Anda di halaman 1dari 335

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 72 TAHUN 2016


TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun


2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2016
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit masih belum memenuhi
kebutuhan hukum di masyarakat sehingga perlu
dilakukan perubahan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063);
-2-

2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang


Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5072);
3. Undang­Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang­Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5679);
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3781);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
7. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen, sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 145 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedelapan atas Keputusan
Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan
Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Kementerian
-3-

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015


Nomor 322);
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 1508);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG STANDAR
PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan
yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat
darurat.
2. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolok ukur
yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga
kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian.
3. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang
berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien.
4. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau
dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk
paper maupun electronik untuk menyediakan dan
menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang
berlaku.
5. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat
tradisional dan kosmetika.
6. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk
produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi
atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
-4-

patologi dalam rangka penetapan diagnosis,


pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.
7. Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin
dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang
digunakan untuk mencegah, mendiagnosis,
menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat
orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia,
dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki
fungsi tubuh.
8. Bahan Medis Habis Pakai adalah alat kesehatan yang
ditujukan untuk penggunaan sekali pakai (single use)
yang daftar produknya diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
9. Instalasi Farmasi adalah unit pelaksana fungsional
yang menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan
kefarmasian di Rumah Sakit.
10. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus
sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah
jabatan apoteker.
11. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang
membantu apoteker dalam menjalani Pekerjaan
Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli
Madya Farmasi, dan Analis Farmasi.
12. Direktur Jenderal adalah direktur jenderal pada
Kementerian Kesehatan yang bertanggung jawab di
bidang kefarmasian dan alat kesehatan.
13. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang
selanjutnya disingkat Kepala BPOM adalah Kepala
Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang
mempunyai tugas untuk melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang pengawasan obat dan
makanan.
14. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
-5-

Pasal 2
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah
Sakit bertujuan untuk:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian;
dan
c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan
Obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan
pasien (patient safety).

Pasal 3
(1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
meliputi standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.
(2) Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. pemilihan;
b. perencanaan kebutuhan;
c. pengadaan;
d. penerimaan;
e. penyimpanan;
f. pendistribusian;
g. pemusnahan dan penarikan;
h. pengendalian; dan
i. administrasi.
(3) Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b meliputi:
a. pengkajian dan pelayanan Resep;
b. penelusuran riwayat penggunaan Obat;
c. rekonsiliasi Obat;
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
e. konseling;
f. visite;
g. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
-6-

h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);


i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
j. dispensing sediaan steril; dan
k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).
(4) Pelayanan farmasi klinik berupa dispensing sediaan
steril sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf j
hanya dapat dilakukan oleh Rumah Sakit yang
mempunyai sarana untuk melakukan produksi
sediaan steril.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 4
(1) Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit harus didukung oleh ketersediaan
sumber daya kefarmasian, pengorganisasian yang
berorientasi kepada keselamatan pasien, dan
standar prosedur operasional.
(2) Sumber daya kefarmasian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. sumber daya manusia; dan
b. sarana dan peralatan.
(3) Pengorganisasian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus menggambarkan uraian tugas, fungsi, dan
tanggung jawab serta hubungan koordinasi di
dalam maupun di luar Pelayanan Kefarmasian yang
ditetapkan oleh pimpinan Rumah Sakit.
(4) Standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh pimpinan Rumah Sakit
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
-7-

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber daya


kefarmasian dan pengorganisasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 5
(1) Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit, harus dilakukan Pengendalian Mutu
Pelayananan Kefarmasian yang meliputi:
a. monitoring; dan
b. evaluasi
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengendalian Mutu
Pelayananan Kefarmasian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.

Pasal 6
(1) Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Rumah
Sakit harus menjamin ketersediaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai yang aman, bermutu, bermanfaat, dan
terjangkau.
(2) Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Rumah
Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
melalui sistem satu pintu.
(3) Instalasi Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dipimpin oleh seorang Apoteker sebagai
penanggung jawab.
(4) Dalam penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit dapat dibentuk satelit farmasi sesuai
dengan kebutuhan yang merupakan bagian dari
Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
-8-

Pasal 7
(1) Setiap Tenaga Kefarmasian yang menyelenggarakan
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit wajib
mengikuti Standar Pelayanan Kefarmasian
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.
(2) Setiap pemilik Rumah Sakit, direktur/pimpinan
Rumah Sakit, dan pemangku kepentingan terkait
di bidang Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
harus mendukung penerapan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.

Pasal 8
Rumah Sakit wajib mengirimkan laporan Pelayanan
Kefarmasian secara berjenjang kepada dinas kesehatan
kabupaten/kota, dinas kesehatan provinsi, dan
kementerian kesehatan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 9
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Menteri,
kepala dinas kesehatan provinsi, dan kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan
fungsi masing-masing.
(2) Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melibatkan organisasi profesi.

Pasal 10
(1) Pengawasan selain dilaksanakan oleh Menteri, kepala
dinas kesehatan provinsi dan kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
Ayat (1), khusus terkait dengan pengawasan sediaan
farmasi dalam pengelolaan sediaan farmasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a
dilakukan juga oleh Kepala BPOM sesuai dengan tugas
dan fungsi masing-masing.
-9-

(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1), Kepala BPOM dapat melakukan pemantauan,
pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap
pengelolaan sediaan farmasi di instansi pemerintah
dan masyarakat di bidang pengawasan sediaan
farmasi.

Pasal 11
(1) Pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan
provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan
pengawasan yang dilakukan oleh Kepala BPOM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
dilaporkan secara berkala kepada Menteri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun.

Pasal 12
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri
ini dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 13
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1223) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
34 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1168), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 14
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
-10-

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2016

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

NILA FARID MOELOEK

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Januari 2017

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 49


-11-

LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 72 TAHUN 2016
TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN
DI RUMAH SAKIT

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang
berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang bermutu dan
terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan
farmasi klinik.
Apoteker khususnya yang bekerja di Rumah Sakit dituntut
untuk merealisasikan perluasan paradigma Pelayanan Kefarmasian
dari orientasi produk menjadi orientasi pasien. Untuk itu kompetensi
Apoteker perlu ditingkatkan secara terus menerus agar perubahan
paradigma tersebut dapat diimplementasikan. Apoteker harus dapat
memenuhi hak pasien agar terhindar dari hal-hal yang tidak
diinginkan termasuk tuntutan hukum. Dengan demikian, para
Apoteker Indonesia dapat berkompetisi dan menjadi tuan rumah di
negara sendiri.
Perkembangan di atas dapat menjadi peluang sekaligus
merupakan tantangan bagi Apoteker untuk maju meningkatkan
kompetensinya sehingga dapat memberikan Pelayanan Kefarmasian
secara komprehensif dan simultan baik yang bersifat manajerial
maupun farmasi klinik.
Strategi optimalisasi harus ditegakkan dengan cara
memanfaatkan Sistem Informasi Rumah Sakit secara maksimal pada
fungsi manajemen kefarmasian, sehingga diharapkan dengan model ini
-12-

akan terjadi efisiensi tenaga dan waktu. Efisiensi yang diperoleh


kemudian dimanfaatkan untuk melaksanakan fungsi pelayanan
farmasi klinik secara intensif.
Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit dinyatakan bahwa Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan
lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian,
dan peralatan. Persyaratan kefarmasian harus menjamin ketersediaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
bermutu, bermanfaat, aman, dan terjangkau.
Selanjutnya dinyatakan bahwa pelayanan Sediaan Farmasi di
Rumah Sakit harus mengikuti Standar Pelayanan Kefarmasian yang
selanjutnya diamanahkan untuk diatur dengan Peraturan Menteri
Kesehatan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian juga dinyatakan bahwa dalam menjalankan
praktik kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker
harus menerapkan Standar Pelayanan Kefarmasian yang
diamanahkan untuk diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut
dan perkembangan konsep Pelayanan Kefarmasian, perlu ditetapkan
suatu Standar Pelayanan Kefarmasian dengan Peraturan Menteri
Kesehatan, sekaligus meninjau kembali Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 34 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.

B. Ruang Lingkup
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi 2 (dua)
kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan
kegiatan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus didukung
oleh sumber daya manusia, sarana, dan peralatan.
Apoteker dalam melaksanakan kegiatan Pelayanan Kefarmasian
tersebut juga harus mempertimbangkan faktor risiko yang terjadi yang
disebut dengan manajemen risiko.
-13-

BAB II
PENGELOLAAN SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN, DAN
BAHAN MEDIS HABIS PAKAI

Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan Sediaan Farmasi,


Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit yang
menjamin seluruh rangkaian kegiatan perbekalan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan ketentuan
yang berlaku serta memastikan kualitas, manfaat, dan keamanannya.
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan,
perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
pendistribusian, pemusnahan dan penarikan, pengendalian, dan
administrasi yang diperlukan bagi kegiatan Pelayanan Kefarmasian.
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai harus dilaksanakan secara multidisiplin, terkoordinir dan
menggunakan proses yang efektif untuk menjamin kendali mutu dan
kendali biaya. Dalam ketentuan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor
44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyatakan bahwa Pengelolaan Alat
Kesehatan, Sediaan Farmasi, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah
Sakit harus dilakukan oleh Instalasi Farmasi sistem satu pintu. Alat
Kesehatan yang dikelola oleh Instalasi Farmasi sistem satu pintu berupa
alat medis habis pakai/peralatan non elektromedik, antara lain alat
kontrasepsi (IUD), alat pacu jantung, implan, dan stent.
Sistem satu pintu adalah satu kebijakan kefarmasian termasuk
pembuatan formularium, pengadaan, dan pendistribusian Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang bertujuan
untuk mengutamakan kepentingan pasien melalui Instalasi Farmasi.
Dengan demikian semua Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai yang beredar di Rumah Sakit merupakan tanggung
jawab Instalasi Farmasi, sehingga tidak ada pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit yang
dilaksanakan selain oleh Instalasi Farmasi.
Dengan kebijakan pengelolaan sistem satu pintu, Instalasi Farmasi
sebagai satu-satunya penyelenggara Pelayanan Kefarmasian, sehingga
Rumah Sakit akan mendapatkan manfaat dalam hal:
-14-

1. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian penggunaan Sediaan


Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
2. standarisasi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai;
3. penjaminan mutu Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai;
4. pengendalian harga Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai;
5. pemantauan terapi Obat;
6. penurunan risiko kesalahan terkait penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (keselamatan pasien);
7. kemudahan akses data Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai yang akurat;
8. peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit dan citra Rumah Sakit; dan
9. peningkatan pendapatan Rumah Sakit dan peningkatan kesejahteraan
pegawai.
Rumah Sakit harus menyusun kebijakan terkait manajemen
pengunaan Obat yang efektif. Kebijakan tersebut harus ditinjau ulang
sekurang- kurangnya sekali setahun. Peninjauan ulang sangat
membantu Rumah Sakit memahami kebutuhan dan prioritas dari
perbaikan sistem mutu dan keselamatan penggunaan Obat yang
berkelanjutan.
Rumah Sakit perlu mengembangkan kebijakan pengelolaan Obat
untuk meningkatkan keamanan, khususnya Obat yang perlu diwaspadai
(high- alert medication). High-alert medication adalah Obat yang harus
diwaspadai karena sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan
serius (sentinel event) dan Obat yang berisiko tinggi menyebabkan Reaksi
Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD). Kelompok Obat high-alert
diantaranya:
1. Obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa
dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA).
2. Elektrolit konsentrasi tinggi (misalnya kalium klorida 2meq/ml atau
yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0,9%,
dan magnesium sulfat =50% atau lebih pekat).
3. Obat-Obat sitostatika.
-15-

A. Kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan


Medis Habis Pakai meliputi:
1. Pemilihan
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai
dengan kebutuhan. Pemilihan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai ini berdasarkan:
a. formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan
terapi;
b. standar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang telah ditetapkan;
c. pola penyakit;
d. efektifitas dan keamanan;
e. pengobatan berbasis bukti;
f. mutu;
g. harga; dan
h. ketersediaan di pasaran.
Formularium Rumah Sakit disusun mengacu kepada
Formularium Nasional. Formularium Rumah Sakit merupakan
daftar Obat yang disepakati staf medis, disusun oleh
Komite/Tim Farmasi dan Terapi yang ditetapkan oleh Pimpinan
Rumah Sakit.
Formularium Rumah Sakit harus tersedia untuk semua
penulis Resep, pemberi Obat, dan penyedia Obat di Rumah
Sakit. Evaluasi terhadap Formularium Rumah Sakit harus
secara rutin dan dilakukan revisi sesuai kebijakan dan
kebutuhan Rumah Sakit.
Penyusunan dan revisi Formularium Rumah Sakit
dikembangkan berdasarkan pertimbangan terapetik dan ekonomi
dari penggunaan Obat agar dihasilkan Formularium Rumah
Sakit yang selalu mutakhir dan dapat memenuhi kebutuhan
pengobatan yang rasional.
Tahapan proses penyusunan Formularium Rumah Sakit:
a. membuat rekapitulasi usulan Obat dari masing-masing Staf
Medik Fungsional (SMF) berdasarkan standar terapi atau
standar pelayanan medik;
b. mengelompokkan usulan Obat berdasarkan kelas terapi;
-16-

c. membahas usulan tersebut dalam rapat Komite/Tim Farmasi


dan Terapi, jika diperlukan dapat meminta masukan dari
pakar;
d. mengembalikan rancangan hasil pembahasan Komite/Tim
Farmasi dan Terapi, dikembalikan ke masing-masing SMF
untuk mendapatkan umpan balik;
e. membahas hasil umpan balik dari masing-masing SMF;
f. menetapkan daftar Obat yang masuk ke dalam Formularium
Rumah Sakit;
g. menyusun kebijakan dan pedoman untuk implementasi; dan
h. melakukan edukasi mengenai Formularium Rumah Sakit
kepada staf dan melakukan monitoring.
Kriteria pemilihan Obat untuk masuk Formularium Rumah
Sakit:
a. mengutamakan penggunaan Obat generik;
b. memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling
menguntungkan penderita;
c. mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas;
d. praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan;
e. praktis dalam penggunaan dan penyerahan;
f. menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh
pasien;
g. memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi
berdasarkan biaya langsung dan tidak lansung; dan
h. Obat lain yang terbukti paling efektif secara ilmiah dan
aman (evidence based medicines) yang paling dibutuhkan
untuk pelayanan dengan harga yang terjangkau.
Dalam rangka meningkatkan kepatuhan terhadap
formularium Rumah Sakit, maka Rumah Sakit harus mempunyai
kebijakan terkait dengan penambahan atau pengurangan Obat
dalam Formularium Rumah Sakit dengan mempertimbangkan
indikasi penggunaaan, efektivitas, risiko, dan biaya.
2. Perencanaan Kebutuhan
Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk
menentukan jumlah dan periode pengadaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan
-17-

hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria


tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien.
Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan Obat
dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang
telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi
metode konsumsi dan epidemiologi dan disesuaikan dengan
anggaran yang tersedia.
Pedoman perencanaan harus mempertimbangkan:
a. anggaran yang tersedia;
b. penetapan prioritas;
c. sisa persediaan;
d. data pemakaian periode yang lalu;
e. waktu tunggu pemesanan; dan
f. rencana pengembangan.
3. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk
merealisasikan perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif
harus menjamin ketersediaan, jumlah, dan waktu yang tepat
dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu.
Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai
dari pemilihan, penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian
antara kebutuhan dan dana, pemilihan metode pengadaan,
pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan
proses pengadaan, dan pembayaran.
Untuk memastikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan mutu dan spesifikasi
yang dipersyaratkan maka jika proses pengadaan dilaksanakan
oleh bagian lain di luar Instalasi Farmasi harus melibatkan
tenaga kefarmasian.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai antara
lain:
a. Bahan baku Obat harus disertai Sertifikat Analisa.
b. Bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data
Sheet (MSDS).
-18-

c. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis


Pakai harus mempunyai Nomor Izin Edar.
d. Masa kadaluarsa (expired date) minimal 2 (dua) tahun kecuali
untuk Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai tertentu (vaksin, reagensia, dan lain-lain), atau
pada kondisi tertentu yang dapat dipertanggung jawabkan.
Rumah Sakit harus memiliki mekanisme yang mencegah
kekosongan stok Obat yang secara normal tersedia di Rumah
Sakit dan mendapatkan Obat saat Instalasi Farmasi tutup.
Pengadaan dapat dilakukan melalui:
a. Pembelian
Untuk Rumah Sakit pemerintah pembelian Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
harus sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa
yang berlaku.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelian adalah:
1) Kriteria Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai, yang meliputi kriteria umum dan
kriteria mutu Obat.
2) Persyaratan pemasok.
3) Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
4) Pemantauan rencana pengadaan sesuai jenis, jumlah
dan waktu.
b. Produksi Sediaan Farmasi
Instalasi Farmasi dapat memproduksi sediaan tertentu
apabila:
1) Sediaan Farmasi tidak ada di pasaran;
2) Sediaan Farmasi lebih murah jika diproduksi sendiri;
3) Sediaan Farmasi dengan formula khusus;
4) Sediaan Farmasi dengan kemasan yang lebih
kecil/repacking;
5) Sediaan Farmasi untuk penelitian; dan
6) Sediaan Farmasi yang tidak stabil dalam
penyimpanan/harus dibuat baru (recenter paratus).
-19-

Sediaan yang dibuat di Rumah Sakit harus memenuhi


persyaratan mutu dan terbatas hanya untuk memenuhi
kebutuhan pelayanan di Rumah Sakit tersebut.
c. Sumbangan/Dropping/Hibah
Instalasi Farmasi harus melakukan pencatatan dan
pelaporan terhadap penerimaan dan penggunaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sumbangan/dropping/ hibah.
Seluruh kegiatan penerimaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dengan cara
sumbangan/dropping/hibah harus disertai dokumen
administrasi yang lengkap dan jelas. Agar penyediaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai dapat membantu pelayanan kesehatan, maka jenis
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai harus sesuai dengan kebutuhan pasien di Rumah
Sakit. Instalasi Farmasi dapat memberikan rekomendasi
kepada pimpinan Rumah Sakit untuk
mengembalikan/menolak sumbangan/dropping/hibah
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai yang tidak bermanfaat bagi kepentingan pasien Rumah
Sakit.
4. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian
jenis, spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga
yang tertera dalam kontrak atau surat pesanan dengan kondisi
fisik yang diterima. Semua dokumen terkait penerimaan barang
harus tersimpan dengan baik.
5. Penyimpanan
Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu
dilakukan penyimpanan sebelum dilakukan pendistribusian.
Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sesuai dengan persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian
yang dimaksud meliputi persyaratan stabilitas dan keamanan,
sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
-20-

Komponen yang harus diperhatikan antara lain:


a. Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk
mempersiapkan Obat diberi label yang secara jelas terbaca
memuat nama, tanggal pertama kemasan dibuka, tanggal
kadaluwarsa dan peringatan khusus.
b. Elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan
kecuali untuk kebutuhan klinis yang penting.
c. Elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan pada unit
perawatan pasien dilengkapi dengan pengaman, harus diberi
label yang jelas dan disimpan pada area yang dibatasi ketat
(restricted) untuk mencegah penatalaksanaan yang kurang
hati-hati.
d. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai yang dibawa oleh pasien harus disimpan secara
khusus dan dapat diidentifikasi.
e. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk
penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan
kontaminasi.
Instalasi Farmasi harus dapat memastikan bahwa Obat
disimpan secara benar dan diinspeksi secara periodik.
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai yang harus disimpan terpisah yaitu:
a. Bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan
api dan diberi tanda khusus bahan berbahaya.
b. Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan
diberi penandaaan untuk menghindari kesalahan
pengambilan jenis gas medis. Penyimpanan tabung gas
medis kosong terpisah dari tabung gas medis yang ada
isinya. Penyimpanan tabung gas medis di ruangan harus
menggunakan tutup demi keselamatan.
Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas
terapi, bentuk sediaan, dan jenis Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan disusun secara
alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expired First Out
(FEFO) dan First In First Out (FIFO) disertai sistem informasi
manajemen. Penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai yang penampilan dan penamaan
-21-

yang mirip (LASA, Look Alike Sound Alike) tidak ditempatkan


berdekatan dan harus diberi penandaan khusus untuk
mencegah terjadinya kesalahan pengambilan Obat.
Rumah Sakit harus dapat menyediakan lokasi penyimpanan
Obat emergensi untuk kondisi kegawatdaruratan. Tempat
penyimpanan harus mudah diakses dan terhindar dari
penyalahgunaan dan pencurian.
Pengelolaan Obat emergensi harus menjamin:
a. jumlah dan jenis Obat sesuai dengan daftar Obat emergensi
yang telah ditetapkan;
b. tidak boleh bercampur dengan persediaan Obat untuk
kebutuhan lain;
c. bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti;
d. dicek secara berkala apakah ada yang kadaluwarsa; dan
e. dilarang untuk dipinjam untuk kebutuhan lain.
6. Pendistribusian
Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam
rangka menyalurkan/menyerahkan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dari tempat
penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan tetap
menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu.
Rumah Sakit harus menentukan sistem distribusi yang dapat
menjamin terlaksananya pengawasan dan pengendalian Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di unit
pelayanan.
Sistem distribusi di unit pelayanan dapat dilakukan dengan
cara:
a. Sistem Persediaan Lengkap di Ruangan (floor stock)
1) Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai untuk persediaan di ruang
rawat disiapkan dan dikelola oleh Instalasi Farmasi.
2) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang disimpan di ruang rawat harus
dalam jenis dan jumlah yang sangat dibutuhkan.
3) Dalam kondisi sementara dimana tidak ada petugas
farmasi yang mengelola (di atas jam kerja) maka
pendistribusiannya didelegasikan kepada penanggung
-22-

jawab ruangan.
4) Setiap hari dilakukan serah terima kembali pengelolaan
obat floor stock kepada petugas farmasi dari
penanggung jawab ruangan.
5) Apoteker harus menyediakan informasi, peringatan dan
kemungkinan interaksi Obat pada setiap jenis Obat yang
disediakan di floor stock.
b. Sistem Resep Perorangan
Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai berdasarkan Resep
perorangan/pasien rawat jalan dan rawat inap melalui
Instalasi Farmasi.
c. Sistem Unit Dosis
Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai berdasarkan Resep perorangan
yang disiapkan dalam unit dosis tunggal atau ganda, untuk
penggunaan satu kali dosis/pasien. Sistem unit dosis ini
digunakan untuk pasien rawat inap.
d. Sistem Kombinasi
Sistem pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai bagi pasien
rawat inap dengan menggunakan kombinasi a + b atau b + c
atau a + c.
Sistem distribusi Unit Dose Dispensing (UDD) sangat
dianjurkan untuk pasien rawat inap mengingat dengan sistem ini
tingkat kesalahan pemberian Obat dapat diminimalkan sampai
kurang dari 5% dibandingkan dengan sistem floor stock atau
Resep individu yang mencapai 18%.
Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk
dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan:
a. efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada; dan
b. metode sentralisasi atau desentralisasi.
7. Pemusnahan dan Penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai
Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak dapat
-23-

digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan


ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi
standar/ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan oleh
pemilik izin edar berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM
(mandatory recall) atau berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik
izin edar (voluntary recall) dengan tetap memberikan laporan
kepada Kepala BPOM.
Penarikan Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai
dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh Menteri.
Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai bila:
a. produk tidak memenuhi persyaratan mutu;
b. telah kadaluwarsa;
c. tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan
kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan; dan/atau
d. dicabut izin edarnya.
Tahapan pemusnahan terdiri dari:
a. membuat daftar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai yang akan dimusnahkan;
b. menyiapkan Berita Acara Pemusnahan;
c. mengoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan
kepada pihak terkait;
d. menyiapkan tempat pemusnahan; dan
e. melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan
bentuk sediaan serta peraturan yang berlaku.
8. Pengendalian
Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah
persediaan dan penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai.
Pengendalian penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dapat dilakukan
oleh Instalasi Farmasi harus bersama dengan Komite/Tim
Farmasi dan Terapi di Rumah Sakit.
Tujuan pengendalian persediaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai adalah untuk:
a. penggunaan Obat sesuai dengan Formularium Rumah Sakit;
-24-

b. penggunaan Obat sesuai dengan diagnosis dan terapi; dan


c. memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi
kelebihan dan kekurangan/kekosongan, kerusakan,
kadaluwarsa, dan kehilangan serta pengembalian pesanan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai.
Cara untuk mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai adalah:
a. melakukan evaluasi persediaan yang jarang digunakan (slow
moving);
b. melakukan evaluasi persediaan yang tidak digunakan dalam
waktu tiga bulan berturut-turut (death stock);
c. Stok opname yang dilakukan secara periodik dan berkala.
9. Administrasi
Administrasi harus dilakukan secara tertib dan
berkesinambungan untuk memudahkan penelusuran kegiatan
yang sudah berlalu.
Kegiatan administrasi terdiri dari:
a. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan
pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai yang meliputi perencanaan kebutuhan,
pengadaan, penerimaan, pendistribusian, pengendalian
persediaan, pengembalian, pemusnahan dan penarikan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai. Pelaporan dibuat secara periodik yang dilakukan
Instalasi Farmasi dalam periode waktu tertentu (bulanan,
triwulanan, semester atau pertahun).
Jenis-jenis pelaporan yang dibuat menyesuaikan dengan
peraturan yang berlaku.
Pencatatan dilakukan untuk:
1) persyaratan Kementerian Kesehatan/BPOM;
2) dasar akreditasi Rumah Sakit;
3) dasar audit Rumah Sakit; dan
4) dokumentasi farmasi.
Pelaporan dilakukan sebagai:
1) komunikasi antara level manajemen;
-25-

2) penyiapan laporan tahunan yang komprehensif


mengenai kegiatan di Instalasi Farmasi; dan
3) laporan tahunan.
b. Administrasi Keuangan
Apabila Instalasi Farmasi harus mengelola keuangan
maka perlu menyelenggarakan administrasi keuangan.
Administrasi keuangan merupakan pengaturan
anggaran, pengendalian dan analisa biaya, pengumpulan
informasi keuangan, penyiapan laporan, penggunaan laporan
yang berkaitan dengan semua kegiatan Pelayanan
Kefarmasian secara rutin atau tidak rutin dalam periode
bulanan, triwulanan, semesteran atau tahunan.
c. Administrasi Penghapusan
Administrasi penghapusan merupakan kegiatan
penyelesaian terhadap Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak terpakai karena
kadaluwarsa, rusak, mutu tidak memenuhi standar dengan
cara membuat usulan penghapusan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai kepada pihak
terkait sesuai dengan prosedur yang berlaku.

B. Manajemen Risiko Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan


Bahan Medis Habis Pakai
Manajemen risiko merupakan aktivitas Pelayanan Kefarmasian
yang dilakukan untuk identifikasi, evaluasi, dan menurunkan risiko
terjadinya kecelakaan pada pasien, tenaga kesehatan dan keluarga
pasien, serta risiko kehilangan dalam suatu organisasi.
Manajemen risiko pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan melalui beberapa langkah
yaitu:
1. Menentukan konteks manajemen risiko pada proses pengelolaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
2. Mengidentifikasi Risiko
Beberapa risiko yang berpotensi terjadi dalam pengelolaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
antara lain:
-26-

a. ketidaktepatan perencanaan kebutuhan Sediaan Farmasi,


Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai selama
periode tertentu;
b. pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai tidak melalui jalur resmi;
c. pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai yang belum/tidak teregistrasi;
d. keterlambatan pemenuhan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
e. kesalahan pemesanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai seperti spesifikasi (merek, dosis,
bentuk sediaan) dan kuantitas;
f. ketidaktepatan pengalokasian dana yang berdampak
terhadap pemenuhan/ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
g. ketidaktepatan penyimpanan yang berpotensi terjadinya
kerusakan dan kesalahan dalam pemberian;
h. kehilangan fisik yang tidak mampu telusur;
i. pemberian label yang tidak jelas atau tidak lengkap; dan
j. kesalahan dalam pendistribusian.
3. Menganalisa Risiko
Analisa risiko dapat dilakukan kualitatif, semi kuantitatif,
dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan
memberikan deskripsi dari risiko yang terjadi. Pendekatan
kuantitatif memberikan paparan secara statistik berdasarkan data
sesungguhnya.
4. Mengevaluasi Risiko
Membandingkan risiko yang telah dianalisis dengan
kebijakan pimpinan Rumah Sakit (contoh peraturan perundang-
undangan, Standar Operasional Prosedur, Surat Keputusan
Direktur) serta menentukan prioritas masalah yang harus segera
diatasi. Evaluasi dapat dilakukan dengan pengukuran
berdasarkan target yang telah disepakati.
5. Mengatasi Risiko
Mengatasi risiko dilakukan dengan cara:
a. melakukan sosialisasi terhadap kebijakan pimpinan Rumah
Sakit;
-27-

b. mengidentifikasi pilihan tindakan untuk mengatasi risiko;


c. menetapkan kemungkinan pilihan (cost benefit analysis);
d. menganalisa risiko yang mungkin masih ada; dan
e. mengimplementasikan rencana tindakan, meliputi
menghindari risiko, mengurangi risiko, memindahkan risiko,
menahan risiko, dan mengendalikan risiko.
-28-

BAB III
PELAYANAN FARMASI KLINIK

A. Pelayanan Farmasi Klinik


Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang
diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan
outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping
karena Obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety)
sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin.
Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi:
1. pengkajian dan pelayanan Resep;
2. penelusuran riwayat penggunaan Obat;
3. rekonsiliasi Obat;
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
5. konseling;
6. visite;
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
10. dispensing sediaan steril; dan
11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD);

1. Pengkajian dan Pelayanan Resep


Pengkajian Resep dilakukan untuk menganalisa adanya
masalah terkait Obat, bila ditemukan masalah terkait Obat
harus dikonsultasikan kepada dokter penulis Resep. Apoteker
harus melakukan pengkajian Resep sesuai persyaratan
administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik
untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.
Persyaratan administrasi meliputi:
a. nama, umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan
pasien;
b. nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter;
c. tanggal Resep; dan
d. ruangan/unit asal Resep.
Persyaratan farmasetik meliputi:
a. nama Obat, bentuk dan kekuatan sediaan;
-29-

b. dosis dan Jumlah Obat;


c. stabilitas; dan
d. aturan dan cara penggunaan.
Persyaratan klinis meliputi:
a. ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan Obat;
b. duplikasi pengobatan;
c. alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);
d. kontraindikasi; dan
e. interaksi Obat.
Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan
ketersediaan, penyiapan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai termasuk peracikan Obat, pemeriksaan,
penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur
pelayanan Resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya
kesalahan pemberian Obat (medication error).
Petunjuk teknis mengenai pengkajian dan pelayanan Resep
akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
Penelusuran riwayat penggunaan Obat merupakan proses
untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh Obat/Sediaan
Farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat
pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam
medik/pencatatan penggunaan Obat pasien.
Tahapan penelusuran riwayat penggunaan Obat:
a. membandingkan riwayat penggunaan Obat dengan data
rekam medik/pencatatan penggunaan Obat untuk
mengetahui perbedaan informasi penggunaan Obat;
b. melakukan verifikasi riwayat penggunaan Obat yang
diberikan oleh tenaga kesehatan lain dan memberikan
informasi tambahan jika diperlukan;
c. mendokumentasikan adanya alergi dan Reaksi Obat yang
Tidak Dikehendaki (ROTD);
d. mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi Obat;
e. melakukan penilaian terhadap kepatuhan pasien dalam
menggunakan Obat;
f. melakukan penilaian rasionalitas Obat yang diresepkan;
g. melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap
-30-

Obat yang digunakan;


h. melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan Obat;
i. melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan Obat;
j. memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap Obat dan
alat bantu kepatuhan minum Obat (concordance aids);
k. mendokumentasikan Obat yang digunakan pasien sendiri
tanpa sepengetahuan dokter; dan
l. mengidentifikasi terapi lain, misalnya suplemen dan
pengobatan alternatif yang mungkin digunakan oleh pasien.
Kegiatan:
a. penelusuran riwayat penggunaan Obat kepada
pasien/keluarganya; dan
b. melakukan penilaian terhadap pengaturan penggunaan Obat
pasien.
Informasi yang harus didapatkan:
a. nama Obat (termasuk Obat non Resep), dosis, bentuk sediaan,
frekuensi penggunaan, indikasi dan lama penggunaan Obat;
b. reaksi Obat yang tidak dikehendaki termasuk riwayat alergi;
dan
c. kepatuhan terhadap regimen penggunaan Obat (jumlah Obat
yang tersisa).
Petunjuk teknis mengenai penelusuran riwayat penggunaan
Obat akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
3. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi Obat merupakan proses membandingkan
instruksi pengobatan dengan Obat yang telah didapat pasien.
Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan
Obat (medication error) seperti Obat tidak diberikan, duplikasi,
kesalahan dosis atau interaksi Obat. Kesalahan Obat (medication
error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu Rumah
Sakit ke Rumah Sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada
pasien yang keluar dari Rumah Sakit ke layanan kesehatan
primer dan sebaliknya.
Tujuan dilakukannya rekonsiliasi Obat adalah:
a. memastikan informasi yang akurat tentang Obat yang
digunakan pasien;
-31-

b. mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak


terdokumentasinya instruksi dokter; dan
c. mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya
instruksi dokter.
Tahap proses rekonsiliasi Obat yaitu:
a. Pengumpulan data
Mencatat data dan memverifikasi Obat yang sedang
dan akan digunakan pasien, meliputi nama Obat, dosis,
frekuensi, rute, Obat mulai diberikan, diganti, dilanjutkan
dan dihentikan, riwayat alergi pasien serta efek samping
Obat yang pernah terjadi. Khusus untuk data alergi dan efek
samping Obat, dicatat tanggal kejadian, Obat yang
menyebabkan terjadinya reaksi alergi dan efek samping, efek
yang terjadi, dan tingkat keparahan.
Data riwayat penggunaan Obat didapatkan dari pasien,
keluarga pasien, daftar Obat pasien, Obat yang ada pada
pasien, dan rekam medik/medication chart. Data Obat yang
dapat digunakan tidak lebih dari 3 (tiga) bulan sebelumnya.
Semua Obat yang digunakan oleh pasien baik Resep
maupun Obat bebas termasuk herbal harus dilakukan proses
rekonsiliasi.
b. Komparasi
Petugas kesehatan membandingkan data Obat yang
pernah, sedang dan akan digunakan. Discrepancy atau
ketidakcocokan adalah bilamana ditemukan
ketidakcocokan/perbedaan diantara data-data tersebut.
Ketidakcocokan dapat pula terjadi bila ada Obat yang
hilang, berbeda, ditambahkan atau diganti tanpa ada
penjelasan yang didokumentasikan pada rekam medik
pasien. Ketidakcocokan ini dapat bersifat disengaja
(intentional) oleh dokter pada saat penulisan Resep maupun
tidak disengaja (unintentional) dimana dokter tidak tahu
adanya perbedaan pada saat menuliskan Resep.
c. Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan
ketidaksesuaian dokumentasi.
-32-

Bila ada ketidaksesuaian, maka dokter harus dihubungi


kurang dari 24 jam. Hal lain yang harus dilakukan oleh
Apoteker adalah:
1) menentukan bahwa adanya perbedaan tersebut
disengaja atau tidak disengaja;
2) mendokumentasikan alasan penghentian, penundaan,
atau pengganti; dan
3) memberikan tanda tangan, tanggal, dan waktu
dilakukannya rekonsilliasi Obat.
d. Komunikasi
Melakukan komunikasi dengan pasien dan/atau
keluarga pasien atau perawat mengenai perubahan terapi
yang terjadi. Apoteker bertanggung jawab terhadap informasi
Obat yang diberikan.
Petunjuk teknis mengenai rekonsiliasi Obat akan diatur
lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan
penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi Obat yang
independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang
dilakukan oleh Apoteker kepada dokter, Apoteker, perawat,
profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar
Rumah Sakit.
PIO bertujuan untuk:
a. menyediakan informasi mengenai Obat kepada pasien dan
tenaga kesehatan di lingkungan Rumah Sakit dan pihak
lain di luar Rumah Sakit;
b. menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang
berhubungan dengan Obat/Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai, terutama bagi
Komite/Tim Farmasi dan Terapi;
c. menunjang penggunaan Obat yang rasional.
Kegiatan PIO meliputi:
a. menjawab pertanyaan;
b. menerbitkan buletin, leaflet, poster, newsletter;
c. menyediakan informasi bagi Tim Farmasi dan Terapi
sehubungan dengan penyusunan Formularium Rumah Sakit;
-33-

d. bersama dengan Tim Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit


(PKRS) melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat
jalan dan rawat inap;
e. melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga
kefarmasian dan tenaga kesehatan lainnya; dan
f. melakukan penelitian.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam PIO:
a. sumber daya manusia;
b. tempat; dan
c. perlengkapan.
Petunjuk teknis mengenai Pelayanan Informasi Obat akan
diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
5. Konseling
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat
atau saran terkait terapi Obat dari Apoteker (konselor) kepada
pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan
maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat
dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan dokter, keinginan
pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif
memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap
Apoteker.
Pemberian konseling Obat bertujuan untuk
mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko reaksi Obat
yang tidak dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost-
effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan
penggunaan Obat bagi pasien (patient safety).
Secara khusus konseling Obat ditujukan untuk:
a. meningkatkan hubungan kepercayaan antara Apoteker dan
pasien;
b. menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien;
c. membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan Obat;
d. membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan
penggunaan Obat dengan penyakitnya;
e. meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani
pengobatan;
f. mencegah atau meminimalkan masalah terkait Obat;
-34-

g. meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya


dalam hal terapi;
h. mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan; dan
i. membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan Obat
sehingga dapat mencapai tujuan pengobatan dan
meningkatkan mutu pengobatan pasien.
Kegiatan dalam konseling Obat meliputi:
a. membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien;
b. mengidentifikasi tingkat pemahaman pasien tentang
penggunaan Obat melalui Three Prime Questions;
c. menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan
kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan
Obat;
d. memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan
masalah pengunaan Obat;
e. melakukan verifikasi akhir dalam rangka mengecek
pemahaman pasien; dan
f. dokumentasi.
Faktor yang perlu diperhatikan dalam konseling Obat:
a. Kriteria Pasien:
1) pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan
fungsi ginjal, ibu hamil dan menyusui);
2) pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis
(TB, DM, epilepsi, dan lain-lain);
3) pasien yang menggunakan obat-obatan dengan
instruksi khusus (penggunaan kortiksteroid dengan
tappering down/off);
4) pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi
sempit (digoksin, phenytoin);
5) pasien yang menggunakan banyak Obat (polifarmasi);
dan
6) pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan rendah.
b. Sarana dan Peralatan:
1) ruangan atau tempat konseling; dan
2) alat bantu konseling (kartu pasien/catatan konseling).
Petunjuk teknis mengenai konseling akan diatur lebih
lanjut oleh Direktur Jenderal
-35-

6. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat
inap yang dilakukan Apoteker secara mandiri atau bersama tim
tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara
langsung, dan mengkaji masalah terkait Obat, memantau
terapi Obat dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki,
meningkatkan terapi Obat yang rasional, dan menyajikan
informasi Obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan
lainnya.
Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar
Rumah Sakit baik atas permintaan pasien maupun sesuai
dengan program Rumah Sakit yang biasa disebut dengan
Pelayanan Kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care).
Sebelum melakukan kegiatan visite Apoteker harus mempersiapkan
diri dengan mengumpulkan informasi mengenai kondisi pasien dan
memeriksa terapi Obat dari rekam medik atau sumber lain.
Petunjuk teknis mengenai visite akan diatur lebih lanjut oleh
Direktur Jenderal.
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses
yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang
aman, efektif dan rasional bagi pasien.
Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan
meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).
Kegiatan dalam PTO meliputi:
a. pengkajian pemilihan Obat, dosis, cara pemberian Obat,
respons terapi, Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);
b. pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat;
dan
c. pemantauan efektivitas dan efek samping terapi Obat.
Tahapan PTO:
a. pengumpulan data pasien;
b. identifikasi masalah terkait Obat;
c. rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat;
d. pemantauan; dan
e. tindak lanjut.
-36-

Faktor yang harus diperhatikan:


a. kemampuan penelusuran informasi dan penilaian kritis
terhadap bukti terkini dan terpercaya (Evidence Best
Medicine);
b. kerahasiaan informasi; dan
c. kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter dan perawat).
Petunjuk teknis mengenai pemantauan terapi Obat akan
diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan
pemantauan setiap respon terhadap Obat yang tidak
dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada
manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek
Samping Obat adalah reaksi Obat yang tidak dikehendaki yang
terkait dengan kerja farmakologi.
MESO bertujuan:
a. menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin
terutama yang berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang;
b. menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah
dikenal dan yang baru saja ditemukan;
c. mengenal semua faktor yang mungkin dapat
menimbulkan/mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya
ESO;
d. meminimalkan risiko kejadian reaksi Obat yang idak
dikehendaki; dan
e. mencegah terulangnya kejadian reaksi Obat yang tidak
dikehendaki.
Kegiatan pemantauan dan pelaporan ESO:
a. mendeteksi adanya kejadian reaksi Obat yang tidak
dikehendaki (ESO);
b. mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai
risiko tinggi mengalami ESO;
c. mengevaluasi laporan ESO dengan algoritme Naranjo;
d. mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO di Tim/Sub
Komite/Tim Farmasi dan Terapi;
e. melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.
Faktor yang perlu diperhatikan:
-37-

a. kerjasama dengan Komite/Tim Farmasi dan Terapi dan ruang


rawat; dan
b. ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.
Petunjuk teknis mengenai monitoring efek samping Obat
akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program
evaluasi penggunaan Obat yang terstruktur dan
berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif.
Tujuan EPO yaitu:
a. mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola
penggunaan Obat;
b. membandingkan pola penggunaan Obat pada periode waktu
tertentu;
c. memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan Obat;
dan
d. menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan Obat.
Kegiatan praktek EPO:
a. mengevaluasi pengggunaan Obat secara kualitatif; dan
b. mengevaluasi pengggunaan Obat secara kuantitatif.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:
a. indikator peresepan;
b. indikator pelayanan; dan
c. indikator fasilitas.
Petunjuk teknis mengenai evaluasi penggunaan Obat akan
diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal
10. Dispensing Sediaan Steril
Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi
Farmasi dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan
stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat
berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian
Obat.
Dispensing sediaan steril bertujuan:
a. menjamin agar pasien menerima Obat sesuai dengan dosis
yang dibutuhkan;
b. menjamin sterilitas dan stabilitas produk;
c. melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan
-38-

d. menghindari terjadinya kesalahan pemberian Obat.


Kegiatan dispensing sediaan steril meliputi :
a. Pencampuran Obat Suntik
Melakukan pencampuran Obat steril sesuai
kebutuhan pasien yang menjamin kompatibilitas dan
stabilitas Obat maupun wadah sesuai dengan dosis yang
ditetapkan.
Kegiatan:
1) mencampur sediaan intravena ke dalam cairan infus;
2) melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk
dengan pelarut yang sesuai; dan
3) mengemas menjadi sediaan siap pakai.
Faktor yang perlu diperhatikan:
1) ruangan khusus;
2) lemari pencampuran Biological Safety Cabinet; dan
3) HEPA Filter.
b. Penyiapan Nutrisi Parenteral
Merupakan kegiatan pencampuran nutrisi parenteral
yang dilakukan oleh tenaga yang terlatih secara aseptis
sesuai kebutuhan pasien dengan menjaga stabilitas
sediaan, formula standar dan kepatuhan terhadap prosedur
yang menyertai.
Kegiatan dalam dispensing sediaan khusus:
1) Mencampur sediaan karbohidrat, protein, lipid, vitamin,
mineral untuk kebutuhan perorangan; dan
2) mengemas ke dalam kantong khusus untuk nutrisi.
Faktor yang perlu diperhatikan:
1) tim yang terdiri dari dokter, Apoteker, perawat, ahli gizi;
2) sarana dan peralatan;
3) ruangan khusus;
4) lemari pencampuran Biological Safety Cabinet; dan
5) kantong khusus untuk nutrisi parenteral.
c. Penanganan Sediaan Sitostatik
Penanganan sediaan sitostatik merupakan penanganan
Obat kanker secara aseptis dalam kemasan siap pakai sesuai
kebutuhan pasien oleh tenaga farmasi yang terlatih dengan
pengendalian pada keamanan terhadap lingkungan, petugas
-39-

maupun sediaan obatnya dari efek toksik dan kontaminasi,


dengan menggunakan alat pelindung diri, mengamankan
pada saat pencampuran, distribusi, maupun proses
pemberian kepada pasien sampai pembuangan limbahnya.
Secara operasional dalam mempersiapkan dan
melakukan harus sesuai prosedur yang ditetapkan dengan
alat pelindung diri yang memadai.
Kegiatan dalam penanganan sediaan sitostatik meliputi:
1) melakukan perhitungan dosis secara akurat;
2) melarutkan sediaan Obat kanker dengan pelarut yang
sesuai;
3) mencampur sediaan Obat kanker sesuai dengan
protokol pengobatan;
4) mengemas dalam kemasan tertentu; dan
5) membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku.
Faktor yang perlu diperhatikan:
1) ruangan khusus yang dirancang dengan kondisi yang
sesuai;
2) lemari pencampuran Biological Safety Cabinet;
3) HEPA filter;
4) Alat Pelindung Diri (APD);
5) sumber daya manusia yang terlatih; dan
6) cara pemberian Obat kanker.
Petunjuk teknis mengenai dispensing sediaan steril akan
diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan
interpretasi hasil pemeriksaan kadar Obat tertentu atas
permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi
yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter.
PKOD bertujuan:
a. mengetahui Kadar Obat dalam Darah; dan
b. memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat.
Kegiatan PKOD meliputi:
a. melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan
Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD);
b. mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan melakukan
-40-

Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD); dan


c. menganalisis hasil Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah
(PKOD) dan memberikan rekomendasi.
Petunjuk teknis mengenai pemantauan Kadar Obat dalam
Darah akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.

B. Manajemen Risiko Pelayanan Farmasi Klinik


Beberapa risiko yang berpotensi terjadi dalam melaksanakan
pelayanan farmasi klinik adalah:
1. Faktor risiko yang terkait karakteristik kondisi klinik pasien
Faktor risiko yang terkait karakteristik kondisi klinik pasien
akan berakibat terhadap kemungkinan kesalahan dalam terapi.
Faktor risiko tersebut adalah umur, gender, etnik, ras, status
kehamilan, status nutrisi, status sistem imun, fungsi ginjal, fungsi
hati.
2. Faktor risiko yang terkait terkait penyakit pasien
Faktor risiko yang terkait penyakit pasien terdiri dari 3 faktor
yaitu: tingkat keparahan, persepsi pasien terhadap tingkat
keparahan, tingkat cidera yang ditimbulkan oleh keparahan
penyakit.
3. Faktor risiko yang terkait farmakoterapi pasien
Faktor risiko yang berkaitan dengan farmakoterapi pasien
meliputi: toksisitas, profil reaksi Obat tidak dikehendaki, rute
dan teknik pemberian, persepsi pasien terhadap toksisitas, rute
dan teknik pemberian, dan ketepatan terapi.
Setelah melakukan identifikasi terhadap risiko yang potensial
terjadi dalam melaksanakan pelayanan farmasi klinik, Apoteker
kemudian harus mampu melakukan:
1. Analisa risiko baik secara kualitatif, semi kualitatif, kuantitatif
dan semi kuantitatif.
2. Melakukan evaluasi risiko; dan
3. Mengatasi risiko melalui:
a. melakukan sosialisasi terhadap kebijakan pimpinan Rumah
Sakit;
b. mengidentifikasi pilihan tindakan untuk mengatasi risiko;
c. menetapkan kemungkinan pilihan (cost benefit analysis);
d. menganalisa risiko yang mungkin masih ada; dan
-41-

e. mengimplementasikan rencana tindakan, meliputi


menghindari risiko, mengurangi risiko, memindahkan risiko,
menahan risiko, dan mengendalikan risiko.
Pembinaan dan edukasi Sumber Daya Manusia (SDM) yang
terlibat dalam setiap tahap manajemen risiko perlu menjadi salah
satu prioritas perhatian. Semakin besar risiko dalam suatu pemberian
layanan dibutuhkan SDM yang semakin kompeten dan kerjasama tim
(baik antar tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan
lain/multidisiplin) yang solid. Beberapa unit/area di Rumah Sakit yang
memiliki risiko tinggi, antara lain Intensive Care Unit (ICU), Unit Gawat
Darurat (UGD), dan kamar operasi (OK).
-42-

BAB IV
SUMBER DAYA KEFARMASIAN

A. Sumber Daya Manusia


Instalasi Farmasi harus memiliki Apoteker dan tenaga teknis
kefarmasian yang sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang
lain agar tercapai sasaran dan tujuan Instalasi Farmasi. Ketersediaan
jumlah tenaga Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian di Rumah
Sakit dipenuhi sesuai dengan ketentuan klasifikasi dan perizinan
Rumah Sakit yang ditetapkan oleh Menteri.
Uraian tugas tertulis dari masing-masing staf Instalasi Farmasi
harus ada dan sebaiknya dilakukan peninjauan kembali paling sedikit
setiap tiga tahun sesuai kebijakan dan prosedur di Instalasi Farmasi.
1. Kualifikasi Sumber Daya Manusia (SDM)
Berdasarkan pekerjaan yang dilakukan, kualifikasi SDM
Instalasi Farmasi diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Untuk pekerjaan kefarmasian terdiri dari:
1) Apoteker
2) Tenaga Teknis Kefarmasian
b. Untuk pekerjaan penunjang terdiri dari:
1) Operator Komputer/Teknisi yang memahami kefarmasian
2) Tenaga Administrasi
3) Pekarya/Pembantu pelaksana
Untuk menghasilkan mutu pelayanan yang baik dan aman,
maka dalam penentuan kebutuhan tenaga harus
mempertimbangkan kompetensi yang disesuaikan dengan jenis
pelayanan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawabnya.
2. Persyaratan SDM
Pelayanan Kefarmasian harus dilakukan oleh Apoteker dan
Tenaga Teknis Kefarmasian. Tenaga Teknis Kefarmasian yang
melakukan Pelayanan Kefarmasian harus di bawah supervisi
Apoteker.
Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian harus memenuhi
persyaratan administrasi seperti yang telah ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
-43-

Ketentuan terkait jabatan fungsional di Instalasi Farmasi


diatur menurut kebutuhan organisasi dan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Instalasi Farmasi harus dikepalai oleh seorang Apoteker
yang merupakan Apoteker penanggung jawab seluruh Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit. Kepala Instalasi Farmasi
diutamakan telah memiliki pengalaman bekerja di Instalasi
Farmasi minimal 3 (tiga) tahun.
3. Beban Kerja dan Kebutuhan
a. Beban Kerja
Dalam perhitungan beban kerja perlu diperhatikan
faktor-faktor yang berpengaruh pada kegiatan yang
dilakukan, yaitu:
1) kapasitas tempat tidur dan Bed Occupancy Rate (BOR);
2) jumlah dan jenis kegiatan farmasi yang dilakukan
(manajemen, klinik dan produksi);
3) jumlah Resep atau formulir permintaan Obat (floor
stock) per hari; dan
4) volume Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai.
b. Penghitungan Beban Kerja
Penghitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan beban
kerja pada Pelayanan Kefarmasian di rawat inap yang
meliputi pelayanan farmasi manajerial dan pelayanan
farmasi klinik dengan aktivitas pengkajian resep,
penelusuran riwayat penggunaan Obat, rekonsiliasi Obat,
pemantauan terapi Obat, pemberian informasi Obat,
konseling, edukasi dan visite, idealnya dibutuhkan tenaga
Apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 30 pasien.
Penghitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan beban
kerja pada Pelayanan Kefarmasian di rawat jalan yang
meliputi pelayanan farmasi menajerial dan pelayanan
farmasi klinik dengan aktivitas pengkajian Resep, penyerahan
Obat, Pencatatan Penggunaan Obat (PPP) dan konseling,
idealnya dibutuhkan tenaga Apoteker dengan rasio 1
Apoteker untuk 50 pasien.
-44-

Selain kebutuhan Apoteker untuk Pelayanan


Kefarmasian rawat inap dan rawat jalan, maka kebutuhan
tenaga Apoteker juga diperlukan untuk pelayanan farmasi
yang lain seperti di unit logistik medik/distribusi, unit
produksi steril/aseptic dispensing, unit pelayanan informasi
Obat dan lain-lain tergantung pada jenis aktivitas dan
tingkat cakupan pelayanan yang dilakukan oleh Instalasi
Farmasi.
Selain kebutuhan Apoteker untuk Pelayanan
Kefarmasian di rawat inap dan rawat jalan, diperlukan
juga masing-masing 1 (satu) orang Apoteker untuk kegiatan
Pelayanan Kefarmasian di ruang tertentu, yaitu:
1) Unit Gawat Darurat;
2) Intensive Care Unit (ICU)/Intensive Cardiac Care Unit
(ICCU)/Neonatus Intensive Care Unit (NICU)/Pediatric
Intensive Care Unit (PICU);
3) Pelayanan Informasi Obat;
Mengingat kekhususan Pelayanan Kefarmasian pada
unit rawat intensif dan unit gawat darurat, maka
diperlukan pedoman teknis mengenai Pelayanan Kefarmasian
pada unit rawat intensif dan unit rawat darurat yang akan
diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
c. Pengembangan Staf dan Program Pendidikan
Setiap staf di Rumah Sakit harus diberi kesempatan
untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya.
Peran Kepala Instalasi Farmasi dalam pengembangan
staf dan program pendidikan meliputi:
1) menyusun program orientasi staf baru, pendidikan
dan pelatihan berdasarkan kebutuhan pengembangan
kompetensi SDM.
2) menentukan dan mengirim staf sesuai dengan spesifikasi
pekerjaan (tugas dan tanggung jawabnya) untuk
meningkatkan kompetensi yang diperlukan.
3) menentukan staf sebagai
narasumber/pelatih/fasilitator sesuai dengan
kompetensinya.
-45-

d. Penelitian dan Pengembangan


Apoteker harus didorong untuk melakukan penelitian
mandiri atau berkontribusi dalam tim penelitian
mengembangkan praktik Pelayanan Kefarmasian di Rumah
Sakit. Apoteker yang terlibat dalam penelitian harus
mentaati prinsip dan prosedur yang ditetapkan dan sesuai
dengan kaidah-kaidah penelitian yang berlaku.
Instalasi Farmasi harus melakukan pengembangan
Pelayanan Kefarmasian sesuai dengan situasi
perkembangan kefarmasian terkini.
Apoteker juga dapat berperan dalam Uji Klinik Obat
yang dilakukan di Rumah Sakit dengan mengelola Obat-
Obat yang diteliti sampai dipergunakan oleh subyek
penelitian dan mencatat Reaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki (ROTD) yang terjadi selama penelitian.

