MEDIKA LESTARI
Jl. Buntu-Gombong KM 1 Pageralang Rt 03/03 Kec.Kemranjen,
Banyumas – Telp (0282) 5291299
Email : lestarimedika@yahoo.com
TENTANG
PEDOMAN PELAYANAN INSTALASI FARMASI
Pasal 2
Pasal 3
d. penerimaan;
e. penyimpanan;
f. pendistribusian;
g. pemusnahan dan penarikan;
h. pengendalian; dan
i. administrasi.
(3) Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b meliputi:
a. pengkajian dan pelayanan Resep;
b. penelusuran riwayat penggunaan Obat;
c. rekonsiliasi Obat;
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
e. konseling;
f. visite;
g. Pemantauan Terapi Obat (PTO):
h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
i. Evaluasi Penggunaan Obat(EPO)
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai dan pelayanan farmasi klinik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Pedoman Pelayanan Kefarmasian ini.
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Ditetapkan di Kemranjen
Pada tanggal 29 November 2017
DIREKTUR
RSU MEDIKA LESTARI,
LAMPIRAN
PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
UMUM MEDIKA LESTARI
NOMOR 654/IF/XI/ML/2017 TENTANG
PEDOMAN PELAYANAN INSTALASI
FARMASI DI RUMAH SAKIT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien,
penyediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi
klinik.
Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait Obat. Tuntutan pasien
dan masyarakat akan peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian, mengharuskan adanya
perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi
paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi
Pelayanan Kefarmasian (pharmaceutical care).
Apoteker khususnya yang bekerja di Rumah Sakit dituntut untuk merealisasikan
perluasan paradigma Pelayanan Kefarmasian dari orientasi produk menjadi orientasi
pasien. Untuk itu kompetensi Apoteker perlu ditingkatkan secara terus menerus agar
perubahan paradigma tersebut dapat diimplementasikan. Apoteker harus dapat memenuhi
hak pasien agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan termasuk tuntutan hukum.
Dengan demikian, para Apoteker Indonesia dapat berkompetisi dan menjadi tuan rumah
di negara sendiri.
-8-
e. Melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi
pelayanan
f. Mengawasi dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi
pelayanan
g. Mengadakan penelitian di bidang farmasi dan peningkatan metode
BAB II
PENGELOLAAN SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN, DAN
BAHAN MEDIS HABIS PAKAI
Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit yang menjamin seluruh rangkaian kegiatan perbekalan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan ketentuan yang
berlaku serta memastikan kualitas, manfaat, dan keamanannya. Pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari
pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,
pemusnahan dan penarikan, pengendalian, dan administrasi yang diperlukan bagi kegiatan
Pelayanan Kefarmasian.
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
dilaksanakan secara multidisiplin, terkoordinir dan menggunakan proses yang efektif untuk
menjamin kendali mutu dan kendali biaya. Dalam ketentuan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyatakan bahwa Pengelolaan Alat Kesehatan,
Sediaan Farmasi, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi
Farmasi sistem satu pintu. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis
Pakai di Rumah Sakit Umum Medika Lestari menggunakan sistem satu pintu.
Sistem satu pintu adalah satu kebijakan kefarmasian termasuk pembuatan formularium,
pengadaan, dan pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang bertujuan untuk mengutamakan kepentingan pasien melalui Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
Dengan demikian semua Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
beredar di Rumah Sakit merupakan tanggung jawab Instalasi Farmasi Rumah Sakit, sehingga
tidak ada pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah
Sakit yang dilaksanakan selain oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Dengan kebijakan
pengelolaan sistem satu pintu, Instalasi Farmasi sebagai satu-satunya penyelenggara Pelayanan
Kefarmasian, sehingga Rumah Sakit akan mendapatkan manfaat dalam hal:
a. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai.
b. Standarisasi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
-12-
c. Penjaminan mutu Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
d. Pengendalian harga Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
e. Pemantauan terapi Obat.
f. Penurunan risiko kesalahan terkait penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai (keselamatan pasien).
g. Kemudahan akses data Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang akurat.
h. Peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit dan citra Rumah Sakit.
i. Peningkatan pendapatan Rumah Sakit dan peningkatan kesejahteraan pegawai.
Rumah Sakit menyusun kebijakan terkait manajemen pengunaan Obat yang efektif.
Kebijakan tersebut ditinjau ulang sekurang- kurangnya sekali setahun. Peninjauan ulang sangat
membantu Rumah Sakit memahami kebutuhan dan prioritas dari perbaikan sistem mutu dan
keselamatan penggunaan Obat yang berkelanjutan.
Rumah Sakit mengembangkan kebijakan pengelolaan Obat untuk meningkatkan
keamanan, khususnya Obat yang perlu diwaspadai (high alert medication). High-alert
medication adalah Obat yang harus diwaspadai karena sering menyebabkan terjadi kesalahan/
kesalahan serius (sentinel event) dan Obat yang berisiko tinggi menyebabkan Reaksi Obat yang
Tidak Diinginkan (ROTD). Kelompok Obat high-alert diantaranya:
a. Obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/
NORUM, atau Look Alike Sound Alike/ LASA).
b. Elektrolit konsentrasi tinggi (misalnya kalium klorida 2meq/ml atau yang lebih pekat,
kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0,9%, dan magnesium sulfat >50% atau lebih
pekat).
Kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
meliputi:
1. Pemilihan
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan kebutuhan. Pemilihan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit Umum Medika
Lestari berdasarkan:
a. Formularium Rumah Sakit
-13-
b. Standar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang telah
ditetapkan.
c. pola penyakit.
d. efektifitas dan keamanan.
e. mutu.
f. harga.
g. ketersediaan di pasaran.
Formularium Rumah Sakit disusun mengacu kepada Formularium Nasional.
Formularium Rumah Sakit merupakan daftar Obat yang disepakati staf medis, disusun
oleh Tim Farmasi dan Terapi (TFT) yang ditetapkan oleh Pimpinan Rumah Sakit.
