Anda di halaman 1dari 25

FILSAFAT PENDIDIKAN

“Merefleksikan Konsep Filsafat Pendidikan yang Relevan


dengan Kondisi Indonesia (Aliran Rekonstruksionisme)”

ANDI FAUZIAH
517024

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) MUHAMMADIYAH BONE KAMPUS III KAHU
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warohmatullaahi Wabarokaatuh


Puji syukur kehadirat Allah SWT. karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Filsafat Pendidikan ini tepat pada
waktunya.
Penulis menyadari bahwa apa yang telah di peroleh tidak hanya merupakan
hasil dari jerih payah sendiri, melainkan hasil dari keterlibatan beberapa pihak. Oleh
karena itu, penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada Bapak A.M.Irfan
Taufan Asfar, MT.,M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Pendidikan
yang telah mengarahkan dan membimbing penulis.
Tidak lupa pula penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih
kepada teman-teman serta semua pihak yang tidak sempat disebutkan namanya satu
persatu. Semoga bantuan dan motivasi yang diberikan kepada penulis mendapat
imbalan yang setimpal dari Allah SWT.
Aamiin Yaa Robbal Aalamiin.
Sekian dan terima kasih.
Wa Assalamu Alaikum Warohmatullaahi Wabarokaatuh.

Patimpeng, 29 Juni 2019

Andi Fauziah
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 4
C. Tujuan Penulisan ................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Hakikat Aliran Filsafat Rekonstruksionisme ..................................... 5
B. Tujuan Aliran Filsafat Rekonstruksionisme dalam Pendidikan......... 9
C. Peran Pendidik dan Peserta Didik dalam Aliran Filsafat
Rekonstruksionisme ........................................................................... 10
D. Kurikulum dan Metode Pembelajaran Aliran Filsafat
Rekonstruksionisme ........................................................................... 14
E. Implikasi Aliran Filsafat Rekonstruksionisme dalam Pemecahan
Masalah Pendidikan ........................................................................... 18
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 23
B. Saran................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 25
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu proses pendewasaan peserta didik secara
manusiawi agar peserta didik mempunyai rasa kemanusiaan. Secara umum, tujuan
pendidikan bergantung pada nilai-nilai kemanusiaan peserta didik yaitu proses
pembentukan kepribadian, sikap, perilaku, kemampuan, dan keterampilan.
Pendidikan memberikan dasar dalam proses perubahan sosial dalam
menghadapi berbagai masalah dan tantangan kehidupan, untuk itu kegiatan belajar
harus dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup (life skill
atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan dan kebutuhan
peserta didik (Furqon & Puspitasari, 2018:99). Sistem Pendidikan Nasional dalam
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 mendefinisikan pendidikan sebagai usaha
sadar dan terencana dalam mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik dengan aktif mengembangkan potensinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian, pengendalian diri, akhlak mulia,
kecerdasan, dan keterampilan yang diperlukan, baik bagi dirinya, masyarakat,
maupun bangsa dan negara (Fadlillah, 2017:17).
Pendidikan sebagai suatu upaya terencana dan terstruktur dalam
membentuk manusia berpendidikan yang memiliki kepribadian baik. Hal ini
membutuhkan proses yang mengarahkan manusia pada titik optimal
kemampuannya, agar menjadi pribadi yang bulat dan utuh sebagai manusia
individual, sosial, serta menjadi hamba Tuhan yang mengabdikan diri kepadanya.
Jadi, semua ini dapat dikatakan berhasil apabila tujuan pendidikan dapat dicapai
berdasarkan proses-proses yang terencana dengan baik. Menemukan makna dan
arah pendidikan adalah sebuah pencarian yang panjang, karena pendidikan
seirama dengan dinamika kehidupan dimana manusia itu hidup. Adanya rumusan
tentang konsep pendidikan itu dilatar belakangi oleh faktor yang mengitarinya
seperti nilai-nilai teologis, normatif, sosiologis, geografis, ekonomi, budaya dan
agama. Dasar pendidikan juga memuat nilai historis, yaitu perkembangan
pemikiran pendidikan dari waktu yang tidak terbatas, karenanya sangat banyak
paradigma pendidikan sebagai muatan pemikiran untuk merekonstruksinya.
Sehingga berbagai aliran dalam sistem pendidikan menjadi pertimbangan dalam
memberikan formulasi karena muatan kajiannya berdasarkan pertimbangan dan
kepentingan dalam pendidikan (Cahyani & Hadianto, 2018:121).
Pada era globalisasi saat ini, diharapkan adanya sistem pendidikan yang lebih
komprehensif dan representative dalam menyeimbangkan nilai dan sikap,
kecerdasan, pengetahuan, kemampuan dan keterampilan dalam berkomunikasi.
Pelaksanaan suatu pendidikan harus selalu dinamis sesuai dengan dinamika
manusia itu sendiri maupun dalam lingkup masyarakatnya berbeda. Saat ini dalam
dunia pendidikan pelajaran harus adaptif dengan karakteristik konsep dan
peningkatan cara berpikir peserta didik sehingga menimbulkan pemahaman
konsep dan pengajaran antara peserta didik dengan guru yang mendorong
pada keterampilan untuk memecahkan dan menyelesaikan suatu masalah. Ajaran
dari hal-hal nyata untuk hal-hal yang abstrak, atau mudah sulit dan sederhana
sampai yang kompleks, meninjau materi yang terkenal sulit untuk di pahami
(Furqon & Puspitasari, 2018: 98).
Suatu pemikiran yang membawa pembaruan dalam pendidikan disebut aliran-
aliran pendidikan. Aliran-aliran pendidikan ini sudah ada sejak manusia hidup,
karena setiap orang tua menginginkan pendidikan yang lebih baik untuk anaknya.
Konsep pendidikan sangat dipengaruhi oleh adanya aliran filsafat (Hafid,
2015:166). Filsafat pendidikan terdapat berbagai aliran, salah satunya yaitu aliran
rekonstruksionisme. Pembinaan spiritual dan intelektual melalui aliran filsafat
rekonstruksionisme dapat membina manusia melalui pendidikan yang tepat sesuai
dengan nilai dan norma yang berlaku untuk generasi penerus bangsa sebagai
pembentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia. Proses pendidikan yang
dikembangkan haruslah proses pendidikan yang menonjolkan ide spiritual dan
intelektual sehingga masyarakat bisa mendukung sikap saling menghargai
suatu perbedaan di tengah masyarakat. Aliran rekonstruksionisme mengarahkan
sekolah atau lembaga pendidikan harus merancang, merencanakan, dan
mengontrol seluruh elemen sekolah yang dapat mendukung proses pendidikan
yang baik dan terarah (Rahmayana, 2015:5).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalah dalam
penyusunan makalah ini yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan pendidikan rekonstruksionisme?
2. Apakah tujuan pendidikan rekonstruksionisme?
3. Bagaimanakah peran pendidik dan peserta didik dalam pendidikan
rekonstruksionisme?
4. Bagaimanakah kurikulum dan metode pembelajaran pendidikan
rekonstruksionisme?
5. Bagaimanakah implikasi pendidikan rekonstruksionisme terhadap
pendidikan?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah adapun tujuan penulisan dalam makalah ini
yaitu untuk mengetahui:
1. Hakikat pendidikan rekonstruksionisme;
2. Tujuan pendidikan rekonstruksionisme;
3. Peran pendidik dan peserta didik dalam pendidikan rekonstruksionisme;
4. Kurikulum dan metode pembelajaran pendidikan rekonstruksionisme;
5. Implikasi pendidikan rekonstruksionisme terhadap pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Pendidikan Rekonstruksionisme


