakit kritis yang dirawat di ICU dua rumah sakit di
Semarang. Kriteria inklusi adalah pasien usia> 18 tahun, menerima ventilator mekanik> 24 jam
hingga <72 jam, dan memiliki penurunan kesadaran GCS 7-10. Sementara itu, kriteria eksklusi
adalah pasien dengan kelumpuhan semua anggota badan dan dengan trauma kepala. Dalam
penelitian ini, 66 pasien yang memenuhi kriteria direkrut. Data dikumpulkan dalam tiga bulan
oleh dua pengamat (satu peneliti, satu enumerator) yang telah diuji untuk antar pengamat
keandalan dengan nilai Kappa 0,87. Validitas wajah instrumen yang digunakan dalam penelitian
ini sudah diuji. Sebelum validitas wajah instrumen skala kenyamanan diuji, versi Bahasa Inggris
instrumen skala kenyamanan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Terjemahan dilakukan
dengan mengacu pada standar WHO, di mana proses tersebut melibatkan empat ahli: dua ahli
dalam perawatan kritis, satu konsultan Perawatan Intensif (IC) dan satu ahli dalam Bahasa
Inggris. Instrumen itu kembali diterjemahkan oleh ahli dalam Bahasa Inggris dan ternyata tidak
jauh berbeda dari instrumen aslinya. Oleh karena itu, instrumen tersebut valid untuk
mengumpulkan data.

Pengumpulan data dilakukan secara bersamaan oleh pengamat sebelum dan sesudah prosedur
penentuan posisi selama 30 menit dengan menggunakan skala Comfort dan pengukuran CPOT.
Penilaian pertama diberikan dengan mengukur baseline nyeri pada pasien berdasarkan indikator
pada setiap instrumen. Penilaian kedua dilakukan setelah prosedur penentuan posisi dengan
menggunakan Skala Kenyamanan dan tindakan CPOT. Penilaian dilakukan dengan mengamati
perubahan yang ada di setiap item instrumen. Kurva Operasi Penerima (ROC) digunakan untuk
menganalisis data.

HASIL

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pasien berusia 41-60 tahun (39,4%), laki-laki
(65,2%), menerima diagnosis medis gangguan pernapasan (45,5%) dan tidak menerima prosedur
sedasi (84,8%) . Karakteristik dan data demografis responden dijelaskan pada Tabel 1.

DISKUSI

Sensitivitas dan spesifisitas Skala Kenyamanan dalam penelitian ini setelah penentuan posisi

prosedur menunjukkan nilai 45% dan 67% berturut-turut. Ini lebih rendah dari itu
sebelum prosedur, di mana nilainya 69% untuk sensitivitas dan 81% untuk

kekhususan. Penurunan nilai sensitivitas suatu instrumen menggambarkan bahwa kemampuan

instrumen untuk mendeteksi ada atau tidak adanya rasa sakit lemah. Nilai tinggi

sensitivitas diperlukan untuk mengidentifikasi tingkat nyeri pada pasien. Nilai spesifisitas

instrumen juga menurun setelah prosedur penentuan posisi, tetapi masih dalam a

kisaran lumayan. Nilai spesifisitas instrumen nyeri menunjukkan instrumen tersebut dapat
dengan benar mengidentifikasi tidak adanya rasa sakit dalam pasien. Instrumen nyeri dengan
nilai sensitivitas tinggi memiliki kemampuan yang baik untuk mendeteksi nyeri sedangkan
instrumen dengan spesifisitas tinggi ditafsirkan menunjukkan bahwa instrumen dapat dengan
benar mengidentifikasi tidak adanya nyeri pada pasien. Instrumen penaksiran nyeri harus
memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang baik yang dapat digunakan untuk menilai nyeri
sebelum atau setelah penerapan prosedur apa pun yang menyebabkan nyeri. Nilai sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi memberikan implikasi untuk manajemen nyeri yang tepat, serta untuk
pemberian dosis analgesik. Instrumen nyeri yang memiliki nilai sensitivitas tinggi menunjukkan
kemampuan yang baik untuk mendeteksi nyeri, sedangkan instrumen dengan nilai spesifisitas
tinggi memiliki kemampuan yang baik dalam mendeteksi tidak adanya nyeri.

