Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latarbelakang

Nyeri alasan yang paling umum orang mencari perawatan


kesehatan, gejala yang paling sering terjadi tetapi paling sedikit dipahami
nyeri dapat merupakan factor utama yang menghambat kemampuan dan
keinginan individu untuk pulih dari suatu penyakit. Nyeri merupakan
pengalaman sensori atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan
jaringan aktual atau funsional, dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat dan konstan, yang yang berlangsung
lebih dari 3 bulan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang akibat dari adanya
benturan atau trauma tumpul dari objek tertentu (Wartatmo, 2013).
Pengetahuan masyarakat tentang pertolongan pertama sangatlah minim,
biasanya masyarakat membalut dengan kain yang seadanya dan tidak
steril, dan langsung memindahkan pasien ke pinggir jalan tanpa
mengetahui komplikasi pada patah tulang jika pertolongannya salah.
Penanganan terhadap fraktur dapat dengan pembedahan atau dengan
pembidaian, meliputi imobilisasi, reduksi dan rehabilitasi. Fraktur
memerlukan penanganan dengan segera dan tepat, karena penanganan
yang kurang tepat atau salah akan mengakibatkan komplikasi lebih lanjut,
seperti infeksi, kerusakan saraf dan pembuluh darah, hingga kerusakan
jaringan lunak yang lebih lanjut (Lukman dan Ningsih, 2013).
Adapun komplikasi terparah yang dapat terjadi adalah kematian
(World Health Organization WHO) dalam Widyastuti, 2015). Penyebab
terbanyak dari fraktur adalah kecelakaan, baik itu kecelakaan kerja,
kecelakaan lalu lintas dan sebaigainya. Tetapi fraktur juga bisa terjadi
akibat faktor lain seperti proses degeneratife dan patologi (Depkes RI,
2007). Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pada tahun 2011-2012
terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita
fraktur akibat kecelakaan lalu lintas. Tingkat kece;alaan transportasi jalan
di kawasan Asia Pasifik memberikan kontribusi sebesar 44% dari total
kecelakaan di dunia, yang didalamnya termasuk Indonesia. Menurut
Depkes RI 2011, dari sekian banyak kasus fraktur di Indonesia, fraktur
pada ekstermitas bawah akibat kecelakaan memiliki prevalensi yang
paling tinggi diantara fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2%. Dari 45.987
orang dengan kasus fraktur ekstermitas bawah akibat kecelakaan, 19.629
orang mengalami fraktur femur, 14.027 orang mengalami fraktur eruris,
3.775 orang mengalami fraktur tibia, 970 orang mengalami fraktur pada
tulang-tulang kecil di kaki dan 336 orang mengalami fraktur fibula.
Walaupun peran fibula dalam pergerakan ekstermitas bawah sangat
sedikit,tetapi terjadinya fraktur fibula tetap saja dapat menimbulkan
adanya gangguan aktifitas fungsional tungkai dan kaki. Terjadinya fraktur
tersebut termasuk didalamnya insiden kecelakaan, cedera olahraga,
bencana kebakaran, bencana alam dan lain sebagainya (Mardiono, 2010).
Berdasarkan riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan Penelitian
dan Pengembangan Depkes RI tahun 2013 didapatkan data kecenderungan
peningkatan proporsi cedera transportasi darat (sepeda motor dan darat
lain) dari 25,9% pada tahun 2007 menjadi 47,7%.
Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan puntir mendadak dan kontraksi otot yang ekstrim. Patah tulang
mempengaruhi jaringan sekitarnya mengakibatkan oedema jaringan lunak,
perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan
saraf dan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat
gaya yang disebabkan oleh fraktur atau gerakan fragmen tulang (Brunner
& Suddarth, 2007). Fakta penanangan fraktur dalam masyarakat yaitu
masih banyaknya penanganan yang dilakukan oleh masyarakat dengan
cara (tradisional) seperti dibawa ke ahli sanggal putung, selain itu jika
terjadi fraktur terbuka yang terdapat luka perdarahan tidak dibalut
menggunakan kain bersih melainkan kain kotor seadanya.
Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan cara mengenali
komplikasi dan penyebab dari pertolongan pertama dari patah tulang,
untuk meminimalisasikan terjadinya patah tulang (fraktur) tenaga
kesehatan khususnya perawat perlu mengadakan sosialisasi atau
penyuluhan kesehatan dengan cara pembagian liflet, pemasangan poster,
membuat pertemuan pada forum diskusi tentang Patah Tulang (fraktur)
kepada masyarakat, untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang
pertolongan pertama pada seseorang yang mengalami patah tulang
(fraktur). Fraktur juga memerlukan penanganan secara dini untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat. Pembidaian adalah berbagai
tindakan dan upaya untuk mengistirahatkan bagian yang patah.
Pembidaian adalah suatu pertolongan pertama pada cedera/trauma system
muskuluskeletal untuk mengistirahatkan (imobilisasi) bagian tubuh kita
yang mengalami cedera prostaglandin dan epineprin, yang membawa
pesan nyeri dari medula spinalis ditransmisikan ke otak dan dipersepsikan
sebagai nyeri. (Judha, dkk., 2012). Kontrol nyeri yang baik akan
mengurangi intensitas nyeri yang dirasakan. dengan menggunakan suatu
alat. Pembidaian ini bertujuan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa
nyeri, mencegah pergerakan patah tulang yang dapat mengakibatkan
kerusakan jaringan lunak sekitarnya (Smeltzer, 2007).
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan dengan penerapan terapi
kompres dingin dan nafas dalam terhadap penurunan nyeri akut
1.3 Tujuan Untuk ProsedurKeperawatan
Menggambarkan asuhan keperawatan dengan penerapan terapi kompres
dingin dan nafas dalam terhadap penurunan nyeri akut.
1.4 Manfaat Prosedur Keperawatan
1. Bagi Masyarakat
Dapat meningatkan Pengetahuan masyarakat dalam Menurunkan Nyeri
Akut melalui terapi kombinasi kompres dingin dan tehnik relaksasi
nafas dalam.
2. Bagi Pembimbing
Menambah keluasaan ilmu dan teknologi terapan bidang keperawatan
dalam menurunkan nyeri akut melalui kompres air dingin dan tehnik
relaksasi nafas dalam.
3. Bagi Penulis
Memperoleh pengalaman dalam mengimplementasikan prosedur
dengan terapi kompres air dingin dan nafas dalam terhadap penurunan
nyeri akut.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Askep Nyeri Akut

2.1.1 Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan salah satu dari komponen

proses keperawatan yang dilakukan oleh perawat dalam menggali

permasalahan dari pasien meliputi pengumpulan data tentang status

kesehatan pasien secara sistematis, menyeluruh, akurat, singkat,

dan berkesinambungan (Muttaqin, 2011).

