Anda di halaman 1dari 26

SISTEM SYARAF OTONOM

Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Farmakologi

Di susun oleh :

1. Kharida Zainatus Salamah 1743050004


2. Miranti Setyo Kencono 1743050035
3. Dita Septiani 1743050049
4. Ira Cristanti 1743050050
5. Ramitha Indri Yani 1743050052
6. Nadia Graceffi Tarigan 1743050063
7. Ayu Dianti 17430500

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA
TAHUN 2017/2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Salam serta salawat tak lupa pula kita haturkan kepada junjungan alam Nabi besar Muhammad
SAW, seorang Nabi yang telah membawa kita dari jaman kegelapan menuju jaman yang terang
benerang seperti yang kita rasakan sepertti saat-saat sekarang ini.

Ucapan terimakasih juga kami haturkan kepada ibu dosen yang telah ikut serta dalam pembuatan
makalah menjelaskan megenai” SISTEM SYARAF OTONOM” makalah ini kami buat untuk
memperdalam ilmu Farmakologi.

Kami menyadari dalam makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, hal ini disebabkan
terbatasnya kemampuan pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki, namun demikian
banyak pula pihak yang telah membantu kami dengan menyediakan sumber informasi,
memberikan masukan pemikiran, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran demi
perbaikan dan kesempurnaan makalah ini diwaktu yang akan datang, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kami dan orang banyak supaya mengetahui apa-apa yang ada dalam pelajaran
Farmakologi.

Jakarta, Maret 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cara manusia bertindak dan bereaksi bergantung pada pemrosesan neuron yang
rumit, tersusun, dan diskret. Banyak dari pola neuron penunjang kehidupan dasar,
misalnya pola yang mengontrol respirasi dan sirkulasi, serupa pada semua orang. Namun,
tentu ada perbedaan halus dalam integrasi neuron antara seseorang yang merupakan
komponis berbakat dan orang yang tidak dapat bernyanyi, atau antara seorang pakar
matematika dan orang yang kesulitan membagi bilangan. Sebagian perbedaan pada sistem
saraf individu disebabkan oleh faktor genetik. Namun sisanya dipengaruhi oleh faktor
lingkungan dan pengalaman. Ketika sistem syaraf imatur berkembang sesuai cetak-biru
genetiknya, terbentuk neuron dan sinaps dalam jumlah berlebihan. Bergantung pada
rangsangan dari luar, dan tingkat pemakaiannya, sebagian dari jalur – jalur syaraf ini
dipertahankan, dibentuk lebih pasti, dan bahkan meningkat, sementara yang lain di
eliminasi.

Sistem syaraf merupakan salah satu bagian yang menyusun sistem koordinasi yang
bertugas menerima rangsangan, menghantarkan rangsangan ke seluruh bagian tubuh, serta
memberikan respons terhadap rangsangan tersebut. Pengaturan penerima rangsangan
dilakukan oleh alat indera. Pengolah rangsangan dilakukan oleh saraf pusat yang kemudian
meneruskan untuk menanggapi rangsangan yang datang dilakukan oleh sistem syaraf dan
alat indera.

Sistem koordinasi merupakan suatu sistem yang mengatur kerja semua sistem organ
agar dapat bekerja secara serasi. Sistem koordinasi itu bekerja untuk menerima rangsangan,
mengolahnya dan kemudian meneruskannya untuk menaggapi rangsangan. Setiap
rangsangan - rangsangan yang kita terima melalui indera kita, akan diolah di otak.
Kemudian otak akan meneruskan rangsangan tersebut ke organ yang bersangkutan.

Pematangan sistem syaraf melibatkan banyak proses “pakailah, jika tidak akan
hilang”. Setelah sistem syaraf terbentuk matang, tetap terjadi modifikasi karena manusia
terus belajar dari rangkaian pengalaman yang dijalani. Sebagai contoh, tindakan membaca
makalah ini sedikit banyak mengubah aktivitas syaraf otak, karena ada informasi yang
diserap kedalam ingatan pembaca.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengenalan Sistem Saraf


Sistem syaraf dibedakan atas 2 divisi anatomi yaitu sistem syaraf pusat (SSP) yang
terdiri dari otak dan medulla spinalis, serta sistem syaraf tepi yang merupakan sel-sel syaraf
yang terletak diluar otak dan medulla spinalis yaitu syaraf - syaraf yang masuk dan keluar
sistem syaraf pusat. Sistem syaraf tepi selnajutnya dibagi dalam divisi eferen yaitu neuron
yang membawa sinyal dari otak dan medulla spinalis ke jaringan tepi, serta divisi aferen
yang membawa informasi dari perifer ke sistem syaraf pusat.
Bagian eferen sistem syaraf tepi selanjutnya dibagi dalam 2 subdivisi fungsional
utama, yaitu sistem somatik dan sistem otonom. Eferen somatik dapat dipengarui oleh
kesadaran yang mengatur fungsi – fugsi seperti kontraksi otot untuk memindahkan suatu
benda. Sedangkan sistem otonom tidak dipengaruhi kesadaran dalam mengatur kebutuhan
tubuh sehari-hari. Sistem syaraf otonom terutama terdiri atas syaraf motorik visera (eferen)
yang menginevarsi otot polos organ visera, otot jantung, pembuluh darah dan kelenjar
eksokrin. Berikut digambarkan secara singkat tentang pembagian sistem syaraf pada
manusia :
B. Sistem Saraf Otonom
Sistem saraf otonom bersama-sama dengan sistem endokrin mengkoordinasikan
pengaturan dan integrasi fungsi-fungsi tubuh. Sistem endokrin mengirimkan sinyal pada
jaringan targetnya melalui hormon yang kadarnya bervariasi dalam darah. Sebaliknya,
sistem saraf menghantarkannya melalui transmisi impuls listrik secara sepat melalui serabut-
serabut saraf yang berakhir pada organ efektor, dan efek khusus akan timbul sebagai akibat
pelepasan substansi neuromediator.
Sistem saraf otonom (SSO) disebut juga susunan saraf vegetatif, meliputi antara lain
saraf-saraf dan ganglia (majemuk dari ganglion = simpul saraf) yang merupakan persarafan
ke otot polos dari berbagai organ ( bronchia, lambung, usus, pembuluh darah, dan lain-lain).
termasuk keompok ini pula adalah, otot jantung (lurik) serta beberapa kelenjar (ludah,
keringat, dan pencernaan).dengan demikian, SSO tersebar luas diseluruh tubuh dan
ungsinya adalah mengatur secara otomatis keadaan fisiologi yang konstan, seperti suhu
badan, tekanan dan perearan darah, serta pernapasan.
SSO dipecah lagi dalam dua cabang, yakni Susunan (Ortho) Simpatik (SO) dan
Susunan Parasimpatik (SP). Pada umunya dapat dikatakan bahwa kedua susunan ini
bekerja antagonistis: bila satu sistem merintangi fungsi tertentu, sistem lainnya justru
menstimulasinya. Tetapi, dalam beberapa hal, khasiatnya berlainan sama sekali atau bahkan
bersifat sinergistis. Untuk jelasnya, percabangan sistem dapat digambarkan sebagai berikut :
Pada bagan diatas dimuat efek-efek terpenting dari perangsangan SO (saraf simpatik)
dan SP (saraf parasimpaik) terhadap berbagai organ tubuh. Jadi dapat disimpulkan, stimulasi
susunan adrenergik menimbulkan reaksi yang perlu guna meningkatkan penggunaan zat-zat
oleh tubuh, seperti bila kita berada dalam keadaan aktif dan memerlukan energi. Sebaliknya,
bila susunan kolinergik dirangsang, maka akan timbul efek dengan tujuan menghemat
penggunaan zat-zat yang membutuhkan enersi. Hal ini terjadi bila tubuh berada dalam
keadaan istrahat atau tidur. Dalam tubuh yang sehat terdapat keseimbangan antara kedua
kelompok saraf tersebut.
1.) Penerusan impuls oleh neurotransmitter
Susunan saraf motoris mengatur obat-obat lurik dengan impuls listrik
(rangsangan) yang secara langsung dikirim dari SSP melalui saraf motoris ke otot
tersebut. Pada SSO, impuls disalurkan keorgan tujuan (efektor, organ ujung) secara tak
langsung. Saraf otonom dibeberapa tempat terkumpul di sel-sel ganglion, dimana
terdapat sinaps, yaitu sela diantara dua neuron(sel saraf). Saraf yang meneruskan impuls
dari SSP ke ganglia dinamakan neuron preganglioner, sedangkan saraf antara ganglia
dan organ ujung disebut neuron post-ganglioner.
Impuls dari SSP dalam sinaps dialihkan dari satu neuron kepada yang lain secara
kimiawi dengan jalan neurotransmitter. Bila dalam suatu neuron impuls tiba di sinaps,
maka pada saat itu juga neuron tersebut membebaskan suatu neurohormon diujungnya,
yang melintasi sinaps dan merangsang neuron berikutnya. Pada sinaps yang berikut
dibebaskan pula neurohormon dan seterusnya hingga impuls tiba di organ efektor.
Berikut adalah organ dan reseptor dari saraf adrenergik dan saraf kolinergik :

