PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nyeri merupakan suatu respon alami yang bersifat langsung terhadap
suatu peristiwa atau kejadian yang tidak mengenakkan karena kerusakan
jaringan, seperti proses penyakit atau tindakan pengobatan dan pembedahan
( Hayati, 2014 dalam Apriani et al, 2018). Munculnya nyeri pada pasien
penurunan kesadaran disebabkan oleh penyakit akut dan banyaknya
intervensi dan tindakan yang dilakukan di ICU seperti: operasi, trauma,
tindakan invasif, perawatan luka dan perubahan posisi pada pasien (Sutari,
2014 dalam Apriani et al, 2018).
Nyeri adalah kekhawatiran terbesar pasien di unit perawatan intensif
(ICU). Sebagian besar pasien sakit kritis mengalami nyeri sedang sampai
hebat. Penatalaksanaan nyeri telah menjadi prioritas nasional dalam
beberapa tahun terakhir, namun nyeri terus disalah artikan, dikaji dengan
buruk, dan tidak ditangani dengan adekuat di ICU dan banyak tatanan
perawatan kesehatan lainnya. Nyeri yang tidak terkontrol memicu respon stres
fisik dan emosional, menghambat penyembuhan, meningkatkan resiko
komplikasi lainnya dan meningkatkan masa rawat inap di ICU (Gonce P,
Fontaine D, Hudak C, Gallo B, 2012).
Prosedur rutin yang sering dilakukan pada pasien dengan penurunan
kesadaran salah satunya adalah memiringkan pasien (Morton, 2011 dalam
Apriani et al, 2018). Pasien dengan penurunan kesadaran yang mengalami
tingkat nyeri yang tidak teratasi akan beresiko mengganggu psikologis,
fisiologis tubuh pasien, dan dapat mengancam jiwa pasien. Selain merasakan
ketidaknyamanan dan mengganggu, nyeri yang tidak reda atau tidak teratasi
akan mempengaruhi sistem pulmonari, kardiovaskular, gastrointestinal,
endokrin, immunologic dan perubahan hemodinamik (Nuraeni et al, 2016).
Intensive Care Unit (ICU) merupakan suatu bagian mandiri dari rumah
sakit yang dilengkapi dengan tenaga medis dan teknologi khusus serta
canggih dalam pemberian terapi serta menunjang fungsi-fungsi vital tubuh
pasien dalam kondisi kritis yang mengancam nyawa (Kemenkes, 2011 dalam
Apriani et al, 2018). Pasien di unit perawatan intensive memiliki
1
2
berbagai pengalaman yang kompleks dan kondisi yang mengancam jiwa, dan
memiliki masalah dengan rasa nyeri dan ketidaknyamanan (Gelinas, 2007
dalam Priambodo el at, 2016). Insidensi nyeri pada pasien kritis lebih besar
dari 50 % pengalaman nyeri dirasakan ketika istirahat maupun selama
menjalani prosedur klinis yang rutin dilaksanakan (Chanques et al., 2006,
Payen et al., 2007, Puntillo et al., 2014 dalam Priambodo et al, 2016),
sedangkan menurut Stites (2013) dalam Apriani et al, 2018 menyebutkan
bahwa Pasien yang dirawat di ICU diperkirakan 71% diantaranya mengalami
rasa nyeri selama perawatan. Nyeri merupakan gejala yang paling sering
terjadi pada pasien dengan penurunan kesadaran.
Tidak adekuatnya pengkajian nyeri dapat menyebabkan tidak
dikenalinya masalah nyeri sehingga nyeri tidak tertangani. Nyeri yang tidak
ditangani secara optimal dapat menimbulkan dampak yang buruk terhadap
fungsi fisiologis (fluktuasi tanda-tanda vital, nosokomial infeksi), meningkatkan
waktu rawat inap di ICU, meningkatkan waktu penggunaan ventilator
(Priambodo, 2016).
Hemodinamik adalah aliran darah dalam sistem peredaran tubuh, baik
melalui sirkulasi magna (sirkulasi besar) maupun sirkulasi parva (sirkulasi
dalam paru paru). Dalam kondisi normal, hemodinamik akan selalu
dipertahankan dalam kondisi yang fisiologis dengan kontrol neurohormonal.
Namun, pada pasien-pasien kritis mekanisme kontrol tidak melakukan
fungsinya secara normal sehingga status hemodinamik tidak akan stabil.