Formularium Rumah Sakit harus tersedia untuk semua penulis Resep, pemberi Obat, dan
penyedia Obat di Rumah Sakit. Evaluasi terhadap Formularium Rumah Sakit secara rutin
dilakukan revisi satu tahun sekali sesuai kebijakan dan kebutuhan Rumah Sakit.
Penyusunan dan revisi Formularium Rumah Sakit dikembangkan berdasarkan
pertimbangan terapetik dan ekonomi dari penggunaan Obat agar dihasilkan Formularium
Rumah Sakit yang selalu mutakhir dan dapat memenuhi kebutuhan pengobatan yang
rasional.
Tahapan proses penyusunan Formularium Rumah Sakit:
a. Membuat rekapitulasi usulan Obat dari masing-masing Staf Medik Fungsional
(SMF) berdasarkan standar terapi atau standar pelayanan medik.
b. Mengelompokkan usulan Obat berdasarkan kelas terapi.
c. Membahas usulan tersebut dalam rapat Tim Farmasi dan Terapi (TFT), jika
diperlukan dapat meminta masukan dari pakar.
d. Mengembalikan rancangan hasil pembahasan Tim Farmasi dan Terapi (TFT),
dikembalikan ke masing-masing SMF untuk mendapatkan umpan balik.
e. Membahas hasil umpan balik dari masing-masing SMF.
f. Menetapkan daftar Obat yang masuk ke dalam Formularium Rumah Sakit.
g. Menyusun kebijakan dan pedoman untuk implementasi.
h. Melakukan edukasi mengenai Formularium Rumah Sakit kepada staf dan melakukan
monitoring.
Kriteria pemilihan Obat untuk masuk Formularium Rumah Sakit:
-14-
b. Penetapan prioritas.
c. Sisa persediaan.
d. Data pemakaian periode yang lalu.
e. Waktu tunggu pemesanan.
f. Rencana pengembangan.
3. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan
perencanaan kebutuhan.Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan, jumlah,
dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu. Pengadaan
merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari pemilihan, penentuan jumlah
yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana, pemilihan metode pengadaan,
pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan proses pengadaan, dan
pembayaran.
Untuk memastikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sesuai dengan mutu dan spesifikasi yang dipersyaratkan untuk proses pengadaan
dilaksanakan oleh bagian lain yaitu Tim Pengadaan Rumah Sakit dengan melibatkan
tenaga kefarmasian.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit Umum Medika Lestari antara
lain:
1. Akte pendirian perusahaan dan pengesahan dari kementrian Hukum dan Ham
Azasi Manusia;
2. Surat Ijin Usaha Perusahaan (SIUP)
3. NPWP
4. Izin Pedagang Besar Farmasi – Penyalur Alat Kesehatan (PBF-PAK)
5. Perjanjian Kerja Sama antara distributor dan Prinsipal serta Rumah Sakit
6. Nama dan Surat IZIN Kerja Apoteker untuk Apoteker Penanggung Jawab PBF;
7. Alamat dan denah kantor PBF;
8. Bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data Sheet (MSDS).
9. Surat garansi jaminan keaslian pruduk yang didistibusikan (dari prinsipal)
-16-
10. Expired date minimal 2 (dua) tahun kecuali untuk Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai tertentu (vaksin, reagensia, dan lain-lain).
Apabila terdapat kekosongan obat maka Kepala Instalasi Farmasi memberitahu
kepada dokter daftar kekosongan obat apabila obat kosong dari distributor. Untuk obat
yang kosong karena stok habis maka apoteker atau tenaga teknis kefarmasian konfirmasi
kepada dokter penulis resep untuk saran subsitusinya. Jika tidak mau maka pengadaan
dilakukan melalui Rumah Sakit atau Apotik rekanan terdekat yang sudah bekerjasama
dengan Rumah Sakit Medika Lestari untuk menjamin keaslian obat.
Rumah Sakit memiliki mekanisme yang mencegah kekosongan stok Obat yang
secara normal tersedia di Rumah Sakit dan mendapatkan Obat saat Instalasi Farmasi
tutup.
Pengadaan dilakukan melalui:
a. Pembelian
Pembelian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa yang berlaku.
Untuk pengadaan obat-obatan dan bahan medis habis pakai yang masuk dalam
daftar e-catalog bisa dilakukan dengan pengajuan dengan harga e-catalog secara
manual.
Untuk obat dan bahan medis habis pakai diluar e-catalog dilakukan mengikuti
aturan pengadan barang yang berlaku di RS Medika Lestari.
Hal-hal yang diperhatikan dalam pembelian adalah:
1) Kriteria Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai, yang
meliputi kriteria umum dan kriteria mutu Obat.
2) Persyaratan pemasok.
3) Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai.
4) Pemantauan rencana pengadaan sesuai jenis, jumlah dan waktu.
5) Produksi Sediaan Farmasi
Instalasi Farmasi Rumah Sakit dapat memproduksi sediaan tertentu apabila:
1) Sediaan Farmasi tidak ada di pasaran.
2) Sediaan Farmasi lebih murah jika diproduksi sendiri.
-17-
a. Penerimaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai harus
meneliti keadaan barang kiriman sesuai spesifikasi pesanan ( jumlah, jenis bentuk
sediaan, dosis tanggal kadaluarsa, kondisi barang apakah rusak atau tidak, apakah
disertai Material Safety Data Sheet / Certificate of Origin, waktu penyerahan dan
harga).
b. Apabila ada pengiriman sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
yang tidak sesuai dengan pesanan segera di informasikan kepada
pemesanan/pengirim untuk dikembalikan atau diupayakan pengatasannya.
c. Penerimaan sediaan farmasi alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dilakukan
oleh Tim Penerima dan Pemeriksaan barang.
d. Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) diterima di gudang farmasi, selanjutnya
disimpan di Ruang B3 dan didistribusikan kepada ruang yang membutuhkan.