Pendekatan yang digunakan dalam mengkaji nyeri adalah

dengan prinsip PQRST yaitu:

P: Provokasi adalah faktor yang memperparah atau meringankan

nyeri.

Q: Quantity adalah kualitas nyeri misalnya tumpul,tajam, merobek.

R : Region/radiasi adalah area atau tempat sumber nyeri.

S : Skala/Severity adalah skala nyeri yang dirasakan pasien dapat

dinilai dengan skala 0-5 atau skala 0-10.

Beberapa cara untuk mengukur skala nyeri yaitu:

Skala intensitas nyeri deskriptif

Gambar 2.1 Pengukuran skala VDS


Sumber: Andarmoyo, (2013)

Keterangan: Pada skala verbal: 0 tidak nyeri, 1-3

nyeri ringan, 4-6 nyeri sedang, 7-9 nyeri terkontrol, 10

nyeri hebat tidak terkontrol.


Skala intensitas nyeri numerik

Gambar 2.2 pengukuran skala numerik


Sumber: Andarmoyo, (2013)

Keterangan: 0 tidak nyeri, 1-3 nyeri ringan, 4-6 nyeri sedang, 7-9
nyeri berat, 10 nyeri hebat tidak tertahankan.

Skala intensitas visual analog scale (VAS)

Gambar 2.3 Pengukuran skala VAS

Sumber: Andarmoyo, (2013)

Gambar 2.4 Pengukuran skala VAS


Sumber: Ridwan, ( 2017).
Keterangan : Dengan rentangan makna lebih dari 0-10 mm tidak

nyeri, lebih dari 10-30 mm nyeri ringan, lebih dari 30-70 mm nyeri

sedang, lebih dari 70-90 mm nyeri berat dan lebih dari 90-100 mm nyeri

sangat berat.
Skala nyeri menurut Bourbanis

Gambar 2.5 Pengukuran Skala Bourbanis


Sumber : ( Prasetyo, 2010)
Keterangan:

0: Tidak nyeri.

1-3: Nyeri ringan secara obyektif klien dapat

berkomunikasi dengan baik.

4-6: Nyeri sedang Secara obyektif klien mendesis,

menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat

mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah

dengan baik.

7-9: Nyeri berat secara obyektif klien terkadang tidak

dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap

tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak

dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi

dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi.

10: Nyeri sangat berat: Pasien sudah tidak mampu lagi

berkomunikasi, memukul.
Wong Baker Faces Pain Rating Scale

Gambar 2.6 Pengukuran Skala Wong Baker Faces Pain Rating Scale
Sumber : Prasetyo, (2010)
Keterangan:

0: Tidak nyeri.

1-3: Nyeri ringan secara obyektif klien dapat berkomunikasi

dengan baik.

4-6: Nyeri sedang Secara obyektif klien mendesis, menyeringai,

dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya,

dapat mengikuti perintah dengan baik.

7-9: Nyeri berat secara obyektif klien terkadang tidak dapat

mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan,

dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat

mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi

nafas panjang dan distraksi.

10: Nyeri sangat berat: Pasien sudah tidak mampu lagi

berkomunikasi, memukul.

T : Timing adalah waktu terjadinya nyeri, lamanya nyeri berlangsung,

dan dalam kondisi seperti apa nyeri itu muncul (Mubarak et al.,

2015).
2.1.2 Diagnosa Keperawatan

2.1.2.1 Definisi Diagnosa Keperawatan


Diagnosis Keperawatan adalah suatu penilaian
klinis mengenai respon klien terhadap masalah kesehatan
atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang
berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis
keperawatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi respon
klien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi
yang berkaitan dengan kesehatan.

Respon-respon tersebut merupakan reaksi terhadap


masalah kesehatan dan proses kehidupan yang dialami
klien. Sehingga, diharapkan perawat mampu menangkap
dan berfikir kritis dalam merespon perilaku tersebut.
Masalah kesehatan mengacu pada kepada respon klien
terhadap kondisi sehat-sakit, sedangkan proses kehidupan
mengacu kepada respon klien terhadap kondisi yang terjadi
selama rentang kehidupannya dimulai dari fase pembuahan
hingga menjelang ajal dan meninggal yang membutuhkan
diagnosis keperawatan dan dapat diatasi atau diubah
dengan intervensi keperawatan . (Referensi : Christensen &
Kenney, 2009; McFarland & McFarlane, 1997; Seaback,
2006).

2.1.2.2 Klasifikasi Diagnosa Keperawatan


International Council of Nurses (ICN) sejak tahun 1991
telah mengembangkan suatu sistem klasifikasi yang disebut
dengan International Classification for Nursing Practice
(ICNP). Sistem klasifikasi ini tidak hanya mencakup klasifikasi
intervensi dan tujuan (outcome) keperawatan saja. Lebih dari
itu, sistem klasifikasi ini disusun untuk mengharmonisasikan
terminologi-terminologi keperawatan yang digunakan
diberbagai negara diantaranya seperti ;
1. Clinical Care Classification (CCC), 
2. North American Nursing Diagnosis
Association (NANDA), 
3. Home Health Care Classification (HHCC), 
4. Systematized Nomenclature of Medicine Clinical
Terms (SNOMED CT), 
5. International Classification of Functioning, Disability and
Health (ICF), 
6. Nursing Diagnosis System of the Centre for Nursing
Development and Research (ZEFP)  
7. Omaha System. 
(Referensi : Hardiker et al, 2011, Muller-Staub et al,
2007; Wake & Coenen, 1998)
ICNP membagi diagnosis keperawatan menjadi 5
kategori, yaitu a. Fisiologis, b. Psikologis, c. Perilaku, d.
Relasional dan e. Lingkungan (Wake & Coenen, 1998).

