Anda di halaman 1dari 43

BAB l

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nyeri merupakan suatu respon alami yang bersifat langsung terhadap
suatu peristiwa atau kejadian yang tidak mengenakkan karena kerusakan
jaringan, seperti proses penyakit atau tindakan pengobatan dan pembedahan
( Hayati, 2014 dalam Apriani et al, 2018). Munculnya nyeri pada pasien
penurunan kesadaran disebabkan oleh penyakit akut dan banyaknya
intervensi dan tindakan yang dilakukan di ICU seperti: operasi, trauma,
tindakan invasif, perawatan luka dan perubahan posisi pada pasien (Sutari,
2014 dalam Apriani et al, 2018).
Nyeri adalah kekhawatiran terbesar pasien di unit perawatan intensif
(ICU). Sebagian besar pasien sakit kritis mengalami nyeri sedang sampai
hebat. Penatalaksanaan nyeri telah menjadi prioritas nasional dalam
beberapa tahun terakhir, namun nyeri terus disalah artikan, dikaji dengan
buruk, dan tidak ditangani dengan adekuat di ICU dan banyak tatanan
perawatan kesehatan lainnya. Nyeri yang tidak terkontrol memicu respon stres
fisik dan emosional, menghambat penyembuhan, meningkatkan resiko
komplikasi lainnya dan meningkatkan masa rawat inap di ICU (Gonce P,
Fontaine D, Hudak C, Gallo B, 2012).
Prosedur rutin yang sering dilakukan pada pasien dengan penurunan
kesadaran salah satunya adalah memiringkan pasien (Morton, 2011 dalam
Apriani et al, 2018). Pasien dengan penurunan kesadaran yang mengalami
tingkat nyeri yang tidak teratasi akan beresiko mengganggu psikologis,
fisiologis tubuh pasien, dan dapat mengancam jiwa pasien. Selain merasakan
ketidaknyamanan dan mengganggu, nyeri yang tidak reda atau tidak teratasi
akan mempengaruhi sistem pulmonari, kardiovaskular, gastrointestinal,
endokrin, immunologic dan perubahan hemodinamik (Nuraeni et al, 2016).
Intensive Care Unit (ICU) merupakan suatu bagian mandiri dari rumah
sakit yang dilengkapi dengan tenaga medis dan teknologi khusus serta
canggih dalam pemberian terapi serta menunjang fungsi-fungsi vital tubuh
pasien dalam kondisi kritis yang mengancam nyawa (Kemenkes, 2011 dalam
Apriani et al, 2018). Pasien di unit perawatan intensive memiliki

1
2

berbagai pengalaman yang kompleks dan kondisi yang mengancam jiwa, dan
memiliki masalah dengan rasa nyeri dan ketidaknyamanan (Gelinas, 2007
dalam Priambodo el at, 2016). Insidensi nyeri pada pasien kritis lebih besar
dari 50 % pengalaman nyeri dirasakan ketika istirahat maupun selama
menjalani prosedur klinis yang rutin dilaksanakan (Chanques et al., 2006,
Payen et al., 2007, Puntillo et al., 2014 dalam Priambodo et al, 2016),
sedangkan menurut Stites (2013) dalam Apriani et al, 2018 menyebutkan
bahwa Pasien yang dirawat di ICU diperkirakan 71% diantaranya mengalami
rasa nyeri selama perawatan. Nyeri merupakan gejala yang paling sering
terjadi pada pasien dengan penurunan kesadaran.
Tidak adekuatnya pengkajian nyeri dapat menyebabkan tidak
dikenalinya masalah nyeri sehingga nyeri tidak tertangani. Nyeri yang tidak
ditangani secara optimal dapat menimbulkan dampak yang buruk terhadap
fungsi fisiologis (fluktuasi tanda-tanda vital, nosokomial infeksi), meningkatkan
waktu rawat inap di ICU, meningkatkan waktu penggunaan ventilator
(Priambodo, 2016).
Hemodinamik adalah aliran darah dalam sistem peredaran tubuh, baik
melalui sirkulasi magna (sirkulasi besar) maupun sirkulasi parva (sirkulasi
dalam paru paru). Dalam kondisi normal, hemodinamik akan selalu
dipertahankan dalam kondisi yang fisiologis dengan kontrol neurohormonal.
Namun, pada pasien-pasien kritis mekanisme kontrol tidak melakukan
fungsinya secara normal sehingga status hemodinamik tidak akan stabil.
Monitoring hemodinamik menjadi komponen yang sangat penting dalam
perawatan pasien-pasien kritis karena status hemodinamik yang dapat
berubah dengan sangat cepat (Juliarta, 2016)
Status hemodinamik pada pasien dengan penurunan kesadaran juga
dikendalikan oleh susunan syaraf pusat terutama di medula oblongata.
Perubahan status hemodinamika yang diatur di dalam medula oblongata
tersebut dipengaruhi oleh stimulasi sistemik. Peran baroreseptor dalam
menerima stimulasi sistemik sangat berpengaruh dalam menentukan
perubahan status hemodinamika nadi maupun tekanan darah. Stimulus yang
diterima oleh baroreseptor berupa perubahan tekanan dalam pembuluh darah
akan dikirimkan ke pusat pengaturan jantung di medula oblongata. Kemudian
pusat jantung akan menentukan frekuensi dan kekuatan denyut jantung.
Selanjutnya terjadilah penyesuaian-penyesuaian (kompensasi) dalam rangka
3

mempertahankan keseimbangan hemodinamik dan neuroreseptor nyeri


(Rihiartoro, 2008).
Manajemen yang tepat dari nyeri tergantung pada pengkajian nyeri yang
sistematis dan akurat. Nyeri seharusnya dikaji secara rutin dan terstruktur,
tetapi hal ini seringkali tidak dilakukan (Barr et al., 2013 dalam Priambodo,
2016). Alat ukur pengkajian nyeri yang valid dan direkomendasikan telah
tersedia, namun banyak perawat yang tidak menggunakannya (Rose et al.,
2012 dalam Priambodo, 2016). Banyak pasien di ICU yang karena kondisi
penyakitnya, menyebabkan pasien tidak sadarkan diri atau menggunakan alat
bantu napas ventilator, sehingga mereka tidak dapat mengkomunikasikan
rasa nyerinya. Dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa sebagian besar
perawatan di ICU tidak melakukan pengkajian nyeri pada pasien penurunan
kesadaran dan pada pasien yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal.
Hal ini menjadi suatu tantangan bagi perawat ICU, kerena beratnya intensitas
nyeri pasien sering diremehkan (Ahlers et al., 2008 dalam Priambodo, 2016).
Kompleksnya pengkajian nyeri di area keperawatan kritis memerlukan
pengkajian nyeri yang komprehensif sebagai evaluasi yang objektif melalui
pengamatan pada indikator rasa nyeri. Namun, tidak ada alat yang sempurna
untuk mengevaluasi rasa nyeri. Penggunaan skala nyeri berdasarkan
indikator perilaku direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa
mengkomunikasikan rasa nyerinya, dengan mengamati fungsi motorisnya
(Barr et al., 2013 dalam Priambodo, 2016)
Menurut Puntillo et al (2014) dalam Priambodo (2016) meneliti perilaku
yang ditunjukkan oleh pasien yang mengalami rasa nyeri dan mengidentifikasi
sejumlah indikator perilaku nyeri (pada pasien yang sadar) dengan tujuan
untuk dijadikan acuan dalam mengidentifikasi rasa nyeri pada pasien dengan
sedasi dan tidak sadarkan diri. Termasuk meringis, kekakuan, menutup mata,
dan mengepalkan tangan. Berbagai alat ukur nyeri telah tersedia, tetapi belum
secara pasti keandalannya untuk diterapkan dalam beragam populasi pasien
ICU. Menurut Tahka et al (2009) dalam Priambodo (2016) mengidentifikasi
lima alat ukur pengkajian nyeri untuk digunakan pada pasien kritis yang tidak
mampu memverbalisasikan intensitas nyerinya,yaitu Behavioral Pain Scales
(BPS), Critical Care Pain Observation Tool (CPOT), Non Verbal Adult Pain
Assessment Scale (NVPS), Pain Assessment and Intervention Notation
Algorithm (PAIN), dan Pain Assessment Algorithm.
4

Critical Care Pain Observation Tool (CPOT adalah instrumen pengkajian


nyeri yang dikembangkan menggunakan unsur-unsur perilaku pada pasien
yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal termasuk pasien dengan
ventilator mekanik (Priambodo, 2016) sedangkan menurut Miaskowski (2008)
dalam Purwana (2016) menyebutkan Critical Pain Observational Tool (CPOT)
merupakan skala nyeri yang mengevaluasi empat perilaku domain: gerakan
tubuh, ekspresi wajah, ketegangan otot dan kepatuhan ventilator/ Tiberias.
Alat ini memberikan bukti yang baik untuk wajah, konstruktif, dan kriteria
validitas. CPOT lebih rutin digunakan karena membantu dalam perawatan
dan mempengaruhi pengkajian nyeri yang dilaksanakan. CPOT juga
mudah untuk digunakan mengkaji nyeri pada pasien yang disedasi, tidak
sadar dan diintubasi sehingga mencakup pasien di ICU, sehingga Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui keefektifanpengkajian nyeri menggunakan
instrumen CPOTterhadap perubahan status hemodinamik pada pasien kritis
yang terpasang ventilator mekanik.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut
"Hubungan pengkajian nyeri menggunakan CPOT padapasien yang
terpasang ventilator denganperubahan status hemodinamik di Ruang
Intensive Care Unit RSUD Ulin Banjarmasin ?”