5. Penyimpanan
Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu dilakukan penyimpanan sebelum
dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan
persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi persyaratan
stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
a. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan,dan Bahan Habis Pakai sesuai dengan persyaratan kefarmasian.
b. Penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai di
gudang instalasi farmasi berdasarkan:
1) Alur penyimpanan barang dengan sistem first expired first out ( FEFO) dan first
in first out ( FIFO ).
2) Penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
dikelompokkan antara obat jadi, bahan baku obat, sediaan nutrisi, alat kesehatan
dan regensia, B3, dan obat high alert.
3) Untuk obat jadi dikelompokan kembali menjadi sediaan padat ( Tablet / Kaplet /
kapsul ), sediaan salep, sediaan tetes, sediaan injeksi (serbuk / cairan) dan
sediaan infus ( cairan besar ) dan disusun secara alfabetis.
-19-
kembalikan kepada pasien serta di simpan di depo penyimpanan obat instalasi RSU
Medika Lestari. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk penyimpanan
barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi.
Instalasi Farmasi memastikan bahwa Obat disimpan secara benar dan diinspeksi
secara periodik. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
harus disimpan terpisah yaitu:
a. Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
1. Pengadaan bahan berbahaya dilakukan oleh Bagian Pengadaan secara rutin atas
dasar permintaan dari Unit-unit rumah sakit sesuai kebutuhan.
2. Pengadaan dilakukan kepada distributor resmi pemegang B3 dilengkapi dengan
MSDS ( Material Safety Data Sheet).
3. Penyimpanan B3 di tempatkan tersendiri dan disesuaikan dengan persyaratan
masing-masing B3 dan diberi tanda khusus.
4. Bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan api dan diberi tanda
khusus bahan berbahaya
b. Pengelolaan Gas medis
1. Kepala instalasi Farmasi Rumah Sakit ( IFRS ) bertanggung jawab terhadap
pengelolaaan Gas Medis. Untuk pelaksanaannya dilakukan oleh IPSRS.
2. Gas Medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi penandaaan untuk
menghindari kesalahan pengambilan jenis gas medis. Penyimpanan tabung gas
medis kosong terpisah dari tabung gas medis yang ada isinya. Penyimpanan
tabung gas medis di ruangan harus menggunakan tutup demi keselamatan.
Metode penyimpanan dilakukan berdasarkan bentuk sediaan, dan jenis Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan disusun secara alfabetis
dengan menerapkan prinsip First Expired First Out (FEFO) dan First In First Out (FIFO)
disertai sistem informasi manajemen. Penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai yang penampilan dan penamaan yang mirip (LASA, Look
Alike Sound Alike) tidak ditempatkan berdekatan dan harus diberi penandaan khusus
untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan Obat.
-23-
Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh pasien
dengan mempertimbangkan:
a. Efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada.
b. Metode sentralisasi atau desentralisasi.
7. Pemusnahan dan Penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai
Pemusnahan dan Penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, yang digunakan
harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM), kadaluarsa, dan rusak. Penarikan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan oleh BPOM atau pabrikan asal.
Rumah Sakit mempunyai sistem pencatatan terhadap kegiatan penarikan.
1) Sistem penarikan/recall untuk obat kadaluarsa yaitu dengan melaporkan obat obat
yang akan ED untuk 6 bulan yang akan datang. Petugas gudang melalui Kepala
Instalasi Farmasi akan menginformasikan obat yang akan kadaluwarsa kepada dokter
untuk diresepkan terlebih dahulu.
2) Jika memungkinkan diretur ke distributor maka dilakukan retur distributor.
3) Obat yang kadaluarsa dikarantina ditempat khusus, dilakukan pencatatan yang
kemudian untuk dimusnahkan.
Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai bila:
a. Produk tidak memenuhi persyaratan mutu.
b. Telah kadaluwarsa.
c. Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan atau
kepentingan ilmu pengetahuan.
d. Dicabut izin edarnya.
Tahapan pemusnahan Obat terdiri dari:
a. Membuat daftar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang akan dimusnahkan.
b. Menyiapkan Berita Acara Pemusnahan.
-25-
BAB III
PELAYANAN FARMASI KLINIK
Peresepan/permintaan obat dan intruksi pengobatan yang tidak benar, tidak terbaca,
dan tidak lengkap maka petugas farmasi harus secepatnya melakukan konfirmasi
kepada dokter penulis resep untuk menanyakan kejelasan resep tersebut agar tidak
terjadi penundaan kegiatan asuhan pasien.
Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, pengkajian
Resep, penyiapan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi.
Pada setiap tahap alur pelayanan Resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya
kesalahan pemberian obat (medication error).
Untuk menghindari keseragaman dan menjaga keselamatan pasien maka rumah
sakit menetapkan persyaratan atau elemen penting kelengkapan suatu resep atau
permintaan obat dan instruksi pengobatan. Persyaratan atau elemen kelengkapan
tersebut meliputi :
a) Data identitas pasien secara lengkap meliputi Nama,No Rm, Tanggal lahir
b) Elemen pokok di semua resep atau permintaan obat atau instruksi pengobatan
harus tercatat dalam resep;
c) Penulisan resep menggunakan nama paten ketika ijin nama paten obat masih
berlaku, dan ketika masa obat tersebut habis menggunakan nama generik;
d) Penggunaan indikasi seperti pada PRN (Pro re nata atau jika perlu”) atau
instruksi pengobatan lain di perlukan ketika menemui obat- obat yang hanya di
berikan jika perlu contoh : Asam Mefenamat di minum jika Nyeri.
e) Untuk pasien anak – anak, lansia yang rapuh, dan populasi khusus harus
disertakan berat badan pasien;
f) Dalam resep tertulis kecepatan pemberian jika berupa infus;
g) Instruksi khusus, sebagai contoh : titrasi,tapering,rentang dosis.
Rumah sakit menetapkan proses untuk menangani atau mengelola hal-hal di bawah
ini :
1) Peresepan/permintaan obat dan intruksi pengobatan yang tidak benar, tidak
terbaca, dan tidak lengkap maka petugas farmasi harus secepatnya melakukan
konfirmasi kepada dokter penulis resep untuk menanyakan kejelasan resep
tersebut agar tidak terjadi penundaan kegiatan asuhan pasien.