2.1.2.3 Jenis Diagnosa Keperawatan


Diagnosis keperawatan dibagi menjadi 2 jenis, yaitu
Diagnosis Negatif dan Diagnosis Positif.

a. Diagnosis negatif menunjukan bahwa klien dalam kondisi


sakit atau beresiko mengalami sakit sehingga penegakan
diagnosis ini akan mengarahkan pemberian intervensi
keperawatan yang bersifat penyembuhan, pemulihan dan
pencegahan.
b. Diagnosis Positif menunjukan bahwa klien dalam kondisi
sehat dan dapat mencapai kondisi yang lebih sehat atau
optimal. Diagnosis ini disebut juga dengan istilah Diagnosis
Promosi Kesehatan (ICNP, 2015; Standar Praktik
Keperawatan Indonesia – PPNI, 2005).

Macam-macam diagnosis tersebut diatas (Carpenito,


2013; Potter & Perry, 2013).
1. Diagnosis Aktual

Diagnosis ini menggambarkan respon klien


terhadap kondisi kesehatan atau proses kehidupan yang
menyebabkan klien mengalami masalah kesehatan.
Tanda atau gejala mayor dan minor dapat ditemukan
dan divalidasi pada klien secara langsung.

2. Diagnosis Resiko

Diagnosis ini menggambarkan respon klien


terhadap kondisi kesehatan atau proses kehidupannya
yang dapat menyebabkan klien beresiko mengalami
masalah kesehatan. Dalam penegakan diagnosis ini,
tidak akan ditemukan tanda/gejala mayor ataupun minor
pada klien, namun klien akan memiliki faktor resiko
terkait masalah kesehatan yang mungkin akan
dialaminya dikemudian hari.

3. Diagnosis Promosi Kesehatan


Diagnosis ini menggambarkan adanya keinginan
dan motivasi klien untuk meningkatkan kondisi
kesehatannya ke tingkat yang lebih baik atau optimal.

2.1.2.4 Komponen Diagnosa Keperawatan


Diagnosis keperawatan memiliki 2 kompinen utama,
yaitu Masalah (Problem) atau Label Diagnosis dan Indikator
Diagnostik.

1. Masalah (Problem)
Masalah merupakan label diagnosis keperawatan
yang menggambarkan inti dari respon klien terhadap
kondisi kesehatan atau proses kehidupannya. Label
diagnosis ini terdiri dari Deskriptor atau penjelas dan Fokus
Diagnostik. Deskriptor merupakan pernyataan yang
menjelaskan bagaimana suatu fokus diagnosis terjadi.
Beberapa deskriptor yang digunakan dalam diagnosis
keperawatan diuraikan melalui gambar dibawah ini.
2. Indikator Diagnostik
Indikator diagnostik terdiri dari penyebab,
tanda/gejala, dan faktor resiko dengan uraian sebagai
berikut.
a. Penyebab (Etiology)
Merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan status kesehatan. Etiologi ini dapat mencakup 4
kategori, yaitu; a. Fisiologis, Biologis atau Psikologis, b.
Efek Terapi/Tindakan, c. Situasional (lingkungan atau
personal), d. Maturasional

b. Tanda (Sign) dan Gejala (Symptom)


Tanda merupakan data objektif yang diperoleh dari
hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan
prosedur diagnostic. Sedangkan gejala merupakan data
subjektif yang diperoleh dari hasil anamnesis atau
pengkajian.

Tanda/gejala ini dikelompokan menjadi 2 kategori, yaitu:


1. Tanda/Gejala Mayor: Ditemukan sekitar 80% – 100%
untuk validasi diagnosis.
2. Tanda/Gejala Minor: Tidak harus ditemukan, namun
jika ditemukan dapat mendukung penegakan diagnosis.

c. Faktor Resiko (Risk Factor)


Merupakan kondisi atau situasi yang dapat
meningkatkan kerentanan klien dalam mengalami masalah
kesehatan atau proses kehidupannya. Indikator diagnosis ini
akan berbeda-beda pada masing-masing macam jenis
diagnosis.
Pada diagnosis aktual, indikator diagnostiknya terdiri
dari penyebab dan tanda/gejala. Pada diagnosis resiko, tidak
memiliki penyebab dan tanda/gejala, melainkan hanya
faktor resiko saja. Pada diagnosis promosi kesehatan, hanya
memiliki tanda/gejala yang menunjukan kesiapan klien
untuk mencapai kondisi yang lebih optimal.

2.1.2.5 Proses Penegakan Diagnosis Keperawatan


Proses penegakan diagnosis (diagnostic process) adalah
suatu proses yang sistematis yang terdiri dari 3 tahap yaitu,
analisis data, identifikasi masalah dan perumusan diagnosis.
Pada perawat profesional yang telah berpengalaman,
proses ini dapat dilakukan secara simultan. Namun untuk
perawat yang belum memiliki pengalaman yang memadai,
setidaknya diperlukan latihan dan pembiasaan untuk
melakukan proses penegakan diagnosis secara sistematis.

Proses penegakan diagnosis keperawatan diuraikan


sebagai berikut;

1. Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dengan tahapan
sebagai berikut ini.
a. Bandingkan data dengan nilai normal/rujukan
Data-data yang didapatkan dari pengkajian,
bandingkan dengan nilai-nilai normal dan
identifikasi tanda/gejala yang bermakna, baik
tanda/gejala mayor ataupun tanda/gejala minor.
b. Kelompokkan data
Tanda/gejala yang dianggap bermakna,
dikelompokan berdasarkan pola kebutuhan dasar
yang meliputi; respirasi, sirkulasi, nutrisi/cairan,
eliminasi, aktivitas/istirahat, neurosensori,
reproduksi/seksualitas, nyeri/kenyamanan, integritas
ego, pertumbuhan/perkembangan, kebersihan diri,
penyuluhan/pembelajaran interaksi sosial, dan
keamanan/proteksi.
Proses pengelompokan data ini dapat
dilakukan baik secara induktif, dengan memilah
dara sehingga membentuk sebuah pola, atau secara
deduktif, menggunakan kategori pola kemudian
mengelompokan data sesuai kategorinya.