Organ Reseptor Efek stimulasi


S.adrenergik S.kolinergik
Mata (pupil) ∞ :diperbesar :diperkecil
Paru-paru (bronchia) Β :dilatasi :konstriksi
Jantung Β :daya kontraksi :diperlemah
diperkuat,
denyutan
dipercepat
Arteriola ∞β : konstriksi
Vena ∞ : konstriksi Diperlambat
dilatasi
Lambung-usus ∞β :dikurangi -
(peristaltik dan relaksasi
sekresi)
Kantong kemih dan ∞ : relaksasi Diperbesar
empedu, rahim konstriksi
berubah-ubah
Rahim yg Β : konstriksi -
megandung,
Kulit, otot-otot ∞ : konstriksi -

C. Obat-obat Sistem Saraf Otonom


Obat-obat yang menghasilkan efek terapeutik utamanya dengan menyerupai atau
mengubah fungsi sistem saraf otonom, disebut obat-obat otomon. Obat-obat yang
mempengaruhi sistem saraf otonom dibagi dalam dua subgrup sesuai dengan mekanisme
kerjanya terhadap tipe neuron yang dipengaruhi.
1.) Agonis kolinergik
Agonis kolinergik meniru efek asetilkolin dengan cara berikatan langsung pada
kolinoseptor. Obat ini adalah ester sintetik kolin, seperti karbakol dan betanekol, atau
alkaloid alam seperti pilokarpin.
a. Agonis kolinergik langsung
Semua obat kolinergik yang bekerja langsung mempunyai masa kerja lebih lama
dibandingkan asetilkolin. Beberapa diantaranya yang sangat bermanfaat dalam terapi
(pilokarpin dan betanekol) lebih mudah terikat pada reseptor muskarinik dan
kadang-kadang dikenal sebagai obat muskarinik. Namun demikian, sebagai satu
grup, maka agonis yang bekerja langsung ini menunjukkan kurang spesifik dalam
kerjanya, yang sudah tentu akan membatasi penggunaan klinisnya.
 Asetilkolin
Adalah suatu senyawa amonium kuartener yang tidak mampu menembus
membran. Walaupun sebagai suatu neurotransmitter saraf parasimpatis dan
kolinergik, namun dalam terapi zat ini kurang penting karena beragam kerjanya
dan sangat cepat di-inaktifkan oleh asetilkolinesterase. Aktivitasnya berupa
muskarinik dan nikotinik. Kerjanya termasuk :
- Menurunkan denyut jantung dan curah jantung
- Menurunkan tekanan darah
Asetilkolin juga mempunyai kerja lain seperti pada saluran cerna, asetilkolin
dapat meningkatkan sekresi saliva, memacu sekresi dan gerakan usus. Sekresi
bronkial juga dipacu. Pada saluran genitourinaus, tonus otot detrusor urine juga
ditingkatkan. Pada mata, asetilkolin memacu kontraksi otot siliaris untuk melihat
dekat dan menkontriksi otot sfingter pupil sehingga timbul miosis.
 Betanekol
Mempunyai struktur yang berkaitan dengan asetilkolin; asetatnya diganti dengan
karbamat dan kolinnya dimetilasi.kerja nikotiniknya kecil atau tidak ada sama
sekali, tetapi kerja muskariniknya sangat kuat. Masa kerjanya berlangsung sekitar
1 jam
Kerja : memacu langsung reseptor muskarinik, sehingga tonus dan motilitas usus
meningkat, dan memacu pula otot detrusor kandung kemih sementara trigonum
dan sfingter kemih melemas, sehingga urin terpencar keluar.
Aplikasi terapi : untuk pengobatan urologi, obat ini digunakan untuk memacu
knadung kemih yang mengalami atoni (atonis bladder) terutama retensi urin pasca
persalinan dan pasca bedah non-obstruksi.
Efek samping : dapat menimbulkan pacuan kolinergik umum. Termasuk dalam
pacuan ini adalah keringat, salivasi, kemerahan, penurunan tekanan darah, mual,
nyeri abdomen, diare dan bronkospasme.
 Karbakol (karbamikolin)
Bekerja sebagai muskarinikmaupun nikotinik.
Kerja : berefek sangat kuat terhadap sistem kardiovaskuler dan sistem
pencernaan karena aktivitas pacu ganglion-nya dan mungkin tahap awalnya
memacu dan kemudian mendepresi sistem tersebut. Penetesan lokal pada mata,
dpat meniru efek asetilkolin yang menimbulkan miosis.
Penggunaan terapi : karena potensi tinggi dan masa kerja yang relatif lama,
maka ibat ini jarang digunakan untuk maksud terapi, kecuali pada mata sebagai
obat miotikum untuk menyebabkan kontraksi pupil dan turunnya tekanan dalam
bola mata.
Efek samping : jika diberikan dalam dosis oftalmologi maka efek sampingnya
kecil atau tidak ada sama sekali.
 Pilokarpin
Menunjukkan kativitas muskarinik dan terutama digunakan untuk oftalmologi
Kerja : dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi otot siliaris. Pada
mata akan terjadi suatu spasme akomodasi, da penglihata akan terpaku pada jarak
tertentu, sehingga sulit untuk memfokus suatu objek. Pilokarpin adalah salah satu
pemacu sekresi kelenjar keringat, air mata, dan saliva, tetapi obat ini tidak
digunkan untuk maksud demikian.
Penggunaan terapi : merupakan obat terpilih dalam keadaan gawat yang dapat
menurunkan tekanan bola matabaik glaukoma bersudut sempit maupun bersudut
lebar
Efek samping : pilokarpin dapat mencapai otak dan menimbulkan gangguan SSP.
Obat ini merangsang keringat dan salivasi yang berlebihan.
b. Inhibitor kolinesterase
Pada bagian sistem syaraf otonom terdapat suatu enzim yang sangat penting yaitu
Asetilkolin asetil hidrolase (AchE) atau biasa disebut dengan asetilkolinesterase.
Enzim ini ditemukan pada celah syaraf kolinergik, neuromuscular junction, dan
darah. Enzim ini sangat penting karena berfungsi untuk memecah asetilkolin
menjadi asetat dan kolin. Obat dalam hal ini bereaksi dengan menghambat enzim
kolinesterase pada celah sinaptik. Sedangkan obat-obatannya beraksi dengan 2 tipe,
yaitu sebagai Inhibitor reversibel dan sebagai Inhibitor Ireversibel.
1.) Antikolinesterase Reversibel
Obat ini dapat berinteraksi secara kompetitif dengan sisi aktif enzim AChE dan
dapat terbalikkan / reversibel. Obat pada golongan ini bersifat larut air. Contoh
obat-obatan yang bersifat inhibitor reversibel ini yaitu :
 Fisotigmin
Merupakan substrat yang relatif stabil yang berfungsi meng-inaktifkan secara
reversible asetilkolinesterase. Akibatnya terjadi potensiasi aktivasi kolinergik
diseluruh tubuh.
Kerja : lama kerja sekitar 2-4 jam, dapat mencapai dan memacu SSP.
Penggunaan terapi : obat ini meningkatka gerakan usus dan kandung kemih,