Monitoring hemodinamik menjadi komponen yang sangat penting dalam
perawatan pasien-pasien kritis karena status hemodinamik yang dapat
berubah dengan sangat cepat (Juliarta, 2016)
Status hemodinamik pada pasien dengan penurunan kesadaran juga
dikendalikan oleh susunan syaraf pusat terutama di medula oblongata.
Perubahan status hemodinamika yang diatur di dalam medula oblongata
tersebut dipengaruhi oleh stimulasi sistemik. Peran baroreseptor dalam
menerima stimulasi sistemik sangat berpengaruh dalam menentukan
perubahan status hemodinamika nadi maupun tekanan darah. Stimulus yang
diterima oleh baroreseptor berupa perubahan tekanan dalam pembuluh darah
akan dikirimkan ke pusat pengaturan jantung di medula oblongata. Kemudian
pusat jantung akan menentukan frekuensi dan kekuatan denyut jantung.
Selanjutnya terjadilah penyesuaian-penyesuaian (kompensasi) dalam rangka
3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut
"Hubungan pengkajian nyeri menggunakan CPOT padapasien yang
terpasang ventilator denganperubahan status hemodinamik di Ruang
Intensive Care Unit RSUD Ulin Banjarmasin ?”
C. Tujuan Penelitian
1. Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui Hubungan
pengkajian nyeri menggunakan CPOT padapasien yang terpasang
ventilator denganperubahan status hemodinamik di Ruang Intensive Care
Unit RSUD Ulin Banjarmasin
2. Khusus
a. Mengidentifikasi Hubungan pengkajian nyeri menggunakan CPOT
padapasien yang terpasang ventilator denganperubahan status
hemodinamik di Ruang Intensive Care Unit RSUD Ulin Banjarmasin
b. Menganalisis seberapa besar Hubungan pengkajian nyeri
menggunakan CPOT padapasien yang terpasang ventilator
5
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Hasil penelitian ini dari segi teoritis diharapkan sebagai masukan
yang membangun guna meningkatan kualitas pendidikan serta sebagai
tambahan bahan bacaan diperpustakan khususnya untuk pengkajian
nyeri pada pasien kritis.
2. Praktis
a. Bagi pendidikan
Sebagai acuan untuk mengembangkan strategi efektif untuk
memperdalam pengkajian pasien yang lebih optimal dan menangani
masalah yang terjadi terhadap individu dengan masalah nyeri pada
pasien kritis
b. Bagi Rumah Sakit
Sebagai referensi pemegang kebijakan rumah sakit, untuk
mengidentifikasi masalah terkait peningkatan proses perawatan pada
pasien kritis dengan masalah nyeri
c. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai aplikasi selama proses belajar
dan mendapat pengalaman serta mengembangkan ilmu
pengetahuan bagi peneliti dan penelitian ini juga diharapakan dapat
menjadi data sekunder yang berguna bagi peneliti selanjutnya
E. Keaslian Penelitian
Tabel 1.1 Persamaan dan perbedaan penelitian terkait
No Nama / Judul dan Desain Hasil
Tahun penelitian
1 “Pain Assessment 1. Desain penelitian Terdapat hubungan antara
Among Critically Ill observasional hasil pengukuran respon
Patients Using The analitik dengan nyeri oleh Behavioural Pain
Critical Pain rancangan cross Scales (BPS) dengan hasil
Observation Tool sectional pengukuran oleh Critical Pain
(CPOT) In The Intensive 2. Teknik sampling Observation tool (CPOT).
Care Unit (Priambodo, yang digunakan Hasil ukur CPOT memiliki
2016) yaitu Consecutive tingkat kesesuaian
sampling (agreement) yang baik
dengan hasil ukur BPS pada
pengukuran yang dilakukan
6
2. Komponen nyeri
a. Komponen sensori
Persepsi tentang karakteristik nyeri seperti intensitas, lokasi dan kualitas
nyeri
b. Komponen afektif
Termasuk emosi yang negatif seperti keadaan yang tidak
menyenangkan, kecemasan, ketakutan yang dihubungkan dengan
pengalaman nyeri.
c. Komponen kognitif
Berkenaan dengan interpretasi nyeri oleh orang berdasarkan
pengalamannya.