Secara harfiah rekonstruksionisme berasal dari bahasa Inggris, yang asal kata
dasarnya adalah construct (membangun), construction (pembangunan) reconstruct;
menyusun kembali. Aliran rekonstruksionisme suatu aliran yang berusaha
merombak tata susunan lama dengan membangun tata susunan hidup kebudayaan
yang bercorak modern. Imam Barnadib menerjemahkan rekonstruk-sionisme
adalah sebagai filsafat pendidikan yang menghendaki agar anak didik dapat
dibangkitkan kemampuannya secara rekonstruktif menyesuaikan diri dengan
tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya pengaruh
dari ilmu pengetahuan dan teknologi (Qomariah, 2017:201). Pendidikan pada aliran
ini dipandang sebagai rekonstruksi pengalaman yang terjadi secara terus-menerus
dalam kehidupan. Oleh karena itu, pada aliran rekonstruksionisme ini, peradaban
manusia masa depan sangat ditekankan karena aliran ini menaruh perhatian
terhadap pendidikan dalam kaitanya dengan masyarakat (Muttaqin, 2016:76).
Aliran rekonstruksionisme pada dasarnya sepaham dengan aliran
perenialisme yaitu sama-sama hendak mengatasi krisis kehidupan modern. Hanya
saja jalan yang ditempuhnya berbeda dengan apa yang dipakai oleh perenialisme,
tetapi sesuai dengan istilah yang dikandung, yaitu berusaha membina suatu
consensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi
dalam kehidupan manusia restoret the originil form. Aliran rekonstruksionisme
berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat
manusia. Karenanya, pembinaan kembali daya intelektual spiritual yang sehat
melalui pendidikan yang tepat dan membina kembali manusia dengan nilai dan
norma yang benar pula demi generasi sekarang dan yang akan datang, sehingga
terbentuk dunia yang baru dalam pengawasan umat manusia (Purnamasari,
2015:832).
Rekonstrusionisme di pelopori oleh George Count, Harold Rugg dan
Caroline Pratt pada tahun 1930 yang ingin membangun masyarakat baru,
masyarakat yang pantas dan adil. George Counts sebagai pelopor
rekonstruksionisme dalam publikasinya Dare the school build a new sosial
order mengemukakan bahwa sekolah akan betul- betul berperan apabila sekolah
menjadi pusat bangunan masyarakat baru secara keseluruhan, dan kesukuan
(rasialisme). Mubin (2018:70-72) berikut ini pandangan mengenai pendidikan
rekonstruksionisme yaitu:
1. Pandangan Ontologis
Aliran rekonstruksionisme memandang realita bersifat universal, yaitu ada
dimana-mana dan sama disetiap tempat. Setiap realita bergerak dan berkembang
dari potensialitas menuju aktualitas. Gerakan ini mencakup tujuan yang terarah
untuk mencapai tujuan tertentu dengan perspektif tersendiri.
Prinsip aliran rekonstruksionisme memandang alam nyata dengan dua
hakikat sebagai asal sumber, yaitu hakikat ruhani dan hakikat materi. Kedua
hakikat ini bebas dan dapat berdiri sendiri, abadi dan azali. Keduanya memiliki
hubungan yang dapat menciptakan hubungan dengan alam. Descartes
mengemukakan bahwa manusia tidak akan kesulitan dalam menerima prinsip
hakikat rohani dan materi, yang menunjukkan mengenai kenyataan lahir yang
dapat dijangkau oleh panca indera manusia, sedangkan kenyataan batin akan
diakui dengan adanya perasaan dan akal manusia.
Realita yang ada menurut Thomas Aquinas, perlu didasarkan atas iman
dan perkembangan rasional yang dapat dijawab dan juga diikuti dengan iman.
2. Pandangan Epistimologis
Aliran rekonstruksionisme memerlukan suatu asas tahu dalam memahami
realita. Artinya, pemahaman realita ini perlu melalui proses pengalaman dan
penemuan ilmu pengetahuan sehingga indera dan rasio bersama membentuk
pengetahuan yang sebenarnya. Selain itu, aliran ini juga mengemukakan bahwa
dasar suatu kebenaran dapat dibuktikan melalui bukti yang ada pada diri sendiri,
realita, dan eksistensinya yang dikenal dengan self-efidence.
Ajaran Aristoteles merupakan pedoman aliran rekonstruksionisme yang
membicarakan dua hal pokok, yaitu ratio (pikiran) dan efidence (bukti) melalui
jalan silogisme. Silogisme menunjukkan hubungan yang logis antara premis
mayor, premis minor, dan kesimpulan (conclusion) melalui metode deduktif dan
induktif.
3. Pandangan Aksiologis
Aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan asas
supranatural, yaitu menerima nilai natural secara universal dan abadi sesuai
dengan prinsip nilai teologis. Arti teologis yaitu manusia memerlukan kebaikan
tertinggi untuk bersatu dengan Tuhan, kemudian berfikir rasional.
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas dapat di simpulkan bahwa aliran
rekonstruksionisme adalah aliran yang memiliki persepsi bahwa masa depan suatu
bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, bersifat universal, diperintah oleh
rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasasi oleh golongan tertentu.
Sila-sila demokrasi yang bukan hanya teori tetapi mesti menjadi kenyataan
sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu
meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan
masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturuanan, nasionalisme, agama
(kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.
Verawardina (2018:106) Tokoh aliran rekonstruktionisme yakni Dewey,
Braeld, Freire dan Ivan Illic mengemukankan enam premis yaitu sebagai berikut:
1. Masyarakat perlu rekonstruksi secara terus menerus dengan
melakukan perubahan;
2. Suatu perubahan sosial akan mengakibatkan rekonstruksi pendidikan
dan peran pendidikan dalam merekonstruksi masyarakat;
3. Pendidikan dilaksanakan dalam rangka menciptakan tatanan sosial baru
yang mengisi nilai-nilai dasar budaya dan selaras dengan kekuatan
ekonomi dan sosial masyarakat modern;
4. Guru meyakini validitas dan urgensi dirinya dengan cara bijaksana yaitu
dengan memperhatikan prosedur yang demokratis;
5. Cara dan tujuan pendidikan harus diubah kembali dengan tujuan untuk
menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya
dan kebutuhan sosial;
6. Perlu diadakan tinjauan kembali dalam penyusunan kurikulum, metode
pembelajaran, isi pelajaran, struktur administrasi, dan cara melatih guru
dalam memberikan pembelajaran.
B. Tujuan Pendidikan Rekonstruksionisme
Manusia yang berkualitas, menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu manusia terdidik yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, pendidikan nasional
bertujuan secara optimal sebagai wahana utama dalam pembangunan
bangsa dan karakter. Nilai-nilai kemanusiaan tersebut dapat berupa tujuan
pendidikan yang mencakup pembentukan kepribadian, sikap, keterampilan, dan
kemampuan peserta didik untuk patuh terhadap Allah SWT. yaitu menjalankan
segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya (Yunus, 2016: 30).
Rekonstruksionisme menghendaki tujuan pendidikan untuk
meningkatkan kesadaran siswa mengenai problematika sosial, politik dan
ekonomi yang dihadapi oleh manusia secara global, dan untuk membina serta
membekali mereka dengan kemampuan-kemampuan dasar agar bisa
menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Berdasarkan sudut pandang yang
berbeda, penyelenggaraan pendidikan dapat melalui aliran-aliran seperti filsafat
pendidikan modern. Salah satu contoh filsafat pendidikan modern yaitu filsafat
rekonstruksionisme (Salu & Triyanto, 2017:29). Aliran rekonstruksionisme
merupakan aliran yang berusaha merombak pola-pola lama dengan membangun
pola hidup yang lebih modern. Tujuan pendidikan dalam aliran rekonstruksionisme
yaitu sebagai berikut.
1. Sekolah berfungsi sebagai lembaga utama dalam melangsungkan
perubahan sosial, politik, dan ekonomi di masyarakat.
2. Tugas sekolah yaitu mengembangkan insinyur-insinyur sosial dan warga
Negara untuk mengubah radikal masyarakat saat ini.
3. Tujuan pendidikan yaitu membangkitkan kesadaran peserta didik
mengenai masalah sosial, politik, dan ekonomi yang dihadapi dalam
skala global, dan mengajarkan peserta didik berbagai keterampilan
dalam menyelesaikan masalah.
Aliran rekonstruksionalisme berusaha untuk mencapai tujuan itu dengan
mencari kesepakatan semua orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur
tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan baru seluruh lingkungannya. Maka
melalui lembaga dan proses pendidikan, rekonstruksionalisme ingin
"merombak tata susunan lama, dan membangun tata susunan hidup
kebudayaan yang baru.
Di sini nampak ada kesamaan dengan Dewey dalam "Education as
reconstruction" untuk mewujudkan cita-cita pendidikan, yaitu diperlukan adanya
kerja sama semua bangsa-bangsa. Para penganut aliran rekonstruksionalisme
berkeyakinan bahwa bangsa-bangsa di dunia mempunyai hasrat yang sama
untuk menciptakan satu dunia baru, dengan satu kebudayaan baru di bawah satu
kedaulatan dunia, dalam pengawasan mayoritas umat manusia. Barangkali
pikiran-pikiran rekonstruksionalisme inilah yang kemudian menjiwai pandangan
pemuka-pemuka dunia, seperti yang dirumuskan dalam North-South: A Program
For Survival (The Report of the Independent Commission on International
Development Issues under the Chairmanship of Willy Brandt - Dialog Utara
Selatan komisi Willy Brandt dalam rangka menciptakan kelestarian dunia) dan
No limits to Learning Bridging The Human Gap (A Report to the Club of Rome -
Diskusi kelompok Roma dalam rangka menanggulangi kesenjangan yang
melanda kehidupan umat manusia).

