Anda di halaman 1dari 11

Machine Translated by Google

Jurnal Perawat Media Perawat, 7(1), 2017, 35-45


Tersedia Online di http://ejournal.undip.ac.id/index.php/medianers

Sensitivitas dan Spesifisitas Skala Kenyamanan untuk Menilai Nyeri pada


Pasien Dewasa Sakit Kritis Ventilasi di
Unit perawatan intensif

Indah Sri Wahyuningsih1 , Awal Prasetyo2 , Reni Sulung Utami3

1Faculty of Nursing, Sultan Agung Islamic University, Semarang, Indonesia


2Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia
3Department of Nursing, Diponegoro University, Semarang, Indonesia
Corresponding Author: Indah Sri Wahyuningsih (indah.undip@gmail.com)

ABSTRAK

Latar belakang: Nyeri merupakan fenomena umum yang dialami oleh pasien dewasa berventilasi dan
sakit kritis. Sangat mendesak untuk mengukur rasa sakit di antara pasien ini karena mereka tidak dapat
melaporkan rasa sakit mereka secara lisan. Comfort Scale merupakan salah satu instrumen yang
digunakan untuk mengukur nyeri pada pasien dewasa. Skala ini digunakan untuk mengukur nyeri pada
pasien anak dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menguji sensitivitas dan spesifisitas Comfort Scale untuk mengukur
nyeri pada pasien dewasa sakit kritis berventilasi di ICU.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan 66 pasien dewasa berventilasi di ICU
dua rumah sakit di Semarang. Penilaian nyeri diberikan kepada pasien dalam 2 periode duplo oleh dua
pengamat yang membandingkan dengan Skala Nyaman dan Alat Pengamatan Nyeri Perawatan Kritis
(CPOT) sebagai instrumen standar emas selama prosedur sebelum dan sesudah pemosisian. Data
dianalisis menggunakan receiver operating curve (ROC).

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada prosedur pre-positioning, Comfort Scale memiliki nilai
sensitivitas 69% dan nilai spesifisitas 81%. Sedangkan pada prosedur post positioning terjadi penurunan
nilai (sensitivitas 45%, spesifisitas 67%). Hal ini menunjukkan bahwa nilai sensitivitas skala kenyamanan
menurun dan dapat diartikan bahwa kemampuan instrumen dalam mendeteksi nyeri

tetap rendah. Sedangkan penurunan nilai spesifisitas instrumen antara pra dan pasca administrasi tidak
jauh berbeda, sehingga dapat diartikan
bahwa instrumen dapat mengidentifikasi pasien dengan benar tanpa rasa sakit.
Kesimpulan: Skala Comfort memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih rendah pada post-
positioning dibandingkan dengan pre-positioning procedure. Direkomendasikan bahwa penelitian lebih
lanjut harus fokus pada hubungan antara sedasi dan nyeri dengan menggunakan instrumen studi nyeri
untuk pasien dewasa (CPOT). Selain itu, pengambil kebijakan rumah sakit yaitu Satgas Sakit diharapkan
dapat memberikan pendidikan dan pelatihan melalui
lokakarya dan seminar tentang keterampilan perawat dalam manajemen nyeri pada area kritis sebagai
bagian dari tim multidisiplin.

Kata kunci: Skala kenyamanan; kepekaan; kekhususan

Hak Cipta © 2017, NMJN, p-ISSN 2087-7811, e-ISSN 2406-8799


Machine Translated by Google

Jurnal Perawat Media Keperawatan, 6 (1), 2016, 36

LATAR BELAKANG
Pasien kritis yang dirawat di ICU sering mengalami kecemasan dan nyeri. Nyeri merupakan
stressor utama bagi pasien yang menjalani perawatan di ICU (Gelinas et al., 2011; Gelinas et
al., 2014). Nyeri yang dialami pasien bervariasi dan bersifat akut dengan tingkat sedang sampai
berat (Gelinas et al., 2014). Sebuah penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa dari hampir
lima juta pasien yang dirawat di ICU setiap tahun, 71% di antaranya mengalami
rasa sakit selama perawatan (Stites M, 2008).

Nyeri yang dialami pasien di ICU disebabkan oleh beberapa hal, seperti patofisiologi penyakit
dan efek samping terapi serta prosedur yang dilakukan pada pasien (Cade, 2008). Prosedur ini
meliputi prosedur medis dan keperawatan. Pembedahan, pemasangan endotrakeal dan
penggunaan drain adalah beberapa tindakan medis yang menyebabkan nyeri pada pasien.
Sementara itu, beberapa prosedur keperawatan seperti posisi, pengisapan lendir dari trakea
pada pasien dengan ventilasi mekanis, pembalut luka, dan pemasangan atau pelepasan kateter
juga menyebabkan nyeri (Alderson et al., 2013; Dunn & Murphy, 2009; Puntillo dkk., 2004; Sutari
dkk., 2014).