B. Sarana dan Peralatan


Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit harus
didukung oleh sarana dan peralatan yang memenuhi ketentuan dan
perundang-undangan kefarmasian yang berlaku. Lokasi harus
menyatu dengan sistem pelayanan Rumah Sakit, dipisahkan antara
fasilitas untuk penyelenggaraan manajemen, pelayanan langsung
kepada pasien, peracikan, produksi dan laboratorium mutu yang
dilengkapi penanganan limbah.
Peralatan yang memerlukan ketepatan pengukuran harus
dilakukan kalibrasi alat dan peneraan secara berkala oleh balai
pengujian kesehatan dan/atau institusi yang berwenang. Peralatan
harus dilakukan pemeliharaan, didokumentasi, serta dievaluasi secara
berkala dan berkesinambungan.
1. Sarana
Fasilitas ruang harus memadai dalam hal kualitas dan
kuantitas agar dapat menunjang fungsi dan proses Pelayanan
Kefarmasian, menjamin lingkungan kerja yang aman untuk
petugas, dan memudahkan sistem komunikasi Rumah Sakit.
a. Fasilitas utama dalam kegiatan pelayanan di Instalasi
Farmasi, terdiri dari:
-46-

1) Ruang Kantor/Administrasi
Ruang Kantor/Administrasi terdiri dari:
a) ruang pimpinan
b) ruang staf
c) ruang kerja/administrasi tata usaha
d) ruang pertemuan
2) Ruang penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai
Rumah Sakit harus mempunyai ruang
penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai yang disesuaikan dengan
kondisi dan kebutuhan, serta harus memperhatikan
kondisi sanitasi, temperatur, sinar/cahaya,
kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin
mutu produk dan keamanan petugas, terdiri dari:
a) Kondisi umum untuk ruang penyimpanan:
(1) Obat jadi
(2) Obat produksi
(3) bahan baku Obat
(4) Alat Kesehatan
b) Kondisi khusus untuk ruang penyimpanan:
(1) Obat termolabil
(2) bahan laboratorium dan reagensia
(3) Sediaan Farmasi yang mudah terbakar
(4) Obat/bahan Obat berbahaya
(narkotik/psikotropik)
3) Ruang distribusi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai
Ruang distribusi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai terdiri dari distribusi
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai rawat jalan (apotek rawat jalan) dan rawat
inap (satelit farmasi).
Ruang distribusi harus cukup untuk melayani
seluruh kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai Rumah Sakit. Ruang
distribusi terdiri dari:
-47-

a) Ruang distribusi untuk pelayanan rawat jalan, di


mana ada ruang khusus/terpisah untuk
penerimaan resep dan peracikan.
b) Ruang distribusi untuk pelayanan rawat inap,
dapat secara sentralisasi maupun desentralisasi
di masing-masing ruang rawat inap.
4) Ruang konsultasi / konseling Obat
Ruang konsultasi/konseling Obat harus ada
sebagai sarana untuk Apoteker memberikan
konsultasi/konseling pada pasien dalam rangka
meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pasien.
Ruang konsultasi/konseling harus jauh dari hiruk
pikuk kebisingan lingkungan Rumah Sakit dan
nyaman sehingga pasien maupun konselor dapat
berinteraksi dengan baik. Ruang konsultasi/konseling
dapat berada di Instalasi Farmasi rawat jalan maupun
rawat inap.
5) Ruang Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan Informasi Obat dilakukan di ruang
tersendiri dengan dilengkapi sumber informasi dan
teknologi komunikasi, berupa bahan pustaka dan
telepon.
6) Ruang produksi;
Persyaratan bangunan untuk ruangan produksi
harus memenuhi kriteria:
a) Lokasi
Lokasi jauh dari pencemaran lingkungan
(udara, tanah dan air tanah).
b) Konstruksi
Terdapat sarana perlindungan terhadap:
(1) Cuaca
(2) Banjir
(3) Rembesan air
(4) Binatang/serangga
c) Rancang bangun dan penataan gedung di ruang
produksi harus memenuhi kriteria:
-48-

(1) Disesuaikan dengan alur barang, alur


kerja/proses, alur orang/pekerja.
(2) Pengendalian lingkungan terhadap:
(a) Udara;
(b) Permukaan langit-langit, dinding, lantai
dan peralatan/sarana lain;
(c) Barang masuk;
(d) Petugas yang di dalam.
(3) Luas ruangan minimal 2 (dua) kali daerah
kerja + peralatan, dengan jarak setiap peralatan
minimal 2,5 m.
(4) Di luar ruang produksi ada fasilitas untuk
lalu lintas petugas dan barang.
d) Pembagian ruangan
(1) Ruang terpisah antara Obat jadi dan bahan
baku;
(2) Ruang terpisah untuk setiap proses produksi;
(3) Ruang terpisah untuk produksi Obat luar dan
Obat dalam;
(4) Gudang terpisah untuk produksi antibiotik (bila
ada);
(5) Tersedia saringan udara, efisiensi minimal 98%;
(6) Permukaan lantai, dinding, langit-langit dan
pintu harus:
(a) Kedap air;
(b) Tidak terdapat sambungan;
(c) Tidak merupakan media pertumbuhan
untuk mikroba;
(d) Mudah dibersihkan dan tahan terhadap
bahan pembersih/desinfektan.
e) Daerah pengolahan dan pengemasan
(1) Hindari bahan dari kayu, kecuali dilapisi cat
epoxy/enamel;
(2) Persyaratan ruang produksi dan ruang
peracikan harus memenuhi kriteria sesuai
dengan ketentuan cara produksi atau
peracikan obat di Rumah Sakit. Rumah Sakit
-49-

yang memproduksi sediaan parenteral steril


dan/atau sediaan radiofarmaka harus
memenuhi Cara Pembuatan Obat yang Baik
(CPOB).
7) Ruang Aseptic Dispensing
Ruang aseptic dispensing harus memenuhi
persyaratan:
a) Ruang bersih: kelas 10.000 (dalam Laminar Air
Flow = kelas 100)
b) Ruang/tempat penyiapan :kelas 100.000
c) Ruang antara :kelas 100.000
d) Ruang ganti pakaian :kelas 100.000
e) Ruang/tempat penyimpanan untuk sediaan yang
telah disiapkan
Tata ruang harus menciptakan alur kerja yang
baik sedangkan luas ruangan disesuaikan dengan
macam dan volume kegiatan
Ruang aseptic dispensing harus memenuhi
spesifikasi:
a) Lantai
Permukaan datar dan halus, tanpa
sambungan, keras, resisten terhadap zat kimia dan
fungi, serta tidak mudah rusak.
b) Dinding
(1) Permukaan rata dan halus, terbuat dari
bahan yang keras, tanpa sambungan,
resisten terhadap zat kimia dan fungi, serta
tidak mudah rusak.
(2) Sudut-sudut pertemuan lantai dengan
dinding dan langit-langit dengan dinding
dibuat melengkung dengan radius 20 – 30 mm.
(3) Colokan listrik datar dengan permukaan dan
kedap air dan dapat dibersihkan.
-50-

c) Plafon
Penerangan, saluran dan kabel dibuat di atas
plafon, dan lampu rata dengan langit-langit/plafon
dan diberi lapisan untuk mencegah kebocoran
udara.
d) Pintu
Rangka terbuat dari stainles steel. Pintu
membuka ke arah ruangan yang bertekanan lebih
tinggi.
e) Aliran udara
Aliran udara menuju ruang bersih, ruang
penyiapan, ruang ganti pakaian dan ruang antara
harus melalui HEPA filter dan memenuhi
persyaratan kelas 10.000. Pertukaran udara
minimal 120 kali per jam.
f) Tekanan udara
Tekanan udara di dalam ruang bersih
adalah 15 Pascal lebih rendah dari ruang lainnya
sedangkan tekanan udara dalam ruang penyiapan,
ganti pakaian dan antara harus 45 Pascal lebih
tinggi dari tekanan udara luar.
g) Temperatur
Suhu udara diruang bersih dan ruang steril,

dipelihara pada suhu 16 – 25° C.


h) Kelembaban
1) Kelembaban relatif 45 – 55%.
2) ruang bersih, ruang penyangga, ruang ganti
pakaian steril dan ruang ganti pakaian kerja
hendaknya mempunyai perbedaan tekanan
udara 10-15 pascal. Tekanan udara dalam
ruangan yang mengandung risiko lebih tinggi
terhadap produk hendaknya selalu lebih tinggi
dibandingkan ruang sekitarnya. Sedangkan
ruang bersih penanganan sitostatika harus
bertekanan lebih rendah dibandingkan ruang
sekitarnya.
-51-

8) Laboratorium Farmasi
Dalam hal Instalasi Farmasi melakukan kegiatan
penelitian dan pengembangan yang membutuhkan
ruang laboratorium farmasi, maka harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a) Lokasi
1) Lokasi terpisah dari ruang produksi.
2) Konstruksi bangunan dan peralatan tahan
asam, alkali, zat kimia dan pereaksi lain
(harus inert); aliran udara, suhu dan
kelembaban sesuai persyaratan.
b) Tata ruang disesuaikan dengan kegiatan dan alur
kerja
c) Perlengkapan instalasi (air, listrik) sesuai
persyaratan
9) Ruang produksi Non Steril
10) Ruang Penanganan Sediaan Sitostatik
11) Ruang Pencampuran/Pelarutan/Pengemasan Sediaan
Yang Tidak Stabil
12) Ruang Penyimpanan Nutrisi Parenteral
b. Fasilitas penunjang dalam kegiatan pelayanan di Instalasi
Farmasi, terdiri dari:
1) Ruang tunggu pasien;
2) Ruang penyimpanan dokumen/arsip Resep dan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang rusak;
3) Tempat penyimpanan Obat di ruang perawatan;
4) Fasilitas toilet, kamar mandi untuk staf.
2. Peralatan
Fasilitas peralatan harus memenuhi syarat terutama untuk
perlengkapan peracikan dan penyiapan baik untuk sediaan
steril, non steril, maupun cair untuk Obat luar atau dalam.
Fasilitas peralatan harus dijamin sensitif pada pengukuran
dan memenuhi persyaratan, peneraan dan kalibrasi untuk
peralatan t ertentu setiap tahun.
Peralatan yang paling sedikit harus tersedia:
-52-

a. Peralatan untuk penyimpanan, peracikan dan pembuatan


Obat baik steril dan nonsteril maupun aseptik/steril;
b. Peralatan kantor untuk administrasi dan arsip;
c. Kepustakaan yang memadai untuk melaksanakan Pelayanan
Informasi Obat;
d. Lemari penyimpanan khusus untuk narkotika;
e. Lemari pendingin dan pendingin ruangan untuk Obat yang
termolabil;
f. Penerangan, sarana air, ventilasi dan sistem pembuangan
limbah yang baik;
g. Alarm.
Macam-macam Peralatan
a. Peralatan Kantor:
1) Mebeulair (meja, kursi, lemari buku/rak, filing cabinet
dan lain-lain);
2) Komputer/mesin tik;
3) Alat tulis kantor;
4) Telepon dan faksimili.
b. Peralatan sistem komputerisasi
Sistem komputerisasi harus diadakan dan difungsikan
secara optimal untuk kegiatan sekretariat, pengelolaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai dan pelayanan farmasi klinik. Sistem informasi farmasi
ini harus terintegrasi dengan sistem informasi Rumah Sakit
untuk meningkatkan efisiensi fungsi manajerial dan agar
data klinik pasien mudah diperoleh untuk monitoring terapi
pengobatan dan fungsi klinik lainnya. Sistem komputerisasi
meliputi:
1) Jaringan
2) Perangkat keras
3) Perangkat lunak (program aplikasi)
c. Peralatan Produksi
1) Peralatan farmasi untuk persediaan, peracikan dan
pembuatan Obat, baik nonsteril maupun steril/aseptik.
2) Peralatan harus dapat menunjang persyaratan
keamanan cara pembuatan Obat yang baik.
-53-

d. Peralatan Aseptic Dispensing:


1) Biological Safety Cabinet/Vertical Laminar Air Flow
Cabinet
(untuk pelayanan sitostatik);
2) Horizontal Laminar Air Flow Cabinet (untuk pelayanan
pencampuran Obat suntik dan nutrisi parenteral);
3) Pass-box dengan pintu berganda (air-lock);
4) Barometer;
5) Termometer;
6) Wireless intercom.
e. Peralatan Penyimpanan
1) Peralatan Penyimpanan Kondisi Umum
a) lemari/rak yang rapi dan terlindung dari debu,
kelembaban dan cahaya yang berlebihan;
b) lantai dilengkapi dengan palet.
2) Peralatan Penyimpanan Kondisi Khusus:
a) Lemari pendingin dan AC untuk Obat yang
termolabil;
b) Fasilitas peralatan penyimpanan dingin harus
divalidasi secara berkala;
c) Lemari penyimpanan khusus untuk narkotika
dan Obat psikotropika;
d) Peralatan untuk penyimpanan Obat, penanganan
dan pembuangan limbah sitotoksik dan Obat
berbahaya harus dibuat secara khusus untuk
menjamin keamanan petugas, pasien dan
pengunjung.
3) Peralatan Pendistribusian/Pelayanan
a) Pelayanan rawat jalan (Apotik);
b) Pelayanan rawat inap (satelit farmasi);
c) Kebutuhan ruang perawatan/unit lain.
4) Peralatan Konsultasi
a) Buku kepustakaan bahan-bahan leaflet,dan brosur
dan lain-lain;
b) Meja, kursi untuk Apoteker dan 2 orang pelanggan,
lemari untuk menyimpan profil pengobatan pasien;
c) Komputer;
-54-

d) Telpon;
e) Lemari arsip;
f) Kartu arsip.
5) Peralatan Ruang Informasi Obat
a) Kepustakaan yang memadai untuk melaksanakan
Pelayanan Informasi Obat;
b) Peralatan meja, kursi, rak buku, kotak;
c) Komputer;
d) Telpon – Faxcimile;
e) Lemari arsip;
f) Kartu arsip;
g) TV dan VCD player.
6) Peralatan Ruang Arsip
a) Kartu Arsip;
b) Lemari/Rak Arsipp.
-55-

BAB V
PENGORGANISASIAN

Pengorganisasian Rumah Sakit harus dapat menggambarkan


pembagian tugas, koordinasi kewenangan, fungsi dan tanggung jawab
Rumah Sakit. Berikut adalah beberapa orang di Rumah Sakit yang terkait
dengan kefarmasian:
A. Instalasi Farmasi
Pengorganisasian Instalasi Farmasi harus mencakup
penyelenggaraan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai, pelayanan farmasi klinik dan manajemen
mutu, dan bersifat dinamis dapat direvisi sesuai kebutuhan dengan
tetap menjaga mutu.
Tugas Instalasi Farmasi, meliputi:
1. menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan
mengawasi seluruh kegiatan Pelayanan Kefarmasian yang
optimal dan profesional serta sesuai prosedur dan etik profesi;
2. melaksanakan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien;
3. melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai guna
memaksimalkan efek terapi dan keamanan serta meminimalkan
risiko;
4. melaksanakan Komunikasi, Edukasi dan Informasi (KIE) serta
memberikan rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien;
5. berperan aktif dalam Komite/Tim Farmasi dan Terapi;
6. melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan
Pelayanan Kefarmasian;
7. memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan
dan formularium Rumah Sakit.
Fungsi Instalasi Farmasi, meliputi:
1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis
Habis Pakai
a. memilih Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai sesuai kebutuhan pelayanan Rumah Sakit;
-56-

b. merencanakan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,


dan Bahan Medis Habis Pakai secara efektif, efisien dan
optimal;
c. mengadakan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai berpedoman pada perencanaan yang
telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku;
d. memproduksi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit;
e. menerima Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan
yang berlaku;
f. menyimpan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan
kefarmasian;
g. mendistribusikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai ke unit-unit pelayanan di Rumah
Sakit;
h. melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu;
i. melaksanakan pelayanan Obat “unit dose”/dosis sehari;
j. melaksanakan komputerisasi pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (apabila
sudah memungkinkan);
k. mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang
terkait dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai;
l. melakukan pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang sudah
tidak dapat digunakan;
m. mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai;
n. melakukan administrasi pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
2. Pelayanan farmasi klinik
a. mengkaji dan melaksanakan pelayanan Resep atau
permintaan Obat;
b. melaksanakan penelusuran riwayat penggunaan Obat;
-57-

c. melaksanakan rekonsiliasi Obat;


d. memberikan informasi dan edukasi penggunaan Obat baik
berdasarkan Resep maupun Obat non Resep kepada
pasien/keluarga pasien;
e. mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang
terkait dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai;
f. melaksanakan visite mandiri maupun bersama tenaga
kesehatan lain;
g. memberikan konseling pada pasien dan/atau keluarganya;
h. melaksanakan Pemantauan Terapi Obat (PTO)
1) Pemantauan efek terapi Obat;
2) Pemantauan efek samping Obat;
3) Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).
i. melaksanakan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
j. melaksanakan dispensing sediaan steril
1) Melakukan pencampuran Obat suntik
2) Menyiapkan nutrisi parenteral
3) Melaksanakan penanganan sediaan sitotoksik
4) Melaksanakan pengemasan ulang sediaan steril yang
tidak stabil
k. melaksanakan Pelayanan Informasi Obat (PIO) kepada
tenaga kesehatan lain, pasien/keluarga, masyarakat dan
institusi di luar Rumah Sakit;
l. melaksanakan Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS).

B. Komite/Tim Farmasi dan Terapi


Dalam pengorganisasian Rumah Sakit dibentuk Komite/Tim
Farmasi dan Terapi yang merupakan unit kerja dalam memberikan
rekomendasi kepada pimpinan Rumah Sakit mengenai kebijakan
penggunaan Obat di Rumah Sakit yang anggotanya terdiri dari dokter
yang mewakili semua spesialisasi yang ada di Rumah Sakit, Apoteker
Instalasi Farmasi, serta tenaga kesehatan lainnya apabila diperlukan.
Komite/Tim Farmasi dan Terapi harus dapat membina hubungan
kerja dengan komite lain di dalam Rumah Sakit yang
berhubungan/berkaitan dengan penggunaan Obat.
-58-

Komite/Tim Farmasi dan Terapi dapat diketuai oleh seorang


dokter atau seorang Apoteker, apabila diketuai oleh dokter maka
sekretarisnya adalah Apoteker, namun apabila diketuai oleh Apoteker,
maka sekretarisnya adalah dokter.
Komite/Tim Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat secara
teratur, sedikitnya 2 (dua) bulan sekali dan untuk Rumah Sakit besar
rapat diadakan sekali dalam satu bulan. Rapat Komite/Tim Farmasi
dan Terapi dapat mengundang pakar dari dalam maupun dari luar
Rumah Sakit yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan
Komite/Tim Farmasi dan Terapi, memiliki pengetahuan khusus,
keahlian-keahlian atau pendapat tertentu yang bermanfaat bagi
Komite/Tim Farmasi dan Terapi.
Komite/Tim Farmasi dan Terapi mempunyai tugas:
1. mengembangkan kebijakan tentang penggunaan Obat di
Rumah Sakit;
2. melakukan seleksi dan evaluasi Obat yang akan masuk dalam
formularium Rumah Sakit;
3. mengembangkan standar terapi;
4. mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan Obat;
5. melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan Obat yang
rasional;
6. mengkoordinir penatalaksanaan Reaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki;
7. mengkoordinir penatalaksanaan medication error;
8. menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan Obat di
Rumah Sakit.

C. Komite/Tim lain yang terkait


Peran Apoteker dalam Komite/Tim lain yang terkait
penggunaan Obat di Rumah Sakit antara lain:
1. Pengendalian Infeksi Rumah Sakit;
2. Keselamatan Pasien Rumah Sakit;
3. Mutu Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit;
4. perawatan paliatif dan bebas nyeri;
5. penanggulangan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndromes);
6. Direct Observed Treatment Shortcourse (DOTS);
7. Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA);
-59-

8. Transplantasi;
9. PKMRS; atau
10. Terapi Rumatan Metadon.
-60-

BAB VI
PENGENDALIAN MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN

Pengendalian Mutu adalah mekanisme kegiatan pemantauan dan


penilaian terhadap pelayanan yang diberikan, secara terencana dan
sistematis, sehingga dapat diidentifikasi peluang untuk peningkatan mutu
serta menyediakan mekanisme tindakan yang diambil. Melalui
pengendalian mutu diharapkan dapat terbentuk proses peningkatan mutu
Pelayanan Kefarmasian yang berkesinambungan.
Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang
dapat dilakukan terhadap kegiatan yang sedang berjalan maupun yang
sudah berlalu. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui monitoring dan
evaluasi. Tujuan kegiatan ini untuk menjamin Pelayanan Kefarmasian
yang sudah dilaksanakan sesuai dengan rencana dan upaya perbaikan
kegiatan yang akan datang. Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian
harus terintegrasi dengan program pengendalian mutu pelayanan
kesehatan Rumah Sakit yang dilaksanakan secara berkesinambungan.
Kegiatan pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian meliputi:
a. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring dan
evaluasi untuk peningkatan mutu sesuai target yang ditetapkan.
b. Pelaksanaan, yaitu:
1. Monitoring dan evaluasi capaian pelaksanaan rencana kerja
(membandingkan antara capaian dengan rencana kerja);
2. memberikan umpan balik terhadap hasil capaian.
c. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu:
1. melakukan perbaikan kualitas pelayanan sesuai target yang
ditetapkan;
2. meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah memuaskan.
Tahapan program pengendalian mutu:
a. Mendefinisikan kualitas Pelayanan Kefarmasian yang diinginkan dalam
bentuk kriteria;
b. Penilaian kualitas Pelayanan Kefarmasian yang sedang berjalan
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan;
c. Pendidikan personel dan peningkatan fasilitas pelayanan bila
diperlukan;
d. Penilaian ulang kualitas Pelayanan Kefarmasian;
e. Up date kriteria.
-61-

Langkah–langkah dalam aplikasi program pengendalian mutu, meliputi:


a. memilih subyek dari program;
b. tentukan jenis Pelayanan Kefarmasian yang akan dipilih berdasarkan
prioritas;
c. mendefinisikan kriteria suatu Pelayanan Kefarmasian sesuai dengan
kualitas pelayanan yang diinginkan;
d. mensosialisasikan kriteria Pelayanan Kefarmasian yang dikehendaki;
e. dilakukan sebelum program dimulai dan disosialisasikan pada semua
personil serta menjalin konsensus dan komitmen bersama untuk
mencapainya;
f. melakukan evaluasi terhadap mutu pelayanan yang sedang berjalan
menggunakan kriteria;
g. apabila ditemukan kekurangan memastikan penyebab dari
kekurangan tersebut;
h. merencanakan formula untuk menghilangkan kekurangan;
i. mengimplementasikan formula yang telah direncanakan;
j. reevaluasi dari mutu pelayanan.
Untuk mengukur pencapaian standar yang telah ditetapkan
diperlukan indikator, suatu alat/tolok ukur yang hasil menunjuk pada
ukuran kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan. Indikator
dibedakan menjadi:
a. Indikator persyaratan minimal yaitu indikator yang digunakan untuk
mengukur terpenuhi tidaknya standar masukan, proses, dan
lingkungan.
b. Indikator penampilan minimal yaitu indikator yang ditetapkan untuk
mengukur tercapai tidaknya standar penampilan minimal pelayanan
yang diselenggarakan.
Indikator atau kriteria yang baik sebagai berikut:
a. sesuai dengan tujuan;
b. informasinya mudah didapat;
c. singkat, jelas, lengkap dan tak menimbulkan berbagai interpretasi;
d. rasional.
Dalam pelaksanaan pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian
dilakukan melalui kegiatan monitoring dan evaluasi yang harus dapat
dilaksanakan oleh Instalasi Farmasi sendiri atau dilakukan oleh tim audit
internal.
-62-

Monitoring dan evaluasi merupakan suatu pengamatan dan penilaian


secara terencana, sistematis dan terorganisir sebagai umpan balik
perbaikan sistem dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan.
Monitoring dan evaluasi harus dilaksanakan terhadap seluruh proses tata
kelola Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sesuai ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan waktu pelaksanaan evaluasi, dibagi menjadi 3 (tiga)
jenis program evaluasi, yaitu:
a. Prospektif adalah program dijalankan sebelum pelayanan
dilaksanakan, contoh: standar prosedur operasional, dan pedoman.
b. Konkuren adalah program dijalankan bersamaan dengan pelayanan
dilaksanakan, contoh: memantau kegiatan konseling Apoteker,
peracikan Resep oleh Asisten Apoteker.
c. Retrospektif adalah program pengendalian yang dijalankan setelah
pelayanan dilaksanakan, contoh: survei konsumen, laporan mutasi
barang, audit internal.
Evaluasi Mutu Pelayanan merupakan proses pengukuran, penilaian
atas semua kegiatan Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit secara
berkala. Kualitas pelayanan meliputi: teknis pelayanan, proses pelayanan,
tata cara/standar prosedur operasional, waktu tunggu untuk
mendapatkan pelayanan.
Metoda evaluasi yang digunakan, terdiri dari:
a. Audit (pengawasan)
Dilakukan terhadap proses hasil kegiatan apakah sudah sesuai
standar.
b. Review (penilaian)
Terhadap pelayanan yang telah diberikan, penggunaan sumber
daya, penulisan Resep.
c. Survei
Untuk mengukur kepuasan pasien, dilakukan dengan angket
atau wawancara langsung.
d. Observasi
Terhadap kecepatan pelayanan misalnya lama antrian, ketepatan
penyerahan Obat.
-63-

BAB VII
PENUTUP

Perkembangan dan adanya tuntutan masyarakat terhadap pelayanan


kesehatan yang komprehensif dapat menjadi peluang sekaligus
merupakan tantangan bagi Apoteker untuk meningkatkan kompetensinya.
Apoteker yang bekerja di Rumah Sakit dituntut untuk merealisasikan
perluasan paradigma Pelayanan Kefarmasian dari orientasi produk
menjadi orientasi pasien untuk itu kompetensi Apoteker perlu
ditingkatkan secara kontinu agar perubahan paradigma tersebut dapat
diimplementasikan, sehingga dalam rangka mencapai keberhasilan
pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit diperlukan
komitmen, kerjasama dan koordinasi yang lebih baik antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Organisasi Profesi serta seluruh pihak terkait.

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

NILA FARID MOELOEK


PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 74 TAHUN 2016
TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun


2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas, sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2016
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas masih belum memenuhi
kebutuhan hukum di masyarakat sehingga perlu
dilakukan perubahan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang


Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3671);
-2-

2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang


Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5062);
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5679);
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 96, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5419);
8. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen, sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 145 Tahun
-3-

2015 tentang Perubahan Kedelapan atas Keputusan


Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan
Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Kementerian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 322);
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014
tentang Pusat Kesehatan Masyarakat (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1676);
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 1508);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yangd imaksud dengan:
1. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya
disebut Puskesmas adalah unit pelaksana teknis
dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung
jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di
suatu wilayah kerja.
2. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolok ukur
yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga
kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian.
3. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang
berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien.
4. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat
tradisional dan kosmetika.
-4-

5. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk


produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi
atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosis,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.
6. Bahan Medis Habis Pakai adalah alat kesehatan yang
ditujukan untuk penggunaan sekali pakai (single use)
yang daftar produknya diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
7. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus
sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah
jabatan Apoteker.
8. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang
membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan
Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli
Madya Farmasi, dan Analis Farmasi.
9. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang
selanjutnya disebut Kepala BPOM adalah Kepala
Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang
mempunyai tugas untuk melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang pengawasan obat dan
makanan.
10. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

Pasal 2
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
bertujuan untuk:
a. meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian;
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian;
dan
c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan
Obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan
pasien (patient safety).
-5-

Pasal 3
(1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas meliputi
standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
Habis Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.
(2) Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis
Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi:
a. perencanaan kebutuhan;
b. permintaan;
c. penerimaan;
d. penyimpanan:
e. pendistribusian;
f. pengendalian;
g. pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan; dan
h. pemantauan dan evaluasi pengelolaan.
(3) Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, meliputi:
a. pengkajian resep, penyerahan Obat, dan
pemberian informasi Obat;
b. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
c. konseling;
d. ronde/visite pasien (khusus Puskesmas rawat
inap);
e. pemantauan dan pelaporan efek samping Obat;
f. pemantauan terapi Obat; dan
g. evaluasi penggunaan Obat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan
Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pelayanan
farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
-6-

Pasal 4
(1) Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas harus didukung oleh ketersediaan
sumber daya kefarmasian, pengorganisasian yang
berorientasi kepada keselamatan pasien, dan
standar prosedur operasional sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Sumber daya kefarmasian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. sumber daya manusia; dan
b. sarana dan prasarana.
(3) Pengorganisasian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus menggambarkan uraian tugas, fungsi, dan
tanggung jawab serta hubungan koordinasi di dalam
maupun di luar pelayanan kefarmasian yang
ditetapkan oleh pimpinan Puskesmas.
(4) Ketentuan mengenai sumber daya kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 5
(1) Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas, harus dilakukan pengendalian mutu
Pelayananan Kefarmasian meliputi:
a. monitoring; dan
b. evaluasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian
mutu Pelayananan Kefarmasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.

Pasal 6
(1) Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas dilaksanakan pada unit pelayanan berupa
ruang farmasi.
-7-

(2) Ruang farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dipimpin oleh seorang Apoteker sebagai penanggung
jawab.

Pasal 7
Setiap Apoteker dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian
yang menyelenggarakan Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas wajib mengikuti Standar Pelayanan
Kefarmasian sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri ini.

Pasal 8
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Menteri,
kepala dinas kesehatan provinsi, dan kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan
fungsi masing-masing.
(2) Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melibatkan organisasi profesi.

Pasal 9
(1) Pengawasan selain dilaksanakan oleh Menteri, kepala
dinas kesehatan provinsi dan kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
Ayat (1), khusus terkait dengan pengawasan Sediaan
Farmasi dalam pengelolaan Sediaan Farmasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a
dilakukan juga oleh Kepala BPOM sesuai dengan tugas
dan fungsi masing-masing.
(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Kepala BPOM dapat melakukan pemantauan,
pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap
pengelolaan sediaan farmasi di instansi pemerintah
dan masyarakat di bidang pengawasan obat.
-8-

Pasal 10
(1) Pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan
provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan
pengawasan yang dilakukan oleh Kepala BPOM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
dilaporkan secara berkala kepada Menteri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun.

Pasal 11
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri
ini dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 12
(1) Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku,
bagi Puskesmas yang belum memiliki Apoteker
sebagai penanggung jawab, penyelenggaraan
Pelayanan Kefarmasian secara terbatas dilakukan
oleh tenaga teknis kefarmasian atau tenaga
kesehatan lain yang ditugaskan oleh kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota.
(2) Pelayanan Kefarmasian secara terbatas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
Habis Pakai; dan
b. pelayanan resep berupa peracikan Obat,
penyerahan Obat, dan pemberian informasi
Obat.
(3) Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian secara
terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada
di bawah pembinaan dan pengawasan Apoteker yang
ditunjuk oleh kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota.
-9-

(4) Puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


harus menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan
Menteri ini dalam jangka waktu paling lama 3
(tiga) tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan.

Pasal 13
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku,
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 906)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 36 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
1170), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 14
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
-10-

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2016

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

NILA FARID MOELOEK

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Februari 2017

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 206isetujui


- 11 -

LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 74 TAHUN 2016
TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN
DI PUSKESMAS

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Puskesmas merupakan
fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang menyelenggarakan upaya
kesehatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif),
pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan
pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang dilaksanakan secara
menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Konsep kesatuan upaya
kesehatan ini menjadi pedoman dan pegangan bagi semua fasilitas
pelayanan kesehatan di Indonesia termasuk Puskesmas.
Peningkatan kinerja pelayanan kesehatan dasar yang ada di
Puskesmas dilakukan sejalan dengan perkembangan kebijakan yang
ada pada berbagai sektor. Adanya kebijakan otonomi daerah dan
desentralisasi diikuti pula dengan menguatnya kewenangan daerah
dalam membuat berbagai kebijakan. Selama ini penerapan dan
pelaksanaan upaya kesehatan dalam kebijakan dasar Puskesmas
yang sudah ada sangat beragam antara daerah satu dengan daerah
lainnya, namun secara keseluruhan belum menunjukkan hasil yang
optimal.
Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan upaya kesehatan, yang
berperan penting dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
bagi masyarakat. Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas harus
- 12 -

mendukung tiga fungsi pokok Puskesmas, yaitu sebagai pusat


penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat
pemberdayaan masyarakat, dan pusat pelayanan kesehatan strata
pertama yang meliputi pelayanan kesehatan perorangan dan
pelayanan kesehatan masyarakat.
Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu
dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan
masalah Obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan.
Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu Pelayanan
Kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama
yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma
baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi
Pelayanan Kefarmasian (pharmaceutical care).

B. Ruang Lingkup
Pelayanan kefarmasian di Puskesmas meliputi 2 (dua) kegiatan,
yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan
Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai dan kegiatan pelayanan farmasi
klinik. Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia
dan sarana dan prasarana.
- 13 -

BAB II
PENGELOLAAN SEDIAAN FARMASI DAN BAHAN MEDIS HABIS PAKAI

Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai


merupakan salah satu kegiatan pelayanan kefarmasian, yang dimulai dari
perencanaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,
pengendalian, pencatatan dan pelaporan serta pemantauan dan evaluasi.
Tujuannya adalah untuk menjamin kelangsungan ketersediaan dan
keterjangkauan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang
efisien, efektif dan rasional, meningkatkan kompetensi/kemampuan
tenaga kefarmasian, mewujudkan sistem informasi manajemen, dan
melaksanakan pengendalian mutu pelayanan.
Kepala Ruang Farmasi di Puskesmas mempunyai tugas dan tanggung
jawab untuk menjamin terlaksananya pengelolaan Sediaan Farmasi dan
Bahan Medis Habis Pakai yang baik.
Kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
meliputi:
A. Perencanaan kebutuhan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
Perencanaan merupakan proses kegiatan seleksi Sediaan Farmasi
dan Bahan Medis Habis Pakai untuk menentukan jenis dan jumlah
Sediaan Farmasi dalam rangka pemenuhan kebutuhan Puskesmas.
Tujuan perencanaan adalah untuk mendapatkan:
1. perkiraan jenis dan jumlah Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
Habis Pakai yang mendekati kebutuhan;
2. meningkatkan penggunaan Obat secara rasional; dan
3. meningkatkan efisiensi penggunaan Obat.
Perencanaan kebutuhan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
Habis Pakai di Puskesmas setiap periode dilaksanakan oleh Ruang
Farmasi di Puskesmas.
Proses seleksi Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
dilakukan dengan mempertimbangkan pola penyakit, pola konsumsi
Sediaan Farmasi periode sebelumnya, data mutasi Sediaan Farmasi,
dan rencana pengembangan. Proses seleksi Sediaan Farmasi dan
Bahan Medis Habis Pakai juga harus mengacu pada Daftar Obat
Esensial Nasional (DOEN) dan Formularium Nasional. Proses seleksi
ini harus melibatkan tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas
- 14 -

seperti dokter, dokter gigi, bidan, dan perawat, serta pengelola


program yang berkaitan dengan pengobatan.
Proses perencanaan kebutuhan Sediaan Farmasi per tahun
dilakukan secara berjenjang (bottom-up). Puskesmas diminta
menyediakan data pemakaian Obat dengan menggunakan Laporan
Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO).
Selanjutnya Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota akan melakukan
kompilasi dan analisa terhadap kebutuhan Sediaan Farmasi
Puskesmas di wilayah kerjanya, menyesuaikan pada anggaran yang
tersedia dan memperhitungkan waktu kekosongan Obat, buffer
stock, serta menghindari stok berlebih.

B. Permintaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai


Tujuan permintaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis
Pakai adalah memenuhi kebutuhan Sediaan Farmasi dan Bahan
Medis Habis Pakai di Puskesmas, sesuai dengan perencanaan
kebutuhan yang telah dibuat. Permintaan diajukan kepada Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan kebijakan pemerintah daerah setempat.

C. Penerimaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai


Penerimaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
adalah suatu kegiatan dalam menerima Sediaan Farmasi dan Bahan
Medis Habis Pakai dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota atau hasil
pengadaan Puskesmas secara mandiri sesuai dengan permintaan yang
telah diajukan. Tujuannya adalah agar Sediaan Farmasi yang
diterima sesuai dengan kebutuhan berdasarkan permintaan yang
diajukan oleh Puskesmas, dan memenuhi persyaratan keamanan,
khasiat, dan mutu.
Tenaga Kefarmasian dalam kegiatan pengelolaan bertanggung
jawab atas ketertiban penyimpanan, pemindahan, pemeliharaan dan
penggunaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai berikut
kelengkapan catatan yang menyertainya.
Tenaga Kefarmasian wajib melakukan pengecekan terhadap
Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang diserahkan,
mencakup jumlah kemasan/peti, jenis dan jumlah Sediaan Farmasi,
bentuk Sediaan Farmasi sesuai dengan isi dokumen LPLPO,
- 15 -

ditandatangani oleh Tenaga Kefarmasian, dan diketahui oleh Kepala


Puskesmas. Bila tidak memenuhi syarat, maka Tenaga Kefarmasian
dapat mengajukan keberatan.
Masa kedaluwarsa minimal dari Sediaan Farmasi yang diterima
disesuaikan dengan periode pengelolaan di Puskesmas ditambah satu
bulan.

D. Penyimpanan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai


Penyimpanan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
merupakan suatu kegiatan pengaturan terhadap Sediaan Farmasi
yang diterima agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik
maupun kimia dan mutunya tetap terjamin, sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan.
Tujuannya adalah agar mutu Sediaan Farmasi yang tersedia di
puskesmas dapat dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan.
Penyimpanan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. bentuk dan jenis sediaan;
2. kondisi yang dipersyaratkan dalam penandaan di kemasan
Sediaan Farmasi, seperti suhu penyimpanan, cahaya, dan
kelembaban;
3. mudah atau tidaknya meledak/terbakar;
4. narkotika dan psikotropika disimpan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
5. tempat penyimpanan Sediaan Farmasi tidak dipergunakan untuk
penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi.

E. Pendistribusian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai


Pendistribusian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
merupakan kegiatan pengeluaran dan penyerahan Sediaan Farmasi
dan Bahan Medis Habis Pakai secara merata dan teratur untuk
memenuhi kebutuhan sub unit/satelit farmasi Puskesmas dan
jaringannya.
Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan Sediaan Farmasi
sub unit pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas
dengan jenis, mutu, jumlah dan waktu yang tepat.
- 16 -

Sub-sub unit di Puskesmas dan jaringannya antara lain:


1. Sub unit pelayanan kesehatan di dalam lingkungan Puskesmas;
2. Puskesmas Pembantu;
3. Puskesmas Keliling;
4. Posyandu; dan
5. Polindes.
Pendistribusian ke sub unit (ruang rawat inap, UGD, dan lain-lain)
dilakukan dengan cara pemberian Obat sesuai resep yang diterima
(floor stock), pemberian Obat per sekali minum (dispensing dosis
unit) atau kombinasi, sedangkan pendistribusian ke jaringan
Puskesmas dilakukan dengan cara penyerahan Obat sesuai dengan
kebutuhan (floor stock).

F. Pemusnahan dan penarikan


Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan
cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi
standar/ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan oleh
pemilik izin edar berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM
(mandatory recall) atau berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik izin
edar (voluntary recall) dengan tetap memberikan laporan kepada Kepala
BPOM.
Penarikan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan terhadap produk
yang izin edarnya dicabut oleh Menteri.
Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi dan Bahan
Medis Habis Pakai bila:
1. produk tidak memenuhi persyaratan mutu;
2. telah kadaluwarsa;
3. tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan
kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan; dan/atau
4. dicabut izin edarnya.
Tahapan pemusnahan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis
Pakai terdiri dari:
1. membuat daftar Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
yang akan dimusnahkan;
2. menyiapkan Berita Acara Pemusnahan;
- 17 -

3. mengoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan


kepada pihak terkait;
4. menyiapkan tempat pemusnahan; dan
5. melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk
sediaan serta peraturan yang berlaku.

G. Pengendalian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai


Pengendalian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
adalah suatu kegiatan untuk memastikan tercapainya sasaran yang
diinginkan sesuai dengan strategi dan program yang telah ditetapkan
sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/kekosongan Obat di
unit pelayanan kesehatan dasar.
Tujuannya adalah agar tidak terjadi kelebihan dan kekosongan
Obat di unit pelayanan kesehatan dasar.
Pengendalian Sediaan Farmasi terdiri dari:
1. Pengendalian persediaan;
2. Pengendalian penggunaan; dan
3. Penanganan Sediaan Farmasi hilang, rusak, dan kadaluwarsa.

H. Administrasi
Administrasi meliputi pencatatan dan pelaporan terhadap seluruh
rangkaian kegiatan dalam pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan
Medis Habis Pakai, baik Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis
Pakai yang diterima, disimpan, didistribusikan dan digunakan di
Puskesmas atau unit pelayanan lainnya.
Tujuan pencatatan dan pelaporan adalah:
1. Bukti bahwa pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
Habis Pakai telah dilakukan;
2. Sumber data untuk melakukan pengaturan dan pengendalian; dan
3. Sumber data untuk pembuatan laporan.

I. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan


Medis Habis Pakai
Pemantauan dan evaluasi pengelolaan Sediaan Farmasi dan
Bahan Medis Habis Pakai dilakukan secara periodik dengan tujuan
untuk:
- 18 -

1. mengendalikan dan menghindari terjadinya kesalahan dalam


pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
sehingga dapat menjaga kualitas maupun pemerataan pelayanan;
2. memperbaiki secara terus-menerus pengelolaan Sediaan Farmasi
dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
3. memberikan penilaian terhadap capaian kinerja pengelolaan.
Setiap kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
Habis Pakai, harus dilaksanakan sesuai standar prosedur operasional.
Standar Prosedur Operasional (SPO) ditetapkan oleh Kepala
Puskesmas. SPO tersebut diletakkan di tempat yang mudah dilihat.
Contoh standar prosedur operasional sebagaimana terlampir.
- 19 -

BAB III
PELAYANAN FARMASI KLINIK

Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari Pelayanan


Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien
berkaitan dengan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Pelayanan farmasi klinik bertujuan untuk:
1. Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas.
2. Memberikan Pelayanan Kefarmasian yang dapat menjamin efektivitas,
keamanan dan efisiensi Obat dan Bahan Medis Habis Pakai.
3. Meningkatkan kerjasama dengan profesi kesehatan lain dan kepatuhan
pasien yang terkait dalam Pelayanan Kefarmasian.
4. Melaksanakan kebijakan Obat di Puskesmas dalam rangka
meningkatkan penggunaan Obat secara rasional.
Pelayanan farmasi klinik meliputi:
1. Pengkajian dan pelayanan Resep
2. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
3. Konseling
4. Visite Pasien (khusus Puskesmas rawat inap)
5. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
7. Evaluasi Penggunaan Obat

A. Pengkajian dan pelayanan Resep


Kegiatan pengkajian resep dimulai dari seleksi persyaratan
administrasi, persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik
untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.
Persyaratan administrasi meliputi:
1. Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien.
2. Nama, dan paraf dokter.
3. Tanggal resep.
4. Ruangan/unit asal resep.
Persyaratan farmasetik meliputi:
1. Bentuk dan kekuatan sediaan.
2. Dosis dan jumlah Obat.
- 20 -

3. Stabilitas dan ketersediaan.


4. Aturan dan cara penggunaan.
5. Inkompatibilitas (ketidakcampuran Obat).
Persyaratan klinis meliputi:
1. Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan Obat.
2. Duplikasi pengobatan.
3. Alergi, interaksi dan efek samping Obat.
4. Kontra indikasi.
5. Efek adiktif.
Kegiatan Penyerahan (Dispensing) dan Pemberian Informasi Obat
merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap
menyiapkan/meracik Obat, memberikan label/etiket, menyerahan
sediaan farmasi dengan informasi yang memadai disertai
pendokumentasian.
Tujuan:
1. Pasien memperoleh Obat sesuai dengan kebutuhan
klinis/pengobatan.
2. Pasien memahami tujuan pengobatan dan mematuhi intruksi
pengobatan.

B. Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker
untuk memberikan informasi secara akurat, jelas dan terkini kepada
dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.
Tujuan:
1. Menyediakan informasi mengenai Obat kepada tenaga kesehatan
lain di lingkungan Puskesmas, pasien dan masyarakat.
2. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang
berhubungan dengan Obat (contoh: kebijakan permintaan Obat
oleh jaringan dengan mempertimbangkan stabilitas, harus
memiliki alat penyimpanan yang memadai).
3. Menunjang penggunaan Obat yang rasional.
Kegiatan:
1. Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen
secara pro aktif dan pasif.
2. Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan
melalui telepon, surat atau tatap muka.
- 21 -

3. Membuat buletin, leaflet, label Obat, poster, majalah dinding


dan lain-lain.
4. Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan
rawat inap, serta masyarakat.
5. Melakukan pendidikan dan/atau pelatihan bagi tenaga
kefarmasian dan tenaga kesehatan lainnya terkait dengan Obat
dan Bahan Medis Habis Pakai.
6. Mengoordinasikan penelitian terkait Obat dan kegiatan
Pelayanan Kefarmasian.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:
1. Sumber informasi Obat.
2. Tempat.
3. Tenaga.
4. Perlengkapan.

C. Konseling
Merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan
penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan penggunaan
Obat pasien rawat jalan dan rawat inap, serta keluarga pasien.
Tujuan dilakukannya konseling adalah memberikan pemahaman
yang benar mengenai Obat kepada pasien/keluarga pasien antara lain
tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara dan lama penggunaan
Obat, efek samping, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan dan
penggunaan Obat.
Kegiatan:
1. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.
2. Menanyakan hal-hal yang menyangkut Obat yang dikatakan
oleh dokter kepada pasien dengan metode pertanyaan terbuka
(open-ended question), misalnya apa yang dikatakan dokter
mengenai Obat, bagaimana cara pemakaian, apa efek yang
diharapkan dari Obat tersebut, dan lain-lain.
3. Memperagakan dan menjelaskan mengenai cara penggunaan Obat
4. Verifikasi akhir, yaitu mengecek pemahaman pasien,
mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang berhubungan
dengan cara penggunaan Obat untuk mengoptimalkan tujuan
terapi.
- 22 -

Faktor yang perlu diperhatikan:


1. Kriteria pasien:
a. Pasien rujukan dokter.
b. Pasien dengan penyakit kronis.
c. Pasien dengan Obat yang berindeks terapetik sempit dan poli
farmasi.
d. Pasien geriatrik.
e. Pasien pediatrik.
f. Pasien pulang sesuai dengan kriteria di atas.
2. Sarana dan prasarana:
a. Ruangan khusus.
b. Kartu pasien/catatan konseling.
Setelah dilakukan konseling, pasien yang memiliki kemungkinan
mendapat risiko masalah terkait Obat misalnya komorbiditas,
lanjut usia, lingkungan sosial, karateristik Obat, kompleksitas
pengobatan, kompleksitas penggunaan Obat, kebingungan atau
kurangnya pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana
menggunakan Obat dan/atau alat kesehatan perlu dilakukan
pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care) yang
bertujuan tercapainya keberhasilan terapi Obat.