C. Tujuan Penelitian
1. Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui Hubungan
pengkajian nyeri menggunakan CPOT padapasien yang terpasang
ventilator denganperubahan status hemodinamik di Ruang Intensive Care
Unit RSUD Ulin Banjarmasin
2. Khusus
a. Mengidentifikasi Hubungan pengkajian nyeri menggunakan CPOT
padapasien yang terpasang ventilator denganperubahan status
hemodinamik di Ruang Intensive Care Unit RSUD Ulin Banjarmasin
b. Menganalisis seberapa besar Hubungan pengkajian nyeri
menggunakan CPOT padapasien yang terpasang ventilator
5

denganperubahan status hemodinamik di Ruang Intensive Care Unit


RSUD Ulin Banjarmasin

D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Hasil penelitian ini dari segi teoritis diharapkan sebagai masukan
yang membangun guna meningkatan kualitas pendidikan serta sebagai
tambahan bahan bacaan diperpustakan khususnya untuk pengkajian
nyeri pada pasien kritis.
2. Praktis
a. Bagi pendidikan
Sebagai acuan untuk mengembangkan strategi efektif untuk
memperdalam pengkajian pasien yang lebih optimal dan menangani
masalah yang terjadi terhadap individu dengan masalah nyeri pada
pasien kritis
b. Bagi Rumah Sakit
Sebagai referensi pemegang kebijakan rumah sakit, untuk
mengidentifikasi masalah terkait peningkatan proses perawatan pada
pasien kritis dengan masalah nyeri
c. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai aplikasi selama proses belajar
dan mendapat pengalaman serta mengembangkan ilmu
pengetahuan bagi peneliti dan penelitian ini juga diharapakan dapat
menjadi data sekunder yang berguna bagi peneliti selanjutnya

E. Keaslian Penelitian
Tabel 1.1 Persamaan dan perbedaan penelitian terkait
No Nama / Judul dan Desain Hasil
Tahun penelitian
1 “Pain Assessment 1. Desain penelitian Terdapat hubungan antara
Among Critically Ill observasional hasil pengukuran respon
Patients Using The analitik dengan nyeri oleh Behavioural Pain
Critical Pain rancangan cross Scales (BPS) dengan hasil
Observation Tool sectional pengukuran oleh Critical Pain
(CPOT) In The Intensive 2. Teknik sampling Observation tool (CPOT).
Care Unit (Priambodo, yang digunakan Hasil ukur CPOT memiliki
2016) yaitu Consecutive tingkat kesesuaian
sampling (agreement) yang baik
dengan hasil ukur BPS pada
pengukuran yang dilakukan
6

pada saat istirahat dan


positioning
CPOT merupakan alat ukur
nyeri yang cukup aplikatif
untuk digunakan di area
perawatan kritis karena
memiliki definisi operasional
yang jelas pada setiap butir
observasinya..

2 "Effectiveness Of Power 1. Desain penelitian Instrumen CPOT lebih efektif


Contruction Cpot And observasional di bandingkan Wong Bekker.
Wong Bekker analitik dengan Pengkajian nyeri CPOT lebih
Awareness Declines Of rancangan cross efektif karena didasarkan
Patient " (Apriani, 2018) sectional pada tanda-tanda perilaku
2. Teknik sampling seperti ekspresi wajah,
yang digunakan gerakan tubuh, keteraturan
Purposive terhadap ventilator untuk
Sampling pasien terintubasi, vokalisasi
3. Uji nyeri untuk pasien yang tidak
hipotesismenggu terintubasi dan ketegangan
nakan uji wilcoxon otot.
dengan uji
analisis
menggunakan
Man Whitney

3 Critical-Care Pain 1. Penelitian ini Skala CPOT


Observation Tool merupakan merupakan alat ukur yang
(CPOT) And Wong- penelitian lebih reliabel,
Baker Faces Pain komparatif valid dan tanggap dalam
Rating dengan menilai nyeri
Scale In Measuring Pain pengukuran pada pasien dengan ventilasi
Level Of Patient With berulang mekanik
Mechanical 2. Teknik sampling
Ventilation(Arsyawina, yang digunakan
2014) yaitu non
probability
sampling dengan
consecutive
sampling
3. Instrumen
penelitian ini
adalah skala
CPOTdan Wong-
Baker Faces Pain
Rating Scale.

4 Comparison Between 1. Penelitian ini Ada peningkatan yang


Critical Care Pain merupakan signifikan pada kedua
Observation Tool And penelitian variabel hemodinamik,
Physiologic Indicators kuantitatif dengan tekanan darah sistolik dan
For Pain Assessment In pengukuran tekanan darah diastolik)
The Critically Ill, berulang selama prosedur yang
Mechanically Ventilated 2. Pasien menerima menyakitkan kecuali untuk
Adult Patients (Khanna sedasi sesuai detak jantung selama
Et Al, 2018) protokol penentuan posisi. Korelasi
institusional antara skala CPOT dan
7

menggunakan Ramsay adalah negatif dan


infus morfin dan signifikan
midazolam Penelitian ini memberikan
3. Korelasi antara bukti bahwa CPOT memiliki
parameter yang sifat sikometrik yang baik. Ini
diteliti dianalisis mungkin terbukti berguna
menggunakan untuk penilaian nyeri pada
koefisien korelasi pasien sakit kritis yang tidak
Pearson. P <0,05 berkomunikasi
dianggap
signifikan secara
statistik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR NYERI


1. Definisi

International Society for the Study of Pain mendefinisikan nyeri


sebagai suatupengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial
atau digambarkan sebagai kerusakan itu sendiri (Gonce P, Fontaine D,
Hudak C, Gallo B, 2012)
Nyeri pada perawatan kritis merupakan sebuah pengalaman subjektif
dan multidimensi. Pengalaman nyeri pada pasien kritis adalah akut dan
memiliki banyak sebab, seperti dari proses penyakitnya, monitoring dan
terapi (perangkat ventilasi, intubasi endotrakheal), perawatan rutin (suction,
perawatan luka, mobilisasi), immobilitas berkepanjangan dan trauma. Nyeri
dilaporkan nyeri sedang-berat. Nyeri yang berkepanjangan dapat
mengurangi mobilitas pasien sehingga bisa menimbulkan emboli paru dan
pneumonia.

2. Komponen nyeri

a. Komponen sensori
Persepsi tentang karakteristik nyeri seperti intensitas, lokasi dan kualitas
nyeri
b. Komponen afektif
Termasuk emosi yang negatif seperti keadaan yang tidak
menyenangkan, kecemasan, ketakutan yang dihubungkan dengan
pengalaman nyeri.
c. Komponen kognitif
Berkenaan dengan interpretasi nyeri oleh orang berdasarkan
pengalamannya.
d. Komponen tingkah laku
Termasuk strategi yang digunakan oleh seseorang untuk
mengekspresikan, menghindari atau mengontrol nyeri

8
9

e. Komponen fisiologis
Berkenaan dengan nociseptif dan respon stres (Urden L, Stacy K, 2010)

3. Jenis-jenis nyeri yang sering dijumpai di bagian gawat darurat


a. Nyeri akut
1) Karakteristik : serangan datang mendadak, terjadi akibat kerusakan
jaringan, durasinya singkat kurang dari 6 bulan, bisa diidentifikasi area
nyerinya, tanda dan gejala objektifnya spesifik seperti takikardi,
hipertensi, diaforesis, midriasis dan pucat, serta timbul kecemasan
2) Penyebab : trauma, pembedahan, prosedur, fraktur, infeksi,
pankreatitis
b. Nyeri kronis
1) Karakteristik : nyeri yang menetap selama lebih dari 6 bulan, disertai
awitan yang temporer yang batasnya tidak jelas.
2) Penyebab : artritis, migrain, nyeri pelvis, low back pain
c. Nyeri kanker
1) Karakteristik : nyeri kanker dapat akut, kronik, intermiten atau
campuran juga bisa berupa kombinasi dari berbagai nyeri.
2) Penyebab : Tumor, HIV/AIDS, kemoterapi, terapi radiasi
d. Nyeri neuropathic
1) Karakteristik : digambarkan seperti rasa terbakar, tertusuk seperti
sensasi kejut, atau seperti dijepit. Nyeri ini dibagi menjadi tiga kategori
utama yaitu nyeri deaferentasi akibat kerusakan, nyeri yang melewati
jaras simpatis akibat trauma, nyeri neuropatik perifer pada cedera
saraf.
2) Penyebab : lesi primer, disfungsi sistem saraf pusat dan saraf perifer
e. Nyeri Viseral
1) Karakteristik : digambarkan sebagai nyeri konstan, sulit dilokalisasi,
dalam atau meremas-remas dan biasanya mengacu pada sisi
kutaneus. Nyeri visera akut dapat disertai gejala otonom seperti mual
muntah.
2) Penyebab : iskemia, oklusi vena, obstruksi usus
f. Nyeri Somatik
10

1) Karakteristik : digambarkan sebagai nyeri konstan, terlokalisasi,


berdenyut, perih atau tajam.
2) Penyebab : metastase kanker tulang (Kemp C, 2010)