Prosedur keperawatan dan tindakan medik yang dilakukan secara tidak tepat dapat menimbulkan
rasa sakit bagi pasien yang menjalani perawatan di ICU. Rasa sakit ini bisa diminimalkan
melalui manajemen nyeri sehingga toleransi terhadap penggunaan ventilator dan lama rawat di
ICU dapat ditingkatkan (Alderson & McKechnie, 2013). Langkah pertama dari manajemen nyeri
pada pasien sakit kritis adalah menilai nyeri secara akurat. Dalam sebuah penelitian yang
melibatkan 1.144 pasien di ICU, penilaian nyeri diberikan kepada 513 pasien, dan tidak ada
penilaian yang dilakukan pada 631 pasien lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien
dengan penilaian nyeri menunjukkan penurunan penggunaan ventilator (8 hari vs. .
11 hari, p <0,01) dan lama tinggal di ICU (13 hari vs. 18 hari, p <0,01)
(Chanques et al., 2009; Kollef et al., 1998).

Penilaian nyeri pada pasien sakit kritis digunakan sebagai pedoman dalam pengambilan
keputusan klinis terkait manajemen nyeri (Cade, 2008). Mengingat manajemen nyeri pada pasien
sakit kritis di ICU, maka perawat berperan sebagai caregiver yaitu melakukan pengkajian nyeri
yang efektif sebagai bagian integral dari proses keperawatan (Poter & Perry, 2006). Selain itu,
perawat juga berperan sebagai advokat untuk penilaian yang akurat dengan berkolaborasi
dengan dokter mengenai obat analgesik yang diberikan kepada pasien sesuai dengan
kebutuhannya. Pendekatan komprehensif diperlukan untuk menilai nyeri pada pasien sakit kritis
di ICU yang tidak mampu berkomunikasi secara verbal seperti yang terlihat pada indikator
perilaku mereka (Blenkharn A., 2002; Herr et al., 2006). Pengamatan di ICU menunjukkan
ekspresi seperti meringis
wajah, kekakuan, mata tertutup dan tangan terkepal adalah indikator perilaku nyeri seperti yang
ditunjukkan oleh pasien untuk penilaian nyeri (Gelinas et al., 2014).

Beberapa instrumen penilaian nyeri yang didasarkan pada indikator perilaku untuk pasien
dewasa yang sakit kritis telah dikembangkan, seperti Algoritma Penilaian Nyeri, Penilaian Nyeri
dan Notasi Intervensi (PAIN), Skala Nyeri Dewasa Nonverbal (NVPS), Skala Nyeri Perilaku
(BPS). ) dan Alat Pengamatan Nyeri Perawatan Kritis (CPOT) (Payen et al., 2001; Young et al.,
2006). Beberapa penelitian terkait dengan rasa sakit

Hak Cipta © 2017, NMJN, p-ISSN 2087-7811, e-ISSN 2406-87


Machine Translated by Google

Jurnal Media Perawat Keperawatan, 6 (1), 2016, 37

Alat ukur menunjukkan bahwa CPOT memiliki skor validitas dan reliabilitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan Pain Assessment Algorithm, PAIN, NVPS, dan BPS (Tahka et al., 2009).
Hal ini juga didukung oleh American Society for Pain Management Nursing (ASPMN) yang
merekomendasikan penggunaan CPOT sebagai instrumen yang valid dan dapat diandalkan
untuk menilai nyeri pada orang dewasa yang sakit kritis yang tidak dapat melaporkan nyeri
mereka secara verbal (Americas Association of Critical-Care Perawat, 2013).

Beberapa rumah sakit di Semarang, Indonesia, telah menggunakan instrumen berbasis perilaku
untuk menilai nyeri pada pasien dewasa yang sakit kritis yang tidak dapat berkomunikasi secara
verbal. Skala kenyamanan merupakan salah satu contoh instrumen yang telah digunakan oleh
dua rumah sakit di Semarang. Secara khusus, instrumen ini dikembangkan oleh Ambuel et al.
pada tahun 1992 dan digunakan untuk menilai nyeri pada pasien kritis anak di bawah usia 18
tahun. Instrumen ini telah diuji validitas dan reliabilitasnya untuk digunakan pada pasien dewasa.
Hasil penelitian menunjukkan nilai 0,49-0,74 untuk validitasnya, dan Cronbach alpha sebesar
0,60-0,66 untuk reliabilitasnya (Ashkenazy & DeKeyser-Ganz, 2011). Skala Kenyamanan belum
pernah diuji sensitivitas dan spesifisitasnya pada pasien dewasa yang sakit kritis dengan
ventilator. Menurut American Association of Critical-Care Nurses (AACN), dilaporkan bahwa 2
dari 8 item dalam Comfort Scale (tekanan darah dan denyut nadi) tidak dapat digunakan sebagai
indikator nyeri dengan tingkat bukti C (Americans Association Perawat Perawatan Kritis, 2013;
Chanques, et al., 2009).