sehingga berkhasiat untuk mengobati kelumpuhan kedua organ
tersebut.digunakan pula untuk mengobati kerja antikolinergik yang berlebihan
seperti atropin dalam dosis berlebihan, fenotiazin, dan obat antidepresi trisiklik.
Efek samping : efek terhadap SSP menimbulkan kejang bila diberikan dalam
dosis besar. Dapat terjadi juga bradikardia. Efek jarang ditemukan bila
digunakan dalam dosis teraupetik.
 Neostigmin
Suatu senyawa sintetik yang dapat menghambat asetilkolinesterase secara
reversible seperti fisotigmin, tetapi lebih polar dan oleh sebab itu tidak dapat
masuk dalam SSP. Masa kerjanya 2-4 jam. Neostigmin juga bermanfaat sebagai
simtomatik pada mistenia gravis, suatu penyakit autoimun yang disebabkan oleh
antiboditerhadap reseptor nikotinik yang terikat pada reseptol asetilkolin dari
sambungan neuromuskular. Efek samping berupa salivasi, muka merah, dan
pans, menurunnya tekanan darah, mual, nyeri perut, diare dan bronkospasme.
 Piridogstimin
Penghambat kolinesterase lain yang digunakan untuk pengobatan jangka
panjang miastenia gravis. Masa kerjanya lebih panjang (3-6 jam) dari
neogstigmin (2-4 jam)
 Edrofonium
Kerja obat ini mirip dengan neostigmin, kecuali obat ini lebih cepat diserap dan
masa kerjanya lebih singkat (sekitar 10-20 menit). Edrofonium amin kuartener
dan digunakan untuk mendiagnosis miastenia gravis. Injeksi intravena
edrofonium menyebabkan peningkatan kekuatan otot dengan cepat. Kelebihan
dosis dari obat ini harus diperhatikan karena mungkin menimbulkan krisis
kolinergik. Atropin adalah antidotumnya.
2.) Antikolinesterase Irreversibel
Sejumlah senyawa organofosfat sintetik mempunyai kapasitas untuk melekat
secara kovalen pada asetilkolinesterase. Keadaan ini memperpanjang efek
asetilkolin pada semua tempat pelepasannya. Kebanyakan dari obat ini sangat
toksik dn dikembangkan hanya untuk keperluan militer sebagai racun saraf.
Senyawa turunannya seperti paration digunakan sebagai inteksida.
 Isoflurofat
Mekanisme kerja : merupakan organofosfat yang terikat secara kovalen
pada serin-OH pada sisi aktif asetilkolinesterase. Sekali terikat, maka enzim
menjadi tidak aktif secara permanen, dan restorasi (pemulihan kembali)
aktivitas asetilkolinesterase memerlukan sintesis molekul enzim baru. Setelah
terjadi modifikasi kovalen asetilkolinesterase, maka enzim yang
terfosforisasiakan melepas secara perlahan satu gugus isopropilnya.
Kehilangan satu gugus alkil, yang sering disebut sebagai penuaan, menjadi
sulit sekali bagi reaktivator kimia seperti pralidoksim, untuk memecah ikatan
antara sisa obat dan enzim. Obat saraf yang baru, ditujukan untuk militer,
bekerja setelah beberapa menit atau detik, sedangkan DFP dalam 6-8 jam.
Kerja : kerja obat ini meliputi pacuan kolinergik umum, kelumpuhan fungsi
motor (yang menimbulkan kesulitan bernapas), dan kejang. Isoflurofat
menimbulkan pula miosis kuat dan bermanfaat terapeutik. Atroin dosis besar
mampu melawan semua efek muskarini dan efek sentral Isoflurofat.
Penggunaan terapi : bentuk salep mata obat ini digunakan secara topikal
dalam jangka panjang pada pengobatan glaukoma sudut terbuka. Efeknya
berakhir mendekati satu minggu setelah penetesan tunggal. Ekotiofat adalah
obat baru yang terikat pula secara kovalen pada asetilkolinesterase.
Kegunaanya sama seperti Isoflurofat
Reaktivasi asetilkolinesterase : pralidoksim (PAM) adalah senyawa
piridium sintetik yang mampu mengaktifkan kembali asetilkolinesterase yang
terhambat.
2.) Antagonis Kolinergik
Antagonis kolinergik (disebut juga obat penyekat kolinergik atau obat antikolinergik)
mengikat kolinoreseptor tetapi tidak memicu efek intraseluler diperntarai reseptor
seperti lazimnya. Yang paling bermanfaat dari obat golongan ini adalah menyekat
sinaps muskarinik pada saraf parasimpatis secara selektif.oleh karena itu, efek
persarafan parasimpatis menjadi terganggu, dan kerja pacu simpatis muncul tanpa
imbangan.
a.) Obat antimuskarinik
Obat golongan ini seperti atropin dan skopolamin bekerja menyekat reseptor
muskarinik yang menyebabkan hambatan semua fungsi muskarinik. Selain itu,
obat ini menyekat sedikit perkeualian neuron simpatis yang juga kolinergik,
seperti saraf simpatis yang menuju kelenjar keringat. Bertentangan dengan obat
agonis kolinerik yang kegunaan teraupetiknya tebatas, maka obat penyekat
kolinergik ini sangat menguntungkan dalam sejumlah besar situasi klinis. Karena
obat ini tidak menyekat nikotinik, maka obat antimuskarinik ini sedikit atau tidak
mempengaruhi smbungan saraf otot rangka atau ganglia otonom.
 Atropin
Atropin, alkaloid belladonna, memiliki afinitas kuat terhadap reseptor
muskarink, dimana obat ini terikat secara kompetitif, sehingga mencegah
asetilkolin terikat pada tempatnya di reseptor muskarinik. Atropin menyekat
reseptor muskarinik baik di snetral maupun saraf tepi. Kerja obat ini secara
umum berlangsung sekitar 4 jam kecuali bila diteteskan kedalam mata, maka
kerjanya sampai berhari-hari.
Kerja :
- Mata : atropin meyekat semua aktivitas kolinergik pada mata, sehingg
menimbulkan midriasis, mata menjadi tidak bereaksi terhadap cahaya dan
sikloplegia (ketidak mampuan untuk memfokuskn penglihatan dekat). Pada
pasien dengan glaukoma, tekanan intraokular akan meninggi secara
membahayakan.
- Gastrointestial : atropin digunakan sebagai obat antispsmodik untuk
mengurangi aktivitas saluran cerna.
- Sistem kemih : atropin digunakan pula untuk mengurangi keadaan
hipermotilitas kandung kemih. Obat ini kadang-kdang masih dipakai untuk
kasus enuresis (buang air seni tanpa disadari). Tetapi obat agoni adrenergik
alfa mungkin jauh lebih efektif dengan efek samping yang sedikit.
- Kardiovaskuler : atropin menimbulkan efek divergen pada sistem
kardiovaskuler, tergantung pada dosisnya. Pada dosis rendah, efek yang
menonjol adalah penurunan denyut jantung (brakardia). Pada dosis tinggi,