4. Fisiologi nyeri
a. Rasa Nyeri
Rasa Nyeri (Nociception), adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan bagaimana nyeri menjadi disadari. Secara klinis nyeri
dapat diberi label “nosiseptif” jika melibatkan nyeri yang berdasarkan
aktivasi dari sistem nosiseptif karena kerusakan jaringan. Meskipun
perubahan neuroplastik (seperti hal-hal yang mempengaruhi sensitisasi
jaringan) dengan jelas terjadi, nyeri nosiseptif terjadi sebagai hasil dari
aktivasi normal sistem sensorik oleh stimulus noksius, sebuah proses
yang melibatkan transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.
Nyeri karena pembedahan mengalami sedikitnya dua perubahan,
pertama karena pembedahan itu sendiri, menyebabkan rangsang
nosiseptif, kedua setelah pembedahan karena terjadinya respon
inflamasi pada daerah sekitar operasi dimana terjadi pelepasan zat-zat
kimia oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia
tersebut antara lain adalah prostaglandin, histamine, serotonin,
bradikinin, substansi P, leukotrien; dimana zat-zat tadi akan ditransduksi
oleh nosiseptor dan ditransmisikan oleh serabut saraf A delta dan C ke
neuroaksis.
Transmisi lebih lanjut ditentukan oleh modulasi kompleks yang
mempengaruhi di medula spinalis. Beberapa impuls diteruskan ke
anterior dan anterolateral dorsal horn untuk memulai respon refleks
segmental. Impuls lain ditransmisikan ke sentral yang lebih tinggi melalui
tractus spinotalamik dan spinoretikular, dimana akan dihasilkan respon
suprasegmental dan kortikal. Respon refeks segmental diasosiasikan
dengan operasi termasuk peningkatan tonus otot lurik dan spasme yang
diasosiasikan dengan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi asam
laktat. Stimulasi dari saraf simpatis menyebabkan takikardi, peningkatan
curah jantung sekuncup, kerja jantung, dan konsumsi oksigen miokard.
Tonus otot menurun di saluran cerna dan kemih. Respon refleks
suprasegmental menghasilkan peningkatan tonus simpatis dan stimulasi
11

hipotalamus. Konsumsi dan metabolisme oksigen selanjutnya akan


meningkat.
b. Perjalanan nyeri
Ada empat proses yang terjadi pada perjalanan nyeri yaitu
transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.
1) Transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi
suatuaktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf sensorik.
Rangsang ini dapat berupa stimulasi fisik, kimia, ataupun panas yang
merusak jaringan. Pada perawatan kritis banyak rangsangan rasa
nyeri termasuk kondisi penyakit pasien, terpasang berbagai alat
teknologi yang canggih seperti ventilator, dan banyak tindakan lain
yang harus dijalani oleh pasien. Rangsangan tersebut akan
merangsang pelepasan banyak zat-zat kimia seperti prostaglandin,
bradikinin, serotonin, histamin, glutamate dan zat P.
2) Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan
oleh prosestransduksi sepanjang jalur nyeri, dimana molekul - molekul
di celah sinaptik mentransmisi informasi dari satu neuron ke neuron
berikutnya. Secara umum ada 2 cara bagaimana sensasi nosiceptive
dapat mencapai sistem saraf pusat yaitu melalui traktus
neospinotalamikus untuk nyeri cepat yang melalui serat A-delta dan
traktus paleospinotalamikus untuk nyeri lambat yang melalui serat C.
Serabut A-delta mentransmisikan nyeri tajam dan tusukan sedangkan
serat C menghantarkan sensasi berupa sentuhan, getaran, suhu dan
tekanan halus.
3) Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi ini
dapatterjadi pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai
ke korteks serebri. Modifikasi ini dapat berupa augmentasi
(peningkatan) ataupun inhibisi (penghambatan).
4) Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah
mencapai kortekssehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya
diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri
tersebut. (Urden L, Stacy K, 2010)
12

Gambar. 1 Pain Neurochemistry

c. Respon stres Fisiologis


Merupakan sebuah stressor yang diaktifkan oleh nyeri. Respon stres ini
melibatkan sistem saraf, endokrin dan kekebalan tubuh dalam hipotalamo-
pituitary-adrenal axis. Pada kondisi nyeri hipotalamus akan melepaskan
mediator kortikotropin (CRF) yang mengaktifkan sistem saraf simpatis
kemudian norepineprin dikeluarkan dari terminal saraf simpatis dan epineprin
dikeluarkan dari saluran luar adrenal. Dampak dari hormon stres ini
menyebabkan pengamatan terhadap respon fisiologis yang terkait dengan
aktivasi sistem saraf simpatis, yaitu sebagai berikut :
• Meningkatnya denyut jantung
• Meningkatnya tekanan darah
• Meningkatnya frekuensi napas
• Dilatasi pupil
• Mual dan muntah
• Pucat
Setelah respon stres diatas, CRF dikeluarkan dari hipotalamus dan
merangsang kelenjar hipofise anterior untuk melepaskan hormon ACTH
sedangkan kelenjar hipofise posterior melepaskan hormon vasopresin dan
ADH. ACTH mengaktifkan sal luar adrenal utk melepaskn hormon
aldosteron dan kortisol. Vasopresin dan aldosteron meningkatkan
penyimpanan sodium dan air sehingga volume intravaskuler meningkat,
diuresis menurun sehingga tekanan darah menjadi meningkat. Kortisol
mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan 2 cara : immunosupresi
dan pelepasan sitokin
13

5. Etiologi dan faktor resiko


a. Kondisi akut
1) Pembedahan (insisi, adanya drain, tube, perangkat keras ortopedi )
2) Trauma (fraktur, laserasi)
3) Kondisi medis (pankreatitis, kolitis ulseratif, migrain)
4) Kondisi psikologis (kecemasan) yang dapat meningkatkan persepsi
nyeri, memperpanjang rasa nyeri dan menurunkan ambang nyeri.
b. Prosedur (suction, paracentesis, pemasangan atau pencabutan kateter)
c. Immobilitas
d. Kondisi nyeri kronis, seperti kondisi muskuloskeletal (artritis, low back pain,
fibromialgia) dan kondisi lainnya (kanker, stroke, neuropati
diabetikum)(Alspach J, 2006)
6. Tanda dan gejala
Respon manusia terhadap rasa nyeri bisa terjadi dari keduanya baik fisik dan
emosional. respon fisiologis terhadap nyeri adalah hasil dari aktivasi
hipotalamus dari sistem saraf simpatik yang berhubungan dengan respon stres.
aktivasi simpatik menyebabkan:
a. Perpindahan darah dari pembuluh darah yang dangkal ke otot, jantung,
paru-paru dan sistem saraf
b. Dilatasi bronkhial untuk meningkatkan oksigenasi
c. Meningkatkan kontraktilitas jantung
d. Menghambat sekresi dan kontraksi lambung
e. Meningkatkan sirkulasi gula darah untuk energy

Tanda dan gejala aktivasi simpatik sering menyertai nosisepsi dan nyeri:
a. Meningkatnya denyut jantung
b. Meningkatnya tekanan darah
c. Meningkatnya frekuensi napas
d. Dilatasi pupil
e. Mual dan muntah
f. Pucat
14

Pada pasien sakit kritis ekspresi nyeri bisa secara verbal maupun non
verbal sebagai berikut:
Isyarat Verbal Isyarat Wajah Gerakan tubuh

Mengerang Meringis Splinting

Menangis Mengernyit Menggosok

Menjerit Sinyal mata Mengayun

Diam gerakan rhytmic ekstremitas.


gemetar atau menekan rel tempat tidur.
meraih lengan perawat

Sumber : (Chulay M, Burns S, 2006)

7. Pengkajian nyeri
Menurut American Pain Society, kegagalan staf untuk secara rutin
mengkaji nyeri dan peredaan nyeri adalah alasan yang paling umum untuk nyeri
yang tidak reda pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Pengkajian nyeri
sama pentingnya dengan metode terapi. Nyeri pasien harus dikaji pada interval
teratur untuk menentukan keefektifan terapi, munculnya efek samping,
kebutuhan penyesuaian dosis, atau kebutuhan akan dosis tambahan guna
mengatasi nyeri akibat prosedur. Nyeri harus dikaji ulang pada interval yang
tepat setelah pemberian obat nyeri atau intervensi lainnya, seperti 30 menit
setelah dosis morfin IV.
Dalam perawatan kritis, berbagai kondisi bisa menyertai sehingga
pengkajian nyeri pasien dan terapi lanjutannya sulit dilakukan. Kondisi ini
meliputi :
• Penurunan kesadaran
• Terpasang ventilator
• Intubasi endotrakheal
• Pengaruh obat sedasi
• Kaum lansia dan anak-anak
• Pengaruh Budaya
• Kurangnya pengetahuan
Kesalahan yang umum terjadi di kalangan profesional perawatan
kesehatan adalah bahwa mereka yang paling berkualifikasi untuk menentukan
adanya dan keparahan nyeri pasien. Tidak adanya tanda fisik atau perilaku
15

seringkali salah diinterpretasikan sebagai tidak ada nyeri. Agar dapat


melakukan pengkajian nyeri yang efektif, perawat perawatan kritis harus
mendapatkan laporan diri pasien. Pengamatan perilaku dan perubahan
parameter fisik harus dipertimbangkan dengan laporan diri pasien.
a. Laporan diri pasien
Karena nyeri adalah pengalaman subjektif, laporan diri pasien adalah
sumber informasi yang paling andal mengenal adanya nyeri dan
intensitasnya. Laporan diri pasien harus diperoleh tidak hanya pada saat
intirahat, namun selama aktifitas rutin, seperti pada saat batuk, napas dalam
dan miring. Apabila pasien dapat berkomunikasi perawat perawatan kritis
harus menerima gambaran nyeri pasien sebagai sesuatu yang valid. Dalam
mengkaji kualitas nyeri, perawat harus mendapatkan gambaran verbal
spesifik mengenai nyeri pasien misalnya seperti “terbakar”, “remuk”,
“tertusuk”, “tumpul” atau “tajam” dengan teknik PQRST
b. Observasi
Pasien yang mengalami nyeri dapat memperlihatkan manifestasi
perilaku khusus. Perilaku perlindungan seperti guarding, menarik diri, dan
menghindari gerakan akan melindungi pasien dari stimulus yang
menimbulkan nyeri. Upaya yang dilakukan oleh pasien untuk meredakan
nyeri seperti menggosok daerah nyeri, mengganti posisi atau meminta obat
pereda nyeri adalah perilaku paliatif. Menangis, merengek atau menjerit
adalah perilaku afektif dan menggambarkan respon emosional terhadap
nyeri.
Pasien yang tidak dapat bicara dapat menggunakan ekspresi wajah
atau mata, gerakan tangan atau tungkai untuk menyatakan nyerinya.
Kegelisahan atau agitasi dapat terlihat pada pasien yang tidak dapat
memberikan respon. Masukan dari keluarga dapat membantu
menginterpretasikan manifestasi perilaku nyeri yang spesifik berdasarkan
pengetahuan mereka terhadap perilaku nyeri pasien sebelum dirawat di
rumahsakit.
c. Parameter Fisiologis
Perawat perawatan kritis terampil dalam mengkaji status fisik pasien yang
meliputi perubahan tekanan darah, frekuensi jantung atau pernapasan. Oleh
karena itu masuk akal apabila observasi terhadap efek fisiologis nyeri akan
membantu pengkajian nyeri. Akan tetapi, pada pasien yang sakit kritis,
16