Salah satu rumah sakit di Semarang telah menggunakan Comfort Scale sebagai ukuran penilaian
nyeri pada pasien dewasa kritis di ICU yang tidak mampu melaporkan nyerinya secara verbal.
Berdasarkan data Januari 2016, dilaporkan jumlah pasien dengan ventilator dalam tiga bulan
terakhir adalah 93. Beberapa masalah dilaporkan
mengenai penggunaan instrumen, seperti lamanya waktu pemberian karena dua item dalam
instrumen (tekanan darah dan nadi) tidak sesuai dengan kondisi klinis pasien. Selain itu,
instrumen tersebut belum pernah diuji sensitivitas dan spesifisitasnya untuk pasien dewasa yang
sakit kritis dengan ventilator. Untuk semua alasan tersebut, sangat perlu untuk memeriksa
sensitivitas dan spesifisitas Skala Kenyamanan untuk menilai rasa sakit pada pasien dewasa
yang sakit kritis dengan ventilator di ICU.

TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas Comfort Scale sebagai
penilaian nyeri pada pasien dewasa sakit kritis dengan ventilator di ICU.

METODE
Penelitian ini menggunakan desain kuantitatif non-eksperimental dengan pendekatan cross
sectional. Pengambilan sampel non-probabilitas dengan pengambilan sampel berurutan
teknik telah digunakan. Sampel adalah pasien dewasa sakit kritis yang dirawat di ICU dua rumah
sakit di Semarang. Kriteria inklusi adalah pasien berusia ÿ 18 tahun, mendapat ventilator mekanik
>24 jam sampai <72 jam, dan mengalami penurunan kesadaran GCS 7-10. Sedangkan kriteria
eksklusi adalah pasien dengan kelumpuhan seluruh anggota gerak dan trauma kepala. Dalam
penelitian ini, 66 pasien yang memenuhi kriteria direkrut. Pengumpulan data dilakukan selama
tiga bulan oleh dua orang pengamat (satu orang peneliti, satu orang enumerator) yang telah
melakukan uji coba antar pengamat.

Hak Cipta © 2017, NMJN, p-ISSN 2087-7811, e-ISSN 2406-87


Machine Translated by Google

Jurnal Perawat Media Keperawatan, 6 (1), 2016, 38

reliabilitas dengan nilai Kappa sebesar 0,87. Validitas muka instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini sudah diuji. Sebelum dilakukan uji validitas wajah instrumen skala kenyamanan,
instrumen skala kenyamanan versi bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Penerjemahan dilakukan dengan mengacu pada standar WHO, dimana prosesnya melibatkan
empat ahli: dua ahli keperawatan kritis, satu konsultan Intensive Care (IC) dan satu ahli bahasa
Inggris. Instrumen tersebut diterjemahkan kembali oleh ahli bahasa Inggris dan ternyata tidak jauh
berbeda dengan instrumen aslinya. Oleh karena itu, instrumen tersebut valid untuk mengumpulkan
data.

Pengambilan data dilakukan secara simultan oleh pengamat sebelum dan sesudah prosedur
pemosisian selama 30 menit dengan menggunakan ukuran Comfort Scale dan CPOT.
Penilaian pertama diberikan dengan mengukur baseline nyeri pada pasien
berdasarkan indikator pada masing-masing instrumen. Penilaian kedua dilakukan setelah prosedur
positioning dengan menggunakan skala Comfort Scale dan CPOT. Penilaian dilakukan dengan
mengamati perubahan yang ada pada setiap item instrumen. Receiver Operating Curve (ROC)
digunakan untuk menganalisis data.

HASIL Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pasien berusia 41-60 tahun (39,4%), laki-laki
(65,2%), mendapat diagnosis medis gangguan pernapasan (45,5%) dan tidak menerima prosedur
sedasi (84,8%). ). Karakteristik dan data demografi responden dijelaskan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik responden (n=66)

Karakteristik n %
Usia
18-40 tahun 15 22,7
41-60 tahun >60 26 39.4
tahun 25 37.9
Seks
Pria 43 65.2
Perempuan 23 34.8
Diagnosa medis
Gangguan pernafasan 30 45.5
Kelainan saraf 5 7.6
Gastrointestinal, gangguan hematologis 2 3.0
Gangguan kardiovaskular 18 27.3
Gangguan ginjal 9 13.6
Yang lain 2 3.0
Sedasi
Non sedasi 56 84.8
Sedasi 10 15.2

Hak Cipta © 2017, NMJN,p-ISSN 2087-7811, e-ISSN 2406-87


Machine Translated by Google

Jurnal Media Perawat Keperawatan, 6 (1), 2016, 39

Kurva ROC

1.0

0.8

Kepekaan

0.6

0.4

0.2

0,0
0,0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

1 - Kekhususan

Segmen diagonal dihasilkan oleh ikatan.