reseptor jantung pada nodus SA disekat, dan denyut jantung sedikit bertambah
(takkikardia). Dosis sampai timbul efek ini sedikitnya 1 mg atropin, yang
berarti sudah termasuk dosis tinggi dan pemberian biasanya. Tekanan darah
arterial tidak dipengaruh tetapi padatingkat toksik, atropin akan mendilatasi
pembuluh darah di kulit.
- Sekresi : atropin menyekat kelenjar saliva sehingga timbul efek
pengeringan pada lapisan mukosa mulut (serostomia). Kelenjar saliva sangat
peka terhadap atropin. Kelenjar keringat dan kelenjar air mata terganggu pula.
Hambatan sekresi pada kelenjar keringat menyebabkan suhu tubuh meninggi.
Penggunaan terapi :
- Oftalmik : pada mata, salep mata atropin menyebabkan efek midratik atau
siklopegik dan memunginkan untuk pengukuran kelainan refraksi tanpa
gangguan oleh kapasitas akomodasi mata. Atropin mungin menimbulkan suatu
serangan pada individu yang menderita glaukoma sudut sempit.
- Obat antipasmodik : atropin digunakan sebagai obat antiplasmodik untuk
melemaskan saluran cerna dan kandung kemih.
- Antidotum untuk aginis kolinergik : atropin digunakan untuk mengobati
kelebihan dosis organofosfat (yang megandung insektisida tertentu) dan
beberapa jenis keracunan jamur ( jamur tertentu yang megandung substansi
kolinergik). Kemampuan obat ini masuk kedalam SSP sangat penting sekali.
Atropin menyekat efek asetilkolin yang berlebihan akibat dari hambatan
terhadap asetilkolinesterase oleh obat-obatan seperti fisostigmin.
- Obat antisekretori : suatu obat kadang diperlukan sebagai antisekretori
guna menghentikan sekresi pada saluran napas atas dan bawah sebelum
dilakukan suatu operasi
Farmakokinetik :atropin mudah diserap, sebagian dimetabolisme didalam
hepar, dan dibuang dari tubuh terutama melalui air seni. Masa paruhnya sekitar
4 jam.
Efek samping : tergantung pada dosis, atropin dapat menyebabkan mulut
kering, penglihatan mengabur, mata rasa berpasir (sandy eyes), takikardia, dan
konstipasi. Efeknya terhadap SSP termasuk rasa capek, bingung, halusinasi,
delirium, yang mungkin berlanjut mnejadi depresi, kolaps sirkulasi dan sistem
pernapasan dan kematian. Pada individu yang lebih tua, pemakaian atropin
dapat menimbulkan midrasis dan sikloplegi dan keadaan ini cukup gawat
karena dapat menyebabkan serangan glaukomaberulang setelah menjalani
kondisi tenang.
 Skopolamin
Skolapomin, alkaloid beladona lainnya, dapat menimbulkan efek tepi yang
sama dengan efek atropin. Tetapi efe skopolamin lebih nyata pada SSP dan
masa kerjanya lebih lama dibandingkan atropin.
Efek : skopolamin merupakan salah satu obat anti mbauk perjalanan yang
paling efektif. Obat ini menimbulkan pula efek penumpulan daya ingat jangka
pendek. Bertolak belakang dengan atropin, obat ini menyebabkan sedasi, rasa
megantuk, tetapi pada dosis yang lebih tinggi bahkan menimbulkan
kegelisahan/kegaduhan.
Penggunaan terapi : walaupun mirip dengan atropin, indikasi obat ini terbatas
pada pencegahan mabuk perjalanan (obat ini memang sangat efektif) dan
penumpulan daya ingat jangka pendek.
Farmakokinetik dan efek samping : aspek ini persis sama seperti atropin
 Ipratropium
Penyedotan Ipratropium, suatu turunan kuartener atropin, bermanfaat untuk
pengobatan asma dan penyakit paru obstruksi menahun (PPOM) pada pasien
yang tidak cocok menelan agonis adrenergik.
b.) Penyekat ganglionik
Obat ini menunjukkan tidak adanya selektivitas terhadap ganglia simpatis
maupun parasimpatis dan tidak efektif sebagai antagonis neuromuskular. Oleh
karena itu, obat ini menghentikan semua keluaran sistem saraf otonom pada
reseptor nikotinikrespon yang teramati memang kompleks dan sulit diduga,
sehingga tidak mungkin meperoleh kerja yang selektif. Obat penyekat ganglionik
jarang digunakan untuk maksud terapi saat ini. Tetapi obat ini ering digunakan
sebagai alat dalam eksperimen farmakologi.
 Nikotin
Satu komponen dalam roko sigaret, nikotin memiliki sejumlah kerja yang
kurang menyenangkan. Tergantung pada dosis, ikotin mendepolarisasi
ganglia, menimbulkan pertama kali gejala pacuan dan kemudian diikuti oleh
paralisis dari semua ganglia. Efek pacunya kompleks, termasuk peningkatan
tekanan darah, pertambahan denyut jantung ( akibat pelepasan transmitter dari
ujung saraf adrenergik dan medula adrenalis ), serta peningkatan peristaltis
dan sekresi. Pada dosis lebih tinggi, teanan darah justru menurun karena
penyekatan ganglionik, dan aktivitas saluran cerna otot-otot kandung kemih
terhent.
 Trimetafan
Trimetafan adalah obat penyekat ganglionik nikotinik bekerja singkat dan
bersifat kompetitif yang harus diberikan secara infus intravena. Saat ini
trimetafan digunakan untuk menurunkan tekanan darah dalam keadaan
darurat seperti hipertensi yang disebabkan oleh edema paru atau pecahnya
aneurisma aorta bila obat lain tidak dapat digunakan.
 Mekamilamin
Mekamilamin menyekat kompetitif ganglia nikotinik. Lam kerjanya berkisar
10 jam setelah pemberian tunggal. Ambilan obat melalui penyerapan oral
baik, berbeda dengan trimetafan.
c.) Obat penyekat neuromuskular
Penyekat neuromuskular bermanfaat secara klinik selama opersi guna
melemaskan otot secara sempurna tanpa memperbanyak obat anastesi yang
sebanding dalam melemaskan otot. Obat penyekat neuromuskular ini strukturnya
analog dengan asetilkolin dan bekerja baik sebagai antagonis (tipe
nondepolarisasi) maupun agonis (tipe depolarisasi) terhadap reseptor yang
terdapat cekungan sambungan neuromuskular.
 Penyekat nondepolarisasi (kompetitif)
Obat pertama yang mampu menyekat sambungan neuromuskular otot rangka
adalah kurare, yang dipake oleh pemburu alam didaerah amazon Amerika
Selatan untuk melumpuhkan binatang buruannya. Obat tubokuarin akhirnya
dimurnikan dengan baikdan dikenalkan dalam klinik pada awal tahun 1940-
an. Obat penyekat neuromuskilat jelas mempertinggi tinggkat keamanan