-29-
2) Resep atau permintaan obat dan intruksi pengobatan yang NORUM (Nama Obat
Rupa Ucapan Mirip) atau LASA (Look Alike Sound Alike) dilakukan konfirmasi
kembali kepada dokter penulis resep apabila tidak jelas. Sebelum menyerahkan
obat pada pasien, farmasis mengecek ulang / membacakembali kebenaran resep
dengan obat yang diserahkan.
3) Jenis resep khusus, seperti :
Emergency Order adalah intruksi pengobatan dari dokter agar perawat
memberikan obat dosis tunggal secepatnya/ segera (dalam waktu kurang dari
1 jam ) dengan mencantumkan kata “CITO “ pada intruksi tersebut. Intruksi
seperti ini hanya di gunakan pada kondisi kedaruratan .
Cito, pelayanan resep yang bersifat segera/ CITO dilayani terlebih dahulu.
Automatic Stop Order adalah penghentian secara otomatis pemberian obat-
obatan tertentu, kecuali dokter telah menulis secara spesifik jangka waktu
lamanya pemberian obat- obatan tersebut. Peresepan keterolak injeksi lebih
dari 5 (lima) hari secara otomatis tidak di lanjutkan (instalasi farmasi tidak
melayani ) untuk khasus bedah dan lebih dari 3 (tiga) hari untuk khasus
penyakit dalam
Tapering
Tapering off atau lebih sering disebut dose tapering off merupakan penurunan
dosis obat tertentu ketika obat hendak dihentikan penggunaannya. Tujuan
dilakukannya tapering off adalah agar tubuh kita tidak mengalami gangguan
akibat penghentian obat yang bersifat tiba-tiba. Obat – obat yang mengalami
tapering off obat kortikosteroid.
Standing Order adalah instruksi dari dokter yang mengautorisasi perawat
untuk memberikan obat-obatan tertentu kepada pasien, dimana dokter tidak
menuliskan lagi secara lengkap komponen kelengkapan instruksi pengobatan
(bentuk dan kekuatan sediaan, dosis dan jumlah obat, signature,
aturan pemakaian). Standing order yang berlaku di Rumah Sakit Medika
Lestari yaitu pemberian MgSo4 untuk Preeklampsia dan Eklampsia, serta
Kalium Klorida 7,46%.
-30-
Rumah sakit membatasi penulisan resep meliputi jenis, dan jumlah obat oleh staf
medis misalnya obat yang berbahaya :
1) Penulisan resep narkotika injeksi hanya dapat di tulis oleh dokter spesialis
anestesi, kecuali dalam kondisi darurat dapat di tulis oleh doker DPJP, dokter
jaga,dan di ganti paling lambat 1 X 24 jam oleh dokter spesalis anestesi.
2) Penulisan resep narkotika untuk rawat inap selain di tulis di resep rawat inap di
tulis juga di resep terpisah dengan jelas dan lengkap.
3) Pemberian obat di Rumah Sakit Medika Lestari untuk Narkotik di batasi
maksimal jumlahnya sebagai berikut :
Codein 10 mg diberikan 20 tablet/minggu setiap pasien.
Codein 20 mg di berikan 20 tablet/ minggu setiap pasien
Fentanil Injeksi 0,05 mg/ml di berikan 5 ampul/kasus
Petidin injeksi 50 mg/ml di berikan 2 ampul/hari
Morfin tablet 10 mg diberika initial dosis 3-4 tablet/hari
4) Penulisan resep untuk psikotropik oleh Dokter Umum hanya berlaku untuk
obat golongan Diazepam
5) Penulisan resep untuk psikotropik di batasi jumlanya hanya boleh maksimal 30
tablet dalam satu resep untuk satu pasien.
b. Pengkajian Resep
Di Rumah Sakit Umum Medika Lestari setiap resep/ permintaan obat/ intruksi
pengobatan harus dilakukan pengkajian / telaah resep. Pengkajian resep dilakukan
untuk menganalisa adanya masalah terkait obat, bila ditemukan masalah terkait obat
dikonsultasikan kepada dokter penulis Resep.
Pengkajian/ telaah resep yang dilakukan sebelum obat disiapkan untuk
memastikan resep memenuhi syarat secara administrative, farmasetik dan klinis.
Telaah obat yang dilakukan setelah obat selesai disiapkan untuk memastikan
bahwa obat yang disiapakan sudah sesuai dengan resep/ instruksi pengobatan
Pengkajian resep yang dilakukan meliputi :
a) Ketepatan identitas pasien, obat, dosis,frekuensi, aturan minum/ makan obat,
dan waktu pemberian;
b) Duplikasi pengobatan
-31-
Informasi yang diberikan pada saat pemberian obat meliputi cara pemakaian obat,
cara penyimpanan obat dan jangka waktu pengobatan
2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
Penelusuran riwayat penggunaan Obat merupakan proses untuk mendapatkan informasi
mengenai seluruh Obat / Sediaan Farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan.
Riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam medik /
pencatatan penggunaan Obat pasien.
Tahapan penelusuran riwayat penggunaan Obat:
a. Membandingkan riwayat penggunaan Obat dengan data rekam medik / pencatatan
penggunaan Obat untuk mengetahui perbedaan informasi penggunaan Obat.
b. Melakukan verifikasi riwayat penggunaan Obat yang diberikan oleh tenaga
kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan jika diperlukan.
c. Mendokumentasikan adanya alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki
(ROTD).
d. Mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi Obat.
e. Melakukan penilaian terhadap kepatuhan pasien dalam menggunakan Obat.
f. Melakukan penilaian rasionalitas Obat yang diresepkan.
g. Melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap Obat yang digunakan.
h. Melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan Obat.
i. Melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan Obat.
j. memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap Obat dan alat bantu kepatuhan
minum Obat (concordance aids);
k. mendokumentasikan Obat yang digunakan pasien sendiri tanpa sepengetahuan
dokter; dan
l. mengidentifikasi terapi lain, misalnya suplemen dan pengobatan alternatif yang
mungkin digunakan oleh pasien. Kegiatan:
a) penelusuran riwayat penggunaan Obat kepada pasien/keluarganya; dan
b) melakukan penilaian terhadap pengaturan penggunaan Obat pasien.