Gambar 1. Sensitivitas dan spesifisitas instrumen sebelum prosedur pemosisian (n = 66)

Gambar 1 adalah kurva ROC yang menggambarkan sensitivitas dan spesifisitas instrumen.
Titik potong kedua garis tersebut menghasilkan nilai sensitivitas 69% dan nilai spesifisitas 81%.
Kurva ROC

1.0

0.8

0.6
Kepekaan

0.4

0.2

0,0
0,0 0.2 0,4 0,6 1 - 0.8 1.0

Spesifisitas

Gambar 2. Sensitivitas dan spesifisitas instrumen setelah prosedur pemosisian (n= 66)
Segmen diagonal dihasilkan oleh ikatan.

Gambar 2 juga merupakan kurva ROC yang menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas
instrumen. Titik potong kedua garis tersebut menghasilkan nilai sensitivitas sebesar 45% dan
Kurva ROC
nilai spesifisitas sebesar 67%.
1.2

1.0

0.8

0.8

Kepekaan
0.6
0.6 Kepekaan

0.4 0.4

0.2
0.2

0
0,0
0,0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
1 - Kekhususan

Segmen diagonal diproduksi oleh ikatan.


Gambar 3. Sensitivitas dan spesifisitas instrumen sebelum prosedur pemosisian pasien non-
sedasi (n=56)

Hak Cipta © 2017, NMJN, p-ISSN 2087-7811, e-ISSN 2406-87


Machine Translated by Google

Jurnal Perawat Media Keperawatan, 6 (1), 2016, 40

Gambar 3 juga merupakan kurva ROC yang menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas
instrumen. Titik potong kedua garis tersebut menghasilkan nilai sensitivitas 66% dan nilai
Kurva ROC
spesifisitas 82%.

1,2
1.0

1
0.8

0,8

0.6 0,6 Kepekaan


Kepekaan

0,4 spesifisitas
0.4

0,2
0.2
0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21
0,0
0,0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

1 - Kekhususan

Gambar 4. Sensitivitas dan spesifisitas instrumen setelah prosedur pemosisian pasien non-
Segmen diagonal dihasilkan oleh ikatan.

sedasi (n = 56)

Gambar 4 adalah kurva ROC lain yang menggambarkan sensitivitas dan spesifisitas instrumen.
Titik potong kedua garis tersebut menghasilkan nilai sensitivitas sebesar 44% dan nilai
spesifisitas sebesar 67%.

Tabel 2. Perbedaan rerata nilai sensitivitas sebelum dan sesudah prosedur penentuan posisi
tanpa domain MAP dan denyut jantung (n= 66).

Nilai sensitivitas Prosedur penentuan posisi


Sebelum Setelah
Sensitivitas A 76% 58%
Sensitivitas B 69% 45%
Nilai sensitivitas 7% 13%

Tabel 2 menunjukkan nilai sensitivitas A (tanpa domain MAP dan detak jantung) dan nilai
sensitivitas B (dengan domain MAP dan detak jantung). Perbedaan rata-rata sensitivitas ketika
domain MAP dan denyut jantung dikeluarkan meningkat sebesar 7% sebelum prosedur
pemosisian, sedangkan setelah prosedur pemosisian, sensitivitas juga meningkat sebesar 13%.

DISKUSI
Sensitivitas dan spesifisitas Comfort Scale pada penelitian ini setelah prosedur positioning
menunjukkan nilai berturut-turut 45% dan 67%. Ini lebih rendah dari sebelum prosedur, di mana
nilai 69% untuk sensitivitas dan 81% untuk spesifisitas. Menurunnya nilai sensitivitas suatu alat
menggambarkan bahwa kemampuan alat untuk mendeteksi ada tidaknya nyeri lemah. Nilai
sensitivitas yang tinggi diperlukan untuk mengidentifikasi tingkat nyeri pada pasien. Nilai
spesifisitas instrumen juga menurun setelah prosedur penentuan posisi, namun masih dalam
kisaran yang dapat ditoleransi. Nilai spesifisitas suatu alat nyeri menunjukkan bahwa alat
tersebut

Hak Cipta © 2017, NMJN, p-ISSN 2087-7811, e-ISSN 2406-87


Machine Translated by Google

Jurnal Perawat Media Keperawatan, 6 (1), 2016, 41

benar dapat mengidentifikasi tidak adanya rasa sakit pada pasien. Instrumen nyeri dengan
Nilai sensitivitas yang tinggi memiliki kemampuan yang baik untuk mendeteksi nyeri sedangkan
instrumen dengan spesifisitas tinggi diinterpretasikan menunjukkan bahwa instrumen dapat
mengidentifikasi dengan benar tidak adanya nyeri pada pasien. Instrumen pengkajian nyeri harus
memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas yang baik yang dapat digunakan untuk menilai nyeri
sebelum atau sesudah dilakukan tindakan apapun yang menyebabkan nyeri. Nilai sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi memberikan implikasi untuk manajemen nyeri yang tepat, serta untuk
pemberian dosis analgesik. Instrumen nyeri yang memiliki nilai sensitivitas tinggi menunjukkan
kemampuan yang baik dalam mendeteksi nyeri, sedangkan instrumen dengan nilai spesifisitas
tinggi memiliki kemampuan yang baik dalam mendeteksi tidak adanya nyeri.