anastesi yang dibutuhkan untuk sampai ketingkat melemaskan otot tidak
perlu terlalu banyak.
Mekanisme kerja : pada dosis rendah obat penyekat neuromuskular
nondepolarisasi bergabung dengan reseptor nikotinik dan mencegah
pengikatan asetilkolin. Obat ini justru mencegah depolarisasi membran sel
otot yang menghambat kontraksi otot. Karena obat ini bersaing dengan
aetilkolin pada reseptor, maka disebut penyekat kompetitif. Kerjanya dapat
dimusnahkan dengan memperbanyak kadar asetilkolin pada cela sinaptik,
sebagai contoh pemberian obat penghambat kolinesterase seperti neostigmin
atau edrofonium. Ahli anastesi sering menggunakan strategi ini untuk
mempersingkat lama penyekatan neuromuskular. Pada dosis tinggi penyekat
nondepolarisasi menghadang kanal ion pada cekungan. Keadaan ini
menyebabkan pelemahan transmisi neuromuskular lebih lanjut dan
mengurangi kemampuan obat penghambat asetilkolinesterase untuk
menghilangkan kerja obat pelemas otot nondepolarisasi.
Efek : tidak semua otot sama pekanya terhadap penyekatan oleh obat
penyekat kompetitif. Otot-otot kecil yang berkontraksi cepat pada muka dan
mata sangat peka sekali dan dilumpuhkan pertama kali, kemudian diikuti
oleh otot jari-jari. Setelah itu otot tungkai dan lengan, lher, dan batang tutbuh
dilumuhkan, kemudian otot sela iga terganggu dan terakhir otot diafragma
lumpuh.
Penggunaan terapi : obat penyekat ini digunakan dalam terapi sebagai obat
pelengkap dalam anastesi selama operasi guna melemaskan otot rangka.
Farmakokinetik : obat ini sulit menembus membran dan tidak mauk
kedalam sel atau melintasi sawar darah otak. Kebanyakan obat ini tidak
dimetabolisme; kerjanya diakhiri dengan cara penyebaran kembali. Sebagai
contoh, tubokuarin, pankuronium, mivakurium, metokurin dan doksakurium
diekskresikan kedalam urin dalam bentuk utuh. Atrikurium dihancurkan
spontan didalam plasma dan dengan hidrolisis ester. Obat aminosteroid
(vekuronium dan rokuronium) di-deastilasi dalam hati, dan bersihannya akan
memanjang pada pasien dengan penyakit hepar. Obat ini diekskresi dalam
bentuk utuh kedalam empedu.
Interaksi obat : penghambat kolinesterase, anestesi hidrokarbon berhalogen,
antibiotika aminoglikosida, penyekat kanal kalsium.
 Obat depolarisasi
Mekanisme kerja : tidak seperti asetilkolin yang segera dirusak oleh
asetilkolinesterase, maka obat depolarisasi ini kadarnya teteap tinggi dalam
celah sinaptik dan tetap melekat pada reseptor dalam jangka waktu yang
relatif lama, dan terus menerus memacu reseptor.
Efek : urutan kelumpuhan ungkin sedikit berbeda, tetapi sebagaimana yang
terjadi pada penyekat kompetitif, otot-otot pernapasan limpuh belakangan.
Suksinilkolin mengawali efeknya dengan lumpuh dalam beberapa menit.
Obat ini tidak menyebabkan penyekatan ganglion, kecuai pada dosis tinggi,
walaupun sebenarnya obat ini memacu secara lemah pelepasan histamin.
Dalam keadaan normal, lama kerja suksinilkolin sangat singkat, karena obat
ini cepat sekali dirusak oleh kolinesterase dalam plasma.
Penggunaan terapi : karena mula kerjanya cepat dan lama kerja singkat,
suksisnilkolin berguna sewaktu intubasi endotrakeal cepat dibutuhkn selama
induksi anastesi. Obat ini digunakan juga selama terapi syok
elektrokonvulsif (ECT).
Farmakokinetik : suksisnilkolin disuntikkan intravena. Kerjanya yang
sangat singkat (beberapa menit saja) disebabkan oleh hidrolisis cepat
kolinesterase dalam plasma. Oleh karena itu, obat ini biasanya diberikan
dalam bentuk nfus terus menerus.
Efek samping :
- Hipertermia : bila halotan digunakan sebagai anastesi, maka pemberian
suksinilkolin terkadang menyebabkan hipertemia sangat berat pada orang
yang dasar genetiknya peka.
- Apnea : pasien yang dasar genetiknya berkaitan dengan defisiensi
kolinesterase plasma atau adanya bentuk atipikal dari enzim tersebut sering
terjadi apnea (tidak dapat bernapas) karena kelumpuhan otot diafragma.
3.) Agonis adrenergik
Agonis adrenergik merupakan obat yang memacu atau meningkatkan syaraf adrenergik.
Oleh karena itu obat-obat yang bekerja secara agonis adrenergik ini beraksi menyerupai
neurotransmitternya, yaitu nor-adrenalin. Agonis adrenergik juga dinamakan dengan
Adrenomimetik. Obat-obat yang bekerja dengan cara ini bereaksi dengan reseptor
adrenergik, yaitu reseptor adrenergik α & reseptor adrenergik β. Obat agonis adrenergi
memiliki 3 mekanisme kerja yaitu:
a.) Agonis bekerja langsung : yaitu obat-obat yang bekerja lngsung pada reseptor α dan
β dengan menimbulkan efek mirip pacuan saraf simpatis atau pelepasan hormon
epinefrin dari medula adrenalis, contoh obat agonis yang bekerja langsung :
 Epinefrin : epinefrin berinteraksi terhadap reseptor α dan β. Pada dosis rendah,
efek β (vasodilatasi) pada sistem vaskular menonjol sekali, sedangkan pada dosis
tinggi, efek α (vasokontriksi) menjadi efek terkuat.
Kerja : kerja utama epinefrin adalah pada sistem kardiovaskuler. Senyawa ini
memperkuat daya kontraksi otot jantung (miokard) (inotropik positif: kerja β1).
Oleh sebab itu, curah jantung meningkat pula. Akibat dar efek ini maka
kebutuhan oksigen otot jantung meningkat juga. Epinefrin mengkontriksi areriol
dikulit, membran mukosa dan visera (efek α) dan mendilatasi pembuluh darah
kehati dan otot rangka (efek β2). Aliran darah ke ginjal menurun. Oleh karena itu,
efek kumulatif epinefrin adalah peningkatan tekanan sistolik bersama dengan
sedikit penurunan tekanan diastolik yang akhirnya menimbulkan refleks
perlambatan jantung.
Respirasi : epinefrin menimbulkan bronkodilatasi kuat dengan bekerja langsung
pada otot polos bronus (kerja β2). Kerja ini sangat membantu semua keadaan
bronkokontriksi karena reaksi alergi atau pacu histamin. Pada kasus syok
anafilaksis, obat ini dapat menyelamatkan nyawa.
Hiperglikemia : epinefrin mempunyai efek hiperglikemia yang khas karena