Nilai sensitivitas dan spesifisitas Skala Kenyamanan menurun setelah prosedur penentuan posisi.
Ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti domain gerakan fisik, MAP, dan detak jantung.
Pertama, gerakan fisik adalah salah satu indikator peringkat instrumen. Domain lebih tepat untuk
menilai rasa sakit pada anak-anak daripada pasien dewasa (Holsti et al., 2010). Hasil tes
sensitivitas dan spesifisitas pada bayi menunjukkan skor tinggi dengan nilai AUC 0,95, nilai
sensitivitas 100% dan nilai spesifisitas 77% dengan titik potong 20 (Wielenga et al., 2004). Ini
sejalan dengan penelitian oleh Holsti et al. (2010) yang menyatakan bahwa gerakan fisik
merupakan indikator yang terkait dengan skala nyeri pada anak. Studi ini menunjukkan bahwa
gerakan fisik pada anak menjadi lebih spesifik untuk menilai rasa sakit jika anak diberi prosedur
yang merangsang rasa sakit. Prosedur ini memengaruhi perubahan pada kaki, lutut, dan pinggul
terkait fleksi dan ekstensi yang memengaruhi penilaian nyeri. Perubahan dalam gerakan fisik
mengindikasikan adanya tekanan pada bayi atau anak-anak.

Penelitian ini menunjukkan temuan berbeda mengenai gerakan fisik. Respon rasa sakit dalam
domain gerakan fisik berbeda dari yang pada pasien anak ketika diukur sebelum atau setelah
prosedur penentuan posisi. Item gerakan fisik pada Skala Kenyamanan sulit digunakan sebagai
respons terhadap rasa sakit pada pasien dewasa. Biasanya pada pasien dewasa, gerakan fisik
cenderung melokalisasi rasa sakit dengan gerakan seperti menarik tabung dan mencoba duduk
jika diberikan stimulus yang merangsang rasa sakit. Bahkan, domain gerakan fisik dalam Skala
Kenyamanan hanya menggambarkan ada atau tidak adanya gerakan spontan, gerakan
ekstremitas, dan gerakan kuat di kepala dan panggul. Ini juga sesuai dengan penelitian oleh
Gelinas et al. (2009) yang menyatakan bahwa pergerakan tubuh pada pasien dewasa
diindikasikan dengan menyentuh lokasi nyeri, berusaha menarik tabung endotrakeal dan agitasi.
Dengan demikian, domain gerakan fisik pada instrumen tidak tepat ketika digunakan untuk
menilai respon nyeri pada pasien dewasa.

Domain Mean Arterial Pressure (MAP) dan denyut jantung juga dapat berperan dalam
menurunkan nilai sensitivitas dan spesifisitas Skala Kenyamanan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tidak ada perubahan nilai pada domain instrumen skala kenyamanan, yaitu
MAP dan denyut jantung. Para peneliti telah menghitung perbedaan rata-rata dalam nilai
sensitivitas tanpa termasuk MAP dan domain denyut jantung. Hasilnya menunjukkan
peningkatan nilai sebelum dan sesudah mengecualikan MAP dan domain detak jantung dari
perhitungan. Perbedaan rata-rata sensitivitas

