Anda di halaman 1dari 11

ANALISA JURNAL DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT

RSUP Dr. KARIADI, SEMARANG


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Keperawatan Gawat
Darurat dan Kritis

Dosen Pembimbing : Ns. Nana Rochana, S.Kep., MN.


Ns. Dody Setyawan, S.Kep., M.Kep.
Suhartini. S.Kp.,MNS.,Ph.D

Disusun Oleh : KELOMPOK 4

Budi Utomo 22020117210041


Fachrudin AR 22020117210046
Eliana Sari 22020117210035
Rutlita Yessi Malau 22020117210034
Wiwik Sumbogo 22020117210040

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS XXX


DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
A. Analisis Situasi
Rumah sakit adalah sarana kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan secara merata dengan mengutamakan upaya
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, yang dilaksanakan secara
serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan
penyakit dalam suatu tatanan rujukan, serta dapat dimanfaatkan untuk
pendidikan tenaga dan penelitian. (Depkes RI. 2009). Setiap rumah sakit
memiliki sebuah unit untuk penerimaan awal pasien yang didalamnya akan
memproses penerimaan dan pelayanan medis dan keperawatan sesuai dengan
tingkat kebutuhan maupun keparahan masalah yang dihadapi oleh pasien.
Unit awal penerimaan pasien ini biasa disebut dengan IGD.
IGD merupakan suatu unit integral dalam satu rumah sakit dimana
semua pengalaman pasien yang pernah datang ke IGD tersebut akan dapat
menjadi pengaruh yang besar bagi masyarakat tentang bagaimana gambaran
Rumah Sakit itu sebenarnya, sehingga Instalasi Gawat Darurat mempunyai
tugas primer untuk menyelenggarakan pelayanan asuhan medis dan asuhan
keperawatan sementara / pelayanan pembedahan darurat bagi setiap pasien
yang datang. IGD memiliki peran sebagai gerbang utama masuknya penderita
gawat darurat (Ali, 2014).
Peran lain dari IGD yaitu menyediakan sarana penerimaan untuk
penatalaksanaan pasien dalam keadaan bencana, hal ini merupakan bagian
dari perannya di dalam membantu keadaan bencana yang terjadi di tiap
daerah. Salah satu indikator mutu pelayanan adalah waktu tanggap (respons
time) (Depkes RI. 2006). Pasien yang datang untuk berobat di IGD
jumlahnya lebih banyak dan silih berganti setiap hari. Perawat di IGD
merupakan anggota tim kesehatan digaris terdepan yang menghadapi masalah
kesehatan klien selama 24 jam secara terus. Pemberian pelayanan yang tepat
dan cepat merupakan standar pelayanan yang dapat digunakan sebagai acuan
pelayanan gawat darurat oleh tenaga medis dan pihak rumah sakit.
Kunjungan kegawat daruratan di IGD RSUP dr. Soetomo pada tahun
2010 tercatat lebih dari 80.0000 kunjungan, sedangkan untuk kunjungan di
IGD RSU Sanglah Denpasar pada tahun 2010 tercatat lebih dari 10.000
kasus. Di RSUP Dr. Kariadi semarang kunjungan masalah kegawatdaruratan
juga mengalami peningkatan baik yang trauma maupun non trauma, untuk
kasus medis variatif dari masalah penyakit dalam, bedah, syaraf daan lain-
lain.
Tindakan keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan di IGD RSUP
Dr Karyadi secara garis besar adalah penanganan pernafasan/oksigenasi,
manajemen cairan dan manajemen nyeri. Nyeri adalah penyebab paling
umum untuk kunjungan ke UGD (Tanabe & Buschmann, 2000). Individu
hadir ke UGD untuk nyeri akut atau eksaserbasi nyeri kronis. Nyeri akut
mengacu pada ‘‘respons fisiologis yang normal dan diharapkan terhadap
stimulus yang menyakitkan, stimulus kimiawi, termal atau mekanik yang
merugikan. terkait dengan operasi, trauma, dan penyakit akut ’dan waktu
terbatas, berakhir ketika jaringan telah sembuh.
Prevalensi nyeri sedang sampai berat pada individu yang datang ke
UGD diperkirakan setidaknya 20% (McLean, Maio, & Domeier, 2002).
Meskipun prevalensi tinggi keluhan terkait dengan rasa sakit yang signifikan
di UGD tetap menjadi tantangan dengan kondisi pasien masih mengalami
rasa sakit yang substansial saat keluar (Tanabe & Buschmann, 1999; Todd et
al., 2007). Dengan demikian, untuk meningkatkan kualitas perawatan di
ruang Gawat Darurat dan pengaturan perawatan kesehatan lainnya, rasa sakit,
baik akut dan kronis, harus dipahami lebih baik.
Dari uraian diatas kelompok kami mengangkat tema nyeri untuk jurnal
reading, dimana untuk mengetahui peran perawat dalam pelaksanaan
keperawatan di IGD untuk keselamatan pasien dengan kasus
kegawatandaruratan.