2. Identifikasi Masalah

Setelah data dianalisis, perawat dan klien bersama-


sama mengidentifikasi masalah, mana masalah yang aktual,
resiko dan /atau promosi kesehatan. Pernyataan masalah
kesehatan ini merujuk pada label diagnosis keperawatan yang
sebelumnya telah dibahas diatas.

3. Perumusan Diagnosis Keperawatan


Perumusan atau penulisan diagnosis disesuaikan
dengan jenis diagnosis keperawatannya. Terdapat 2 metode
perumusan diagnosis, yaitu;
a. Penulisan 3 Bagian (3 Parts Format)
Metode penulisan ini terdiri dari Masalah,
Penyebab dan Tanda/Gejala dan hanya dilakukan pada
diagnosis aktual saja. Formulasi diagnosis keperawatan
penulisan 3 bagian adalah sebagai berikut:
Masalah berhubungan dengan Penyebab dibuktikan
dengan Tanda/Gejala
Frase ‘berhubungan dengan’ dapat disingkat b.d dan
frase ‘dibuktikan dengan’ dapat disingkat d.d.

Contoh Penulisan:
Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d spasme jalan
nafas d.d batuk tidak efektif, sputum berlebih, mengi, dispnea dan
gelisah.
b. Penulisan 2 Bagian (2 Parts Format)
Metode penulisan ini dilakukan pada diagnosis resiko
dan diagnosis promosi kesehatan, dengan formulasi sebagai
berikut:
1. Diagnosis Resiko
Masalah dibuktikan dengan Faktor Resiko
Contoh Penulisan:
Resiko aspirasi dibuktikan dengan tingkat kesadaran menurun.
2. Diagnosis Promosi Kesehatan
Masalah dibuktikan dengan Tanda/Gejala
Contoh Penulisan:
Kesiapan peningkatan eliminasi urin dibuktikan dengan pasien
mengatakan ingin meningkatkan eliminasi urin, jumlah dan karakteristik
urin normal.
Salah satu diagnosa diagnosa dalam SDKI diuraikan sebagai berikut:
Kategori: Fisiologis
Subkategori: Respirasi

2.1.2.6 Definisi Nyeri Akut

Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan

dengan kerusakan jaringan actual atau fungsional, dengan

onset mendadak atau lambat Dari berintensitas ringan hingga

berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan

2.1.2.7 Penyebab
1. Agen pencedera fisiologi ( mis,inflamasi, iskemia,

neoplasma )

2. Agen pencedera kimiawi ( mis,terbakar, bahan kimia irita)

3. Agen pecendera fisik (Pisah asbes amputasi ngangkat

kayu ,terbakar, terpotong , mengangkat berat, prosedur

operasi, trauma, latihan fisik berlebihan


2.1.2.8 Tanda / gejala mayor
Subjektif

1. Mengeluh nyeri

Objektif

1. Tampak meringis

2. Bersikap protektif (mis waspada posisi Menghindari nyeri )

3. Gelisah

4. Frekuensi nadi meningkat

5. Sulit tidur

2.1.2.9 Tanda / gejala minor


Subjektif

( tidak tersedia )

Objektif

1. Tekanan darah meningkat

2. Pola nafas berubah

3. Nafsu makan berubah

4. Proses berfikir terganggu

5. Menarik diri

6. Berfokus pada diri sendiri

7. Diaforesis

2.1.2.10 Kondisi Klinis terkait


1. Kondisi pembedahan

2. Cedera traumatis

3. Infeksi

4. Sindrom coroner akut

5. Glukoma
2.1.3 Intervensi
2.1.3.1 Standart Luaran SLKI

Tabel. 2.1 Evaluasi pada pasien nyeri akut


Evaluasi Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat
Menurun Meningka
t
Keluhan nyeri 1 2 3 4 5
Meringis 1 2 3 4 5
Sikap protektif 1 2 3 4 5
Gelisah 1 2 3 4 5
Kesulitan tidur 1 2 3 4 5
Menarik diri 1 2 3 4 5
Berfokus pada diri 1 2 3 4 5
sendiri
Diaporesis 1 2 3 4 5
Perasaan depresi 1 2 3 4 5
(tekanan)
Perasaan takut 1 2 3 4 5
mengalami cedera
berulang
Anoreksia 1 2 3 4 5

Perineum terasa 1 2 3 4 5
tertekan
Uterus teraba 1 2 3 4 5
membulat
Ketegangan otot 1 2 3 4 5
Pupil dilatasi 1 2 3 4 5
Muntah 1 2 3 4 5
Mual 1 2 3 4 5
Evaluasi Memburu Cukup Sedang Cukup Membaik
k Memburuk Membaik
Frekuensi nadi 1 2 3 4 5

Pola nafas 1 2 3 4 5
Tekanan darah 1 2 3 4 5
Proses berfikir 1 2 3 4 5
Fokus 1 2 3 4 5
Fungsi berkemih 1 2 3 4 5
Perilaku 1 2 3 4 5
Nafsu makan 1 2 3 4 5
Pola tidur 1 2 3 4 5
2.2.3.1 Sumber :Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2019.
2.1.2.2 Ekspektasi
Ekspektasi merupakan penilaian terhadap hasil yang

diharapkan tercapai. Ekspektasi menggambarkan seperti apa

kondisi, perilaku, atau persepsi pasien akan berubah setelah

diberikan intervensi keperawatan. Terdapat tiga kemungkinan

ekspektasi yang diharapkan perawat yaitu:

Tabel 2.2. Ekspektasi dan Definisi Ekspektasi Luaran Keperawatan


No Ekspektasi Definisi
1 Meningkat Bertambah dalam ukuran, jumlah, derajat atau
tingkatan
2 Menurun Berkurang dalam ukuran, jumlah, derajat atau
tingkatan
3 Membaik Menimbulkan efek yang lebih baik, adekuat,
atau efektif.
Sumber : Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2019