Informasi yang harus didapatkan:
a) nama Obat (termasuk Obat non Resep), dosis, bentuk sediaan, frekuensi
penggunaan, indikasi dan lama penggunaan Obat;
-33-
Apabila timbul efek samping obat pada pasien yang di rawat di Rumah Sakit
Umum Medika Lestari maka profesional pemberi asuhan (PPA) melaporkan kepada
tim farmasi dan terapi yang selanjutnya dilaporkan pada Pusat Meso Nasional.
Apoteker mengevaluasi efek obat untuk memantau secara ketat respons pasien
dengan melakukan pemantauan terapi obat (PTO). Apoteker bekerjasama dengan
pasien, dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainya untuk memantau pasien yang di
beri obat. Pemantauan efek samping obat dicatat dalam status pasien dan di
laporkan.
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi penggunaan Obat
yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif.
Tujuan EPO yaitu:
a. Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan Obat.
b. Membandingkan pola penggunaan Obat pada periode waktu tertentu.
c. Memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan Obat.
d. Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan Obat..
Kegiatan praktek EPO:
a. Mengevaluasi pengggunaan Obat secara kualitatif; dan
b. Mengevaluasi pengggunaan Obat secara kuantitatif.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:
a. Indikator peresepan;
b. Indikator pelayanan; dan
c. Indikator fasilitas.
10. Dispensing Sediaan Steril
Kegiatan dispensing sediaan steril yang ada di Rumah Sakit berupa Pencampuran
Obat Suntik, Pelarutan injeksi serbuk. Melakukan pencampuran Obat steril sesuai
kebutuhan pasien yang menjamin kompatibilitas dan stabilitas Obat maupun wadah
sesuai dengan dosis yang ditetapkan. Kegiatan:
1) mencampur sediaan intravena ke dalam cairan infus;
2) melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan pelarut yang sesuai;
3) mengemas menjadi sediaan siap pakai.
-40-
Pencampuran sediaan injeksi dilakukan oleh perawat atau bidan bangsal yang sudah
mengikuti pelatihan dan memiliki sertifikat. Pelatihan pencampuran sediaan injeksi
dilakukan oleh apoteker RSU Medika Lestari dan sertifikat diterbitkan oleh Direktur
RSU Medika Lestari.
BAB IV
SUMBER DAYA KEFARMASIAN
BAB V
STANDAR FASILITAS
B. Standar Fasilitas
Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit harus didukung oleh sarana
dan peralatan yang memenuhi ketentuan dan perundang-undangan kefarmasian yang
berlaku. Lokasi harus menyatu dengan sistem pelayanan Rumah Sakit, dipisahkan antara
fasilitas untuk penyelenggaraan manajemen, pelayanan langsung kepada pasien, peracikan.
Peralatan yang memerlukan ketepatan pengukuran harus dilakukan kalibrasi alat dan
peneraan secara berkala oleh balai pengujian kesehatan dan/ atau institusi yang berwenang.
Peralatan harus dilakukan pemeliharaan, didokumentasi, serta dievaluasi secara berkala dan
berkesinambungan.
1. Sarana
Fasilitas ruang harus memadai dalam hal kualitas dan kuantitas agar dapat
menunjang fungsi dan proses Pelayanan Kefarmasian, menjamin lingkungan kerja yang
aman untuk petugas, dan memudahkan sistem komunikasi Rumah Sakit.
a. Fasilitas utama dalam kegiatan pelayanan di Instalasi Farmasi, terdiri dari:
Ruang Kantor/ Administrasi terdiri dari:
a) Ruang pimpinan
b) Ruang staf
c) Ruang kerja/ administrasi tata usaha
d) Ruang pertemuan
2. Ruang penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
Rumah Sakit harus mempunyai ruang penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang disesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan, serta harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur, sinar/cahaya,
kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan keamanan petugas,
terdiri dari:
a. Kondisi umum untuk ruang penyimpanan:
1) Obat jadi
2) Obat produksi
3) Bahan baku Obat
4) Alat Kesehatan
b. Kondisi khusus untuk ruang penyimpanan:
-48-
1) Obat termolabil
2) Bahan laboratorium dan reagensia
3) Sediaan Farmasi yang mudah terbakar
4) Obat/ bahan Obat berbahaya (narkotik/psikotropik)
3. Ruang distribusi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai terdiri
dari distribusi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai rawat
jalan dan rawat inap.
Ruang distribusi harus cukup untuk melayani seluruh kebutuhan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai Rumah Sakit. Ruang distribusi terdiri
dari:
Ruang distribusi untuk pelayanan rawat jalan dan jawat inap jadi satu, di mana ada
ruang khusus/ terpisah untuk penerimaan resep dan peracikan.
4. Ruang konsultasi/ konseling Obat
Ruang konsultasi/ konseling Obat harus ada sebagai sarana untuk Apoteker
memberikan konsultasi/ konseling pada pasien dalam rangka meningkatkan
pengetahuan dan kepatuhan pasien. Ruang konsultasi/ konseling harus jauh dari hiruk
pikuk kebisingan lingkungan Rumah Sakit dan nyaman sehingga pasien maupun
konselor dapat berinteraksi dengan baik. Ruang konsultasi/ konseling dapat berada di
Instalasi Farmasi rawat jalan maupun rawat inap.
5. Ruang Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan Informasi Obat dilakukan di ruang tersendiri dengan dilengkapi sumber
informasi dan teknologi komunikasi, berupa bahan pustaka dan telepon.