d. Komponen tingkah laku
Termasuk strategi yang digunakan oleh seseorang untuk
mengekspresikan, menghindari atau mengontrol nyeri
8
9
e. Komponen fisiologis
Berkenaan dengan nociseptif dan respon stres (Urden L, Stacy K, 2010)
4. Fisiologi nyeri
a. Rasa Nyeri
Rasa Nyeri (Nociception), adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan bagaimana nyeri menjadi disadari. Secara klinis nyeri
dapat diberi label “nosiseptif” jika melibatkan nyeri yang berdasarkan
aktivasi dari sistem nosiseptif karena kerusakan jaringan. Meskipun
perubahan neuroplastik (seperti hal-hal yang mempengaruhi sensitisasi
jaringan) dengan jelas terjadi, nyeri nosiseptif terjadi sebagai hasil dari
aktivasi normal sistem sensorik oleh stimulus noksius, sebuah proses
yang melibatkan transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.
Nyeri karena pembedahan mengalami sedikitnya dua perubahan,
pertama karena pembedahan itu sendiri, menyebabkan rangsang
nosiseptif, kedua setelah pembedahan karena terjadinya respon
inflamasi pada daerah sekitar operasi dimana terjadi pelepasan zat-zat
kimia oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia
tersebut antara lain adalah prostaglandin, histamine, serotonin,
bradikinin, substansi P, leukotrien; dimana zat-zat tadi akan ditransduksi
oleh nosiseptor dan ditransmisikan oleh serabut saraf A delta dan C ke
neuroaksis.
Transmisi lebih lanjut ditentukan oleh modulasi kompleks yang
mempengaruhi di medula spinalis. Beberapa impuls diteruskan ke
anterior dan anterolateral dorsal horn untuk memulai respon refleks
segmental. Impuls lain ditransmisikan ke sentral yang lebih tinggi melalui
tractus spinotalamik dan spinoretikular, dimana akan dihasilkan respon
suprasegmental dan kortikal. Respon refeks segmental diasosiasikan
dengan operasi termasuk peningkatan tonus otot lurik dan spasme yang
diasosiasikan dengan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi asam
laktat. Stimulasi dari saraf simpatis menyebabkan takikardi, peningkatan
curah jantung sekuncup, kerja jantung, dan konsumsi oksigen miokard.
Tonus otot menurun di saluran cerna dan kemih. Respon refleks
suprasegmental menghasilkan peningkatan tonus simpatis dan stimulasi
11
Tanda dan gejala aktivasi simpatik sering menyertai nosisepsi dan nyeri:
a. Meningkatnya denyut jantung
b. Meningkatnya tekanan darah
c. Meningkatnya frekuensi napas
d. Dilatasi pupil
e. Mual dan muntah
f. Pucat
14
Pada pasien sakit kritis ekspresi nyeri bisa secara verbal maupun non
verbal sebagai berikut:
Isyarat Verbal Isyarat Wajah Gerakan tubuh
7. Pengkajian nyeri
Menurut American Pain Society, kegagalan staf untuk secara rutin
mengkaji nyeri dan peredaan nyeri adalah alasan yang paling umum untuk nyeri
yang tidak reda pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Pengkajian nyeri
sama pentingnya dengan metode terapi. Nyeri pasien harus dikaji pada interval
teratur untuk menentukan keefektifan terapi, munculnya efek samping,
kebutuhan penyesuaian dosis, atau kebutuhan akan dosis tambahan guna
mengatasi nyeri akibat prosedur. Nyeri harus dikaji ulang pada interval yang
tepat setelah pemberian obat nyeri atau intervensi lainnya, seperti 30 menit
setelah dosis morfin IV.