C. Peran Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Rekonstruksionisme


1. Peran Pendidik dalam Pendidikan Rekonstruksionisme
Menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 2005, guru adalah tenaga
pendidik professional yang memiliki tugas utama yaitu mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik
pada pendidikan anak usia dini melalui jalur pendidikan formal, dasar, dan
pendidikan menengah (Shabir, 2015:221). Undang-undang Guru dan Dosen
tahun 2005 mengamanatkan bahwa seorang pendidik wajib memiliki
kualifikasi akademik dan kompetensi profesional agar dapat menjadi seorang
agen pendidikan yang handal. Oleh karena itu setiap guru di Indonesia harus
memiliki kualifikasi pendidikan minimal S-l dan memiliki keempat kompetensi
(sosial, profesional, kepribadian dan pedagogik) yang menjadikan mereka
para guru profesional.
Guru adalah suatu jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus
dalam menjalankan tugasnya yaitu mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik (Astuty,
2017:5394). Disini guru harus mampu membantu siswa untuk menyadari
masalah-masalah yang ada disekitarnya dan mampu menstimulus peserta didik
untuk tertarik memecahkan suatu masalah.
Menurut (Rahmayana, 2015:4) peran pendidikan dalam aliran
rekonstruksionisme, yaitu:
a. Direktur proyek, yaitu pendidik yang bertugas membantu peserta
didik dalam mengenali masalah-masalah yang dihadapi sehingga
peserta didik merasa terikat dalam menyelesaikannya.
b. Pemimpin penelitian, yaitu pendidik yang bertugas membantu peserta
didik dalam menghadapi kontroversi dan perubahan yang terjadi,
yaitu harus menumbuhkan rasa berfikir yang berbeda-beda sebagai
cara alternatif dalam memecahkan masalah yang menjanjikan suatu
keberhasilan.
Pandangan rekonstruksionisme terhadap peranan guru dalam pendidikan
tidak jauh beda dengan pendangan progresivisme. Menurut rekonstruksionisme
guru harus menjadikan muridnya siap menghadapi persoalan-persoalan dalam
masyarakat, membantu mereka mengidentifikasi permasalahan, lalu
meyakinkan bahwa mereka sanggup memberikan solusinya, maka tugas guru
adalah harus tampil dalam membantu siswa menghadapi persoalan dan
perubahan (Qomariah, 2017: 209).
Guru harus memberi semangat terhadap munculnya pemikiran yang
berbeda sebagai sarana untuk membentuk alternative penyelesaian masalah.
Karenanya, kepala sekolah sebagai agen utama bagi perubahan sosial, politik,
dan ekonomi masyarakat. Guru dan pendidik lainnya untuk bertindak sebagai
instrument perubahan sosial. Guru dan pendidik lain bertindak sebagai intrumen
perubahan sosial. Posisi (pendapat) guru dalam hubungannya dengan item-item
kurikuler yang kontroversi. Menyingkapi hal ini, guru memolehkan uji
pembuktian terbuka yang setuju dan tidak setuju dengan pendapatnya, dan ia
menghadirkan pendapat-pendapat alternatif sejujur mungkin. Ia harus mau
mengungkapkan dan mempertahankan pemihakan secara publik. Oleh karena
itu, guru harus berupaya agar pendirian-pendiriannya diterima dalam skala
seluas mungkin.
Pembelajaran aktif yaitu pembelajaran yang berpusat pada peserta didik
dan guru lebih berperan sebagai fasilitator. Oleh sebab itu, guru harus memiliki
persiapan mengajar yang matang terkait dengan kompetensi sosial,
profesional, kepribadian dan pedagogik agar pembelajaran efektif dan lebih
bermakna. Penggunaan active learning disamping meningkatkan kualitas
pembelajaran juga meningkatkan profesionalisme guru. Profesi guru identik
dengan peran mendidik seperti membimbing, membina, mengasuh ataupun
mengajar. Tugas guru tidak sekedar mengajar (transfer knowledge) tetapi
juga menanamkan nilai-nilai dari bangun karakter atau karakter anak Oleh
sebab itu seorang guru mutlak harus memiliki integritas dan kepribadian
yang baik dan benar (Anwar & Haq, 2019:201).
Profesionalisme dapat terwujud jika para pendidik/guru menerapkan
prinsip-prinsip tersebut dalam setiap pembelajaran di kelas dan kualitas
pembelajaran akan meningkat jika melibatkan keaktifan siswa dalam
pembelajaran active learning. Hal yang paling paling penting dalam upaya
menerapkan pembelajaran aktif di kelas adalah mengubah paradigma peran guru
dari mengajar (to teach/instructor) menjadi memfasilitasi (to help student
learn/facilitator). Fokus pembelajaran berubah dari teacher centered menjadi
student centered. Peserta didik dalam hal ini dituntut lebih aktif dalam