mungkin sulit menghubungkan perubahan fisiologis ini secara khusus


dengan nyeri bukan penyebab lainnya.Kadangkala terdapat perbedaan
antara laporan diri pasien dengan manifestasi perilaku dan fisiologis.
Sebagai contoh, satu orang pasien dapat melaporkan nyeri bernilai 2 dari
10, sementara ia mengalami takikardi, diaforesis, dan splinting pernapasan.
Pasien yang lain dapat memberikan laporan diri 8 dari 10 sambil tersenyum.
Perbedaan ini dapat disebabkan oleh penggunaan aktivitas pengalihan,
keterampilan koping, kepercayaan mengenai nyeri, latar belakang budaya
ketakutan akan kecanduan, atau takut menyusahkan staf keperawatan
(Gonce P, Fontaine D, Hudak C, Gallo B, 2012)

8. Pengukuran intensitas nyeri


Nyeri dinilai berdasarkan tingkah laku manusia, yang secara kultur
mempengaruhi, sehingga latar belakang mempengaruhi ekspresi dan
pemahaman terhadap nyeri. Nyeri merupakan respon fisiologis terhadap
kerusakan jaringan dan juga mempengaruhi respon emosional dan tingkah
laku berdasarkan pengalaman nyeri seseorang dimasa lalu dan persepsi
terhadap nyeri.
Definisi nyeri sendiri dalam asuhan keperawatan adalah ketika
seseorang merasakan nyeri dan menyatakannya. Perhatian harus diberikan
kepada pasien yang tidak mampu berkomunikasi secara verbal. Persepsi dan
interpretasi terhadap input nosiseptif, respon emosional terhadap persepsi
(misal, depresi, takut, cemas, dan menderita), dan tingkah laku sebagai respon
terhadap emosi dan persepsi yang menuntun observer untuk yakin bahwa
seseorang sedang merasakan nyeri (misal, mengeluhkan nyeri, meringis).
Persepsi nyeri kelihatannya sama pada berbagai suku akan tetapi batas
ambang nyeri berbeda antara suku atau ras.
Penilaian skala nyeri menggunakan Critical-Care Pain Observation Tool
(CPOT)
Salah satu alat yang paling umum digunakan di ICU adalah Critical-Care
PainObservation Tool (CPOT), yang telah terbukti dapat diandalkan dan valid
dalamberbagai populasi pasien sakit kritis. Alat ini memerlukan evaluasi dari 4
kategori berikut:
Nyeri merupakan perasaan yang tidak menyenangkan bagi sebagian orang. Nyeri
seringkali dikaitkan dengan kerusakan pada tubuh yang merupakan peringatan
17

terhadap adanya ancaman yang bersifat aktual maupun potensial. Kebutuhan


terbebas dari rasa nyeri merupakan salah satu kebutuhan dasar yang merupakan
tujuan diberikannya asuhan keperawatan kepada seorang pasien. Penting bagi
perawat untuk memahami makna nyeri bagi setiap individu. Penatalaksanaan
nyeri lebih dari sekedar pemberian analgesik. Dengan memahami nyeri dengan
lebih holistik, maka perawat dapat mengembangkan strategi yang lebih tepat dan
baik pada penanganan yang lebih berhasil lagi.
Skor 0-2 untuk setiap kategori, tergantung pada tingkat respon pasien.
Total skor maksimum adalah 8. Penilaian nyeri yang tepat merupakan bagian
penting dari perawatan berkualitas bagi pasien sakit kritis, dan penggunaan
ukuran nyeri yang valid dapat membantu dalam evaluasi teknik manajemen nyeri
multidisiplin untuk pasien sakit kritis nonverbal (Gelinas C dkk, 2006).
Keterbatasan dari banyak alat penilaian perilaku nyeri (seperti CPOT)
adalah perlunya perhatian khusus pada setiap gerakan, sehingga penting bagi
perawat untuk hati-hati mengevaluasi setiap kemampuan pasien untuk
menunjukkan perilaku yang diperlukan dalam penilaian.

ALGORITMA PENGKAJIAN NYERI DENGAN CPOT

Pasien dengan kecurigaan nyeri

ya Kemampuan Tanyakan
Pernyataan nyeri
komunikasi baik skala nyeri

Kemampuan Tanyakan
tidak dapat
dikaji komunikasi kurang nyeri/tidak

Pengkajian dg CPOT ≤2 Nyeri (-)

≥2

Berikan analgesik

Puncak
efek obat
Penurunan skor ≤ 2 Pertimbangkan
Pengkajian dg CPOT
alternative terapi lain

Penurunan
skor ≥ 2

Terapi efektif
18
Indikator Skor Deskripsi
Ekspresi wajah Rileks, netral 0 Tidak terlihat adanya ketegangan
otot
Tegang 1 Merengut, menurunkan alis
Meringis 2 semua gerakan wajah sebelumnya
ditambah kelopak mata tertutup
rapat (pasien bisa juga dengan
mulut terbuka atau menggigit
Tabung endotrakeal)
Gerakan tubuh Adanya gerakan 0 tidak bergerak sama sekali (tidak
atau posisi selalu berarti tidak adanya rasa
normal sakit) atau posisi normal (gerakan
tidak ditujukan terhadap adanya
lokasi nyeri atau tidak dibuat untuk
tujuan perlindungan)
Gerakan 1 lambat, gerakan hati-hati,
perlindungan menyentuh lokasi nyeri, mencari
perhatian melalui gerakan
Gelisah 2 menarik tabung, mencoba untuk
duduk, bergerak badan atau
meronta-ronta, tidak mengikuti
perintah, mencoba untuk bangun
dari tempat tidur
Kepatuhan Toleran terhadap 0 Alarm tidak aktif, ventilasi mudah
dengan ventilator dan
ventilator gerakan
(pasien Batuk tapi masih 1 Batuk, alarm mungkin aktif tapi
berhenti secara
diintubasi) toleran spontan
Melawan 2 Tidak sinkron : blocking ventilasi,
ventilator alarm aktif secara terus menerus
vokalisasi Berbicara dengan 0 Berbicara dengan nada normal atau
(pasien nada normal atau tidak ada suara
diekstubasi). tidak ada suara
Mendesah, 1 Mendesah, mengerang
mengerang
Menangis 2 Menangis terisak-isak
terisak-isak
Ketegangan otot Rileks 0 Tidak resisten terhadap gerakan
pasif
Tegang 1 Resistan terhadap gerakan pasif
Sangat tegang 2 Resisten kuat terhadap gerakan
pasif
19

Pada pasien yang kemudian dilakukan pengkajian nyeri dengan CPOT yang
berdasarkan pada empat domain: ekspresi wajah, gerakan tubuh, ketegangan
otot, dan kepatuhan dengan ventilasi mekanis untuk pasien dengan intubasi dan
vokalisasi untuk pasien ekstubasi. Pasien dinilai 0, 1, atau 2 pada empat
domainnya, CPOT memberikan nilai keseluruhan dari 0 (tidak ada rasa sakit) sampai
8 (sakit maksimum)
20

PENILAIAN NYERI CPOT CRITICAL CARE PAIN OBCERVATION TOOL


INDIKATOR PENJELASAN SKOR
Ekspresi wajah  Tidak terlihat adanya tonus otot wajah  Rileks, netral 0
 Terlihat mengerut dahi, alis menurun, otot orbital  Tegang 1
menegang dan kontraksi otot levator.  Menyeringgai/meringgis 2
 Terjadi seluruh gerakan fasial diatas dan kelopak mata
tertutup kuat-kuat
Gerakan tubuh  Tidak bergerak sama sekali (namun tidak berarti tidak  Tidak ada gerakan tubuh 0
merasa nyeri)  Proteksi 1
 Terdapat gerakan pelan, yang berhati-hati menyentuh atau  Gelisah 2
menggosok lokasi nyeri mencari perhatian dengan
melakukan gerakan.
 Menarik selang infuse, mencoba duduk, menggerakan
ekstrimitas atau memukul, tidak mematuhi perintah,
menyerang staf, mencoba turun dari tempat tidur.
Tonus otot  Tidak ada tahanan terhadap gerakan pasif.  Rileks 0
Evaluasi dengan memfleksi  Terdapat tahanan terhadap gerakan pasif  Tegang, kaku 1
dan mengeksistensikan  Terdapat tahanan kuat terhadap gerakan pasif, sehingga  Sangat tegang atau kaku 2
ekstrimitas atas gerakan pasif tidak dapat diselesaikan.
Respon terhadap ventilator  Alaram tidak berbunyi, ventilasi dengan mudah  Toleransi terhadap ventilasi 0
(pasien dengan intubasi)  Alaram berbunyi namun berhenti  Terbatuk namun toleran 1
 Asinkronisasi : ventilasi terblok, alaram sering terbunyi  Melawan ventilasi 2
ATAU
Pasien tanpa intubasi  Berbicara dengan nada normal atau tidak mengeluarkan  Berbicara dengan nada normal atau tidak 0
suara mengeluarkan suara
 Mengeluh, menggeleng , merintih  Mengeluh, mengerang, merintih 1
 Betreriak atau menangis  Berteriak atau menangis 2