Dalam perawatan kritis, berbagai kondisi bisa menyertai sehingga
pengkajian nyeri pasien dan terapi lanjutannya sulit dilakukan. Kondisi ini
meliputi :
• Penurunan kesadaran
• Terpasang ventilator
• Intubasi endotrakheal
• Pengaruh obat sedasi
• Kaum lansia dan anak-anak
• Pengaruh Budaya
• Kurangnya pengetahuan
Kesalahan yang umum terjadi di kalangan profesional perawatan
kesehatan adalah bahwa mereka yang paling berkualifikasi untuk menentukan
adanya dan keparahan nyeri pasien. Tidak adanya tanda fisik atau perilaku
15
ya Kemampuan Tanyakan
Pernyataan nyeri
komunikasi baik skala nyeri
Kemampuan Tanyakan
tidak dapat
dikaji komunikasi kurang nyeri/tidak
≥2
Berikan analgesik
Puncak
efek obat
Penurunan skor ≤ 2 Pertimbangkan
Pengkajian dg CPOT
alternative terapi lain
Penurunan
skor ≥ 2
Terapi efektif
18
Indikator Skor Deskripsi
Ekspresi wajah Rileks, netral 0 Tidak terlihat adanya ketegangan
otot
Tegang 1 Merengut, menurunkan alis
Meringis 2 semua gerakan wajah sebelumnya
ditambah kelopak mata tertutup
rapat (pasien bisa juga dengan
mulut terbuka atau menggigit
Tabung endotrakeal)
Gerakan tubuh Adanya gerakan 0 tidak bergerak sama sekali (tidak
atau posisi selalu berarti tidak adanya rasa
normal sakit) atau posisi normal (gerakan
tidak ditujukan terhadap adanya
lokasi nyeri atau tidak dibuat untuk
tujuan perlindungan)
Gerakan 1 lambat, gerakan hati-hati,
perlindungan menyentuh lokasi nyeri, mencari
perhatian melalui gerakan
Gelisah 2 menarik tabung, mencoba untuk
duduk, bergerak badan atau
meronta-ronta, tidak mengikuti
perintah, mencoba untuk bangun
dari tempat tidur
Kepatuhan Toleran terhadap 0 Alarm tidak aktif, ventilasi mudah
dengan ventilator dan
ventilator gerakan
(pasien Batuk tapi masih 1 Batuk, alarm mungkin aktif tapi
berhenti secara
diintubasi) toleran spontan
Melawan 2 Tidak sinkron : blocking ventilasi,
ventilator alarm aktif secara terus menerus
vokalisasi Berbicara dengan 0 Berbicara dengan nada normal atau
(pasien nada normal atau tidak ada suara
diekstubasi). tidak ada suara
Mendesah, 1 Mendesah, mengerang
mengerang
Menangis 2 Menangis terisak-isak
terisak-isak
Ketegangan otot Rileks 0 Tidak resisten terhadap gerakan
pasif
Tegang 1 Resistan terhadap gerakan pasif
Sangat tegang 2 Resisten kuat terhadap gerakan
pasif
19
Pada pasien yang kemudian dilakukan pengkajian nyeri dengan CPOT yang
berdasarkan pada empat domain: ekspresi wajah, gerakan tubuh, ketegangan
otot, dan kepatuhan dengan ventilasi mekanis untuk pasien dengan intubasi dan
vokalisasi untuk pasien ekstubasi. Pasien dinilai 0, 1, atau 2 pada empat
domainnya, CPOT memberikan nilai keseluruhan dari 0 (tidak ada rasa sakit) sampai
8 (sakit maksimum)
20
B. STATUS HEMODINAMIK
Hemodinamik adalah pemeriksaan aspek fisik sirkulasi darah, fungsi
jantung dan karakterisitik fisiologis vaskular perifer (Mosby 1998, dalam Jevon
dan Ewens 2009). Tujuan pemantauan hemodinamik adalah untuk mendeteksi,
mengidentifikasi kelainan fisiologis secara dini dan memantau pengobatan
yang diberikan guna mendapatkan informasi keseimbangan homeostatik tubuh.
Pemantauan hemodinamik bukan tindakan terapeutik tetapi hanya memberikan
informasi kepada klinisi dan informasi tersebut perlu disesuaikan dengan
penilaian klinis pasien agar dapat memberikan penanganan yang optimal.
Dasar dari pemantauan hemodinamik adalah perfusi jaringan yang adekuat,
seperti keseimbangan antara pasokan oksigen dengan yang dibutuhkan,
mempertahankan nutrisi, suhu tubuh dan keseimbangan elektro kimiawi
sehingga manifestasi klinis dari gangguan hemodinamik berupa gangguan
fungsi organ tubuh yang bila tidak ditangani secara cepat dan tepat akan
jatuhke dalam gagal fungsi organ multipel (Jevon & Ewens. (2009).