meningkat sebesar 7% sebelum prosedur penentuan posisi, dan 13% setelah prosedur penentuan
posisi (lihat gambar 5). Ini menunjukkan bahwa keberadaan MAP dan domain denyut jantung
dapat menurunkan nilai sensitivitas pada skala kenyamanan. Terbukti dengan menghilangkan
domain-domain tersebut, nilai sensitivitas meningkat. Beberapa penelitian menyatakan bahwa
ada hubungan yang lemah antara penilaian tanda vital (MAP dan denyut jantung) dan penilaian
perilaku terhadap rasa sakit. Itu ditandai dengan tidak adanya perubahan dalam nilai MAP dan
denyut jantung, termasuk status menurun, meningkat dan bahkan stabil, ketika penilaian
dilakukan sebelum, selama dan setelah prosedur penentuan posisi. Oleh karena itu, kedua
domain tidak dapat digunakan sebagai indikator nyeri yang akurat (American Nurses Association
of Critical-Care, 2013; Chanques et al., 2009; Gelinas et al., 2014). MAP dan denyut jantung
dalam penilaian nyeri tidak dapat digunakan karena indikator perubahan tanda vital dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ketakutan, kecemasan, dan tekanan psikologis pada
pasien (Gelinas et al., 2014). Lebih lanjut, studi tentang validasi instrumen penilaian nyeri pada
pasien dewasa juga menyebutkan bahwa perubahan tanda vital dipengaruhi oleh kondisi
kesehatan, obat-obatan, perubahan hemostatik dan kecemasan (Gelinas et al., 2009; Herr et al.,
2006) .

Hasil penelitian lain yang memeriksa nyeri pada pasien sakit kritis dengan sedasi sebelum dan
selama pemberian prosedur nyeri menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara perubahan
hemodinamik seperti tekanan darah dan denyut jantung, dan nyeri dengan nilai r2 <0,10 ( Payen
et al., 2001). Selanjutnya, dalam sebuah studi oleh Young et al. (2006), terungkap bahwa
perubahan hemodinamik tidak terkait dengan respon terhadap nyeri dan bukan merupakan
indikator yang dapat diandalkan untuk menilai nyeri. Studi ini juga didukung oleh pedoman
praktik klinis terkait dengan manajemen nyeri, agitasi dan delirium yang menyatakan bahwa
tanda-tanda vital tidak direkomendasikan sebagai indikator dalam penilaian nyeri pada pasien
dewasa di ICU (Barr et al., 2013). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa MAP dan denyut
jantung tidak tepat untuk digunakan sebagai indikator penilaian nyeri pada pasien dewasa.
Instrumen penilaian nyeri harus memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang baik ketika
digunakan untuk menilai nyeri sebelum dan sesudah prosedur yang menyebabkan nyeri pada
pasien. Nilai sensitivitas dan spesifisitas memiliki implikasi untuk manajemen nyeri yang tepat,
serta dosis analgesik. Perawat adalah bagian dari tim multidisiplin dalam manajemen nyeri, dan
oleh karena itu, pengetahuan dan keterampilan mengenai nyeri diperlukan bagi perawat untuk
mencapai manajemen nyeri yang efektif. Peran perawat dalam manajemen nyeri, antara lain,
menyediakan informasi untuk pasien dan keluarga, menilai nyeri, mengelola dan memantau efek
samping analgesik, dan mendokumentasikan nyeri. Salah satu kunci utama manajemen nyeri
yang efektif adalah penilaian nyeri. Peran perawat dalam tahap ini adalah untuk menilai secara
komprehensif rasa sakit pasien yang mampu melaporkan rasa sakit secara verbal dan non-verbal.
Pengetahuan bahwa perawat harus mencakup penggunaan instrumen penilaian nyeri dan teori
dan fisiologi nyeri. Sementara itu, keterampilan yang harus diperoleh perawat melibatkan
kemampuan untuk menggunakan instrumen penilaian nyeri yang dapat diandalkan dan
kemampuan untuk menafsirkan nyeri pada pasien yang tidak dapat melaporkan secara verbal,
serta kemampuan untuk melakukan penilaian nyeri holistik (Lellan, 2006 ).

