Anda di halaman 1dari 6

PRINSIP PEMBERIAN ANTIBIOTIK PROFILAKSIS PADA PEMBEDAHAN

Hermawan Nagar Rasyid

Bagian Orthopaedi dan Traumatologi FK Unpad / RS Hasan Sadikin Bandung

Pendahuluan

Penggunaan antibiotik prabedah dapat mengurangi kejadian infeksi, khususnya infeksi luka,
setelah pembedahan tertentu. Namun manfaat itu harus dipertimbangkan dengan risiko reaksi
alergi dan toksik, munculnya bakteri resistan, interaksi obat, superinfeksi dan biaya. Sekitar 5%
pasien yang menerima antibiotik diperkirakan akan mengalami infeksi serius untuk pengobatan
ini. Di Amerika kerugian diperkirakan sebesar 400-2600 dolar per luka operasi yang berarti
antara 130-840 juta dolar pertahun [1]. Di Indonesia infeksi pasca bedah ini memperpanjang
waktu perawatan antara 15-19 hari [4].

Pada umumnya, antibiotik profilaksis dianjurkan hanya untuk tindakan dengan kejadian infeksi
yang tinggi dan tindakan dengan konsekuensi infeksinya sangat serius. Jenis mikroorganisme
patogen yang diduga menginfeksi luka pada bedah orthopaedi adalah S. aureus, E. coli dan
Pseudomonas.

Tujuan dari pemberian antibiotik profilaksis adalah untuk mengurangi insidensi infeksi luka
pascabedah. Sangat penting untuk mengenal perbedaan antara profilaksis dan pengobatan
empirik. Profilaksis merupakan prosedur yang berhubungan dengan angka infeksi yang tinggi,
seperti implantasi material prostetik, pemasangan implant pada patah tulang dimana
mempunyai konsekuensi infeksi yang serius. Disini antibiotik sebaiknya dapat menutupi
organisme yang paling mungkin akan mengkontaminasi dan akan berada di jaringan pada saat
dilakukan insisi awal. Terapi empirik merupakan kelanjutan dari penggunaan antibiotik setelah
prosedur operasi dan berdasarkan penemuan pada saat berlangsungnya operasi. Profilaksis
yang tidak tepat dapat disebabkan oleh pemakaian spektrum luas (broad spectrum) dan sebagai
terapi lanjutan tanpa rekomendasi periode waktu. Cara ini dapat meningkatkan risiko efek
samping dan akan menyebabkan organisme menjadi resistan.
Dipresentasikan pada Seminar Pencegahan & Pengendalian Infeksi Rumah Sakit, di RSUP dr Hasan Sadikin,
Bandung, 13-16 Oktober 2008. 1
Tulisan ini merupakan ulasan mengenai pemberian antibiotik profilaksis pada pembedahan
dalam mencegah timbulnya infeksi pascaoperasi.

Infeksi Pascabedah

Timbulnya infeksi pasca bedah merupakan penyebab utama peningkatan mortalitas dan
morbiditas pasien rawat inap di rumah sakit sehingga terputusnya kendali infeksi dapat
mengakibatkan komplikasi septik yang mungkin dapat meningkatkan risiko terhadap kesehatan
pasien dibandingkan penyakit semula atau pembedahannya. Sekitar 70% dari seluruh infeksi
nosokomial dilaporkan terjadi pada pasien yang menjalani pembedahan, serta hal ini dapat
menimbulkan dampak terhadap fungsi sosial rumah sakit.

Bila infeksi luka operasi terjadi pada bedah orthopaedi, pus (cairan pada tulang yang terinfeksi)
bekerja melalui sistem havers dan kanal volkmann, menghilangkan periosteum dari permukaan
tulang. Ruang subperiosteal juga diisi oleh pus. Pus juga terdapat pada rongga medular.
Kombinasi pus pada rongga medular dan ruang subperiosteal menyebabkan nekrosis dari tulang
kortikal. Nekrosis tulang kortikal ini dapat berlanjut menjadi tempat akumulasi bakteri meskipun
telah mendapat terapi dengan antibiotik, karena antibiotik dan sel inflamasi tidak dapat
mencapai area ini.