1. Faktor-faktor yang mempengaruhihemodinamik
Faktor-faktor yang mempengaruhi hemodinamik pasien ICU Antara lain
adalah (Jevon & Ewens, 2009):
a. Penyakit dapat mempengaruhi hemodinamik pasien seperti adanya
gangguan pada organ jantung, paru-paru, ginjal dimana pusat sirkulasi
melibatkan ketiga organ tersebut terutamajika
terjadi di sistem kardiovaskular dan pernafasan.
b. Obat-obatan/terapi seperti analgesik dan sedasi dapat mempengaruhi
status hemodinamik, contohya adalah morfin dimana obat tersebut
dapat meningkatkan frekuensipernafasan.
c. Status psikologi yang buruk atau psychological distress tentu saja akan
mempengaruhi hemodinamik, karena respon tubuhketika stres
memaksa jantung untuk bekerja lebih cepat.
d. Aktifitasyangberlebihakanmeningkatkankerjajantung,danhal tersebut
akan mempengaruhi status hemodinamik.
e. Mode Ventilator yang digunakan mempengaruhi hemodinamik karena
setiap mode memiliki fungsi masing-masing salah satunya
melatih/memaksa pasien untuk bernafas secaraspontan.
b. SistemPernafasan
Pernapasan merupakan proses pemindahan oksigen dari udara
menuju sel-sel jaringan, dan pelepasan karbondioksida dari dalam
sel jaringan menuju udara luar (Purnawan & Saryono, 2010).
Fungsi utama respirasi (pernapasan) adalah memperoleh oksigen
(O2) untuk digunakan oleh sel tubuh dan untuk mengeluarkan CO2
yang diproduksi oleh sel (Sherwood, 2011).
NORMAL
VALUE ABBREVIATION DEFINITION RANGE FORMULA
Denyutan
Tekanan yang
Central CVP 6-12 cm Hasil pengukuran
dihasilkan oleh
Venous H2O4-15
volume darah di
pressur mmHg
dalam jantung
e sebelah kanan
Sangat penting bagi kita untuk mempertahankan MAP diatas 60 mmHg, untuk
menjamin perfusi otak, perfusi arteria coronaria, dan perfusi ginjal tetap terjaga.
2. Invasive Blood Pressure (IBP)
Pengukuran tekanan darah secara invasive dapat dilakukan dengan
melakukan insersi kanule ke dalam arteri yang dihubungkan dengan tranduser.
Tranduser ini akan merubah tekanan hidrostatik menjadi sinyal elektrik dan
menghasilkan tekanan sistolik, diastolic, maupun MAP pada layar monitor.
Setiap perubahan dari ketiga parameter diatas, kapanpun,dan
berapapun maka akan selalu muncul dilayar monitor. Ketika terjadi
vasokonstriksi berat, dimana stroke volume sangat lemah, maka pengukuran
dengan cuff tidak akurat lagi. Maka disinilah penggunaan IBP sangat
diperlukan. Pada kondisi normal, IBP lebih tinggi 2-8 mmHg dari NIBP. Pada
kondisi sakit kritis bisa 10-30 mmHg lebih tinggi dari NIBP.
CENTRAL VENOUS PRESSURE (CVP)
Merupakan pengukuran langsung dari atrium kanan. Central venous
pressure mencerminkan preload ventrikel kanan dan kapasitas vena, sehingga
dapat diketahui volume pembuluh darah atau cairan dan efektifitas jantung
sebagai pompa. CVP adalah pengukuran tekanan di vena cava superior atau
atrium kanan
25
BAB III
METODE PENELITIAN
B. Metode Penelitian
Desain penelitian ini adalah korelasi, dimana Penulis melakukan
pengukuran variable independen dan dependen kemudian menganalisa data
yang terkumpul untuk mencari hubungan antara variable. Metode penelitian
yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross
sectional. Rancangan penelitian cross sectional adalah suatu kegiatan
pengumpulan data dalam suatu penelitian yang dilakukan sekaligus dalam
waktu tertentu dan setiap kali subjek penelitian hanya dilakukan satu kali
pendataan (pengamatan) untuk semua variabel yang diteliti, selama dalam
penelitian itu (Machfoedz, 2014).
C. Populasi Penelitian
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian atau objek yang memiliki
karakteristik tertentu yang akan diteliti (Mulyatiningsih, 2011). Populasi
dalam penelitian ini adalah pasien yang dirawat di ruang Intensif Care Unit
Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin.
26
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari seluruh objek yang diteliti adalah objek
mewakili populasi.