Nilai sensitivitas dan spesifisitas Skala Kenyamanan menurun setelah


prosedur penentuan posisi. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti domain gerakan
fisik, MAP, dan detak jantung. Pertama, gerakan fisik merupakan salah satu
indikator peringkat instrumen. Domain tersebut lebih tepat untuk menilai nyeri pada anak-anak
dibandingkan pasien dewasa (Holsti et al., 2010). Hasil uji sensitivitas dan spesifisitas pada bayi
menunjukkan skor tinggi dengan nilai AUC 0,95, sensitivitas
nilai 100% dan nilai spesifisitas 77% dengan cut-off point 20 (Wielenga et al., 2004). Hal ini sejalan
dengan studi oleh Holsti et al. (2010) yang menyatakan bahwa gerakan fisik merupakan indikator
yang berhubungan dengan skala nyeri pada anak. Studi ini menunjukkan bahwa gerakan fisik pada
anak menjadi lebih spesifik untuk menilai nyeri jika anak diberikan prosedur yang merangsang
nyeri. Prosedur mempengaruhi perubahan pada kaki, lutut, dan pinggul mengenai fleksi dan
ekstensi yang mempengaruhi penilaian nyeri. Perubahan gerakan fisik menunjukkan adanya distres
pada bayi atau anak-anak.

Penelitian ini menunjukkan temuan yang berbeda mengenai gerakan fisik. Respon nyeri pada
domain gerakan fisik berbeda dengan pasien anak ketika diukur sebelum atau sesudah prosedur
pemosisian. Item gerakan fisik pada Skala Kenyamanan sulit digunakan sebagai respons terhadap
nyeri pada pasien dewasa. Biasanya pada pasien dewasa, gerakan fisik cenderung melokalisasi
nyeri dengan gerakan seperti menarik selang dan mencoba duduk jika diberikan stimulus yang
merangsang nyeri. Padahal, domain gerakan fisik dalam Comfort Scale hanya menggambarkan
ada tidaknya gerakan spontan, gerakan ekstremitas, dan gerakan kuat di kepala dan panggul. Hal
ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gelinas et al. (2009) yang menyatakan
bahwa pergerakan tubuh pada pasien dewasa ditunjukkan dengan menyentuh lokasi nyeri,
mencoba menarik endotrakeal.

tabung dan agitasi. Dengan demikian, domain gerak fisik pada instrumen tidak tepat digunakan
untuk menilai respon nyeri pada pasien dewasa.

Domain Mean Arterial Pressure (MAP) dan detak jantung juga dapat berperan dalam
mengurangi nilai sensitivitas dan spesifisitas Skala Kenyamanan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tidak ada perubahan nilai pada domain instrumen skala kenyamanan yaitu MAP dan detak
jantung. Para peneliti telah menghitung perbedaan rata-rata nilai sensitivitas tanpa menyertakan
domain MAP dan detak jantung. Hasilnya menunjukkan peningkatan nilai sebelum dan sesudah
mengecualikan domain MAP dan detak jantung dari perhitungan. Perbedaan rata-rata sensitivitas

Hak Cipta © 2017, NMJN,p-ISSN 2087-7811, e-ISSN 2406-87


Machine Translated by Google

Jurnal Perawat Media Keperawatan, 6 (1), 2016, 42

meningkat sebesar 7% sebelum prosedur pemosisian, dan 13% setelah prosedur pemosisian (lihat
gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan domain MAP dan detak jantung dapat menurunkan
nilai sensitivitas pada skala kenyamanan. Terbukti dengan dihilangkannya domain-domain tersebut maka
nilai sensitivitasnya semakin meningkat. Beberapa penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
lemah antara penilaian tanda vital (MAP dan denyut jantung) dengan penilaian perilaku terhadap nyeri.
Hal ini ditandai dengan tidak adanya perubahan nilai MAP dan detak jantung, termasuk status menurun,
meningkat dan bahkan stabil, ketika penilaian dilakukan sebelum, selama dan setelah prosedur
pemosisian. Oleh karena itu, kedua domain tidak dapat digunakan sebagai indikator nyeri yang akurat
(American Nurses Association of Critical-Care, 2013; Chanques et al., 2009; Gelinas et al., 2014). MAP
dan denyut jantung dalam penilaian nyeri tidak dapat digunakan sebagai

Indikator perubahan tanda vital dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ketakutan, kecemasan,
dan stres psikologis pada pasien (Gelinas et al., 2014). Selain itu, penelitian tentang validasi instrumen
penilaian nyeri pada pasien dewasa juga menyebutkan bahwa perubahan tanda vital dipengaruhi oleh
kondisi kesehatan, obat-obatan, perubahan hemostatik dan kecemasan (Gelinas et al., 2009; Herr et al.,
2006) .