terjadinya glikogenolisis didalam hepar (efek β2) peningkatan pelepasan glukogen
(efek β2) dan menurunkan pelepasan insulin (efek α2). Efek demikian diperantarai
oleh AMP.
Lipolisis : epinefrin mengawali lipoisis melalui aktivitas agonisnya pada reseptor
beta jaringan lemak, yang pada stimulasi, mengaktifkan adenili siklase untuk
meningkatkan kadar cAMP. cAMP ini kemudian memacu suatu lipase sensitif
hormon yang selanjutnya menghidrolisis triasilgliserol menjadi asam lemak bebas
dan gliserol.
Biotransformasi : epinefrin seperti katekolamin lainnya, dimetabolisme oleh 2
jalur enzimatik: COMT yang memiliki S-adenosilmetionin sebagai kofaktor, dan
MAO. Hasil metabolit kahir yang dijumpai dalam urin adalah metanefrin dan
asam vanilimendelat.
Penggunaan terapi :
- Bronkospasme : epinefrin merupakan obat utama yang digunakan untuk
pengobatan gawat setiap kondisi saluran napas yang ditandai oleh bronkokontriksi
dengan kesulitan bernapas.
- Glaukoma : pada oftalmologi, larutan epinefrin 2% dapat digunakan secara
topikal untuk mengurangi tekanan dalam bola matapada glaukoma sudut terbuka.
Obat ini mapu mengurangi produksi cairan humor dengan memvasokontriksi
pembuluh darah badan siliaris.
- Syok anafilatik : epinefrin merupakan obat pilihan untuk pengobatan reaksi
hipersensitif tipe 1 dan responnya terhadap alergen.
- Pada anastesi : larutan anastesi lokal biasanya megandung 1:100.000 bagian
epinefrin. Efeknya nyata sekali dalam memperpanjang kerja anastesi lokal.
Farmakokinetik : epinefrin mempunyai awitan cepat, tetapi masa kerjanya
singkat.
Efek samping :
- Gangguan SSP : akibat epinefrin termasuk kecemasan, ketakutan, tegang, sakit
kepala dan tremor.
- Pendarahan : obat ini dapat memacu pendarahan didalam otak akibat dari
naiknya tekanan darah secara nyata.
- Aritmia jantung : obat ini dapat pula memacu aritmia jantung, terutama bagi
pasien yang sedang mendapat digitalis
- Edema paru : epinefrin dapat menimbulkan edema baru.
Interaksi
- Hipertiroidisme : epinefrin akan mempercepat kerja kardiovaskuler pada pasien
hipertiroidisme, bisa digunakan kecuali dosis obat dikurangi.
- Kokain : bila didalam tubuh terdapat kokain, maka epinefrin akan menambah
efek kardiovaskulernya.
 Norepinefrin
Obat ini akan memacu semua tipe reseptor adrenergik. Namun dalam
kenyataannya, bila obat ini diberikan pada manusia dalam dosis terapi, maka
reseptor adrenergik α saja yang paling dipengaruhi.
Kerja kardiovaskuler :
- Vasokontriksi : norepinefrin menyebabkan kenaikan tahanan perifer akibat
vasokontriksi kuat hampir semua lapangan vaskular, termasuk ginjal.
- Refleks baroreseptor : pada preparat jaringan jantung terpisah, norepinefrin akan
memacu kontraktilitas jantung; namun secara invivo, pacuan ini hanya ringan
sekali bila ada.ha in akibat dari peningkatan tekanan darah yang emacu suatu
refleks berkaitan dengan aktivitas vagal melalui pacuan baroreseptor.
- Efek praterapi atropin : bila atropin diberikan sebelum norepinefrin, maka pacuan
norepinefrin jelas akan menimbulkan takikardia.
- Penggunaan terapi : norepinefrin digunakan untuk pengobatan syok karena
kemampuannya menaikkan tahanan tepi dan oleh karena itu menaikkan tekanan
darah; namun demikian dopamin ternyata lebih baik, karena tidak mengurangi
aliran darah keginjal seperti norepinefrin.
 Isoproterenol
Bekerja langsung yang terutama memacu reseptor β1 dan β2.
Kerja :
- Kardiovaskular : pacuan obat ini seaktif epinefrin sehingga bermanfaat pada
pengobatan blok antrioventrikular atau henti jantung. Isoproterenol
mendilatasi pula arteriol otot rangka (kerja β2.), sehingga mengurangi tahanan
perifer. Karena kerja pacu jantungnya, obat in mungkin enaikkan sedikit
tekanan sistol, tetapi sangat menurunkan tekanan arteri rerata dan tekanan
diastolik.
- Paru-paru : isoproterenol seaktif epinefrin dan cepat melegakkan seranan
asma akut, bila diberikan secara inhalasi/sedotan. Kerja ini berakhir sekitar 1
jam dan sesudah itu dosis dapat diulangi kembali.
- Efek lainnya : terhadap reseptor β, seperti peningkatan kadar gula darah dan
lipolisis dapat dibuktikan, tetapi secara klinik efek ini tidak jelas.
Penggunaan terapi : isoproterenol sekarang jarang digunakan sebagai obat
bronkodilator pada asma.
Farmakokinetik : diserap secara sistemik oleh mukosa sublingual tetapi lebih
nyata diserap secara parental atau sedotan aerosol.
Efek samping : mirip sekali dengan efek samping epinefrin.
 Dopamin
Dopamin dapat mengaktifkan reseptor adrenergik α dan β. Sebagai contoh, pada
dosis tinggi obat ini menimbulkan vasokontriksi dengan mengaktifkan reseptor α,
sebaliknya pada dosis rendah, obat akan memacu reseptor jantung β.
 Dobutamin
Kerja : adalah suatu katekolamin sintetik, bekerja langsung yang merupakan
agonis reseptor β1. Obat ini tersedia dalam bentuk campuraan resemik.
Penggunaan terapi : dobutamin digunakan untuk meningkatkan curah jantung
pada gagal jantung kongestif.
Efek samping : dobutamin perlu diperhatikan bila diberikan pada pasien dengan
fibrilasi atrial, karena obat ini meningkatkan konduksi atrioventrikular. Efek
samping lainnya mirip dengan efek samping epinefrin.
 Fenilefrin
Fenilefterin adalah obat adrenergik sintetik langsung yang terutama mengikat
reseptor α2. Fenilefterin adalah suatu vasokontriktor yang mampu meningkatkan
tekanan sistolik maupun diastolik. Efeknya terhadap jantung langsung tidak ada,
tetapi memacu refleks bradikardia bila diberikan parental. Obat ini digunakan
untuk enaikkan tekanan darah dan menghentikan serangan tarikardia
supraventrikular. Dosis besar dapat menyebabkan sakit kepala hipertensif dan
ketidakteraturan jantung.
 Metoksamin
Metoksamin adalah obat adrenergik sintetik bekerja langsung yang mengikat
reseptor alpha, terlebih lagi reseptor α1 dan α2. Obat ini digunakan juga untuk