2.1.2.3 Intervensi pada pasien nyeri akut

Tabel. 2.3 Intervensi pada pasien nyeri akut


No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
keperawatan
1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Intervensi Utama
berhubungan keperawatan selama .....x A. Manajemen nyeri
dengan agen 24 jam diharapkan nyeri Tindakan
pecendera fisik berkurang/ hilang. Observasi
(prosedur Kriteria Hasil : 1) Identifikasi lokasi, karakteristik,
operasi) 1) Fungsi durasi, frekuensi, kualitas,
Gaastrointestinal intensitas nyeri
2) Control nyeri 2) Identifikasi skala nyeri
3) Mobilitas fisik 3) Identifikasi Respon nyeri non
4) Penyrembuhan verbal
luka 4) Identifikasi faktor yang
5) Perfusi miokard memperberat dan memperingan
6) Perfusi perifer nyeri
7) Pola tidur 5) Identifikasi pengetahuan dan
8) Status kenyamanan keyakinan tentang nyeri
9) Tingkat cedera 6) Identifikasi pengaruh budaya
terhadap respon nyeri
7) Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
8) Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan
9) Monitor efek samping penggunaan
analgetik
Terapeutik
1) Berikan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri ( mis.
TENS, hipnotis, akaupresur, terapi
music, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres
hangat,/dingin, terapi bermain)
2) control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
3) fasilitas istirahat dan tidur
4) pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan
meredakannyeri
Edukasi
1) Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
2) Jelaskan strategi meredakan nyeri
3) Anjurkan monitor nyeri secara
mendiri
4) Anjurkan menggunakan analgetik
secara tepat
5) Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu

B. Pemberian analgesic
Tindakan
Observasi
1) Identifikasi karakteristik nyeri
(mis. Pencetus, pereda, kualitas,
lokasi, intensitas, frekuensi, durasi)
2) Identifikasi riwayat alergi obat
3) Identifikasi kesesuain jenis
anakgesik (mis. Narkotika, non-
narkotik, atau NSAID) dengan
tingkat keparahan nyeri
4) Monitor tanda-tanda vital sebelum
dan sesudah pemberian analgesic
5) Monitor efektifitas analgesik
Terapeutik
1) Diskuskan jenis analgesic yang
disukai untuk mencapai analgesia
optimal, jika perlu
2) Pertimbangkan penggunaan infus
continu, atau lobus oplod untuk
mempertahankan kadar dalam
serum
3) Tetapkan target efektifitas
analgesic untuk mengoptimalkan
respon pasien
Edukasi
1) Jelaskan efek terapi dan efek
samping obat
Kolaborasi
1) kolaborasai pemberian dosis dan
jenis analgesic, sesuai indikasi.

C. Terapi Relaksasi
Observasi
1) Periksa kemampuan fisik dan
mental untuk berpartisipasi dalam
kegiatan rekreasi.
2) Identifikasi makna kegiatan
rekreasi.
3) Identifikasi tujuan kegiatan
rekreasi (mis. Mengurangi ansietas,
stimulasi perkembangan)
4) Periksa respon emosional, fisik,
dan sosial terhadap kegiatan
rekreasi.
Terapeutik
1) Libatkan dalam perencanaan
kegiatan rekreasi
2) Pilih kegiatan sesuai dengan
kemampuan fisik, psikologis, dan
sosial.
3) Rencanakan kegiatan rekreasi
sesuai usia dan kemampuan (mis.
Mengunjungi pantai).
4) Fasilitasi sumber daya yang
dibutuhkan untuk kegiatan rekreasi.
5) Sediakan peralatan rekreasi yang
aman.
6) Fasilitasi transportasi ke tempat
rekreasi.
7) Persiapkan tindakan pencegahan
risiko keselamatan.
8) Berikan pengawasan pada sesi
rekreasi, jika sesuai
9) Berikan penguatan positif terhadap
partisipasi aktif dalam kegiatan..
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
terapi.
2. Jelaskan manfaat stimulasi
melalui modalitas sensorik dalam
rekreasi.
Sumber : Tim Pokja SDKI PPNI, 2016. Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018.

2.1.3 Implementasi Keperawatan


Implementasi keperawatan merupakan inisiatif dari rencana

tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik (Rismawati, 2018).

Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan


ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan

yang diharapkan. Oleh karena itu rencana tindakan yang spesifik

dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi

masalah kesehatan klien. Adapun tahap-tahap dalam tindakan

keperawatan sebagai berikut:

a. Tahap 1 : Persiapan

Tahap awal tindakan keperawatan ini perawat mengevaluasi hasil

identifikasi pada tahap perencanaan

b. Tahap 2 : Pelaksanaan

Fokus tahap pelaksanaan tindakan keperawatan adalah kegiatan

dari perencanaan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional.

Pendekatan tindakan keperawatan meliputi tindakan : independen,

dependen, dan interdependen

c. Tahap 3 : Dokumentasi

Pelaksanaan tindakan keperawatan harus diikuti oleh pencatatan

yang lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian dalam proses

keperawatan.

2.1.4 Evaluasi keperawatan


Evaluasi keperawatan adalah penilaian dengan cara

membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati)

dengan tujuan dan kriteria hasil yang sudah dibuat pada tahap

perencanaan (Kemenkes, 2019).

a. Tujuan Evaluasi

1) Untuk mengakhiri rencana tindakan keperawatan,


2) Memodifikasi rencana tindakan keperawatan

3) Meneruskan rencana tindakan keperawatan.

b. Macam Evaluasi

1) Evaluasi proses (Formatif)

Evaluasi yang dilakukan setelah selesai tindakan,

berorientasi pada etiologi. Dilakukan secara terus menerus

sampai tujuan yang ditentukan tercapai.

2) Evaluasi hasil (Sumatif)

Evaluasi yang dilakukan setelah akhir tindakan

keperawatan secara paripurna, berorientasi pada masalah

keperawatan, menjelaskan keberhasilan/ketidakberhasilan,

rekapitulasi dan kesimpulan status kesehatan klien sesuai

dengan kerangka waktu yang ditetapkan.

c. Komponen Evaluasi (SOAP/SOAPIER)

1) S artinya Data Subjektif

Dapat dituliskan keluhan utama pasien yang masih dirasakan

setelah dilakukan tindakan keperawatan.

2) O artinya Data Objektif

Data objektif adalah data berdasarkan hasil pengukuran atau hasil

observasi serta secara langsung kepada klien dan yang dirasakan

klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.