Total score Total score


Nilai 0-8
0 : tidak nyeri 1-2 : Nyeri ringan 3-4 : Nyeri sedang 5-6 : Nyeri berat 7-8 :Nyeri sangat berat
21

B. STATUS HEMODINAMIK
Hemodinamik adalah pemeriksaan aspek fisik sirkulasi darah, fungsi
jantung dan karakterisitik fisiologis vaskular perifer (Mosby 1998, dalam Jevon
dan Ewens 2009). Tujuan pemantauan hemodinamik adalah untuk mendeteksi,
mengidentifikasi kelainan fisiologis secara dini dan memantau pengobatan
yang diberikan guna mendapatkan informasi keseimbangan homeostatik tubuh.
Pemantauan hemodinamik bukan tindakan terapeutik tetapi hanya memberikan
informasi kepada klinisi dan informasi tersebut perlu disesuaikan dengan
penilaian klinis pasien agar dapat memberikan penanganan yang optimal.
Dasar dari pemantauan hemodinamik adalah perfusi jaringan yang adekuat,
seperti keseimbangan antara pasokan oksigen dengan yang dibutuhkan,
mempertahankan nutrisi, suhu tubuh dan keseimbangan elektro kimiawi
sehingga manifestasi klinis dari gangguan hemodinamik berupa gangguan
fungsi organ tubuh yang bila tidak ditangani secara cepat dan tepat akan
jatuhke dalam gagal fungsi organ multipel (Jevon & Ewens. (2009).
1. Faktor-faktor yang mempengaruhihemodinamik
Faktor-faktor yang mempengaruhi hemodinamik pasien ICU Antara lain
adalah (Jevon & Ewens, 2009):
a. Penyakit dapat mempengaruhi hemodinamik pasien seperti adanya
gangguan pada organ jantung, paru-paru, ginjal dimana pusat sirkulasi
melibatkan ketiga organ tersebut terutamajika
terjadi di sistem kardiovaskular dan pernafasan.
b. Obat-obatan/terapi seperti analgesik dan sedasi dapat mempengaruhi
status hemodinamik, contohya adalah morfin dimana obat tersebut
dapat meningkatkan frekuensipernafasan.
c. Status psikologi yang buruk atau psychological distress tentu saja akan
mempengaruhi hemodinamik, karena respon tubuhketika stres
memaksa jantung untuk bekerja lebih cepat.
d. Aktifitasyangberlebihakanmeningkatkankerjajantung,danhal tersebut
akan mempengaruhi status hemodinamik.
e. Mode Ventilator yang digunakan mempengaruhi hemodinamik karena
setiap mode memiliki fungsi masing-masing salah satunya
melatih/memaksa pasien untuk bernafas secaraspontan.

Sistem kardiovaskular dan pernafasan mengambil peran utama dalam


22

sistem hemodinamik seperti yang dipaparkan Jevon & Ewens tahun


2009 terkait faktor-faktor yang mempengaruhi status hemodinamik
pasien di ICU karena sistem sirkulasi oksigen dan nutrisi melibatkan
kedua sistem tersebut. Berikut adalah konsep fisiologi sistem
kardiovaskular dan sistem penafasan:
a. SistemKardiovaskular
Fungsi sistem jantung adalah menghantarkan oksigen, nutrisi dan
substansi lainnya ke jaringan tubuh dan membuang produk sisa
metabolisme seluler melalui pompa jantung, sistem vaskular
sirkulasi dan integrasi sistem lainnya seperti sistem pernapasan,
pencernaan dan ginjal.

b. SistemPernafasan
Pernapasan merupakan proses pemindahan oksigen dari udara
menuju sel-sel jaringan, dan pelepasan karbondioksida dari dalam
sel jaringan menuju udara luar (Purnawan & Saryono, 2010).
Fungsi utama respirasi (pernapasan) adalah memperoleh oksigen
(O2) untuk digunakan oleh sel tubuh dan untuk mengeluarkan CO2
yang diproduksi oleh sel (Sherwood, 2011).

Pasien dengan gagal jantung, overload cairan, shock, hipertensi


pulmonal dan banyak kasus lain adalah pasien dengan masalah perubahan
status hemodinamik.Dalam hal ini, Critical Care Nursebukan hanya dituntut
mampu mengoperasikan alat pemantauan hemodinamik saja melainkan harus
mampu menginterpretasikan hasilnya.
Faktor penentu hemodinamik adalah:
1. Preload: menggambarkan tekanan saat pengisian atrium kanan selama
diastolicdigambarkan melalui Central Venous Pressure (CVP). Sedangkan
preload ventricle kiri digambarkan melalui Pulmonary Arterial Pressure
(PAP).
2. Contractility: menggambarkan kekuatan otot jantung untuk memompakan
darah keseluruh tubuh.
3. Afterload: menggambarkan kekuatan/tekanan darah yang dipompakan
oleh jantung.Afterload dipengaruhi oleh sistemik vascular resistance dan
pulmonary vascular resistance.
23

Melalui monitoring beberapa parameter di bawah ini dapat diketahui


bagaimana perfusi sistemikseorang pasien yang menggambarkan status
hemodinamiknya.
BLOOD PRESSURE (TEKANAN DARAH)
Dua macam cara pemantauan tekanan darah yang kita kenal. Pemantauan darah
Non Invasive(cuff pressure) dan Invasive Blood Pressure(arterial pressure)
1. Non Invasive Blood Pressure (NIBP)
Teknik pengukuran darah dengan menggunakan cuff atau manset, baik secara
manual maupun menggunakan mesin sebagaimana bedsidemonitor yang ada
di unit pelayanan Intensif. Ukuran manset harus disesuaikan dengan besarnya
lengan pasien, karena ketidak sesuaian ukuran manset akan mengurangi
validitas hasil pengukuran.
Data status hemodinamik yang bisa didapatkan adalah tekanan sistolik,
tekanan diastolic, dan tekanan rata-rata arteri (Mean Arterial Pressure=MAP)
Sistolik pressure adalah tekanan darah maksimal dari ventrikel kiri saat
systole.Diastolic pressure adalah gambaran dari elastisitas pembuluh darah
dan kecepatan darah saat dipompakan dalam arteri.MAP adalah tekanan rata-
rata arteri, menggambarkan perfusi rata-rata dari peredaran darah sistemik.
HEMODINAMIK PRESSURE VALUE

NORMAL
VALUE ABBREVIATION DEFINITION RANGE FORMULA

Mean MAP Tekanan rata- 70-90 mmHg 2D + 1S3


Arterial rata yang
Pressur dihasilkan oleh
e tekanan darah
arteri disaat
akhir cardiac
cycle

Cardiac CO Banyaknya darah 5-6 L/min(at HRXStroke volume


out put yang rest)
dipompakan oleh
ventrikel
dalam satu
menit.

Stroke SV Banyaknya darah 60-130ml COHR X1000


Volume yang
dipompakan oleh
ventrikel di setiap
kali
24

Denyutan
Tekanan yang
Central CVP 6-12 cm Hasil pengukuran
dihasilkan oleh
Venous H2O4-15
volume darah di
pressur mmHg
dalam jantung
e sebelah kanan

Sangat penting bagi kita untuk mempertahankan MAP diatas 60 mmHg, untuk
menjamin perfusi otak, perfusi arteria coronaria, dan perfusi ginjal tetap terjaga.
2. Invasive Blood Pressure (IBP)
Pengukuran tekanan darah secara invasive dapat dilakukan dengan
melakukan insersi kanule ke dalam arteri yang dihubungkan dengan tranduser.
Tranduser ini akan merubah tekanan hidrostatik menjadi sinyal elektrik dan
menghasilkan tekanan sistolik, diastolic, maupun MAP pada layar monitor.
Setiap perubahan dari ketiga parameter diatas, kapanpun,dan
berapapun maka akan selalu muncul dilayar monitor. Ketika terjadi
vasokonstriksi berat, dimana stroke volume sangat lemah, maka pengukuran
dengan cuff tidak akurat lagi. Maka disinilah penggunaan IBP sangat
diperlukan. Pada kondisi normal, IBP lebih tinggi 2-8 mmHg dari NIBP. Pada
kondisi sakit kritis bisa 10-30 mmHg lebih tinggi dari NIBP.
CENTRAL VENOUS PRESSURE (CVP)
Merupakan pengukuran langsung dari atrium kanan. Central venous
pressure mencerminkan preload ventrikel kanan dan kapasitas vena, sehingga
dapat diketahui volume pembuluh darah atau cairan dan efektifitas jantung
sebagai pompa. CVP adalah pengukuran tekanan di vena cava superior atau
atrium kanan
25

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Penentuan Lokasi, Waktu dan Sasaran Penelitian


1. Lokasi Penelitian
Lokasi yang di ambil sebagai tempat penelitian yaitu di ruang Intensif Care
Unit Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Tanggal 12-19 Agustus 2019, dari
pengambilan data sampai penyusunan hasil sesuai jadwal penelitian yang
sudah ditentukan.
3. Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian ini adalah pasien yang menggunakan ventilator di ruang
Intensi Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin.

B. Metode Penelitian
Desain penelitian ini adalah korelasi, dimana Penulis melakukan
pengukuran variable independen dan dependen kemudian menganalisa data
yang terkumpul untuk mencari hubungan antara variable. Metode penelitian
yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross
sectional. Rancangan penelitian cross sectional adalah suatu kegiatan
pengumpulan data dalam suatu penelitian yang dilakukan sekaligus dalam
waktu tertentu dan setiap kali subjek penelitian hanya dilakukan satu kali
pendataan (pengamatan) untuk semua variabel yang diteliti, selama dalam
penelitian itu (Machfoedz, 2014).