B. Evidence Knowledge
Nyeri digambarkan sebagai suatu sensori subyektif dan pengalaman
emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan
aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian – kejadian di mana
terjadi kerusakan (Potter & perry, 2005). Nyeri adalah fenomena
multidimensi dimana pengalaman nyeri pada individu ditentukan oleh
interaksi faktor fisik, psikologis, budaya, dan sosiodemografi. Nyeri dibgi
menjadi 2 jenis, yaitu nyeri akut dan kronis. Nyeri akut adalah sensori yang
tidak menyenangkan dan pengalaman emosionalyang muncul secara aktual
atau potensial, kerusakan jaringan atau menggambarkan adanya kerusakan
dan berlangsung kurang dari 6 bulan (NANDA, 2016-2017). Sedangkan nyeri
kronis didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan dan muncul akibat kerusakan jaringan aktual/potensial atau
digmbarkan dalam hal kerusakan yang sedemikian rupa; gejala yang tiba tiba
atau lambat dengan intensitas dari ringan-berat, terjadi secara konstan atau
berulang yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung lebih dari 6
bulan (NANDA, 2016-2017).
Nyeri yang dialami seseorang sangat bervariasi dalam intensitas rasa
sakitnya. Karena sifat subyektif rasa sakit, sangat sulit untuk mengukur nyeri
pasien. Secara umum ada 3 tipe pengukuran nyeri yaitu : self-report measure,
observational measure, dan pengukuran fisiologis. Self-report measure
merupakan pengukuran skala nyeri dimana seorang peenderita diminta untuk
menilai sendiri rasa nyeri yang dirasakan apakan nyeri yang berat (sangat
nyeri), kurang nyeri dan nyeri sedang. Penilaian terhadap intensitas nyeri,
kondisi psikis dan emosional atau keadaan affektif nyeri juga dapat dicatat.
Self-report dianggap sebagai standar gold untuk pengukuran nyeri karena
konsisten terhadap definisi/makna nyeri. Yang termasuk dalam self-report
measure adalah skala pengukuran nyeri (misalnya VRS, VAS, dll), pain
drawing, McGill Pain Quesioner, Diary, dll).
Observational measure merupakan metode lain dari pengukuran nyeri.
Observational measure biasanya mengandalkan pada seorang terapis untuk
mencapai kesempurnaan pengukuran dari berbagai aspek pengalaman nyeri
dan biasanya berkaitan dengan tingkah laku penderita. Pengukuran ini relatif
mahal karena membutuhkan waktu observasi yang lama. Pengukuran ini
mungkin kurang sensitif terhadap komponen subyektif dan affektif dari nyeri.
Yang termasuk dalam observational measure adalah pengukuran tingkah laku,
fungsi, ROM, dan lain-lain.
Pengukuran fisiologis digunakan sebagai pengukuran tidak langsung pada
nyeri akut, tetapi respon biologis pada nyeri akut dapat distabilkan dalam
beberapa waktu karena tubuh dapat berusaha memulihkan homeostatisnya.
Sebagai contoh, pernapasan atau denyut nadi mungkin menunjukkan
beberapa perubahan yang kecil pada awal migrain jika terjadi serangan yang
tiba-tiba dan keras, tetapi beberapa waktu kemudian perubahan tersebut akan
kembali sebelum migrain tersebut menetap sekalipun migrainnya berlangsung
lama. Pengukuran fisiologis berguna dalam keadaan dimana pengukuran
secara observasi lebih sulit dilakukan. Yang termasuk dalam pengukuran
fisiologis adalah pemeriksaan denyut nadi, pernapasan, dll.
Jenis pengukuran nyeri, salah satunya adalah pengukuran komponen
snsorik. Pengukuran komponen sensorik terdiri dari 3 metode yaitu Verbal
Rating Scale (VRS), Visual Analogue Scale (VAS), dan Numerical Rating
Scale (NRS). VRS adalah alat ukur yang menggunakan kata sifat untuk