3) A artinya Analisa

Interpretasi dari data subjektif dan data objektif. Analisa

merupakan suatu mesalah atau diagnosis keperawatan yang


masih terjadi atau juga dapat dituliskan masalah/diagnosis baru

yang terjadi akibat perubahan status kesehatan klien yang telah

teridentifikasi datanya dalam data subjektif dan objektif.

4) P artinya Planning

Perencanaan keerawatan yang akan dilanjutkan, dihentikan,

dimodifikasi atau ada tambahan dari rencana tindakan

keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya, tindakan yang

telah menunjukkan hasil yang memuaskan dan tidak memerlukan

tindakan ulang yang pada umumnya dihentikan.

5) I artinya Implementasi

Implementasi adalah tindakan keperawatan yang dilakukan

sesuatu dengan intrusi yang teah teridentifikasi dalam komponen

P (perencanaan). Jangan lupa menuliskan tanggal dan jam

pelaksanaan.

6) E artinya Evaluasi

Evaluasi adalah respon klien setelah dilakukan tindakan

keperawatan.

R artinya adalah pengkajian ulang yang dilakukan terhadap

perencanaan setelah diketahui hasil evaluasi, apakah dari rencana

tindakan perlu dilanjutkan, dimodifikasi, atau dihentikan.


2.2 Konsep Terapi kompres dingin

2.2.1 Pengertian

Tindakan keperwatan dengan cara memberikan kompres

dingin basah dalam memenuhi kebutuhan rasa nyeman, yaitu

memberikan rasa dingin dengan menggunakan lap atau kain yang

dicelupkan kedalam air dingin (Hidayat, 2005).

2.2.2 Metode kompres dingin

1. Kedalam sebuah kirbat es kita masukkan air es atau air dingin.


2. Kompres menggunakan air dingin dilakukan didekat lokasi
nyeri, disisi tubuh yang berlawanan tetapi berhubungan
dengan lokasi nyeri, atau dilokasi yang terletak antara otak
dan lokasi nyeri.
3. Pemberian kompres menggunakan air dingin dapat dilakukan
dalam waktu, <5 menit, 5-10 menit dan 20-30 menit (Potter &
Perry, 2005).
4. Dampak fisiologisnya adalah vasokontuksi (pembuluh darah
pengucup), penurunan metabolik, membantu mengontrol
perdarahan dan pembengkakan karena trauma, mengurangi
nyeri dan menurunkan aktivitas ujung saraf pada otot.
Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Memberikan
Kompres Dingin :
Perhatikan kulit pasien, kalau kulit pasien berwarna
merah jambu masih bisa dilakukan pengompresan, tapi kalau
kulit pasien berwama merah gelap metode ini tidak dapat
dilakukan (Bouwhetzen, 1996).

2.1.3. Pengaruh Kompres Dingin Terhadap Nyeri

Teori gate control mengatakan bahwa stimulasi kulit


mengaktifkan transmisi serabut saraf sensori A-beta yeng lebih
besar dan lebih cepat. Proses ini menurunkan transmisi nyeri
melalui serabut C dan deta-A berdiameter kecil. Gerbang sinap
menutup transmisi impuls nyeri. Kompres dingin akan
menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat kecepatan
hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih
sedikit. Mekanisme lain yang mungkin bekerja adalah bahwa
persepsi dingin menjadi dominan dan mengurangi persepsi nyeri
(Potter & Perry, 2005).
2.1.4. Manfaat

Manfaat kompres dingin menurut Sigalingging, (2013)


adalah menarik panas dari tubuh pasien, menurunkan suhu tubuh,
memberikan rasa nyaman, mematikan rasa nyeri, dan mengurangi
pendarahan lokal.

2.1.5. Prosedur teknik kompres dingin


1) Bawa alat kedekat pasien
2) Cuci tangan
3) Masukan potongan es kedalam baskom berisi air agar
pinggiran es tidak tajam
4) Isi kibrat eskap dengan potongan es sebanyak % bagian
5) Periksa apakah eskap bocor atau tidak, keringkan dengan kain
lap kemudian masukan kedalam sanung eskap es
6) Buka area yang akan diberikan eskap
7) Pasang pengalas pada bagian tubuh yang akan dikompres
8) Letakkan eskap es pada area yang akan dikompres
9) Angkat alat setelah selesai
10) Atur posisi pasien pada posisi nyaman
11) Rapikan alat
12) Lepaskan sarung tangan
13) Cuci tangan
14) Dokumentasi semua tindakan.
2.3 Konsep Terapi Nafas Dalam

2.3.1. Pengertian

Teknik relaksasi merupakan salah satu terapi nonfarmakologis

yang digunakan dalam penatalaksanaan nyeri (Tamsuri, 2007).

Relaksasi merupakan suatu tindakan untuk membebaskan mental

maupun fisik dari ketegangan dan stres sehingga dapat

meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Sulistyo, 2013). Teknik

relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan

frekuensi yang lambat dan berirama (Smeltzer & Bare, 2002).

Latihan napas dalam yaitu bentuk latihan napas yang terdiri dari

pernapasan abdominal (diafragma) dan pursed lip breathing

(Lusianah, Indaryani, & Suratun, 2012).

Melakukan relaksasi napas dalam untuk mengendalikan

nyeri, di dalam tubuh seseorang tersebut secara stimulan dapat

meningkatkan saraf parasimpatik maka hormon kortisol dan

adrenalin yang dapat menyebabkan stres akan menurun sehingga

konsentrasi meningkat serta merasa tenang untuk mengatur napas

sampai pernapasan kurang dari 60-70 kali per menit. Kemudian

kadar PCO2 akan meningkat dan menurunkan pH sehingga akan

meningkatkan kadar oksigen dalam darah (Handerson, 2002).

Teori relaksasi napas dalam ini menjelaskan bahwa pada spinal

cord, sel-sel reseptor yang menerima stimulasi nyeri periferal

dihambat oleh stimulasi dari serabut-serabut saraf yang lain.

Stimulasi yang menyenangkan dari luar juga dapat merangsang


sekresi endorfin, maka nyeri yang dirasakan menjadi berkurang

(Priharjo, 2003). Periode relaksasi napas dalam yang teratur dapat

membantu untuk melawan ketegangan otot dan keletihan yang

terjadi akibat meningkatkan nyeri (Smeltzer & Bare, 2002).