D. Ronde/Visite Pasien
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang
dilakukan secara mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya
terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi, dan lain-lain.
Tujuan:
1. Memeriksa Obat pasien.
2. Memberikan rekomendasi kepada dokter dalam pemilihan Obat
dengan mempertimbangkan diagnosis dan kondisi klinis pasien.
3. Memantau perkembangan klinis pasien yang terkait dengan
penggunaan Obat.
4. Berperan aktif dalam pengambilan keputusan tim profesi
kesehatan dalam terapi pasien.
Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan, pelaksanaan,
pembuatan dokumentasi dan rekomendasi.
Kegiatan visite mandiri:
a. Untuk Pasien Baru
- 23 -

1) Apoteker memperkenalkan diri dan menerangkan tujuan dari


kunjungan.
2) Memberikan informasi mengenai sistem pelayanan farmasi
dan jadwal pemberian Obat.
3) Menanyakan Obat yang sedang digunakan atau dibawa dari
rumah, mencatat jenisnya dan melihat instruksi dokter pada
catatan pengobatan pasien.
4) Mengkaji terapi Obat lama dan baru untuk memperkirakan
masalah terkait Obat yang mungkin terjadi.
b. Untuk pasien lama dengan instruksi baru
1) Menjelaskan indikasi dan cara penggunaan Obat baru.
2) Mengajukan pertanyaan apakah ada keluhan setelah
pemberian Obat.
c. Untuk semua pasien
1) Memberikan keterangan pada catatan pengobatan pasien.
2) Membuat catatan mengenai permasalahan dan penyelesaian
masalah dalam satu buku yang akan digunakan dalam
setiap kunjungan.
Kegiatan visite bersama tim:
a. Melakukan persiapan yang dibutuhkan seperti memeriksa
catatan pegobatan pasien dan menyiapkan pustaka penunjang.
b. Mengamati dan mencatat komunikasi dokter dengan pasien
dan/atau keluarga pasien terutama tentang Obat.
c. Menjawab pertanyaan dokter tentang Obat.
d. Mencatat semua instruksi atau perubahan instruksi pengobatan,
seperti Obat yang dihentikan, Obat baru, perubahan dosis dan
lain- lain.
Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a. Memahami cara berkomunikasi yang efektif.
b. Memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan pasien dan tim.
c. Memahami teknik edukasi.
d. Mencatat perkembangan pasien.
Pasien rawat inap yang telah pulang ke rumah ada kemungkinan
terputusnya kelanjutan terapi dan kurangnya kepatuhan
penggunaan Obat. Untuk itu, perlu juga dilakukan pelayanan
kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care) agar terwujud
- 24 -

komitmen, keterlibatan, dan kemandirian pasien dalam penggunaan


Obat sehingga tercapai keberhasilan terapi Obat.

E. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)


Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat
yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis
normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
Tujuan:
1. Menemukan efek samping Obat sedini mungkin terutama yang
berat, tidak dikenal dan frekuensinya jarang.
2. Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping Obat yang
sudah sangat dikenal atau yang baru saja ditemukan.
Kegiatan:
1. Menganalisis laporan efek samping Obat.
2. Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai resiko
tinggi mengalami efek samping Obat.
3. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
4. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.
Faktor yang perlu diperhatikan:
1. Kerja sama dengan tim kesehatan lain.
2. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.

F. Pemantauan Terapi Obat (PTO)


Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien
mendapatkan terapi Obat yang efektif, terjangkau dengan
memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping.
Tujuan:
1. Mendeteksi masalah yang terkait dengan Obat.
2. Memberikan rekomendasi penyelesaian masalah yang terkait
dengan Obat.
Kriteria pasien:
1. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
2. Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
3. Adanya multidiagnosis.
4. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
5. Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.
- 25 -

6. Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat


yang merugikan.
Kegiatan:
1. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
2. Membuat catatan awal.
3. Memperkenalkan diri pada pasien.
4. Memberikan penjelasan pada pasien.
5. Mengambil data yang dibutuhkan.
6. Melakukan evaluasi.
7. Memberikan rekomendasi.

G. Evaluasi Penggunaan Obat


Merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan Obat
secara terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin Obat
yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau
(rasional).
Tujuan:
1. Mendapatkan gambaran pola penggunaan Obat pada kasus
tertentu.
2. Melakukan evaluasi secara berkala untuk penggunaan Obat
tertentu.
Setiap kegiatan pelayanan farmasi klinik, harus dilaksanakan
sesuai standar prosedur operasional. Standar Prosedur Operasional
(SPO) ditetapkan oleh Kepala Puskesmas. SPO tersebut diletakkan di
tempat yang mudah dilihat. Contoh standar prosedur operasional
sebagaimana terlampir.
- 26 -

BAB IV
SUMBER DAYA KEFARMASIAN

A. Sumber Daya Manusia


Penyelengaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas minimal
harus dilaksanakan oleh 1 (satu) orang tenaga Apoteker sebagai
penanggung jawab, yang dapat dibantu oleh Tenaga Teknis
Kefarmasian sesuai kebutuhan.
Jumlah kebutuhan Apoteker di Puskesmas dihitung berdasarkan
rasio kunjungan pasien, baik rawat inap maupun rawat jalan serta
memperhatikan pengembangan Puskesmas. Rasio untuk
menentukan jumlah Apoteker di Puskesmas bila memungkinkan
diupayakan 1 (satu) Apoteker untuk 50 (lima puluh) pasien perhari.
Semua tenaga kefarmasian harus memiliki surat tanda
registrasi dan surat izin praktik untuk melaksanakan Pelayanan
Kefarmasian di fasilitas pelayanan kesehatan termasuk Puskesmas,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setiap tahun dapat dilakukan penilaian kinerja tenaga
kefarmasian yang disampaikan kepada yang bersangkutan dan
didokumentasikan secara rahasia. Hasil penilaian kinerja ini akan
digunakan sebagai pertimbangan untuk memberikan penghargaan
dan sanksi (reward and punishment).
Semua tenaga kefarmasian di Puskesmas harus selalu
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku dalam rangka
menjaga dan meningkatkan kompetensinya. Upaya peningkatan
kompetensi tenaga kefarmasian dapat dilakukan melalui
pengembangan profesional berkelanjutan.
1. Pendidikan dan Pelatihan
Pendidikan dan pelatihan adalah salah suatu proses atau
upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan di bidang
kefarmasian atau bidang yang berkaitan dengan kefarmasian
secara berkesinambungan untuk mengembangkan potensi dan
produktivitas tenaga kefarmasian secara optimal. Puskesmas
dapat menjadi tempat pelaksanaan program pendidikan,
pelatihan serta penelitian dan pengembangan bagi calon tenaga
kefarmasian dan tenaga kefarmasian unit lain.
- 27 -

Tujuan Umum:
a. Tersedianya tenaga kefarmasian di Puskesmas yang mampu
melaksanakan rencana strategi Puskesmas.
b. Terfasilitasinya program pendidikan dan pelatihan bagi calon
tenaga kefarmasian dan tenaga kefarmasian unit lain.
c. Terfasilitasinya program penelitian dan pengembangan bagi
calon tenaga kefarmasian dan tenaga kefarmasian unit lain.
Tujuan Khusus:
a. Tersedianya tenaga kefarmasian yang mampu melakukan
pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai.
b. Tersedianya tenaga kefarmasian yang mampu melakukan
Pelayanan Kefarmasian.
c. Terfasilitasinya studi banding, praktik dan magang bagi calon
tenaga kefarmasian internal maupun eksternal.
d. Tersedianya data Pelayanan Informasi Obat (PIO) dan
konseling tentang Obat dan Bahan Medis Habis Pakai.
e. Tersedianya data penggunaan antibiotika dan injeksi.
f. Terwujudnya Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas yang
optimal.
g. Tersedianya Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
h. Terkembangnya kualitasdanjenispelayana ruang farmasi
Puskesmas.
2. Pengembangan Tenaga Kefarmasian dan Program Pendidikan
Dalam rangka penyiapan dan pengembangan pengetahuan
dan keterampilan tenaga kefarmasian maka Puskesmas
menyelenggarakan aktivitas sebagai berikut:
a. Setiap tenaga kefarmasian di Puskesmas mempunyai
kesempatan yang sama untuk meningkatkan pengetahuan
dan keterampilannya.
b. Apoteker dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian harus
memberikan masukan kepada pimpinan dalam menyusun
program pengembangan staf.
c. Staf baru mengikuti orientasi untuk mengetahui tugas, fungsi,
wewenang dan tanggung jawabnya.
d. Melakukan analisis kebutuhan peningkatan pengetahuan dan
keterampilan bagi tenaga kefarmasian.
- 28 -

e. Tenaga kefarmasian difasilitasi untuk mengikuti program


yang diadakan oleh organisasi profesi dan institusi
pengembangan pendidikan berkelanjutan terkait.
f. Memberikan kesempatan bagi institusi lain untuk melakukan
praktik, magang, dan penelitian tentang pelayanan
kefarmasian di Puskesmas.
Pimpinan dan tenaga kefarmasian di ruang farmasi
Puskesmas berupaya berkomunikasi efektif dengan semua pihak
dalam rangka optimalisasi dan pengembangan fungsi ruang
farmasi Puskesmas.

B. Sarana dan Prasarana


Sarana yang diperlukan untuk menunjang pelayanan
kefarmasian di Puskesmas meliputi sarana yang memiliki fungsi:
1. Ruang penerimaan resep
Ruang penerimaan resep meliputi tempat penerimaan resep,
1 (satu) set meja dan kursi, serta 1 (satu) set komputer, jika
memungkinkan. Ruang penerimaan resep ditempatkan pada
bagian paling depan dan mudah terlihat oleh pasien.
2. Ruang pelayanan resep dan peracikan (produksi sediaan secara
terbatas)
Ruang pelayanan resep dan peracikan atau produksi sediaan
secara terbatas meliputi rak Obat sesuai kebutuhan dan meja
peracikan. Di ruang peracikan disediakan peralatan peracikan,
timbangan Obat, air minum (air mineral) untuk pengencer,
sendok Obat, bahan pengemas Obat, lemari pendingin,
termometer ruangan, blanko salinan resep, etiket dan label Obat,
buku catatan pelayanan resep, buku-buku referensi/standar
sesuai kebutuhan, serta alat tulis secukupnya. Ruang ini diatur
agar mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara yang cukup. Jika
memungkinkan disediakan pendingin ruangan (air conditioner)
sesuai kebutuhan.
3. Ruang penyerahan Obat
Ruang penyerahan Obat meliputi konter penyerahan Obat,
buku pencatatan penyerahan dan pengeluaran Obat. Ruang
penyerahan Obat dapat digabungkan dengan ruang penerimaan
resep.
- 29 -

4. Ruang konseling
Ruang konseling meliputi satu set meja dan kursi
konseling, lemari buku, buku-buku referensi sesuai kebutuhan,
leaflet, poster, alat bantu konseling, buku catatan konseling,
formulir jadwal konsumsi Obat (lampiran), formulir catatan
pengobatan pasien (lampiran), dan lemari arsip (filling cabinet),
serta 1 (satu) set komputer, jika memungkinkan.
5. Ruang penyimpanan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai
Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi
sanitasi, temperatur, kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk
menjamin mutu produk dan keamanan petugas. Selain itu juga
memungkinkan masuknya cahaya yang cukup. Ruang
penyimpanan yang baik perlu dilengkapi dengan rak/lemari Obat,
pallet, pendingin ruangan (AC), lemari pendingin, lemari
penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari
penyimpanan Obat khusus, pengukur suhu, dan kartu suhu.
6. Ruang arsip
Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang
berkaitan dengan pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis
Pakai dan Pelayanan Kefarmasian dalam jangka waktu tertentu.
Ruang arsip memerlukan ruangan khusus yang memadai dan
aman untuk memelihara dan menyimpan dokumen dalam
rangka untuk menjamin penyimpanan sesuai hukum, aturan,
persyaratan, dan teknik manajemen yang baik.
Istilah ‘ruang’ di sini tidak harus diartikan sebagai wujud
‘ruangan’ secara fisik, namun lebih kepada fungsi yang dilakukan.
Bila memungkinkan, setiap fungsi tersebut disediakan ruangan
secara tersendiri. Jika tidak, maka dapat digabungkan lebih dari 1
(satu) fungsi, namun harus terdapat pemisahan yang jelas antar fungsi.
- 30 -

BAB V
PENGENDALIAN MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN

Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan


untuk mencegah terjadinya masalah terkait Obat atau mencegah
terjadinya kesalahan pengobatan atau kesalahan pengobatan/medikasi
(medication error), yang bertujuan untuk keselamatan pasien (patient safety).
Unsur-unsur yang mempengaruhi mutu pelayanan:
1. Unsur masukan (input), yaitu sumber daya manusia, sarana dan
prasarana, ketersediaan dana, dan Standar Prosedur Operasional.
2. Unsur proses, yaitu tindakan yang dilakukan, komunikasi, dan kerja
sama.
3. Unsur lingkungan, yaitu kebijakan, organisasi, manajemen, budaya,
respon dan tingkat pendidikan masyarakat.
Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian terintegrasi dengan
program pengendalian mutu pelayanan kesehatan Puskesmas yang
dilaksanakan secara berkesinambungan.
Kegiatan pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian meliputi:
1. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring
dan evaluasi untuk peningkatan mutu sesuai standar.
2. Pelaksanaan, yaitu:
a. Monitoring dan evaluasi capaian pelaksanaan rencana kerja
(membandingkan antara capaian dengan rencana kerja); dan
b. memberikan umpan balik terhadap hasil capaian.
3. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu:
a. melakukan perbaikan kualitas pelayanan sesuai standar; dan
b. meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah memuaskan.
Monitoring merupakan kegiatan pemantauan selama proses
berlangsung untuk memastikan bahwa aktivitas berlangsung sesuai
dengan yang direncanakan. Monitoring dapat dilakukan oleh tenaga
kefarmasian yang melakukan proses. Aktivitas monitoring perlu
direncanakan untuk mengoptimalkan hasil pemantauan.
Contoh: monitoring pelayanan resep, monitoring penggunaan Obat,
monitoring kinerja tenaga kefarmasian.
Untuk menilai hasil atau capaian pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian,
dilakukan evaluasi. Evaluasi dilakukan terhadap data yang dikumpulkan
- 31 -

yang diperoleh melalui metode berdasarkan waktu, cara, dan teknik


pengambilan data.
Berdasarkan waktu pengambilan data, terdiri atas:
1. Retrospektif:
Pengambilan data dilakukan setelah pelayanan dilaksanakan.
Contoh: survei kepuasan pelanggan, laporan mutasi barang.
2. Prospektif:
Pengambilan data dijalankan bersamaan dengan pelaksanaan
pelayanan. Contoh: Waktu pelayanan kefarmasian disesuaikan
dengan waktu pelayanan kesehatan di Puskesmas, sesuai dengan
kebutuhan.
Berdasarkan cara pengambilan data, terdiri atas:
1. Langsung (data primer):
Data diperoleh secara langsung dari sumber informasi oleh
pengambil data.
Contoh: survei kepuasan pelanggan terhadap kualitas pelayanan
kefarmasian.
2. Tidak Langsung (data sekunder):
Data diperoleh dari sumber informasi yang tidak langsung. Contoh:
catatan penggunaan Obat, rekapitulasi data pengeluaran Obat.
Berdasarkan teknik pengumpulan data, evaluasi dapat dibagi menjadi:
1. Survei
Survei yaitu pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner.
Contoh: survei kepuasan pelanggan.
2. Observasi
Observasi yaitu pengamatan langsung aktivitas atau proses
dengan menggunakan cek list atau perekaman. Contoh: pengamatan
konseling pasien.
Pelaksanaan evaluasi terdiri atas:
1. Audit
Audit merupakan usaha untuk menyempurnakan kualitas
pelayanan dengan pengukuran kinerja bagi yang memberikan
pelayanan dengan menentukan kinerja yang berkaitan dengan
standar yang dikehendaki dan dengan menyempurnakan kinerja
tersebut. Oleh karena itu, audit merupakan alat untuk menilai,
mengevaluasi, menyempurnakan pelayanan kefarmasian secara
sistematis.
- 32 -

Terdapat 2 macam audit, yaitu:


a. Audit Klinis
Audit Klinis yaitu analisis kritis sistematis terhadap
pelayanan kefarmasian, meliputi prosedur yang digunakan untuk
pelayanan, penggunaan sumber daya, hasil yang didapat dan
kualitas hidup pasien. Audit klinis dikaitkan dengan pengobatan
berbasis bukti.
b. Audit Profesional
Audit Profesional yaitu analisis kritis pelayanan kefarmasian
oleh seluruh tenaga kefarmasian terkait dengan pencapaian
sasaran yang disepakati, penggunaan sumber daya dan hasil
yang diperoleh. Contoh: audit pelaksanaan sistem manajemen
mutu.

2. Review (pengkajian)
Review (pengkajian) yaitu tinjauan atau kajian terhadap
pelaksanaan pelayanan kefarmasian tanpa dibandingkan dengan
standar. Contoh: kajian penggunaan antibiotik.
- 33 -

BAB VI
PENUTUP

Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas ditetapkan sebagai


acuan pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Untuk
keberhasilan pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
ini diperlukan komitmen dan kerja sama semua pemangku kepentingan
terkait. Hal tersebut akan menjadikan Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas semakin optimal dan dapat dirasakan manfaatnya oleh pasien
dan masyarakat yang pada akhirnya dapat meningkatkan citra Puskesmas
dan kepuasan pasien atau masyarakat.

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

NILA FARID MOELOEK

Kepala Biro Hukum dan Direktur Jenderal Sekretaris Jenderal


Organisasi Kefarmasian dan Alat Kementerian Kesehatan
Kesehatan
CONTOH STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
PEMINDAHAN OBAT DAN BAHAN MEDIS HABIS PAKAI

Nama STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL Halaman 1 dari 1


Sarana Pelayanan PEMINDAHAN OBAT DAN BAHAN MEDIS No..……………………
.................................. HABIS PAKAI Tanggal berlaku
BAGIAN SEKSI …………………….......

Disusun oleh Diperiksa oleh Disetujui oleh Mengganti No.


…………………….. ……………………....... ……….....……………. ………………...............
Tanggal................... Tanggal....................... Tanggal....................... Tanggal........................

1. TUJUAN
Prosedur ini dibuat untuk meminimalkan kesalahan pengambilan dan mempercepat
proses penyerahan obat dan bahan medis habis pakai

2. PENANGGUNG JAWAB
Apoteker /Kepala Ruang Farmasi di Puskesmas

3. PROSEDUR
a. Memastikan sediaan yang diambil dari tempat persediaan adalah benar dan sesuai
dengan resep yang diterima
b. Memeriksa dengan teliti label sediaan seperti No. Batch dan tanggal kadaluwarsa
c. Memindahkan obat dan bahan medis habis pakai dilakukan secara FIFO (First In
First Out) atau FEFO (First Expired First Out)
d. Memastikan bahwa bagian strip yang terpotong memuat No. Batch dan tanggal
daluwarsa pada saat memotong strip

Catatan :
- Hati-hati saat memotong strip, karena pada saat memotong strip berlebihan dapat
memperlihatkan tablet/kapsul di dalam strip
- Jangan menyimpan obat dan bahan medis habis pakai dalam satu wadah dengan
kekuatan yang berbeda

Disusun oleh: Diperiksa oleh: Disetujui oleh:


CONTOH STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
PELAYANAN OBAT DAN BAHAN MEDIS HABIS PAKAI

Nama STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL Halaman 1 dari 1


Sarana Pelayanan PELAYANAN OBAT DAN BAHAN MEDIS HABIS No..……………………
................................ PAKAI Tanggal berlaku
BAGIAN SEKSI …………………….......

Disusun oleh Diperiksa oleh Disetujui oleh Mengganti No.


…………………….. ……………………........ ……….....……………. ………………...............
Tanggal................... Tanggal......................... Tanggal...................... Tanggal........................

1. TUJUAN
Prosedur ini dibuat untuk pelaksanaan pelayanan terhadap permintaan tertulis dari
dokter dan dokter gigi

2. PENANGGUNG JAWAB
Apoteker /Kepala Ruang Farmasi di Puskesmas

3. PROSEDUR
a. Skrining Resep
1) Melakukan pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan resep yaitu nama dokter,
nomor ijin praktek, alamat, tanggal penulisan resep, tanda tangan atau paraf
dokter serta nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien.
2) Melakukan pemeriksaan kesesuaian farmasetik yaitu bentuk sediaan, dosis,
frekuensi, kekuatan, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian obat
3) Mengkaji aspek klinis dengan cara melakukan patient assessment kepada pasien
yaitu adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat
dan kondisi khusus lainnya), keluhan pasien dan hal lain yang terkait dengan
kajian aspek klinis. Instruksi kerja : patient assessment terlampir (contoh:
menggunakan metode 3 prime question)
4) Menetapkan ada tidaknya masalah terkait obat (drug related problem = DRP) dan
membuat keputusan profesi (komunikasi dengan dokter, merujuk pasien ke sarana
kesehatan terkait dan sebagainya)
5) Mengkomunikasikan ke dokter tentang masalah resep apabila diperlukan
6) Membuat kartu/catatan pengobatan pasien (patient medication record)

b. Melakukan penyiapan dan penyerahan obat dan bahan medis habis pakai ke pasien

Disusun oleh: Diperiksa oleh: Disetujui oleh:


CONTOH STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
PENYIAPAN DAN PENYERAHAN RESEP RACIKAN

Nama STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL Halaman 1 dari 2


Sarana Pelayanan PENYIAPAN DAN PENYERAHAN RESEP No..……………………
................................ RACIKAN Tanggal berlaku
BAGIAN SEKSI …………………….......

Disusun oleh Diperiksa oleh Disetujui oleh Mengganti No.


…………………….. ……………………........ ……….....……………. ………………...............
Tanggal................... Tanggal......................... Tanggal....................... Tanggal.......................

1. TUJUAN
Prosedur ini dibuat untuk pelaksanaan pelayanan terhadap permintaan tertulis dari
dokter dan dokter gigi

2. PENANGGUNG JAWAB
Apoteker /Kepala Ruang Farmasi di Puskesmas

3. PROSEDUR
Penyiapan obat racikan
1) Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan pada resep
2) Menghitung kesesuaian dosis dan tidak melebihi dosis maksimum
3) Mengambil obat dan pembawanya dengan menggunakan sarung tangan/alat/
spatula/sendok
4) Menutup kembali wadah obat setelah pengambilan dan mengembalikan ke tempat
semula (untuk tablet dalam kaleng)
5) Mencatat pengeluaran obat pada kartu stok
6) Bahan baku obat ditimbang pada timbangan yang sesuai (jika ada)
7) Untuk bahan obat yang jumlahnya lebih kecil dari 30 mg maka harus dibuat
pengenceran dengan zat netral
8) Jika memungkinkan selalu dibuat bobotnya 0.5 gram
9) Dengan memperhatikan faktor inkompatibilas obat, lakukan penggerusan dan
campur hingga homogen
10) Serbuk dibagi-bagi menurut penglihatan, sebanyak-banyaknya 10 bungkus. Untuk
serbuk yang akan dibagi dalam jumlah lebih dari 10 bungkus, serbuk dibagi
dengan jalan menimbang dalam sekian bagian, sehingga dari setiap bagian
sebanyak-banyaknya dapat dibuat 10 bungkus serbuk. Penimbangan satu persatu
diperlukan jika pasien memperoleh dosis yang lebih dari 80 % takaran maksimum
untuk sekali atau dalam 24 jam.
11) Serbuk dikemas dengan kertas perkamen, kapsul atau kemasan plastik lekat.
12) Menyiapkan etiket warna putih.
13) Menulis nama pasien, nomor resep, tanggal resep, cara pakai sesuai permintaan
pada resep serta petunjuk dan informasi lain.

Disusun oleh: Diperiksa oleh: Disetujui oleh:


CONTOH STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
PENYIAPAN DAN PENYERAHAN SIRUP KERING

Nama STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL Halaman 1 dari 1


Sarana Pelayanan PENYIAPAN DAN PENYERAHAN SIRUP No..……………………
.................................. KERING Tanggal berlaku
BAGIAN SEKSI …………………….......
Disusun oleh Diperiksa oleh Disetujui oleh Mengganti No.
…………………….. ……………………........ ……….....……………. ………………...............
Tanggal................... Tanggal........................ Tanggal...................... Tanggal........................

1. TUJUAN
Prosedur ini dibuat untuk pelaksanaan pelayanan terhadap permintaan tertulis dari
dokter dan dokter gigi

2. PENANGGUNG JAWAB
Apoteker /Kepala Ruang Farmasi di Puskesmas.

3. PROSEDUR
a. Peracikan sediaan farmasi
1) Menyiapkan sirup kering sesuai dengan permintaan pada resep
2) Mencatat pengeluaran obat pada kartu stok
3) Membuka botol obat, apabila pengenceran dilakukan di Puskesmas
4) Mengencerkan sirup kering dengan air yang layak minum sesuai takaran
5) Menyiapkan etiket warna putih dan label kocok dahulu
6) Menulis nama pasien, nomor resep, tanggal resep, cara pakai sesuai permintaan
pada resep serta petunjuk dan informasi lain.

b. Penyerahan obat sirup kering


1) Melakukan pemeriksaan akhir sebelum dilakukan penyerahan (kesesuaian antara
penulisan etiket dengan resep)
2) Memanggil nama dan nomor tunggu pasien
3) Memeriksa identitas dan alamat pasien
4) Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat
5) Meminta pasien untuk mengulang informasi yang telah disampaikan
6) Menyimpan resep pada tempatnya dan mendokumentasikan
7) Mendokumentasikan semua tindakan apoteker dalam Catatan Pengobatan Pasien
(patient medication record = PMR)
8) Monitoring ke pasien tentang keberhasilan terapi, efek samping dan sebagainya.

Disusun oleh: Diperiksa oleh: Disetujui oleh:


CONTOH STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
PELAYANAN INFORMASI OBAT

Nama STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL Halaman 1 dari 1


Sarana Pelayanan PELAYANAN INFORMASI OBAT No..……………………
............................... Tanggal berlaku
BAGIAN SEKSI …………………….......
…………………… ………………….
Disusun oleh Diperiksa oleh Disetujui oleh Mengganti No.
…………………….. ……………………........ ……….....……………. ………………...............
Tanggal................... Tanggal.......................... Tanggal..................... Tanggal........................

1. TUJUAN
Prosedur ini dibuat untuk pelaksanaan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh
Apoteker untuk memberikan informasi dan konsultasi secara akurat, tidak bias, faktual,
terkini, mudah dimengerti, etis dan bijaksana

2. PENANGGUNG JAWAB
Apoteker /Kepala Ruang Farmasi di Puskesmas

3. PROSEDUR
a. Memberikan informasi kepada pasien berdasarkan resep atau catatan pengobatan
pasien (patient medication record) atau kondisi kesehatan pasien baik lisan maupun
tertulis
b. Melakukan penelusuran literatur bila diperlukan, secara sistematis untuk
memberikan informasi
c. Menjawab pertanyaan pasien dengan jelas dan mudah dimengerti, tidak bias, etis
dan bijaksana baik secara lisan maupun tertulis
d. Hal-hal yang perlu disampaikan kepada pasien :
1) Jumlah, jenis dan kegunaan masing-masing obat
2) Bagaimana cara pemakaian masing-masing obat yang meliputi : bagaimana cara
memakai obat, kapan harus mengkonsumsi/menggunakan obat, seberapa
banyak/dosis dikonsumsi sebelumnya, waktu sebelum atau sesudah makan,
frekuensi penggunaan obat/rentang jam penggunaan
3) Bagaimana cara menggunakan peralatan kesehatan
4) Peringatan atau efek samping obat
5) Bagaimana mengatasi jika terjadi masalah efek samping obat
6) Tata cara penyimpanan obat
7) Pentingnya kepatuhan penggunaan obat
e. Menyediakan informasi aktif (brosur, leaflet, dan lain-lain)
f. Mendokumentasikan setiap kegiatan pelayanan informasi obat

Disusun oleh: Diperiksa oleh: Disetujui oleh:


CONTOH STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
KONSELING

Nama STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL Halaman 1 dari 1


Sarana Pelayanan KONSELING No..……………………
.................................. Tanggal berlaku
BAGIAN SEKSI …………………….......
……………….. …………………
Disusun oleh Diperiksa oleh Disetujui oleh Mengganti No.
…………………….. ……………………........ ……….....……………. ………………...............
Tanggal................ Tanggal………………. Tanggal..................... Tanggal.........................

1. TUJUAN
Prosedur ini dibuat untuk melakukan kegiatan konseling pasien dengan resep, sesuai
dengan kondisi pasien

2. PENANGGUNG JAWAB
Apoteker/Kepala Ruang Farmasi di Puskesmas

3. PROSEDUR
a. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien/keluarga pasien
b. Menanyakan 3 (tiga) pertanyaan kunci menyangkut obat yang dikatakan oleh
dokter kepada pasien dengan metode pertanyaan terbuka (open-ended question).

Untuk resep baru bisa dengan 3 prime question :


1) Apa yang telah dokter katakan mengenai obat ini ?
2) Bagaimana dokter menerangkan cara pemakaian ?
3) Apa hasil yang diharapkan dokter dari pengobatan ini ?

Untuk resep ulang :


1) Apa gejala atau keluhan yang dirasakan pasien?
2) Bagaimana cara pemakaian obat?
3) Apakah ada keluhan selama penggunaan obat?
c. Memperagakan dan menjelaskan mengenai pemakaian obat tertentu (inhaler,
suppositoria, obat tetes, dan lain-lain)
d. Melakukan verifikasi akhir meliputi :
1) Mengecek pemahaman pasien
2) Mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan cara
penggunaan obat untuk mengoptimalkan terapi
e. Melakukan pencatatan konseling yang dilakukan pada kartu pengobatan

Disusun oleh: Diperiksa oleh: Disetujui oleh:


CONTOH STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
PELAYANAN HOME CARE

Sarana STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL Halaman 1 dari 1


Pelayanan PELAYANAN HOME CARE No
........................... ……………………
.... BAGIAN SEKSI Tanggal berlaku
…………………. ………………… ………………….
Disusun oleh Diperiksa oleh Disetujui oleh Mengganti No.
…………………….. ……………………...... ……………....…… ………………........
. . … ..
Tanggal Tanggal Tanggal Tanggal
........................... ............................... …......................... ...........................
.... ..... .... ....

1. TUJUAN
Prosedur ini dibuat untuk melakukan kegiatan pelayanan kefarmasian
yang diberikan di rumah untuk pasien yang keadaan fisiknya tidak
memungkinkan datang ke Apotek

2. PENANGGUNG JAWAB
Apoteker /Kepala Ruang Farmasi di Puskesmas

3. CARA HOME CARE


a. Dengan melakukan kunjungan langsung ke rumah pasien
b. Dengan melalui telepon

4. RUANG LINGKUP
a. Informasi penggunaan obat
b. Konseling pasien
c. Memantau kondisi pasien pada saat menggunakan obat dan kondisi
pasien setelah menggunakan obat serta kepatuhan pasien dalam
minum obat

5. PROSEDUR
a Melakukan seleksi pasien melalui kartu/ catatan pengobatan pasien
(patient medication record = PMR)
b Menawarkan kepada pasien untuk dilakukan pelayanan home care.
c Mempelajari riwayat pengobatan pasien dari catatan pengobatan
pasien (patient medication record = PMR).
d Melakukan kesepakatan untuk melaksanakan kunjungan ke rumah.
e Melakukan kunjungan ke rumah.
f Melakukan tindak lanjut dengan memanfaatkan sarana komunikasi
yang ada atau kunjungan berikutnya secara berkesinambungan.
g Melakukan pencatatan dan evaluasi pengobatan setelah kunjungan
dan tindak lanjut yang telah dilakukan.

Disusun oleh: Diperiksa oleh: Disetujui oleh:


FORMULIR PELAYANAN INFORMASI OBAT

No. …..... Tanggal : …………………………….. Waktu : …… Metode :


Lisan/Tertulis/Telepon )*
1. Identitas Penanya
Nama ………………………………………………….. No. Telp.
……………………………………
Status : Pasien / Keluarga Pasien / Petugas Kesehatan
(………………………………………..)*
2. Data Pasien
Umur : …….tahun; Tinggi : ….... cm; Berat : ………kg; Jenis kelamin : Laki-
laki/Perempuan )*
Kehamilan : Ya (……minggu)/Tidak )* Menyusui : Ya/Tidak )*
3. Pertanyaan
Uraian Pertanyaan :
…………………………………………………………………………………………………………
…..
…………………………………………………………………………………………………………
…..
…………………………………………………………………………………………………………
…..
Jenis Pertanyaan:
Identifikasi Obat Stabilitas Farmakokinetika
Interaksi Obat Dosis Farmakodinamika
Harga Obat Keracunan Ketersediaan Obat
Kontra Indikasi Efek Samping Obat Lain-lain
Cara Pemakaian Penggunaan …………………..
Terapeutik
4. Jawaban
…………………………………………………………………………………………………………
…..
…………………………………………………………………………………………………………
…..
…………………………………………………………………………………………………………
…..
5. Referensi
…………………………………………………………………………………………………………
…..
…………………………………………………………………………………………………………
…..
6. Penyampaian Jawaban : Segera/Dalam 24 jam/Lebih dari 24 jam )*
Apoteker yang menjawab : …………………………………………………………………………
Tanggal : ……………………………… Waktu : ………………………………….
Metode Jawaban : Lisan/Tertulis/Telepon )*
*) coret yang tidak perlu
FORMULIR KUESIONER KEPUASAN PASIEN

KUESIONER KEPUASAN PASIEN

Persepsi Konsumen Terhadap Harapan dalam Pelayanan


Kefarmasian di Puskesmas

Beri tanda contreng (√) pada kolom yang sesuai dengan penilaian
Bapak/Ibu Sdr/Sdri.

Sangat Tidak
Puas
No Jenis Pelayanan Puas Puas
3 2 1
Ketanggapan Apoteker
1
terhadap Pasien
2 Keramahan Apoteker
Kejelasan Apoteker dalam
3
Memberikan Informasi Obat
4 Kecepatan Pelayanan Obat
Kelengkapan Obat dan Alat
5
Kesehatan
6 Kenyamanan Ruang Tunggu
7 Kebersihan Ruang Tunggu
Ketersediaan Brosur, Leaflet,
8 Poster, dan lain-lain sebagai
Informasi Obat/Kesehatan
SKOR TOTAL

Saran : _________________________________________
_________________________________________
_________________________________________
LEMBAR CHECKLIST PEMBERIAN INFORMASI OBAT PASIEN RAWAT
JALAN
PERIODE …………….

Puskesmas : ………………
Hari/Tgl :…………........

INFORMASI YANG DIBERIKAN

KONTRAINDIKASI
NAMA

EFEK SAMPING
PENYIMPANAN
CARA PAKAI
NAMA OBAT

NO UMUR POLI Dx PENUNJANG

STABILITAS

INTERAKSI
Petugas

LAIN-LAIN
SEDIAAN

INDIKASI
PASIEN
DOSIS

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Dst..

Catatan:
- Kolom (2) : diisi dengan nama pasien rawat jalan
- Kolom (3) : diisi dengan umur pasien
- Kolom (4) : diisi dengan asal poliklinik
- Kolom (5) : diisi dengan diagnosis pasien
- Kolom (6) : diisi dengan pemeriksaan penunjang pasien (misal pemeriksaan lab)
- Kolom (7) : diisi dengan tanda (√) bila diberi informasi tentang nama obat
- Kolom (8) : diisi dengan tanda (√) bila diberi informasi tentang jenis sediaan
- Kolom (9) : diisi dengan tanda (√) bila diberi informasi tentang dosis obat
- Kolom (10) : diisi dengan tanda (√) bila diberi informasi tentang cara pemakaian obat
- Kolom (11) : diisi dengan tanda (√) bila diberi informasi tentang cara penyimpanan
- Kolom (12) : diisi dengan tanda (√) bila diberi informasi tentang indikasi obat
- Kolom (13) : diisi dengan tanda (√) bila diberi informasi tentang kontraindikasi obat
- Kolom (14) : diisi dengan tanda (√) bila diberi informasi tentang stabilitas
- Kolom (15) : diisi dengan tanda (√) bila diberi informasi tentang efek samping
- Kolom (16) : diisi dengan tanda (√) bila diberi informasi tentang interaksi
- Kolom (17) : diisi dengan tanda (√) bila diberi informasi tentang hal lain
- Kolom (18) : diisi dengan nama dan paraf petugas farmasi
Form. PMR
CATATAN PENGOBATAN PASIEN
Nama/No.Reg. : ______________________________________ Pekerjaan : ______________________________________
Alamat : ______________________________________ Jenis Kelamin & Umur : ______________________________________
No. Telp/HP : ______________________________________ TB/BB/Gol. Darah : ______________________________________

Terapi
No Tgl. Nama Dokter Kasus Catatan Pelayanan Apoteker/Pengelola Obat
(Nama Obat/Dosis/Cara Pemberian)
Form. 1

LAPORAN BULANAN PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS


Nama Puskesmas :…………………………...................................... Perawatan/Non Perawatan : …………….
Kabupaten/Kota : ……………………………………………………….
Provinsi : …………………………………………...................
Laporan Bulan/tahun : ………………………………/tahun ……………...

Jenis Pelayanan Resep Konseling Informasi Obat


No Tanggal
Rawat Jalan Rawat Inap
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

TOTAL N

……………,………….20……
Yang Melaporkan, Mengetahui,
Pengelola Obat Kepala Puskesmas

………………………………………… …………………………………….
NIP. ………………………………. NIP. ……………………………………

Catatan:
- Kolom (3) : diisi jumlah lembar resep yang diterima dari rawat jalan dalam satu hari
- Kolom (4) : diisi jumlah lembar resep yang diterima dari rawat inap dalam satu hari
- Kolom (5) : diisi jumlah pasien yang mendapatkan konseling obat serta didokumentasikan
Kolom (6) : diisi jumlah pasien yang mendapatkan informasi obat tentang penggunaan, cara penyimpanan, efek samping dll serta
didokumentasikan
- n : diisi jumlah TOTAL lembar resep yang diterima dari rawat jalan dan rawat inap dalam satu hari

Laporan ditujukan kepada (fax/ email):


1. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota
2. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi (sebagai tembusan)
3. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian – Ditjen Bina Kefarmasian dan Alkes (fax : 021-5203878 / email: ditbinayanfar@yahoo.co.id
(sebagai tembusan)
REKAP DINAS KESEHATAN KABUPATEN/KOTA Form. 2
LAPORAN BULANAN PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS

Kabupaten/Kota : ……………………………………………………………………………
Provinsi : ……………………………………………………………………………
Laporan Bulan/tahun : …………………………………/tahun ……………..
Total Jumlah Puskesmas Perawatan dan Non perawatan di Kab/Kota (Kondisi 1 Januari tahun berjalan) : …………………

No Nama Puskesmas Jumlah R/ Jumlah Konseling Jumlah Informasi Obat


(Perawatan/Non Perawatan)
(1) (2) (3) (4) (5)

…………………………,…………………….20……
Yang melaporkan, Mengetahui
Petugas/Penanggung Jawab Farmasi Kepala Dinas Kesehatan Kab/kota
Dinas Kesehatan Kab/Kota

……………………………………. …… ………………………………………….
NIP. ……………………………………. NIP. ……………………………………

Catatan:
- Kolom (2) : diisi nama puskesmas perawatan/ non perawatan yang melaporkan pelaksanaan pelayanan kefarmasian
- Kolom (3) : diisi jumlah TOTAL lembar resep yang diterima dari rawat jalan dan rawat inap satu hari
- Kolom (4) : diisi jumlah pasien puskesmas perawatan/ non perawatan yang mendapatkan konseling obat serta didokumentasikan
- Kolom (5) : diisi jumlah pasien puskesmas perawatan/ non perawatan yang mendapatkan informasi obat tentang penggunaan, cara penyimpanan, efek samping dll serta didokumentasikan
- N : diisi jumlah TOTAL Puskesmas perawatan dan non perawatan yang melaporkan pelaksanaan pelayanan kefarmasian di Kab/Kota

Laporan ditujukan kepada (fax/ email):


1. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
2. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian – Ditjen Bina Kefarmasian dan Alkes (fax : 021-5203878 / email: ditbinayanfar@yahoo.co.id ) (sebagai tembusan)
Form. 3
REKAPITULASI DINAS KESEHATAN PROVINSI
LAPORAN BULANAN PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS

Provinsi : ……………………………………………………………………………
Laporan Bulan/tahun : …………………………………/tahun ……………..
Total Jumlah Puskesmas Perawatan dan Non Perawatan (Kondisi 1 Januari tahun berjalan) : ......(Y)...

Total puskesmas perawatan dan non perawatan yang


No Kabupaten
melaksanakan Pelayanan kefarmasian
(1) (2) (3)

TOTAL N
PERSENTASE %

……….……,……….20………
Yang Melaporkan, Mengetahui
Petugas/Penanggung Jawab Farmasi Penanggung Jawab Farmasi
Dinas Kesehatan Provinsi

……………………………………. …… ………………………………………….
NIP. ……………………………………. NIP. ……………………………………

Catatan:
- Kolom (2) : diisi nama Kabupaten/ Kota yang melaporkan pelaksanaan pelayanan kefarmasian di puskesmas
- Kolom (3) : diisi jumlah puskesmas perawatan dan non perawatan yang melaporkan pelaksanaan kefarmasian di Kab/ Kota
- N : diisi jumlah TOTAL puskesmas perawatan dan non perawatan yang melaporkan pelaksanaan pelayanan kefarmasian di provinsi
- % : diisi persentase puskesmas perawatan dan non perawatan yang melaporkan pelaksanaan pelayanan kefarmasian di provinsi ( %=N/Y x 100% )
-
Laporan ditujukan kepada (fax/ email):
1. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian –Ditjen Bina kefarmasian dan Alat kesehatan (fax: 021-5203878 / email: ditbinayanfar@yahoo.co.id)
KOMPILASI LAPORAN BULANAN PROVINSI DI INDONESIA Form. 4

TAHUN …………….

Periode : Triwulan 1 / 2 / 3 / 4

JUMLAH PUSKESMAS YANG


JUMLAH KABUPATEN YANG
No PROVINSI JUMLAH KABUPATEN JUMLAH PUSKESMAS MELAKSANAKAN PELAYANAN
MELAPOR
KEFARMASIAN
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

TOTAL n A B C D

PERSENTASE E

…………………………,…………………….20……
Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian

……………………………………. ……
NIP. …………………………………….

Catatan:
n : Jumlah Total Provinsi yang melapor
A : Jumlah Total Kabupaten di Indonesia per 1 Januari tahun berjalan
B : Jumlah kabupaten yang melapor
C : Total dari jumlah total puskesmas per Prop per 1 Januari tahun berjalan
D : Total dari Jumlah Puskesmas yang melapor
E : Total % dari Jumlah Puskesmas yang melakukan pelayanan Kefarmasian sesuai standar (=D/C x 100 %)
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 73 TAHUN 2016
TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun


2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek masih belum memenuhi
kebutuhan hukum di masyarakat sehingga perlu
dilakukan perubahan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang


Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3671);
-2-

2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang


Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5062);
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063);
4. Undang­Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang­Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5679);
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 96, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5419);
8. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen, sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 145 Tahun
-3-

2015 tentang Perubahan Kedelapan atas Keputusan


Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan
Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Kementerian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 322);
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 1508);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat
dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker.
2. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur
yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga
kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian.
3. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang
berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien.
4. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau
dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk
paper maupun electronic untuk menyediakan dan
menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang
berlaku.
5. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat
tradisional dan kosmetika.
-4-

6. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk


produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi
atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosis,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.
7. Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin
dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang
digunakan untuk mencegah, mendiagnosis,
menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat
orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia,
dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki
fungsi tubuh.
8. Bahan Medis Habis Pakai adalah alat kesehatan yang
ditujukan untuk penggunaan sekali pakai (single use)
yang daftar produknya diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
9. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus
sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah
jabatan apoteker.
10. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang
membantu apoteker dalam menjalani Pekerjaan
Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli
Madya Farmasi, dan Analis Farmasi.
11. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pada
Kementerian Kesehatan yang bertanggung jawab di
bidang kefarmasian dan alat kesehatan.
12. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang
selanjutnya disingkat Kepala BPOM adalah Kepala
Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang
mempunyai tugas untuk melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang pengawasan obat dan
makanan.
13. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
-5-

Pasal 2
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
bertujuan untuk:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian;
dan
c. melindungi pasien dan masyarakat dari
penggunaan Obat yang tidak rasional dalam rangka
keselamatan pasien (patient safety).

Pasal 3
(1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi
standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.
(2) Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. perencanaan;
b. pengadaan;
c. penerimaan;
d. penyimpanan;
e. pemusnahan;
f. pengendalian; dan
g. pencatatan dan pelaporan.
(3) Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. pengkajian Resep;
b. dispensing;
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
d. konseling;
e. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy
care);
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
-6-

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sediaan


Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai dan pelayanan farmasi klinik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 4
(1) Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek harus didukung oleh ketersediaan sumber
daya kefarmasian yang berorientasi kepada
keselamatan pasien.
(2) Sumber daya kefarmasian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. sumber daya manusia; dan
b. sarana dan prasarana.

Pasal 5
(1) Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di
Apotek, harus dilakukan evaluasi mutu Pelayananan
Kefarmasian.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi mutu
Pelayananan Kefarmasian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.

Pasal 6
Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Apotek harus
menjamin ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang aman,
bermutu, bermanfaat, dan terjangkau.

Pasal 7
Penyelenggarakan Pelayanan Kefarmasian di Apotek wajib
mengikuti Standar Pelayanan Kefarmasian sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri ini.
-7-

Pasal 8
Apotek wajib mengirimkan laporan Pelayanan
Kefarmasian secara berjenjang kepada dinas kesehatan
kabupaten/kota, dinas kesehatan provinsi, dan
kementerian kesehatan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 9
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Menteri,
kepala dinas kesehatan provinsi, dan kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan
fungsi masing-masing.
(2) Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melibatkan organisasi profesi.

Pasal 10
(1) Pengawasan selain dilaksanakan oleh Menteri, kepala
dinas kesehatan provinsi dan kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
Ayat (1), khusus terkait dengan pengawasan sediaan
farmasi dalam pengelolaan sediaan farmasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a
dilakukan juga oleh Kepala BPOM sesuai dengan tugas
dan fungsi masing-masing.
(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Kepala BPOM dapat melakukan pemantauan,
pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap
pengelolaan sediaan farmasi di instansi pemerintah
dan masyarakat di bidang pengawasan sediaan
farmasi.
-8-

Pasal 11
(1) Pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan
provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan
pengawasan yang dilakukan oleh Kepala BPOM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
dilaporkan secara berkala kepada Menteri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun.

Pasal 12
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan
Menteri ini dapat dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan; dan/atau
c. pencabutan izin.

Pasal 13
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku,
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1162)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 35 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1169),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 14
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
-9-

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2016

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

NILA FARID MOELOEK

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Januari 2017

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 50

uju
-10-

LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 73 TAHUN 2016
TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN
DI APOTEK

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
menyebutkan bahwa praktik kefarmasian meliputi pembuatan
termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian Obat, pelayanan Obat
atas Resep dokter, pelayanan informasi Obat serta pengembangan
Obat, bahan Obat dan Obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan kewenangan pada peraturan perundang-undangan,
Pelayanan Kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula
hanya berfokus kepada pengelolaan Obat (drug oriented) berkembang
menjadi pelayanan komprehensif meliputi pelayanan Obat dan
pelayanan farmasi klinik yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun
2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian menyatakan bahwa Pekerjaan
Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian atau penyaluran Obat, pengelolaan Obat, pelayanan
Obat atas Resep dokter, pelayanan informasi Obat, serta
pengembangan Obat, bahan Obat dan Obat tradisional. Pekerjaan
kefarmasian tersebut harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Peran Apoteker
dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan
-11-

perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien.


Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah pemberian informasi
Obat dan konseling kepada pasien yang membutuhkan.
Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan
terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses
pelayanan dan mengidentifikasi, mencegah, serta mengatasi masalah
terkait Obat (drug related problems), masalah farmakoekonomi, dan
farmasi sosial (socio- pharmacoeconomy). Untuk menghindari hal
tersebut, Apoteker harus menjalankan praktik sesuai standar
pelayanan. Apoteker juga harus mampu berkomunikasi dengan
tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk
mendukung penggunaan Obat yang rasional. Dalam melakukan
praktik tersebut, Apoteker juga dituntut untuk melakukan
monitoring penggunaan Obat, melakukan evaluasi serta
mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya. Untuk
melaksanakan semua kegiatan itu, diperlukan Standar Pelayanan
Kefarmasian.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
di bidang kefarmasian telah terjadi pergeseran orientasi Pelayanan
Kefarmasian dari pengelolaan Obat sebagai komoditi kepada
pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care) dalam
pengertian tidak saja sebagai pengelola Obat namun dalam
pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian
informasi untuk mendukung penggunaan Obat yang benar dan
rasional, monitoring penggunaan Obat untuk mengetahui tujuan
akhir, serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan.

B. Ruang Lingkup
Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi 2 (dua) kegiatan,
yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan
pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus didukung oleh
sumber daya manusia, sarana dan prasarana.
-12-

BAB II
PENGELOLAAN SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN, DAN BAHAN
MEDIS HABIS PAKAI

Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis


Pakai dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan.
A. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai perlu diperhatikan pola
penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.

B. Pengadaan
Untuk menjamin kualitas Pelayanan Kefarmasian maka
pengadaan Sediaan Farmasi harus melalui jalur resmi sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.

C. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian
jenis spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang
tertera dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.

D. Penyimpanan
1. Obat/bahan Obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.
Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan
pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi
dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah
sekurang- kurangnya memuat nama Obat, nomor batch dan
tanggal kadaluwarsa.
2. Semua Obat/bahan Obat harus disimpan pada kondisi yang
sesuai sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.
3. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk
penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi
4. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk
sediaan dan kelas terapi Obat serta disusun secara alfabetis.
-13-

5. Pengeluaran Obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out)


dan FIFO (First In First Out)

E. Pemusnahan dan penarikan


1. Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai
dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan Obat
kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika atau
psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
Pemusnahan Obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan
oleh Apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain
yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja.
Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara pemusnahan
menggunakan Formulir 1 sebagaimana terlampir.
2. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima)
tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan Resep dilakukan oleh
Apoteker disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di
Apotek dengan cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang
dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan Resep
menggunakan Formulir 2 sebagaimana terlampir dan
selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan
kabupaten/kota.
3. Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
Habis Pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan
dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
4. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi
standard/ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan
oleh pemilik izin edar berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM
(mandatory recall) atau berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik
izin edar (voluntary recall) dengan tetap memberikan laporan
kepada Kepala BPOM.
5. Penarikan Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai
dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh
Menteri.
-14-

F. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan
jumlah persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan
sistem pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran.
Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan,
kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta
pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan
menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau elektronik.
Kartu stok sekurang- kurangnya memuat nama Obat, tanggal
kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa
persediaan.

G. Pencatatan dan Pelaporan


Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi
pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok),
penyerahan (nota atau struk penjualan) dan pencatatan lainnya
disesuaikan dengan kebutuhan.
Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal.
Pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk
kebutuhan manajemen Apotek, meliputi keuangan, barang dan
laporan lainnya.
Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk
memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan
lainnya.
Petunjuk teknis mengenai pencatatan dan pelaporan akan diatur
lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
-15-

BAB III
PELAYANAN FARMASI KLINIK

Pelayanan farmasi klinik di Apotek merupakan bagian dari Pelayanan


Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien
berkaitan dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pelayanan farmasi klinik meliputi:
1. pengkajian dan pelayanan Resep;
2. dispensing;
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
4. konseling;
5. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).