Kriteria inklusi pada sampel yang akan dipilih yaitu:
1. Pasien yang terpasang ventilator
2. Pasien dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki
3. Usia pasien sama ≥18 tahun
4. Diintubasi atau dengan trakeostomi ≥ 48 jam
Kriteria eksklusi pada sampel yang akan dipilih yaitu:
1. Klien dengan usia dibawah 18 tahun
2. Klien tidak bersedia menjadi responden dalam penelitian
E. Pengumpulan Data
1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data
kuantitatif. Pendekatan kuantitatif memandang tingkah laku manusia,
dapat diramal dari realitas sosial; objektif, dan dapat diukur. Penggunaan
pendekatan kuantitatif dengan instrumen yang valid dan reliabel serta
27
analisis statistik yang sesuai akan membuat hasil penelitian yang dicapai
tidak menyimpang dari kondisi yang sesungguhnya (Yusuf, 2014).Critical
Care Pain Observation Tool (CPOT) adalah instrumen pengkajian nyeri
yang dikembangkan menggunakan unsur-unsur perilaku pada pasien
yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal termasuk pasien dengan
ventilator mekanik (Priambodo, 2016).
2. Sumber Data
Berdasarkan sumber data, jenis data dapat dibagi menjadi 2 (dua)
bentuk, yaitu :
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh sendiri oleh peneliti dari
hasil pengukuran, pengamatan, survey dan lain-lain (Setiadi, 2007).
Teknik pengambilan penelitian untuk mengumpulkan data primer
yaitu observasi langsung terhadap pasien yang terpasang ventilator
di ruang intensif care unitRSUD Ulin Banjarmasin.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain,
badan/instansi yang secara rutin mengumpulkan data (Setiadi,
2007). Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti, secara
tidak langsung yaitu dengan cara menelaah status rekam medik
pasien dan data riwayat penyakit pasien, dimana data sekunder ini
dapat mendukung data primer.
3. Cara Pengumpulan Data
a. Peneliti mengidentifikasi pasien yang menjadi responden yang
menjadi responden yang memiliki kriteria sampel yang ditetapkan
b. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mengobservasi pasien
yang terpasang ventilator dengan menggunakan lembar observasi
Critical-Care Pain Observasion Tool (CPOT) sebelum pasien di
observasi pastikan pasien tidak menggunakan sedasi
c. Lembar Obsevasi
Merupakan format yang berisi data demografi pasien, tekanan darah,
denyut nadi, MAP dan format skoring CPOT
d. Skala Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT)
Adalah skala pengukuran nyeri berdasarkan perilaku pasien yang
terdiri dari 4 bagian, dimana setiap bagian memiliki kategori yang
28
30
31
2. Analisis Univariat
a) Pengukuran Tingkat Nyeri Menggunakan Skala CPOT pada pagi
hari
Tabel 2 Pengukuran Tingkat Nyeri Menggunakan Skala CPOT pada
pagi hari
Tingkat Nyeri Frekuensi (n) Persentase (%)
Tidak Nyeri 0 0
Nyeri Ringan 1 12,5
Nyeri Sedang 0 0
Nyeri Berat 6 75,0
Nyeri Sangat Berat 1 12,5
Total 8 100
33
Dari tabel di atas terlihat lebih dari separo pengukuran tingkat nyeri
dengan CPOT pada pagi hari adalah nyeri berat.
3. Analisis Bivariat
Analisis hubungan pengkajian nyeri menggunakan CPOT pada pasien
yang terpasang ventilator dengan perubahan status hemodinamik di
Ruang Intensive Care Unit RSUD Ulin Banjarmasin sebagai berikut:
Correlations
MAP HR RR CVP
Person -218 -293 -.143 -1.000
Correlation
CPOT Sig. (2- .604 .482 .736 .000
tailed)
N 8 8 8 8
Uji statistik menunjukan hasil uji Pearson diperoleh nilai correlation CPOT
terhadap MAP 0,604 ( P>0,05), CPOT terhadap HR 0,482 (P> 0,05),
CPOT terhadap RR 0,736 (P>0,05), CPOT terhadap CVP 0,000 (P>0,05),
dengan demikian disimpulkan tidak ada hubungan hasil pengukuran
tingkat nyeri CPOT terhadap status hemodinamik
4. Pembahasan
Pada penelitian ini MAP penilaian didapatkan rata-rata 104,38 dengan
nilai tertingi 128 mmHg dan terendah 63 mmHg. Nilai MAP meningkat rata-
rata 23,95%. Nilai korelasi CPOT terhadap MAP 0,604 (P>0,05), dengan arti
bahwa tidak ada hubungan Antara tingkat nyeri CPOT dengan MAP. Menurut
peneliti peningkatan MAP bukan hanya disebabkan karena nyeri melainkan
peningkatan MAP dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti penyakit,
obat-obatan, dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh
Jevon (2009) di dalam penelitianya bahwa status hemodinamik dipengaruhi
oleh berbagai macam factor yaitu penyakit, terapi sedasi, dan penggunaan
ventilator mekanik.