proses pembelajaran dan guru mengontrol berbagai aktivitas tidak hanya
mengenai apa yang dipelajari tetapi lebih ke bagaimana mereka mempelajari
suatu materi.
2. Peran Peserta Didik dalam Pendidikan Rekonstruksionisme
Peserta didik merupakan subjek didik yang tidak pernah lepas dari peran
orang tua dan guru dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya. Peserta
didik adalah seorang warga negara yang telah siap dididik oleh tenaga pendidik
untuk menjadikannya warga negara yang lebih dewasa. Artinya yaitu dewasa
dan sadar akan hak dan kewajibannya (Lestari, 2016:137-138).
Peserta didik dalam aliran rekonstruksionisme memiliki peranan seperti
bunga yang sedang mekar. Artinya yaitu peserta didik sebagai generasi muda
yang sedang mengalami pertumbuhan untuk menjadi manusia yang akan
membangun masyarakat di masa depan. Pengetahuan dibangun oleh peserta
didik sendiri dengan mencoba memberi arti dari pengetahuannya. Peserta didik
harus aktif mencari makna untuk menjaga perhatian peserta didik lainnya agar
tetap fokus pada proses pembelajaran (Rahmayana, 2015:6).
Menurut teori konstruktivisme pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
dengan mencoba memberi arti dari pengalamannya. Tetapi siswa selanjutnya
tidak hanya sebagai saluran pipa kosong yang menunggu diisi, tetapi harus aktif
mencari makna. Pembelajaran aktif (active learning) juga dimaksudkan untuk
menjaga perhatian peserta didik agar tetap fokus pada proses pembelajaran.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa perhatian anak didik berkurang
bersamaan dengan berlalunya waktu. Penelitian McKeachie (1986)
menyebutkan bahwa dalam sepuluh menit pertama perhatian siswa dapat
mencapai 70%, dan berkurang sampai menjadi 20% pada waktu 20 menit
terakhir. Kondisi ini sering terjadi di lingkungan sekolah, apa yang sudah
dipelajari di kelas cenderung dilupakan karena lebih banyak
menggunakan indra auditori/pendengaran dibandingkan visual. Sebaiknya
dalam proses pembelajaran perlu ditambahkan unsur visual, apa yang didengar
peserta didik akan lebih bermakna jika disertai visualnya karena dapat
memberikan reinforcement dalam pemahaman materi. Menurut Bonwell,
pembelajaran aktif memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut.
a. Penekanan proses pembelajaran bukan pada penyampaian
informasi oleh pengajar melainkan pada pengembangan keterampilan
pemikiran analitis, dan kritis terhadap topik atau permasalahan yang
dibahas.
b. Peserta didik tidak hanya mendengarkan materi pelajaran secara pasif
tetapi mengerjakan sesuatu yang berkaitan dengan materi pelajaran.
c. Penekanan pada eksplorasi nilai-nilai dan sikap-sikap berkenaan
dengan materi pelajaran.
d. Peserta didik lebih banyak dituntut untuk berpikir kritis, menganalisa
dan melakukan evaluasi.
e. Umpan-balik yang lebih cepat akan terjadi pada proses
pembelajaran. Active learning (belajar aktif) pada dasarnya berusaha
untuk memperkuat dan memperlancar stimulus dan respons peserta
didik dalam pembelajaran, sehingga proses pembelajaran menjadi
hal yang menyenangkan, tidak menjadi hal yang membosankan bagi
mereka.
Metode active learning dilakukan dengan cara mengaitkan setiap materi
pelajaran dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman yang ada
sebelumnya. Materi pekerjaan yang baru disediakan secara aktif dengan
pengetahuan yang sudah ada. Agar peserta didik dapat belajar secara aktif , guru
perlu menciptakan strategi yang tepat guna sedemikian rupa, sehingga peserta
didik mempunyai motivasi yang tinggi untuk belajar.
Metode ini menunjukkan bahwa semua aktivitas belajar melibatkan
berbagai pengalaman atau dialog. Dua macam dialog adalah dialog dengan diri
sendiri dan dialog dengan orang lain. Sedangkan dua jenis pengalaman
adalah observasi (observing) dan melakukan (doing). Dialog dengan diri
sendiri adalah proses di mana peserta didik mulai berpikir secara reflektif
mengenai topik yang dipelajari. Mereka menanyakan pada diri mereka sendiri
mengenai apa yang mereka pikir atau yang harus mereka pikirkan, apa yang
mereka rasakan mengenai topik yang dipelajari. Pada tahap ini guru dapat
meminta anak didik untuk membaca sebuah jurnal atau teks dan meminta mereka
menulis apa yang mereka pelajari, bagaimana mereka belajar, dan apa pengaruh
bacaan tersebut terhadap diri mereka.