A. Pengkajian dan Pelayanan Resep


Kegiatan pengkajian Resep meliputi administrasi, kesesuaian
farmasetik dan pertimbangan klinis.
Kajian administratif meliputi:
1. nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan;
2. nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor
telepon dan paraf; dan
3. tanggal penulisan Resep.
Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
1. bentuk dan kekuatan sediaan;
2. stabilitas; dan
3. kompatibilitas (ketercampuran Obat).
Pertimbangan klinis meliputi:
1. ketepatan indikasi dan dosis Obat;
2. aturan, cara dan lama penggunaan Obat;
3. duplikasi dan/atau polifarmasi;
4. reaksi Obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping
Obat, manifestasi klinis lain);
5. kontra indikasi; dan
6. interaksi.
-16-

Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian


maka Apoteker harus menghubungi dokter penulis Resep.
Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan
ketersediaan, penyiapan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai termasuk peracikan Obat, pemeriksaan, penyerahan
disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan Resep
dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian Obat
(medication error).
Petunjuk teknis mengenai pengkajian dan pelayanan Resep akan
diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.

B. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian
informasi Obat.
Setelah melakukan pengkajian Resep dilakukan hal sebagai
berikut:
1. Menyiapkan Obat sesuai dengan permintaan Resep:
a. menghitung kebutuhan jumlah Obat sesuai dengan Resep;
b. mengambil Obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan
dengan memperhatikan nama Obat, tanggal kadaluwarsa
dan keadaan fisik Obat.
2. Melakukan peracikan Obat bila diperlukan
3. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:
a. warna putih untuk Obat dalam/oral;
b. warna biru untuk Obat luar dan suntik;
c. menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk
suspensi atau emulsi.
4. Memasukkan Obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah
untuk Obat yang berbeda untuk menjaga mutu Obat dan
menghindari penggunaan yang salah.
Setelah penyiapan Obat dilakukan hal sebagai berikut:
1. Sebelum Obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan
pemeriksaan kembali mengenai penulisan nama pasien pada
etiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah Obat
(kesesuaian antara penulisan etiket dengan Resep);
2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien;
3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien;
-17-

4. Menyerahkan Obat yang disertai pemberian informasi Obat;


5. Memberikan informasi cara penggunaan Obat dan hal-hal yang
terkait dengan Obat antara lain manfaat Obat, makanan dan
minuman yang harus dihindari, kemungkinan efek samping, cara
penyimpanan Obat dan lain-lain;
6. Penyerahan Obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara
yang baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin
emosinya tidak stabil;
7. Memastikan bahwa yang menerima Obat adalah pasien atau
keluarganya;
8. Membuat salinan Resep sesuai dengan Resep asli dan diparaf oleh
Apoteker (apabila diperlukan);
9. Menyimpan Resep pada tempatnya;
10. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien dengan
menggunakan Formulir 5 sebagaimana terlampir.
Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep atau
pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada
pasien yang memerlukan Obat non Resep untuk penyakit ringan
dengan memilihkan Obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai.

C. Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan
oleh Apoteker dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak
memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam
segala aspek penggunaan Obat kepada profesi kesehatan lain,
pasien atau masyarakat. Informasi mengenai Obat termasuk Obat
Resep, Obat bebas dan herbal.
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus,
rute dan metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik
dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan
menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga,
sifat fisika atau kimia dari Obat dan lain-lain.
Kegiatan Pelayanan Informasi Obat di Apotek meliputi:
1. menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan;
2. membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan
masyarakat (penyuluhan);
3. memberikan informasi dan edukasi kepada pasien;
-18-

4. memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa


farmasi yang sedang praktik profesi;
5. melakukan penelitian penggunaan Obat;
6. membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah;
7. melakukan program jaminan mutu.
Pelayanan Informasi Obat harus didokumentasikan untuk
membantu penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat
dengan menggunakan Formulir 6 sebagaimana terlampir.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan
Informasi Obat :
1. Topik Pertanyaan;
2. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat diberikan;
3. Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis, lewat telepon);
4. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain
seperti riwayat alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui,
data laboratorium);
5. Uraian pertanyaan;
6. Jawaban pertanyaan;
7. Referensi;
8. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, pertelepon) dan data
Apoteker yang memberikan Pelayanan Informasi Obat.

D. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman,
kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku
dalam penggunaan Obat dan menyelesaikan masalah yang
dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling, Apoteker menggunakan
three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai
rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model.
Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga
pasien sudah memahami Obat yang digunakan.
Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:
1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati
dan/atau ginjal, ibu hamil dan menyusui).
2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya:
TB, DM, AIDS, epilepsi).
-19-

3. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus


(penggunaan kortikosteroid dengan tappering down/off).
4. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit
(digoksin, fenitoin, teofilin).
5. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa Obat
untuk indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga
termasuk pemberian lebih dari satu Obat untuk penyakit yang
diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis Obat.
6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
Tahap kegiatan konseling:
1. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien
2. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui
Three Prime Questions, yaitu:
a. Apa yang disampaikan dokter tentang Obat Anda?
b. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian
Obat Anda?
c. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang
diharapkan setelah Anda menerima terapi Obat tersebut?
3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan
kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat
4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan
masalah penggunaan Obat
5. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda
tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang
diberikan dalam konseling dengan menggunakan Formulir 7
sebagaimana terlampir.

E. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (home pharmacy care)


Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat
melakukan Pelayanan Kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah,
khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan
penyakit kronis lainnya.
Jenis Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh
Apoteker, meliputi :
1. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan
dengan pengobatan
-20-

2. Identifikasi kepatuhan pasien


3. Pendampingan pengelolaan Obat dan/atau alat kesehatan di
rumah, misalnya cara pemakaian Obat asma, penyimpanan insulin
4. Konsultasi masalah Obat atau kesehatan secara umum
5. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan
Obat berdasarkan catatan pengobatan pasien
6. Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah
dengan menggunakan Formulir 8 sebagaimana terlampir.

F. Pemantauan Terapi Obat (PTO)


Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien
mendapatkan terapi Obat yang efektif dan terjangkau dengan
memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping.
Kriteria pasien:
1. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
2. Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
3. Adanya multidiagnosis.
4. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
5. Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.
6. Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat
yang merugikan.
Kegiatan:
1. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
2. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien
yang terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan Obat dan
riwayat alergi; melalui wawancara dengan pasien atau keluarga
pasien atau tenaga kesehatan lain
3. Melakukan identifikasi masalah terkait Obat. Masalah terkait Obat
antara lain adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian
Obat tanpa indikasi, pemilihan Obat yang tidak tepat, dosis terlalu
tinggi, dosis terlalu rendah, terjadinya reaksi Obat yang tidak
diinginkan atau terjadinya interaksi Obat
4. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan
menentukan apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi
akan terjadi
-21-

5. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi


rencana pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek
terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki
6. Hasil identifikasi masalah terkait Obat dan rekomendasi yang
telah dibuat oleh Apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga
kesehatan terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
7. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi Obat
dengan menggunakan Formulir 9 sebagaimana terlampir.

G. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)


Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat
yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis
normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
Kegiatan:
1. Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi
mengalami efek samping Obat.
2. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
3. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional
dengan menggunakan Formulir 10 sebagaimana terlampir.
Faktor yang perlu diperhatikan:
1. Kerjasama dengan tim kesehatan lain.
2. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.
-22-

BAB IV
SUMBER DAYA KEFARMASIAN

A. Sumber Daya Manusia


Pelayanan Kefarmasian di Apotek diselenggarakan oleh Apoteker,
dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis
Kefarmasian yang memiliki Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin
Praktik
Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian Apoteker harus
memenuhi kriteria:
1. Persyaratan administrasi
1. Memiliki ijazah dari institusi pendidikan farmasi yang
terakreditasi
2. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)
3. Memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku
4. Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)
2. Menggunakan atribut praktik antara lain baju praktik, tanda
pengenal.
3. Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan/Continuing
Professional Development (CPD) dan mampu memberikan
pelatihan yang berkesinambungan.
4. Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan
pengembangan diri, baik melalui pelatihan, seminar, workshop,
pendidikan berkelanjutan atau mandiri.
5. Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap
peraturan perundang undangan, sumpah Apoteker, standar
profesi (standar pendidikan, standar pelayanan, standar
kompetensi dan kode etik) yang berlaku.
Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian seorang apoteker harus
menjalankan peran yaitu:
1. Pemberi layanan
Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi
dengan pasien. Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya
pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan.
-23-

2. Pengambil keputusan
Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil
keputusan dengan menggunakan seluruh sumber daya yang
ada secara efektif dan efisien.
3. Komunikator
Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien
maupun profesi kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi
pasien. Oleh karena itu harus mempunyai kemampuan
berkomunikasi yang baik.
4. Pemimpin
Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi
pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian
mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta
kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil
keputusan.
5. Pengelola
Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia,
fisik, anggaran dan informasi secara efektif. Apoteker harus
mengikuti kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi
informasi tentang Obat dan hal-hal lain yang berhubungan
dengan Obat.
6. Pembelajar seumur hidup
Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap
dan keterampilan profesi melalui pendidikan berkelanjutan
(Continuing Professional Development/CPD)
7. Peneliti
Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah
dalam mengumpulkan informasi Sediaan Farmasi dan
Pelayanan Kefarmasian dan memanfaatkannya dalam
pengembangan dan pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian.

B. Sarana dan Prasarana


Apotek harus mudah diakses oleh masyarakat. Sarana dan
prasarana Apotek dapat menjamin mutu Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai serta kelancaran praktik
Pelayanan Kefarmasian.
-24-

Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menunjang


Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi sarana yang memiliki
fungsi:
1. Ruang penerimaan Resep
Ruang penerimaan Resep sekurang-kurangnya terdiri dari
tempat penerimaan Resep, 1 (satu) set meja dan kursi, serta
1 (satu) set komputer. Ruang penerimaan Resep ditempatkan
pada bagian paling depan dan mudah terlihat oleh pasien.
2. Ruang pelayanan Resep dan peracikan (produksi sediaan secara
terbatas)
Ruang pelayanan Resep dan peracikan atau produksi
sediaan secara terbatas meliputi rak Obat sesuai kebutuhan dan
meja peracikan. Di ruang peracikan sekurang-kurangnya
disediakan peralatan peracikan, timbangan Obat, air minum
(air mineral) untuk pengencer, sendok Obat, bahan pengemas
Obat, lemari pendingin, termometer ruangan, blanko salinan
Resep, etiket dan label Obat. Ruang ini diatur agar
mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara yang cukup, dapat
dilengkapi dengan pendingin ruangan (air conditioner).
3. Ruang penyerahan Obat
Ruang penyerahan Obat berupa konter penyerahan Obat
yang dapat digabungkan dengan ruang penerimaan Resep.
4. Ruang konseling
Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja
dan kursi konseling, lemari buku, buku-buku referensi, leaflet,
poster, alat bantu konseling, buku catatan konseling dan
formulir catatan pengobatan pasien.
5. Ruang penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai
Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi,
temperatur, kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin
mutu produk dan keamanan petugas. Ruang penyimpanan harus
dilengkapi dengan rak/lemari Obat, pallet, pendingin ruangan
(AC), lemari pendingin, lemari penyimpanan khusus narkotika
dan psikotropika, lemari penyimpanan Obat khusus, pengukur
suhu dan kartu suhu.
-25-

6. Ruang arsip
Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang
berkaitan dengan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai serta Pelayanan Kefarmasian
dalam jangka waktu tertentu.
-26-

BAB V
EVALUASI MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN

Evaluasi mutu di Apotek dilakukan terhadap:


A. Mutu Manajerial
1. Metode Evaluasi
a. Audit
Audit merupakan usaha untuk menyempurnakan
kualitas pelayanan dengan pengukuran kinerja bagi yang
memberikan pelayanan dengan menentukan kinerja yang
berkaitan dengan standar yang dikehendaki. Oleh karena
itu, audit merupakan alat untuk menilai, mengevaluasi,
menyempurnakan Pelayanan Kefarmasian secara sistematis.
Audit dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil
monitoring terhadap proses dan hasil pengelolaan.
Contoh:
1. audit Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai lainnya (stock opname)
2. audit kesesuaian SPO
3. audit keuangan (cash flow, neraca, laporan rugi laba)
b. Review
Review yaitu tinjauan/kajian terhadap pelaksanaan
Pelayanan Kefarmasian tanpa dibandingkan dengan standar.
Review dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil
monitoring terhadap pengelolaan Sediaan Farmasi dan
seluruh sumber daya yang digunakan.
Contoh:
1. pengkajian terhadap Obat fast/slow moving
2. perbandingan harga Obat
c. Observasi
Observasi dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil
monitoring terhadap seluruh proses pengelolaan Sediaan
Farmasi.
Contoh:
1. observasi terhadap penyimpanan Obat
2. proses transaksi dengan distributor
3. ketertiban dokumentasi
-27-

2. Indikator Evaluasi Mutu


a. kesesuaian proses terhadap standar
b. efektifitas dan efisiensi

B. Mutu Pelayanan Farmasi Klinik


1. Metode Evaluasi Mutu
a. Audit
Audit dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil
monitoring terhadap proses dan hasil pelayanan farmasi
klinik.
Contoh:
1. audit penyerahan Obat kepada pasien oleh Apoteker
2. audit waktu pelayanan
b. Review
Review dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil
monitoring terhadap pelayanan farmasi klinik dan seluruh
sumber daya yang digunakan.
Contoh: review terhadap kejadian medication error
c. Survei
Survei yaitu pengumpulan data dengan menggunakan
kuesioner. Survei dilakukan oleh Apoteker berdasarkan
hasil monitoring terhadap mutu pelayanan dengan
menggunakan angket/kuesioner atau wawancara langsung
Contoh: tingkat kepuasan pasien
d. Observasi
Observasi yaitu pengamatan langsung aktivitas atau
proses dengan menggunakan cek list atau perekaman.
Observasi dilakukan oleh berdasarkan hasil monitoring
terhadap seluruh proses pelayanan farmasi klinik.
Contoh : observasi pelaksanaan SPO pelayanan
2. Indikator Evaluasi Mutu
Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu
pelayanan adalah:
a. Pelayanan farmasi klinik diusahakan zero deffect dari
medication error;
b. Standar Prosedur Operasional (SPO): untuk menjamin mutu
pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan;
-28-

c. Lama waktu pelayanan Resep antara 15-30 menit;


d. Keluaran Pelayanan Kefarmasian secara klinik berupa
kesembuhan penyakit pasien, pengurangan atau hilangnya
gejala penyakit, pencegahan terhadap penyakit atau gejala,
memperlambat perkembangan penyakit.
-29-

BAB VI
PENUTUP

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek ditetapkan sebagai


acuan pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Untuk keberhasilan
pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek diperlukan
komitmen dan kerjasama semua pemangku kepentingan. Hal tersebut
akan menjadikan Pelayanan Kefarmasian di Apotek semakin optimal dan
dapat dirasakan manfaatnya oleh pasien dan masyarakat yang pada
akhirnya dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

NILA FARID MOELOEK


Formulir 1

BERITA ACARA PEMUSNAHAN OBAT KADALUWARSA/RUSAK

Pada hari ini ........................ tanggal................ bulan..................... tahun


..................... sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek , kami yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama Apoteker Pengelola Apotek : ……………………………………
Nomor SIPA : ……………………………………
Nama Apotek : ……………………………………
Alamat Apotek : ……………………………………

Dengan disaksikan oleh :


1 Nama : ………………………………………
NIP : ………………………………………
Jabatan : ………………………………………
2 Nama : ………………………………………
NIP : ………………………………………
Jabatan : ………………………………………

Telah melakukan pemusnahan Obat sebagaimana tercantum dalam daftar


terlampir.
Tempat dilakukan pemusnahan :................................................................

Demikianlah berita acara ini kami buat sesungguhnya dengan penuh


tanggung jawab.
Berita acara ini dibuat rangkap 4 (empat) dan dikirim kepada :
1.Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota
2.Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan
3.Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
4.Arsip di Apotek

……………………………….20……..

Saksi-saksi yang membuat berita acara


1
……………………………………… ………………………………………
NIP. NO. SIPA.

2
……………………………………..
NIP
DAFTAR OBAT YANG DIMUSNAHKAN

No. Nama Obat Jumlah Alasan


Pemusnahan

……………………………….20……..

Saksi-saksi yang membuat berita acara


1
……………………………………… ………………………………………
NIP. NO. SIPA.

2
……………………………………..
NIP
Formulir 2

BERITA ACARA PEMUSNAHAN RESEP

Pada hari ini ........................ tanggal................ bulan..................... tahun


..................... sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek , kami yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama Apoteker Pengelola Apotek : ……………………………………
Nomor SIPA : ……………………………………
Nama Apotek : ……………………………………
Alamat Apotek : ……………………………………

Dengan disaksikan oleh :


1 Nama : ………………………………………
NIP : ………………………………………
Jabatan : ………………………………………
2 Nama : ………………………………………
NIP : ………………………………………
Jabatan : ………………………………………

Telah melakukan pemusnahan Resep pada Apotek kami, yang telah


melewati batas waktu penyimpanan selama 5 (lima) tahun, yaitu :
Resep dari tanggal....................sampai dengan tanggal ..............................
Seberat .............................. kg.
Resep Narkotik.................. lembar
Tempat dilakukan pemusnahan : ……………………………………………………

Demikianlah berita acara ini kami buat sesungguhnya dengan penuh


tanggung jawab.

Berita acara ini dibuat rangkap 4 (empat) dan dikirim kepada :


1.Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota
2.Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan
3.Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
4.Arsip di Apotek

……………………………….20……..

Saksi-saksi yang membuat berita acara


1
……………………………………… ………………………………………
NIP. NO.SIPA.

2
……………………………………..
NIP
Formulir 3

FORMULIR PELAPORAN PEMAKAIAN NARKOTIKA

Nama Sat Saldo Pemasukan Pemasukan Penggunaan Penggunaan Saldo


Narkotika uan Awal Dari Jumlah Untuk Jumlah Akhir

…….………….,...........20….

Apoteker
Formulir 4

FORMULIR PELAPORAN PEMAKAIAN PSIKOTROPIKA

Nama Satuan Saldo Pemasuk Pemasukan Penggunaan Penggunaan Saldo


Psikotropika Awal an Dari Jumlah Untuk Jumlah Akhir

…….………….,...........20….

Apoteker
Formulir 5

CATATAN PENGOBATAN PASIEN

Nama Pasien :
Jenis Kelamin :
Umur :
Alamat :
No. Telepon :

No Tanggal Nama Nama Catatan Pelayanan


Dokter Obat/Dosis/Cara Apoteker
Pemberian
Formulir 6

DOKUMENTASI PELAYANAN INFORMASI OBAT

No. …..... Tanggal : …………………………….. Waktu : …… Metode :


Lisan/Tertulis/Telepon )*
1. Identitas Penanya
Nama ………………………………………………….. No. Telp.
…………………………………
Status : Pasien / Keluarga Pasien / Petugas Kesehatan
(………………………………………..)*
2. Data Pasien
Umur : …….tahun; Tinggi : ….... cm; Berat : ………kg; Jenis kelamin :
Laki-laki/Perempuan )*
Kehamilan : Ya (……minggu)/Tidak )* Menyusui :
Ya/Tidak )*
3. Pertanyaan
Uraian Pertanyaan :
………………………………………………………………………………………………
……………..
………………………………………………………………………………………………
……………..
………………………………………………………………………………………………
……………..
Jenis Pertanyaan:
Identifikasi Obat Stabilitas Farmakokinetika
Interaksi Obat Dosis Farmakodinamika
Harga Obat Keracunan Ketersediaan Obat
Kontra Indikasi Efek Samping Lain-lain
Cara Pemakaian Obat …………………..
Penggunaan
Terapeutik
4. Jawaban
……………………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………………..
5. Referensi
……………………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………………..
6. Penyampaian Jawaban : Segera/Dalam 24 jam/Lebih dari 24 jam )*
Apoteker yang menjawab :
…………………………………………………………………………
Tanggal : ……………………………… Waktu : ………………………………….
Metode Jawaban : Lisan/Tertulis/Telepon )*
Formulir 7

DOKUMENTASI KONSELING

Nama Pasien :
Jenis kelamin :
Tanggal lahir :
Alamat :
Tanggal konseling :
Nama Dokter :
Diagnosa :
Nama obat, dosis :
dan cara
pemakaian
Riwayat alergi :
Keluhan :
Pasien pernah : Ya/tidak
datang konseling
sebelumnya:
Tindak lanjut

Pasien Apoteker
.................... .................
Formulir 8

DOKUMENTASI PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH


(HOME PHARMACY CARE)

Nama Pasien :
Jenis Kelamin :
Umur :
Alamat :
No. Telepon :

No Tanggal Kunjungan Catatan Pelayanan


Apoteker

................... 20....
Apoteker
Formulir 9

DOKUMENTASI PEMANTAUAN TERAPI OBAT

Nama Pasien :
Jenis Kelamin :
Umur :
Alamat :
No. Telepon :

No Tanggal Catatan Nama Obat, Identifikasi Rekomendasi/


Pengobatan Dosis, Cara Masalah Tindak Lanjut
Pasien Pemberian terkait Obat
Riwayat
penyakit

Riwayat
penggunaan
obat

Riwayat alergi

........................,20....

Apoteker
Formulir 10
FORMULIR MONITORING EFEK SAMPING OBAT (MESO)

Nama Apotek :
Alamat :
Kabupaten/Kota :
Provinsi :
Triwulan/Tahun :

Informasi Obat

Informasi Pasien Ben No Obat Pemberian KTD/ESO


Na tuk Bets yang Nama
No ma Sedi digun Pelapor
Ob aan akan
at bersa
maan
Riwayat
Nama/ Jenis Um Ca Dosis/ Tang Tang Desk Tang Tangg Kesud KTD/ESO
Inisial Kelam ur ra Waktu gal gal ripsi gal al ahan yang
pasien in Mula Akhir Mula Akhir pernah
dialami
1.
2.
3.
4.
…….………….,...........20…

Apoteker
Katalog Dalam Tarbttan. Kamantarian Kasahatan RI

615.1
Ind Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Dlrektorat Jenderer
p Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Petunjuk taknla atandar pelayanan kafannaslan
di rumah saklt.-Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2019

ISBN 978-602-416-840-7

1. Judul I. DRUG INFORMATION SERVICES


II. PHARMACEUTICAL PREPARETIONS Ill. FORMULARIES, HOSPITAL
V. PHARMACY SERVICE, HOSPITAL
PETUNJUK TEKNIS
PETUNJUK STANDAR
TEKNIS
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN
PELAYANAN KEFARMASIAN
DI RUMAH SAKIT
DI PUSKESMAS

KEMENTERIAN KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
2019

i i
iiii
KATA PENGANTAR

Dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit, apoteker harus


mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah
Sakit telah memuat berbagai macam aktifitas baik pengelolaan sediaan farmasi dan
Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) dan pelayanan farmasi klinik yang harus
dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab seorang apoteker. Akan tetapi, pada
praktiknya masih terdapat beberapa aspek pelayanan kefarmasian yang memerlukan
penjelasan lebih lanjut yang belum dimuat dalam standar pelayanan kefarmasian.

Petunjuk teknis ini membahas rincian pelayanan kefarmasian yang mencakup


pengelolaan obat dan pelayanan farmasi klinik yang meliputi tujuan, manfaat, pihak
yang terlibat, sarana dan prasarana yang dibutuhkan, tahapan pelaksanaan serta
evaluasi dalam pelayanan kefarmasian, termasuk didalamnya pemenuhan persyaratan
akreditasi Rumah Sakit.

Semoga penyusunan Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Kefarmasian ini dapat


bermanfaat dalam peningkatan keselamatan pasien serta dalam rangka meningkatkan
mutu pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit.

Direktur Pelayanan Kefarmasian

ttd

Dita Novianti, S.A., S.Si., Apt., MM.

iii iii
iv
iv
KATA SAMBUTAN

Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit berperan penting dalam penjaminan


mutu, manfaat, keamanan dan khasiat sediaan farmasi dan alat kesehatan. Selain itu
pelayanan kefarmasian bertujuan untuk melindungi pasien dan masyarakat dari
penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient
safety).

Peningkatan mutu pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit diselenggarakan


dengan mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit serta Pelayanan Kefarmasian dan
Penggunaan Obat (PKPO) Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS).

Petunjuk Teknis (Juknis) ini diharapkan dapat menjadi pedoman Apoteker di


Rumah Sakit dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian yang sesuai standar, serta
memenuhi standar PKPO SNARS.

Kami menyampaikan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya


kepada tim penyusun dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan
Juknis ini.

Semoga Juknis ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam menjalankan


pelayanan kefarmasian di RS.

Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

ttd

Dra. Engko Sosialine Magdalene, Apt., M.Bio Med.

v v
vi
vi
TIM PENYUSUN

PEMBINA :
Dra. Engko Sosialine Magdalene, Apt., M.Bio Med. (Direktur Jenderal Kefarmasian dan
Alat Kesehatan)

PENGARAH :
Dita Novianti, S.A., S.Si., Apt., MM. (Direktur Pelayanan Kefarmasian)

TIM TEKNIS :
Dina Sintia Pamela, S.Si., Apt., M.Farm. (Kasubdit Manajemen dan Klinikal Farmasi)
Andrie Fitriansyah, S.Farm., Apt. (Kasie Manajemen Farmasi)
Sri Suratini, S.Si., Apt., M.Farm. (Kasie Klinikal Farmasi)
Bernadeta Dina Jerubu, S.Si., Apt. (Direktorat Pelayanan Kefarmasian)
Cecilia Rina Khristanti, S.Farm., Apt. (Direktorat Pelayanan Kefarmasian)
Apriandi, S.Farm., Apt., MT. (Direktorat Pelayanan Kefarmasian)
Dwi Subarti, S.Farm., Apt., M.Sc. (Direktorat Pelayanan Kefarmasian)
Adriany, S.Si., Apt. (Direktorat Pelayanan Kefarmasian)
Nurul Jasmine Fauziah, S.Farm. (Direktorat Pelayanan Kefarmasian)
Ahmad Zainul Kamal, S.Farm., Apt. (Direktorat Pelayanan Kefarmasian)

KONTRIBUTOR :
1) Kolonel Laut (K/W) Dr. Widyati, M.Clin Pharm., Apt.
2) Dra. L. Endang Budiarti, M.Pharm., Apt.
3) Dra. Arofa Idha, M.Farm-Klin., Apt.
4) Dra. Yulia Trisna, M.Pharm., Apt.
5) Dra. Alfina Rianti, M.Pharm., Apt.
6) Dra. Sri Hartini, M.Si., Apt.
7) Rini Isyana, S.Farm., Apt.

vii vii
viii
viii
Daftar Isi

Kata Pengantar .......................................................................................... iii


Sambutan Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan .................. v
Tim Penyusun ...........................................................................................vii
Daftar Isi ................................................................................................... ix
Daftar Gambar ........................................................................................... xi
Daftar Lampiran ........................................................................................ xii
Daftar Tabel ............................................................................................. xiii
BAB I Pendahuluan ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Tujuan ...................................................................................................... 2
C. Ruang Lingkup .......................................................................................... 2
D. Dasar Hukum ............................................................................................ 3
BAB II Regulasi........................................................................................... 5
A. Dokumen Regulasi ..................................................................................... 5
1. Kebijakan .............................................................................................. 5
2. Pedoman ............................................................................................... 6
3. Standar Prosedur Operasional ................................................................. 6
B. Dokumen Lain ........................................................................................... 7
C. Sistem Satu Pintu ...................................................................................... 7
BAB III Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis
Habis Pakai ......................................................................................... 9
A. Pemilihan .................................................................................................. 9
B. Perencanaan ............................................................................................ 15
C. Pengadaan .............................................................................................. 29
D. Penerimaan ............................................................................................. 34
E. Penyimpanan ........................................................................................... 36
F. Pendistribusian......................................................................................... 48
G. Pemusnahan dan Penarikan...................................................................... 50
H. Pengendalian ........................................................................................... 51
I. Administrasi ............................................................................................. 56

ix ix
BAB IV Pelayanan Farmasi Klinik .................................................................. 63
A. Ruang Lingkup Pelayanan Farmasi Klinik ................................................... 63
B. Tahapan Kegiatan Pelayanan Farmasi Klinik .............................................. 63
1. Pengkajian dan Pelayanan Resep .......................................................... 63
2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat ................................................. 67
3. Rekonsiliasi Obat .................................................................................. 70
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)............................................................ 74
5. Konseling............................................................................................. 79
6. Visite / Ronde Bangsal .......................................................................... 83
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO) ............................................................ 89
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO) / Farmakovigilans ..................... 103
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) ........................................................ 105
10. Dispensing Sediaan Steril .................................................................. 110
11. Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) ................................... 130
12. Pharmacy Home Care (Pelayanan Kefarmasian di Rumah) .................. 135
C. Komunikasi dalam Pelayanan Farmasi Klinik ............................................ 140
BAB V Manajemen Risiko ............................................................................. 141
BAB VI Pelaporan, Pembinaan dan Pengawasan ....................................... 145
A. Pelaporan .............................................................................................. 145
B. Pembinaan ............................................................................................ 145
C. Pengawasan .......................................................................................... 145
PUSTAKA ....................................................................................................... 146

xx
Daftar Gambar

Gambar 1. Lemari pendingin dengan termometer eksternal (kiri) dan lemari


pendingin dengan termometer internal (kanan) ...................................... 39
Gambar 2. Contoh label Sitostatik ....................................................................... 40
Gambar 3. Contoh lemari penyimpanan Obat High Alert ....................................... 41
Gambar 4. Contoh label High Alert .................................................................... 42
Gambar 5. Contoh obat LASA dengan kekuatan berbeda ..................................... 42
Gambar 6. Contoh obat LASA dengan bentuk sediaan berbeda ............................ 43
Gambar 7. Contoh obat LASA dengan kandungan zat aktif berbeda ..................... 43
Gambar 8. Contoh obat LASA disimpan tidak berdekatan .................................... 43
Gambar 9. Contoh label LASA ............................................................................. 43
Gambar 10. Contoh lemari penyimpanan B3 ........................................................ 44
Gambar 11. Penandaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) .............................. 45
Gambar 12. Obat disusun rapi dalam troli, obat high alert tetap dilokalisir ............. 47
Gambar 13. Tas emergensi dilengkapi kunci pengaman disposable ..................... 47
Gambar 14. Kit emergensi dilengkapi kunci pengaman disposable ...................... 48
Gambar 15. Pass Box ...................................................................................... 115
Gambar 16. Horizontal LAFC ............................................................................ 121
Gambar 17. LAFC untuk sitostatik .................................................................... 121
Gambar 18. Isolator ........................................................................................ 122
Gambar 19. Baju pelindung ............................................................................. 122

xi xi
Daftar Lampiran

Lampiran 1. Formulir Pengajuan Obat Untuk Masuk Formularium ........................ 147


Lampiran 2. Formulir Pengajuan Penghapusan Obat Formularium ....................... 148
Lampiran 3. Formulir Permintaan Khusus Obat di Luar Formularium .................... 149
Lampiran 4. Formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO) .............................. 150
Lampiran 5. Formulir Serah Terima Obat/Alkes dari Pasien/UPF Lain ................... 152
Lampiran 6. Formulir Sisa Narkotika .................................................................. 154
Lampiran 7. Formulir Rekam Pemberian Obat (RPO) .......................................... 155
Lampiran 8. Formulir Resep .............................................................................. 156
Lampiran 9. Formulir Pengkajian Resep ............................................................. 157
Lampiran 10. Penulisan Singkatan yang Tidak Boleh Digunakan .......................... 158
Lampiran 11. Formulir Rekonsiliasi Obat ............................................................ 161
Lampiran 12. Contoh Persediaan Farmasi untuk Keadaan Darurat ....................... 164

xii
xii
Daftar Tabel

Tabel 1. Proses Analisis dalam melaksanakan asesmen ........................................ 99


Tabel 2. Persyaratan jumlah maksimum partikel yang diperbolehkan .................. 118
Tabel 3. Persyaratan Fasilitas Steril Berdasarkan USP ......................................... 118

xiii xiii
xiv
PETUNJUK TEKNIS
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kementerian Kesehatan RI sesuai dengan SK Menkes telah menyusun Kebijakan
Obat Nasional (KONAS) sebagai acuan bagi arah pembangunan bidang obat yang
tujuannya meliputi peningkatan ketersediaan obat, pengawasan obat serta
peningkatan penunggunaan obat rasional. Sediaan farmasi, alat kesehatan
(alkes), dan makanan juga merupakan salah satu subsistem dalam Sistem
Kesehatan Nasional yang telah ditetapkan melalui Perpres Nomor 72 Tahun 2012.
Pengaturan sediaan farmasi dan alkes dalam fasilitas pelayanan kefarmasian
bertujuan untuk menjamin ketersediaan dan pemerataan sediaan farmasi dan
alkes yang aman, berkhasiat dan bermutu sekaligus untuk meningkatkan
penggunaan obat rasional untuk mencapai keselamatan pasien.

Pelayanan Kefarmasian yang diselenggarakan di Rumah Sakit haruslah mampu


menjamin ketersediaan obat yang aman, bermutu dan berkhasiat dan sesuai
dengan amanat Undang Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
diselenggarakan sesuai dengan Standar Pelayanan Kefarmasian. Selanjutnya,
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 72 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian
di Rumah Sakit diterbitkan, meliputi pengelolaan sediaan obat dan Bahan Medis
Habis Pakai (BMHP), pelayanan farmasi klinik serta pengawasan obat dan BMHP.

Aktivitas dalam pengelolaan sediaan obat dan BMHP meliputi seluruh siklus rantai
suplai obat dalam rumah sakit mulai dari pemilihan obat hingga penggunaan obat
yang kesemuanya merupakan rangkaian kegiatan yang kompleks dan saling
terkait satu dengan yang lainnya. Demikian pula aktivitas pada pelayanan farmasi

1 1
klinik di rumah sakit memerlukan panduan khusus karena setiap IFRS bisa memiliki
persepsi yang berbeda-beda.

Pemahaman terhadap Standar Pelayanan Kefarmasian di RS terkait Pengelolaan


sediaan farmasi dan BMHP yang beragam atau tidak tepat cenderung
mengakibatkan masalah yang ujungnya adalah masuknya sediaan farmasi yang
tidak memenuhi syarat ke rumah sakit yang mengancam keselamatan pasien.
Demikian pula, dalam pelaksanaan pelayanan farmasi klinik, perbedaan
pemahaman mengakibatkan beragamnya cakupan pelayanan serta ketidak jelasan
dalam cakupan pelayanan yang lebih teknis.

Oleh karena itu perlu disusun Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit agar memberikan acuan yang lebih teknis terkait penyelenggaraan
pelayanan kefarmasian di rumah sakit.

B. Tujuan
Tersedianya pedoman teknis sebagai acuan dalam penerapan standar pelayanan
kefarmasian di rumah sakit.

C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pedoman teknis ini meliputi rangkaian pada pengelolaan sediaan
farmasi mulai dari Pemilihan, Perencanaan Kebutuhan, Pengadaan, Penerimaan,
Penyimpanan, Pendistribusian, Pemusnahan dan Penarikan, Pengendalian dan
Administrasi.

Selanjutnya, pedoman teknis ini juga meliputi rangakaian pelayanan farmasi klinik
mulai dari Pengkajian dan Pelayanan Resep, Penelusuran Riwayat Penggunaan
Obat, Rekonsiliasi Obat, Pelayanan Informasi Obat, Konseling, Visite, Pemantauan
Terapi Obat (PTO), Monitoring Efek Samping Obat (MESO), Evaluasi Penggunaan
Obat (EPO), Dispensing Sediaan Steril dan Pemantauan Kadar Obat dalam Darah.

22
D. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063);
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
3. Undang Undang Nomor 36 tahun 2016 tentang Tenaga Kesehatan.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3781);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun.
7. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional.
8. Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun 2014 tentang Pengadaan Obat
Berdasarkan E-Catalog Elektronik (E-Catalogue).
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 tahun 2015 tentang Peredaran,
Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika dan
Prekusor Farmasi.
11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.
12. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 tahun 2017 tentang Keselamatan
Pasien.
13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan
Imunisasi.

3 3
14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2017 tentang Monitoring dan
Evaluasi Terhadap Perencanaan, Pengadaan Berdasarkan Katalog Elektronik
dan Pemakaian Obat.
15. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/659/2017 tentang
Formularium Nasional.
16. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 189/MENKES/SK/III/2006 tentang
Kebijakan Obat Nasional

44
BAB II

REGULASI

A. Dokumen Regulasi
Dokumen regulasi yang harus disiapkan terkait pengorganisasian pelayanan
kefarmasian di rumah sakit dapat berbentuk kebijakan/pedoman/standar prosedur
operasional.

1. Kebijakan
Kebijakan adalah ketetapan pimpinan RS pada tataran strategis. Narasi
bersifat garis besar dan mengikat. Kebijakan yang perlu ditetapkan meliputi:
pengorganisasian dan pelayanan kefarmasian dalam hal pengelolaan dan
penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan (Alkes) dan Bahan Medis Habis
Pakai (BMHP) dan pelayanan farmasi klinik.

Kebijakan pengelolaan dan penggunaan obat di rumah sakit dapat dibuat


dalam satu Peraturan Pimpinan Tertinggi Rumah Sakit.

Dalam menyusun kebijakan tersebut, aspek yang perlu diperhatikan antara


lain:
a. Mengacu pada peraturan yang berlaku, yaitu:
1) Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
2) Undang-Undang No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
3) Undang-Undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
4) Undang-undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika
5) Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
6) Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
b. Struktur organisasi dan tata kerja unit kerja yang terlibat dalam
penggunaan obat diuraikan, termasuk Unit Layanan Pengadaan (ULP),

5 5
Tim Farmasi dan Terapi (TFT), IFRS, unit-unit kerja di bawah bidang
penunjang medik, dan Staf Medik Fungsional (SMF).

2. Pedoman
Pedoman adalah kumpulan ketentuan dasar yang memberi arah pelaksanaan
kegiatan, contoh: Pedoman Organisasi Instalasi Farmasi, Pedoman Pelayanan
Farmasi dan lain-lain.

Format dan sistematika pedoman disesuaikan dengan kebutuhan RS.


Pedoman harus dibuatkan surat keputusan (SK) pemberlakuannya oleh
Direktur Rumah Sakit dan dievaluasi minimal 2 tahun sekali.

Pedoman pengelolaan dan penggunaan obat di rumah sakit dapat dibuat


dalam satu Peraturan Pimpinan Rumah Sakit.

Pedoman yang dibuat meliputi:


a. Pedoman pengorganisasian Instalasi Farmasi Rumah Sakit dan tata
hubungan kerjanya dengan unit kerja terkait.
b. Pedoman pelayanan kefarmasian

3. Standar Prosedur Operasional


Standar prosedur operasional (SPO) adalah suatu perangkat
instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan proses kerja
rutin tertentu.

SPO bertujuan agar pelayanan konsisten dan memenuhi standar mutu yang
telah ditetapkan.

Rumah sakit harus menyiapkan SPO untuk setiap kegiatan dalam pengelolaan
sediaan farmasi, Alkes dan BMHP dan pelayanan farmasi klinik.

66
B. Dokumen Lain
Dokumen lain yang harus tersedia, antara lain:

1. Formularium Nasional
2. Formularium Rumah Sakit
3. Sumber informasi obat bagi petugas
4. Media informasi bagi pasien (Leaflet, brosur dan media lain)
5. Daftar obat yang tersedia di rumah sakit
6. Bukti kajian sistem pengelolaan dan penggunaan obat minimal 1 kali per tahun
7. SK pengangkatan/surat penugasan, STRA, SIP, STRTTK, SIPTTK, Surat
Penugasan Kewenangan Klinis (SPKK), uraian tugas, sertifikat pelatihan
kefarmasian untuk seluruh apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Harus
dipastikan kelengkapan dokumen tersebut.

8. Bukti supervisi yang dilakukan IFRS terhadap proses pelayanan kefarmasian.


Dokumen supervisi dapat berupa notulensi rapat, laporan kegiatan, lembar
supervisi, logbook (catatan kinerja harian pegawai) dan lain-lain.

C. Sistem Satu Pintu


Pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi Farmasi
Rumah Sakit (IFRS) dengan menerapkan sistem satu pintu sebagaimana
dijelaskan dalam Permenkes No.72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit
Sistem satu pintu pada pelayanan kefarmasian, yaitu:
1. Kegiatan pelayanan kefarmasian baik pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan BMHP, termasuk pembuatan formularium, pengadaan, dan
pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP dilaksanakan
melalui Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS).
2. Apabila, sesuai dengan peraturan yang berlaku, terdapat proses pengelolaan
(misal: pengadaan) yang dilaksanakan oleh unit kerja lain, penetapan kebijakan
tetap dilakukan berkoordinasi dengan IFRS.

7 7
Dengan kebijakan pengelolaan sistem satu pintu, IFRS merupakan satu-satunya
penyelenggara Pelayanan Kefarmasian, sehingga Rumah Sakit akan mendapatkan
manfaat dalam hal:
a. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian penggunaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan BMHP;
b. Standarisasi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP;
c. Penjaminan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP;
d. Pengendalian harga sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP;
e. Pemantauan terapi Obat;
f. Penurunan risiko kesalahan terkait penggunaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan BMHP (keselamatan pasien);
g. Kemudahan akses data sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP yang
akurat;
h. Peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit dan citra Rumah Sakit; dan
i. Peningkatan pendapatan Rumah Sakit dan peningkatan kesejahteraan
pegawai.

88
BAB III

PENGELOLAAN SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN DAN


BAHAN MEDIS HABIS PAKAI

A. Pemilihan
Setiap rumah sakit harus menggunakan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan,
BMHP berdasarkan Formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa
dan terapi, pola penyakit, efektiv

itas dan keamanan, pengobatan berbasis bukti, mutu harga, dan ketersediaan
di pasaran.

Formularium Rumah Sakit disusun oleh Tim Farmasi dan Terapi yang disepakati
oleh Staf Medik dengan mengacu pada Formularium Nasional. Formularium RS
harus tersedia untuk semua penulis resep/instruksi pengobatan, penyediaan
obat dan pemberi obat di RS.

Untuk meningkatkan kepatuhan terhadap penggunaan formularium RS, maka


RS harus memiliki kebijakan terkait penambahan atau pengurangan obat
dalam formularium RS dengan mempertimbangkan indikasi, penggunaan,
efektifitas, risiko, dan biaya. Bila ada obat yang baru ditambahkan dalam
formularium, ada proses atau mekanisme untuk memonitor bagaimana
penggunaan obat serta bila timbul efek samping dan Kejadian Tidak Diinginkan
(KTD).

Formularium sekurang-kurangnya dikaji setahun sekali berdasarkan atas


informasi tentang keamanan dan efektivitas.

9 9
Tahapan Penyusunan Formularium Rumah Sakit

Penyusunan obat dalam formularium rumah sakit berdasarkan kebutuhan


rumah sakit mengacu pada data morbiditas di rumah sakit. Tahapan
penyusunan Formularium Rumah Sakit sebagai berikut:

a. Staf Medik Farmasi (SMF) mengajukan usulan obat berdasarkan pada


Panduan Praktik Klinik (PPK) atau clinical pathway;
b. Komite/Tim Farmasi dan Terapi membuat rekapitulasi usulan obat dari
semua pengusul dan mengelompokkan usulan obat berdasarkan kelas
terapi;
c. Komite/Tim Farmasi dan Terapi membahas usulan tersebut bersama
Kelompok Staf Medik (KSM) pengusul, jika diperlukan dapat meminta
masukan dari pakar;
d. Menetapkan obat yang masuk formularium untuk diajukan pengesahan ke
Direktur Rumah Sakit;
e. Direktur Rumah Sakit mengesahkan pemberlakuan formularium rumah
sakit.

Dalam penerapan penggunaan formularium, maka perlu dibuat kebijakan


untuk mendorong penggunaan obat yang rasional, antara lain:

1) Restriksi atau Batasan


Batasan yang dimaksud adalah pembatasan terkait indikasi, kualifikasi
penulis resep, jumlah maksimal obat yang dapat diresepkan dan durasi
penggunaan obat.
2) Substitusi
Substitusi yang dimaksud adalah penggantian obat oleh instalasi farmasi.
Ada dua jenis substisusi yang dapat diberikan kewenangannya kepada
instalasi farmasi, yaitu:
a) Substitusi generik

10
10
Penggantian obat dalam resep dengan sediaan lain yang terdapat di
formularium yang memiliki zat aktif sama. Substitusi dapat dilakukan
oleh instalasi farmasi dengan persetujuan dari dokter penulis dan/atau
pasien.
b) Substitusi terapeutik
Penggantian obat dalam resep dengan sediaan lain yang zat aktifnya
berbeda namun dalam kelas terapi yang sama. Substitusi jenis ini dapat
dilakukan oleh instalasi farmasi dengan terlebih dahulu meminta
persetujuan dokter. Petugas farmasi menuliskan pada lembar
resep/dalam sistem informasi farmasi: nama obat pengganti, tanggal
dan jam komunikasi, nama dokter yang memberi persetujuan.

Apabila obat yang dibutuhkan tidak tercantum dalam Formularium RS, untuk
kasus tertentu maka dapat digunakan obat lain secara terbatas sesuai
kebijakan RS dengan ketentuan sebagai berikut:

a) Penggunaan obat di luar Formularium RS hanya dimungkinkan setelah


mendapat rekomendasi dari ketua Komite/Tim Farmasi dan Terapi dengan
persetujuan Kepala/Direktur Rumah Sakit
b) Pengajuan permohonan penggunaan obat di luar Formularium RS dilakukan
dengan mengisi formulir permintaan obat kl non formularium
c) Pemberian obat di luar Formularium Rumah Sakit diberikan dalam jumlah
terbatas, sesuai kebutuhan.

Dalam rangka meningkatkan kepatuhan penggunaan formularium, maka


formularium rumah sakit hendaknya disusun berdasarkan kebutuhan terapi
berupa usulan dari penulis resep (KSMF/Departemen medik). Usulan tersebut
dibahas dalam rapat tim farmasi dan terapi dengan mempertimbangkan
khasiat, keamanan, mutu dan biaya. Obat yang dipertimbangkan dapat masuk
ke dalam formularium rumah sakit adalah:

a) obat yang memiliki nomor izin edar (NIE) dari Badan POM
b) terutama obat generik;

11 11
c) memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling
menguntungkan pasien;
d) mudah penggunaannya sehingga meningkatkan kepatuhan dan
penerimaan oleh pasien;
e) memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi
berdasarkan biaya langsung dan tidak lansung; dan
f) terbukti paling efektif secara ilmiah (evidence based medicine), aman dan
banyak dibutuhkan untuk pelayanan dengan harga yang terjangkau.

Komite/Tim Farmasi dan Terapi harus memilih obat secara cermat dengan
mempertimbangkan asas efektivitas biaya. Produk obat yang dipilih harus
menunjukkan keunggulan dibandingkan dengan produk lain yang sejenis dari
aspek khasiat, keamanan, ketersediaan di pasaran, harga dan biaya
pengobatan yang paling murah. Penetapan jenis obat harus dibatasi untuk
mengefisienkan pengelolaannya dan menjaga kualitas pelayanan.

Untuk memudahkan dalam penggunaannya, maka fomularium rumah sakit


dapat disusun dengan sistematika sebagai berikut:

a) Sambutan Pimpinan Rumah Sakit


b) Kata pengantar ketua Komite/Tim Farmasi dan Terapi
c) Surat Keputusan Direktur Rumah Sakit tentang Komite/Tim Farmasi dan
Terapi
d) Surat Keputusan Pimpinan Rumah Sakit tentang Pemberlakuan
Formularium Rumah Sakit
e) Kebijakan penggunaan obat di rumah sakit
f) Prosedur yang mendukung penggunaan formularium, diantaranya
penggunaan obat di luar formularium
g) Daftar obat yang sekurangnya memuat nama generik obat, nama dagang,
kekuatan sediaan, bentuk sediaan, rute pemberian, perhatian/peringatan
dan restriksi jika diperlukan.

12
12
Penulisan nama obat dituliskan berdasarkan alfabetis nama obat dan mengacu
kepada DOEN dan Formularium Nasional. Obat yang sudah lazim digunakan
dan tidak memiliki nama Internasional Nonproprietary Name (INN) digunakan
nama lazim yang digunakan oleh pabrik pembuat. Obat kombinasi yang tidak
memiliki nama INN diberikan nama berdasarkan nama kesepakatan sebagai
nama generik untuk kombinasi dan dituliskan masing-masing komponen
berdasarkan kekuatannya. Satu jenis obat dapat tercantum dalam lebih dari
satu kelas terapi atau sub terapi sesuai indikasi medis.

Penyusunan daftar obat berdasarkan kelas terapi dengan mengacu pada


Formularium Nasional.

Lampiran formularium, terdiri dari formulir pengajuan usulan obat untuk


masuk dalam formularium (lampiran 1), formulir pengajuan penghapusan obat
dari formularium (lampiran 2), formulir permintan khusus obat di luar
formularium (lampiran 3) dan formulir monitoring efek samping obat (lampiran
4).

Sesuai perkembangan kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran/ kefarmasian,


maka formularium harus dievaluasi setidaknya setahun sekali. Jika dari hasil
evaluasi diperlukan perubahan isi formularium, maka dilakukan revisi agar
dihasilkan Formularium Rumah Sakit yang selalu mutakhir dan dapat
memenuhi kebutuhan pengobatan yang rasional.

Dalam proses revisi formularium, maka akan ada perubahan berupa masuknya
obat baru dan/atau keluarnya obat dari formularium. Adapun permohonan
penambahan obat baru dan/atau penghapusan obat dari formularium
dilakukan melalui mekanisme sebagai berikut:

a) Permohonan harus diajukan secara resmi melalui Komite Staf Medik (KSM)
kepada Komite/Tim Farmasi Terapi (KFT)
b) Permohonan penambahan obat yang akan dimasukkan dalam formularium
rumah sakit yang diajukan setidaknya memuat informasi:
(1) Nama Obat (Nama generik, nama dagang), kekuatan, bentuk sediaan

13 13
(2) Mekanisme farmakologi obat dan indikasi yang diajukan
(3) Alasan mengapa obat tersebut diajukan. Jika sudah terdapat obat lain
dengan kelas terapi sama maka harus ada bukti ilmiah yang
mendukung bahwa obat yang diajukan lebih baik dibandingkan
dengan obat yang sudah ada di formularium.
(4) Publikasi ilmiah yang mendukung perlunya obat dimasukkan ke dalam
formularium.
c) Permohonan Penghapusan obat dari formularium dapat diajukan pada
keadaan:
(1) Obat tidak beredar lagi dipasaran
(2) Obat tidak ada yang menggunakan lagi
(3) Sudah ada obat baru yang lebih cost effective
(4) Obat yang setelah dievaluasi memiliki risiko efek samping yang serius
(5) Berdasarkan hasil pembahasan oleh Komite/Tim Farmasi dan Terapi
(6) Terdapat obat lain yang memiliki efikasi yang lebih baik dan/atau efek
samping yang lebih ringan
(7) Masa berlaku NIE telah habis dan tidak diperpanjang oleh industri
farmasi

Formularium yang telah diberlakukan harus disosialisasikan kepada seluruh


tenaga kesehatan yang terlibat dalam penggunaan obat. Mereka harus
mendapatkan akses terhadap formularium yang berlaku dalam bentuk hard
copy atau soft copy tergantung kebijakan rumah sakit.