Hasil penelitian lain yang meneliti nyeri pada pasien kritis dengan sedasi sebelum dan selama pemberian
prosedur nyeri menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara perubahan hemodinamik seperti tekanan
darah dan denyut jantung, dengan nyeri.
dengan r nilai <0,10 (Payen et al., 2001). Selanjutnya, dalam sebuah studi oleh Young et al.
(2006), terungkap bahwa perubahan hemodinamik tidak terkait dengan
respon terhadap nyeri dan bukan merupakan indikator yang dapat diandalkan untuk menilai nyeri.
Penelitian ini juga didukung oleh pedoman praktik klinis terkait manajemen nyeri, agitasi dan delirium
yang menyatakan bahwa tanda-tanda vital tidak direkomendasikan sebagai indikator dalam penilaian nyeri
pada pasien dewasa di ICU (Barr et al., 2013). ). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa MAP dan
denyut jantung tidak tepat digunakan sebagai indikator penilaian nyeri pada pasien dewasa.

Instrumen penilaian nyeri harus memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang baik
ketika digunakan untuk menilai rasa sakit sebelum dan sesudah prosedur yang menyebabkan rasa sakit
pada pasien. Nilai sensitivitas dan spesifisitas berimplikasi pada penatalaksanaan nyeri yang tepat, serta
dosis analgesiknya. Perawat merupakan bagian dari tim multidisiplin dalam penatalaksanaan nyeri, oleh
karena itu, pengetahuan dan keterampilan mengenai nyeri diperlukan perawat untuk mencapai
penatalaksanaan nyeri yang efektif. Peran perawat dalam manajemen nyeri antara lain memberikan
informasi kepada pasien dan keluarga, mengkaji nyeri, memberikan dan memantau efek samping
analgesik, dan mendokumentasikan nyeri. Salah satu kunci utama manajemen nyeri yang efektif adalah
pengkajian nyeri. Peran perawat pada tahap ini adalah menilai nyeri pasien secara komprehensif yang
mampu melaporkan nyeri secara verbal dan non verbal. Pengetahuan yang harus dimiliki perawat meliputi
penggunaan instrumen pengkajian nyeri serta teori dan fisiologi nyeri. Sedangkan keterampilan yang
harus dimiliki perawat meliputi kemampuan menggunakan instrumen pengkajian nyeri yang handal dan
kemampuan menginterpretasikan nyeri pada pasien yang tidak mampu melaporkan secara verbal, serta
kemampuan melakukan pengkajian nyeri holistik (Lellan, 2006). ).

Hak Cipta © 2017, NMJN,p-ISSN 2087-7811, e-ISSN 2406-87


Machine Translated by Google

Jurnal Media Perawat Keperawatan, 6 (1), 2016, 43

Studi kualitatif yang mengkaji tantangan perawat dalam manajemen nyeri pada keperawatan kritis
juga menunjukkan bahwa perawat sebagai personel pengambil keputusan memiliki kewajiban dan
tanggung jawab etis dalam melakukan manajemen nyeri dengan menggunakan instrumen yang
tepat (Morton & Fontaine., 2013; Subramanian et al., 2012). Perawat juga berperan dalam
menentukan manajemen nyeri yang tepat dengan bekerja sama dengan dokter untuk memberikan
analgesik sesuai dengan dosis yang ditentukan. Studi lain menyatakan bahwa ada hubungan positif
antara pendidikan dan efektivitas manajemen nyeri yang dilakukan oleh perawat. Jika perawat
mendapatkan pelatihan manajemen nyeri, mereka akan mampu memberikan intervensi nyeri yang
efektif untuk pasien secara komprehensif (Manias, Botti, & Bucknall, 2002). Jika instrumen yang
digunakan untuk menilai nyeri tidak memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang baik, nyeri pasien
tidak akan tertangani dengan baik. Instrumen penilaian nyeri yang sensitif diperlukan untuk
mendeteksi adanya nyeri yang mempengaruhi penurunan durasi penggunaan ventilator dan lama
rawat di ICU (Payen et al., 2009).