menggambarkan level intensitas nyeri yang berbeda, range dari “no pain”
sampai “nyeri hebat” (extreme pain). VRS merupakan alat pemeriksaan yang
efektif untuk memeriksa intensitas nyeri. VRS biasanya diskore dengan
memberikan angka pada setiap kata sifat sesuai dengan tingkat intensitas
nyerinya. Sebagai contoh, dengan menggunakan skala 5-point yaitu none
(tidak ada nyeri) dengan skore “0”, mild (kurang nyeri) dengan skore “1”,
moderate (nyeri yang sedang) dengan skore “2”, severe (nyeri keras) dengan
skor “3”, very severe (nyeri yang sangat keras) dengan skore “4”. Angka
tersebut berkaitan dengan kata sifat dalam VRS, kemudian digunakan untuk
memberikan skore untuk intensitas nyeri pasien. VRS ini mempunyai
keterbatasan didalam mengaplikasikannya. Beberapa keterbatasan VRS
adalah adanya ketidakmampuan pasien untuk menghubungkan kata sifat yang
cocok untuk level intensitas nyerinya, dan ketidakmampuan pasien yang buta
huruf untuk memahami kata sifat yang digunakan.
Numeral Rating Scale adalah suatu alat ukur yang meminta pasien untuk
menilai rasa nyerinya sesuai dengan level intensitas nyerinya pada skala
numeral dari 0 – 10 atau 0 – 100. Angka 0 berarti “no pain” dan 10 atau 100
berarti “severe pain” (nyeri hebat). Dengan skala NRS-101 dan skala NRS-11
point, dokter/terapis dapat memperoleh data basic yang berarti dan kemudian
digunakan skala tersebut pada setiap pengobatan berikutnya untuk memonitor
apakah terjadi kemajuan.
VAS (Visual Analogue Scale) adalah alat ukur lainnya yang digunakan
untuk memeriksa intensitas nyeri dan secara khusus meliputi 10-15 cm garis,
dengan setiap ujungnya ditandai dengan level intensitas nyeri (ujung kiri
diberi tanda “no pain” dan ujung kanan diberi tanda “bad pain” (nyeri hebat).
Pasien diminta untuk menandai disepanjang garis tersebut sesuai dengan level
intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Kemudian jaraknya diukur dari batas
kiri sampai pada tanda yang diberi oleh pasien (ukuran mm), dan itulah
skorenya yang menunjukkan level intensitas nyeri. Kemudian skore tersebut
dicatat untuk melihat kemajuan pengobatan/terapi selanjutnya.
Penggukuran nyeri menggunakan subjektivitas dan objektivitas akan
menghasilkan nilai yang berbeda. Seperti penelitian yang dilakukan oleh
Pierik., dkk (2017) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang significan
antara hasil penilaian nyeri secara subjektif pasien dengan penilain objektif
perawat dengan perbedaan rata-rata 2,4 dan interval kepercayaan 95% 2,2-2,6
pada skala penilaian numerik 11 poin. Hasil penilaian nyeri yang sama
ataupun sesuai antara subjektivitas dan objektivitas hanya 27%.
Nyeri sering kali dikaitkan dengan perubahan biologis ataupun psikologis.
Perubahan biologis yang dimaksud salah satunya adalah denyut nadi dan
pernafasan. Sedangkan respon psikologis dapat berupa kecemasan. Pain
catastrophizing Scale (PCS) merupakan alat ukur pelaporan nyeri yang
bersifat subjektif namun diukur mnggunakan angka. PCS terdiri dari 13
pernyataan dengan 4 jawaban pilihan dengan skor total terbanyak adalah 52.
Semakin tinggi skor PCS diartikan bahwa sifat nyeri yang dilaporkan
semakin buruk. Faktor psikologi menjadi salah satu yang dapat
mempengaruhi adanya pelaporan nyeri yang dialami pasien. Pasien dengan
kecemasan yang tinggi juga melaporkan adanya nyeri yang hebat, ataupun
sebaliknya. Lebih dari itu, PCS sering kali disebutkan sebagai pengukuran
kecemasan terhadap nyeri yang dialami.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Block, dkk (2017) menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kecemasan dan intensitas