D. Kurikulum dan Metode Pembelajaran Pendidikan Rekonstruksionisme


1. Kurikulum Pendidikan Rekonstruksionisme
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu.. Kurikulum memiliki pemahaman yang sangat luas,
mulai dari upaya terbatas untuk mempengaruhi peserta didik untuk belajar di
dalam dan di luar kelas, hingga pemahaman yang luas di mana kurikulum juga
mencakup fasilitas dan infrastruktur pendidikan (Hafid, 2015:169). Pandangan
kurikulum pendidikan yang diterima secara tradisional menyatakan bahwa
kurikulum adalah suatu informasi yang diajarkan dengan mendasar untuk
menstandarisasi perilaku masyarakat dengan mendidik peserta didik dalam
tradisi dan budaya. Penyempurnaan kurikulum sering dilakukan pemerintah
untuk meningkatkan mutu pendidikan (Mubaroq, 2018:94).
Menurut (Arifin, 2018:43) kurikulum dapat ditinjau dan ditafsirkan dari
segi lain, diantaranya:
a. Kurikulum dapat diliat sebagai produk, yakni sebagai hasil karya para
pengembang kurikulum
b. Kurikulum dipandang sebagai program, yakni alat yang dilakukan oleh
sekolah untuk mencapai tujuannya, ini dapat berupa pembelajaran
berbagai mata pelajaran tetapi dapat juga meliputi segala kegiatan yang
dianggap dapat mempengaruhi perkembangan peserta didik.
c. Kurikulum dapat pula dipandang sebagai hal-hal yang diharapkan akan
dipelajari siswa, yakni pengetahuan, sikap dan keterampilan tertentu.
d. Kurikulum sebagai pengalaman siswa. Ketiga pandangan di atas
berkenaan dengan perencanaan kurikulum, sedangkan pandangan ini
mengenai apa yang secara aktual menjadi kenyataan pada tiap peserta
didik. Ada kemungkinan, bahwa apa yang diwujudkan pada diri anak
berbeda dengan apa yang diharapkan menurut rencana.
Para pengembang kurikulum harus mempunyai nilai filosofi yang jelas
tentang apa yang mereka junjung tinggi. Filsafat yang kabur akan menimbulkan
kurikulum yang tidak menentu arahnya. Kurikulum sebagai rekonstruksi sosial
mengutamakan kepentingan sosial di atas kepentingan individu. Tugas
kurikulum demikian bukanlah sesuatu yang baru akan tetapi selalu menjadi suatu
bagian dari fungsi pendidikan, karena pendidikan selalu berkaitan tujuannya
dengan masa mendatang. Sekolah biasanya dipandang sebagai agen of social
change, badan untuk mengadakan perubahan sosial. Sekolah merupakan
jembatan anatara masa kini dengan masa mendatang, antara realitas masa kini
dengan masa datang (Shofiyah, 2018:123).
Kurikulum banyak berisi kedalam masalah-masalah sosial, ekonomi, dan
politik yang dihadapi manusia yang di dalamnya termasuk masalah-masalah
sosial, ekomoni, politik dan pemantapan di bidang ilmu pengetahuan alam.
Struktur organisasi kurikulum terbentuk dari cabang-cabang ilmu sosial dan
proses-proses penyelidikan ilmiah sebagai metode pemecahan masalah. Jadi
peserta didik juga dilatih untuk dapat memecahkan suatu masalah. Peserta didik
tidak hanya belajar terpaku pada buku pelajaran tetapi juga belajar fenomena
sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat.
Menurut aliran rekonstruksionisme, kurikulum tidak hanya berfungsi
untuk melestarikan budaya atau apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga
membentuk apa yang akan dikembangkan di masa depan. Menurut McNeil
(Mustofa, 2014:186), kurikulum berfungsi untuk membentuk masa depan
atau "shaping the future", bukan hanya "adjusting, mending or
reconstructing the existing conditions of the life of community". McNeil
menjelaskan bahwa: Social reconstructionists are opposed to the notion that the
curriculum should help students adjusts or fit the existing society. Instead,
they conceive of curriculum as a vehicle for fostering critical discontent
and for equipping learners with the skills needed for conceiving new
goals and affecting social change.
Kurikulum yang sesuai dengan aliran ini harus berorientasi pada
kebutuhan-kebutuhan masa depan secara umum seperti kurikulum 2013.
Kurikulum 2013 memiliki standar isi yang diturunkan dari kebutuhan
masayarakat. Pada tahun pelajaran 2014/2015 telah mulai diberlakukan
Kurikulum 2013 di seluruh Indonesia yang merupakan pembaharuan dan
penyempurnaan Kurikulum 2006. Karakteristik dasar Kurikulum 2013 adalah
terletak pada pendekatan yang digunakan dalam pengembangan kurikulum
tersebut. Kurikulum 2013 menekankan pendekatan saintifik pada jenjang
pendidikan dasar hingga menengah. Implementasi memiliki tujuan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan meningkatkan daya saing
bangsa seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Penerapan Kurikulum 2013 diharapkan dapat menghasilkan sumber daya
manusia yang produktif, kreatif inovatif dan afektif, melalui penguatan
kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan (Setiadi, 2016:167).
Untuk mencapai tujuan tersebut, kurikulum menekankan pada proses
pembelajaran saintifik yang menganut paradigma konstruktivisme. Dengan
demikian maka siswa diharapkan dapat memahami konsep sehingga hasil
proses pembelajaran dapat masuk dalam longterm memory dan siswa dapat
memahami esensi belajar. Hal yang memberikan perbedaan mencolok
antara Kurikulum 2013 dengan kurikulum sebelumnya adalah penekanan
ranah pembelajaran. Kurikulum 2013 menekankan pada proses pendidikan yang
holistik sehingga menyentuh pada cakupan yang lebih luas yaitu ranah
kognitif, afektif, dan psikomotor. Kurikulum 2013 mengklasifikasikannya
dalam empat kompetensi inti yaitu kompetensi sikap sosial, sikap spiritual,
pengetahuan, dan keterampilan. Oleh karena itu, potensi peserta didik dapat
dipantau dan dikembangkan.
2. Metode Pembelajaran Pendidikan Rekonstruksionisme
Metode pembelajaran yang terdapat pada aliran rekonstruksionisme yaitu
analisis kritis terhadap kerusakan-kerusakan masyarakat dan kebutuhan-
kebutuhan pragmatik untuk perbaikan. Guru sebagai pendidik berusaha
membantu peserta didik dalam menemukan minat dan kebutuhannya. Minat
yang dimiliki masing-masing peserta didik, baik dalam kegiatan pleno maupun
kelompok diharapkan mampu memecahkan masalah sosial yang dihadapinya.
Selama proses pemecahan masalah ini, peserta didik mampu menjalin kerja
sama dengan peserta didik lainnya. Jadi, aliran rekonstruksionisme
menggunakan metode pemecahan masalah, analisis kebutuhan, dan penyusunan
program aksi dalam perbaikan masyarakat (Ahmad, 2014:99).
Menurut rekonstruksionime metode-metode pengajaran harus didasarkan
pada prinsip-prinsip demokratis yang bertumpu pada kecerdasan ‘Asali’ jumlah
mayoritas untuk merenungkan dan menawarkan solusi yang paling valid bagi
persoalan-persoalan umat manusia. Selainnya adalah metode kajian dan diskusi
kritis akan membantu peserta didik melihat ketidakfungsian beberapa aspek
sistem sekarang ini dan akan membantu mereka mengembangkan alternatif-
altenatif bagi kebijaksanaan kontroversial. Perubahan metode pembelajaran
pada aliran rekonstruksionisme selalu mengikuti perubahan kurikulum dan
membentuk pembaruan-pembaruan yang lebih modern
Kurikulum menekankan pada metode pembelajaran saintifik yang
menganut paradigma konstruktivisme. Metode pembelajaran saintifik adalah
proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara
aktif mengkonstruk konsep, hukum dan prinsip melalui tahapan-tahapan
mengamati (untuk mengidentifikasi dan menemukan masalah), merumuskan
masalah, mengajukan atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan
berbagai teknik, menganalisa data, menarik kesimpulan dan
mengkomunikasikan konsep hukum atau prinsip yang “ditemukan” (Aini,
2014:56).
Pembelajaran saintifik merujuk pada teknik-teknik investigasi atas
fenomena dan gejala, memperoleh pengetahuan baru, atau mengoreksi dan
memadukan pengetahuan sebelumnya. Pembelajaran ini diharapkan dapat
menciptakan kondisi pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk mencari
tahu informasi dari berbagai sumber melalui observasi dan bukan hanya di beri
tahu.