Penelitian ini juga menilai nyeri pada pasien sedasi dengan jumlah 10 responden. Para peneliti
melakukan analisis terpisah dari 56 responden non-penenang dengan pertimbangan bahwa kelompok
ini dapat menyebabkan bias dalam hasil. Hasil analisis menunjukkan bahwa sensitivitas dan
spesifisitas 56 responden non sedatif tidak jauh berbeda dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas
sejumlah 66 responden. Sebuah analisis chi-kuadrat digunakan untuk 66 responden untuk menguji
hubungan antara sedasi dan rasa sakit dan memperoleh p-value >0,05. Oleh karena itu, disimpulkan
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara sedasi dan nyeri. Hal ini dapat disebabkan oleh
sedikitnya jumlah

responden (10 pasien).

Skala kenyamanan juga dapat digunakan pada pasien dengan sedasi dan non-sedasi dengan
mengecualikan MAP dan denyut jantung sebagai indikator penilaian nyeri pada pasien dewasa. Hal
ini karena temuan ini tidak menemukan perubahan hemodinamik pada pasien dengan sedasi. Nilai
reliabilitas skala kenyamanan pada pasien dewasa (ÿ = 0,6) (Ashkenazy & DeKeyser, 2011) lebih
rendah dibandingkan dengan penggunaannya pada anak-anak (ÿ = 0,9). Singkatnya, skala
kenyamanan dapat digunakan untuk mendeteksi nyeri pada pasien dewasa, namun beberapa
indikator pada instrumen perlu dihilangkan karena mempengaruhi nilai sensitivitas.

KESIMPULAN
Nilai sensitivitas dan spesifisitas skala kenyamanan menurun pada post
prosedur pemosisian tetapi tetap tinggi dalam prosedur pra-pemosisian. Pada prosedur pre
positioning nilai sensitivitas dan spesifisitasnya adalah 69% dan 81%
berturut-turut. Sedangkan pada prosedur post-positioning nilai sensitivitas dan spesifisitasnya adalah
45% dan 67%.

Berdasarkan temuan tersebut, penelitian ini merekomendasikan agar pembuat kebijakan di ICU
mempertimbangkan kembali penggunaan skala kenyamanan untuk menilai nyeri pada pasien
dewasa dengan ventilator. Perencanaan untuk mengikutsertakan perawat dalam pelatihan
manajemen nyeri juga harus dipertimbangkan untuk meningkatkan pengetahuan perawat dalam
penggunaan instrumen pengkajian nyeri yang tepat untuk pasien dewasa yang sakit kritis. Studi lebih lanjut yang melibat

Hak Cipta © 2017, NMJN, p-ISSN 2087-7811, e-ISSN 2406-87


Machine Translated by Google

Jurnal Media Perawat Keperawatan, 6 (1), 2016, 44

diperlukan lebih banyak sampel dengan melakukan studi multicenter di beberapa rumah sakit di Semarang.
Selain itu, modifikasi skala kenyamanan dengan instrumen penilaian nyeri lainnya juga diperlukan untuk
mengembangkan instrumen penilaian nyeri baru untuk pasien dewasa dengan nilai sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Alderson, SM, & Mckechnie, SR (2013). Nyeri yang tidak dikenali, tidak diobati, di ICU : penyebab, efek,
dan bagaimana melakukannya dengan lebih baik. Buka Jurnal Keperawatan, 3 (Maret 2013), 108–
113. doi:10.4236/ojn.2013.31014
Asosiasi Perawat Perawatan Kritis Amerika. (2013). Menilai nyeri pada orang dewasa yang sakit kritis
diharapkan praktik dan tindakan keperawatan. Asosiasi Kritis Amerika -
Perawat Perawatan, (Level C), 1-7.
Ashkenazy, S., & DeKeyser-Ganz, F. (2011). Penilaian reliabilitas dan validitas Skala Kenyamanan untuk
pasien perawatan intensif dewasa. Jantung & Paru: Jurnal Perawatan Kritis, 40(3), e44–51.
doi:10.1016/j.hrtlng.2009.12.011
Barr, J., Fraser, GL, Puntillo, K., Ely, EW, Gelinas, C., Dasta, JF, Jaeschke, R.
(2013). Pedoman praktik klinis untuk pengelolaan nyeri, agitasi, dan delirium pada pasien dewasa di
unit perawatan intensif: Ringkasan eksekutif. American Journal Health-System 70(1), 53–58.
dari Farmasi,
doi:10.1097/CCM.0b013e3182783b72
Cade, CH (2008). Alat klinis untuk penilaian nyeri pada orang dewasa sakit kritis yang dibius. Keperawatan
dalam Perawatan Kritis, 13(6), 288-297. doi: 10.1111/j.1478-
5153.2008.00294.x
Dunn, W., & Murphy, J. (2009). Haruskah obat perawatan intensif itu sendiri berada di kritis?
daftar? Dada, 135(4), 892–894. doi:10.1378/dada.09-0038
Gelinas, C., Arbour, C., Michaud, C., Vaillant, F., & Desjardins, S. (2011).
Implementasi alat observasi nyeri perawatan kritis pada penilaian/manajemen nyeri praktik
keperawatan di unit perawatan intensif dengan orang dewasa sakit kritis nonverbal: a sebelum dan
sesudah studi. Jurnal Internasional Studi Keperawatan, 48 (12), 1495-504. doi:10.1016/
j.ijnurstu.2011.03.012
Gelinas, C., Echegaray-Benites, C., & Kapoustina, O. (2014). Validasi penggunaan Critical-Care Pain
Observation Tool (CPOT) dengan pasien bedah otak di unit perawatan intensif bedah saraf. Perawatan
Intensif dan Perawatan Kritis, 30(5), 257–
265.doi:10.1016/j.iccn.2014.04.002
Gelinas, C., Fillion, L., & Puntillo, KA (2009). Pemilihan item dan validitas isi Alat Observasi Nyeri Perawatan
Kritis untuk orang dewasa non-verbal. Jurnal Keperawatan Lanjutan, 65(1), 203–216. doi: 10.1111/
j.1365-2648.2008.04847.x
Gelinas, Celine, Chanques, Gerald, Puntillo, K. (2014). Dalam mengejar rasa sakit: kemajuan terkini dan
arah masa depan dalam penilaian nyeri di ICU. Medis Perawatan Intensif, 40(7):1009-14. doi:10.1007/
s00134-014-3299-3
Herr, K., Coyne, PJ, Key, T., Manworren, R., McCaffery, M., Merkel, S., … Wild, L.
(2006). Penilaian nyeri pada pasien nonverbal: pernyataan posisi dengan rekomendasi praktik klinis.
Keperawatan Manajemen Nyeri, 7(2), 44–52. doi:10.1016/j.pmn.2006.02.003