Berdasarkan keunikan infeksi tulang ini, cara terbaik adalah dengan pencegahan. Pada bedah
orthopaedi harus mengetahui resiko terjadinya infeksi berdasarkan kondisi pasien dan kondisi
pembedahan. Kondisi pasien meliputi nutrisi, status imunologi dan infeksi pada tempat
tertentu. kondisi pembedahan meliputi antibiotik profilaksis, keadaan kulit dan luka, lingkungan
operasi, teknik pembedahan dan terapi infeksi yang akan datang, misal pada fraktur terbuka.
Dengan kata lain, pencegahan terhadap infeksi jauh lebih mudah dari pada terapi.

Pencegahan infeksi pascabedah akan berhasil guna dan tepat guna apabila epidemiologi dari
infeksi ini diketahui. Salah satu aspek epidemiologi infeksi pascabedah yang sangat penting
untuk diketahui dalam upaya pencegahan infeksi ini adalah faktor risiko terjadinya infeksi pasca
bedah. Faktor risiko tersebut adalah sebagai berikut:

Dipresentasikan pada Seminar Pencegahan & Pengendalian Infeksi Rumah Sakit, di RSUP dr Hasan Sadikin,
Bandung, 13-16 Oktober 2008. 2
- Infeksi akan lebih besar kejadiannya pada operasi toraks dan atau abdomen, operasi
dilakukan selama lebih dari dua jam, jenis luka operasi adalah jenis luka terkontaminasi atau
kotor, terdapat penyakit lain yang mendasari (underlying disease) keadaan umum pasien [2].
ASA (American Society of Anaesthesiologist) pasien prabedah, yaitu akan lebih tinggi risiko
terkena infeksi pascabedah apabila berada pada ASA tiga atau lebih [3]. Garibaldi (1990)
menambahkan adanya satu faktor lagi yaitu kultur kuman intraoperatif yang positif [4],
sedangkan Djojosugito (1990) di Indonesia menambahkan dua faktor lagi yang bermakna
yaitu pemakaian antibiotika yang tidak rasional dan keadaan sosial ekonomi yang rendah [5].
Penulis lain mengemukakan faktor yang dapat mempengaruhi infeksi luka operasi seperti
“drain” dari luka operasi, walaupun faktor ini tidak bermakna dalam analisis multifaktorial,
tapi dapat dipertimbangkan dalam upaya pencegahan infeksi pascabedah.

- Personil kamar bedah merupakan faktor di luar pasien. Personil ini juga merupakan sumber
kuman penyebab, di samping sumber kuman tersebut sebagian besar berasal dari pasiennya
sendiri. Personil rumah sakit yang mengandung kuman disebut carrier, dan biasanya berasal
dari tangan, kulit, rambut, anus, vagina dan traktus respirasi atas. Oleh karena itu infeksi
pada daerah tersebut akan menjadi halangan bagi personil kamar bedah untuk bekerja.

Antibiotik profilaksis adalah antibiotik digunakan bagi pasien yang belum terkena infeksi, tetapi
diduga mempunyai peluang besar untuk mendapatkannya, atau bila terkena infeksi dapat
menimbulkan dampak buruk bagi pasien. Penggunaan antibiotik di rumah sakit, sekitar 30-50 %
untuk tujuan profilaksis bedah. Profilaksis bedah merupakan pemberian antibiotik sebelum
adanya tanda-tanda dan gejala suatu infeksi dengan tujuan mencegah terjadinya manifestasi
klinik infeksi.