Standar Prosedur Operasional yang diperlukan dalam proses seleksi obat di


rumah sakit adalah:

a) SPO Penyusunan Formularium Rumah Sakit


b) SPO Monitoring Obat Baru
c) SPO Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
d) Dokumen lain

Proses seleksi obat harus didokumentasikan. Dokumen yang harus


dikumpulkan dan disimpan adalah:
14
14
a) Undangan, daftar hadir dan notulen rapat penyusunan formularium
b) Materi pembahasan penyusunan formularium (kajian terhadap obat yang
diusulkan)
c) Formulir usulan obat baru dari KSM
d) Buku Formularium (hard copy dan/atau soft copy)

B. Perencanaan
Rumah Sakit harus melakukan perencanaan kebutuhan obat dengan
menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menghindari
kekosongan obat. Perencanaan obat yang baik dapat meningkatkan
pengendalian stok sediaan farmasi di RS. Perencanaan dilakukan mengacu
pada Formularium RS yang telah disusun sebelumnya.
Apabila terjadi kehabisan obat karena terlambatnya pengiriman, kurangnya
stok nasional atau sebab lain yang tidak diantisipasi sebelumnya, maka
apoteker menginformasikan kepada staf medis tentang kekosongan obat
tersebut dan saran substitusinya atau mengadakan dari pihak luar yang telah
diikat dengan perjanjian kerjasama. Perencanaan dilaksanakan melibatkan
internal instalasi farmasi rumah sakit dan unit kerja yang ada di rumah sakit.

1. Tahapan dalam proses perencanaan kebutuhan obat di rumah


sakit
a. Persiapan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum menyusun rencana
kebutuhan obat:
1) Perlu dipastikan kembali program dan komoditas apa yang akan
disusun perencanaannya.
2) Perlu ditetapkan stakeholder yang terlibat dalam proses
perencanaan, diantaranya adalah pemegang kebijakan dan
pemasok/vendor.
3) Daftar obat harus sesuai Formularium Nasional dan Formularium
Rumah Sakit. Formularium rumah sakit yang telah diperbaharui

15 15
secara teratur harus menjadi dasar untuk perencanaan, karena
daftar tersebut mencerminkan obat yang diperlukan untuk pola
morbiditas terkini.
4) Perencanaan perlu memerhatikan waktu yang dibutuhkan,
mengestimasi periode pengadaan, mengestimasi safety stock dan
memperhitungkan lead time.
5) Juga perlu diperhatikan ketersediaan anggaran dan rencana
pengembangan jika ada.
b. Pengumpulan data
Data yang dibutuhkan antara lain data penggunaan obat pasien
periode sebelumnya (data konsumsi), sisa stok, data morbiditas dan
usulan kebutuhan obat dari unit pelayanan.
c. Analisa terhadap usulan kebutuhan meliputi:
1) Spesifikasi item obat
Jika spesifikasi item obat yang diusulkan berbeda dengan data
penggunaan sebelumnya, dilakukan konfirmasi ke pengusul.
2) Kuantitas kebutuhan
Jika kuantitas obat yang diusulkan jauh berbeda dengan
penggunaan periode sebelumnya, harus dilakukan konfirmasi ke
pengusul.
d. Menyusun dan menghitung rencana kebutuhan obat menggunakan
metode yang sesuai.
e. Melakukan evaluasi rencana kebutuhan menggunakan analisis yang
sesuai
f. Revisi rencana kebutuhan obat (jika diperlukan)
g. IFRS menyampaikan draft usulan kebutuhan obat ke manajemen
rumah sakit untuk mendapatkan persetujuan

16
16
2. Proses Penyampaian RKO ke aplikasi E- Monev Obat

E-Monev Obat merupakan sistem informasi elektronik untuk melakukan


monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan perencanaan, pengadaan obat
berdasarkan katalog elektronik, serta pemakaian obat. E-Monev obat juga
dilakukan terhadap pengadaan obat berdasarkan katalog elektronik yang
dilaksanakan secara manual. E-Monev Obat dilaksanakan secara daring
melalui aplikasi pada alamat situs web
www.monevkatalogobat.kemkes.go.id. Setiap institusi pemerintah dan
swasta yang melaksanakan pengadaan obat berdasarkan katalog elektronik
harus menggunakan E-Monev Obat.

Selain institusi pemerintah, industri farmasi dan pedagang besar farmasi


(PBF) yang tercantum dalam katalog elektronik juga harus menggunakan
E-Monev obat. Rencana kebutuhan obat yang sudah disusun dan disetujui
oleh manajemen rumah sakit dikirim datanya melalui aplikasi E-Monev.

3. Metode perhitungan RKO


Adapun pendekatan perencanaan kebutuhan dapat dilakukan melalui 4
metode, yaitu Metode Konsumsi, Metode Morbiditas, Metode Kombinasi
Konsumsi dan Morbiditas serta metode proxy consumption.
a. Metode Konsumsi
Metode konsumsi didasarkan pada data konsumsi sediaan farmasi.
Metode ini sering dijadikan perkiraan yang paling tepat dalam
perencanaan sediaan farmasi. Rumah Sakit yang sudah mapan
biasanya menggunakan metode konsumsi. Metode konsumsi
menggunakan data dari konsumsi periode sebelumnya dengan
penyesuaian yang dibutuhkan.

Perhitungan dengan metode konsumsi didasarkan atas analisa data


konsumsi sediaan farmasi periode sebelumnya ditambah stok
penyangga (buffer stock), stok waktu tunggu (lead time) dan
memperhatikan sisa stok. Buffer stock dapat mempertimbangkan

17 17
kemungkinan perubahan pola penyakit dan kenaikan jumlah kunjungan
(misal: adanya Kejadian Luar Biasa). Jumlah buffer stock bervariasi
antara 10% sampai 20% dari kebutuhan atau tergantung kebijakan
Rumah Sakit. Sedangkan stok lead time adalah stok Obat yang
dibutuhkan selama waktu tunggu sejak Obat dipesan sampai Obat
diterima.

Untuk menghitung jumlah obat yang dibutuhkan berdasarkan metode


konsumsi, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1) Pengumpulan dan pengolahan data


2) Analisis data untuk informasi dan evaluasi
3) Perhitungan perkiraan kebutuhan obat
4) Penyesuaian jumlah kebutuhan Sediaan Farmasi dengan alokasi
dana

Data yang perlu dipersiapkan untuk perhitungan metode konsumsi


adalah:

a) Daftar nama obat


b) Stok awal
c) Penerimaan
d) Pengeluaran
e) Sisa stok
f) Daftar obat hilang, rusak, kedaluwarsa
g) Kekosongan obat
h) Pemakaian rata-rata obat satu periode
i) Waktu tunggu sejak obat dipesan sampai diterima (lead time)
j) Stok pengaman (buffer stock)
k) Pola kunjungan

18
18
Rumus :

A= (B+C+D) - E

A = Rencana Kebutuhan

B = Stok Kerja (Pemakaian rata-rata x 12 bulan)

C = Buffer stock

D = Lead Time Stock (Lead time x pemakaian rata-rata)

E = Sisa stok

Keterangan :

- Stok Kerja adalah kebutuhan obat untuk pelayanan kefarmasian


selama satu periode.
- Buffer stock adalah stok pengaman
- Lead time stock adalah lamanya waktu antara pemesanan obat
sampai dengan obat diterima
- Lead stock adalah jumlah obat yang dibutuhkan selama waktu
tunggu (lead time)

Contoh perhitungan dengan metode konsumsi :

Selama tahun 2018 (Januari–Desember) pemakaian Natrium Diklofenat


50 mg sebanyak 300.000 tablet. Sisa stok per 31 Desember 2018
adalah 10.000 tablet.

(1) Stok Kerja (B) = Pemakaian rata-rata x 12 bulan. Pemakaian rata-


rata Natrium Diklofenat 50 mg perbulan selama tahun 2018 adalah
300.000 tab.

Jadi stok kerja = 25.000 tab x 12 bulan = 300.000 tablet.

19 19
(2) Misalkan buffer stock (C) diperkirakan 20% = 20% x 300.000 tab
= 60.000 tablet.
(3) Jika pengadaan obat dilakukan melalui E-Purchasing dengan sistem
E-Catalouge diketahui waktu tunggu (lead time) diperkirakan
1(satu) bulan. Jumlah kebutuhan obat saat lead time = 1 x 25.000
tablet = 25.000 tablet. Maka Lead time stock (D) adalah 1 bulan x
25.000 tablet = 25.000 tablet.
(4) Sehingga jumlah kebutuhan Natrium Diklofenat 50 mg tahun 2019
adalah:
Stok Kerja + Buffer stock + Lead time stok = B + C + D, yaitu:
300.000 tablet + 60.000 tablet + 25.000 tablet = 385.000 tablet.
(5) Jika sisa stok (E) adalah 10.000 tablet, maka Rencana Kebutuhan
(A) Natrium Diklofenat 50 mg untuk tahun 2019 adalah:
A=(B+C+D)-E = 385.000 tablet –10.000 tablet = 375.000 tablet.

Jika pernah terjadi kekosongan obat, maka perhitungan pemakaian


rata-rata adalah total pemakaian dibagi jumlah periode pelayanan
dimana obat tersedia.

Contoh:

Jika terjadi kekosongan Natrium Diklofenat 50 mg selama 20 hari dalam


satu tahun, dan diketahui pemakaian rata-rata Natrium Diklofenat 50
mg setahun adalah 300.000 tablet, maka:

- pemakaian rata-rata perhari adalah 300.000 tablet ÷ (365 hari-20


hari) = 870 tablet
- pemakaian rata-rata Natrium Diklofenat 50 mg perbulan adalah 870
tablet x 30 hari = 26.000 tablet
Jadi kebutuhan riil Natrium Diklofenat 50 mg selama setahun adalah
26.000 tablet x 12 = 312.000 tablet.

20
20
b. Metode Morbiditas
Metode morbiditas adalah perhitungan kebutuhan obat berdasarkan
pola penyakit. Metode morbiditas memperkirakan keperluan obat–obat
tertentu berdasarkan dari jumlah obat, dan kejadian penyakit umum,
dan mempertimbangkan pola standar pengobatan untuk penyakit
tertentu. Metode ini umumnya dilakukan pada program yang dinaikkan
skalanya (scaling up). Metode ini merupakan metode yang paling rumit
dan memakan waktu yang lama. Hal ini disebabkan karena sulitnya
pengumpulan data morbiditas yang valid terhadap rangkaian penyakit
tertentu. Tetapi metode ini tetap merupakan metode terbaik untuk
perencanaan pengadaan atau untuk perkiraan anggaran untuk sistem
suplai fasyankes khusus, atau untuk program baru yang belum ada
riwayat penggunaan obat sebelumnya. Faktor yang perlu diperhatikan
adalah perkembangan pola penyakit dan lead time.

Langkah-langkah dalam perhitungan kebutuhan dengan metode


morbiditas:
1. Mengumpulkan data yang diperlukan
Data yang perlu dipersiapkan untuk perhitungan metode morbiditas
adalah:
a) Perkiraan jumlah populasi
Komposisi demografi dari populasi yang akan diklasifikasikan
berdasarkan jenis kelamin untuk umur antara:
- 0 s.d. 4 tahun
- 4 s.d. 14 tahun
- 15 s.d. 44 tahun
- >45 tahun
- Atau ditetapkan berdasarkan kelompok dewasa (>12
tahun) dan anak (1 – 12 tahun)

21 21
b) Pola morbiditas penyakit
- Jenis penyakit pertahun untuk seluruh populasi pada
kelompok umur yang ada.
- Frekuensi kejadian masing-masing penyakit pertahun
untuk seluruh populasi pada kelompok umur yang ada.
c) Standar pengobatan
Obat yang masuk dalam rencana kebutuhan harus disesuaikan
dengan standar pengobatan di rumah sakit.
2. Menghitung kebutuhan jumlah obat, dengan cara jumlah kasus
dikali jumlah obat sesuai pedoman pengobatan dasar. Jumlah
kebutuhan obat yang akan datang dihitung dengan
mempertimbangkan faktor antara lain pola penyakit, lead time dan
buffer stock.

Contoh perhitungan dengan metode morbiditas:


Penggunaan Sefiksim
1) Sefiksim digunakan untuk pengobatan penyakit bronkitis kronis
dengan perhitungan sebagai berikut:
Anak-anak:
- Standar pengobatan dengan Sefiksim pada anak dengan berat
badan > 30 kg adalah 50-100 mg.
- Jumlah episode 100 kasus. Bila berat badan anak diasumsikan
adalah 30 kg.
- Jumlah maksimal untuk satu episode adalah BB x 2 kali x 5 hari
= 30 x 100mg/kgBB x 2 kali x 5 hari = 30.000 mg
- Dalam 1 botol Sefiksim sirup 100 mg/5 ml kemasan botol 60
ml, mengandung = 100 mg : 5 ml x 60 ml = 1200 mg Sefiksim.
- Maka jumlah Sefiksim yang diperlukan =30.000 mg :1.200 mg
x 1 botol = 25 botol.

22
22
- Jadi jumlah Sefiksim sirup yang dibutuhkan untuk satu kasus =
25 botol. Jumlah Sefiksim sirup yang dibutuhkan untuk 100
kasus = 100 x 25 botol = 2.500 botol.

Dewasa:
- Standar pengobatan dengan Sefiksim adalah 100-200 mg
dalam dosis terbagi 2 x sehari selama 5 hari.
- Jumlah episode 1.200 kasus.
- Jumlah yang dibutuhkan untuk satu kasus= 200 mg x 2 kali x
5 hari = 2.000 mg atau sama dengan 10 tablet @200 mg.
- Untuk 1.200 kasus = 1.200 x 10 tablet @200 mg = 12.000
tablet.

2) Setiap kasus penyakit yang menggunakan Sefiksim, dikelompokkan


dan dibuat perhitungan seperti langkah pada butir a.
Berdasarkan perhitungan seperti langkah pada butir (a), diperoleh
kebutuhan Sefiksim sebagai berikut :
- Optitis Media kronik =10.000 tablet
- Sinusitis =15.000 tablet
- Infeksi saluran Kencing = 20.000 tablet
- Tonsilitis = 17.000 tablet
- Faringitis = 20.000 tablet

Total kebutuhan Sefiksim 500 mg dalam satu periode= 10.000 +


15.000 + 20.000 + 17.000 + 20.000 = 73.000 tablet.

c. Metode Proxy Consumption


Metode proxy consumption dapat digunakan untuk perencanaan
pengadaan di Rumah Sakit baru yang tidak memiliki data konsumsi di
tahun sebelumnya. Selain itu, metode ini juga dapat digunakan di
Rumah Sakit yang sudah berdiri lama apabila data metode konsumsi

23 23
dan/atau metode morbiditas tidak dapat dipercaya. Sebagai contoh
terdapat ketidaklengkapan data konsumsi diantara bulan Januari
hingga Desember.
Metode proxy consumption adalah metode perhitungan kebutuhan obat
menggunakan data kejadian penyakit, konsumsi obat, permintaan, atau
penggunaan, dan/atau pengeluaran obat dari Rumah Sakit yang telah
memiliki sistem pengelolaan obat dan mengekstrapolasikan konsumsi
atau tingkat kebutuhan berdasarkan cakupan populasi atau tingkat
layanan yang diberikan.
Metode ini dapat digunakan untuk menghasilkan gambaran ketika
digunakan pada fasilitas tertentu dengan fasilitas lain yang memiliki
kemiripan profil masyarakat dan jenis pelayanan. Metode ini juga
bermanfaat untuk gambaran pengecekan silang dengan metode yang
lain.

d. Evaluasi Perencanaan
Evaluasi terhadap perencanaan dilakukan meliputi:
1) Kesesuaian perencanaan dengan kebutuhan. Dilakukan penilaian
kesesuaian antara RKO dengan realisasi. Sumber data berasal dari
rumah sakit, LKPP dan pemasok.

2) Masalah dalam ketersediaan yang terkait dengan perencanaan.


Dilakukan dengan cek silang data dari fasyankes dengan data di
pemasok.

Cara/teknik evaluasi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :


a) Analisa ABC, untuk evaluasi aspek ekonomi
b) Pertimbangan/kriteria VEN, untuk evaluasi aspek medik/terapi
c) Kombinasi ABC dan VEN
d) Revisi rencana kebutuhan obat

24
24
Analisis ABC
ABC bukan singkatan melainkan suatu penamaan yang menunjukkan
peringkat/rangking dimana urutan dimulai dengan yang
terbaik/terbanyak.

Analisis ABC mengelompokkan item obat berdasarkan kebutuhan


dananya, yaitu:
a) Kelompok A:
Adalah kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya
menunjukkan penyerapan dana sekitar 70% dari jumlah dana obat
keseluruhan.
b) Kelompok B:
Adalah kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya
menunjukkan penyerapan dana sekitar 20%.
c) Kelompok C:
Adalah kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya
menunjukkan penyerapan dana sekitar 10% dari jumlah dana obat
keseluruhan.

Berdasarkan berbagai observasi dalam manajemen persediaan, yang


paling banyak ditemukan adalah tingkat konsumsi pertahun hanya
diwakili oleh relatif sejumlah kecil item. Sebagai contoh, dari
pengamatan terhadap pengadaan obat dijumpai bahwa sebagian besar
dana obat (70%) digunakan untuk pengadaan 10% dari jenis atau item
obat yang paling banyak digunakan, sedangkan sisanya sekitar 90%
jenis atau item obat menggunakan dana sebesar 30%.

Dengan analisis ABC, jenis-jenis obat ini dapat diidentifikasi, untuk


kemudian dilakukan evaluasi lebih lanjut. Evaluasi ini misal dengan
mengoreksi kembali apakah penggunaannya memang banyak atau
apakah ada alternatif sediaan lain yang lebih efisien dari segi biaya
(misalnya nama dagang lain, bentuk sediaan lain, dsb). Evaluasi
terhadap jenis-jenis obat yang menyerap biaya terbanyak juga lebih

25 25
efektif dibandingkan evaluasi terhadap obat yang relatif memerlukan
anggaran sedikit.

Langkah-langkah menentukan Kelompok A, B dan C:


a) Hitung jumlah dana yang dibutuhkan untuk masing-masing obat
dengan cara mengalikan jumlah obat dengan harga obat.
b) Tentukan peringkat mulai dari yang terbesar dananya sampai yang
terkecil.
c) Hitung persentasenya terhadap total dana yang dibutuhkan.
d) Hitung akumulasi persennya.
e) Obat kelompok A termasuk dalam akumulasi 70%
f) Obat kelompok B termasuk dalam akumulasi >70% s/d 90%
(menyerap dana ± 20%)
g) Obat kelompok C termasuk dalam akumulasi > 90% s/d 100%
(menyerap dana ± 10%).

Analisis VEN
Salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana obat
yang terbatas dengan mengelompokkan obat berdasarkan manfaat tiap
jenis obat terhadap kesehatan. Semua jenis obat yang tercantum dalam
daftar obat dikelompokkan kedalam tiga kelompok berikut:

a) Kelompok V (Vital):
Adalah kelompok obat yang mampu menyelamatkan jiwa (life
saving). Contoh: obat syok anafilaksis
b) Kelompok E (Esensial):
Adalah kelompok obat yang bekerja pada sumber penyebab
penyakit dan paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan.
Contoh :
(a) Obat untuk pelayanan kesehatan pokok (contoh: antidiabetes,
analgesik, antikonvulsi)
(b) Obat untuk mengatasi penyakit penyebab kematian terbesar.

26
26
c) Kelompok N (Non Esensial):
Merupakan obat penunjang yaitu obat yang kerjanya ringan dan
biasa dipergunakan untuk menimbulkan kenyamanan atau untuk
mengatasi keluhan ringan. Contoh: suplemen.

Penggolongan obat sistem VEN dapat digunakan untuk:


1) Penyesuaian rencana kebutuhan obat dengan alokasi dana yang
tersedia. Obat yang perlu ditambah atau dikurangi dapat
didasarkan atas pengelompokan obat menurut VEN.
2) Penyusunan rencana kebutuhan obat yang masuk kelompok V agar
selalu tersedia.

Untuk menyusun daftar VEN perlu ditentukan lebih dahulu kriteria


penentuan VEN yang sebaiknya disusun oleh suatu tim. Dalam
menentukan kriteria perlu dipertimbangkan kondisi dan kebutuhan
masing-masing wilayah. Kriteria yang disusun dapat mencakup
berbagai aspek antara lain aspek klinis, konsumsi, target kondisi dan
biaya.

Analisis Kombinasi
Jenis obat yang termasuk kategori A dari analisis ABC adalah benar-
benar jenis obat yang diperlukan untuk penanggulangan penyakit
terbanyak. Dengan kata lain, statusnya harus E dan sebagian V dari
VEN. Sebaliknya, jenis obat dengan status N harusnya masuk kategori
C.
Digunakan untuk menetapkan prioritas untuk pengadaan obat dimana
anggaran yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan.

27 27
A B C

V VA VB VC

E EA EB EC

N NA NB NC

Metode gabungan ini digunakan untuk melakukan pengurangan obat.


Mekanismenya adalah :

1) Obat yang masuk kategori NA menjadi prioritas pertama untuk


dikurangi atau dihilangkan dari rencana kebutuhan, bila dana masih
kurang, maka obat kategori NB menjadi prioritas selanjutnya dan
obat yang masuk kategori NC menjadi prioritas berikutnya. Jika
setelah dilakukan dengan pendekatan ini dana yang tersedia masih
juga kurang lakukan langkah selanjutnya.
2) Pendekatannya sama dengan pada saat pengurangan obat pada
kriteria NA, NB, NC dimulai dengan pengurangan obat kategori
EA, EB dan EC.

4. Revisi daftar obat


Bila langkah-langkah dalam analisis ABC maupun VEN terlalu sulit dilakukan
atau diperlukan tindakan cepat untuk mengevaluasi daftar perencanaan,
sebagai langkah awal dapat dilakukan suatu evaluasi cepat ( rapid
evaluation), misalnya dengan melakukan revisi daftar perencanaan obat.
Namun sebelumnya, perlu dikembangkan dahulu kriterianya, obat atau
nama dagang apa yang dapat dikeluarkan dari daftar. Manfaatnya tidak
hanya dari aspek ekonomi dan medik, tetapi juga dapat berdampak positif
pada beban penanganan stok.

28
28
C. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah
direncanakan dan disetujui, melalui Pembelian, Produksi/pembuatan sediaan
farmasi, dan sumbangan/droping/ hibah.
Pembelian dengan penawaran yang kompetitif (tender) merupakan suatu
metode penting untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara mutu dan
harga, apabila ada dua atau lebih pemasok, apoteker harus mendasarkan
pada kriteria berikut : mutu produk, reputasi produsen, distributor resmi,
harga, berbagai syarat, ketepatan waktu pengiriman, mutu pelayanan
pemasok, dapat dipercaya, kebijakan tentang barang yang dikembalikan, dan
pengemasan.

1. Pembelian
Pembelian adalah rangkaian proses pengadaan untuk mendapatkan
sediaan farmasi dan BMHP dari pemasok. Peraturan Presiden RI No 94
tahun 2007 tentang Pengendalian dan Pengawasan atas Pengadaan dan
Penyaluran Bahan Obat, Obat Spesifik dan Alat Kesehatan yang Berfungsi
Sebagai Obat dan Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang dan Jasa.
Proses pengadaan mempunyai beberapa langkah yang baku dan
merupakan siklus yang berjalan terus menerus sesuai dengan kegiatan
rumah sakit. Langkah proses pengadaan dimulai dengan mereview daftar
sediaan farmasi dan BMHP yang akan diadakan, menentukan jumlah
masing - masing item yang akan dibeli, menyesuaikan dengan situasi
keuangan, memilih metode pengadaan, memilih distributor, membuat
syarat kontrak kerja, memonitor pengiriman barang, menerima barang,
melakukan pembayaran serta menyimpan kemudian mendistribusikan.
Ada 4 metode pada proses pembelian.
a) Tender terbuka, berlaku untuk semua distributor yang terdaftar, dan
sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Pada penentuan harga
metode ini lebih menguntungkan. Untuk pelaksanaannya memerlukan
staf yang kuat, waktu yang lama serta perhatian penuh.

29 29
b) Tender terbatas, sering disebutkan lelang tertutup. Hanya dilakukan
pada distributor tertentu yang sudah terdaftar dan memiliki riwayat
yang baik. Harga masih dapat dikendalikan, tenaga dan beban kerja
lebih ringan bila dibandingkan dengan lelang terbuka.
c) Pembelian dengan tawar menawar, dilakukan bila item tidak penting,
tidak banyak dan biasanya dilakukan pendekatan langsung untuk item
tertentu.
d) Pembelian langsung, pembelian jumlah kecil, perlu segera tersedia.
Harga tertentu, relatif agak lebih mahal.

Untuk pelayanan kesehatan Jaminan Kesehatan Nasional, pembelian obat


dilakukan melalui e-purchasing berdasarkan obat yang ada di e-katalog
sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun 2014
tentang Pengadaan Obat Berdasarkan E-Catalog Elektronik (E-Catalogue).
Dengan telah terbangunnya sistem Katalog Elektronik (E-Catalogue) obat,
maka seluruh Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) dalam
pengadaan obat baik untuk program Jaminan Kesehatan Nasional maupun
program kesehatan lainnya tidak perlu melakukan proses pelelangan,
namun dapat langsung memanfaatkan sistem Katalog Elektronik (E-
Catalogue) obat dengan prosedur E-Purchasing.

Dalam hal obat yang dibutuhkan tidak terdapat dalam Katalog Elektronik
(E-Catalogue) obat, proses pengadaan dapat mengikuti metode lainnya
sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018
tentang Pengadaan Barang dan Jasa.

Tahapan pengadaan obat pada RS yang melayani peserta Jaminan


Kesehatan Nasional (JKN):
1) Kepala Instalasi Farmasi menentukan Rencana Kebutuhan Obat
(RKO) dan selanjutnya menyampaikannya kepada Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) Satker Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKRTL)
2) Skrining dan klasifikasi RKO: identifikasi obat yang ada di e-katalog
dan yang tidak masuk e-katalog.

30
30
3) Obat E-katalog dapat langsung dibuat pesanan ke sistem E-
Purchasing.
4) selanjutnya melakukan perjanjian/kontrak jual beli terhadap obat
yang telah disetujui dengan distributor yang ditunjuk oleh penyedia
obat/industri farmasi
5) Dalam hal obat yang ada di E-Katalog tidak dapat disediakan oleh
penyedia, maka pengadaan dilakukan mengikuti peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sesuai dengan Permenkes No 63 Tahun 2014 tentang Pengadaan Obat
Berdasarkan Katalog Elektronik, RS swasta yang bekerja sama dengan
BPJS dapat melaksanakan pengadaan obat berdasarkan e-katalog.

2. Produksi
Produksi sediaan farmasi di rumah sakit mencakup kegiatan membuat,
merubah bentuk, dan pengemasan kembali sediaan farmasi steril
dan/atau non steril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di
rumah sakit.
Kriteria sediaan farmasi yang diproduksi :
a. Sediaan farmasi dengan formula khusus
b. Sediaan farmasi dengan mutu sesuai standar dengan harga lebih murah
c. Sediaan farmasi yang memerlukan pengemasan kembali
d. Sediaan farmasi yang tidak tersedia di pasaran
e. Sediaan farmasi untuk penelitian
f. Sediaan farmasi yang harus selalu dibuat baru

Jenis Sediaan farmasi yang diproduksi:


1) Produksi steril
Produksi steril meliputi pembuatan sediaan steril (contoh: gauze/tulle)
dan pengemasan kembali sediaan steril.
2) Produksi non steril
Produksi non steril terdiri dari pembuatan puyer, pembuatan sirup,
pembuatan salep, pembuatan kapsul, pengemasan kembali, dan

31 31
pengenceran. Persyaratan teknis produksi non steril meliputi ruangan
khusus untuk pembuatan, peralatan peracikan dan pengemasan serta
petugas yang terlatih
(a) Pembuatan sirup
Sirup yang umum dibuat di rumah sakit: kloralhidrat, omeprazole,
mineral mix
(b) Pembuatan salep
Salep luka bakar
(c) Pengemasan kembali
Alkohol, H2O2, Povidon iodin, klorheksidin
(d) Pengenceran
Antiseptik dan disinfektan

Sediaan farmasi yang diproduksi oleh IFRS harus akurat dalam identitas,
kekuatan, kemurnian, dan mutu. Oleh karena itu, harus ada pengendalian
proses dan produk untuk semua sediaan yang diproduksi atau pembuatan
sediaan ruah dan pengemasan yang memenuhi syarat. Formula induk dan
batch harus terdokumentasi dengan baik (termasuk hasil pengujian
produk). Semua tenaga teknis harus di bawah pengawasan dan terlatih.
Kegiatan pengemasan dan penandaan harus mempunyai kendali yang
cukup untuk mencegah kekeliruan dalam pencampuran produk/
kemasan/etiket. Nomor lot untuk mengidentifikasi setiap produk jadi
dengan sejarah produksi dan pengendalian, harus diberikan pada tiap
batch.

Apoteker disarankan untuk membuat sediaan farmasi dengan potensi dan


kemasan yang dibutuhkan untuk terapi optimal, tetapi tidak tersedia di
pasaran. Dalam hal ini, harus diperhatikan persyaratan stabilitas,
kecocokan rasa, kemasan, dan pemberian etiket dari berbagai produk
yang dibuat.

32
32
3. Sumbangan/Hibah/Dropping
Pada prinsipnya pengelolaan sediaan farmasi dan BMHP dari
hibah/sumbangan, mengikuti kaidah umum pengelolaan sediaan farmasi
dan BMHP reguler. Sediaan farmasi dan BMHP yang tersisa dapat dipakai
untuk menunjang pelayanan kesehatan pada saat situasi normal.
Pada proses pengadaan ada 3 elemen penting yang harus diperhatikan :
1. Pengadaan yang dipilih, bila tidak teliti dapat menjadikan ”biaya tinggi“
2. Penyusunan dan persyaratan kontrak kerja (harga kontrak = visible
cost + hidden cost), sangat penting untuk menjaga agar pelaksanaan
pengadaan terjamin mutu (misalnya persyaratan masa kedaluwarsa,
sertifikat analisa/standar mutu, harus mempunyai Material Safety Data
Sheet (MSDS), untuk bahan berbahaya, khusus untuk alat kesehatan
harus mempunyai certificate of origin), waktu dan kelancaran bagi
semua pihak, dan lain-lain.
3. Order pemesanan agar barang dapat sesuai jenis, waktu dan tempat

Beberapa jenis obat, bahan aktif yang mempunyai masa kedaluwarsa


relatif pendek harus diperhatikan waktu pengadaannya. Untuk itu harus
dihindari pengadaan dalam jumlah besar.
Guna menjamin tata kelola sediaan farmasi dan BMHP yang baik, dalam
proses pengadaan harus diperhatikan adanya :
a) Prosedur yang transparan dalam proses pengadaan.
b) Mekanisme penyanggahan bagi peserta tender yang ditolak
penawarannya.
c) Prosedur tetap untuk pemeriksaan rutin consignments (pengiriman)
d) Pedoman tertulis mengenai metode pengadaan bagi panitia
pengadaan.
e) Pernyataan dari anggota panitia pengadaaan bahwa yang
bersangkutan tidak mempunyai konflik kepentingan.
f) SPO pengadaan.
g) Kerangka acuan bagi panitia pengadaan selama masa tugasnya.

33 33
h) Pembatasan masa kerja anggota panitia pengadaan misalkan
maksimal 3 tahun.
i) Standar kompetensi bagi anggota panitia pengadaan, panitia harus
mempunyai Sertifikat Pengadaan Barang dan Jasa.
j) Kriteria tertentu untuk menjadi anggota panitia pengadaan terutama:
integritas, kredibilitas, rekam jejak yang baik.
k) Sistem manajemen informasi yang digunakan untuk melaporkan
produk sediaan farmasi dan BMHP yang bermasalah.
l) Sistem yang efisien untuk memonitor post tender dan pelaporan
kinerja pemasok kepada panitia pengadaan.
m) Audit secara rutin pada proses pengadaan.

D. Penerimaan
Penerimaan dan pemeriksaan merupakan salah satu bagian dari kegiatan
pengadaan agar obat yang diterima sesuai dengan jenis, jumlah dan mutunya
berdasarkan dokumen yang menyertainya dilakukan oleh panitia penerimaan
yang salah satu anggotanya adalah tenaga farmasi.
Pemeriksaan mutu obat dilakukan secara organoleptik, khusus pemeriksaan
label dan kemasan perlu dilakukan pengecekan terhadap tanggal kedaluwarsa,
dan nomor batch terhadap obat yang diterima.
Pemeriksaan mutu obat secara organoleptik dilakukan meliputi:
1. Tablet :
a. kemasan dan label
b. bentuk fisik (keutuhan, basah, lengket)
c. warna, bau dan rasa
2. Tablet salut :
a. warna, bau dan rasa
b. bentuk fisik (keutuhan, basah, lengket)
c. kemasan dan label

34
34
3. Cairan :
a. warna, bau
b. kejernihan, homogenitas
c. kemasan dan label
4. Salep :
a. warna, konsistensi
b. homogenitas
c. kemasan dan label
5. Injeksi :
a. warna
b. kejernihan untuk larutan injeksi
c. homogenitas untuk serbuk injeksi
d. kemasan dan label
6. Sirup kering :
a. warna, bau, penggumpalan
b. kemasan dan label
7. Suppositoria :
a. warna
b. konsistensi
c. kemasan dan label

Penerimaan sediaan farmasi dan BMHP harus dilakukan oleh Apoteker atau
tenaga teknis kefarmasian. Petugas yang dilibatkan dalam penerimaan harus
terlatih baik dalam tanggung jawab dan tugas mereka, serta harus mengerti
sifat penting dari sediaan farmasi dan BMHP. Dalam tim penerimaan harus ada
Apoteker. Bila terjadi keraguan terhadap mutu obat dapat dilakukan
pemeriksaan mutu di laboratorium yang ditunjuk pada saat pengadaan dan
merupakan tanggung jawab pemasok yang menyediakan.
Semua sediaan farmasi dan BMHP harus ditempatkan dalam tempat
persediaan, segera setelah diterima, sediaan farmasi dan BMHP harus segera
disimpan dalam tempat penyimpanan sesuai standar. Sediaan farmasi dan

35 35
BMHP yang diterima harus sesuai dengan dokumen pemesanan. Hal lain yang
perlu diperhatikan dalam penerimaan:
1. Harus mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS), untuk bahan
berbahaya.
2. Khusus untuk alat kesehatan harus mempunyai Certificate of Origin.
3. Sertifikat Analisa Produk
4. Khusus vaksin dan enzim harus diperiksa cool box dan catatan pemantauan
suhu dalam perjalanan.

E. Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara
menempatkan sediaan farmasi dan BMHP yang diterima pada tempat yang
dinilai aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu
obat. Tujuan penyimpanan adalah untuk memelihara mutu sediaan farmasi,
menghindari penggunaan yang tidak bertanggungjawab, menghindari
kehilangan dan pencurian, serta memudahkan pencarian dan pengawasan.
Aspek umum yang perlu diperhatikan:
1. Area penyimpanan obat di gudang dan satelit farmasi tidak boleh dimasuki
selain oleh petugas farmasi yang diberi kewenangan.
2. Area penyimpanan obat di ruang perawatan tidak boleh dimasuki selain
oleh petugas yang diberi kewenangan oleh kepala ruangan.
3. Sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dilindungi
dari kehilangan atau pencurian di semua area rumah sakit, misal diberi
CCTV, penggunaan kartu stok dan akses terbatas untuk Instalasi Farmasi
4. Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan obat diberi
label yang secara jelas dapat dibaca, memuat nama, tanggal pertama
kemasan dibuka, tanggal kadaluwarsa dan peringatan khusus
5. Obat yang dikeluarkan dari wadah asli, seperti sediaan injeksi yang sudah
dikemas dalam syringe harus diberi etiket: nama pasien dan identitas lain
(nomor rekam medik dan/atau tanggal lahir), tanggal dibuka dan tanggal
kedaluwarsa setelah dibuka

36
36
6. Obat dan bahan kimia yang didistribusikan dengan pengemasan ulang
(repacking) harus diberikan etiket: nama, konsentrasi/kekuatan, tanggal
pengemasan dan beyond use date (BUD)
7. Tersedia rak/lemari dalam jumlah cukup untuk memuat sediaan farmasi,
alat kesehatan dan BMHP
8. Jarak antara barang yang diletakkan di posisi tertinggi dengan langit-langit
minimal 50 cm
9. Langit-langit tidak berpori dan tidak bocor
10. Tersedia pallet yang cukup untuk melindungi sediaan farmasi dari
kelembaban lantai
11. Tersedia alat pengangkut sesuai kebutuhan (forklift, troli)
12. Ruangan harus bebas dari serangga dan binatang pengganggu
13. Tersedia sistem pendingin yang dapat menjaga suhu ruangan di bawah
25ºC
14. Dinding terbuat dari bahan yang kedap air, tidak berpori dan tahan
benturan
15. Lantai terbuat dari bahan yang tidak berongga vinyl/floor hardener (tahan
zat kimia)
16. Luas ruangan memungkinkan aktivitas pengangkutan dilakukan secara
leluasa
17. Harus tersedia minimal dua pintu untuk jalur evakuasi
18. Lokasi bebas banjir
19. Tersedia lemari pendingin untuk penyimpanan obat tertentu
20. Tersedia alat pemantau suhu ruangan terkalibrasi dan lemari pendingin
21. Di area perawatan pasien tidak diperbolehkan menyimpan sediaan
farmasi, alat kesehatan dan BMHP dengan kemasan tersier (kardus
terluar)
22. Untuk bahan berbahaya dan beracun harus tersedia:
a. eye washer dan shower
b. Spill kit (peralatan penanganan tumpahan)
c. lembar Material Safety Data Sheet (MSDS)

37 37
d. Rak/wadah penyimpanan yang dilengkapi simbol B3 yang sesuai
23. Sistem First Expired First Out (FEFO), First In First Out (FIFO) dan
penyimpanan berdasarkan alfabetis atau kelas terapi.
24. Kerapihan dan kebersihan ruang penyimpanan
25. Obat kedaluwarsa yang menunggu waktu pemusnahan disimpan di
tempat khusus yaitu ruang karantina
26. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk penyimpanan
barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi.
27. Obat yang mendekati kadaluwarsa (3 sampai 6 bulan sebelum tanggal
kedaluwarsa tergantung kebijakan rumah sakit) disimpan terpisah dan
diberikan penandaan khusus.
28. Obat yang dibawa pasien sebaiknya disimpan di Instalasi Farmasi,
menggunakan formulir serah terima obat/alkes yang dibawa pasien dari
luar rumah sakit (lihat Lampiran 5)
29. Obat harus disimpan dalam kondisi yang menjaga stabilitas bahan aktif
hingga digunakan oleh pasien. Informasi terkait dengan suhu
penyimpanan obat dapat dilihat pada kemasan obat. Tempat
penyimpanan obat (ruangan dan lemari pendingin) harus selalu dipantau
suhunya menggunakan termometer yang terkalibrasi. Khusus vaksin tidak
direkomendasikan disimpan dalam kulkas rumah tangga. Pemantauan
suhu ruangan dilakukan 1 kali sehari, pemantauan lemari pendingin 3 kali
sehari.
30. Termometer yang digunakan untuk mengukur suhu lemari pendingin
dapat berupa termometer eksternal dan internal, sebagaimana terlihat
pada gambar 1. Termometer harus dikalibrasi setiap tahun.

38
38
Gambar 1. Lemari pendingin dengan termometer eksternal (kiri) dan
lemari pendingin dengan termometer internal (kanan)

31. Suhu penyimpanan obat harus dipantau setiap hari termasuk hari libur.
Bila ditemukan suhu di luar rentang normal, maka petugas farmasi harus
melaksanakan pengamanan sesuai dengan kebijakan rumah sakit untuk
mempertahankan stabilitas dan mutu obat. Petugas farmasi
mengidentifikasi dan menindaklanjuti kemungkinan penyebab suhu
penyimpanan di luar rentang normal, contoh: pintu ruangan/lemari
pendingin yang tidak tertutup rapat/terbuka, penempatan sensor
termometer yang tidak tepat, karet pintu lemari pendingin yang sudah
rusak. Jika masalah tidak dapat diatasi, maka petugas farmasi melaporkan
kepada bagian teknik atau unit kerja terkait untuk ditindaklanjuti.
32. Penanganan jika listrik padam
Ruang penyimpanan obat harus diprioritaskan untuk mendapat pasokan
listrik cadangan/genset apabila terjadi pemadaman listrik. Jika terjadi
pemadaman listrik, dilakukan tindakan pengamanan terhadap obat
dengan memindahkan obat tersebut ke tempat yang memenuhi
persyaratan.
33. Inspeksi/pemantauan dilakukan secara berkala terhadap tempat
penyimpanan obat. Untuk memudahkan pemantauan, maka dapat dibuat
ceklis pemantauan terhadap aspek-aspek penyimpanan yang baik dan
aman.

39 39
34. Beberapa macam obat memiliki risiko khusus yang memerlukan ketentuan
tersendiri dalam penyimpanan, pelabelan dan pengawasan
penggunaannya, seperti : obat program, obat yang dibawa pasien dari
luar rumah sakit, produk nutrisi, obat penelitian dan bahan radioaktif.

Obat yang memerlukan kewaspadaan tinggi (high alert)

Obat High Alert adalah obat yang harus diwaspadai karena berdampak serius
pada keselamatan pasien jika terjadi kesalahan dalam penggunaannya .
Obat High Alert mencakup:
a) Obat risiko tinggi, yaitu sediaan farmasi dengan zat aktif yang akan
menimbulkan kematian atau kecacatan bila terjadi kesalahan (error) dalam
penggunaannya (contoh: insulin, heparin atau kemoterapeutik).
b) Obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan
Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA) (contoh lihat
gambar)
c) Elektrolit konsentrat contoh: kalium klorida dengan konsentrasi sama atau
lebih dari 2 mEq/ml, kalium fosfat, natrium klorida dengan konsentrasi lebih
dari 0,9% dan magnesium sulfat injeksi dengan konsentrasi 50% atau lebih
d) Elektrolit konsentrasi tertentu, contoh: kalium klorida dengan konsentrasi 1
mEq/ml, magnesium sulfat 20% dan 40%.

Obat berisiko tinggi disimpan di tempat terpisah dan diberi label “High Alert”.
Untuk obat sitostatika penandaan dapat diberikan tanda/label sesuai standar
internasional dan tidak perlu diberikan lagi tanda/label high alert.

Gambar 2. Contoh label Sitostatik

40
40
Daftar obat berisiko tinggi ditetapkan oleh rumah sakit dengan
mempertimbangkan data dari referensi dan data internal di rumah sakit.
Referensi yang dapat dijadikan acuan antara lain daftar yang diterbitkan oleh
ISMP (Institute for Safe Medication Practice).

Gambar 3. Contoh lemari penyimpanan obat high alert

Elektrolit konsentrat dan elektrolit konsentrasi tertentu hanya tersedia di


Instalasi Farmasi/ Satelit Farmasi. Elektrolit konsentrat dan elektrolit
konsentrasi tertentu disimpan dengan lokasi akses terbatas dan penandaan
yang jelas untuk menghindari kesalahan pengambilan dan penggunaan.
Pelabelan:
Disarankan pemberian label high alert diberikan dari gudang agar potensi
terlupa pemberian label high alert di satelit farmasi dapat diminimalkan. Stiker
High Alert ditempelkan pada kemasan satuan terkecil, contoh: ampul, vial. Obat
sitostatika tidak perlu ditempelkan stiker high alert karena sudah memiliki
penandaan khusus obat sitostatika. Untuk obat high alert yang diserahkan ke
pasien rawat jalan, maka tidak perlu di tempelkan stiker disetiap satuan
terkecil (contoh: tablet warfarin). Hal yang perlu ditekankan adalah pemberian
edukasi kepada pasien tentang cara penggunaan obat yang benar dan apa yang
harus dilakukan jika terjadi efek yang tidak diharapkan (contoh: warfarin,
insulin). Disarankan tampilan stiker high alert berwarna mencolok dengan
tulisan yang kontras dan terbaca jelas.

41 41
Gambar 4. Contoh label high alert

Obat Look Alike Sound Alike (LASA)/NORUM

Rumah sakit menetapkan daftar obat Look Alike Sound Alike (LASA)/nama-
obat-rupa-ucapan-mirip (NORUM).
Penyimpanan obat LASA/NORUM tidak saling berdekatan dan diberi label
khusus sehingga petugas dapat lebih mewaspadai adanya obat LASA/NORUM.
Disarankan dalam penulisan menggunakan Tall Man Lettering untuk nama obat
yang bunyi/ejaannya mirip.
Contoh obat LASA dengan kekuatan berbeda (Gambar 5), obat-obat tersebut
disimpan tidak berdampingan dengan bentuk sediaan berbeda (Gambar 6) dan
diberi label “LASA” pada wadah penyimpanannya.
Contoh obat LASA:

Gambar 5. Contoh obat LASA dengan kekuatan berbeda

42
42
Gambar 6. Contoh obat LASA dengan bentuk sediaan berbeda

Gambar 7 Contoh obat LASA dengan kandungan zat aktif berbeda

Gambar 8. Contoh obat LASA disimpan tidak berdekatan

Gambar 9. Contoh label LASA

43 43
35. Obat Narkotika, Psikotropika dan Prekusor

Obat Narkotika dan Psikotropika masing-masing harus disimpan dalam


lemari yang terpisah, sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan yang
berlaku. Obat narkotika disimpan dalam lemari dengan satu pintu dan dua
jenis kunci yang berbeda. Harus ditetapkan seorang penanggung jawab
terhadap lemari narkotika dan psikotropika. Kunci lemari khusus dikuasai
oleh Apoteker penanggungjawab/Apoteker yang ditunjuk dan pegawai
lain yang dikuasakan. Kunci lemari narkotika dan psikotropika tidak boleh
dibiarkan tergantung pada lemari. Setiap pergantian shift harus dilakukan
pemeriksaan stok dan serah terima yang didokumentasikan.

Jika terdapat sisa narkotika maka harus dilakukan pemusnahan sesegara


mungkin untuk menghindari penyalahgunaan. Pemusnahan sisa narkotika
harus disaksikan oleh dua petugas yang berbeda profesi dan
didokumentasikan dalam formulir/berita acara pemusnahan sisa
narkotika. Contoh isian formulir dapat dilihat pada lampiran 6.

36. Bahan berbahaya dan beracun (B3)

Bahan berbahaya dan beracun (B3) disimpan di lemari khusus (Gambar


10) dengan penandaan yang menujukkan sifat bahan tersebut seperti
terlihat pada Gambar 11. Untuk pengelolaan B3 mengacu pada Peraturan
Pemerintah Nomor 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun.

Gambar 10. Contoh lemari penyimpanan B3

44
44
Gambar 11. Penandaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)

37. Obat dan Alat Kesehatan Untuk Keadaan Darurat (Emergensi)

Penyimpanan obat dan alat kesehatan emergensi harus memperhatikan


aspek kecepatan bila terjadi kegawatdaruratan dan aspek keamanan
dalam penyimpanannya. Obat dan alat kesehatan emergensi digunakan
hanya pada saat emergensi (contoh daftar sediaan farmasi untuk keadaan
darurat pada lampiran 12). Monitoring terhadap obat dan alat kesehatan
emergensi dilakukan secara berkala. Pemantauan dan penggantian obat
emergensi yang kedaluwarsa dan rusak secara tepat waktu.

45 45
Rumah sakit harus memiliki SPO pengelolaan obat dan alat kesehatan
emergensi yang berisi ketentuan:
a. Pengisian awal obat dan alat kesehatan emergensi ke dalam troli/kit
emergensi
b. Pemeliharaan stok obat dan alat kesehatan emergensi
c. Prosedur penggantian segera obat dan alat kesehatan emergensi yang
terpakai
d. Laporan penggunaan obat dan alat kesehatan emergensi

Rumah Sakit harus dapat menyediakan lokasi penyimpanan troli/kit


emergensi. Tempat penyimpanan harus mudah diakses dan terhindar dari
penyalahgunaan dan pencurian.

Pengelolaan Obat emergensi harus menjamin:

a. jumlah dan jenis Obat sesuai dengan daftar Obat emergensi yang
telah ditetapkan;
b. tidak boleh bercampur dengan persediaan Obat untuk kebutuhan lain;
c. bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti;
d. dicek secara berkala apakah ada yang kedaluwarsa; dan
e. dilarang untuk dipinjam untuk kebutuhan lain.

Mekanisme pengelolaan sediaan farmasi untuk keperluan darurat adalah


sebagai berikut :
a. Jenis dan jumlah persediaan untuk masing-masing item sediaan
farmasi emergensi ditetapkan oleh Tim Code Blue atau tim sejenis
yang salah satu anggota tim adalah apoteker
b. Sediaan farmasi emergensi, harus disediakan untuk pengobatan
gangguan jantung, gangguan peredaran darah, reaksi alergi, konvulsi
dan bronkospasma.
c. Sediaan farmasi emergensi harus dapat diakes dan sampai ke pasien
dalam waktu kurang dari 5 menit.

46
46
d. Sediaan farmasi emergensi harus selalu tersedia. Tidak boleh ada
sediaan farmasi yang kosong.
e. Sediaan farmasi yang kosong/terpakai harus segera diajukan
permintaannya penggantinya kepada IFRS.
f. Persediaan sediaan farmasi emergensi harus diinspeksi oleh staf
Instalasi Farmasi secara rutin.

Gambar 12. Obat emergensi disusun rapi dalam troli, obat high alert tetap dilokalisir

Kunci
dispo
sable
Gambar 13. Tas emergensi dilengkapi kunci pengaman disposable

47 47
Kunci
dispos
able
Gambar 14. Kit emergensi dilengkapi kunci pengaman disposable

F. Pendistribusian
Distribusi adalah kegiatan menyalurkan sediaan farmasi dan BMHP di rumah
sakit untuk pelayanan pasien dalam proses terapi baik pasien rawat inap
maupun rawat jalan serta untuk menunjang pelayanan medis dan BMHP.

Tujuan pendistribusian adalah tersedianya sediaan farmasi dan BMHP di unit-


unit pelayanan secara tepat waktu, tepat jenis dan jumlah. Distribusi sediaan
farmasi dan BMHP dapat dilakukan dengan salah satu/kombinasi sistem di
bawah ini.
a. Sistem distribusi sentralisasi, yaitu distribusi dilakukan oleh Instalasi
Farmasi secara terpusat ke semua unit rawat inap di rumah sakit secara
keseluruhan.
b. Sistem distribusi desentralisasi, yaitu distribusi dilakukan oleh beberapa
depo/satelit yang merupakan cabang pelayanan di rumah sakit.

Untuk memenuhi kebutuhan setiap pasien, maka dilakukan penyiapan


(dispensing) sediaan farmasi dan BMHP. Ada beberapa metode penyiapan
sediaan farmasi dan BMHP untuk pasien, yaitu:

1) Persediaan di Ruang Rawat (Floor Stock)


Penyiapan obat berdasarkan sistem persediaan di ruang rawat ( floor stock)
adalah penyiapan obat yang dilakukan oleh perawat berdasarkan
resep/instruksi pengobatan yang ditulis oleh dokter

Sediaan farmasi dan BMHP disimpan di ruang rawat dengan


penanggungjawab perawat.

48
48
Metode ini hanya diperbolehkan untuk memenuhi kebutuhan dalam
keadaan darurat. Jenis dan jumlah sediaan farmasi dan BMHP yang dapat
dijadikan floor stock ditetapkan oleh Tim Farmasi dan Terapi. Rumah Sakit
harus membuat prosedur sehingga penerapan metode ini tidak mengurangi
pengawasan dan pengendalian dari Instalasi Farmasi dalam
pengelolaannya.