Pada penelitian ini rata-rata nilai heart rate ketika sebelum dihentikan
terapi sedasi dan analgesi untuk dilakukan penilaian rata – rata 108,12
dengan nilai terendahnya 96 x/m dan nilai tertingginya 126 x/m. Nilai HR
meningkat dengan rata-rata 21,5% Namun setelah dihentikan terapi sedasi
dan analgesi kemudian dilakukan. Nilai korelasi CPOT terhadap HR 0,482 (P>
0,05) yang diartikan tidak ada korelasi Antara CPOT terhadap HR, namun
pada penelitian Kozier & Erb (2002)menatakan bahwa salah satu dampak
dari nyeri adalah peningkatan denyut nadi.
Pada penelitian ini didapatkan nilai rata-rata respiratori rate pasien
dilakukan penilaian didapatkan rata-rata 29,38 dengan nilai tertingi 38 x/m dan
terendah 23 x/m. Nilai rata-rata peningkatan RR 22,4%. Nilai korelasi CPOT
36
terhadap RR 0,736 (P>0,05) dengan arti bahwa tidak ada hubungan Antara
peningkata RR dengan CPOT. Dalam analisa peneliti bahwa pemberian terapi
sedasi dan analgesi berpengaruh terhadap penurunan angka respirasi pasien
karena sebelum dilakukan penilaian rata-rata pasien mendapatkan terapi
sedasi dan analgesi.
Seperti yang diungkapkan oleh Jevon (2009) di dalam penelitianya bahwa
status hemodinamik dipengaruhi oleh berbagai macam factor yaitu penyakit,
terapi sedasi, dan penggunaan ventilator mekanik. arteri dalam darah dapat
menyebabkan masalah perubahan status mental (mulai dari gangguan
penilaian, orientasi, kelam pikir, letargi, dan koma), dyspnea, peningkatan
tekanan darah, perubahan frekuensi jantung, disritmia, sianosis, diaforesis
dan ekstremitas dingin.
Pada penelitian ini, pemantauan untuk status hemodinamik dilakukan
secara satu kali dalam sehari selama 5 menit dengan menghentikan terapi
sedasi dan analgesik selama 15-20 menit sebelum penilaian.
Hasil penelitian ini yang dilakukan di ruang ICU Rumah Sakit Umum
Daerah Ulin Banjarmasin didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan
antara penilaian CPOT terhadap perubaha sattus hemodinamik. Seperti yang
diungkapkan oleh Jevon (2009) di dalam penelitianya bahwa status
hemodinamik dipengaruhi oleh berbagai macam factor yaitu penyakit, terapi
sedasi, dan penggunaan ventilator mekanik. arteri dalam darah dapat
menyebabkan masalah perubahan status mental (mulai dari gangguan
penilaian, orientasi, kelam pikir, letargi, dan koma), dyspnea, peningkatan
tekanan darah, perubahan frekuensi jantung, disritmia, sianosis, diaforesis
dan ekstremitas dingin.
5. Keterbatasan Penelitian
Penilitian yang dilakukan saat ini mempunyai keterbatasan pada waktu
penelitian yang relatif singkat serta jumlah sampel yang tidak terlalu banyak
A. SIMPULAN
Critical Care Pain Observation Tool (CPOT) adalah instrumen pengkajian nyeri
yang dikembangkan menggunakan unsur-unsur perilaku pada pasien yang
tidak dapat berkomunikasi secara verbal termasuk pasien dengan ventilator
mekanikdengan status hemodinamik pada pasien dengan penurunan
kesadaran juga dikendalikan oleh susunan syaraf pusat terutama di medula
oblongata.
Penelitian yang telah dilakukan mengenai Evaluasi Penggunaan Alat
Ukur Nyeri Critical Pain Observational Tool (CPOT) di ruang Intensive Care Unit
Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin. Responden dalam penelitian ini
berjumlah 8 responden.