Selama 24 jam pertama, infeksi tergantung pada jumlah koloni bakteri yang ada. Pada dua jam
pertama mekanisme pertahanan tubuh bekerja untuk menurunkan jumlah bakteri. Empat jam
berikutnya, jumlah bakteri konstan karena terjadi keseimbangan antara bakteri yang
bermultiplikasi dan bakteri yang dibunuh oleh sistem pertahanan tubuh. Enam jam pertama ini
disebut sebagai periode emas (Golden Period), setelah itu bakteri bermultiplikasi secara

Dipresentasikan pada Seminar Pencegahan & Pengendalian Infeksi Rumah Sakit, di RSUP dr Hasan Sadikin,
Bandung, 13-16 Oktober 2008. 3
eksponen. Antibiotik menurunkan pertumbuhan bakteri secara geometrik dan menunda
reproduksi bakteri. Profilaksis antibiotik diberikan untuk memperlama `Golden Period’ [6].

Antibiotik profilaksis harus aman, bakterisid dan efektif melawan bakteri yang menyebabkan
infeksi pada bedah orthopaedi. Kulit pasien merupakan sumber utama infeksi orthopaedi
sehingga antibiotik profilaksis harus melawan secara langsung bakteri yang biasa terdapat di
kulit.

Pedoman untuk Memilih Antibiotik Profilaksis

Obat-obatan profilaksis harus diarahkan terhadap organisme yang mempunyai kemungkinan


terbesar dapat menyebabkan infeksi, tetapi tidak harus membunuh atau melemahkan seluruh
patogen. Untuk sebagian besar tindakan, sefalosporin generasi pertama atau kedua yang tidak
mahal, seperti sefazolin, mempunyai half-life yang cukup panjang dan aktif terhadap stafilokoki
dan streptokoki, efektif apabila diberikan secara intravena (IV) 30 menit sebelum pembedahan.
Kecuali pada apendektomi, di mana sefoksitin (Mefoxin) atau sefotetan (Cefotan) lebih baik
karena lebih aktif dari pada sefazolin terhadap organisme anaerobik dalam usus.

Stafilokoki metisilin-resisten (Methicilin Resistant Staphylococcus Aureus/MRSA) adalah patogen


pascabedah yang penting, di mana vankomisin dapat digunakan, tetapi penggunaan rutin untuk
profilaksis harus dihindari karena hal ini dapat merangsang timbulnya organisme-organisme
resistan. Juga, sefalosporin generasi ketiga dan keempat (misalnya sefotaksim atau sefepime)
tidak dapat digunakan sebagai profilaksis pembedahan rutin karena:

- Kurang aktifnya sefazolin terhadap stafilokoki, serta mahal.

- Spektrum aktivitasnya mencakup organisme yang jarang ditemukan dalam pembedahan


elektif: dan

- Penggunaan luas dapat menimbulkan resistensi.

Dipresentasikan pada Seminar Pencegahan & Pengendalian Infeksi Rumah Sakit, di RSUP dr Hasan Sadikin,
Bandung, 13-16 Oktober 2008. 4
Jumlah dosis

Dosis tunggal IV antibiotik yang diberikan dalam 30 menit atau kurang sebelum insisi kulit akan
memberikan konsentrasi dalam jaringan yang memadai sepanjang pembedahan. (Apabila
vankomisin digunakan, sekurang-kurangnya dibutuhkan satu jam). Jelaslah konsep infusi “tugas
jaga” antibiotik profilaksis tidak dapat diterima karena penundaan pembedahan dapat terjadi
sehingga menyebabkan konsentrasi dalam jaringan menjadi kurang efektif apabila pembedahan
belum dimulai. Apabila pembedahan diperpanjang (lebih dari 4 jam) kehilangan darah hebat
terjadi atau antibiotik dengan half-life pendek, seperti sefoksitin digunakan, satu atau lebih
dosis tambahan harus diberikan selama tindakan tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Kharisma, dkk (2006) antibiotik profilaksis yang diberikan pada
pasien pediatrik dosis dihitung sesuai dengan berat badannya, diberikan secara dan waktu
pemberian adalah kurang dari 1 jam sebelum pelaksanaan operasi serta lama pemberiannya
adalah diberikan satu hari, satu kali sebelum operasi, ternyata menunjukkan angka kejadian
infeksi luka operasi (ILO) adalah 15.9% [7].