E. Implikasi Pendidikan Rekonstruksionisme terhadap Pendidikan


1. Implikasi Pendidikan Rekonstruksionisme terhadap Kurikulum
Implikasi pemikiran aliran rekonstruksionisme dalam kurikulum
diarahkan kepada penumbuhan kesadaran kritis peserta didik dengan model
keaksaraan kritis pada materi yang diajarkan. Selain itu kurikulum ditekankan
dalam upaya membangun kesadaran polyculture dengan mengapresiasi
keragaman budaya, adat istiadat suatu suku tertentu untuk menanamkan nilai-
nilai pluralisme kultural.
Demikian pula proyeksi hubungan kemanusiaan dan aspek politik harus
ditekankan baik secara eksplisit maupun implisit dalam upaya menumbuhkan
kesadaran politik para peserta didik sehingga “nalar kritis” terhadap berbagai
macam ketimpangan sosial dan politik yang diakibatkan oleh kesewenang-
wenangan status sosial dan politik yang dapat menjadi modal dasar untuk
melahirkan agen-agen perubahan sosial dimasa selanjutnya.
Pada puncaknya, kurikulum diatur sedemikian rupa untuk merespon
perlunya sebuah tatanan sosial yang mendunia, di mana para peserta didik tidak
memiliki pemahaman yang fragmentaris, agar persoalan-persoalan primordial
seperti keyakinan, ras, warna kulit, suku dan bangsa tidak menjadi alasan
terjadinya krisis kemanusiaan, seperti permusuhan, kebencian dan perang.
Rekonstruksianisme mengajukan kurikulum semesta yang menekankan pada
kebenaran, persaudaraan dan keadilan. Mereka menolak kurikulum parokial
yang sempit dan hanya membawa kepentingan ideal komunitas lokal tertentu.
Kurikulum juga diorientasikan pada aksi peserta didik, seperti gerakan
mengumpulkan dana amal, terlibat dalam petisi, protes atau demo bersama
masyarakat untuk merespon kebijakan negara yang menimbulkan problematika
sosial. Peserta didik tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga pada fenomena
sosial yang ada seperti kemiskinan, perusakan alam, polusi udara, pemanasan
global, pornografi dan lain-lain. Oleh karena itu, rekonstruksionisme
menjadikan aspek-aspek sosial, budaya dan isu-isu kontemporer menjadi muatan
inti kurikulum, agar peserta didik memiliki kepekaan dan empati sosial.
2. Implikasi terhadap Pelaksana dan Peserta Pendidikan
a. Guru
Guru harus mampu membuat peserta didik menyadari masalah-masalah
yang dihadapi umat manusia, membantu mereka merasa mengenali masalah-
masalah dan terikat untuk memecahkannya. Selain itu, guru juga harus
terampil dalam membantu peserta didik menghadapi kontroversi dan
perubahan, dengan menumbuhkan pola berfikir yang berbeda-beda sebagai
suatu cara dalam menciptakan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang
menjanjikan keberhasilannya.
b. Peserta didik
Peserta didik adalah generasi muda yang sedang tumbuh menjadi
manusia pembangun masayarkat masa depan, dan perlu berlatih keras untuk
menjadi insyiur-insyiur sosial yang diperlukan untuk membangun masyarkat
masa depan. Intinya aliran rekonstruksionisme memandang manusia sebagai
makhluk sosial. Manusia tumbuh dan berkembang dalam keterkaitannya
dengan proses sosial dan sejarah dari pada masyarakat. Pendidikan
mempunyai peranan untuk menandakan pembaharuan dan pembangunan
masyarakat. Perkembangan ilmu dan teknologi tidak hanya memberikan
sumbangan yang sangat berarti bagi masyarakat, namun juga membawa
dampak negatif. Masyarakat yang hidup damai berangsur-angsur diganti oleh
masyarakat yang coraknya tidak menentu dan tidak ada kemantapan, serta
yang lebih penting dari itu lepasnya individu dalam keterkaitannya dalam
masyarakat dan adanya ketersaingan. Hal ini menciptakan budaya hegemoni
sebagai ideologi.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendidikan sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan,
karena pendidikan itu akan memajukan budaya dan meningkatkan derajat
bangsa di mata masyarakat internasional. Pendidikan di indonesia selama ini
dapat dikatakan mengalami kegagalan karena pemahaman para pendidik
terhadap filsafat pendidikan kurang tepat. Sebagian pendidik yang mengajar
tanpa tahu arah dan tujuan sehingga seolah-olah mendidik hanyalah suatu
tugas yang harus diembannya dan sebagian lagi beranggapan bahwa
mendidik adalah suatu pekerjaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
hidup saja. Sehingga mereka tidak pernah berpikir pentingnya memahami
filsafat pendidikan. Kebanyakan para pendidik mendidik peserta didik tanpa
adanya perhatian terhadap siswa itu sendiri. Mereka hanya memandang pada
hasil akhir dari suatu proses pendidikan.
Pemahaman terhadap filsafat pendidikan yang salah (lebih halusnya:
pemahaman yang kurang tepat) dianggap mengakibatkan peradaban
manusia semakin tidak beradab. Pemahaman yang salah terhadap filsafat
pendidikan menjadikan bangsa ini kurang atau tidak berperasaan, kurang
dapat berpikir, dan berkelakuan yang kurang baik, karena secara filosofis.
Pendidikan adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang perlu
dikembangkan untuk mewujudkan cita-cita dan pandangan hidup.
Rekonstruksionisme merupakan filsafat pendidikan kelanjutan dari aliran
progresivisme. Aliran ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum
progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah
masyarakat yang ada sekarang. Aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan
suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara
demokratis dan bukan dunia yang dikuasasi oleh golongan tertentu. Sila-sila
demokrasi yang sungguh bukan hanya teori tetapi mesti menjadi kenyataan
sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi,
mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta
keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturuanan,
nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.
Rekonstruksionisme menginginkan sebuah tatanan sosial yang
memiliki nilai-nilai dominan/mendunia, yang sama sekali baru. Aliran ini
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian. Aliran ini menginginkan sebuah
tatanan hidup baru secara kolektif. Sebagai imbas pendidikan sebagai tumpuan
utama untuk mengubah tatanan hidup baru. Sekolah mesti mampu menghadapi
dan memberi solusi terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Sehingga, pendidikan aliran ini dapat dikatakan pendidikan berbasis
masyarakat karena untuk menuju sebuah perubahan menurutnya tidak bisa
dilakukan sendiri melainkan secara bersama-sama masyarakat dunia melalui
pendidikan.
Adapun di dalam pendidikan masih sangat diperlukan untuk menata
ulang dan menyusun kembali strategi pengembangannya, agar eksistensinya
selalu bersifat aktual dalam merespon berbagai tantangan dunia pedidikan
sehingga bisa tercapai tujuan dari pendidikan yang diinginkan yaitu
membentuk manusia yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan seperti
pembentukan kepribadian, sikap, perilaku, kemampuan, dan keterampilan.