menanggulangi hipotensi selama operasi yang memperoleh anastesi halotan. Obat
ini cenderung tidak memacu aritmia jantung pada pasien yang disensitisasi anastesi
umum halotan. Efek samping yang terjadi berupa sakit kepala hipertensif dan
muntah-muntah.
 Kionidin
Kionidin adalah agonis α2 yang digunakan pada hipertensi esensial untuk
menurunkan tekanan darah karena kerjanya pada SSP. Obat ini dapat digunakan
juga untuk mengurangi gejala yang timbul akibat putus obat opiat atau
benzodiazepin.
 Metaproterenol
Obat ini dapat idberikan peroral atau inhalasi. Obat ini bekerja terutama pada
reseptor β2, menimbulkan efek ringan pada jantung. Obat ini menyebabkan dilatasi
bronkiolus dan memperbaiki fungsi aliran udara. Obat ini berfungsi sebagai
bronkodilator pada pengobatan asma dan melegakan bronkospasme.
 Terbutalin
Tetrabulin yang bersifat lebih selektif daripada metaproterenol dan masa kerjanya
lebih lama. Obat ini diberikan baik secara oral ataupun subkutan. Digunakan
sebagai bronkodilator dan mengurangi kontraksi rahim pada persalinan prematur.
 Albuterol
Albuterol adalah agonis β2 selektif yang sifatnya mirip sekali dengan tetrabutalin.
Obat ini banyak dignakan sebagai inhalan untuk mengatasi bronkospasme.
b.) Agonis adrenergik bekerja tidak langsung
Obat-obat ini memperkuat efek norepinefrin endogen, tetapi tidak langsung
mempengaruhi reseptor pasca sinaptik.
 Amfetamin
Amfetamin sering diduga hanya bekerja sebagai pacu sentral kuat saja oleh
pecandu penyaahgunaan obat. Sebenarnya obat ini dapat menaikkan tekanan
darah dengan jelas karena kerja agonis α-nya pada pembuluh darah sebagaimana
juga efek pacu β-nya pada jantung.
 Tiramin
Tiramin tidak digunakan dalam klinik, tetapi banyak ditemukan dalam makanan
fermentasi, seperti keju dan anggur chianti. Obat ini adalah produk normal dari
hasil metabolisme tirosin.
c.) Agonis adrenergik bekerja ganda
 Efedrin
Efedrin adalah alkaloid tumbuhan, tetapi sekarang dapat dibuat secara sintetik.
Obat ini adalah obat adrenergik bekerja ganda, berarti tidak saja melepas
simpanan norepinefrin dari ujung saraf, tetapi mampu pula memacu langsung
reseptor α dan β. Oleh karena itu, sejumlah besar kerja adrenergik yang muncul
sering sekali dengan efek epinefrin, walaupun sedikit lebih lemah.
 Metaraminol
Metaraminol adalah obat adrenergik yang bekerja ganda dengan kerja yang mirip
norepinefrin. Obat ini digunakan pada pengobatan syok dan untuk mengatasi
hipotensi mendadak.
4.) Antagonis adrenergik
Antagonis adrenergik mengikat adrenoseptor tetapi tidak menimbulkan efek intraseluler
yang diperantarai reseptor seperti lazimnya.
a.) Obat penyekat adrenergik α
Obat-obat yang menyekat adrenoseptor α sangat mempengaruhi tekanan darah.
 Fenoksibenzamin
Kerja fenoksibenzamin ini berakhir sekitar 24 jam setelah pemberian tunggal.
Setelah obat disuntikkan,belum erjadi penyekatan beberapa jam karena molekul
harus dibiotransformasi lebih dulu menjadi bentuk aktif.
Kerja :
- Efek kardiovaskular : penurunan resistensi perifer ini menimbulkan refleks
takikardia. Lebih jauh kemampuan untuk menyekat reseptor α2 presinaptik
pada jantung justru menimbulkan peningkatan curah jantung.
- Reversal epinefrin : fenoksibenzamin tidak mempunyai efek terhadap kerja
isoproterenol yang murni sebagai agonis β.
Penggunaan terapi : fenoksibenzamin digunakan untuk pengobatan
feokromositoma, tumor pensekresi katekolamin sel-sel yang berasal dari
medulla adrenalis.
Efek samping : fenoksibenzamin dapat menyebabkan hipotensi postural,
sumbatan hidung, mual dan muntah.
 Fentolamin
Kebalikan dari fenoksibenzamin, fentolamin menimbulkan penyekatan
kompetitif terhadap reseptor α1 dan α2. Kerja obat ini berakhir setelah 4 jam
pemberian tunggal. Fentolamin digunakan juga untuk terapi feokromositoma
dan keadaan klinis lainnya ditandai dengan pelepasan katekolamin berlebihan.
 Prazosin, terazosin, dan doksazosin
Efek kardiovaskuler : prazosin dan terazosin menurunkan resistensi vaskular
perifer dan menurunkan tekanan darah arterial dengan melemaskan otot polos
arteri dan vena.
Penggunaan terapi :dosis awal obt ini menimbulkan respons hipotensi yang
berlebihan bahkan menimbulkan sinkop(pingsan). Kerja demikian disebut
sebagai “efek dosis awal”, dapat dikurangi dengan menyesuaikan dosis awal
tersebut menjadi 1/3 atau ¼ dari dosis normal, dan obat diberikan menjelang
tidur.
Efek samping : parazosin dan terazosin mungkin menyebabkan pusing,
kehilangan tenaga, hidung tersumbat, sakit kepala, megantuk, dan hipotensi
ortostatik.
b.) Obat penyeka adrenergik β
Semua obat penyekat β yang digunakan dalam klinik bersifat antagonis kompetitif.
 Propranolol: suatu antagonis- β non-selektif
Kerja : kardiovaskular, vasokonstriksi perifer, bronkokonstriksi, peningkatan
retensi natrium, menghambat kerja isoproterenol.
Efek terapi : memberikan terapi pada hipertensi, glaukoma, migren, hipertiroid,
angina pektoris, infark miokardial.
Efek samping : bronkokonstriksi, aritmia, gangguan seksual, gangguan
metabolisme, interaksi obat.
 Timolol dan nadolol: antagonis- β non-selektif
Timolol menyekat juga adrenoseptor β1 dan β2 dan leih kuat dari propranolol.
Nadolol kerjanya sangat panjang. Nadolol mengurangi produksi cairan humor
mata dan digunakan secara topikal pada pengobatan glaukoma sudut terbuka
menahun, dan dapat pula sesekali digunakan untuk pengobatan sistemik
hipertensi.
 Asebutolol, atenolol, metoprolol, dan esmolol antagonis β selektif
Kerja : obat-obat penyekat – β menurunkan tekanan darah pada hipertensi dan
meningkatkan toleransi latihan fisik dan angina.
Penggunaan terapi dan hipertensi : karena obat-obat ini mempunyai efek kecil
sekali terhadap reseptor β2 vaskuler perifer, maka kedinginan anggota tubuh,
suatu efek samping yang sering muncul pada terapi penyekat-β sangat jarang
terjadi.