Studi kualitatif yang meneliti tantangan perawat dalam manajemen nyeri dalam keperawatan
kritis juga menunjukkan bahwa perawat sebagai personel pengambil keputusan memiliki
kewajiban dan tanggung jawab etis dalam melakukan manajemen nyeri menggunakan instrumen
yang sesuai (Morton & Fontaine., 2013; Subramanian et al., 2012). Perawat juga memainkan
peran dalam memutuskan manajemen nyeri yang tepat melalui kolaborasi dengan dokter untuk
memberikan analgesik sesuai dengan dosis yang ditentukan. Studi lain menyatakan bahwa ada
korelasi positif antara pendidikan dan efektivitas manajemen nyeri yang dilakukan oleh perawat.
Jika perawat memperoleh pelatihan manajemen nyeri, mereka akan dapat memberikan intervensi
nyeri yang efektif untuk pasien secara komprehensif (Manias, Botti, & Bucknall, 2002). Jika
instrumen yang digunakan untuk menilai rasa sakit tidak memiliki nilai sensitivitas dan
spesifisitas yang baik, rasa sakit pasien tidak akan ditangani dengan baik. Instrumen penilaian
nyeri, yang sensitif, diperlukan untuk mendeteksi adanya nyeri yang mempengaruhi penurunan
durasi penggunaan ventilator dan lama tinggal di ICU (Payen et al., 2009).

Penelitian ini juga menilai rasa sakit pada pasien penenang dengan jumlah total 10 responden.
Para peneliti melakukan analisis terpisah terhadap 56 responden non-penenang dengan
pertimbangan bahwa kelompok ini dapat menyebabkan bias dalam hasil. Hasil analisis
menunjukkan bahwa sensitivitas dan spesifisitas dari 56 responden non-sedasi tidak jauh berbeda
dari nilai sensitivitas dan spesifisitas dari total jumlah 66 responden. Analisis chi-square
digunakan untuk 66 responden untuk menguji hubungan antara sedasi dan rasa sakit dan
memperoleh nilai p> 0,05. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara sedasi dan nyeri. Ini bisa disebabkan oleh jumlah responden yang sedikit (10
pasien).

Skala kenyamanan juga dapat digunakan pada pasien dengan sedasi dan non-sedasi dengan
mengecualikan MAP dan denyut jantung sebagai indikator penilaian nyeri pada pasien dewasa.
Itu karena temuan ini tidak menemukan perubahan hemodinamik pada pasien dengan sedasi.
Nilai keandalan skala kenyamanan pada pasien dewasa (α = 0,6) (Ashkenazy & DeKeyser, 2011)
lebih rendah daripada penggunaannya pada anak-anak (α = 0,9). Singkatnya, skala kenyamanan
dapat digunakan untuk mendeteksi rasa sakit pada pasien dewasa, tetapi beberapa indikator
dalam instrumen perlu dihilangkan karena mereka mempengaruhi nilai sensitivitas.

KESIMPULAN

Nilai sensitivitas dan spesifisitas skala kenyamanan menurun pada prosedur penempatan posisi
tetapi tetap tinggi dalam prosedur penentuan posisi awal. Dalam prosedur pra-penentuan posisi,
nilai sensitivitas dan spesifisitas adalah 69% dan 81% berturut-turut. Sementara itu, dalam
prosedur post-positioning, nilai sensitivitas dan spesifisitas adalah 45% dan 67%.

Berdasarkan temuan, penelitian ini merekomendasikan bahwa pembuat kebijakan di ICU harus
mempertimbangkan kembali penggunaan skala kenyamanan untuk menilai rasa sakit pada pasien
dewasa dengan ventilator. Perencanaan untuk melibatkan perawat dalam pelatihan manajemen
nyeri juga harus dipertimbangkan untuk meningkatkan pengetahuan perawat dalam penggunaan
instrumen penilaian nyeri yang tepat untuk pasien dewasa yang sakit kritis. Studi lebih lanjut
yang melibatkan lebih banyak sampel dengan melakukan studi multisenter di beberapa rumah
sakit di Semarang diperlukan. Selain itu, modifikasi skala kenyamanan dengan instrumen
penilaian nyeri lainnya juga diperlukan untuk mengembangkan instrumen penilaian nyeri baru
untuk pasien dewasa dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.

Anda mungkin juga menyukai