B. Saran
Berdasarkan pandangan rekonstruksionisme, pendidikan bisa dibangun
secara utuh termasuk kemampuan berbahasa dari pengalaman-pengalaman yang
diperolehnya. Saya sebagai penulis menyarankan kepada pihak lembaga
pendidikan dan guru agar bisa menciptakan situasi yang membuat siswa tidak
ragu untuk aktif dan mencari makna dari pengalamannya. Salah satunya dengan
menggunakan metode active learning yaitu metode yang mengaitkan materi
pelajaran baru dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman yang ada
sebelumnya agar peserta didik dapat belajar secara aktif. Guru perlu menciptakan
strategi yang tepat guna sedemikian rupa, sehingga peserta didik mempunyai
motivasi yang tinggi untuk belajar dari pengalamannya agar nantinya menjadi
generasi muda yang akan membangun masyarakat di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, S. (2014). Problematika Kurikulum 2013 dan Kepemimpinan Instruksional


Kepala Sekolah. Jurnal Pencerahan, 8(2), 98–108.
Aini, E. N. (2014). Melalui Pendekatan Saintifik Menggunakan Model
Pembelajaran Group Investigation pada Subtema Manusia dan Peristiwa
Alam Kelas 5 SD Negeri 1 Banyusari. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan,
4(3), 54-67
Anwar, M., & Haq, M. J. (2019). Pengaruh Penerapan Strategi Belajar Aktif Tipe
Everyone Is A Teacher Here (ETH) terhadap Hasil Belajar Mata Pelajaran
Memperbaiki CD Player Siswa Kelas XI Audio Video di SMK Negeri 1
Sutera. Jurnal Kapita Selekta Geografi, 2(4), 200-207.
Arifin, Z. (2018). Meningkatkan Hasil Belajar dengan Strategi Pembelajaran
Peningkatan Kemampuan Berpikir. Jurnal THEOREMS (The Original
Research of Mathematics), 2(2), 42–49.
Astuty. (2017). Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Mengembangkan
Kompetensi Guru di SMK Negeri 2 Kabupaten Penajam Paser Utara.
eJournal Administrasi Publik, 5(1), 5389–5403.
Cahyani, I & Hadianto, D. (2018). Rekonstruksionisme: Metode Komunikatif
dalam Pemerolehan dan Pembelajaran Bahasa untuk Mengembangkan
Kemampuan Berbahasa. Jurnal KATA, 2(1), 118-123
Fadlillah, M. (2017). Aliran Progresivisme dalam Pendidikan di Indonesia. Jurnal
Dimensi Pendidikan Dan Pembelajaran, 5(1), 17–24.
Furqon, A. F., & Puspitasari, D. (2018). Analisis Perbandingan Metode
Pembelajaran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan Kurikulum
2013 Menggunakan Metode AHP. Jurnal Sistem Informasi STMIK Antar
Bangsa, 7(1), 98–105.
Hafid, S. A. (2015). Pemikiran Essensialisme, Eksistensialisme, Perenialisme, dan
Pragmatisme dalam Perspektif Pendidikan Islam. Jurnal Al-Asas, III(1),
165–178.
Lestari, R. Y. (2016). Peran Kegiatan Ekstrakurikuler dalam Mengembangkan
Watak Kewarganegaraan Peserta Didik. Untirta Civic Education Journal,
1(2), 136–152.
Mubaroq, S. (2018). Konsep Kurikulum Rekonstruksionisme Sosial dalam
Menghadapi Pembelajaran di Era Modern. Konsep Kurikulum Rekontruksi
Sosial, 3(1), 93–102.
Mubin, A. (2018). Pengaruh Filsafat Rekonstruksionisme terhadap Rumusan
Konsep Pendidikan serta Tinjauan Islam Terhadapnya. Rausyan Fikr, 14(1),
69–79.
Mustofa. (2014). Implikasi Kurikulum 2013 terhadap Proses Belajar Mengajar.
Mimbar Sekolah Dasar, 1(2), 185-190.
Muttaqin, A. (2016). Implikasi Aliran Filsafat Pendidikan dalam Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Islam. Dinamika, 1(1), 67-92

Purnamasari, I. (2015). Rekonstruksionisme-Futuristik dalam Pendidikan di


Indonesia. Jurnal Ilmiah CIVIS, 5(2), 832-842.
Qomariah, N. (2017). Pendidikan Islam dan Aliran Filsafat Pendidikan
Rekonstruksionisme. Al-Falah, 17(32), 197-218
Rahmayana, J. (2015). Filsafat Rekonstruksionisme dalam Pendidikan Islam Studi
Atas Pemikiran Muhammad Iqbal. Jurnal Tamaddun Ummah, 1(1), 1–13.
Salu, V. R., & Triyanto. (2017). Filsafat Pendidikan Progresivisme dan
Implikasinya dalam Pendidikan Seni di Indonesia. Jurnal Imajinasi, XI(1),
29–42.
Setiadi, H. (2016). Pelaksanaan Penilaian Pada Kurikulum 2013. Jurnal Penelitian
dan Evaluasi Pendidikan, 20(2), 166-178.
Shabir, M. (2015). Kedudukan Guru sebagai Pendidik. AULADUNA, 2(2), 221–
232.
Shofiyah. (2018). Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum dalam Upaya
Meningkatkan Kualitas Pembelajaran. Jurnal Pendidikan Agama Islam:
edureligia, 2(2), 122-130.
Verawardina, U. (2018). Philosophy Tvet di Era Derupsi Revolusi Industri 4.0 di
Indonesia. Jurnal Filsafat Indonesia, 1(3), 104-111
Yunus, H. A. (2016). Telaah Aliran Pendidikan Progresivisme dan Esensialisme
dalam Perspektif Filsafat Pendidikan. Jurnal Cakrawala Pendas, 2(1), 29–
39.

Anda mungkin juga menyukai