C. Populasi Penelitian
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian atau objek yang memiliki
karakteristik tertentu yang akan diteliti (Mulyatiningsih, 2011). Populasi
dalam penelitian ini adalah pasien yang dirawat di ruang Intensif Care Unit
Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin.
26

2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari seluruh objek yang diteliti adalah objek
mewakili populasi.
Kriteria inklusi pada sampel yang akan dipilih yaitu:
1. Pasien yang terpasang ventilator
2. Pasien dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki
3. Usia pasien sama ≥18 tahun
4. Diintubasi atau dengan trakeostomi ≥ 48 jam
Kriteria eksklusi pada sampel yang akan dipilih yaitu:
1. Klien dengan usia dibawah 18 tahun
2. Klien tidak bersedia menjadi responden dalam penelitian

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional


1. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi
tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2014).
a. Variabel Independen (Variabel Bebas)
Variabel independen adalah yang nilainya menentukan variabel
lain. Suatu kegiatan stimulus yang dimanipulasi oleh peneliti
menciptakan suatu dampak pada variabel dependen (Nursalam,
2011). Variabel independen dalam penelitian ini adalah pengkajian
nyeri dengan Critical-Care Pain Observasion Tool (CPOT).
b. Variabel Dependen (Variabel Terikat)
Variabel dependen adalah variabel yang nilainya ditentukan
oleh variabel lain. Variabel respon akan muncul sebagai akibat dari
manipulasi variabel lain (Nursalam, 2011). Variabel dependen dalam
penelitian ini adalah himodinamik.

E. Pengumpulan Data
1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data
kuantitatif. Pendekatan kuantitatif memandang tingkah laku manusia,
dapat diramal dari realitas sosial; objektif, dan dapat diukur. Penggunaan
pendekatan kuantitatif dengan instrumen yang valid dan reliabel serta
27

analisis statistik yang sesuai akan membuat hasil penelitian yang dicapai
tidak menyimpang dari kondisi yang sesungguhnya (Yusuf, 2014).Critical
Care Pain Observation Tool (CPOT) adalah instrumen pengkajian nyeri
yang dikembangkan menggunakan unsur-unsur perilaku pada pasien
yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal termasuk pasien dengan
ventilator mekanik (Priambodo, 2016).
2. Sumber Data
Berdasarkan sumber data, jenis data dapat dibagi menjadi 2 (dua)
bentuk, yaitu :
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh sendiri oleh peneliti dari
hasil pengukuran, pengamatan, survey dan lain-lain (Setiadi, 2007).
Teknik pengambilan penelitian untuk mengumpulkan data primer
yaitu observasi langsung terhadap pasien yang terpasang ventilator
di ruang intensif care unitRSUD Ulin Banjarmasin.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain,
badan/instansi yang secara rutin mengumpulkan data (Setiadi,
2007). Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti, secara
tidak langsung yaitu dengan cara menelaah status rekam medik
pasien dan data riwayat penyakit pasien, dimana data sekunder ini
dapat mendukung data primer.
3. Cara Pengumpulan Data
a. Peneliti mengidentifikasi pasien yang menjadi responden yang
menjadi responden yang memiliki kriteria sampel yang ditetapkan
b. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mengobservasi pasien
yang terpasang ventilator dengan menggunakan lembar observasi
Critical-Care Pain Observasion Tool (CPOT) sebelum pasien di
observasi pastikan pasien tidak menggunakan sedasi
c. Lembar Obsevasi
Merupakan format yang berisi data demografi pasien, tekanan darah,
denyut nadi, MAP dan format skoring CPOT
d. Skala Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT)
Adalah skala pengukuran nyeri berdasarkan perilaku pasien yang
terdiri dari 4 bagian, dimana setiap bagian memiliki kategori yang
28

berbeda, yaitu ekspresi wajah, pergerakan badan, tegangan otot dan


keteraturan dengan ventilator untuk pasien terintubasi atau vokalisasi
untuk pasien yang tidak terintibasi. Jumlah skor yang mungkin
diperoleh diantara rentang 0-8.
Pada penelitian ini pengambilan data derajat nyeri menggunakan
skala CPOT dilakukan oleh perawat pada pagi hari. Penilaian
dilakukan dengan menggunakan format cek list.
e. Sebelum melakukan penilaian CPOT pasien dengan terapi sedasi
dan analgesik dihentikan selama 15-30 menit dan penilaian dilakukan
selama 5 menit
f. Penilaian dilakukan sebanyak 1 kali sehari untuk satu pasien
4. Intrumen Peneletian
Instrumen penelitian adalah suatu alat pengumpulan data yang
digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati
(Notoatmodjo, 2010). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
adalah lembar observasiCritical-Care Pain Observasion Tool (CPOT).

F. Teknik Pengolahan Data


Menurut Notoatmodjo (2012), dalam melakukan pengolahan data
meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
1. Memeriksa (Editing)
Hasil pengamatan dari lapangan harus dilakukan penyuntingan
(editing) terlebih dahulu. Secara umum editing adalah merupakan kegiatan
untuk pengecekan.
2. Memberi Kode (Coding)
Setelah semua data hasil observasi Critical-Care Pain Observasion
Tool (CPOT) di masukkan, selanjutnya dilakukan peng”kodean” atau
“coding”, yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data
angka atau bilangan. Misalnya 1=tidak ada artefak dan 2=ada artefak.
Coding atau pemberian kode ini sangat berguna dalam memasukan data
(data entry).

3. Memasukan Data (Data Entry)


29

Data yakni hasil lembar observasi dengan Critical-Care Pain


Observasion Tool (CPOT)yang dalam bentuk “kode” (angka atau huruf)
dimasukkan ke dalam program atau software komputer. Sotfware komputer
ini bermacam-macam, masing-masing mempunyai kelebihan dan
kekurangannya. Salah satu paket program yang paling sering digunakan
untuk entry data penelitian adalah program SPSS for Windows.
Dalam proses ini juga dituntut ketelitian dari orang yang melakukan
data entry ini. Apabila tidak maka akan terjadi bias, meskipun hanya
memasukan data saja.
4. Pembersihan Data (DataCleaning)
Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden
selesai dimasukkan, perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-
kemungkinan adanya kesalahan kode, ketidak lengkapan, dan
sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi. Proses ini
disebut pembersihan data (data cleaning).

G. Metode Analisis Data


Teknik analisa data merupakan cara mengolah data agar dapat disimpulkan
atau diinter prestasikan menjadi informasi (Hidayat, 2012). Analisis data
adalah langkah selanjutnya setelah data terkumpul. Analisis data pada
penelitian ini meliputi:
1. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian yaitu variabel
independen (pengkajian nyeri CPOT), variabel dependen (status
hemodinamik) (Notoatmodjo, 2012).
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat adalah proses menganalisis terhadap dua variabel
yang berhubungan atau berkolerasi (Notoatmodjo, 2012). Analisis bivariat
pada penelitian ini dilakukan untuk menganalisis hhubungan Pengkajian
Nyeri CPOT Pada Pasien Kritis Terhadap Status Hemodinamik di ruang
Intensi Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Tempat Penelitian


1. Alamat
Jalan A. Yani No. 43, Sungai Baru, Banjarmasin Tengah, Sungai
Baru, Kec. Banjarmasin Tengah, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan
70233
2. Gambaran Umum dan Lokasi RSUD Ulin Banjarmasin
RSUD Ulin Banjarmasin adalah Rumah Sakit Umum dengan
klasifikasi kelas A (SK Menkes No. 004/Menkes/SK/l/2013) yang berada
di kota Banjarmasin Kalimantan Selatan. RSUD Ulin Banjarmasin
beralamat di jalan jendral A. Yani Km. 1 No. 43 Banjarmasin. RSUD Ulin
berdiri di atas lahan seluas 63.920 m2 dan luas bangunan 55.000 m2.
RSUD Ulin berdiri sejak tahun 1943.
Pada tahun 1995 sampai tahun 2002 berdasarkan Perda 06 Th
1995, status RSUD Ulin sebagai Unit Swadana. Untuk meningkatkan
kemampuan jangkauan dan mutu pelayanan maka berdasarkan SK
Menkes No. 004/Menkes/SK/I/2013 tanggal 7Januari2013 tentang
Peningkatan Kelas RSUD Ulin Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan
menjadi Rumah Sakit Umum dengan klasifikasi kelas A, serta
Kepmendagri No. 445.420-1279 tahun 1999 tentang penetapan RSUD
Ulin Banjarmasin sebagai Rumah Sakit Pendidikan Calon Dokter dan
Calon Dokter Spesialis. Dengan demikian tugas dan fungsi RSUD Ulin
selain mengemban fungsi pelayanan juga melaksanakan fungsi
pendidikan dan penelitian. Sejalan dengan upaya desentralisasi maka
berdasarkan Perda No. 9 tahun 2002 status RSUD Ulin berubah menjadi
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Saat ini RSUD Ulin Banjarmasin sudah menjalani Survei Akreditasi
RS: Akreditasi Penuh Tingkat Lengkap 16 Bidang (SK Menkes

30
31

2007 YM.01.10/III/1142/07) dan Akreditasi ulang dengan predikat lulus


Penuh 16 Bidang Pelayanan pada tahun 2010.
RSUD Ulin Banjarmasin merupakan rumah sakit pusat rujukan di
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Saat ini
sebagai Lembaga Teknis Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dengan
klasifikasi Kelas A telah ditetapkan sebagai PPK Badan Layanan Umum
Daerah (BLUD) bertahap melalui Keputusan Gubernur Kalimantan
Selatan No.188.44/0456/Kum/2007 tanggal 27 Desember Tahun 2007.
PPK-BLUD Penuh melalui Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan
No.188.44/0464/Kum/2009. Sebagai RS-BLUD, RSUD Ulin Banjarmasin
mempunyai tugas utama melaksanakan ”Pelayanan Medik, Pendidikan
Kesehatan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat”. Adapun tujuannya
adalah terselenggaranya pelayanan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP)
secara efektif dan efisien melalui pelayanan kuratif dan rehabilitatif yang
dilaksanakan secara terpadu dengan pelayanan preventif dan promotif
serta pelayanan rujukan, pendidikan, pelatihan dan penelitian-
pengembangan