Fasilitas penunjang dalam kegiatan pelayanan di Instalasi Farmasi, terdiri dari:
a. Ruang tunggu pasien.
b. Ruang penyimpanan dokumen/ arsip Resep dan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai yang rusak.
c. Tempat penyimpanan Obat di ruang perawatan.
d. Fasilitas toilet, kamar mandi untuk staf.
2. Peralatan
Fasilitas peralatan harus memenuhi syarat terutama untuk perlengkapan peracikan dan
penyiapan baik untuk sediaan steril, non steril, maupun cair untuk Obat luar atau dalam.
-49-
Fasilitas peralatan harus dijamin sensitif pada pengukuran dan memenuhi persyaratan,
peneraan dan kalibrasi untuk peralatan tertentu setiap tahun.
Peralatan yang paling sedikit harus tersedia:
a. Peralatan untuk penyimpanan, peracikan dan pembuatan Obat baik steril dan nonsteril
maupun aseptik/ steril.
b. Peralatan kantor untuk administrasi dan arsip.
c. Kepustakaan yang memadai untuk melaksanakan Pelayanan Informasi Obat.
d. Lemari penyimpanan khusus untuk narkotika.
e. Lemari pendingin dan pendingin ruangan untuk Obat yang termolabil.
f. Penerangan, sarana air, ventilasi dan sistem pembuangan limbah yang baik.
g. Alarm.
Macam-macam Peralatan
a. Peralatan Kantor:
1) Mebeulair (meja, kursi, lemari buku/rak, dan lain-lain).
2) Komputer/ mesin tik.
3) Alat tulis kantor.
4) Telepon.
b. Peralatan Sistem Komputerisasi
Sistem komputerisasi harus diadakan dan difungsikan secara optimal untuk
kegiatan sekretariat, pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik. Sistem informasi farmasi ini harus terintegrasi
dengan sistem informasi Rumah Sakit untuk meningkatkan efisiensi fungsi manajerial
dan agar data klinik pasien mudah diperoleh untuk monitoring terapi pengobatan dan
fungsi klinik lainnya. Sistem komputerisasi meliputi:
1) Jaringan
2) Perangkat keras
3) Perangkat lunak (program aplikasi)
c. Peralatan Produksi
1) Peralatan farmasi untuk persediaan, peracikan dan pembuatan Obat, baik nonsteril
maupun steril/ aseptik.
-50-
2 ) Peralatan harus dapat menunjang persyaratan keamanan cara pembuatan Obat yang
baik.
e. Peralatan Penyimpanan
1)Peralatan Penyimpanan Kondisi Umum
- Lemari/ rak yang rapi dan terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang
berlebihan.
- Lantai dilengkapi dengan palet.
2) Peralatan Penyimpanan Kondisi Khusus:
- Lemari pendingin dan AC untuk Obat yang termolabil.
- Fasilitas peralatan penyimpanan dingin harus divalidasi secara berkala.
- Lemari penyimpanan khusus untuk narkotika dan Obat psikotropika.
- Peralatan untuk penyimpanan Obat, penanganan dan pembuangan limbah sitotoksik
dan Obat berbahaya harus dibuat secara khusus untuk menjamin keamanan petugas,
pasien dan pengunjung
3) Peralatan Pendistribusian/ Pelayanan
- Pelayanan rawat jalan;
- Pelayanan rawat inap;
- Kebutuhan ruang perawatan/ unit lain.
4) Peralatan Konsultasi
- Buku kepustakaan bahan-bahan leaflet, brosur dan lain-lain.
- Meja, kursi untuk Apoteker dan 2 orang pelanggan, lemari untuk menyimpan profil
pengobatan pasien..
- Telpon.
- Lemari arsip.
- Kartu arsip.
5) Peralatan Ruang Informasi Obat
- Kepustakaan yang memadai untuk melaksanakan Pelayanan Informasi Obat.
- Peralatan meja, kursi, rak buku, kotak.
- Komputer.
- Telpon.
- Lemari arsip.
-51-
- Kartu arsip.
6) Peralatan Ruang Arsip
- Kartu Arsip.
- Lemari/ Rak Arsip.
-52-
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN
A. Pengertian
Manajemen risiko adalah suatu metode yang sistematis untuk mengidentifikasi,
menganalisis, mengendalikan, memantau, mengevaluasi dan mengkomunikasikan risiko yang
ada pada suatu kegiatan.
Untuk mengetahui gambaran kegiatan pada suatu unit kerja (misalnya pada pelayanan
kefarmasian), terlebih dahulu dilakukan inventarisasi kegiatan di unit kerja tersebut.
Inventarisasi dapat dilakukan dengan cara :
1. Mempelajari diagram kegiatan yang ada
2. Melakukan inspeksi dengan menggunakan daftar tilik (checklist)
3. Melakukan konsultasi dengan petugas Inventarisasi kegiatan diarahkan kepada
perolehan informasi untuk menentukan potensi bahaya (hazard) yang ada. Bahaya
(hazard) adalah sesuatu atau kondisi pada suatu tempat kerja yang dapat berpotensi
menyebabkan kematian, cedera atau kerugian lain.
Pengendalian risiko melalui sistem manajemen dapat dilakukan oleh pihak manajemen
pembuat komitmen dan kebijakan, organisasi, program pengendalian, prosedur pengendalian,
tanggung jawab, pelaksanaan dan evaluasi. Kegiatan-kegiatan tersebut secara terpadu dapat
mendukung terlaksananya pengendalian secara teknis.
Keselamatan pasien (Patient safety) secara sederhana di definisikan sebagai suatu
upaya untuk mencegah bahaya yang terjadi pada pasien. Walaupun mempunyai definisi yang
sangat sederhana, tetapi upaya untuk menjamin keselamatan pasien di fasilitas kesehatan
sangatlah kompleks dan banyak hambatan. Konsep keselamatan pasien harus dijalankan
secara menyeluruh dan terpadu.