nyeri nyeri akut dengan nilai r ¼, 27, p <.05. Begitu juga dengan nyeri kronis,
terdapat hubungan yang signitikan antara kecemasan dengan nyeri kronis
dengan nilai r ¼ .10, p <.05. Namun berbanding terbalik dengan respon
biologis tanda-tanda vital. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan yang signifikan antara intensitas nyeri dan tanda-tanda vital
dimana nilai r ¼ .03 hingga .18.
C. Critical Thinking
Nyeri yang dialami oleh pasien di Ruang UGD RSUP Dr. Kariadi
pengukurannya sering kali dilakukan menggunakan NRS (Numeric Rating
Scale) yang terdiri dari skala 0-10, dimana semakin tinggi angka maka nyeri
yang dirasakan juga semakin berat. Pada saat pasien datang dengan keluhan
nyeri, maka perawat akan langsung mengkaji nyeri yang dialami oleh pasien.
Pengkajian nyeri yang dilakukan serta didokumentasikan adalah
menggunakan PQRST. P (provokativ) berarti apa penyebabkan keluhan nyeri.
Q (quality) berarti kualitas nyeri yang dirasakan. R (region) berarti area
ataupun lokasi yang mengalami nyeri. S (Scale/Severe) berarti skala atau
reentang ukuran nyeri. T (Time) berarti waktu muncul nyeri, intensitas nyeri
serta yang memperberat nyeri. Pengkajian PQRST merupakan pengkajian
menggunakan data subjektiv pasien. Hal ini telah sesuai dengan Potter &
perry (2005), yang mengatakan bahwa self-report dianggap sebagai standar
gold untuk pengukuran nyeri karena konsisten terhadap definisi/makna nyeri.
Hasil observasi yang dilakukan, juga menunjukkan bahwa pelaporan
nyeri yang dialami oleh pasien sering kali menggunakan objektivitas dari
perawat. tanpa konfirmasi ataupun pengkajian pada pasien langsung. Perawat
sering melakukan dokumentasi PQRST sesuai dengan apa yang dilihat oleh
perawat tersebut. Hal ini pasti menimbulkan data yang tidak sama antara
keluhan pasien dengan dokumentasi keperawatan, sehingga dapat
menyebabkan penatalaksanaan yang berbeda juga. Perbedaan penilaian nyeri
ini dapat menyebabkan penatalaksaan yang berbeda hingga evaluasi yang
berbeda, dan menjadikan penanganan nyeri tidak maksimal.
Penelitian yang dilakukan oleh Pierik., dkk (2017) menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan yang significan antara hasil penilaian nyeri secara
subjektif pasien dengan penilain objektif perawat dengan perbedaan rata-rata
2,4 dan interval kepercayaan 95% 2,2-2,6 pada skala penilaian numerik 11
poin.
Penggunaan alat penilaian nyeri juga seharusnya dapat disesuaikan dengan
kondisi dari pasien. Pasien dengan lanjut usia akan mengalami kesulitan
merespon grafik VAS, sehingga dianjurkan menggunakan skala verbal (VRS).
Beberapa kondisi pasien lainnya juga mungkin sulit untuk menilai nyerinya
pada VAS sehingga koreksi dari perawat/medis dapat dilakukan untuk
meminimalkan penilaian yang error. Namun, apabila tetap menggunakan
penilaian VAS sebagai alat ukur maka penjelasan yang akurat terhadap pasien
dan perhatian yang serius terhadap skore VAS adalah hal yang utama
diberikan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa untuk memaksimalkan
penatalaksanaan nyeri pada pasien, penilaian nyeri yang tepat harusnya dapat
dilakukan dengan benar. Penilaian nyeri yang sesuai harusnya menggunakan
penilaian subjektif, sehingga pemantauan nyeri secara berkala dpat dilakukan
sesuai dengan pelaporan pasien. Penilaian nyeri secara subjektif dapat
dilakukan menggunakan Verbal Rating Scale (VRS), Visual Analogue Scale
(VAS), dan Numerical Rating Scale (NRS).
Daftar Pustaka