2.3.2. Tujuan

Tujuan teknik relaksasi napas dalam Tujuan dari teknik

relaksasi napas dalam yaitu untuk meningkatkan ventilasi alveoli,

meningkatkan efisiensi batuk, memelihara pertukaran gas,

mencegah atelektasi paru, dan mengurangi tingkat stress baik itu

stress fisik maupun emosional sehingga dapat menurunkan

intesitas nyeri yang dirasakan oleh individu (Smeltzer & Bare,

2002).

Selain tujuan tersebut, terdapat beberapa tujuan dari teknik

napas dalam menurut Lusianah, Indaryani and Suratun (2012),

yaitu antara lain untuk mengatur frekuensi pola napas,

memperbaiki fungsi diafragma, menurunkan kecemasan,

meningkatkan relaksasi otot, mengurangi udara yang terperangkap,

meningkatkan inflasi alveolar, memperbaiki kekuatan otot-otot

pernapasan, dan memperbaiki mobilitas dada dan vertebra

thorakalis.

2.3.3. Manfaat

Manfaat teknik relaksasi napas dalam Teknik relaksasi

napas dalam dapat memberikan berbagai manfaat. Menurut Potter


& Perry (2006), menjelaskan efek relaksasi napas dalam antara lain

terjadinya penurunan nadi, penurunan ketegangan otot, penurunan

kecepatan metabolisme, peningkatan kesadaran global, perasaan

damai dan sejahtera dan periode kewaspadaan yang santai.

Keuntungan teknik relaksasi napas dalam antara lain dapat

dilakukan setiap saat, kapan saja dan dimana saja, caranya sangat

mudah dan dapat dilakukan secara mandiri oleh pasien tanpa suatu

media serta merilekskan otototot yang tegang. Sedangkan kerugian

relaksasi napas dalam antara lain tidak dapat dilakukan pada pasien

yang menderita penyakit jantung dan pernapasan (Smeltzer &

Bare, 2002).

2.3.4. Pengaruh teknik relaksasi napas dalam terhadap penurunan

persepsi nyeri

Teknik relaksasi napas dalam dipercaya dapat menurunkan

intensitas nyeri melalui tiga mekanisme yaitu:

a) Dengan merelaksasikan otot skelet yang mengalami spasme

yang disebabkan insisi (trauma) jaringan saat pembedahan

b) Relaksasi otot skelet akan meningkatkan aliran darah ke

daerah yang mengalami trauma sehingga mempercepat proses

penyembuhan dan menurunkan (menghilangkan) sensasi nyeri

\
c) Teknik relaksasi napas dalam dipercayai mampu merangsang

tubuh untuk melepaskan opoid endogen yaitu endorfin dan

enkefalin (Smeltzer & Bare, 2002).

Pernyataan lain mengatakan bahwa penurunan nyeri

oleh teknik relaksasi napas dalam disebabkan ketika seseorang

melakukan relaksasi napas dalam untuk mengendalikan nyeri

yang dirasakan, maka tubuh akan meningkatkan kompenen

saraf parasimpatik secara stimulan, maka ini menyebabkan

terjadinya kadar hormon kortisol dan adrenalin dalam tubuh

yang mempengaruhi tingkat stres seseorang sehingga dapat

meningkatkan konsentrasi dan membuat pasien merasa tenang

untuk mengatur ritme pernapasan menjadi teratur. Hal ini akan

mendorong terjadinya peningkatan kadar PCO2 dan akan

menurunkan kadar pH sehingga terjadi peningkatan kadar

oksigen dalam darah (Handerson, 2002).

2.3.5. Prosedur teknik relaksasi napas dalam

Prosedur teknik relaksasi napas dalam Menurut Lusianah,

Indrayani, & Suratun (2012), langkah teknik relaksasi napas dalam

yaitu:

a) Mengecek program terapi medik

b) Mengucapkan salam terapiutik

c) Melakukan evaluasi dan validasi


d) Menjelaskan langkah-langkah tindakan atau prosedur kepada

pasien

e) Mempersiapkan alat: satu bantal

f) Memasang sampiran

g) Mencuci tangan

h) Mengatur posisi yang nyaman bagi pasien dengan posisi

setengah duduk di tempat tidur atau kursi atau dengan lying

position (posisi berbaring) di tempat tidur atau dikursi dengan

satu bantal

i) Meminta pasien untuk menarik napas dalam melalui hidung,

jaga mulut tetap tertutup. Hitung sampai tiga selama inspirasi

j) Meminta pasien untuk berkonsentrasi dan rasakan gerakan

naiknya abdomen sejauh mungkin, tetap kondisi rileks dan

cegah lengkung pada punggung. Jika ada kesulitan menaikan

abdomen, tarik napas dengan cepat, lalu napas kuat dengan

hidung

k) Meminta pasien untuk menghembuskan udara lewat bibir,

seperti meniup dan ekspirasikan secara perlahan dan kuat

sehingga terbentuk suara hembusan tanpa mengembungkan

dari pipi. Teknik pursed lip breathing ini menyebabkan

resistensi pada pengeluaran udara paru, meningkatkan tekanan

di bronkus (jalan napas utama) dan meminimalkan kolapsnya

jalan napas yang sempit


l) Meminta pasien untuk berkonsentrasi dan rasakan turunya

abdomen dan kontraksi otot abdomen ketika ekspirasi. Hitung

sampai tujuh selama ekspirasi

m) Meminta pasien untuk menggunakan latihan ini dan tingkatkan

secara bertahap selama lima sampai 10 menit. Latihan ini dapat

dilakukan dalam posisi berbaring, duduk tegap, berdiri dan

berjalan

n) Mencuci tangan

o) Mendokumentasikan tindakan yang telah dilakukan dan respon

pasien
PICOT

Judul Populasi Intervensi Comparacy Outcome Time


Kombinasi Sampel adalah Pemberian Tidak ada Hasil uji <5
terapi penderita terapi kompres menunjukkan menit,
kompres fraktur dingin dan nilai 5-10
dengin dan berjumlah 30, tehnik significancy. menit
relaksasi dipilih dengan relaksasi nafas 000 > 0.05. dan
nafas menggunakan dalam berdasarkan 20-30
dalam tehnik hasil uji menit
terhadap accidental tersebut maka 1-2
penurunan sampling serta disimpulkan Menit
intensitas memenuhi bahwa terdapat
nyeri kriteria yaitu pengaruh
fraktur. penderita pemberian
Mujahidin, dalam keadaan kombinasi
Repiska sadar penuh, kompres dingin
Palasa, tenang dan dan relaksasi
Sanita kooperatif dan nafas dalam
Rahma Nur mampu terhadap
Utami. berkomunikasi penurunan
2018 dengan baik, intensitas nyeri
di izinkan fraktur.
keluarga, jenis
fraktur
tertutup dan
penderita
belum
mengkonsumsi
obat pereda
nyeri.
BAB 3
METODOLOGI PENULISAN