Strategi untuk meningkatkan keselamatan pasien :
1. Menggunakan obat dan peralatan yang aman
2. Melakukan praktek klinik yang aman dan dalam lingkungan yang aman
3. Melaksanakan manajemen risiko, contoh : pengendalian infeksi
4. Membuat dan meningkatkan sistem yang dapat menurunkan risiko yang berorientasi
kepada pasien.
-53-
B. Tujuan
1. Manajemen risiko dalam pelayanan kefarmasian terutama medication error meliputi
kegiatan :
a. koreksi bila ada kesalahan sesegera mungkin
b. pelaporan medication error
c. dokumentasi medication error
d. pelaporan medication error yang berdampak cedera
e. supervisi setelah terjadinya laporan medication error
f. sistem pencegahan
g. pemantauan kesalahan secara periodik
h. tindakan preventif
i. pelaporan ke tim keselamatan pasien tingkat nasional
2. Untuk membentuk program manajemen risiko untuk keselamatan pasien yang terdiri dari
4 aspek utama:
a. Penentuan tentang norma-norma global, standar dan pedoman untuk
definisi, pengukuran dan pelaporan dalam mengambil tindakan
pencegahan, dan menerapkan ukuran untuk mengurangi resiko
b. Penyusunan kebijakan berdasarkan bukti (evidence-based) dalam
standar global yang akan meningkatkan pelayanan kepada pasien
dengan penekanan tertentu pada beberapa aspek seperti keamanan
produk, praktek klinik yang aman sesuai dengan pedoman, penggunaan produk obat
dan alat kesehatan yang aman dan menciptakan suatu budaya keselamatan pada
petugas kesehatan dan institusi pendidikan.
c. Pengembangan mekanisme melalui akreditasi dan instrumen lain, untuk mengenali
karakteristik penyedia pelayanan kesehatan yang unggul
dalam keselamatan pasien secara internasional
d. Mendorong penelitian tentang keselamatan pasien
-54-
resep, standarisasi bahan medis habis pakai (BMHP), rekam medis dan lain sebagainya.
Selain itu, kultur atau budaya yang dibangun dan diterapkan di lingkungan rumah sakit juga
akan sangat mempengaruhi kinerja unit-unit yang bertanggung jawab terhadap keselamatan
pasien. Budaya tidak saling menyalahkan (no blame culture), sistem informasi
manajemen/information technology (SIM/IT) rumah sakit, kerjasama tim, kepemimpinan, alur
koordinasi, Tim Farmasi dan Terapi (TFT) RS, Formularium RS, dan Komite-komite serta
Program Rumah Sakit lainnya, merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan
keselamatan pasien yang berasal dari makrosistem.
Di atas mikrosistem dan makrosistem, ada satu sistem yang akan mempengaruhi
keselamatan pasien, yaitu megasistem. Yang dimaksud Megasistem adalah kebijakan
kesehatan nasional yang berlaku, misalnya kebijakan-kebijakan menyangkut obat dan
kesehatan yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan (Kebijakan tentang akreditasi,
Obat Rasional, Infeksi Nosokomial, dan lain sebagainya), termasuk juga sistem
pendidikan dan pendidikan berkelanjutan yang berlaku. Hal lain yang juga mempengaruhi
keselamatan pasien yang memerlukan intervensi dari megasistem adalah pembenahan
fenomena kemiripan Look a like (obat-obat dengan rupa atau kemasan mirip) atau Look a like
Sound a like - LASA (obat-obat dengan rupa dan nama mirip), misalnya :
1. AmloDIPIN dengan nifeDIPIN,
2. irbeSARTAN dengan valSARTAN,
3. piroXICAM dengan meloXICAM.
Dalam mengelola keselamatan pasien di level Mikrosistem, seorang Apoteker harus
melakukannya dengan pendekatan sistemik. Masalah Keselamatan pasien merupakan
kesalahan manusia (human error) yang terutama terjadi karena kesalahan pada level
manajemen atau organisasi yang lebih tinggi.
Istilah
Definisi Contoh
Terjadi cedera
Kejadian yang Kejadian cedera pada pasien selama Iritasi pada kulit
tidak proses terapi/penatalaksanaan medis. karena
diharapkan Penatalaksanaan medis mencakup seluruh penggunaan
(Adverse aspek pelayanan, termasuk diagnosa, perban. Jatuh
Event) terapi, kegagalan diagnosa/terapi, sistem, dari tempat tidur.
peralatan untuk pelayanan. Adverse event
dapat dicegah atau tidak dapat dicegah.
Reaksi obat Kejadian cedera pada pasien selama Steven-Johnson
yang tidak proses terapi akibat penggunaan obat. Syndrom : Sulfa,
diharapkan Obat epilepsi dll.
(Adverse Drug
Reaction)
Kejadian Respons yang tidak diharapkan terhadap • Shok anafilaksis
tentang obat terapi obat dan mengganggu atau pada
yang tidak menimbulkan cedera pada penggunaan penggunaan
diharapkan obat dosis normal. Reaksi Obat Yang antbiotik
(Adverse Drug Tidak Diharapkan (ROTD) ada yang golongan
Event) berkaitan dengan efek penisilin
farmakologi/mekanisme kerja (efek
samping) ada yang tidak berkaitan dengan •
Mengantuk pada
penggunaan
efek farmakologi (reaksi hipersensitivitas).
CTM
Efek obat yang Respons yang tidak diharapkan terhadap Shok anafilaksis
tidak terapi obat dan mengganggu atau pada penggunaan
diharapkan menimbulkan cedera pada penggunaan antbiotik golongan
(Adverse drug obat dosis lazim Sama dengan ROTD penisilin.
effect) tapi dilihat dari sudut pandang obat Mengantuk pada
ROTD dilihat dari sudut pandang pasien. penggunaan CTM.
-57-
Ada beberapa pengelompokan medication error sesuai dengan dampak dan proses
Konsistensi pengelompokan ini penting sebagai dasar analisa dan intervensi yang tepat.