2) Resep Perorangan (Individu)


Penyiapan sediaan farmasi dan BMHP berdasarkan sistem resep
perorangan (individu) adalah penyiapan sediaan farmasi dan BMHP sesuai
resep/instruksi pengobatan yang ditulis dokter baik secara manual maupun
elektronik untuk tiap pasien dalam satu periode pengobatan (contoh:
dokter menuliskan resep untuk 7 hari, maka instalasi farmasi menyiapkan
obat yang dikemas untuk kebutuhan 7 hari). Metode penyiapan secara
resep perorangan digunakan untuk pasien rawat jalan.
3) Dosis Unit (Unit Dose Dispensing = UDD)
Penyiapan sediaan farmasi dan BMHP secara unit dose adalah penyiapan
sediaan farmasi dan BMHP yang dikemas dalam satu kantong/wadah untuk
satu kali penggunaan obat (dosis), sehingga siap untuk diberikan ke pasien
(ready to administer). Obat yang sudah dikemas per dosis tersebut dapat
disimpan di lemari obat pasien di ruang rawat untuk persediaan tidak lebih
dari 24 jam.

Mengingat metode ini dapat meningkatkan keselamatan pasien, maka


metode ini harus digunakan dalam penyiapan obat untuk pasien rawat inap
secara menyeluruh di rumah sakit.

Rumah sakit dapat menggunakan Automatic Dispensing Cabinet (ADC)


untuk meningkatkan akurasi dan efisiensi dalam proses penyiapan obat.

49 49
G. Pemusnahan dan Penarikan
Rumah Sakit harus memiliki sistem penanganan obat yang rusak (tidak
memenuhi persyaratan mutu)/telah kedaluwarsa/tidak memenuhi syarat untuk
dipergunakan dalam pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu
pengetahuan/dicabut izin edarnya untuk dilakukan pemusnahan atau
pengembalian ke distributor sesuai ketentuan yang berlaku.

Pemusnahan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor farmasi dilakukan sesuai


peraturan perundang-undangan untuk kelompok khusus obat ini.

Tujuan pemusnahan adalah untuk menjamin sediaan farmasi dan BMHP yang
sudah tidak memenuhi syarat dikelola sesuai dengan standar yang berlaku.
Adanya penghapusan akan mengurangi beban penyimpanan maupun
mengurangi risiko terjadi penggunaan obat yang sub standar.

Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan


Medis Habis Pakai bila:
1. produk tidak memenuhi persyaratan mutu;
2. telah kedaluwarsa;
3. tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan
atau kepentingan ilmu pengetahuan; dan/atau
4. dicabut izin edarnya.

Tahapan pemusnahan terdiri dari:


a. membuat daftar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai yang akan dimusnahkan;
b. menyiapkan Berita Acara Pemusnahan;
c. mengoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan kepada pihak
terkait;
d. menyiapkan tempat pemusnahan; dan
e. melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan
serta peraturan yang berlaku.

50
50
Pemusnahan dilakukan sesuai dengan jenis, bentuk sediaan dan peraturan yang
berlaku. Untuk pemusnahan narkotika, psikotropika dan prekursor dilakukan
oleh apoteker dan disaksikan oleh dinas kesehatan kab/kota dan dibuat berita
acara pemusnahan. Jika pemusnahan obat dilakukan oleh pihak ketiga maka
instalasi farmasi harus memastikan bahwa obat telah dimusnahkan.

Penarikan Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan terhadap
produk yang izin edarnya dicabut oleh Menteri.

Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar/ketentuan peraturan


perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar berdasarkan perintah
penarikan oleh BPOM (mandatory recall) atau berdasarkan inisiasi sukarela
oleh pemilik izin edar (voluntary recall) dengan tetap memberikan laporan
kepada Kepala BPOM.

H. Pengendalian
Pengendalian persediaan adalah suatu kegiatan untuk memastikan tercapainya
sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program yang telah
ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/kekosongan obat
di rumah sakit. Pengendalian persediaan obat terdiri dari:

1. Pengendalian ketersediaan;
2. Pengendalian penggunaan;
3. Penanganan ketika terjadi kehilangan, kerusakan, dan kedaluwarsa.

Dokumen yang harus dipersiapkan dalam rangka pengendalian persediaan:

a. Kebijakan
Dokumen kebijakan yang dibutuhkan antara lain:
1) Formularium Nasional
2) Formularium Rumah Sakit
3) Perjanjian kerja sama dengan pemasok obat.

51 51
4) Mekanisme penyediaan untuk mengantisipasi kekosongan stok, misalnya
kerjasama dengan pihak ketiga dan prosedur pemberian saran substitusi
ke dokter penulis resep.
5) Sistem pengawasan, penggunaan dan pengamanan obat.

Pedoman yang dipersiapkan antara lain:


1) Pedoman pelayanan kefarmasian
2) Pedoman pengadaan obat

b. Standar Prosedur Operasional


SPO yang perlu dipersiapkan antara lain:
1) SPO penanganan ketidaktersediaan stok obat
2) SPO monitoring obat baru dan Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) yang
tidak diantisipasi
3) SPO sistem pengamanan atau perlindungan terhadap kehilangan atau
pencurian
4) SPO proses untuk mendapatkan obat pada saat farmasi tutup/di luar jam
kerja
5) SPO untuk mengatasi kondisi kekosongan obat
6) SPO untuk pemenuhan obat yang tidak pernah tersedia

Pengendalian ketersediaan:
Kekosongan atau kekurangan obat di rumah sakit dapat terjadi karena
beberapa hal:
a. Perencanaan yang kurang tepat
b. Obat yang direncanakan tidak tersedia/kosong di distributor
c. Perubahan kebijakan pemerintah (misalnya perubahan e katalog, sehingga
obat yang sudah direncanakan tahun sebelumnya tidak masuk dalam katalog
obat yang baru).
d. Obat yang dibutuhkan sesuai indikasi medis di rumah sakit tidak tercantum
dalam Formularium Nasional.

52
52
Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh Instalasi Farmasi untuk
mencegah/mengatasi kekurangan atau kekosongan obat.
a. Melakukan substitusi obat dengan obat lain yang memiliki zat aktif yang
sama.
b. Melakukan substitusi obat dalam satu kelas terapi dengan persetujuan
dokter penanggung jawab pasien
c. Membeli obat dari Apotek/ Rumah Sakit lain yang mempunyai perjanjian
kerjasama
d. Apabila obat yang dibutuhkan sesuai indikasi medis di rumah sakit tidak
tercantum dalam Formularium Nasional dan harganya tidak terdapat dalam
e-katalog obat, maka dapat digunakan obat lain berdasarkan persetujuan
ketua Komite Farmasi dan Terapi/KFT dengan persetujuan komite medik
atau Direktur rumah sakit.
e. Mekanisme pengadaan obat di luar Formularium Nasional dan e-katalog
obat dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah).
f. Obat yang tidak tercantum dalam Formularium Nasional atau e-katalog obat
dimasukkan dalam Formularium Rumah Sakit.

Pengendalian penggunaan
Pengendalian penggunaan obat dilakukan untuk mengetahui jumlah
penerimaan dan pemakaian obat sehingga dapat memastikan jumlah
kebutuhan obat dalam satu periode.

Kegiatan pengendalian mencakup:


a. Memperkirakan/menghitung pemakaian rata-rata periode tertentu. Jumlah
stok ini disebut stok kerja.
b. Menentukan :
1) Stok optimum adalah stok obat yang diserahkan kepada unit pelayanan
agar tidak mengalami kekurangan/kekosongan.

53 53
Stok pengaman adalah jumlah stok yang disediakan untuk mencegah
terjadinya sesuatu hal yang tidak terduga, misalnya karena
keterlambatan pengiriman.
2) Menentukan waktu tunggu (leadtime) adalah waktu yang diperlukan
dari mulai pemesanan sampai obat diterima.
3) Menentukan waktu kekosongan obat

Cara menghitung stok optimum :


SO = SK + SWK + SWT + Buffer stock

Keterangan :
SO = Stok Optimum
SK = Stok Kerja (stok pada periode berjalan)
SWK = Stok Waktu Kosong (jumlah yang dibutuhkan pada waktu
kekosongan obat)
SWT = Stok Waktu Tunggu (jumlah yang dibutuhkan pada waktu tunggu
(lead time)
Buffer stok = Stok pengaman

Saat Stock Opname dilakukan pendataan sediaan yang masa kedaluwarsanya


minimal 6 bulan, kemudian dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1) Diberi penandaan khusus dan disimpan sesuai FEFO
2) Untuk sediaan yang sudah ED disimpan ditempat terpisah dan diberi
keterangan “sudah kedaluwarsa”
3) Dikembalikan ke distributor atau dimusnahkan sesuai ketentuan
4) Waktu kedaluwarsa: saat sediaan tidak dapat digunakan lagi sampai akhir
bulan tersebut.
Contoh: ED 01-2016 berarti sediaan tersebut dapat digunakan sampai
dengan 31 Januari 2016

IFRS harus membuat prosedur terdokumentasi untuk mendeteksi kerusakan


dan kedaluwarsa sediaan farmasi dan BMHP serta penanganannya. IFRS harus

54
54
diberi tahu setiap ada produk sediaan farmasi dan BMHP yang rusak, yang
ditemukan oleh perawat dan staf medik.
Pencatatan :
Pencatatan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk memonitor keluar
dan masuknya (mutasi) obat di IFRS. Pencatatan dapat dilakukan dalam bentuk
digital atau manual. Pencatatan dalam bentuk manual biasa menggunakan
kartu stok. Fungsi kartu stok obat:
1) Mencatat jumlah penerimaan dan pengeluaran obat termasuk kondisi fisik,
nomor batch dan tanggal kedaluwarsa obat
2) Satu kartu stok hanya digunakan untuk mencatat mutasi satu jenis obat
dari satu sumber anggaran
3) Data pada kartu stok digunakan untuk menyusun laporan dan rencana
kebutuhan obat periode berikutnya
4) Hal yang harus diperhatikan:
5) Kartu stok obat harus diletakkan berdekatan dengan obat yang
bersangkutan. Pencatatan harus dilakukan setiap kali ada mutasi
(keluar/masuk obat atau jika ada obat hilang, rusak dan kedaluwarsa)
6) Penerimaan dan pengeluaran dijumlahkan setiap akhir periode.
7) Pengeluaran satu jenis obat dari anggaran yang berbeda dijumlahkan dan
dianggap sebagai jumlah kebutuhan obat tersebut dalam satu periode.
8) Penanganan ketika terjadi kehilangan, kerusakan, obat yang ditarik oleh
pemerintah dan kedaluwarsa.
9) Pemusnahan dan penarikan obat yang tidak dapat digunakan harus
dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
10) Penarikan obat yang tidak memenuhi standar/ketentuan peraturan
perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar berdasarkan perintah
penarikan oleh BPOM (mandatory recall) atau berdasarkan inisiasi sukarela
oleh pemilik izin edar (voluntary recall) dengan tetap memberikan laporan
kepada Kepala BPOM.

55 55
Selain itu, dalam rangka pengendalian perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:

1) Formulir pemberian obat

Formulir pemberian obat adalah formulir yang digunakan perawat untuk


pemberian obat. Pada formulir ini perawat mencatat pemberian obat (lihat
Lampiran 7). Pada saat melakukan rekonsiliasi obat, apoteker
membandingkan formulir ini dengan sumber data lain, misalnya daftar
riwayat penggunaan obat pasien, resep/instruksi pengobatan (lihat bab
pembahasan tentang Rekonsiliasi Obat)

2) Pengembalian obat yang tidak digunakan


Hanya sediaan farmasi dan BMHP dalam kemasan tersegel yang dapat
dikembalikan ke Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Sediaan farmasi dan BMHP
yang dikembalikan pasien rawat jalan tidak boleh digunakan kembali.
Rumah sakit harus membuat prosedur tentang pengembalian sediaan
farmasi dan BMHP.

3) Pengendalian obat dalam ruang bedah dan ruang pemulihan.


Sistem pengendalian obat rumah sakit harus sampai ke bagian bedah,
apoteker harus memastikan bahwa semua obat yang digunakan dalam
bagian ini tepat order, disimpan, disiapkan dan dipertanggung jawabkan.

I. Administrasi
Kegiatan administrasi terdiri dari Pencatatan, Pelaporan, Administrasi
Keuangan, dan Administrasi Penghapusan.
1. Pencatatan
Pencatatan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk memonitor
transaksi sediaan farmasi dan BMHP yang keluar dan masuk di lingkungan
IFRS. Adanya pencatatan akan memudahkan petugas untuk melakukan
penelusuran bila terjadi adanya mutu obat yang substandar dan harus

56
56
ditarik dari peredaran. Pencatatan dapat dilakukan dengan menggunakan
bentuk digital maupun manual. Kartu yang umum digunakan untuk
melakukan pencatatan adalah Kartu Stok dan kartu Stok Induk.
a. Kartu Stok
Fungsi :
1) Kartu stok digunakan untuk mencatat mutasi sediaan farmasi dan
BMHP (penerimaan, pengeluaran, hilang, rusak atau kedaluwarsa).
2) Tiap lembar kartu stok hanya diperuntukkan mencatat data mutasi 1
(satu) jenis sediaan farmasi dan BMHP yang berasal dari 1 (satu)
sumber anggaran.
3) Data pada kartu stok digunakan untuk menyusun laporan,
perencanaan, pengadaan, distribusi dan sebagai pembanding
terhadap keadaan fisik sediaan farmasi dan BMHP dalam tempat
penyimpanannya.

Hal-hal yang harus diperhatikan:


1) Kartu stok diletakkan bersamaan/berdekatan dengan sediaan farmasi
dan BMHP bersangkutan
2) Pencatatan dilakukan secara rutin dari hari ke hari
3) Setiap terjadi mutasi sediaan farmasi dan BMHP (penerimaan,
pengeluaran, hilang, rusak/kedaluwarsa) langsung dicatat didalam
kartu stok
4) Penerimaan dan pengeluaran dijumlahkan pada setiap akhir bulan.
Informasi yang diperoleh :
1) Jumlah sediaan farmasi dan BMHP yang tersedia (sisa stok)
2) Jumlah sediaan farmasi dan BMHP yang diterima
3) Jumlah sediaan farmasi dan BMHP yang keluar
4) Jumlah sediaan farmasi dan BMHP yang hilang/rusak/ kedaluwarsa
5) Jangka waktu kekosongan sediaan farmasi dan BMHP

57 57
Manfaat informasi yang diperoleh :
1) Untuk mengetahui dengan cepat jumlah persediaan sediaan farmasi
dan BMHP
2) Penyusunan laporan
3) Perencanaan pengadaan dan distribusi
4) Pengendalian persediaan
5) Untuk pertanggungjawaban bagi petugas penyimpanan dan
pendistribusian
6) Sebagai alat bantu kontrol bagi Kepala IFRS.

Petunjuk pengisian:
1) Petugas penyimpanan dan penyaluran mencatat semua penerimaan
dan pengeluaran sediaan farmasi dan BMHP di kartu stok sesuai
Dokumen Bukti Mutasi Barang (DBMB) atau dokumen lain yang
sejenis.
2) Kartu stok memuat nama sediaan farmasi, satuan, asal (sumber) dan
diletakkan bersama sediaan farmasi pada lokasi penyimpanan.
3) Bagian judul pada kartu stok diisi dengan :
a) Nama sediaan farmasi
b) Kemasan
c) Isi kemasan
d) Nama sumber dana atau dari mana asalnya sediaan farmasi
4) Kolom-kolom pada kartu stok diisi sebagai berikut :
a) Tanggal penerimaan atau pengeluaran
b) Nomor dokumen penerimaan atau pengeluaran
c) Sumber asal sediaan farmasi atau kepada siapa sediaan farmasi
dikirim
d) No. Batch/No. Lot.
e) Tanggal kedaluwarsa
f) Jumlah penerimaan
g) Jumlah pengeluaran

58
58
h) Sisa stok
i) Paraf petugas yang mengerjakan

b. Kartu Stok Induk


Fungsi :
1) Kartu Stok Induk digunakan untuk mencatat mutasi sediaan farmasi
(penerimaan, pengeluaran, hilang, rusak atau kedaluwarsa).
2) Tiap lembar kartu stok induk hanya diperuntukkan mencatat data
mutasi 1 (satu) jenis sediaan farmasi yang berasal dari semua sumber
anggaran
3) Tiap baris data hanya diperuntukkan mencatat 1 (satu) kejadian
mutasi sediaan farmasi
4) Data pada kartu stok induk digunakan sebagai :
a) Alat kendali bagi Kepala IFRS terhadap keadaan fisik sediaan
farmasi dalam tempat penyimpanan.
b) Alat bantu untuk penyusunan laporan, perencanaan pengadaan
dan distribusi serta pengendalian persediaan
Hal-hal yang harus diperhatikan:
1) Kartu stok induk diletakkan di ruang masing-masing penanggung
jawab
2) Pencatatan dilakukan secara rutin dari hari ke hari
3) Setiap terjadi mutasi sediaan farmasi (penerimaan, pengeluaran,
hilang, rusak/kedaluwarsa) langsung dicatat didalam kartu stok
4) Penerimaan dan pengeluaran dijumlahkan pada setiap akhir bulan.
Hal-hal yang harus diperhatikan:
1) Petugas pencatatan dan evaluasi mencatat segala penerimaan dan
pengeluaran sediaan farmasi di Kartu Stok Induk.
2) Fungsi Kartu Stok Induk
(1) Sebagai pencerminan sediaan farmasi yang ada di gudang
(2) Alat bantu bagi petugas untuk pengeluaran sediaan farmasi dan
BMHP

59 59
(3) Alat bantu dalam menentukan kebutuhan
3) Bagian judul pada kartu induk persediaan sediaan farmasi diisi
dengan :
a) Nama sediaan farmasi tersebut
b) Satuan sediaan farmasi
c) Sumber/asal sediaan farmasi
d) Jumlah persediaan minimum yang harus ada dalam persediaan,
dihitung sebesar waktu tunggu
e) Jumlah persediaan maksimum yang harus ada dalam persediaan
= sebesar stok kerja + waktu tunggu + stok pengaman
4) Kolom-kolom pada Kartu Stok Induk persediaan sediaan farmasi diisi
dengan :
a) Tanggal diterima atau dikeluarkan sediaan farmasi
b) Nomor tanda bukti mis nomor faktur dan lain-lain
c) Dari siapa diterima sediaan farmasi atau kepada siapa dikirim.
d) Jumlah sediaan farmasi yang diterima berdasar sumber anggaran
e) Jumlah sediaan farmasi yang dikeluarkan
f) Sisa stok sediaan farmasi dalam persediaan
g) Keterangan yang dianggap perlu, misal tanggal dan tahun
kedaluwarsa, nomor batch dan lain-lain.

2. Pelaporan
Pelaporan adalah kumpulan catatan dan pendataan kegiatan administrasi
sediaan farmasi dan BMHP, tenaga dan perlengkapan kesehatan yang
disajikan kepada pihak yang berkepentingan.

Jenis laporan yang wajib dibuat oleh IFRS meliputi laporan penggunaan
psikotropika dan narkotik serta laporan pelayanan kefarmasian.

Banyak tugas/fungsi penanganan informasi dalam sistem pengendalian


sediaan farmasi dan BMHP (misalnya, pengumpulan, perekaman,

60
60
penyimpanan, penemuan kembali, meringkas, mengirimkan, dan informasi
penggunaan sediaan farmasi dan BMHP) dapat dilakukan lebih efisien
dengan komputer daripada sistem manual. Akan tetapi, sebelum sistem
pengendalian sediaan farmasi dan BMHP dapat dikomputerisasi, rumah
sakit hendaknya melakukan suatu studi yang teliti dan komprehensif dari
sistem manual yang ada. Studi ini harus mengidentifikasi aliran data di
dalam sistem dan menetapkan berbagai fungsi yang dilakukan dan
hubungan timbal balik berbagai fungsi itu. Informasi ini kemudian
digunakan sebagai dasar untuk mendesain sistem komputerisasi.
Sistem komputerisasi harus termasuk upaya perlindungan yang memadai
untuk memelihara catatan medik pasien secara rahasia. Untuk hal ini harus
diadakan prosedur yang terdokumentasi untuk melindungi rekaman yang
disimpan secara elektronik, terjaga keamanan, kerahasiaan, perubahan
data, dan mencegah akses yang tidak berwenang terhadap rekaman
tersebut.

Suatu sistem data pengaman (back up) harus tersedia untuk meneruskan
fungsi komputerisasi selama kegagalan alat. Semua transaksi yang terjadi
selama sistem komputer tidak beroperasi, harus dimasukkan ke dalam
sistem secepat mungkin.

3. Administrasi Keuangan
Apabila Instalasi Farmasi harus mengelola keuangan maka perlu
menyelenggarakan administrasi keuangan.
Administrasi keuangan merupakan pengaturan anggaran, pengendalian
dan analisa biaya, pengumpulan informasi keuangan, penyiapan laporan,
penggunaan laporan yang berkaitan dengan semua kegiatan Pelayanan
Kefarmasian secara rutin atau tidak rutin dalam periode bulanan,
triwulanan, semesteran atau tahunan.

61 61
4. Administrasi Penghapusan
Administrasi penghapusan merupakan kegiatan penyelesaian terhadap
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak
terpakai karena kedaluwarsa, rusak, mutu tidak memenuhi standar dengan
cara membuat usulan penghapusan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai kepada pihak terkait sesuai dengan prosedur yang
berlaku.

62
62
BAB IV
PELAYANAN FARMASI KLINIK

A. Ruang Lingkup Pelayanan Farmasi Klinik


Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan di rumah sakit meliputi:
1. Pengkajian dan pelayanan Resep;
2. Penelusuran riwayat penggunaan obat;
3. Rekonsiliasi obat;
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
5. Konseling;
6. Visite;
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
10. Dispensing sediaan steril; dan
11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD); dan
12. Pelayanan Kefarmasian di rumah (Home Care)

B. Tahapan Kegiatan Pelayanan Farmasi Klinik


1. Pengkajian dan Pelayanan Resep
a. Pengertian
Pengkajian dan pelayanan resep merupakan suatu rangkaian kegiatan
dalam penyiapan obat (dispensing) yang meliputi penerimaan, pengkajian
resep, pemeriksaan ketersediaan produk, penyiapan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai, telaah obat, dan penyerahan
disertai pemberian informasi.

b. Tujuan
Kegiatan pengkajian resep dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi
dan menyelesaikan masalah terkait obat sebelum obat disiapkan.

63 63
Sedangkan pelayanan resep bertujuan agar pasien mendapatkan obat
dengan tepat dan bermutu.

c. Pelaksana
Pengkajian dan pelayanan resep dilakukan oleh apoteker dan tenaga teknis
kefarmasian. Dalam pengkajian resep tenaga teknis kefarmasian diberi
kewenangan terbatas hanya dalam aspek administratif dan farmasetik.

d. Persiapan
Dokumen regulasi yang diperlukan:
SPO Pengkajian dan Pelayanan resep
Sarana dan fasilitas
1) Lembar resep/modul peresepan dalam sistem informasi (lihat lampiran
8)
2) Daftar tilik (ceklis) pengkajian resep (disatukan dengan lembar resep
atau tersedia dalam sistem informasi farmasi) (lihat lampiran 9)
3) Timbangan
4) Kalkulator
5) Alat tulis
6) Sumber informasi obat (contoh: MIMS, ISO, DIH, Software informasi
obat)
7) Komputer
8) Mortar + Stamper

e. Kertas Kerja/Formulir
Persyaratan administrasi meliputi:
1) nama, nomor rekam medis, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, berat
badan (harus diketahui untuk pasien pediatri, geriatri, kemoterapi,
gangguan ginjal, epilepsi, gangguan hati, dan pasien bedah) dan tinggi
badan pasien (harus diketahui untuk pasien pediatri, kemoterapi).

64
64
2) Nama, No.SIP dokter (khusus resep narkotika), alamat, serta paraf,
kewenangan klinis dokter, serta akses lain.
3) Tanggal resep
4) Ada tidaknya alergi.
5) Ruangan/unit asal resep

f. Pelaksanaan
1) Pengkajian Resep
a) Terima resep elektronik atau manual yang diserahkan ke bagian
farmasi.
b) Jika sudah menggunakan sistem informasi, cetak resep elektonik.
c) Jika resep manual tidak terbaca, hubungi dokter penulis resep.
d) Periksa kelengkapan adminisitratif berupa identitas pasien (nama,
nomor rekam medik, usia/tanggal lahir), berat badan (terutama
pasien pediatri), tinggi badan (pasien kemoterapi), jaminan, ruang
rawat, tanggal resep, nama dokter. Penggunaan singkatan yang baku
(daftar singkatan yang tidak boleh digunakan dalam peresepan dapat
dilihat di Lampiran 10)
e) Lakukan pengkajian dari aspek farmasetik meliputi nama obat,
bentuk dan kekuatan sediaan dan jumlah obat; stabilitas dan
inkompatibilitas; aturan dan cara penggunaan;
f) Lakukan pengkajian dari aspek klinis meliputi ketepatan indikasi,
obat, dosis dan waktu/jam penggunaan obat; duplikasi pengobatan;
alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);
kontraindikasi; dan interaksi obat.
g) Lakukan pengkajian dari aspek regulasi rumah sakit sebagai contoh
pengkajian antibiotika dilakukan apakah sudah sesuai dengan
kebijakan rumah sakit tentang restriksi antibiotika.
h) Pencatatan pengkajian dilakukan pada daftar tilik (lihat lampiran 9)

65 65
i) Berikan tanda centang di kolom “Ya” jika hasil pengkajian sesuai atau
beri tanda centang “Tidak” jika hasil pengkajian tidak sesuai pada
masing-masing aspek yang perlu dikaji.
j) Informasikan dan minta persetujuan tentang harga resep pada
pasien non jaminan/umum.
k) Buat laporan kesalahan penggunaan obat tahap peresepan
berdasarkan catatan pengkajian resep yang tidak sesuai. Laporan
dibuat setiap bulan.

2) Pelayanan Resep
a) Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep yang sudah
dilakukan pengkajian:
(1) menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep;
(2) mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama obat, tanggal kedaluwarsa dan keadaan
fisik obat. Lakukan double check kebenaran identitas obat yang
diracik, terutama jika termasuk obat high alert/LASA.
b) Melakukan peracikan obat bila diperlukan.
Memberikan etiket disesuaikan dengan sistem penyiapan obat yang
diterapkan. Pada etiket obat dengan sistem resep individu memuat
informasi: nama lengkap pasien, nomor rekam medis dan/atau
tanggal lahir, nama obat, aturan pakai, instruksi khusus, tanggal
kedaluwasa obat dan tanggal penyiapan obat. Pada etiket di kantong
obat dengan sistem dosis unit memuat informasi nama lengkap
pasien, nomor rekam medis dan/atau tanggal lahir, instruksi khusus,
dan tanggal penyiapan obat.
c) Sebelum obat diserahkan kepada perawat (untuk pasien rawat inap)
atau kepada pasien/keluarga (untuk pasien rawat jalan) maka harus
dilakukan telaah obat yang meliputi pemeriksaan kembali untuk
memastikan obat yang telah disiapkan sesuai dengan resep. Aspek

66
66
yang diperiksa dalam telaah obat meliputi 5 tepat yakni, tepat obat,
tepat pasien, tepat dosis, tepat rute, tepat waktu pemberian
d) Pada penyerahan obat untuk pasien rawat jalan, maka harus disertai
pemberian informasi obat yang meliputi nama obat,
kegunaan/indikasi, aturan pakai, efek terapi dan efek samping dan
cara penyimpanan obat.
e) Jika regulasi rumah sakit membolehkan pengantaran obat ke rumah
pasien dilakukan oleh jasa pengantar, maka kerahasiaan pasien harus
tetap terjaga (contoh: resep dalam amplop tertutup, obat dikemas
tertutup)

g. Evaluasi
Evaluasi pengkajian dan pelayanan resep dilakukan secara berkala
setidaknya setiap 3 bulan. Evaluasi meliputi jumlah penyampaian konfirmasi
dan rekomendasi kepada penulis resep terkait kesalahan penulisan resep,
kesalahan penyiapan obat, kepatuhan penulisan resep sesuai formularium
nasional, kepatuhan pelayanan sesuai formularium nasional dan kecepatan
pelayanan resep.
Evaluasi ini dapat dijadikan sebagai bahan dalam kajian sistem manajemen
dan penggunaan obat tahunan

2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat


a. Pengertian
Kegiatan mendapatkan informasi yang akurat mengenai seluruh obat dan
sediaan farmasi lain, baik resep maupun non resep yang pernah atau
sedang digunakan pasien. Kegiatan ini dilakukan dengan cara
mewawancarai pasien, keluarga/pelaku rawat (care giver) dan dikonfirmasi
dengan sumber data lain, contoh: daftar obat di rekam medis pada admisi
sebelumnya, data pengambilan obat dari Instalasi Farmasi, obat yang
dibawa pasien

67 67
b. Tujuan
1) Mendeteksi terjadinya diskrepansi (perbedaan) sehingga dapat
mencegah duplikasi obat ataupun dosis yang tidak diberikan (omission)
2) Mendeteksi riwayat alergi obat
3) Mencegah terjadinya interaksi obat dengan obat atau obat dengan
makanan/herbal/food supplement
4) Mengidentifikasi ketidakpatuhan pasien terhadap rejimen terapi obat
5) Mengidentifikasi adanya medication error, contoh: penyimpanan obat
yang tidak benar, salah minum jenis obat, dosis obat.

c. Pelaksana
Apoteker

d. Persiapan
1) Apoteker memahami SPO Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
2) Memahami riwayat obat di rekam medis pasien
3) Mempelajari obat pasien yang digunakan saat ini
4) Mempelajari Obat yang dibawa pasien

e. Dokumen yang diperlukan


1) Rekam medis
2) Salinan resep yang dibawa pasien (jika ada)
3) Resep pasien
4) Formulir/lembar catatan farmasi klinik (sesuai kebijakan di rumah sakit)
5) Formulir Rekonsiliasi Obat

f. Pelaksanaan
1) Memberi senyum, salam dan sapa kepada pasien/keluarga/care giver
2) menanyakan kepada pasien/keluarga/care giver hal-hal sebagai berikut:

68
68
a) Jika rawat jalan: apakah pasien kunjungan sekarang adalah waktu
kontrol setelah rawat inap atau sedang periksa lebih dari satu dokter
atau melanjutkan resep obat yang baru diambil sebagian
b) Jika rawat inap: apakah pasien dirujuk dari pelayanan kesehatan lain
atau pasien kronis dari rumah yang mengalami home care atau
pindahan ruang rawat inap lain atau pasca operasi
3) Menanyakan kepada pasien/keluarga/care giver: obat yang sedang
diminum, obat yang bila perlu digunakan, nama obatnya, kekuatannya,
cara menggunakan, frekuensi menggunakan dalam sehari, untuk
keluhan apa.
4) Menanyakan adakah keluhan setelah minum obat dan tindakan apa yang
dilakukan
5) Melakukan identifikasi terapi lain, misalnya suplemen dan pengobatan
alternatif yang mungkin digunakan oleh pasien dengan menanyakan
kebiasaan minum jamu atau herbal atau food supplement
6) membandingkan riwayat penggunaan obat dengan data rekam
medik/pencatatan penggunaan obat untuk mengetahui perbedaan
informasi penggunaan obat;
7) melakukan verifikasi riwayat penggunaan obat yang diberikan oleh
tenaga kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan jika
diperlukan;
8) mendokumentasikan adanya alergi dan Reaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki (ROTD);
9) mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi obat;
10)melakukan penilaian terhadap kepatuhan pasien dalam menggunakan
obat dengan menayakan kapan tidak minum obat dan alasannya
11)melakukan penilaian rasionalitas obat yang diresepkan;
12)melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap obat yang
digunakan;
13)melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan obat

69 69
14)melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan obat dengan meminta
pasien memperagakan teknik penggunaanya
15)memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap obat dan alat bantu
kepatuhan minum obat (concordance aids);
16)mendokumentasikan obat yang digunakan pasien sendiri tanpa
sepengetahuan dokter.

g. Dokumentasi
Dokumentasi menggunakan formulir rekonsiliasi obat/lembar catatan
farmasi klinik (sesuai kebijakan di rumah sakit).

h. Evaluasi
Jumlah pasien yang dilakukan penelusuran riwayat penggunaan obat

3. Rekonsiliasi Obat
a. Pengertian
Proses mendapatkan dan memelihara daftar semua obat (resep dan non-
resep) yang sedang pasien gunakan secara akurat dan rinci, termasuk dosis
dan frekuensi, sebelum masuk RS dan membandingkannya dengan
resep/instruksi pengobatan ketika admisi, transfer dan discharge,
mengidentifikasi adanya diskrepansi dan mencatat setiap perubahan,
sehingga dihasilkan daftar yang lengkap dan akurat. (The Institute for
Healthcare Improvement, 2005)

b. Tujuan
1) memastikan informasi yang akurat tentang obat yang digunakan pasien
2) mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya
instruksi dokter
3) mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi dokter
4) Mencegah kesalahan penggunaan obat (omission, duplikasi, salah obat,
salah dosis, interaksi obat)

70
70
5) Menjamin penggunaan obat yang aman dan efektif

c. Manfaat
Pasien terhindar dari kesalahan penggunaan obat

d. Pelaksana
1) Apoteker
2) Dokter

e. Persiapan
1) SPO Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
2) SPO rekonsiliasi obat

f. Kertas kerja atau formulir


1) Formulir Rekonsiliasi Obat
2) Resep/instruksi pengobatan
3) rekam medis/catatan profil obat pasien

g. Pelaksanaan
1) Rekonsiliasi obat saat admisi
a) Melakukan penelusuran riwayat penggunaan obat. (Lihat kegiatan
“Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat”)
b) Melakukan konfirmasi akurasi riwayat penggunaan obat dengan
cara memverifikasi beberapa sumber data (rekam medis admisi
sebelumnya, catatan pengambilan obat di apotek, obat yang
dibawa pasien)
c) Membandingkan data Obat yang pernah/sedang digunakan pasien
sebelum admisi dengan resep pertama dokter saat admisi. Apakah
terdapat diskrepansi (perbedaan).
Jika ditemukan perbedaan, maka apoteker menghubungi dokter
penulis resep

71 71
d) Melakukan klarifikasi dengan dokter penulis resep apakah:
(1) Obat dilanjutkan dengan rejimen tetap
(2) Obat dilanjutkan dengan rejimen berubah
(3) Obat dihentikan
e) Mencatat hasil klarifikasi di Formulir Rekonsiliasi Obat Saat Admisi
f) Melakukan komunikasi dengan pasien dan/atau keluarga pasien
atau perawat mengenai perubahan terapi yang terjadi. Apoteker
bertanggung jawab terhadap informasi obat yang diberikan

Berikut contoh petunjuk teknis rekonsiliasi:


a) Rekonsiliasi obat saat admisi ditulis dalam tabel rekonsiliasi obat di
halaman terakhir formulir Rekonsiliasi (Lampiran 11)
b) Rekonsiliasi obat diisi oleh dokter/apoteker yang menerima pasien,
paling lambat 1x24 jam setelah pasien dinyatakan dirawat inap
c) Penggunaan obat sebelum admisi diisi dengan memilih tidak atau ya
dengan memberikan tanda “√”. Jika pasien menggunakan obat
sebelum admisi maka pengisian dilanjutkan ke kolom rekonsiliasi
obat saat admisi.
d) Rekonsiliasi obat saat admisi/transfer ruangan meliputi obat resep
dan non resep, herbal maupun food supplement yang digunakan
sebulan terakhir dan masih dipakai saat masuk rumah sakit.
e) Kolom rekonsiliasi obat saat admisi meliputi:
(1) Kolom Nama Obat
Kolom nama obat diisi dengan nama dan bentuk sediaan obat
yang digunakan oleh pasien sebelum admisi. Obat yang tidak
diketahui namanya saat admisi tetap harus ditulis sesuai
keterangan pasien/keluarga pasien. Kolom nama obat TIDAK
ditujukan untuk obat-obat di luar sediaan obat yang digunakan
pasien sebelum admisi.

72
72
(2) Kolom Dosis
Kolom dosis diisi dengan dosis obat yang akan diberikan diikuti
dengan satuan berat atau unit yang sesuai dengan daftar
singkatan. Misalnya: 500 mg, 250 mg, 10 unit.
(3) Kolom Frekuensi
Kolom frekuensi diisi dengan berapa kali dan jumlah obat yang
diberikan dalam 24 jam (contoh: 2x½, 3x1).
(4) Kolom Cara Pemberian
Kolom cara pemberian diisi dengan PO (per oral), IV
(intravena), IM (Intramuskular) atau Subkutan.
(5) Waktu Pemberian Terakhir
Waktu pemberian terakhir diisi dengan tanggal terakhir obat
diberikan.
(6) Kolom tindak lanjut diisi dengan memilih salah satu yang sesuai
dengan memberikan tanda “√” :
(a) Lanjut aturan pakai sama, pilih ini jika aturan pakai saat
dirawat sama dengan saat sebelum admisi.
(b) Lanjut aturan pakai berubah, pilih ini jika aturan pakai
saat dirawat berbeda dengan saat sebelum admisi.
(c) Stop, pilih ini jika obat dihentikan penggunaan saat
dirawat.
(7) Kolom Perubahan Aturan Pakai
Kolom perubahan aturan pakai diisi jika aturan pakai obat
berubah saat admisi
f) Instruksi obat baru meliputi obat substitusi sebelum admisi dan obat
baru yang digunakan saat perawatan dituliskan pada formulir
instruksi pengobatan.
g) Lakukan review rekonsiliasi obat saat admisi ketika pasien akan
pulang.

73 73
2) Rekonsiliasi Obat Saat Transfer
Kegiatan yang dilakukan apoteker pada rekonsiliasi obat saat transfer
antar ruang rawat adalah membandingkan terapi obat pada formulir
instruksi pengobatan di ruang sebelumnya dengan resep/instruksi
pengobatan di ruang rawat saat ini dan daftar obat yang pasien gunakan
sebelum admisi.
Jika terjadi diskrepansi, maka apoteker menghubungi dokter penulis
resep di ruang rawat saat ini. Hasil klarifikasi dicatat di Formulir
Rekonsiliasi Obat Saat Transfer.

3) Rekonsiliasi Obat Saat Pasien Akan Dipulangkan ( Discharge)


Kegiatan rekonsiliasi obat saat pasien akan dipulangkan adalah
membandingkan daftar obat yang digunakan pasien sebelum admisi
dengan obat yang digunakan 24 jam terakhir dan resep obat pulang. Jika
terjadi diskrepansi, maka apoteker menghubungi dokter penulis resep
obat pulang. Hasil klarifikasi dicatat di Formulir Rekonsiliasi Obat Saat
Discharge.

h. Evaluasi
Persentase rekonsiliasi obat yang dilakukan

4. Pelayanan Informasi Obat


a. Pengertian
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias,
terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh apoteker.

b. Tujuan
1) menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga
kesehatan di lingkungan rumah sakit dan pihak lain di luar rumah sakit;

74
74
2) menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan
dengan obat/Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai, terutama bagi Tim Farmasi dan Terapi;
3) menunjang penggunaan obat yang rasional.
4) membuat kajian obat secara rutin sebagai acuan penyusunan Formularium
Rumah Sakit
5) membuat kajian obat untuk uji klinik di rumah sakit
6) mendorong penggunaan obat yang aman dengan meminimalkan efek
yang merugikan
7) mendorong penggunaan obat yang efektif dengan tercapainya tujuan
terapi secara optimal serta efektifitas biaya

c. Manfaat
1) Promosi/Peningkatan Kesehatan (Promotif): penyuluhan; CBIA;
2) Pencegahan Penyakit (preventif): penyuluhan HIV, TB; penyuluhan
imunisasi; penyuluhan terhadap bahaya merokok, bahaya narkotika;
3) Penyembuhan Penyakit (kuratif): pemberian informasi obat; edukasi pada
saat rawat inap
4) Pemulihan Kesehatan (rehabilitatif): rumatan metadon; program berhenti
merokok

d. Sasaran Informasi Obat


1) Pasien, keluarga pasien dan atau masyarakat umum
2) Tenaga kesehatan: dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, gizi, bidan,
tenaga teknis kefarmasian, dan lain lain.
3) Pihak lain: manajemen RS, tim/kepanitiaan klinik, Komite-komite dan lain-
lain

e. Pelaksana
Pemberian
Pelayanan Informasi Obat (PIO) dilakukan oleh apoteker.

75 75
f. Persiapan
Pelayanan Informasi Obat dapat diselenggarakan secara informal maupun
formal. Secara informal maksudnya adalah apoteker memberikan informasi
mengenai penggunaan obat ketika melakukan kegiatan farmasi klinik,
misalnya ketika melakukan pemantauan terapi obat di ruang rawat apoteker
menjawab pertanyaan dari perawat mengenai waktu pemberian obat.
Sedangkan secara formal adalah Instalasi Farmasi menyediakan sumber daya
khusus baik sumber daya manusia yang terlatih khusus maupun sarana dan
prasarananya.
Untuk PIO formal, Instalasi Farmasi menyiapkan:
1) Pengorganisasian dan ruangan
Berbagai parameter dipertimbangkan saat menentukan persyaratan ruang
dan organisasi. Faktor yang perlu dipertimbangkan yaitu jenis dan jumlah
kegiatan yang direncanakan, ruang yang tersedia, anggaran, staf, sumber
daya. Struktur organisasi terdiri dari: apoteker, dapat dibantu apoteker
atau TTK.

2) Peralatan
Peralatan dasar yang diperlukan meliputi:
a) Mebel - meja, kursi, rak;
b) Komunikasi - telepon, faksimili, akses internet;
c) Website
d) Komputer - termasuk pencadangan data eksternal, printer;
e) Perangkat lunak - untuk pengolah kata, spreadsheet, basis data, dan
presentasi, Software Informasi Obat, Interaksi Obat dll;
f) Buku teks, Majalah/jurnal dan Pedoman/guideline yang digunakan di
RS (misal PPK, Clinical Pathway, PPAM)
g) Sumber informasi elektronik (e-book).
h) Formulir-formulir kegiatan PIO

76
76
3) Sumber atau pustaka
a) Pustaka Primer
Artikel asli yang dipublikasikan penulis atau peneliti, informasi yang
terdapat didalamnya berupa hasil penelitian yang diterbitkan dalam
jurnal ilmiah.
Contoh pustaka primer :
(1) Laporan hasil penelitian
(2) Laporan kasus
(3) Studi evaluasi
(4) Laporan deskriptif
b) Pustaka Sekunder (pengindeksan dan abstrak)
Berfungsi sebagai panduan atau ulasan literatur primer. Sumber
sekunder termasuk artikel ulasan, meta-analisis, indeks (Indeks
Medicus), abstrak (International Pharmaceutical Abstracts), dan
kombinasi abstrak lengkap. Contoh layanan tersebut termasuk
Medline, Current Contents, International Pharmaceutical Abstracts,
Index Medicus, Excerpta Medica, and the Iowa Drug Information
Service.
c) Pustaka Tersier (buku teks, kompendium)
Menyajikan informasi yang terdokumentasi dalam format ringkas.
Contoh sumber atau pustaka tersier :
(1) British National Formulary (BNF)
(2) Martindale
(3) Health science libraries (perpustakaan ilmu kesehatan)
(a) Farmakologi dan sumber atau pustaka informasi obat
(b) Pustaka interaksi obat
(c) Pustaka teraupetik medis dan farmasi
(d) Informasi mengenai efek samping obat

77 77
(4) Informasi obat di internet dari situs resmi
Contoh informasi obat pada situs internet:
(a) http://www.fda.gov
(b) http://guidelines.gov
(c) http://www.nice.org.uk

g. Pelaksanaan
Tahapan pelaksanaan PIO meliputi:
1) Apoteker Instalasi Farmasi menerima pertanyaan lewat telepon, pesan
tertulis atau tatap muka.
2) Mengidentifikasi penanya nama, status (dokter, perawat, apoteker,
asisten apoteker, pasien/keluarga pasien, dietisien, umum), asal unit
kerja penanya
3) Mengidentifikasi pertanyaan apakah akan diterima, ditolak atau dirujuk
ke unit kerja terkait
4) Menanyakan secara rinci data/informasi terkait pertanyaan
5) Menanyakan tujuan permintaan informasi (perawatan pasien,
pendidikan, penelitian, umum)
6) Menetapkan urgensi pertanyaan
7) Melakukan penelusuran secara sistematis, mulai dari sumber informasi
tersier, sekunder, dan primer jika diperlukan
8) Melakukan penilaian (critical appraisal) terhadap jawaban yang
ditemukan dari minimal 3 (tiga) literatur.
9) Memformulasikan jawaban
10) Menyampaikan jawaban kepada penanya secara verbal atau tertulis
11) Melakukan follow-up dengan menanyakan ketepatan jawaban
12) Mendokumentasikan kegiatan yang dilaksanakan dan mencatat waktu
yang diperlukan untuk menyiapkan jawaban

78
78
h. Evaluasi
Dilakukan evaluasi setiap akhir bulan dengan merekapitulasi jumlah
pertanyaan, penanya, jenis pertanyaan, ruangan, dan tujuan permintaan
informasi.

5. Konseling
a. Pengertian
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait
terapi obat dari apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya.

b. Tujuan
Pemberian konseling obat bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pasien,
mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost-effectiveness yang pada
akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan obat bagi pasien (patient
safety)

c. Manfaat
1) meningkatkan hubungan kepercayaan antara apoteker dan pasien;
2) menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien;
3) membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obat;
4) membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan obat
dengan penyakitnya;
5) meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan;
6) mencegah atau meminimalkan masalah terkait obat;
7) meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam hal
terapi;
8) mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan; dan
9) membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan obat sehingga
dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan
pasien.

79 79
d. Pelaksana
Apoteker

e. Persiapan
Sarana dan peralatan :
1) ruangan atau tempat konseling;
2) alat bantu konseling (kartu pasien/catatan konseling).

f. Pelaksanaan
1) Persiapan
a) Pelayanan konseling obat dilakukan oleh apoteker
b) Melakukan seleksi pasien berdasarkan prioritas yang sudah ditetapkan
c) Menyiapkan Formulir Informasi Obat Pulang (pada konseling obat
d) pasien pulang)
e) Menyiapkan obat yang akan dijelaskan kepada pasien/keluarga pasien
f) Menyiapkan informasi lengkap dari referensi kefarmasian seperti
handbook, e-book atau internet
2) Pelaksanaan
a) Konseling pasien rawat jalan
(1) Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.
(2) Menulis identitas pasien (nama, jenis kelamin, tanggal lahir),
nama dokter, nama obat yang diberikan, jumlah obat, aturan
pakai, waktu minum obat (pagi, siang, sore, malam).
(3) Jika ada informasi tambahan lain dituliskan pada keterangan.
(4) Menemui pasien/keluarga di ruang konseling.
(5) Memastikan identitas pasien dengan cara menanyakan dengan
pertanyaan terbuka minimal 2 identitas: nama lengkap dan
tanggal lahir.
(6) Mengidentifikasi dan membantu penyelesaian masalah terkait
terapi obat.

80
80
(7) Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui
Three Prime Questions, yaitu:
(a) Apa yang disampaikan dokter tentang obat anda?
(b) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian obat
anda?
(c) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan
setelah anda menerima terapi obat tersebut dan efek samping
yang mungkin terjadi?
(8) Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan
kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat.
(9) Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan
masalah penggunaan obat.
(10) Memberikan informasi dan edukasi obat kepada pasien/keluarga,
terutama untuk obat yang akan digunakan secara mandiri oleh
pasien mengenai: indikasi, dosis, waktu dan cara
minum/menggunakan obat, hasil terapi yang diharapkan, cara
penyimpanan obat, efek samping obat jika diperlukan, dan hal-
hal lain yang harus diperhatikan selama penggunaan obat.
(11) Meminta pasien/keluarga pasien untuk mengulangi penjelasan
terkait penggunaan obat yang telah disampaikan.
(12) Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda
tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi
yang diberikan dalam konseling.

b) Konseling pasien pulang

(1) Menulis identitas pasien (nomor rekam medik, nama, jenis


kelamin, tanggal lahir), ruang rawat, nama dokter, nama obat
yang diberikan, jumlah obat, aturan pakai, waktu minum obat
(pagi, siang, sore, malam), dan instruksi khusus pada Formulir
Informasi Obat Pulang.

81 81
(2) Jika ada informasi tambahan lain dituliskan pada keterangan.
(3) Menemui pasien/keluarga di ruang rawat atau di ruang
konseling.
(4) Memastikan identitas pasien dengan cara menanyakan dengan
pertanyaan terbuka minimal 2 identitas: nama lengkap dan
tanggal lahir atau nomor rekam medik
(5) Mengidentifikasi dan membantu penyelesaian masalah terkait
terapi obat
(6) Memberikan informasi dan edukasi obat kepada pasien/keluarga,
terutama untuk obat yang akan digunakan secara mandiri oleh
pasien mengenai: indikasi, dosis, waktu dan cara
minum/menggunakan obat, hasil terapi yang diharapkan, cara
penyimpanan obat, efek samping obat jika diperlukan, dan hal-
hal lain yang harus diperhatikan selama penggunaan obat.
(7) Meminta pasien/keluarga pasien untuk mengulangi penjelasan
terkait penggunaan obat yang telah disampaikan.
(8) Meminta pasien/keluarga pasien menandatangani Formulir
Informasi Obat Pulang.
(9) Mengkompilasi Formulir Informasi Obat Pulang setiap bulan.

c) Konseling pasien rawat inap

(1) Dilakukan bila pasien membutuhkan konseling obat selama


rawat inap
(2) Menemui pasien/keluarga pasien di ruang rawat
(3) Memastikan identitas pasien dengan cara menanyakan dengan
pertanyaan terbuka minimal 2 identitas: nama lengkap dan
tanggal lahir atau nomor rekam medik
(4) Memulai pertemuan dengan mendengarkan uraian/masalah dari
pasien/keluarga terkait terapi obat.
(5) Mengidentifikasi dan membantu penyelesaian masalah terkait
terapi obat

82
82
(6) Mengisi Formulir Edukasi Pasien dan Keluarga Terintegrasi
sebagai bukti melakukan konseling pasien rawat inap.

d) Konseling pasien dengan obat khusus (HIV, OAT dan Obat yang perlu
perhatian, obat dengan aturan pakai khusus)

g. Evaluasi
Dilakukan evaluasi setiap akhir bulan dengan merekapitulasi jumlah pasien
yang diberikan konseling.

6. Visite/Ronde Bangsal
a. Pengertian
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan
apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk
mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah
terkait obat, memantau terapi obat dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki,
meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat
kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.

b. Tujuan
1) meningkatkan pemahaman mengenai riwayat pengobatan pasien,
perkembangan kondisi klinik, dan rencana terapi secara komprehensif;
2) memberikan informasi mengenai farmakologi, farmakokinetika, bentuk
sediaan obat, rejimen dosis, dan aspek lain terkait terapi obat pada pasien,
3) memberikan rekomendasi sebelum keputusan klinik ditetapkan dalam hal
pemilihan terapi, implementasi dan monitoring terapi;
4) memberikan rekomendasi penyelesaian masalah terkait penggunaan obat
akibat keputusan klinik yang sudah ditetapkan sebelumnya

83 83
c. Manfaat
1) Untuk meningkatkan komunikasi apoteker, perawat, dokter, dan tenaga
kesehatan lain.
2) Pasien mendapatkan obat sesuai indikasi dan rejimen (bentuk sediaan,
dosis, rute, frekuensi, waktu dan durasi).
3) Pasien mendapatkan terapi obat yang efektif dengan risiko minimal (efek
samping, kesalahan obat dan biaya).

d. Pelaksana
Apoteker

e. Persiapan
Sebelum memulai praktik visite di ruang rawat, seorang apoteker perlu
membekali diri dengan berbagai pengetahuan, minimal: patofisiologi,
terminologi medis, farmakokinetika, farmakologi, farmakoterapi,
farmakoekonomi, farmakoepidemiologi, serta pengobatan berbasis bukti.
Selain itu diperlukan kemampuan interpretasi data laboratorium dan data
penunjang diagnostik lain, serta kemampuan berkomunikasi secara efektif
dengan pasien dan tenaga kesehatan lain.