3. Visi dan Misi RSUD Ulin Banjarmasin


Visi RSUD Ulin Banjarmasin yaitu”Terwujudnya Pelayanan Rumah
Sakit yang Profesional dan Mampu Bersaing di Masyarakat Ekonomi
ASEAN” mengutamakan mutu pelayanan, pendidikan dan penelitian serta
keselamatan pasien. Dengan Misi sebagai berikut:
a. Menyelenggarakan pelayanan terakreditasi paripurna yang
berorientasi pada kebutuhan dan keselamatan pasien, bermutu serta
terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
b. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, penelitian dan
pengembangan sub spesialalis sesuai kebutuhan pelayanan
kesehatan, kemajuan ilmu pengetahuan dan penapisan teknologi
kedokteran.
c. Menyelenggarakan manajemen RS dengan kaidah bisnis yang sehat,
terbuka, efisien, efektif, akuntabel sesuai ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
d. Menyiapkan SDM, sarana prasarana dan peralatannya untuk mampu
bersaing dalam era pasar bebas ASEAN.
32

e. Mengelola dan mengembangkan SDM sesuai dengan kebutuhan


pelayanan dan kemampuan Rumah Sakit.

B. Hasil Penelitian dan Analisa Data


1. Karakteristik Responden
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada tanggal 12-19
Agustus 2019mengenai Evaluasi Penggunaan Alat Ukur Nyeri Critical
Pain Observational Tool (CPOT) di ruang Intensive Care Unit Rumah
Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin. Responden dalam penelitian ini
berjumlah 8 responden. Karakteristik responden dalam penelitian ini
adalah umur dan jenis kelamin berikut:
Tabel 1 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dan
umur di Ruang ICU RSUD Ulin Banjarmasin (=8)
Karakteristik Frekuensi(n) Presentase (%)
Jenis Kelamin Laki-Laki 6 75,0
Perempuan 2 25,0
Usia Usia 26-35 1 12,5
tahun
Usia 36-45 2 25,0
Tahun
Usia 46-70 5 62,5
Tahun
Pada tabel 1 menunjukan bahwa sebagian besar responden
berjenis kelamin laki-laki sebanyak 6 orang (75%) dan perempuan 2
orang (25%) dan berusia 26-35 tahun sebanyak 1 orang (12,5%), usia 36-
45 tahun sebanyak 2 orang (25%) serta usia 46-70 tahun sebanyak 5
orang (62,5%) di Ruang ICU RSUD Ulin Banjarmasin.

2. Analisis Univariat
a) Pengukuran Tingkat Nyeri Menggunakan Skala CPOT pada pagi
hari
Tabel 2 Pengukuran Tingkat Nyeri Menggunakan Skala CPOT pada
pagi hari
Tingkat Nyeri Frekuensi (n) Persentase (%)
Tidak Nyeri 0 0
Nyeri Ringan 1 12,5
Nyeri Sedang 0 0
Nyeri Berat 6 75,0
Nyeri Sangat Berat 1 12,5
Total 8 100
33

Dari tabel di atas terlihat lebih dari separo pengukuran tingkat nyeri
dengan CPOT pada pagi hari adalah nyeri berat.

b) Distribusi frekuensi berdasarkan Mean Arterial Pressure


MAP Frekuensi (n) Presentase (%)
Rendah <70mmHg 2 25
Normal 70-90mmHg 0 0
Tinggi >90mmHg 6 75
Total 8 100
Tabel 1.1 diatas menunjukan bahwa nilai rendah <70 mmHg pada
MAP yaitu 2(25%), nilai normal 70-90 mmHg adalah 0 (0%), dan nilai
tinggi >90 mmHg adalah 6 (75%) di Ruang ICU RSUD Ulin
Banjarmasin.

c) Distribusi frekuensi berdasarkan Hate Rate


HR Frekuensi (n) Presentase (%)
Rendah <60 x/menit 0 0
Normal 60-100 x/menit 4 50
Tinggi >100 x/menit 4 50
Total 8 100
Tabel 1.2 diatas menunjukkan bahwa nilai rendah <60 x/menit pada
frekuensi nadi adalah 0 (0%), nilai normal 60-100 x/menit adalah 4
(50%), dan nilai tertinggi >100 x/menit adalah 4 (50%) di Ruang ICU
RSUD Ulin Banjarmasin.

d) Distribusi frekuensi berdasarkan Respiration Rate


RR Frekuensi (n) Presentase (%)
Rendah <12 x/mnt 0 0
Normal 12- 24 x/menit 1 12.5
Tinggi > 24 x/menit 7 87.5
Total 8 100
Berdasarakan hasil pada tabel diatas didapatkan RR <12 x/menit
tidak terdapat pada pasien yang terpasang ventilator 0 (0%).
Sedangkan pada RR dengan nilai normal 12-24x/menit ada 1
(12.5%) dan RR tinggi > 24 x/menit 7 (87.5%) di Ruang ICU RSUD
Ulin Banjarmasin.

e) Distribusi frekuensi berdasarkan Central Vena Pressure


CVP Frekuensi (n) Presentase (%)
Tidak terpasang CVP 7 87.5
Normal 5-10 mmHg 1 12.5
Total 8 100
34

Berdasarakan hasil pada tabel diatas didapatkan tidak terpasang


CVP adalah 7 dengan presentase (87.5%) dan CVP normal adalah
1 dengan presentase (12.5%) di Ruang ICU RSUD Ulin Banjarmasin.

f) Penggunaan Alat Ukur Nyeri CPOT Setelah Sedasi Di Hold


Terhadap Status Hemodinamik
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada tanggal 12-19
Agustus 2019 mengenai Evaluasi Penggunaan Alat Ukur Nyeri
Critical Pain Observational Tool (CPOT) di Ruang Intensive Care Unit
Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin terhadap status
hemodinamik pada 8 responden didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 4 Evaluasi Penggunaan CPOT di Ruang ICURSUD Ulin
Banjarmasin terhadap status hemodinamik
Status Nilai Nilai Mean Std
Hemodinamik Minimal Maksimal Deviation
MAP 63mmHg 128mmHg 104,38 25,031
Frekuensi Nadi 102x/menit 139x/menit 121,50 11,526
Frekuensi 23x/menit 38x/menit 29,38 4,897
Pernafasan
CVP 0 5mmHg 0,62 1,768
Tabel 4 diatas menunjukan bahwa nilai minimal pada MAP yaitu 63
mmHg dan nilai maksimal 128 mmHg, frekuensi nadi dengan nilai
minimal 102 x/menit dan maksimal 139 x/menit, nilai frekuensi
pernafasan 23 x/menit dan maksimal 38 x/menit di Ruang ICU RSUD
Ulin Banjarmasin.

3. Analisis Bivariat
Analisis hubungan pengkajian nyeri menggunakan CPOT pada pasien
yang terpasang ventilator dengan perubahan status hemodinamik di
Ruang Intensive Care Unit RSUD Ulin Banjarmasin sebagai berikut:

Tabel 5 Correlation Coefficient Pearson


35

Correlations
MAP HR RR CVP
Person -218 -293 -.143 -1.000
Correlation
CPOT Sig. (2- .604 .482 .736 .000
tailed)
N 8 8 8 8

Uji statistik menunjukan hasil uji Pearson diperoleh nilai correlation CPOT
terhadap MAP 0,604 ( P>0,05), CPOT terhadap HR 0,482 (P> 0,05),
CPOT terhadap RR 0,736 (P>0,05), CPOT terhadap CVP 0,000 (P>0,05),
dengan demikian disimpulkan tidak ada hubungan hasil pengukuran
tingkat nyeri CPOT terhadap status hemodinamik

4. Pembahasan
Pada penelitian ini MAP penilaian didapatkan rata-rata 104,38 dengan
nilai tertingi 128 mmHg dan terendah 63 mmHg. Nilai MAP meningkat rata-
rata 23,95%. Nilai korelasi CPOT terhadap MAP 0,604 (P>0,05), dengan arti
bahwa tidak ada hubungan Antara tingkat nyeri CPOT dengan MAP. Menurut
peneliti peningkatan MAP bukan hanya disebabkan karena nyeri melainkan
peningkatan MAP dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti penyakit,
obat-obatan, dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh
Jevon (2009) di dalam penelitianya bahwa status hemodinamik dipengaruhi
oleh berbagai macam factor yaitu penyakit, terapi sedasi, dan penggunaan
ventilator mekanik.
Pada penelitian ini rata-rata nilai heart rate ketika sebelum dihentikan
terapi sedasi dan analgesi untuk dilakukan penilaian rata – rata 108,12
dengan nilai terendahnya 96 x/m dan nilai tertingginya 126 x/m. Nilai HR
meningkat dengan rata-rata 21,5% Namun setelah dihentikan terapi sedasi
dan analgesi kemudian dilakukan. Nilai korelasi CPOT terhadap HR 0,482 (P>
0,05) yang diartikan tidak ada korelasi Antara CPOT terhadap HR, namun
pada penelitian Kozier & Erb (2002)menatakan bahwa salah satu dampak
dari nyeri adalah peningkatan denyut nadi.
Pada penelitian ini didapatkan nilai rata-rata respiratori rate pasien
dilakukan penilaian didapatkan rata-rata 29,38 dengan nilai tertingi 38 x/m dan
terendah 23 x/m. Nilai rata-rata peningkatan RR 22,4%. Nilai korelasi CPOT
36