Tabel 2 . Indeks medication errors untuk kategorisasi errors (berdasarkan dampak)
Errors Kateg Hasil
No error ori
A Kejadian atau yang berpotensi untuk terjadinya kesalahan
Error, no B Terjadi kesalahan sebelum obat mencapai pasien
Harm C Terjadi kesalahan dan obat sudah diminum/digunakan pasien
tetapi tidak membahayakan pasien
D Terjadinya kesalahan, sehingga monitoring ketat harus dilakukan
tetapi tidak membahayakan pasien
Error, E Terjadi kesalahan, hingga terapi dan intervensi lanjut diperlukan dan
harm kesalahan ini memberikan efek yang buruk yang sifatnya sementara
Prescribing error Obat diresepkan secara keliru atau perintah diberikan secara lisan
atau diresepkan oleh dokter yang tidak berkompeten
Wrong Menggunakan cara pemberian yang keliru termasuk misalnya
administration menyiapkan obat dengan teknik yang tidak dibenarkan (misalkan
technique obat im diberikan iv)
Wrong time Obat diberikan tidak sesuai dengan jadwal pemberian atau diluar
jadwal yang ditetapkan
-59-
Apoteker dan tenaga tekhnis kefarmasian RSU Medika Lestari hendaknya mampu
mengenali istilah – istilah diatas beserta contohnya sehingga dapat membedakan dan
mengidentifikasi kejadian – kejadian yang berikatan dengan cedera akibat penggunaan obat
dalam melaksanakan program Keselamatan Pasien. Proses Pelaporan Kesalahan Penggunaan
obat ( Medication Eror) menjadi bagian dari program kendali mutu dan keselamatan pasien di
rumah sakit. Apabila ada kejadian medication eror di Rumah Sakit Umum Medika Lestari maka
kejadian tersebut di laporkan kepada tim keselamatan pasien rumah sakit dan laporan tersebut
digunakan untuk mencegah kesalahan di kemudian hari. Setelah membuat laporan insiden maka
secepat mungkin di lakukan tindak lanjut dan pelatihan dalam rangka upaya perbaikan untuk
mencegah kesalahan obat agar tidak terjadi di kemudian hari.
-60-
BAB VII
KESELAMATAN KERJA
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN
5. Up date kriteria.
Langkah–langkah dalam aplikasi program pengendalian mutu, meliputi:
1. Memilih subyek dari program.
2. Tentukan jenis Pelayanan Kefarmasian yang akan dipilih berdasarkan prioritas.
3. Mendefinisikan kriteria suatu Pelayanan Kefarmasian sesuai dengan kualitas pelayanan yang
diinginkan.
4. Mensosialisasikan kriteria Pelayanan Kefarmasian yang dikehendaki.
5. Dilakukan sebelum program dimulai dan disosialisasikan pada semua personil serta menjalin
konsensus dan komitmen bersama untuk mencapainya.
6. Melakukan evaluasi terhadap mutu pelayanan yang sedang berjalan menggunakan kriteria.
7. Apabila ditemukan kekurangan memastikan penyebab dari kekurangan tersebut.
8. Merencanakan formula untuk menghilangkan kekurangan.
9. Mengimplementasikan formula yang telah direncanakan.
10. Reevaluasi dari mutu pelayanan.
Untuk mengukur pencapaian standar yang telah ditetapkan diperlukan indikator, suatu
alat / tolak ukur yang hasil menunjuk pada ukuran kepatuhan terhadap standar yang telah
ditetapkan. Indikator dibedakan menjadi:
1. Indikator persyaratan minimal yaitu indikator yang digunakan untuk mengukur terpenuhi
tidaknya standar masukan, proses, dan lingkungan.
2. Indikator penampilan minimal yaitu indikator yang ditetapkan untuk mengukur tercapai
tidaknya standar penampilan minimal pelayanan yang diselenggarakan.
Indikator atau kriteria yang baik sebagai berikut:
1. Sesuai dengan tujuan.
2. Informasinya mudah didapat.
3. Singkat, jelas, lengkap dan tak menimbulkan berbagai interpretasi.
4. Rasional.
Dalam pelaksanaan pengendalian Mutu Pelayanan Kefarmasian dilakukan melalui kegiatan
monitoring dan evaluasi yang harus dapat dilaksanakan oleh Instalasi Farmasi sendiri atau
dilakukan oleh tim audit internal.
Monitoring dan evaluasi merupakan suatu pengamatan dan penilaian secara terencana,
sistematis dan terorganisir sebagai umpan balik perbaikan sistem dalam rangka meningkatkan
-66-
mutu pelayanan. Monitoring dan evaluasi harus dilaksanakan terhadap seluruh proses tata kelola
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan waktu pelaksanaan evaluasi, dibagi menjadi 3 (tiga) jenis program evaluasi,
yaitu:
1. Prospektif adalah program dijalankan sebelum pelayanan dilaksanakan, contoh: standar
prosedur operasional, dan pedoman.
2. Konkuren adalah program dijalankan bersamaan dengan pelayanan dilaksanakan, contoh:
memantau kegiatan konseling Apoteker, peracikan Resep oleh Asisten Apoteker.
3. Retrospektif adalah program pengendalian yang dijalankan setelah pelayanan dilaksanakan,
contoh: survei konsumen, laporan mutasi barang, audit internal.
Evaluasi Mutu Pelayanan merupakan proses pengukuran, penilaian atas semua kegiatan
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit secara berkala. Kualitas pelayanan meliputi: teknis
pelayanan, proses pelayanan, tata cara / standar prosedur operasional, waktu tunggu untuk
mendapatkan pelayanan.
Metoda evaluasi yang digunakan, terdiri dari :
1. Audit (pengawasan)
Dilakukan terhadap proses hasil kegiatan apakah sudah sesuai standar.
2. Review (penilaian)
Terhadap pelayanan yang telah diberikan, penggunaan sumber daya, penulisan Resep.
3. Survei
Untuk mengukur kepuasan pasien, dilakukan dengan angket atau wawancara langsung.
4. Observasi
Terhadap kecepatan pelayanan misalnya lama antrian, ketepatan penyerahan Obat.
-67-
BAB IX
PENUTUP