Hal ini sejalan dengan penelitian Apriani (2018) dengan hasil penelitian
bahwa instrumen CPOT lebih efektif di bandingkan Wong Bekker. Pengkajian
nyeri CPOT lebih efektif karena didasarkan pada tanda-tanda perilaku seperti
ekspresi wajah, gerakan tubuh, keteraturan terhadap ventilator untuk pasien
terintubasi, vokalisasi nyeri untuk pasien yang tidak terintubasi dan ketegangan
otot.
Hasil penelitian ini yang dilakukan di ruang ICU Rumah Sakit Umum
Daerah Ulin Banjarmasin didapatkan hasil bahwa nilai tekanan pre dan post an
mengalami peningkatan setelah terapi sedasi dan analgesi, maka dalam
penelitian ini dapat diambil keputusan bahwa ada pengaruh pemberian terapi
sedasi dan analgesi terhadap status hemodinamik tetapi tidak ada hubungan
antara penilaian CPOT terhadap perubahan status hemodinamik.
B. SARAN
1. Bagi Ruangan
Mempermudah perawat dalam melakukan pengkajian dan penilaian skala
nyeri pada pasien yang terpasang ventilator.
2. Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipertahankan dalam meningkatkan
pelayanan berkenaan dengan penggunaan alat ukur nyeri critical pain
observational tool ( CPOT ).
37
38
3. Bagi Institusi
Agar lebih melatih mahasiswa yang praktik di ruang ICU untuk lebih
memperhatikan dalam menilai derajat nyeri pasien kritis sesuai dengan skala
pengukuran nyeri yang ada.
4. Bagi peneliti lain
Agar penelitian ini dapat dikembangkan lagi dengan meneliti faktor-faktor
lain yang mempengaruhi dalam penggunaan alat ukur CPOT.
39
DAFTAR PUSTAKA
Barr J, Fraser GL, Puntillo K, et al. Clinical practice guidelines for the management
of pain, agitation, and delirium in adult patients in the intensive care
unit. Crit Care Med 2013; 41: 263-306.
Chanques G, Sebbane M, Barbotte E, Viel E, Eledjam JJ, Jaber S. A prospective
study of pain at rest: incidence and characteristics of an unrecognized
symptom in surgical and trauma versus medical intensive care unit
patients. Anesthesiology 2007; 107: 858-60.
Gelinas, C., & Johnston, C. (2007). Pain assessment in the critically ill ventilated
adult: Validation of the critical care observation tool and physiologic
indicators. Clinical Journal of the Pain, 23, 497–505.
Gelinas, C. (2007). Management of pain in cardic surgery ICU patients: Have we
improved over time?. Intensive Crit Care Nurs, 23, 298–303
Gélinas C, Puntillo KA, Joffe AM, Barr J. A validated approach to evaluating
psychometric properties of pain assessment tools for use in
nonverbal critically ill adults. Semin Respir Crit Care Med 2013; 34:
153-68.
Jevon, P., & Ewens. B. 2009. Pemantauan Pasien Kritis (Edisi 2). Jakarta:
Erlangga Priambodo, et al. Pengkajian nyeri pada pasien kritis
dengan menggunakan Critical Pain Observation Tool (CPOT) di
Intensive Care Unit. Jurnal Ilmu Kesehatan 2016; 4: Available at: http:
// jkp. fkep. unpad. ac. id/ index. php/ jkp/ article/ view/239.
Nuraeni, et al. Gambaran tingkat nyeri pasien pasca operasi jantung di ruang
intensif jantung rs x bandung. Jurnal Keperawatan ‘Aisyiyah 2016; 3:
Availabel at: http: // jurnal keperawatan. Stikes aisyiyah bandung. ac.
id/ jurnal. php? Jurnal = edisi _jurnal &id=525&
Price SA, Wilson LM. Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit Vol. 2.
Edisi 6. Jakarta: EGC;2005. p. 1063-1083.Rose L, et al. Critical care
nurses pain assessment and management : A Surgary in Canada.
American Journal of Critical Care 2012, 21: Available at: http: // ajcc.
aacnjournals. org/ content/ 21 /4 /251. abstract.
Sutari MM, et all. Pain Among Mechanically Ventilated Patients in Critical Care
Units. 2014: Available at: https: // www. ncbi. nlm. nih. gov/ pmc
/articles /PMC4235092/
40
LAMPIRAN-LAMPIRAN
MAP
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
HR
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
RR
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
CVP
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Correlations
N 8 8 8 8 8
N 8 8 8 8 8
N 8 8 8 8 8
N 8 8 8 8 8
N 8 8 8 8 8