Pedoman pemberian antibiotik profilaksis pada pembedahan adalah sebagai berikut:

1. Mempunyai risiko untuk infeksi apabila tidak mempunyai agen profilaktik.

2. Harus ada pengetahuan mengenai kemungkinan flora yang berhubungan dengan luka
operasi.

3. Antibiotik profilaksis harus dapat memotong aktifitas patogen terhadap luka yang
terkontaminasi atau pada lapangan operasi.

4. Bila menggunakan lebih dari satu antibiotik, maka antibiotik terpilih harus berdasarkan
mikroorgnisme terbanyak.

5. Antibiotik profilaksis diberikan dalam dosis yang menunjukkan konsentrasi efektif


sebelum kontaminasi bakteri intraoperatif. Pemberian yang dianjurkan adalah 30-45
menit sebelum insisi kulit (biasanya bersamaan dengan induksi anestesia).

Dipresentasikan pada Seminar Pencegahan & Pengendalian Infeksi Rumah Sakit, di RSUP dr Hasan Sadikin,
Bandung, 13-16 Oktober 2008. 5
6. Berikan sesuai dengan dosis efektif. Untuk sefalosporin pada pasien dengan BB >70 kg,
dosis sebaiknya dua kali lipat (contoh, 70 kg: cefazolin 1 g IV, >70kg: cefazolin 2 g IV).

7. Pelaksanaan pembedahan sampai tiga jam atau kurang, cukup diberikan dosis tunggal.
Apabila pembedahan lebih dari tiga jam, maka memerlukan dosis efektif tambahan.

8. Vancomycin dapat diberikan untuk pasien dengan alergi penisilin/sefalosporin.

Kesimpulan
Antibiotik profilaksis digunakan untuk menurunkan insidensi terjadinya infeksi luka operasi.
Tindakan operasi yang mempunyai risiko tinggi untuk memperoleh infeksi adalah material
prostetik, implan dan pada pasien yang mempunyai konsekuensi untuk infeksi sebaiknya
mendapatkan antibiotik perioperatif.
Sefalosporin (seperti cefazolin) merupakan golongan obat yang termasuk first-line untuk banyak
tindakan pembedahan.

Daftar Pustaka

[1]. Mayhall, CG. Surgical infection including burns, in Wenzel, RP. Prevention and control of nosocomial infections,
William and Wilkins Baltimore 1987;344-84.
[2]. Haley, RW., Culver, DH., Morgan, WM., White, JW., Emori, TC., and Hooton, TM . Identifying patients at high
risk of surgical wound infection. A simple multivariate index of patient susceptibility and wound contamination. Am
J Epidemiol 1985, 121:2;206-15.
[3]. Culver, D., Horan, T., and Gaynes, R. Surgical wound infection rates by wound class, operation and risk index in
US hospital 1986-90. Proc of 3rd int’l conference on nosocomial infections, Atlanta, 1990.
[4]. Garibaldi, RA. Risk factors for postoperative infection. Proc of 3 rd int’l conference on nosocomial infections,
Atlanta, 1990.
[5]. Djojosugito, MA. Infeksi luka operasi nosokomial, penentuan faktor risiko, kuman penyebab dan cara surveilans
serta penentuan pengaruhnya terhadap biaya langsung perawatan rumah sakit. Disertasi KFUI, Jakarta, November
1990.
[6]. Cooper, RA. Understanding wound infection, in Canale, ST., editor. Campbell’s Operative Orthopaedics. 10th ed,
Philadelphia: Mosby; 2003, 643-59.
[7]. Kharisma and Sikma Ratih. Prophylaxis antibiotic utilization study in orthopaedic surgery which cases are open
fracture grade II and III (Study at SMF Orthopaedic and Traumatology Dr. Soetomo Hospital Surabaya, 2006).

Dipresentasikan pada Seminar Pencegahan & Pengendalian Infeksi Rumah Sakit, di RSUP dr Hasan Sadikin,
Bandung, 13-16 Oktober 2008. 6

Anda mungkin juga menyukai