3.1. Rancangan Studi Kasus


Laporan studi kasus ini menggunakan metode observasional
deskriptif dengan rancangan studi kasus yang dilakukan dengan tujuan utama
untuk memaparkan atau membuat gambaran tentang studi keadaan secara
objektif (Natoatmojo, 2012). Dalam menyusun studi kasus ini penulis
menggunakan metode deskriftif dengan pendekatan proses keperawatan yang
terdiri dari pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

3.2. Subjek Studi Kasus


Subjek pada penelitian ini terdiri dari 2 pasien dengan kriteria sebagai

berikut:

1) Kriteria Inklusi

a. Sadar penuh/tidak dalam kondisi penurunan kesadaran

b. Tenang, kooperatif dan mampu bekerja sama dengan baik

c. Mampu berkomunikasi dengan baik

d. Bersedia/diizinkan keluarga untuk beratisipasi dalamproses

penelitian

e. Jenis fraktir terputup

f. Belum mngkonsumsi obat alagesik

2) Kriteria Eksklusi

a. Pasien tidak bersedia menjadi responden

b. Pasien dengan gangguan jiwa

c. Pasien tidak sadarkan diri

d. Pasien yang mengalami gangguan pendengaran


3.3. Fokus Studi
Fokus studi pada penulisan ini adalah penerapan kombinasi kompres
dingin dan ralaksasi nafas dlam terhadap penurunan intensitas nyeri fraktur.

3.4. Definisi Operasional


Definisi operasional Intervensi Time Alat dan
bahan
1) Terapi kompres Melakukan 1kali 1) Basko
kompres sehari m
dingin adalah
dingin dan selama 2 2) Kibrat
Tindakan relaksasi hari eskap
keperwatan nafas dalam berturut 3) Es batu
turut 4) pengala
dengan cara
selama <5 s
memberikan menit, 5-
kompres dingin 10 menit ,
20 – 30
basah dalam
menit.
memenuhi Dan 5
kebutuhan rasa menit
untuk
nyeman, yaitu
melakukan
memberikan rasa relaksasi
dingin dengan nafas
dalam
menggunakan lap

atau kain yang

dicelupkan

kedalam air

dingin

Teknik relaksasi
merupakan salah

satu terapi

nonfarmakologis

yang digunakan

dalam

penatalaksanaan

nyeri

2) Nyeri adalah

pengalaman

sensori dan

emosional tidak

menyenangkan

yang disebabkan

adanya kerusakan

jaringan aktual

maupun

potensial, atau

menggambarkan

kondisi terjadinya

proses kerusakan

tersebut (IASP,

2017).
3.5. Tempat dan Waktu
Tempat penelitian adalah suatu tempat atau objek untuk diadakan
suatu penelitian.

Tempat penelitian : Di RSUD dr. Mohammad Zyn Kecamatan Sampang


Kabupaten Sampang.
Waktu penelitian :

3.6. Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan sumber data primer dan sekunder. Data

primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung (dari tangan

pertama) hasil wawancara, dan observasi. Sementara data sekunder adalah

data yang diperoleh peneliti dari sumber yang sudah ada seperti rekam medis.

Jenis instrumen yang digunakan pada ilmu keperawatan diklasifikasikan

menjadi 5 bagian (Nursalam, 2003), yaitu:

1) Biofisiologis (pengukuran yang berorientasi pada dimensi fisiologis

manusia, baik invivo maupun invitro).

2) Observasi (terstruktur dan tidak terstruktur)

Observasi dapat dilaksanakan dengan menggunakan beberapa model

instrumen, antara lain:

a. Catatan anecdotal: mencatat gejala gejala khusus atau luar biasa

menurut urutan kejadian.

b. Catatan berkala: mencatat gejala secara berurutan menurut waktu

namun tidak terus menerus.

c. Daftar cek list: menggunakan daftar yang memuat nama observe

disertai jenis gejala yang diamati.

3) Wawancara (terstruktur atau tidak terstruktur)


4) Kuesioner (pengumpulan data secara formal untuk menjawab pertanyaan

tertulis)

5) Skala penilaian.

3.7. Penyajian Data


Penyajian data dapat disajikan dalam bentuk tabel, gambar, bagan maupun
teks naratif.

3.8. Etika Studi Kasus


Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti terlebih dahulu

mengajukan permohonan izizn yang di sertai proposal peneliti. Setelah

mendapat persetujuan, peneliti baru bisa memulai melakukan observasi dan

pemberian tindakan. Penelitian ini menekan pada masalah etik sebagai

berikut:

3.8.1. Lembar Persetujuan


Sebelum menjadi responden peneliti menjelaskan maksud

dan tujuan penelitian. Setelah responden mengerti maksud dan tujuan

penelitian, responden atau keluarga yang bertanggung jawab

menandatangani lembar persetujuan. Jika responden menolak untuk

menjadi respoden maka peneliti tidak boleh memaksa dan tetap

menghormati keputusannya.

3.8.2. Tanpa Pencantuman Nama Responden (anominity)


Untuk menjaga kerahasiaan subjek, peneliti tidak boleh
mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data
(observasi) yang diisi oleh subjek. Lembar hanya diberi nomer kode
tertentu (Nursalam, 2018).
3.8.3. Kerahasian dan Respondent (confidentiality)
Kerahasiaan informasi yang telah diberikan oleh responden

dijamin oleh peneliti. Data hanya akan disajikan kepada kelompok

tertentu yang berhubungan dengan penelitian (Nursalam, 2018).

Anda mungkin juga menyukai