Apoteker perlu mempersiapkan fasilitas yang dibutuhkan untuk melaksanakan


visite dengan baik, antara lain:
1) Formulir catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT)
2) Formulir Pemantauan Terapi Obat
3) Referensi dapat berupa cetakan atau elektronik, misalnya: Formularium
Rumah Sakit, Pedoman Penggunaan Antibiotika, Pedoman Praktik Klinis,
British National Formulary (BNF), Drug Information Handbook (DIH),
American Hospital Formulary Services (AHFS): Drug Information,
Pedoman Terapi, dan lain-lain.

84
84
f. Pelaksanaan
Visite dapat dilaksanakan secara mandiri atau bersama dengan tim kolaboratif
dengan tenaga medis dan tenaga kesehatan lain. Saat menentukan rencana
visite, perlu dipertimbangkan kelebihan dan kekurangan visite dengan tim
atau visite mandiri.
1) Visite mandiri:
Kelebihan:
a) waktu pelaksanaan visite lebih fleksibel
b) memberikan edukasi, monitoring respons pasien terhadap
pengobatan
c) dapat dijadikan persiapan untuk pelaksanaan visite bersama tim
Kekurangan:
a) Rekomendasi yang dibuat terkait dengan peresepan tidak dapat
segera diimplementasikan sebelum bertemu dengan penulis resep
b) Pemahaman tentang patofisiologi penyakit pasien terbatas
2) Visite Tim:
Kelebihan:
a) Dapat memperoleh informasi terkini yang komprehensif
b) Sebagai fasilitas pembelajaran
c) Dapat langsung mengkomunikasikan rekomendasi mengenai masalah
terkait obat
Kekurangan:
Waktu pelaksanaan visite terbatas sehingga diskusi dan penyampaian
informasinya kurang lengkap

Pelaksanaan visite sebagai berikut:


1) Melakukan persiapan :
a) Melakukan seleksi pasien berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan.
Walaupun idealnya seluruh pasien mendapatkan layanan visite,
mengingat keterbatasan jumlah apoteker maka visite diprioritaskan
untuk diberikan kepada pasien dengan kriteria:

85 85
(1) Pasien baru dalam 24 jam pertama;
(2) Pasien dalam perawatan intensif;
(3) Pasien yang menerima lebih dari 5 macam obat;
(4) Pasien yang mengalami penurunan fungsi organ terutama hati
dan ginjal.
(5) Pasien yang hasil pemeriksaan laboratoriumnya mencapai nilai
kritis (critical value), misalnya ketidakseimbangan elektrolit,
penurunan kadar albumin
(6) Pasien yang mendapatkan obat yang memiliki indeks terapi
sempit, berpotensi menimbulkan reaksi obat yang tidak diinginkan
(ROTD) yang fatal. Contoh: pasien yang menerima terapi obat
digoksin, karbamazepin, teofilin, sitostatika.

b) Mengumpulkan informasi penggunaan obat dari catatan penggunaan


obat, monitoring pengobatan dan wawancara dengan pasien/keluarga
Informasi penggunaan obat pasien dapat diperoleh dari rekam medik,
wawancara dengan pasien/keluarga, catatan pemberian obat.
Informasi tersebut meliputi:
(1) Data pasien: nama, no rekam medis, umur, jenis kelamin, berat
badan (BB), tinggi badan (TB), ruang rawat, nomor tempat tidur,
sumber pembiayaan
(2) Keluhan utama: keluhan/kondisi pasien yang menjadi alasan
untuk dirawat
(3) Riwayat penyakit saat ini (history of present illness) merupakan
riwayat keluhan/keadaan pasien berkenaan dengan penyakit yang
dideritanya saat ini
(4) Riwayat sosial: kondisi sosial (gaya hidup) dan ekonomi pasien
yang berhubungan dengan penyakitnya. Contoh: pola makan,
merokok, minuman keras, perilaku seks bebas, pengguna
narkoba, tingkat pendidikan, penghasilan

86
86
(5) Riwayat penyakit terdahulu: riwayat singkat penyakit yang pernah
diderita pasien, tindakan dan perawatan yang pernah diterimanya
yang berhubungan dengan penyakit pasien saat ini
(6) Riwayat penyakit keluarga: adanya keluarga yang menderita
penyakit yang sama atau berhubungan dengan penyakit yang
sedang dialami pasien. Contoh: hipertensi, diabetes, jantung,
kelainan darah, kanker
(7) Riwayat penggunaan obat: daftar obat yang pernah digunakan
pasien sebelum dirawat (termasuk obat bebas, obat
tradisional/herbal medicine) dan lama penggunaan obat
(8) Riwayat alergi/ROTD daftar obat yang pernah menimbulkan reaksi
alergi atau ROTD.

c) Mengumpulkan data berupa keluhan pasien, hasil pemeriksaan fisik,


laboratorium, diagnostik, penilaian dokter melalui rekam medik dan
catatan pengobatan di ruang rawat.
(1) Pemeriksaan fisik: tanda-tanda vital (temperatur, tekanan darah,
nadi, kecepatan pernapasan), kajian sistem organ
(kardiovaskuler, ginjal, hati)
(2) Pemeriksaan laboratorium: Data hasil pemeriksaan laboratorium
diperlukan dengan tujuan: (i) menilai apakah diperlukan terapi
obat, (ii) penyesuaian dosis, (iii) menilai efek terapeutik obat, (iv)
menilai adanya ROTD, (v) mencegah terjadinya kesalahan dalam
menginterpretasikan hasil pemeriksaan laboratorium, misalnya:
akibat sampel sudah rusak, kuantitas sampel tidak cukup, sampel
diambil pada waktu yang tidak tepat, prosedur tidak benar,
reagensia yang digunakan tidak tepat, kesalahan teknis oleh
petugas, interaksi dengan makanan/obat. Apoteker harus dapat
menilai hasil pemeriksaan pasien dan membandingkannya dengan
nilai normal.

87 87
(3) Pemeriksaan diagnostik: foto rontgen, USG, CT Scan. Data hasil
pemeriksaan diagnostik diperlukan dengan tujuan: (i) menunjang
penegakan diagnosis, (ii) menilai hasil terapeutik pengobatan, (iii)
menilai adanya risiko pengobatan.
(4) Masalah medis meliputi gejala dan tanda klinis, diagnosis utama
dan penyerta.
(5) Catatan penggunaan obat saat ini, yaitu daftar obat yang sedang
digunakan oleh pasien.
(6) Catatan perkembangan pasien, yaitu kondisi klinis pasien yang
diamati dari hari ke hari.
d) Mengkaji penggunaan obat meliputi ketepatan indikasi, dosis, rute,
interaksi, efek samping obat dan biaya.
Pasien yang mendapatkan obat memiliki risiko mengalami masalah
terkait penggunaan obat baik yang bersifat aktual (yang nyata terjadi)
maupun potensial (yang mungkin terjadi). Masalah terkait
penggunaan obat antara lain: efektivitas terapi, efek samping obat
dan biaya

2) Melakukan visite kolaboratif dengan tim dokter dengan profesi kesehatan


lain.
a) Memperkenalkan diri kepada tim.
b) Mengikuti dengan seksama kasus yang didiskusikan
c) Menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan penggunaan obat.
d) Berupaya mencari jawaban sesegera mungkin, jika tidak dapat
menjawab pada saat visite.
e) Mencatat masalah-masalah yang terkait dengan penggunaan obat.
f) Mencatat rekomendasi yang diberikan selama visite pada rekam medis
pasien

88
88
g. Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan merekapitulasi data masalah terkait penggunaan
obat dan memformulasikannya serta mengkomunikasikannya dengan pihak
yang berkepentingan.
Evaluasi merupakan proses penjaminan kualitas pelayanan dalam hal ini visite
apoteker ruang rawat berdasarkan indikator yang ditetapkan. Indikator dapat
dikembangkan sesuai dengan program mutu rumah sakit masing-masing.
Secara garis besar evaluasi dapat dilakukan pada tahap input, proses maupun
output.
Lingkup materi terhadap kinerja apoteker antara lain dalam hal ini:
1) Pengkajian rencana pengobatan pasien
2) Pengkajian dokumentasi pemberian obat
3) Frekuensi diskusi masalah klinis terkait pasien termasuk rencana apoteker
untuk mengatasi masalah tersebut
4) Rekomendasi apoteker dalam perubahan rejimen obat (clinical pharmacy
intervention).

7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)


a. Pengertian
Pemantauan Terapi Obat (PTO) adalah kegiatan untuk memastikan terapi obat
yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.

b. Tujuan
Meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang
Tidak Dikehendaki (ROTD), meminimalkan biaya pengobatan dan
menghormati pilihan pasien.

c. Manfaat
1) Terhindarnya risiko klinik
2) Efisiensi biaya

89 89
d. Pelaksana
Apoteker

e. Persiapan
1) Seleksi Pasien
Seleksi pasien bertujuan untuk menentukan prioritas pasien yang akan
dipantau mengingat keterbatasan jumlah apoteker. Seleksi dapat dilakukan
berdasarkan:
a) Kondisi Pasien:
(1) Pasien yang masuk rumah sakit dengan multi penyakit sehingga
menerima polifarmasi.
(2) Pasien kanker yang menerima terapi sitostatika.
(3) Pasien dengan gangguan fungsi organ terutama hati dan ginjal.
(4) Pasien geriatri dan pediatri.
(5) Pasien hamil dan menyusui.
(6) Pasien dengan perawatan intensif.
b) Obat
Jenis obat dengan risiko tinggi seperti :
(1) obat dengan indeks terapi sempit (contoh: digoksin, fenitoin),
(2) obat yang bersifat nefrotoksik (contoh: gentamisin) dan
hepatotoksik (contoh: OAT),
(3) sitostatika (contoh: metotreksat),
(4) antikoagulan (contoh: warfarin, heparin),
(5) obat yang sering menimbulkan ROTD (contoh: metoklopramid,
AINS),
(6) obat kardiovaskular (contoh: nitrogliserin).
c) Kompleksitas regimen :
(1) Polifarmasi
(2) Variasi rute pemberian
(3) Variasi aturan pakai
(4) Cara pemberian khusus (contoh: inhalasi)

90
90
2) Rekam Medis
Mempelajari status patologi dan status pengobatan
3) Profil Pengobatan
Diperoleh dari catatan obat di rekam medis, catatan farmasi maupun dari
pasien/keluarga
4) Referensi berbasis
Referensi mengenai patofisiologi, farmakoterapi dan obat
5) Kalkulator
untuk menghitung dosis obat dan keperluan lain

f. Kertas Kerja/Formulir
1) Formulir Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT)
2) Formulir Pemberian Obat Pasien
3) Formulir Laporan Insiden Keselamatan Pasien
4) Formulir MESO (Lihat Lampiran 4)

g. Pelaksanaan
1) Memastikan kebenaran identitas pasien: dengan meminta pasien
menyebutkan nama dan identitas lain yang ditetapkan rumah sakit (jika
pasien sadar penuh) untuk dicocokkan dengan rekam medis pasien. Jika
pasien tidak sadar penuh, maka bisa dilihat dari identitas gelang dan
rekam medis.

2) Pengumpulan data pasien


Data dasar pasien merupakan komponen penting dalam proses PTO.
Data tersebut dapat diperoleh dari :
a) rekam medik,
b) profil pengobatan pasien/pencatatan penggunaan obat,
c) wawancara dengan pasien, anggota keluarga, dan tenaga kesehatan
lain.

91 91
Semua data yang sudah diterima, dikumpulkan dan kemudian dikaji. Data
yang berhubungan dengan PTO diringkas dan diorganisasikan ke dalam
suatu format yang sesuai.

Sering kali data yang diperoleh dari rekam medis dan profil pengobatan
pasien belum cukup untuk melakukan PTO, oleh karena itu perlu
dilengkapi dengan data yang diperoleh dari wawancara pasien, anggota
keluarga, dan tenaga kesehatan lain

3) Identifikasi masalah terkait obat


Setelah data terkumpul, perlu dilakukan analisis untuk identifikasi adanya
masalah terkait obat.

Jika ditemukan masalah terkait obat, dikomunikasikan dengan tertulis


atau lisan dengan bahasa yang baik dan tidak menghakimi klinisi

Cara melakukan asesmen antara lain dengan:


a) Mencocokkan problem medis dengan terapi obat menggunakan
dasar panduan terapi, PPK, EBM atau kaidah farmakoterapi. Bila ada
obat yang tidak ditemukan pasangannya, maka berarti obat tersebut
tidak diperlukan, begitu sebaliknya.
b) Menilai ketepatan terapi obat

Masalah Terkait Obat (MTO) adalah suatu kejadian atau keadaan


dalam terapi obat yang mengganggu atau berpotensi mengganggu
outcome kesehatan yang diinginkan. Masalah terkait Obat menurut Hepler
dan Strand dapat dikategorikan sebagai berikut:
a) Ada indikasi tetapi tidak diterapi
Pasien yang diagnosisnya telah ditegakkan dan membutuhkan terapi
obat tetapi tidak diresepkan. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua
keluhan/gejala klinik harus diterapi dengan obat.
b) Pemberian obat tanpa indikasi
Pasien mendapatkan obat yang tidak diperlukan

92
92
c) Pemilihan obat yang tidak tepat
Pasien mendapatkan obat yang bukan pilihan terbaik untuk
kondisinya (bukan merupakan pilihan pertama, obat yang tidak cost
effective, kontraindikasi)
d) Dosis terlalu tinggi
e) Dosis terlalu rendah
f) Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)
g) Interaksi Obat
h) Pasien tidak menggunakan obat karena suatu sebab

Apoteker perlu membuat prioritas masalah yang perlu penyelesaian


segera sesuai dengan kondisi pasien, dan menentukan masalah tersebut
sudah terjadi atau berpotensi akan terjadi.

4) Menyusun rencana asuhan (plan)


Rencana asuhan disusun sebagai solusi dari ROTD yang ditemukan diatas.
Rencana asuhan meliputi:
a) Rekomendasi
Rekomendasi yang diajukan dapat berupa saran obat dihentikan,
memulai terapi obat, mengganti obat, menambahkan obat,
meningkatkan dosis atau menurunkan dosis.
b) KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi)
Pemberian komunikasi, informasi dan edukasi pada tenaga kesehatan
dan pasien
c) Monitoring
Monitoring meliputi pemantauan terhadap kondisi klinis dan data
laboratorium terkait obat yang digunakan.

93 93
Setelah ditetapkan pilihan terapi maka selanjutnya perlu dilakukan
perencanaan pemantauan, dengan tujuan memastikan pencapaian
efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki. Apoteker
dalam membuat rencana pemantauan perlu menetapkan langkah-
langkah:
(1) Menetapkan parameter farmakoterapi
Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih parameter
pemantauan, antara lain:
(a) Karakteristik obat (contoh: sifat nefrotoksik dari allopurinol,
aminoglikosida). Obat dengan indeks terapi sempit yang harus
diukur kadarnya dalam darah (contoh: digoksin)
(b) Efikasi terapi dan efek merugikan dari regimen
(c) Perubahan fisiologik pasien (contoh: penurunan fungsi ginjal
pada pasien geriatri mencapai 40%)
(d) Efisiensi pemeriksaan laboratorium

(2) Menetapkan sasaran terapi (end point)


Penetapan sasaran akhir didasarkan pada nilai/gambaran normal
atau yang disesuaikan dengan pedoman terapi. Beberapa hal
sebagai pertimbangan antara lain:
(a) Faktor khusus pasien seperti umur dan penyakit yang
bersamaan diderita pasien (contoh: perbedaan kadar teofilin
pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis/PPOK dan asma)
(b) Karakteristik obat, bentuk sediaan, rute pemberian, dan cara
pemberian akan mempengaruhi sasaran terapi yang
diinginkan (contoh: perbedaan penurunan kadar gula darah
pada pemberian insulin dan obat anti diabetes oral).
(c) Efikasi dan toksisitas obat
Ketiga hal diatas tidak harus selalu dilakukan, tergantung ROTD
yang ditemukan.

94
94
5) Tindak lanjut/follow up
Sebagai langkah lanjutan adalah dilakukan evaluasi dan pemantauan
secara keseluruhan terhadap:
a) apakah prencana pemantauan sudah tepat
b) apakah muncul problem medis baru
c) apakah muncul DRP baru

Dalam hal ini, apoteker tetap harus melakukan pemantauan terapi obat
sampai pasien keluar rumah sakit. Frekuensi pemantauan tergantung
pada tingkat keparahan penyakit dan risiko yang berkaitan dengan terapi
obat. Berbagai faktor yang mempengaruhi frekuensi pemantauan antara
lain:

a) Kebutuhan khusus dari pasien


Contoh: penggunaan obat nefrotoksik pada pasien gangguan fungsi
ginjal memerlukan pemantauan lebih sering dibandingkan dengan
penggunaan antibiotik yang tidak mempengaruhi fungsi ginjal.
b) Karakteristik obat pasien
Contoh: pasien yang menerima warfarin dengan banyaknya potensial
interaksi dengan obat lain memerlukan pemantauan lebih sering
c) Permintaan tenaga kesehatan lain

Proses selanjutnya adalah menilai keberhasilan atau kegagalan mencapai


sasaran terapi. Keberhasilan dicapai ketika hasil pengukuran parameter
klinis sesuai dengan sasaran terapi yang telah ditetapkan.

Apabila hal tersebut tidak tercapai, maka dapat dikatakan mengalami


kegagalan mencapai sasaran terapi. Penyebab kegagalan tersebut antara
lain: kegagalan menerima terapi, perubahan fisiologis/kondisi pasien,
perubahan terapi pasien

95 95
h. Dokumentasi
Pemantauan Terapi Obat (PTO) yang dilakukan harus dikomunikasikan
dengan dokter, perawat dengan metode komunikasi SOAP ( Subjective
Objective Assessment Plan) sebagai dokumen tertulis dan dapat dilakukan
metode SBAR (Situation Background Assessment Recommendation) jika
dilakukan komunikasi verbal.
Penulisan SOAP harus menyatakan kesinambungan dan keterkaitan antara
data subyektif dengan data obyektif. Selanjutnya data yang ditulis sebaiknya
mencerminkan hal-hal yang akan dianalisa dalam asesmen. Asesmen
mencantumkan Drug Related Problem (DRP) yang ditemukan dari analisis.
Plan ditulis berurutan sesuai dengan hasil asesmen (bila DRP lebih dari satu).
SOAP ditulis secara berkesinambungan dengan SOAP sebelumnya. Penulisan
SOAP harus mencantumkan tanggal dan waktu penulisan serta diakhiri dengan
paraf apoteker disertai nama berikut gelar.

1) Subyektif
Data subyektif adalah data yang bersumber dari pasien atau keluarganya
atau orang lain yang tidak dapat dikonfirmasi secara independen. Agar
selaras dengan SOAP profesi lain, maka data subyektif dapat berupa
keluhan pasien terkait obat/penyakit. Selain itu riwayat obat/penyakit
yang diperoleh dari pengakuan pasien dapat pula dituliskan pada data
subyektif. Riwayat obat/penyakit sebaiknya digali terlebih dahulu dengan
menelusuri rekam medik. Bila data dari rekam medik tidak jelas atau tidak
ada atau diperlukan konfirmasi, maka pengumpulan data subyektif
dilanjutkan dengan wawancara pasien atau keluarga terdekat yang
tinggal serumah

96
96
Langkah-Langkah Pelaksanaan:
a) Lakukan penelusuran rekam medik
(1) Catat data identitas pasien.
(2) Kumpulkan informasi terkait riwayat penggunaan obat (obat
kronis, obat bebas, obat herbal), riwayat alergi, riwayat sosial
terkait dengan obat yang dapat diambil dari data rekonsiliasi.
b) Lakukan interview
Interview dilakukan untuk melengkapi data subyektif yang tidak
dijumpai di rekam medik yang diperlukan bagi asesmen terkait
penggunaan obat.
c) Lakukan pencatatan hasil temuan pada a dan b pada lembar Catatan
Perkembangan Pasien Terintegrasi.
Contoh: keluhan pusing, mual, demam, nyeri

2) Obyektif
Data obyektif adalah data yang bersumber dari hasil observasi,
pengukuran yang dilakukan oleh profesi kesehatan lain, contoh tekanan
darah, hasil laboratorium, hasil pemeriksaan USG, hasil bacaan foto
toraks, hasil bacaan CT-Scan yang mendukung problem medik (diagnosa,
co-morbid, underlying diseases) atau DRP yang akan kita tulis sebagai
hasil asesmen. Selain itu data obyektif dapat pula berupa data hasil
perhitungan seperti nilai klirens kreatinin hasil perhitungan estimasi
menggunakan formula Cockroft atau MDRD, hasil perhitungan skala Child-
Pugh Scale (CPS) dan lain-lain. Data obyektif lain yang bersumber dari
literatur seperti data farmakokinetik (waktu paruh, volume distribusi)
dapat pula dicantumkan.
Data obyektif yang ditulis apoteker tentunya tidak harus sama dengan
data profesi lain karena pembahasan akan berbeda sesuai sudut pandang
profesi, namun sebaiknya dapat dipahami oleh dokter sebagai ketua tim
medik di bangsal atau tempat pelayanan.

97 97
Langkah Pelaksanaan:
a) Data Tanda-Tanda Vital (TTV) disalin dari hasil observasi profesi lain
yang terkait dengan penggunaan obat. Contoh: bila obat yang
digunakan adalah antipiretik, maka data TTV yang disalin adalah
temperatur.
b) Data laboratorium disalin dari hasil pemeriksaan laboratorium terkait
dengan penggunaan obat. Contoh: bila obat yang digunakan adalah
INH, maka perlu dicatat data SGPT/ALT.
c) Data farmakokinetik obat disalin dari buku teks yang terpercaya.
d) Data klinis: gejala klinis yang ditimbulkan akibat dari penggunaan
obat.

3) Asesmen
Hasil asesmen yang ditulis dalam Lembar CPPT pada rekam medis adalah
berupa Drug Related Problem (DRP). Proses asesmen/analisis hingga
menghasilkan DRP tidak perlu dinyatakan dalam rekam medik. Bahasa
penulisan DRP sebaiknya tidak bersifat kaku tetapi lebih menerangkan
problem terkait obat yang akan kita sampaikan, sehingga bisa dinyatakan
dalam bentuk kalimat. Sebaiknya dalam penulisan DRP menghindari kata-
kata yang terkesan justifikasi terhadap apa yang sudah dikerjakan profesi
lain seperti: error, tidak tepat, tidak adekuat, salah obat/dosis/rute obat
dan lain-lain.
Bila dijumpai lebih dari satu buah DRP, maka penulisan DRP tersebut
sebaiknya diberi nomor (dengan angka 1, 2 dst) berurutan ke bawah agar
mudah dipahami oleh profesi kesehatan lain.
Langkah pelaksanaan SOAP:
a) Lakukan penilaian terhadap data S dan O dengan mengacu pada
prinsip farmakoterapi, EBM, guideline terkait untuk menentukan ada-
tidaknya DRP. Contoh seperti tertera pada tabel 1

98
98
Karakteristik Terapi
Subyektif Obyektif DRP
Pasien Obat
Mual, GDP Glimepiride Glimepiride
Umur 56th, DM
muntah 216mg/dl 2 mg pagi 1 tidak adekuat
sudah 5 tahun
tablet

Tabel 1. Proses Analisis dalam melaksanakan asesmen

b) DRP yang ditemukan dituliskan dengan menggunakan kalimat yang


tidak menjustifikasi profesi tertentu namun dapat menampilkan
permasalahan terkait obat. Contoh penulisan DRP pada lembar CPPT
dalam rekam medis terkait hasil asesmen di atas adalah “dosis
glimepiride belum cukup....” atau “dosis glimepiride perlu
ditingkatkan......”.
c) Plan (Rencana Pelayanan Kefarmasian/RPK)
Apoteker memformulasikan RPK sesuai DRP yang ditemukan. Bila
dijumpai DRP lebih dari satu buah, maka penulisan plan sebaiknya
diberi nomor berurutan ke bawah. Plan memuat hal-hal berikut:
(1) Rekomendasi Terapi obat untuk setiap DRP lengkap dengan
dosisnya
(2) Rencana Monitoring Terapi Obat
(3) Rencana Konseling
(4) Dalam menyampaikan rekomendasi sebaiknya tidak menggunakan
kalimat perintah tetapi berupa saran. Contoh: terkait DRP di atas,
maka rekomendasi yang diajukan adalah disarankan untuk
menaikkan dosis glimepiride menjadi 4mg pagi 1 tablet

99 99
Contoh SOAP
Soal
Tuan K, 69 Tahun, 172 cm, 75 kg masuk rumah sakit dengan keluhan
mual muntah selama 3 hari terakhir. Pasien mengaku memiliki riwayat
diabetes melitus selama 8 tahun dan sampai saat ini masih minum
obat Gliklazid 1-1-0 dan Metformin 3 x 850 mg. Hasil lab saat masuk
gula darah sewaktu 355 mg/dl, Natrium 128 mEq/L, Kalium 2,9 mEq/L,
Kreatinin 2,6 mg/dl, BUN 23 mg/dl, Leukosit 9000/mm3. Hasil
observasi tanda tanda vital tekanan darah 140/90 mmHg, suhu 37,9 oC.
Pasien mengaku rajin olahraga dan patuh terhadap diet.
S = Mual, muntah, riwayat DM 8 tahun, riwayat obat Gliklazid dan
Metformin
O = Natrium 128 mEq/l, Kalium 2,9 mEq/L, kreatinin 2,6 mg/dl, BUN
23 mg/dl, temperature 37,9oC, TD 140/90 mmhg
A= 1. Terapi Obat Anti Diabetik (OAD) tidak memadai disebabkan
kegagalan OAD setelah pemakaian 8 tahun
2. Elektrolit imbalance belum diterapi
P = Rekomendasi:
1. disarankan menambahkan insulin rapid acting 3 x 10 unit
subkutan dan menghentikan gliklazid.
2. disarankan rehidrasi dengan ringer laktat.

Monitoring :
1. Kondisi klinis: mual muntah,
2. Tanda-tanda vital: temperatur
3. Lab : (GDP, gula darah 2 jam PP dan kadar K+ dan Na+)

Selain menuliskan SOAP seringkali Apoteker menemukan DRP yang


perlu diselesaikan segera, sehingga penyampaian rekomendasi secara
lisan. Selanjutnya rekomendasi secara lisan tersebut harus
didokumentasikan dengan format S-B-A-R.

100
100
Penyampaian SBAR secara lisan diawali dengan menyebutkan identitas
pelapor, selanjutnya menyebutkan situasi dan background pasien
secara berurutan. Hasil asesmen apoteker disampaikan setelah
penyampaian situasi dan background, selanjutnya ditutup dengan
menyampaikan rekomendasi. SBAR yang sudah disampaikan secara
lisan selanjutnya didokumentasikan secara tertulis dalam RM.
Pencatatan SBAR harus disertai catatan waktu penyampaian
rekomendasi secara lisan serta paraf persetujuan klinisi terkait.
- Situation
Catat kondisi pasien yang mengkhawatirkan akibat penggunakan
obat. Contoh: Bibir melepuh setelah minum carbamazepin.
- Background
Catat latar belakang penggunaan obat. Contoh: carbamazepin
pada kasus di atas diberikan untuk indikasi nyeri neuropati.
- Assessment
Lakukan penilaian terhadap data S-B di atas dengan mengacu
pada kaidah farmakoterapi, EBM, dan guideline.
- Recommendation
Catat rekomendasi kepada klinisi terkait hasil assessment di atas,
termasuk persetujuan klinisi. Bila klinisi tidak setuju dengan
rekomendasi apoteker, sebaiknya tetap didokumentasikan dan
mencantumkan bahwa klinisi tidak setuju.

101 101
Contoh metode SBAR
Tn KH 52 tahun, berat badan 63 kg, tinggi badan 159 cm, masuk
rumah sakit dengan keluhan sakit kepala berat yang tidak hilang
selama 2 hari setelah diobati. Mengaku tidak pernah sakit. Hasil
observasi TTV: tekanan darah 160/100 mmhg, suhu tubuh 36,9 o C,
nadi 72x per menit, respiration rate 16x/menit. Hasil anamnesa,
dokter menemukan adanya defisit neurologi sehingga diperiksa CT-
scan kepala. Hasil CT-Scan kepala menyebutkan adanya stroke
pendarahan di corona radiata sekitar 5ml dan memberikan terapi
ketorolak inj 3x30 mg; mannitol 6x 100 ml dengan tappering, citicholin
3x250mg iv. Saat visite, apoteker menjumpai kelopak mata yang
bengkak pada kedua mata, meskipun tidak sama besar. Apoteker
segera menghubungi dokter via telepon untuk menghentikan
ketorolak inj.
S: Kedua kelopak mata bengkak
B: Pasien stroke pendarahan dan mendapat terapi ketorolak untuk
sakit kepala berat
A: Kelopak mata bengkak menunjukkan tanda hipersensitivitas obat
yagn berpotensi adalah NSAID, dalam hal ini ketorolak
R: Disarankan untuk menghentikan ketorolak dan menghindari NSAID
lainnya karena akan berpotensi sama. Sebagai alternatif analgesik
tramadol injeksi dikombinasi amitriptillin
➢ Disarankan diphenhydramin inj dan atau dexametason inj 3x1 amp
selama 1 hari
i. Evaluasi
1) jumah Masalah terkait obat yang teridentifikasi
2) jumlah DTP yang diselesaikan

102
102
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)/farmakovigilans
a. Pengertian
MESO yang dilaksanakan di RS lebih tepat bila disebut Farmakovigilans yakni
mengenai survei ESO, identifikasi obat pemicu ESO, analisis kausalitas dan
memberikan rekomendasi penatalaksanaannya.

b. Tujuan
1) menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang
berat, tidak dikenal dan frekuensinya jarang
2) menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan yang
baru saja ditemukan;
3) mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/
mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya ESO
4) meminimalkan risiko kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki; dan
5) mencegah terulangnya kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki

c. Manfaat
1) Tercipta database ESO RS sebagai dasar penatalaksanaan ESO
2) Mendukung Pola insidensi ESO nasional

d. Pelaksana
1) Apoteker
2) kolaboratif dengan dokter maupun perawat dalam koordinasi KFT/TFT

e. Persiapan
1) Data ESO rumah sakit
2) Referensi ESO
3) Resep/instruksi pengobatan, rekam medis
4) Obat pasien

103 103
f. Kertas Kerja/Formulir
Formulir MESO (lampiran 4)

g. Pelaksanaan
(a) Mendeteksi adanya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ROTD) /
Efek Samping Obat (ESO)
a) secara pasif dengan menerima laporan dari dokter dan perawat atau
keluhan pasien sehubungan dengan ketidaknyamanan setelah minum
obat dan menanyakan berapa lama setelah minum obat, adakah obat
lain yang digunakan, adakah makanan yang tidak biasa dikonsumsi
b) secara aktif melakukan asesmen dalam PTO baik rawat inap maupun
rawat jalan.
(b) melakukan pencatatan atau penggalian data terkait ROTD
secara aktif melakukan pencatatan atau penggalian data terkait ROTD,
riwayat obat hingga satu bulan sebelum kejadian ROTD dengan cara
interview pasien maupun penelusuran rekam medik
(c) Studi literatur tersier
Melakukan pencocokan ROTD dengan obat menggunakan literatur tersier
(DIH, Meyler, Drug Induce Disease)
(d) Mencocokkan onset ROTD dengan data farmakokinetik obat yang dicurigai
(e) Melakukan pencarian laporan/case report dari obat yang dicurigai memicu
ROTD
(f) Menganalisis kausalitas dengan menggunakan algoritma Naranjo dalam
formulir MESO (Lampiran 4)
(g) Merumuskan rekomendasi kepada klinisi terkait ROTD tersebut
(h) Membuat laporan kepada klinisi dan Tim MESO (bagian KFT/TFT) dengan
mencantumkan obat yang memicu ROTD skala kausalitasnya dan
rekomendasi pengatasan ROTD tersebut.
(i) Membuat laporan ke BPOM secara manual maupun elektronik melalui link
BPOM

104
104
h. Evaluasi
1) Konsistensi laporan MESO ke KFT/TFT dan ke Badan POM.
2) Rekapitulasi laporan MESO dilaporkan dalam rapat KFT/TFT untuk
didiskusikan dan dasar penetapan pola MESO rumah sakit. Pola MESO
sangat diperlukan sebagai langkah pencegahan kejadian ESO terhadap
pasien dan dasar penatalaksanaan pasien yang mengalami ESO.

9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)


a. Pengertian
Proses sistematis dan berkesinambungan dalam menilai kerasionalan terapi
obat melalui evaluasi data penggunaan obat pada suatu sistem pelayanan
dengan mengacu pada kriteria dan standar yang telah ditetapkan (ASHP).
Jenis-jenis Evaluasi Penggunaan Obat:
1) Evaluasi Penggunaan Obat Kuantitatif, contoh: pola peresepan obat, pola
penggunaan obat
2) Evaluasi Penggunaan Obat Kualitatif, contoh: kerasionalan penggunaan
(indikasi, dosis, rute pemberian, hasil terapi) farmakoekonomi, contoh:
analisis Analisis Minimalisasi Biaya, Analisis Efektifitas Biaya, Analisis
Manfaat Biaya, Analisis Utilitas Biaya

b. Tujuan
1) mendorong penggunaan obat yang rasional
2) meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
3) menurunkan pembiayaan yang tidak perlu

c. Manfaat
Perbaikan pola penggunaan obat secara berkelanjutan berdasarkan bukti

d. Pelaksana
Evaluasi penggunaan obat dilaksanakan oleh tim yang ditunjuk oleh KFT/TFT

105 105
e. Tahapan kegiatan EPO
1) Menetapkan ruang lingkup
2) Menetapkan kriteria dan standar
3) Mendapatkan persetujuan dari pimpinan
4) Sosialisasi kegiatan di depan klinisi
5) Mengumpulkan data
6) Mengevaluasi data
7) Melakukan tindakan koreksi/perbaikan
8) Melakukan evaluasi kembali
9) Merevisi kriteria/standar (jika diperlukan)

f. Persiapan
1) Analisis masalah obat berdasarkan kriteria yang ditetapkan sebagai
prioritas
a) Biaya obat tinggi
b) Obat dengan pemakaian tinggi
c) Frekuensi ADR tinggi
d) Kurang jelas efektifitasnya
e) antibiotik
f) injeksi
g) Obat baru
h) Kurang dalam penggunaan
2) program EPO tahunan
3) pemilihan penelitian/guidelines/standar sebagai standar pembanding

g. Kertas Kerja/Formulir
Tergantung berdasarkan standar pembanding untuk diturunkan sebagai
kertas kerja

h. Pelaksanaan
1) Mengevaluasi pengggunaan obat secara kualitatif

106
106
Dapat digunakan berdasarkan langkah sistematis sebagai berikut:
a) Identifikasi target EPO berdasarkan:
Lingkup Potensial masalah:
(1) Biaya obat tinggi
(2) Obat dengan pemakaian tinggi
(3) Frekuensi ADR tinggi
(4) Kurang jelas efektifitasnya
(5) Antibiotik
(6) Injeksi
(7) Obat baru
(8) Kurang dalam penggunaan (contoh: ACEIs untuk CCF)
Menentukan dan menetapkan prioritas yang akan dilakukan EPO,
misalnya: evaluasi penggunaan Meropenem pasien ICU dengan lingkup
masalah: biaya obat tinggi, pemakaian tinggi atau antibiotic
b) Mencari referensi ilmiah
Evaluasi penggunaan obat harus berbasis pada bukti ilmiah terbaru
(1) original research papers,
(2) review articles,
(3) evidence-based guidelines
Kadang memerlukan bantuan PIO untuk mendapatkan artikel yg
memenuhi syarat melalui critical appraisal.
c) Tentukan kriteria EPO
Tentukan kriteria berdasar hasil evaluasi literatur
(1) Indikator proses
(a) Tentukan dengan seksama indikasi penggunaan, dosis, rute,
durasi, kadar obat
(b) contoh indikasi ondansetron: mual atau muntah yang tidak
mampu dikendalikan oleh antiemetika konvensional
(2) indikator “outcome”
Contoh target tekanan darah untuk obat antihipertensi

107 107
d) Desain
Menetapkan pengambilan data secara:
(1) Retrospective atau concurrent/prospective
(2) Retrospective
(a) Keuntungan
Lebih cepat, lebih sedikit sumber daya, didapat data dalam
periode panjang (contoh bulan-tahun)
(b) Kerugian
Kemungkinan kesulitan dalam interpretasi atau mencari data
yang tidak lengkap karena keterbatasan dokumentasi
(3) Concurrent/prospective review
(a) Keuntungan
Kelengkapan data lebih baik karena mudah mencari yang
tidak terdokumentasi
(b) Kerugian
Memerlukan waktu dan sumberdaya, proses audit
memungkinkan dipengaruhi oleh data bias

2) Desain Formulir pengambilan data


a) Pertimbangkan data yang diperlukan untuk evaluasi
(1) Pastikan formulir mengakomodasi semua data yang diperlukan
oleh satu pasien
(2) Hindari pengambilan data yang tidak akan digunakan Analisa
b) Ciptakan formulir sesederhana mungkin
Untuk memastikan pengambilan data cepat dan akurat
c) Lakukan uji coba untuk beberapa pasien sebagai uji formulir dan
melakukan perubahan formulir jika diperlukan

108
108
3) Pengumpulan data
Sumber data:
a) Data resep and klinik
(1) Grafik pengobatan/resep
(2) Catatan pelayanan farmasi
(3) Catatan medik, sejarah pasien, catatan kemajuan pasien
(4) Catatan penyakit pasien
(5) Grafik pemantauan (TD, suhu, nadi, pulse, etc)
(6) Dokter, apoteker, perawat, pasien (prospektif)
b) Data Administratif
(1) Pembelian farmasi
(2) Pengeluaran Gudang

4) Evaluasi data
a) Tabulasi data
Gunakan kertas kerja atau data base
b) Analisa data
(1) Bandingkan realita dan standar kriteria
(2) Identifikasi variabilitas praktis
(3) Evaluasi alasan timbulanya variasi: Beda populasi pasien,
Lemahnya pengetahuan penulis resep, Pemasaran pabrik
farmasi/salah informasi, Kesulitan akses “guidelines”, Kekurangaen
sumberdaya (e.g. tes laborat), Umpan balik hasil

5) Umpan Balik Hasil


a) Penulis resep
b) Apoteker
c) Pimpinan
d) KFT/TFT

109 109
Umpan balik dapat disajikan bervariasi
a) Laporan tertulis
b) Presentasi

6) Tindak Lanjut
Tipe tindakan
a) Umpan balik ke penulis resep
Bandingkan antara realita dan ‘best practice’
b) Kampanye Pendidikan
(1) Presentasi
(2) Poster
(3) Bulletin
c) Mengembangkan pedoman peresepan lokal
(1) evidence and consensus-based
(2) opinion-leaders
d) Pengaturan formularium
Pembatasan ketersediaan obat yang tidak jelas

i. Evaluasi
Pelaksanaan DUE minimal sekali dalam setahun

10. Dispensing Sediaan Steril


a. Pengertian
Dispensing sediaan steril adalah penyiapan sediaan farmasi steril untuk
memenuhi kebutuhan individu pasien dengan cara melakukan pelarutan,
pengenceran dan pencampuran produk steril dengan teknik aseptic untuk
menjaga sterilitas sediaan sampai diberikan kepada pasien.

110
110
Ruang lingkup dispensing sediaan steril meliputi:
(1) Pencampuran Obat Suntik non sitostatika (IV admixture)
Kegiatan meliputi:
a) pencampuran sediaan intravena ke dalam cairan infus;
b) pengenceran sediaan intravena
c) rekonstitusi sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan pelarut
yang sesuai.
(2) Penyiapan Nutrisi Parenteral
Merupakan kegiatan pencampuran komponen nutrisi: karbohidrat,
protein, lipid, vitamin dan mineral untuk kebutuhan individu pasien
yang diberikan melalui intravena.
(3) Pencampuran Sediaan Sitostatik
Merupakan kegiatan pencampuran sediaan obat kanker untuk
kebutuhan individu pasien dan melindungi petugas dan lingkungan dari
paparan zat berbahaya.
(4) Dispensing Sediaan Tetes Mata
Merupakan kegiatan pencampuran sediaan tetes mata untuk kebutuhan
individu pasien.

b. Tujuan
Dispensing sediaan steril harus dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah
Sakit dengan tujuan :
1) Menjamin sterilitas sediaan
2) Meminimalkan kesalahan pengobatan
3) Menjamin kompatibilitas dan stabilitas
4) Menghindari pemaparan zat berbahaya
5) Menghindari pencemaran lingkungan
6) Meringankan beban kerja perawat
7) Penghematan biaya penggunaan obat

111 111
c. Manfaat
Terjaminnya sterilitas obat, meminimalkan kesalahan pengobatan,
melindungi petugas terhadap paparan bahan-bahan berbahaya,
meringankan beban kerja perawat, menghemat biaya pengobatan pasien.

d. Pelaksana
1) Apoteker
Setiap apoteker yang melakukan persiapan/peracikan sediaan steril
harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
a) Memiliki kompetensi tentang penyiapan dan pengelolaan sediaan
steril termasuk teknik aseptik.
b) Memiliki kemampuan membuat prosedur tetap setiap tahapan
pencampuran sediaan steril.
2) Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK)
Tenaga Teknis Kefarmasian membantu apoteker dalam melakukan
pencampuran sediaan steril. Petugas harus memiliki kompeternsi dalam
melakukan pencampuran.

e. Persiapan
Instalasi Farmasi harus melakukan persiapan untuk memberikan pelayanan
dispensing sediaan steril yang meliputi
1) Sarana dan Prasarana
a) Clean room
b) Sistem Tata Udara (HVAC)
c) Laminar Air Flow Cabinet/Isolator
d) Passbox
e) HEPA Filter
f) Trolley
g) Rak obat
h) Box obat

112
112
i) Lemari pendingin obat
Pembangunan clean room harus memperhatikan beberapa hal sebagai
berikut:
a) Layout Desain Area
Untuk layout desain area meliputi:
- Desain area harus memperhatikan alur material, produk dan
personel
- Peralatan, personel dan kegiatan tidak boleh melewati area
dimana pencampuran sedang dilakukan. Sedapat mungkin alur
kegiatan satu arah
- Jika alur kegiatan tidak bisa satu arah, maka harus ada buffer
room
- Area pencampuran obat sitostatika harus terpisah dari obat
non-sitostatika
- Clean room harus memiliki ruang ganti baju (gowning), ruang
penyimpanan stok, ruang pencampuran dan area untuk
kegiatan penerimaan dan pendistribusian
- Perbedaan tekanan ruangan harus terjaga terus menerus (24
jam)
- Area pencampuran obat sitostatika harus lebih negatif
dibandingkan area sekitarnya
- Di dalam area pencampuran tidak boleh ada wastafel/sink atau
saluran pembuangan air
- Air Handling Unit (AHU) untuk clean room sitostatika harus
tersendiri

113 113
Klasifikasi ruangan menurut Standar Internasional sebagai berikut:

PIC/S ISO US Fed Standard 209 D

Grade A ISO Class 5 Class 100

Grade B ISO Class 6 Class 100

Grade C ISO Class 7 Class 10.000

Grade D ISO Class 8 Class 100.000


PIC/S = Pharmaceutical Inspection Co-operation Scheme
ISO = International Organization for Standardization

Bagian-bagian ruangan pada area pelayanan Dispensing Sediaan


Steril terdiri dari :

(1) Ruang persiapan


Ruangan yang digunakan untuk administrasi dan penyiapan
alat kesehatan dan bahan obat (etiket, pelabelan,
penghitungan dosis dan volume cairan).
(2) Ruang cuci tangan dan ruang ganti pakaian (kelas 100.000)
Sebelum masuk ke ruang antara, petugas harus mencuci
tangan, ganti pakaian kerja dan memakai alat pelindung diri
(APD).
(3) Ruang antara (Ante room) (kelas 100.000)
Petugas yang akan masuk ke ruang bersih melalui suatu ruang
antara
(4) Ruang bersih (Clean room) kelas 10.000
Ruang bersih (clean room) yang didesain sedemikian sehingga
memenuhi persyaratan dalam pengendalian jumlah partikel,
suhu ruangan, kelembaban dan perbedaan tekanan.

114
114
Ruangan steril harus memenuhi syarat sebagai berikut :

(1) Jumlah partikel berukuran 0,5 mikron tidak lebih dari 350.000
partikel
(2) Jumlah jasad renik tidak lebih dari 100 per meter kubik udara.
(3) Suhu 18 – 22°C
(4) Kelembaban 35 – 50%
(5) Dilengkapi High Efficiency Particulate Air (HEPA) Filter
(6) Tekanan udara di dalam ruang pencampuran obat non
sitostatik harus lebih positif dibandingkan tekanan udara di
sekitarnya. Sedangkan untuk tekanan udara di dalam
pencampuran obat sitostatik harus lebih negatif dibandingkan
tekanan udara di sekitarnya.
(7) Pass box adalah tempat masuk dan keluarnya alat kesehatan
dan bahan obat sebelum dan sesudah dilakukan
pencampuran. Pass box ini terletak di antara ruang persiapan
dan ruang pencampuran. Pass box harus memiliki system
interlock yaitu jika satu pintu terbuka, maka pintu lainnya
tidak dapat dibuka.

Gambar 15. Pass Box

115 115
Contoh perbedaan tekanan antar ruang pada ruangan dispensing
sediaan steril

(1) Ruangan pencampuran non sitostatika


Semakin ke dalam tekanan ruangan semakin positif

(2) Ruangan pencampuran sitostatika


Semakin ke dalam tekanan ruangan semakin negatif

b) Material bangunan
Untuk material bangunan meliputi:
- Material bangunan harus non-shedding, tidak berpori dengan
permukaan halus dan resisten terhadap pertumbuhan
mikroba

116
116
- Semua permukaan termasuk lantai:
• halus, tidak tembus cairan, tidak retak/pecah
• non shedding
• dapat dibersihkan dan didisinfeksi
• instalasi terpasang baik (pipa, saluran, tidak ada
kebocoran)
- Kayu yang tidak divernis tidak diperbolehkan ada di clean
room
- Pencahayaan harus cukup (500-600 lux)
- Pemasangan lampu dari bagian atas langit-langit dan di-
sealed untuk mencegah kebocoran udara. Pemeliharaan
dilakukan dari bagian atas langit-langit
- Pintu dan jendela harus keras, halus, tidak tembus cairan,
tertutup rapat
- Semua pintu di clean room harus dipasang sistem interlock

c) Parameter-parameter kritis
Parameter kritis yang harus dikendalikan meliputi:
- Suhu
- Kelembaban
- Perbedaan tekanan ruangan
- Kecepatan pertukaran udara
- Jumlah partikel
- Uji mikrobiologi

117 117
Tabel 2. Persyaratan jumlah maksimum partikel yang diperbolehkan

Saat istirahat Saat beroperasi

Grade Jumlah maksimum partikel setiap m3

0.5 um 5 um 0.5 um 5 um

A 3.520 20 3.520 20

B 3.520 29 352.000 2.900

C 352.000 2.900 3.520.000 29.000

D 3.520.000 29.000 - -

Tabel 3. Persyaratan Fasilitas Steril Berdasarkan USP

118
118
2) Sumber Daya Manusia
Tenaga yang akan melakukan pelayanan dispensing sediaan steril
harus dibekali pengetahuan dan keterampilan yang meliputi:
a) Konsep Aseptic Dispensing
b) Persyaratan sarana dan prasarana
c) Pengenalan ruang dan cara penggunaan alat
d) Standar Prosedur Operasional
e) Higiene petugas
f) Pengkajian resep/ permintaan pencampuran
g) Perhitungan dalam peracikan
h) Teknik peracikan
i) Teknik Aseptik
j) Stabilitas dan kompatibilitas
k) Pembersihan alat da ruangan
l) Pemeliharaan alat dan ruangan
m) Penanganan tumpahan sitostatika
n) Pendokumentasian

3) Panduan dan Standar Prosedur Operasional


Untuk menjaga mutu sediaan steril yang dihasilkan serta melindungi
petugas dan lingkungan, maka pelayanan dispensing sediaan steril
harus memiliki panduan dan standar prosedur operasional yang
meliputi:
a) Alur Pelayanan
b) Higiene Petugas
c) Pemakaian Alat Pelingung Diri
d) Pemeriksaan Kesehatan Petugas
e) Validasi Kompetensi Petugas
f) Pembersihan Alat
g) Pembersihan Ruangan
h) Pemeriksaan mikrobiologis

119 119
i) Pemeliharaan Alat
j) Pemeliharaan Ruangan
k) Pencampuran sediaan intravena
l) Pencampuran sediaan sitostatik
m) Pencampuran sediaan tetes mata
n) Penanganan Tumpahan

4) Peralatan dan Perlengkapan


Peralatan yang harus dimiliki untuk melakukan pencampuran sediaan
steril meliputi:

a) Laminar Air flow (LAF) mempunyai sistem penyaringan ganda yang


memiliki efisiensi tingkat tinggi, sehingga dapat berfungsi sebagai:
(1) Penyaring bakteri dan bahan-bahan eksogen di udara.
(2) Menjaga aliran udara yang konstan di luar lingkungan.
(3) Mencegah masuknya kontaminan ke dalam LAF.

b) Laminar Air flow (LAF) mempunyai sistem penyaringan ganda yang


memiliki efisiensi tingkat tinggi, sehingga dapat berfungsi sebagai:
(1) Penyaring bakteri dan bahan-bahan eksogen di udara.
(2) Menjaga aliran udara yang konstan di luar lingkungan.
(3) Mencegah masuknya kontaminan ke dalam LAF.

Terdapat dua tipe LAF yang digunakan pada pencampuran sediaan


steril :
1) Aliran Udara Horizontal (Horizontal Air Flow).
Aliran udara langsung menuju ke depan, sehingga petugas
tidak terlindungi dari partikel ataupun uap yang berasal dari
ampul atau vial. Alat ini digunakan untuk pencampuran obat
steril nonsitostatika.

120
120
Gambar 16. Horizontal LAFC

2) Aliran Udara Vertikal (Vertical Air Flow).


Aliran udara langsung mengalir kebawah dan jauh dari petugas
sehingga memberikan lingkungan kerja yang lebih aman. Untuk
penanganan sediaan sitostatika menggunakan LAF vertikal
Biological Safety Cabinet (BSC) kelas II dengan syarat tekanan
udara di dalam BSC harus lebih negatif dari pada tekanan udara
di ruangan.

Gambar 17. Tipe LAFC untuk sitostatika

121 121
3) Tipe Isolator

Gambar 18. Isolator

c) Alat Pelindung Diri (APD)


Alat Pelindung Diri (APD) yang digunakan dalam pencampuran
sediaan steril meliputi :
(1) Baju Pelindung
Baju Pelindung ini sebaiknya terbuat dari bahan yang
impermeable (tidak tembus cairan), tidak melepaskan serat
kain, dengan lengan panjang, bermanset dan tertutup di bagian
depan.