 Pindolol, dan asebutolol: antagonis dengan aktivitas agonis parsial


Kerja : pada kardiovaskular asebutolol dan pindolol bukan penyekat murni;
melainkan mempunyai kemampuan memacu dengan lemah sekali reseptor β1 dan
β2 dan oleh karena itu disebut memiliki aktivitas simpatomimetik intrinsik. Serta
pengurangan efek metabolik.
 Labetalol penyekat α dan β
Kerja : obat ini tidak mengganggu kadar lipid atau glukosa darah alam serum.
Penggunaan terapi pada hipertensi : labetalol berguna untuk pengobatan pasien
hipertensi berusia tua. Labetalol dapat digunakan sebagai obat alternatif terhadap
hidralazin untuk pengobatan hipertensi akibat kehamilan.
c.) Obat-obat yang mempengaruhi pelepasan atau ambilan kembali neurotransmitter
 Reserpin
Awal kerja obat ini lambat timbul tetapi masa kerjanya panjang. Bila obat
dihentikan kerjanya menetap selama beberapa hari.
 Guanetidin
Obat ini sekarang jarang digunakan untuk pengobatan hipertensi karena sering
menimbulkan hipotensi ortostatik dan mengganggu fungsi seksual pada lelaki.
 Kokain
Kokain adalah unik diantara anastesi lokal yang mampu menyekat enzim ATPase
diaktifkan Na dan K melintas membran sel neuron adrenergik. Akibatnya,
norepinefrin menumpuk dalam ruang sinaptik, menimbulkan bertambahnya
aktivitas simpatetik dan memperkuat kerja epinefrin dan norepinefrin. Oleh
karena itu, dosis kecil katekolamin mampu menimbulkan efek yang diperkuat
pada pasien yang menelan kokain dibanding yang tidak menelannya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Sistem syaraf merupakan salah satu sistem koordinasi yang bertugas menyampaikan
rangsangan dari reseptor untuk di deteksi dan direspon oleh tubuh.Sistem saraf terdiri dari
jutaan sel saraf (neuron).Fungsi sel saraf adalah mengirimkan pesan (impuls) yang berupa
rangsang atau tanggapan.Sistem saraf dibagi menjadi dua, yaitu sitem saraf pusat dan
sistem saraf perifer.Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang.Sistem
saraf perifer terdiri dari sitem saraf sadar dan sistem saraf tidak sadar.

Syaraf otonom adalah syaraf yang bekerjann tanpa dapat kita kendalikan, misalnya
bernafas, jantung berdenyut, mata berkedip, kesadaran, maupun pencernaan makanan yang
bekerja sendiri tanpa kita sadari.

B. Saran

Untuk dapat memahami sistem syaraf otonom, selain membaca dan memahami
materi - materi dari sumber keilmuan yang ada (buku, internet, dan lain-lain) kita harus
dapat mengkaitkan materi - materi tersebut dengan kehidupan kita sehari - hari, agar lebih
mudah untuk paham dan akan selalu diingat.

Anda mungkin juga menyukai