Kollef, MH, Levy, NT, Ahrens, TS, Schaiff, R., Prentice, D., & Sherman, G.
(1998). Penggunaan sedasi IV terus menerus dikaitkan dengan perpanjangan ventilasi mekanis. Peti,
114(2), 541–548. doi:10.1378/chest.114.2.541

Hak Cipta © 2017, NMJN, p-ISSN 2087-7811, e-ISSN 2406-87


Machine Translated by Google

Jurnal Media Perawat Keperawatan, 6 (1), 2016, 45

Lellan, K. (2006). Manajemen nyeri pendekatan praktis untuk perawatan kesehatan


profesional. London: Nelson Thornes Ltd.
Lisa Holsti , P. , Ruth E. Grunau , P. , Tim F. Oberlander , M. , F. , & M. , & Whitfield , M. (2010).
Akses Publik NIH, 24(4), 303–309. doi:10.1038/ncb1977.Intraflagellar
Manias, E., Botti, M., & Bucknall, T. (2002). Pengamatan penilaian dan manajemen nyeri)
kompleksitas praktik klinis. J Clin Nurs, 11(6):724-33.724–
733.
Payen, J., Bru, O., Bosson, J., & Lagrasta, A. (2001). Menilai nyeri pada pasien sakit kritis yang
dibius dengan menggunakan skala nyeri perilaku. Crit Care Med, 29(12):2258-63.
Payen, JF, Bosson, JL, Chanques, G., Mantz, J., & Labarere, J. (2009). Penilaian nyeri dikaitkan
dengan penurunan durasi ventilasi mekanis di unit perawatan intensif. Anestesiologi, 111(6),
1308–1316.
Polit, D. & BC (2004). Penelitian keperawatan: Prinsip dan metode. Philadelphia: Lippincott,
Williams & Wilkins.
Stites M. (2008). Alat klinis untuk penilaian nyeri pada orang dewasa sakit kritis yang dibius.
Keperawatan di Perawatan Kritis, 13(6).
Subramanian, P., Allcock, N., James, V., & Lathlean, J. (2012). Tantangan yang dihadapi oleh
perawat dalam mengelola rasa sakit dalam pengaturan perawatan kritis. Jurnal Keperawatan
Klinis, 21 (9-10), 1254-1262. doi:10.1111/j.1365-2702.2011.03789.x
Wielenga JM, Rien de Vos, Richard de Leeuw.(2004). Skala Kenyamanan : Metode yang andal
dan valid untuk mengukur jumlah stres bayi prematur berventilasi.
Jaringan Neonatal, 23(2):39-44. doi: 10.1891/0730-0832.23.2.39
Muda, J., Siffleet, J., Nicoletti, S., & Shaw, T. (2006). Penggunaan Skala Nyeri Perilaku untuk
menilai nyeri pada pasien yang berventilasi, tidak sadar dan/atau dibius. Perawatan Intensif
dan Perawatan Kritis, 22(1), 32-39. doi:10.1016/j.iccn.2005.04.004

Hak Cipta © 2017, NMJN, p-ISSN 2087-7811, e-ISSN 2406-87

Anda mungkin juga menyukai