Ali, U. 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Mutu Pelayanan


Keperawatan Di Ruang IGD RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar.
Diakses 25 April 2018 http://library.stikesnh.ac.id/files/disk1/1 0/elibrary
%20stikes%20nani%20hasanuddi n--umaralihab-462-1-42142282-1.pdf.
Block, R Phobe., Thorn, Beverly., Kapoor, Shweta., & Wite, Jessica. 2017. Pain
Catastrophizing, rather than Vital Signs, Associated with Pain Intensity in
patients Presenting to the Emergency Department for Pain. Pain
Management Nursing. Vol.18. No.02:102-109
Departemen Kesehatan RI. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Jakarta: Depkes RI.
Depkes. 2006. Pedoman Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan
dalam Penanggulangan Bencana. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Ed. Herman T.H and Komitsuru. S. 2014. Nanda Internasional Nursing
Diagnosis, Definition and Clasification 2015-2017. EGC. Jakarta.
Nanda International. 2015. Diagnosa Keperawatan : definisi dan klasifikasi 2015-
2017. (10th ed). Jakarta: EGC
Nocera, Nodia. 2002. Pain Management in The Emergency Departmen: A Review
of The Nursing Literature. Australian Emergency Nursing Journal. Vol.05.
No.01: 27-31
Persatuan Dokter Spesialis Bedah Umum Indonesia dan Ikatan Ahli Bedah Indonesia.
2013. Pedoman nasional pelayanan kedokteran penanganan trauma. Kementrian
Kesehatan RI. Jakarta: Kemenkes RI. ISBN: 978-602-235-294-5.
Pierik. 2017. Painful Discrimination In The Emergency Department: Risk Factors
For Underassessment Of Patients’ Pain By Nurses. Journal Of Emergency
Nursing. Vol. 43. No.3: 228-238
Price , S.A & Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi: Konsep klinis proses – proses
penyakit. Jakarta: EGC
Suhartati, dkk. 2011. Standar Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat di Rumah
Sakit. Jakarta: Kementrian Kesehatan.
Smeltzer & Bare, B. G. 2009. Buku ajar: Keperawatan medikal bedah, Vol 2.
Jakaarta: EGC.
Tanabe, P., & Buschmann, M. 2000. Emergency Nurse’ Knowledge Of Pain
Management Prinsiples. Journal of Emergency Nursing. Vol.26. No.04:
299-305
Wier MW. 2013. Overview of children in the emergency department. Healthcare
cost and utilization project. HCUP. Rockville. Hal: 157.
Lampiran Alat Pengukuran nyeri

VAS (Visual Analog Scale)

NRS (Numeric Rating Scale)

VRS (Verbal Rating Scale)

Anda mungkin juga menyukai