Gambar 19. Baju pelindung


(2) Sarung tangan
Sarung tangan yang dipilih harus memiliki permeabilitas yang
minimal sehingga dapat memaksimalkan perlindungan bagi
petugas dan cukup panjang untuk menutup pergelangan

122
122
tangan. Sarung tangan terbuat dari latex dan tidak berbedak
(powder free). Khusus untuk penanganan sediaan sitostatika
harus menggunakan dua lapis.
(3) Kacamata pelindung
Hanya digunakan pada saat penanganan sediaan sitostatika
(4) Masker disposable

f. Kertas kerja/Formulir

Kertas kerja dan formulir yang harus disiapkan


- Formulir Permintaan Pencampuran Obat Suntik/ Tetes Mata
- Formulir Permintaan TPN
- Formulir Permintaan Pencampuran Sitostatika
- Kertas Kerja Pencampuran Obat Suntik
- Kertas Kerja Pencampuran Obat Sitostatik
- Ceklis Validasi Petugas Aseptic Dispensing
- Lembar Pemantauan Suhu Ruangan
- Lembar Pemantauan Suhu Lemari Pendingin
- Lembar Pemantauan Kelembaban Ruangan
- Lembar Pemantauan Tekanan Ruangan

g. Pelaksanaan
1) Persiapan
a) Persiapan ruangan steril kelas 100
b) HEPA Filter
c) Persiapan masuk ruangan steril
d) Persiapan obat dan alat kesehatan yang akan digunakan
e) Persiapan laminar air flow

123 123
2) Pelaksanaan
a) Pencampuran Obat Suntik
Sebelum menjalankan proses pencampuran obat suntik, perlu
dilakukan langkah langkah sebagai berikut:
(1) Memeriksa kelengkapan dokumen (formulir) permintaan
dengan prinsip 5 BENAR (benar pasien, obat, dosis, rute dan
waktu pemberian)
(2) Memeriksa kondisi obat-obatan yang diterima (nama obat,
jumlah, nomer batch, tgl kedaluwarsa), serta melengkapi form
permintaan.
(3) Melakukan konfirmasi ulang kepada pengguna jika ada yang
tidak jelas/tidak lengkap.
(4) Menghitung kesesuaian dosis.
(5) Memilih jenis pelarut yang sesuai.
(6) Menghitung volume pelarut yang digunakan.
(7) Membuat label obat berdasarkan: nama pasien, nomer rekam
medis, ruang perawatan, dosis, cara pemberian, kondisi
penyimpanan, tanggal pembuatan, dan tanggal kedaluwarsa
campuran
(8) Membuat label pengiriman terdiri dari : nama pasien, nomer
rekam medis, ruang perawatan, jumlah paket.
(9) Melengkapi dokumen pencampuran
(10) Memasukkan alat kesehatan, label, dan obat-obatan yang akan
dilakukan pencampuran kedalam ruang steril melalui pass box.
(11) Proses pencampuran obat suntik secara aseptik, mengikuti
langkah – langkah sebagai berikut:
(a) Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD).
(b) Melakukan dekontaminasi dan desinfeksi sesuai prosedur
tetap
(c) Menghidupkan Laminar Air Flow (LAF) sesuai prosedur
tetap

124
124
(d) Menyiapkan meja kerja LAF dengan memberi alas penyerap
cairan dalam LAF.
(e) Menyiapkan kantong buangan sampah dalam LAF untuk
bekas obat.
(f) Melakukan desinfeksi sarung tangan dengan alkohol 70 %.
(g) Mengambil alat kesehatan dan obat-obatan dari pass box.
(h) Melakukan pencampuran secara aseptik

Teknik memindahkan obat dari ampul


(1) Membuka ampul larutan obat:
(a) Pindahkan semua larutan obat dari leher ampul dengan
mengetuk-ngetuk bagian atas ampul atau dengan
melakukan gerakan J-motion.
(b) Seka bagian leher ampul dengan alkohol 70 %, biarkan
mengering.
(c) Lilitkan kassa sekitar ampul.
(d) Pegang ampul dengan posisi 45º, patahkan bagian atas
ampul dengan arah menjauhi petugas. Pegang ampul
dengan posisi ini sekitar 5 detik.
(e) Berdirikan ampul.
(f) Bungkus patahan ampul dengan kassa dan buang ke
dalam kantong buangan.
(2) Pegang ampul dengan posisi 45º, masukkan spuit ke dalam
ampul, tarik seluruh larutan dari ampul, tutup needle.
(3) Pegang ampul dengan posisi 45º, sesuaikan volume larutan
dalam syringe sesuai yang diinginkan dengan menyuntikkan
kembali larutan obat yang berlebih kembali ke ampul.
(4) Tutup kembali needle.
(5) Untuk permintaan infus Intra Vena, suntikkan larutan obat ke
dalam botol infus dengan posisi 45º perlahan-lahan melalui
dinding agar tidak berbuih dan tercampur sempurna.

125 125
(6) Untuk permintaan Intra Vena bolus ganti needle dengan ukuran
yang sesuai untuk penyuntikan.
(7) Setelah selesai, buang seluruh bahan yang telah terkontaminasi
ke dalam kantong buangan tertutup.

Teknik memindahkan sediaan obat dari vial:


(1) Membuka vial larutan obat
(a) Buka penutup vial.
(b) Seka bagian karet vial dengan alkohol 70 %, biarkan
mengering.
(c) Berdirikan vial
(d) Bungkus penutup vial dengan kassa dan buang ke dalam
kantong buangan tertutup
(2) Pegang vial dengan posisi 45º, masukkan spuit ke dalam vial.
(3) Masukan pelarut yang sesuai ke dalam vial, gerakan
perlahanlahan memutar untuk melarutkan obat.
(4) Ganti needle dengan needle yang baru.
(5) Beri tekanan negatif dengan cara menarik udara ke dalam spuit
kosong sesuai volume yang diinginkan.
(6) Pegang vial dengan posisi 45º, tarik larutan ke dalam spuit
tersebut.
(7) Untuk permintaan infus intra vena (iv) , suntikkan larutan obat
ke dalam botol infus dengan posisi 45º perlahan-lahan melalui
dinding agar tidak berbuih dan tercampur sempurna.
(8) Untuk permintaan intra vena bolus ganti needle dengan ukuran
yang sesuai untuk penyuntikan.
(9) Bila spuit dikirim tanpa needle, pegang spuit dengan posisi
jarum ke atas angkat jarum dan buang ke kantong buangan
tertutup.
(10) Pegang spuit dengan bagian terbuka ke atas, tutup dengan
”luer lock cap”.

126
126
(11) Seka cap dan syringe dengan alkohol.
(12) Setelah selesai, buang seluruh bahan yang telah terkontaminasi
ke dalam kantong buangan tertutup.
(13) Memberi label yang sesuai untuk setiap spuit dan infus yang
sudah berisi obat hasil pencampuran.
(14) Membungkus dengan kantong hitam atau alumunium foil untuk
obat-obat yang harus terlindung dari cahaya.
(15) Memasukkan spuit atau infus ke dalam wadah untuk
pengiriman.
(16) Mengeluarkan wadah yang telah berisi spuit atau infus melalui
pass box.
(17) Membuang semua bekas pencampuran obat ke dalam wadah
pembuangan khusus

b) Pencampuran sediaan sitostatika


(1) Proses penyiapan sediaan sitostatika sama dengan proses
penyiapan pencampuran obat suntik.
(2) Proses pencampuran sediaan sitostatika:
(a) Memakai APD sesuai prosedur
(b) Mencuci tangan sesuai prosedur
(c) Menghidupkan biological safety cabinet (BSC) 5 menit
sebelum digunakan.
(d) Melakukan dekontaminasi dan desinfeksi BSC sesuai
prosedur
(e) Menyiapkan meja BSC dengan memberi alas sediaan
sitostatika.
(f) Menyiapkan tempat buangan sampah khusus bekas
sediaan sitostatika.
(g) Melakukan desinfeksi sarung tangan dengan menyemprot
alkohol 70%.
(h) Mengambil alat kesehatan dan bahan obat dari pass box.

127 127
(i) Meletakkan alat kesehatan dan bahan obat yang akan
dilarutkan di atas meja BSC.
(j) Melakukan pencampuran sediaan sitostatika secara
aseptik.
(k) Memberi label yang sesuai pada setiap infus dan spuit
yang sudah berisi sediaan sitostatika.
(l) Membungkus dengan kantong hitam atau aluminium foil
untuk obat-obat yang harus terlindung cahaya.
(m) Membuang semua bekas pencampuran obat kedalam
wadah pembuangan khusus.
(n) Memasukan infus untuk spuit yang telah berisi sediaan
sitostatika ke dalam wadah untuk pengiriman.
(o) Mengeluarkan wadah untuk pengiriman yang telah berisi
sediaan jadi melalui pass box.
(p) Menanggalkan APD sesuai prosedur

c) Pencampuran Nutrisi Parenteral


Prosedur untuk compounding nutrisi parenteral pediatrik
(1) Siapkan kantong nutrisi parenteral
(2) Hubungkan transfer set ke port infus jika perlu. Tutup semua
clamp dari transfer set
(3) Buka clamp dan masukkan asam amino, dextrose dan aqua pro
injeksi melalu transfer set
(4) Sambungkan port injeksi dengan filter 0.2 µm
(5) Masukkan elektrolit melalui port injeksi berdasarlkan urutan
stabilitasnya sebagai berikut: Fosfat, Sodium Klorida,
Magnesium sulfat, acetat, kalium klorida, kalsium dan trace
element
(6) Masukkan bahan aditif lainnya ke dalam kantong
(7) Campurkan hingga homogen
(8) Flushing filter

128
128
(9) Jika disiapkan kantung all-in-one, masukkan emulsi lipid
sebagai komponen terakhir
(10) Jika disiapkan kantung two-in-one, maka lipid disiapkan
terpisah
(11) Ketika semua komponen sudah dimasukkan semua ke dalam
kantung, lepaskan filter dan tutup kantung
(12) Hilangkan udara dari kantung dengan mengeluarkan udara.
Tutup dengan stopper dan tutup klip
(13) Cek kantung nutrisi parenteral secara visual
(14) Beri label pada kantong

Prosedur untuk compounding nutrisi parenteral dewasa


(1) Lepaskan tutup vial asam amino, glukosa atau dekstrosa dan
air untuk injeksi dan usap karet dengan alkohol
(2) Masukkan semua komponen ke dalam kantong PN melalui
transfer set
(3) Pasang filter 5,0 μm ke filter 0,2 μm (jika perlu) dengan jarum
baru ke dalam port injeksi kantong PN
(4) Masukkan mikronutrien yang diperlukan ke dalam kantong PN
melalui filter yang terhubung
(5) Campurkan larutan hingga homogen dan periksa partikel asing
(6) Jika ada partikel asing, infus sejumlah emulsi lipid yang
diperlukan ke dalam kantung PN melalui transfer set
(7) Suntikkan multivitamin dalam jumlah yang dibutuhkan ke
dalam kantung PN
(8) Campurkan larutan sampai homogen
(9) Buang gelembung udara dan jepit port infus. Sampling jika
diperlukan
(10) Beri label pada kantung

129 129
Penyiapan Emulsi Lipid untuk Pediatrik
(1) Tarik emulsi lipid ke dalam jarum suntik sesuai dengan jumlah
yang tertera pada label
(2) Tarik multivitamin menggunakan filter 5.0μm
(3) Dengan jarum, campur multivitamin ke dalam jarum suntik lipid
(4) Campur sampai homogen. Buang udara dari jarum suntik lipid.
Tutup dan kencangkan stopper
(5) Beri label pada jarum suntik

h. Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan pemeriksaan jaminan mutu produk seperti
pemeriksaan fisik, uji sterilitas, dan uji mikrobiologi.

11. Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)


a. Pengertian
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi
hasil pemeriksaan kadar obat tertentu atas permintaan dari dokter yang
merawat dikarenakan adanya masalah potensial atau atas usulan dari
Apoteker kepada dokter.

PKOD dilaksanakan untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah


potensial yang terkait sebagai berikut:
1) Dosis yang tidak sesuai
2) Reaksi obat yang tidak diinginkan
3) Interaksi obat-obat
4) Interaksi obat-penyakit
5) Ketidakpatuhan
6) Dugaan toksisitas

130
130
b. Tujuan
1) Memastikan kadar obat berada dalam kisaran terapi yang
direkomendasikan untuk memantau efektivitas maupun toksisitas.
2) Sebagai referensi dalam menentukan dosis terapi obat yang optimal
berdasarkan kondisi klinis pasien
3) Mengelola rejimen obat untuk mengoptimalkan hasil terapi

c. Manfaat
1) Merancang rejimen dosis obat spesifik untuk pasien berdasarkan
karakteristik farmakologis obat yang digunakan, tujuan terapi obat,
penyakit penyerta, terapi obat, dan faktor terkait pasien lainnya.
2) Memantau dan menyesuaikan rejimen dosis berdasarkan respon
farmakologi dan cairan biologis (misal plasma, serum, darah) bersama
dengan tanda dan gejala klinis atau parameter biokimia lainnya
3) Mengevaluasi respon pasien yang tidak biasa terhadap terapi obat
untuk mendapatkan penjelasan farmakokinetik dan farmakologis.
4) Mengkomunikasikan baik secara lisan dan tertulis, informasi tentang
obat yang ditujukan untuk pasien spesifik kepada dokter, perawat,
dan praktisi klinis lainnya.
5) Mengedukasi apoteker, dokter, perawat, dan praktisi klinis lainnya
tentang prinsip farmakokinetik dan/atau indikasi yang sesuai untuk
pemantauan farmakokinetik klinis.
6) Mengembangkan program jaminan kualitas untuk mendapatkan hasil
terapi yang lebih baik yang dihasilkan dari pemantauan farmakokinetik
klinis

131 131
d. Pelaksanaan
1) Tahapan kegiatan
a) Seleksi pasien yang memerlukan PKOD. Prioritas PKOD diberikan
kepada obat dengan indeks terapi sempit bila dijumpai kondisi
sebagai berikut:
(1) Pasien menunjukkan tanda-tanda efek samping, overdosis
dan toksisitas.
(2) Efek obat belum optimal pada pasien yang sudah mendapat
dosis maksimal.
(3) Modifikasi obat atau dosis
b) Prioritas PKOD diberikan kepada terapi obat sebagai berikut:
Digoksin, fenitoin, teofilin (aminofilin), asam valproat, gentamicin,
amikacin, amfoterisin-B, vancomycin.
c) Apoteker menetapkan waktu sampling.
Sebaiknya waktu sampling adalah saat kadar obat tertendah yakni
sesaat sebelum dosis berikutnya diberikan. Pada saat ini terukur
kadar obat lembah. Bila hasil kadar obat lembah sudah tinggi atau
melampaui kadar yang direkomendasikan maka dikhawatirkan
kadar puncak pun akan melampaui puncak yang
direkomendasikan. Sampling sebaiknya dilaksanakan setelah obat
memasuki masa tunak (steady state) dengan perkiraan 4-5 kali
waktu paruh obat eliminasi. Bila dikehendaki kadar puncak maka
sampling perlu memperhitungan peak time obat sesuai literatur
d) Menginterpretasikan kadar obat yang dihasilkan dikaitkan dengan
dosis dan efek klinis obat pada pasien.
e) Apoteker memberikan rekomendasi kepada dokter terkait dosis,
kontinuitas terapi, dan Efek Samping Obat.
f) Apoteker memberikan KIE kepada pasien terkait hasil
pemeriksaan kadar PKOD.
g) Apoteker mendokumentasikan kegiatan PKOD dalam CPPT.

132
132
2) Hal-hal teknis
Dalam pelaksanaannya, PKOD dapat dilaksanakan oleh Laboratorium
ataupun Instalasi Farmasi. Hal teknis yang perlu diperhatikan dalam
pelaksaaan PKOD:

a) Hasil PKOD
Jika dilaksanakan oleh Instalasi Farmasi
(1) Hasil PKOD disarankan untuk dilaporkan dalam waktu 4 jam
jika kadar obat yang diperoleh adalah sub terapi atau dalam
kisaran terapi.
(2) Semua rekomendasi kasus toksisitas yang dicurigai harus
dikomunikasikan dalam waktu 2 jam ke pihak yang meminta.
(3) Selanjutnya, semua sampel perlu dianalisis di laboratorium
patologi

Jika dilaksanakan oleh Laboratorium


(1) Hasil PKOD disarankan untuk dilaporkan dalam waktu 6 jam
jika kadar obat yang diperoleh adalah sub terapi atau dalam
kisaran terapi.
(2) Waktu penyelesaian pemeriksaan laboratorium untuk kasus
toksisitas harus kurang dari 2 jam
(3) Semua hasil harus diinformasikan kepada apoteker terlebih
dahulu oleh laboratorium sebelum dikirim ke bangsal/unit.

b) Kontrol Kualitas
(1) Melakukan kontrol kualitas internal harian
(2) Melakukan pemeliharaan terjadwal terhadap alat-alat
laboratorium seperti yang direkomendasikan oleh pabrikan.
(3) Melakukan kalibrasi secara berkala
(4) Melakukan kontrol kualitas eksternal dengan mengikuti
persyaratan yang berlaku.

133 133
(5) Mendokumentasikan kegiatan kontrol kualitas harian dan
bulanan.

c) Manajemen Stok (Kalibrator, Reagen & Kontrol)


(1) Menyimpan kalibrator, reagen dan kontrol dalam kondisi
penyimpanan sesuai dengan spesifikasi produk
(2) Memonitor suhu lemari pendingin dua kali sehari
(3) Menyimpan stok penyangga untuk pasokan setidaknya satu
bulan

d) Penanganan Sampel Darah


Mengikuti standar prosedur operasional tentang penanganan
sampel darah yang berlaku

e) Keselamatan Personel
(1) Memakai APD yaitu masker, apron dan sarung tangan
(2) Melakukan higiene dengan benar

f) Pemeliharaan Area Kerja


Membersihkan area kerja dengan alkohol 70% sebelum dan
sesudahnya

g) Pengelolaan Limbah (3)


(1) Membuang semua darah, tabung reaksi, ujung pipet, sample
cup dan barang disposable lainnya ke dalam tempat sampah
klinis.
(2) Membuang semua sarung tangan, masker, dan APD lainnya
ke tempat sampah klinis.

134
134
h) Manajemen Tumpahan Darah
(1) Memakai APD
(2) Rendam kelebihan cairan menggunakan tisu kertas
disposible
(3) Tutupi area yang terkontaminasi dengan handuk yang
direndam dalam 10.000 ppm (1%) klorin (1 bagian klorin
dalam 10 bagian air). Ventilasikan ruangan sebelum
menggunakan produk klorin
(4) Biarkan minimal 2 menit
(5) Singkirkan semua bahan organik dan buang sebagai limbah
klinis (infeksius)
(6) Bersihkan area dengan air panas dan deterjen
(7) Keringkan area menggunakan tisu sekali pakai
(8) Buang pakaian pelindung seperti di atas
(9) Cuci tangan

e. Dokumentasi
1) Mendokumentasikan kegiatan PKOD dengan metode pengarsipan
yang baik
2) Menyimpan hasil PKOD dalam rekam medis

12. Pharmacy Home Care (Pelayanan Kefarmasian di Rumah)


a. Pengertian
Apoteker dapat melakukan kunjungan pasien dan atau pendampingan pasien
untuk pelayanan kefarmasian di rumah dengan persetujuan pasien atau
keluarga terutama bagi pasien khusus yang membutuhkan perhatian lebih.
Pelayanan dilakukan oleh apoteker yang kompeten, memberikan pelayanan
untuk meningkatkan kesembuhan dan kesehatan serta pencegahan
komplikasi, bersifat rahasia dan persetujuan pasien, melakukan telaah atas
penata laksanaan terapi, memelihara hubungan dengan tim kesehatan

135 135
b. Tujuan
1) Tercapainya keberhasilan terapi pasien
2) Terlaksananya pendampingan pasien oleh apoteker untuk mendukung
efektivitas, keamanan dan kesinambungan pengobatan
3) Terwujudnya komitmen, keterlibatan dan kemandirian pasien dan keluarga
dalam penggunaan obatatau alat kesehatan yang tepat
4) Terwujudnya kerjasama profesi kesehatan, pasien dan keluarga

c. Manfaat
Bagi Pasien
1) Terjaminnya keamanan, efektifitas dan keterjangkauan biaya pengobatan
2) Meningkatnya pemahaman dalam pengelolaan dan penggunaan obat
dan/atau alat kesehatan
3) Terhindarnya reaksi obat yang tidak diinginkan
4) Terselesaikannya masalah penggunaan obat dan/atau alat kesehatan
dalam situasi tertentu

Bagi apoteker
1) Pengembangan kompetensi apoteker dalam pelayanan kefarmasian di
rumah
2) Pengakuan profesi apoteker oleh masyarakat kesehatan, masyarakat
umum dan pemerintah
3) Terwujudnya kerjasama antar profesi kesehatan.

d. Pelaksanaan
1) Kriteria
Kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah tidak dapat diberikan pada
semua pasien mengingat waktu pelayanan yang cukup lama dan
berkesinambungan. Maka diperlukan prioritas pasien yang dianggap
perlu mendapatkan pelayanan kefarmasian di rumah.

136
136
Kriteria pasien:
a) Pasien yang menderita penyakit kronis dan memerlukan perhatian
khusus tentang penggunaan obat, interaksi obat dan efek samping.
b) Pasien dengan terapi jangka panjang misal TB paru, DM HIV-AIDS
dan lain-lain.
c) Pasien dengan risiko misal Usia >65 th atau lebih dengan salah satu
kriteria atau lebih rejimen obat misal:
(8) Pasien minum obat 6 macam atau lebih setiap hari
(9) Pasien minum obat 12 dosis atau lebih setiap hari
(10) Pasien minum salah satu dari 20 macam obat dalam tabel
yang telah diidentifikasi tidak sesuai dengan geriatrik

Diazepam Indometasin

Cyclandelate
Flurazepam
Methocarbamol
Pentobarbital
Trimethobenzamide
Amitriptilin
Phenylbutazon
Isoxuprine
Chlorpropamide
Cyclobenzaprine
Propoxyphene
Orpenadrine
Pentazosine
Chlordiapoxide
Dipyridamole
Meprobamate
Carisoprodol
Secobarbital

(11) Pasien dengan 6 macam diagnosis atau lebih

137 137
2) Pelayanan yang dapat diberikan apoteker
a) Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan
dengan pengobatan
b) Identifikasi kepatuhan dan kesepahaman terapeutik
c) Penyediaan obat dan alat kesehatan
d) Pendampingan pengelolaan obat dan/atau alat kesehatan di rumah
misalnya cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin dll
e) Evaluasi penggunaan alat bantu pengobatan dan penyelesaian
masalah sehingga obat dapat dimasukkan ke dalam tubuh secara
optimal
f) Pendampingan pasien dalam penggunaan obat melalui infus/obat
khusus
g) Konsultasi masalah obat
h) Konsultasi pengobatan secara umum
i) Dispensing khusus (misal unit dosis)
j) Monitoring pelaksanaan, efektivitas dan keamanan penggunaan
obat termasuk alat kesehatan pendukung pengobatan
k) Pelayanan farmasi klinik lain yang diperlukan pasien
l) Dokumentasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah

3) Tahapan Pelaksanaan
a) Melakukan penilaian awal terhadap pasien untuk mengidentifikasi
adanya masalah kefarmasian yang perlu ditindak lanjuti dengan
pelayanan kefarmasian di rumah
b) Menjelaskan permasalahan kefarmasian di rumah bagi pasien
c) Menawarkan pelayanan kefarmasian di rumah kepada pasien
d) Menyiapkan lembar persetujuan dan meminta pasien untuk
memberikan tanda tangan, apabila pasien menyetujui pelayanan
tersebut

138
138
e) Mengkomunikasikan layanan tersebut pada tenaga kesehatan lain,
apabila diperlukan. Pelayanan kefarmasian di rumah dapat berasal
dari rujukan dokter kepada apoteker
f) Membuat rencana pelayanan kefarmasian di rumah dan
menyampaikan kepada pasien dengan mendiskusikan waktu dan
jadwal yang cocok dengan pasien dan keluarga. Apabila rujukan
maka waktu dan jadwal di diskusikan dengan dokter yang merawat
g) Melakukan pelayanan sesuai dengan jadwal dan rencana yang telah
disepakati dan menginformasikan ke dokter yang merujuk
h) Mendokumentasikan semua tindakan profesi pada catatan
penggunaan obat pasien

e. Dokumentasi
Pendokumentasian harus dilakukan dalam setiap kegiatan pelayanan
kefarmasian yang sangat berguna untuk evaluasi kegiatan dalam upaya
peningkatan mutu pelayanan
Untuk pelayanan kefarmasian di rumah dibutuhkan beberapa dokumentasi
yaitu:
1) Prosedur tetap pelayanan kefarmasian di rumah
2) Catatan penggunaan obat pasien
3) Lembar persetujuan (inform consent) untuk apoteker dari pasien
4) Kartu kunjungan

f. Monitoring dan evaluasi


Sebagai tindak lanjut terhadap pelayanan kefarmasian di rumah perlu
dilakukan monitoring dan evaluasi untuk menilai perkembangan pasien,
tercapainya tujuan dan sasaran serta kualitas pelayanan kefarmasian yang
diberikan.

Monitoring dan evaluasi yang dilakukan:


1) Menilai respon atau akhir pelayanan kefarmasian untuk membuat
keputusan penghentian pelayanan kefarmasian di rumah

139 139
2) Mengevaluasi kualitas proses dan hasil pelayanan kefarmasian di rumah
a) Menilai keakuratan dan kelengkapan pengkajian awal
b) Menilai kesesuaian perencanaan dan ketepatan dalam melakukan
pelayanan kefarmasian
c) Menilai efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pelayanan kefarmasian
yang dilakukan.

C. Komunikasi dalam pelayanan farmasi klinik


Mengingat dalam pelaksanaan pelayanan farmasi klinik, apoteker banyak
bekerjasama dengan profesional bidang kesehatan lain terutama dengan tenaga
medis, maka apoteker perlu memiliki kemampuan untuk berkomunikasi antar
profesional sehingga dapat bekerjasama dengan baik demi mencapai outcome
terapi pasien yang optimal.
Rekomendasi yang diberikan apoteker atas terapi pasien akan merubah terapi
yang telah ditetapkan tenaga medis sebelumnya, maka akan sangat mungkin
menimbulkan resistensi dari tenaga medis. Karena itu penyampaian rekomendasi
yang ditujukan kepada tenaga medis hendaknya ditulis dengan tata bahasa yang
tidak menghakimi atau menyalahkan, melainkan menunjukkan bahwa
rekomendasi tersebut disusun sesuai dengan tujuan untuk meningkatkan outcome
terapi bagi pasien.
Apoteker juga perlu meyakinkan bahwa dokumentasi yang dibuat oleh apoteker
bukan dimaksudkan untuk mencatat kesalahan yang dilakukan oleh tenaga medis
atau tenaga kesehatan lain. Perlu dikomunikasikan bahwa dokumentasi yang
dilakukan merupakan bagian dari upaya untuk mencegah terjadinya kesalahan
pengobatan.

140
140
BAB V

MANAJEMEN RISIKO

Manajemen risiko merupakan aktivitas Pelayanan Kefarmasian yang dilakukan


untuk identifikasi, evaluasi, dan menurunkan risiko terjadinya kecelakaan pada pasien,
tenaga kesehatan dan keluarga pasien, serta risiko kehilangan dalam suatu organisasi.
Rumah sakit yang menerapkan prinsip keselamatan pasien berkewajiban untuk
mengidentifikasi dan mengendalikan seluruh risiko strategis dan operasional yang
penting. Hal ini mencakup seluruh area baik manajerial maupun fungsional, termasuk
area pelayanan, tempat pelayanan, juga area klinis. Manajemen risiko berhubungan
erat dengan pelaksanaan keselamatan pasien rumah sakit dan berdampak kepada
pencapaian sasaran mutu rumah sakit. Ketiganya berkaitan erat dalam suatu
rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.

Manajemen risiko merupakan tanggungjawab semua komponen di rumah sakit,


termasuk Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Dalam pelaksanaan standar pelayanan
kefarmasian di rumah sakit, Apoteker bertanggung jawab menerapkan manajemen
risiko terutama dalam upaya meningkatkan patient safety (keselamatan pasien).
Dalam upaya pengendalian risiko, praktek konvensional farmasi telah berhasil
menurunkan biaya obat namun belum mampu menyelesaikan masalah sehubungan
dengan penggunaan obat. Pesatnya perkembangan teknologi farmasi yang
menghasilkan obat baru juga membutuhkan perhatian akan kemungkinan terjadinya
risiko pada pasien.

Manajemen resiko bertujuan untuk:


1. Meningkatkan mutu layanan
2. Meningkatkan keselamatan pasien
3. Meminimalkan kerugian

141 141
Manajemen risiko bermanfaat untuk :
a. Bagi Pasien:
- Mendapatkan pelayanan yang bermutu
- Meningkatnya keselamatan
b. Bagi Rumah Sakit:
- Perlindungan reputasi dan kepercayaan
- Mengurangi komplain, tuntutan
- Menghindari/meminimalkan kerugian finansial

Tahapan dalam Manajemen Risiko:

1) Identifikasi Risiko
Risiko dapat diidentifikasi dari berbagai sumber antara lain: Laporan medication
error, komplain, hasil audit, hasil survey, capaian indikator, Medical Record review,
hasil ronde/tracer, FMEA (Failure Mode and Effect Analysis), RCA (Root Cause
Analysis). Risiko dapat dikelompokkan menjadi risiko eksternal serta risiko internal,
dimana risiko internal lebih dapat dikendalikan dibandingkan risiko eksternal.
Contoh risiko internal: organisasi, SDM, Fasilitas dan sarana.

Contoh Identifikasi Risiko pada pengelolaan sediaan farmasi

a) ketidaktepatan perencanaan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan


Bahan Medis Habis Pakai selama periode tertentu;
b) pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
tidak melalui jalur resmi;
c) pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang belum/tidak teregistrasi;
d) keterlambatan pemenuhan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai;
e) kesalahan pemesanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai seperti spesifikasi (merek, dosis, bentuk sediaan) dan kuantitas;

142
142
f) ketidaktepatan pengalokasian dana yang berdampak terhadap
pemenuhan/ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai;
g) ketidaktepatan penyimpanan yang berpotensi terjadinya kerusakan dan
kesalahan dalam pemberian;
h) kehilangan fisik yang tidak mampu telusur;
i) pemberian label yang tidak jelas atau tidak lengkap; dan
j) kesalahan dalam pendistribusian

Contoh Identifikasi Risiko pada pelayanan farmasi klinik

a) Faktor risiko yang terkait karakteristik kondisi klinik pasien


Faktor risiko yang terkait karakteristik kondisi klinik pasien akan berakibat
terhadap kemungkinan kesalahan dalam terapi. Faktor risiko tersebut adalah
umur, gender, etnik, ras, status kehamilan, status nutrisi, status sistem imun,
fungsi ginjal, fungsi hati.
b) Faktor risiko yang terkait terkait penyakit pasien
Faktor risiko yang terkait penyakit pasien terdiri dari 3 faktor yaitu: tingkat
keparahan, persepsi pasien terhadap tingkat keparahan, tingkat cidera yang
ditimbulkan oleh keparahan penyakit.
c) Faktor risiko yang terkait farmakoterapi pasien
Faktor risiko yang berkaitan dengan farmakoterapi pasien meliputi: toksisitas,
profil reaksi Obat tidak dikehendaki, rute dan teknik pemberian, persepsi pasien
terhadap toksisitas, rute dan teknik pemberian, dan ketepatan terapi.

2) Analisis Risiko
Menganalisa Risiko Analisa risiko dapat dilakukan kualitatif, semi kuantitatif, dan
kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan memberikan deskripsi dari
risiko yang terjadi. Pendekatan kuantitatif memberikan paparan secara statistik
berdasarkan data sesungguhnya.

143 143
3) Evaluasi Risiko
Membandingkan risiko yang telah dianalisis dengan kebijakan pimpinan Rumah
Sakit (contoh peraturan perundangundangan, Standar Operasional Prosedur,
Surat Keputusan Direktur) serta menentukan prioritas masalah yang harus segera
diatasi. Evaluasi dapat dilakukan dengan pengukuran berdasarkan target yang
telah disepakati.

4) Pengendalian terjadinya risiko


Pengendalian risiko dilakukan dengan cara:
a) melakukan sosialisasi terhadap kebijakan pimpinan Rumah Sakit;
b) mengidentifikasi pilihan tindakan untuk mengatasi risiko;
c) menetapkan kemungkinan pilihan (cost benefit analysis);
d) menganalisa risiko yang mungkin masih ada; dan
e) mengimplementasikan rencana tindakan, meliputi menghindari risiko,
mengurangi risiko, memindahkan risiko, menahan risiko, dan mengendalikan
risiko.

144
144
BAB VI

PELAPORAN, PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

A. Pelaporan
Laporan Pelayanan Kefarmasian secara berjenjang kepada dinas kesehatan
kabupaten/kota, dinas kesehatan provinsi, dan kementerian kesehatan.
Pelaporan disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam1 (satu) tahun.

B. Pembinaan
Pembinaan dilakukan oleh Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala
BPOM
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, BPOM sesuai
Sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. dengan tugas dan fungsi
masing-masing.

C. Pengawasan
Pengawasan dilakukan oleh Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, BPOM
Kepala
Dinas Kesehatan
Sesuai Kabupaten/Kota,
dengan tugas BPOM sesuai dengan tugas dan fungsi
dan fungsi masing-masing
masing-masing.

145 145
DAFTAR PUSTAKA

1. American Society of Hospital Pharmacists. ASHP Statement on Unit Dose Drug


Distribution. American Journal of Hospital Pharmacy. 1989;46:2346
2. American Society of Health System Pharmacists. ASHP Guidelines on Medication
Use Evaluation. American Journal of Health System Pharmacy. 1966; 53:1953-
5.
3. Joint Commission International, Joint Commission International Accreditation
Standards for Hospital, 5th ed., 2013, hal 119-31
4. Komisi Akreditasi Rumah Sakit, Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit Edisi
1, Agustus 2017
5. Joint Commission Resources, High Alert Medications: Strategies for Improving
Safety, 2008
6. Joint Commission Resources, Medication Management Tracer Workbook, 2011
7. ISMP List of High-Alert Medications in Acute Care Settings. 2018.
www.ismp.org/MERP.

146
146
Lampiran 1.
Formulir Pengajuan Obat Untuk Masuk Formularium

Pengajuan obat untuk masuk dalam formularium


I. Nama Generik :
II. Nama Dagang dan Pabrik :
III. Betuk Sediaan dan Kekuatan :
IV. Indikasi :
V. Alasan Permintaan :

Kota, Tanggal Bulan Tahun


Kepala SMF/Departemen Dokter yang meminta

(...................................). (..............................)
NIP NIP

Catatan : Formularium ini harus diisi dengan lengkap, dicap stempel SMF/Departemen dan
dikirimkan ke Panitia dan Terapi RS.......................

147 147
Lampiran 2.
Formulir Pengajuan Penghapusan Obat Formularium

Form pengajuan penghapusan obat dalam formularium


I. Nama Generik :
II. Nama Dagang dan Pabrik :
III. Betuk Sediaan dan Kekuatan :
IV. Indikasi :
V. Alasan Penghapusan :

Kota, Tanggal Bulan Tahun


Kepala SMF/Departemen Dokter yang meminta

(...................................). (..............................)
NIP NIP

Catatan : Formularium ini harus diisi dengan lengkap, dicap stempel SMF/Departemen dan
dikirimkan ke Panitia dan Terapi RS.......................

148
148
Lampiran 3.
Formulir Permintaan Khusus Obat di luar Formularium

149 149
Lampiran 4.
Formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

150
150
151 151
Lampiran 5.
Formulir Serah Terima Obat/Alkes Dari Pasien/UPF Lain
Diisi oleh Petugas Farmasi/Perawat
Nama Pasien : …………………. No. RM : ………………………
Tgl Lahir : …………………. Alamat : ………………………

Jumlah dan Obat dikembalikan


Nama Lanjut
No Tanggal Rute Dosis Frekuensi ke pasien
Obat
Kedaluwarsa Ya/tidak Nama Jumlah
1
2
3
4
5
6 Prf
farmasi
7 Prf
perawat
8 Prf
keluarga

Yang bertandatangan dibawah ini


Nama : …………………………………………………………
Alamat : …………………………………………………………
Telp : ……………………………………………………………….
Hubungan dengan pasien : orang tua/anak/wali/…………….

Dengan ini menyerahkan obat/alat kesehatan yang kami bawa dari luar RS. ABCD
untuk digunakan seduai dengan instruksi dokter yang merawat. Jika obat/alat
kesehatan tersebut sudah habis, maka kami bersedia menggunakan obat/alat
kesehatan dari RS. ABCD.

152
152
Saya akan memenuhi segala ketentuan di RS. ABCD mengenai penggunaan dan
pengembalian obat/alat kesehatan sebagaimana yang dijelaskan oleh petugas.
RS. ABCD tidak bertanggungjawab atas kejadian yang tidak diharapkan (KTD)
akhibat penggunaan obat dan alkes yang berasal dari luar RS. ABCD

Jakarta, …………………….
Yang Penerima I Penerima II
menyerahkan Perawat/farmasi Farmasi
Pasien/keluarga

……………… ……………… ……………….

(catatan, lembaran ini dibuat 3 rangkap, 1 untuk Farmasi, 1 untuk pasien dan 1 lagi
masuk RM. Jika penyerahan pada jam kerja, obat/alkes diserahkan pada farmasi,
dan di luar jam kerja diserahkan pada perawat)

153 153
FORMULIR PENGGUNAAN DAN PEMUSNAHAN NARKOTIKA
NAMA UNIT PELAYANAN : …............................
NAMA OBAT : …............................
Sisa Obat
Jumlah yang Dosis yang Sisa yang Petugas yang melakukan
Dokter yang meresepkan Pasien Sisa Obat Saksi Pemusnahan
NRM Diminta Digunakan dimusnahkan pemusnahan
Tanggal Nama Pasien Sebelumnya
Pasien
Nama SIP (mcg atau mg) (mcg atau mg) (mcg atau mg) (mcg atau mg) (mcg atau mg) Nama Tanda Tangan Nama Tanda Tangan
Formulir Sisa Narkotika
Lampiran 6.

154
154
Jakarta, ….............................
Kepala …..............................
Lampiran 7.
Formulir Rekam Pemberian Obat (RPO)
RS. ABCD
Jl. Perjuangan No 1, Jakarta
REKAM PEMBERIAN OBAT
Diisi Oleh Dokter, Perawat, Apoteker
Nama Lengkap : No Jaminan :
Pasien
No. RM/Jenis : No SJP :
Kelamin/Usia :
Alamat : Ruangan :
Alergi Obat :
BB/TB/LPT ……. Kg/……….. cm/
…………m2
Tanggal Nama obat Jam Tanggal pemberian& paraf petugas

Rute Dosis Frekuensi

Paraf & nama Jumlah


dokter

Paraf & nama


apoteker

155 155
Lampiran 8.
Formulir Resep

Contoh Resep Kelengkapan Resep


Rumah Sakit. ABCD Tanggal Penulisan Resep
Alamat. Jl. Perjuangan No 1, Mengisi Kolom riwayat alergi obat pada bagian kanan
Jakarta atas lembar resep manual atau secara elektronik
Telp: (021)123456 dlam sistem informasi farmasi untuk memastikan ada
Ruangan/Poli : …………………. tidaknya riwayat alergi obat.
Tanggal : ……………...………….. Tanda R/pada setiap sediaan
Alergi obat : …………................ Untuk nama obat tunggal ditulis dengan nama

℞/ generik. Untuk obat kombinasi ditulis sesuai nama


dalam Formularium, dilengkapi dengan bentuk
sediaan obat (contoh : 500 mg, 1 gram)
Jumlah Sediaan
Bila Obat berupa racikan dituliskan nama setiap
jenis/bahan obat dan jumlah bahan obat (untuk
bahan padat : mikrogram, miligram, gram dan untuk
cairan : tetes, mililiter, liter)
Percampuran beberapa obat jadi dalam satu sediaan

Nama Pasien Tgl.Lahir/Usia: tidak dianjurkan kecuali sediaan dalam bentuk

:… ………. campuran tersebut telah terbukti aman dan efektif.

No. RM : ……… BB/TB:……kg Aturan pakai (frekuensi, dosis, dan rute pemberian).

/……cm Untuk aturan pakai jika perlu atau prn atau “pro re
nata”, harus dituliskan dosis maksimal dalam sehari.

TTD Nama lengkap pasien

(nama dokter penulis resep) Nomor rekam medik


Tanggal lahir atau umur pasien (jika tidak dapat
mengingat tanggal lahir)
Berat badan pasien (untuk pasien anak)
Nama dokter

156
156
Lampiran 9.
Formulir Pengkajian Resep
Pengkajian Ya Tidak Keterangan/Tindak
Lanjut
a. Aspek Administratif
Resep Lengkap
Pasien Sesuai
b. Aspek Farmasetik
Obat Tepat
Campuran obat stabil secara fisik, kimia dan
terapeutik
c. Aspek Klinik
Dosis/kekuata/frekuensi tepat
Rute pemberian obat
Tidak ada interaksi obat
Tidak ada duplikasi
Tidak ada alergi/kontraindikasi

Nama & Ttd Penelaah


(……………………….)
Telaah Obat Sebelum Diserahkan ke Pasien
Telaah Obat Ya Tidak Keterangan/Tindak Lanjut
Nama Obat dengan resep
Jumlah/Dosis dengan resep
Rute dengan resep
Waktu & frekuensi Pemberian dengan resep
Nama & Ttd Penelaah

(……………………….)

157157
Lampiran 10.
Penulisan Singkatan Yang Tidak Boleh Digunakan
Maksud
Singkatan Misinterpretasi Koreksi
singkatan
AZT Zidovudin Disalahartikan sebagai Ditulis dengan ‘zidovudin’
‘azatriopin’ atau ‘aztreonam’
CPZ Compazine Disalahartikan sebagai Ditulis dengan ‘compazine’
(Proklorperazin) ‘klorpromazine’ atau ‘proklorperazin’
DPT Derneral- Disalahartikan sebagai ‘Difteri- Ditulis dengan ’Derneral-
Phenergan- Pertusis- Tetanus’ (vaksin) Phenergan-
Thorazine Thorazine’
HCl Asam klorida Disalahartikan sebagai Ditulis dengan lengkap
kalium klorida
HCT Hidrokortison Disalahartikan sebagai Ditulis dengan
’hidroklorotiazid’ ’hidrokortison’
HCTZ Hidroklorotiazid Disalahartikan sebagai Ditulis dengan
’hidrokortison’ ’hidroklorotiazid’
MgSO4 Magnesium sulfat Disalahartikan sebagai Ditulis dengan ’magnesium
’morfin sulfat’ sulfat’
MS, MSO4 Morfin sulfat Disalahartikan sebagai Ditulis dengan ’morfin
’magnesium sulfat’ sulfat’
MTX Metotreksat Disalahartikan sebagai Ditulis dengan
’mitoxantron’ ’metotreksat’
µg Mikrogram Disalahartikan sebagai ‘mg’ Tuliskan ‘mikrogram’
AD, AS, AU Telinga kanan, Disalahartikan sebagai OD, Tuliskan ‘telinga kanan’,
telinga kiri, OS, OU (mata kanan, mata ‘telinga kiri’, ‘masing-
masing-masing kiri, masing-masing mata) masing telinga’
telinga
OD,OS,OU Mata kanan, mata Disalahartikan sebagai Tuliskan ‘mata kanan’,
kiri, masing- AD,AS,AU (telinga kanan, ‘mata kiri’, ‘masing-masing
masing mata telinga kiri, masing-masing mata’

158158
Maksud
Singkatan Misinterpretasi Koreksi
singkatan
telinga)
BT Bedtime (sebelum Disalahartikan sebagai ‘BID’ Tuliskan ‘sebelum tidur’
tidur) (dua kali sehari)
Cc Centimeter kubik Disalahartikan sebagai ‘u’ Tuliskan ‘ml’
(unit)
IJ Injeksi Disalahartikan sebagai ‘IV’ Tuliskan ‘injeksi’
atau ‘intrajugular’
IN Intranasal Disalahartikan sebagai ‘IM’ Tuliskan ‘intranasal’
atau ‘IV’
HS Half-strength Disalahrtikan sebagai ‘pada Tuliskan ‘half-strength’
Hs (setengah waktu tidur’ atau ‘waktu tidur
kekuatan) Hours of Disalahartikan sebagai (bedtime)’
sleep (pada waktu ‘setengah kekuatan’
tidur)
IU International Unit Disalahartikan sebagai ‘IV’ Tuliskan ‘International
(intravena) atau ‘10’ (sepuluh) Unit’ atau “Unit”
o.d atau OD Satu kali sehari Disalahartikan sebagai mata Tuliskan ’satu kali sehari’
(once daily) kanan (OD: Okular Dekstra),
menyebabkan obat oral
diaplikasikan pada mata

Per os Melalui mulut, per OS disalahartikan sebagai Tuliskan ’PO’, ’melalui


oral mata kiri (Okular Sinistra) mulut’, atau ’per oral’
q.d atau QD Setiap hari Disalahartikan sebagai ’q.i.d’ Tuliskan ’setiap hari’
(4 kali sehari), terutama jika
tanda titik setelah ’q’ atau ekor
huruf ’q’ terlalu panjang
sehingga menyerupai huruf ’i’
Qhs Malam hari pada Disalahartikan sebagai ’qhr’ Tuliskan ’malam hari’

159
159
Maksud
Singkatan Misinterpretasi Koreksi
singkatan
waktu tidur atau setiap jam
Qn Malam hari atau Disalahartikan sebahai Tuliskan ’malam hari’atau
waktu tidur ’qh’atau setiap jam ’waktu tidur’
q.o.d atau Satu kali dalam 2 Disalahartikan sebagai ’q.d’ Tuliskan ’1 kali dalam 2
QOD hari(selang-seling, atau ’q.i.d’ (4 kali sehari) hari’
1 hari)
q1d Setiap hari Disalahartikan sebagai ’q.i.d’ Tuliskan setiap hari
(4 kali sehari)
q6PM, dan Setiap pukul 6 Disalahartikan sebagai setiap Tuliskan ’pukul 6 malam
singkatan malam 6 jam setiap hari’
lainnya
SC,SQ, Subkutan SC disalahartikan sebagai SL; Tuliskan ’’subkutan’
Subq SQ disalahartikan sebagai ’5
setiap’; ’q’ pada ’sub q’
disalahartikan sebagai ’setiap’
(contoh: ’heparin diberikan
’sub q 2 jam sebelum
operasi’ disalahartikan
sebagai heparin
diberikan setiap 2 jam
sebelum operasi
i/d Satu kali sehari Disalahartikan sebagai ‘tid’ Tuliskan ‘1 kali sehari’
TIW atau Tiga kali Disalahartikan sebagai ‘3 kali Tuliskan ‘3 kali seminggu’
tiw seminggu (tree sehari’ atau 2 kali seminggu’
times a week) (twice in a week)
U atau u Unit Disalahartikan sebagai angka ‘0’ Tuliskan ‘unit’
atau ’4’ menyebabkan
overdosis pemberian

160 160
Lampiran 11.
Formulir Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi saat admisi

161161
Rekonsiliasi saat transfer

162
162
Rekonsiliasi saat discharge
REKONSILIASI OBAT SAAT DISCHARGE
Aturan Pakai Obat Pulang (Jika
No. Nama Obat Dosis Frekuensi Cara Pemberian Rekonsiliasi Obat
beruba"l_
olanjutaturan pakaisama
o Lanjut aturanpakaiberuba h
a Stop
o Obat Baru

olanjut aturanpakaisama
olanjut aturanpa kaiberuba h
a Stop
o Obat Baru

olanjutaturanpa kaisama
a Lanjut aturanpa kaiberuba h
a Stop
o Obat Baru

olanjut aturanpa kaisama


a Lanjut aturanpa kaiberubah
a Stop
o Obat Baru

olanjut aturanpakaisama
olanjut aturanpa kaiberuba h
a Stop
o Obat Baru

olanjut aturanpa kaisama


a Lanjut aturanpa kaiberubah
a Stop
o Obat Baru

o l anjutaturanpa kaisama
o Lanjut aturanpa kaiberuba h
a Stop
o Obat Ba ru

olanjutaturan pakaisama
olanjut aturanpa kaiberuba h
o Stop
o Obat Baru

o l anjutaturanpa kaisama
olanjut aturanpakaiberubah
a Stop
o Obat Baru

Tanggal/Jam: Rekonsiliasi obat saat discharge:


Membandingkan antara:
Apoteker Yang Melakukan Rekonsiliasi Obat: - Daftar Penggunaan Obat sebelum admisi
- Daftar Penggunaan Obat 24 jam terakhir
- Resep obat pulang

(Nama Jelas dan Tanda tangan)

163 163
Lampiran 12.
Contoh persediaan farmasi untuk keadaan darurat:

Level Level Level


Kelas/Ruang Level I Keterangan
II III IV
RUANG TINDAKAN
1. Kategori Merah/P1
Obat - Obatan dan Alat Habis Pakai
Cairan Infus Koloid + + + +
Cairan Infus Kristaloid + + + +
Cairan Infus Dextrose + + + +
Adrenalin + + + +
Sulpat Atropin + + + +
Kortikosteroid + + + +
Lidokain + + + +
Dextrose 50% + + + +
Selalu tersedia
Aminophilin + + + +
dalam jumlah
Anti Convulsion + + + +
yang cukup di
Dopamin + + + +
IGD tanpa harus
Dobutamin + + + +
diresepkan
ATS, TT + + + +
Trombolitik + + + +
Amiodaron
(Inotropik) + + + +
APD: Masker, Sarung
Tangan + + + +
Mannitol + + + +
Furosemide + + + +
Mikro Drips Set + + + + Tersedia dalam
jumlah yang
Intra Osseus Set + + + + cukup

164 164
2. Kategori Kuning/P2
Obat - Obatan dan Alat Habis Pakai
Analgetik + + + +
Antiseptik + + + +
Cairan Kristaloid + + + +
Lidokain + + + +
Wound Dressing + + + + Selalu tersedia
Alat-Alat dalam jumlah
+ + + +
Anti Septic yang cukup di
ATS + + + + IGD tanpa harus
Anti Bisa Ular + + + + diresepkan
Anti Rabies + + + +
Benang Jarum + + + +
Anti Emetik + + + +
Diuretik + + + +
3. Kategori Hijau
Obat - Obatan dan Alat Habis Pakai
Lidokain + + + +
Aminophilin/β2
+ + + +
Blokker Dapat
ATS + + + + diresepkan
APD: Masker + + + + melalui apotek
APD: Sarung Tangan + + + + RS jika tidak
Analgetik + + + + tersedia di IGD
Anti Emetik + + + +
Diuretik + + + +
4. Ruang Tindakan Kebidanan
Obat - Obatan dan Alat Habis Pakai
Uterotonika + + + +

165
165
Tersedia dalam
+ + + + jumlah yang
Prostaglandin cukup
Set Laparoscopy - - Min. 1 Min. 1
Endoscopy Surgery - - Min. 1 Min. 1
Laringoscope - Min. 1 Min. 1 Min. 1
BVM - Min. 1 Min. 1 Min. 1
Defibrilator - Min. 1 Min. 1 Min. 1
Film Viewer - Min. 1 Min. 1 Min. 1

166 166
ISBN 97~-bD2-4J.b-84D-7

111111111111111111111111
9 786024 168407

Anda mungkin juga menyukai