terhadap RR 0,736 (P>0,05) dengan arti bahwa tidak ada hubungan Antara
peningkata RR dengan CPOT. Dalam analisa peneliti bahwa pemberian terapi
sedasi dan analgesi berpengaruh terhadap penurunan angka respirasi pasien
karena sebelum dilakukan penilaian rata-rata pasien mendapatkan terapi
sedasi dan analgesi.
Seperti yang diungkapkan oleh Jevon (2009) di dalam penelitianya bahwa
status hemodinamik dipengaruhi oleh berbagai macam factor yaitu penyakit,
terapi sedasi, dan penggunaan ventilator mekanik. arteri dalam darah dapat
menyebabkan masalah perubahan status mental (mulai dari gangguan
penilaian, orientasi, kelam pikir, letargi, dan koma), dyspnea, peningkatan
tekanan darah, perubahan frekuensi jantung, disritmia, sianosis, diaforesis
dan ekstremitas dingin.
Pada penelitian ini, pemantauan untuk status hemodinamik dilakukan
secara satu kali dalam sehari selama 5 menit dengan menghentikan terapi
sedasi dan analgesik selama 15-20 menit sebelum penilaian.
Hasil penelitian ini yang dilakukan di ruang ICU Rumah Sakit Umum
Daerah Ulin Banjarmasin didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan
antara penilaian CPOT terhadap perubaha sattus hemodinamik. Seperti yang
diungkapkan oleh Jevon (2009) di dalam penelitianya bahwa status
hemodinamik dipengaruhi oleh berbagai macam factor yaitu penyakit, terapi
sedasi, dan penggunaan ventilator mekanik. arteri dalam darah dapat
menyebabkan masalah perubahan status mental (mulai dari gangguan
penilaian, orientasi, kelam pikir, letargi, dan koma), dyspnea, peningkatan
tekanan darah, perubahan frekuensi jantung, disritmia, sianosis, diaforesis
dan ekstremitas dingin.

5. Keterbatasan Penelitian
Penilitian yang dilakukan saat ini mempunyai keterbatasan pada waktu
penelitian yang relatif singkat serta jumlah sampel yang tidak terlalu banyak

6. Implikasi Hasil Penelitian Dalam Keperawatan


Penilaian nyeri pada pasien dengan menggunakan ventilator mekanik banyak
dikembangkan sehingga pendekatan objektif terhadap penanganan nyeri
dapat dilakukan secara terukur salah satu nya penggunaan alat ukur CPOT
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN
Critical Care Pain Observation Tool (CPOT) adalah instrumen pengkajian nyeri
yang dikembangkan menggunakan unsur-unsur perilaku pada pasien yang
tidak dapat berkomunikasi secara verbal termasuk pasien dengan ventilator
mekanikdengan status hemodinamik pada pasien dengan penurunan
kesadaran juga dikendalikan oleh susunan syaraf pusat terutama di medula
oblongata.
Penelitian yang telah dilakukan mengenai Evaluasi Penggunaan Alat
Ukur Nyeri Critical Pain Observational Tool (CPOT) di ruang Intensive Care Unit
Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin. Responden dalam penelitian ini
berjumlah 8 responden.
Hal ini sejalan dengan penelitian Apriani (2018) dengan hasil penelitian
bahwa instrumen CPOT lebih efektif di bandingkan Wong Bekker. Pengkajian
nyeri CPOT lebih efektif karena didasarkan pada tanda-tanda perilaku seperti
ekspresi wajah, gerakan tubuh, keteraturan terhadap ventilator untuk pasien
terintubasi, vokalisasi nyeri untuk pasien yang tidak terintubasi dan ketegangan
otot.
Hasil penelitian ini yang dilakukan di ruang ICU Rumah Sakit Umum
Daerah Ulin Banjarmasin didapatkan hasil bahwa nilai tekanan pre dan post an
mengalami peningkatan setelah terapi sedasi dan analgesi, maka dalam
penelitian ini dapat diambil keputusan bahwa ada pengaruh pemberian terapi
sedasi dan analgesi terhadap status hemodinamik tetapi tidak ada hubungan
antara penilaian CPOT terhadap perubahan status hemodinamik.

B. SARAN
1. Bagi Ruangan
Mempermudah perawat dalam melakukan pengkajian dan penilaian skala
nyeri pada pasien yang terpasang ventilator.
2. Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipertahankan dalam meningkatkan
pelayanan berkenaan dengan penggunaan alat ukur nyeri critical pain
observational tool ( CPOT ).

37
38

3. Bagi Institusi
Agar lebih melatih mahasiswa yang praktik di ruang ICU untuk lebih
memperhatikan dalam menilai derajat nyeri pasien kritis sesuai dengan skala
pengukuran nyeri yang ada.
4. Bagi peneliti lain
Agar penelitian ini dapat dikembangkan lagi dengan meneliti faktor-faktor
lain yang mempengaruhi dalam penggunaan alat ukur CPOT.
39

DAFTAR PUSTAKA

Barr J, Fraser GL, Puntillo K, et al. Clinical practice guidelines for the management
of pain, agitation, and delirium in adult patients in the intensive care
unit. Crit Care Med 2013; 41: 263-306.
Chanques G, Sebbane M, Barbotte E, Viel E, Eledjam JJ, Jaber S. A prospective
study of pain at rest: incidence and characteristics of an unrecognized
symptom in surgical and trauma versus medical intensive care unit
patients. Anesthesiology 2007; 107: 858-60.
Gelinas, C., & Johnston, C. (2007). Pain assessment in the critically ill ventilated
adult: Validation of the critical care observation tool and physiologic
indicators. Clinical Journal of the Pain, 23, 497–505.
Gelinas, C. (2007). Management of pain in cardic surgery ICU patients: Have we
improved over time?. Intensive Crit Care Nurs, 23, 298–303
Gélinas C, Puntillo KA, Joffe AM, Barr J. A validated approach to evaluating
psychometric properties of pain assessment tools for use in
nonverbal critically ill adults. Semin Respir Crit Care Med 2013; 34:
153-68.
Jevon, P., & Ewens. B. 2009. Pemantauan Pasien Kritis (Edisi 2). Jakarta:
Erlangga Priambodo, et al. Pengkajian nyeri pada pasien kritis
dengan menggunakan Critical Pain Observation Tool (CPOT) di
Intensive Care Unit. Jurnal Ilmu Kesehatan 2016; 4: Available at: http:
// jkp. fkep. unpad. ac. id/ index. php/ jkp/ article/ view/239.
Nuraeni, et al. Gambaran tingkat nyeri pasien pasca operasi jantung di ruang
intensif jantung rs x bandung. Jurnal Keperawatan ‘Aisyiyah 2016; 3:
Availabel at: http: // jurnal keperawatan. Stikes aisyiyah bandung. ac.
id/ jurnal. php? Jurnal = edisi _jurnal &id=525&
Price SA, Wilson LM. Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit Vol. 2.
Edisi 6. Jakarta: EGC;2005. p. 1063-1083.Rose L, et al. Critical care
nurses pain assessment and management : A Surgary in Canada.
American Journal of Critical Care 2012, 21: Available at: http: // ajcc.
aacnjournals. org/ content/ 21 /4 /251. abstract.
Sutari MM, et all. Pain Among Mechanically Ventilated Patients in Critical Care
Units. 2014: Available at: https: // www. ncbi. nlm. nih. gov/ pmc
/articles /PMC4235092/
40

LAMPIRAN-LAMPIRAN

MAP

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Rendah < 70 mmHg 2 25.0 25.0 25.0

Tinggi > 90 mmHg 6 75.0 75.0 100.0

Total 8 100.0 100.0

HR

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Normal 60-100 x/menit 4 50.0 50.0 50.0

Tinggi > 100 x/menit 4 50.0 50.0 100.0

Total 8 100.0 100.0

RR

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Normal 12- 24 x/menit 1 12.5 12.5 12.5

Tinggi > 24 x/menit 7 87.5 87.5 100.0

Total 8 100.0 100.0

CVP

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 0 7 87.5 87.5 87.5

Normal 5 - 10 mmHg 1 12.5 12.5 100.0

Total 8 100.0 100.0


41

Correlations

MAP HR RR CVP CPOT

MAP Pearson Correlation 1 .745* -.218 .218 -.218

Sig. (2-tailed) .034 .604 .604 .604

N 8 8 8 8 8

HR Pearson Correlation .745* 1 -.293 .293 -.293

Sig. (2-tailed) .034 .482 .482 .482

N 8 8 8 8 8

RR Pearson Correlation -.218 -.293 1 .143 -.143

Sig. (2-tailed) .604 .482 .736 .736

N 8 8 8 8 8

CVP Pearson Correlation .218 .293 .143 1 -1.000**

Sig. (2-tailed) .604 .482 .736 .000

N 8 8 8 8 8

CPOT Pearson Correlation -.218 -.293 -.143 -1.000** 1

Sig. (2-tailed) .604 .482 .736 .000

N 8 8 8 8 8

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


42

CPOT Ramsey Jenis Status Hemodinamik Nilai Normal


Jenis sedasi
No. pasien Usia Score Score Setelah dihold
Kelamin dan
analgesi MAP HR RR CVP MAP HR RR CVP
1. Tn. A L 68 thn 2 - Tramadol 116 98 33 5 90 100 24 10
2. Tn. R L 45 thn 5 R4 Midazolam 104 87 25 -
3. Ny. M P 54 thn 5 R4 Midazolam 124 113 30 -
4. Tn. M L 67 thn 5 R5 Midazolam 107 130 28 -
5. Tn. As L 39 thn 8 R5 Midazolam 115 125 23 -
6. Tn. Asm L 59 thn 5 R5 Propofol 128 115 32 -
7. Ny. N P 29 thn 5 R4 Midazolam 68 82 38 -
8. Tn. Ab L 60 thn 5 - Tramadol 62 79 26 -
43

Anda mungkin juga menyukai