Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
oleh energi panas atau bahan kimia atau benda-benda fisik yang menghasilkan efek
memanaskan atau mendinginkan. Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan
oleh panas, arus listrik, bahan kimia dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan
jaringan yang lebih dalam.
Luka bakar merupakan luka yang unik diantara bentuk-bentuk luka lainnya
karena luka tersebut meliputi sejumlah besar jaringan mati (eskar) yang tetap berada
pada tempatnya untuk jangka waktu yang lama. Luka adalah rusaknya struktur dan
fungsi anatomis normal akibat proses patologis yang berasal dari internal maupun
eksternal dan mengenai organ tertentu. Trauma inhalasi merupakan faktor yang
secara nyata memiliki kolerasi dengan angka kematian. Pada kebakaran dalam
ruangan tertutup atau bilamana luka bakar mengenai daerah muka / wajah dapat
menimbulkan kerusakan mukosa jalan napas akibat gas, asap atau uap panas yang
terhisap. Cedera inhalasi disebabkan oleh jenis bahan kimia terbakar
(tracheobronchitis) dari saluran pernapasan. Bila cedera ini terjadi pada pasien
dengan luka bakar kulit yang parah kematian sangat tinggi antara 48% sampai 86%.
Edema yang terjadi dapat menyebabkan gangguan berupa hambatan jalan napas.
Keracunan asap yang disebabkan oleh termodegradasi material alamiah dan
materi yang diproduksi. Termodegradasi menyebabkan terbentuknya gas toksik
seperti hidrogen sianida, nitrogen oksida, hidrogen klorida, akreolin dan partikel –
partikel tersuspensi. Efek akut dari bahan kimia ini menimbulkan iritasi dan
bronkokonstriksi pada saluran napas. Obstruksi jalan napas akan menjadi lebih
hebat akibat adanya tracheal bronchitis dan edema.
2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas
Program Internsip Dokter Indonesia, menambah pengetahuan dokter internsip
mengenai Trauma Inhalasi, dan meningkatkan kemampuan dokter internsip dalam
mendeteksi dan menganalisis kasus Trauma Inhalasi

1
2
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Trauma inhalasi atau cedera inhalasi merupakan kerusakan pada saluran


pernafasan yang disebabkan karena menghirup gas berbahaya, uap dan komponen
partikel yang terdapat dalam asap pembakaran. Hal ini bermanifestasi sebagai
cedera termal, cedera kimia dan toksisitas sistemik, ataupun kombinasi dari
semuanya (Gill & Rebecca. 2015).

Trauma inhalasi dapat menunjukkan cedera termal supraglottik, iritasi kimia


pada saluran pernapasan, toksisitas sistemik karena agen seperti karbon monoksida
(CO) dan sianida. Respons inflamasi yang dihasilkan dapat menyebabkan volume
resusitasi cairan yang lebih tinggi, disfungsi pulmonal progresif, penggunaan
ventilator yang berkepanjangan, peningkatan risiko pneumonia, dan sindrom
gangguan pernapasan akut (ARDS) (Walker, et all., 2015).

Trauma inhalasi merupakan masalah klinis yang lebih kompleks. Trauma


inhalasi yang parah merupakan proses mekanis yang ditandai dengan edema paru,
edema bronkial, dan sekresi yang dapat menutup jalan napas sehingga
menyebabkan atelektasis dan pneumonia (Dries & Frederick, 2013).

Trauma inhalasi merupakan komplikasi yang terjadi pada luka bakar dengan
persentase sekitar 10 sampai 20 % pasien dan secara signifikan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas (Walker, et all., 2015).

3
2. Insiden

Kurang lebih 2,5 juta orang mengalami luka bakar di Amerika Serikat setiap
tahunnya. Dari kelompok ini, 200.000 pasien memerlukan penanganan rawat jalan
dan 100.000 pasien dirawat di rumah sakit. Sekitar 12.000 meninggal setiap
tahunnya. Anak kecil dan orang tua merupakan populasi yang beresiko tinggi untuk
mengalami luka bakar. Kaum remaja laki-laki dan pria dalam usia kerja juga lebih
sering menderita luka bakar. Di rumah sakit anak di Inggris, selama satu tahun
terdapat sekitar 50.000 pasien luka bakar dimana 6400 diantaranya masuk ke
perawatan khusus luka bakar2. Antara tahun 1997-2002 terdapat 17.237 anak di
bawah usia 5 tahun mendapat perawatan di gawat darurat di 100 rumah sakit di
Amerika. Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo Jakarta pada tahun 1998 di laporkan
107 kasus luka bakar yang dirawat, dengan angka kematian 37,38% sedangkan di
Rumah Sakit Dr. Sutomo Surabaya pada tahun 2000 dirawat 106 kasus luka bakar,
kematian 26, 41 %. Studi North-West England menemukan angka rata-rata yang
datang ke rumah sakit dengan trauma inhalasi akibat luka bakar adalah 0,29 per
1000 populasi tiap tahun. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan yaitu 2:1.
Referensi lain menyebutkan bahwa kurang lebih sepertiga (20-35%) pasien luka
bakar yang dating ke Pusat Luka Bakar adalah dengan trauma inhalasi.

3. ETIOLOGI
Kebanyakan trauma inhalasi terjadi akibat kerusakan langsung pada
permukaan epitel yang dapat menyebabkan konjungtivitis, rhinitis, faringitis,
laryngitis, trakeitis, bronchitis dan alveolitis. Absorbsi sistemik dari toksin juga
terjadi. Susah untuk membedakan apakah insufisiensi pernafasan disebabkan oleh
trauma langsung pada paru atau akibat pengaruh metabolik, hemodinamik dan
komplikasi lanjut dari suatu infeksi permukaan luka bakar.
Trauma inhalasi disebabkan oleh berbagai inhalan. Inhalan dibedakan atas
4 macam yaitu:
1. Gas iritan : bekerja dengan melapisi mukosa saluran nafas dan
menyebabkan reaksi inflamasi. Amonia, klorin, kloramin lebih larut air

4
sehingga dapat menyebabkan luka bakar pada saluran nafas atas dan
menyebabkan iritasi pada mata, hidung, dan mulut. Gas iritan lain yaitu
sulfur dioksida, nitrogen dioksida, yang kurang larut air sehingga
menyebabkan trauma paru dan distress pernafasan.
2. Gas asfiksian : karbon dioksida, gas dari bahan bakar (metana, etena,
propane, asetilana), gas-gas ini mengikat udara dan oksigen sehingga
menyebabkan asfiksia.
3. Gas yang bersifat toksik sistemik : CO yang merupakan komponen terbesar
dari asap, hidrogen sianida merupakan komponen asap yang berasal dari
api, hidrogen sulfide. Gas-gas ini berhubungan dengan pengangkutan
oksigen untuk produksi energi bagi sel. Sedangkan toksin sistemik seperti
hidrokarbon halogen dan aromatik menyebabkan kerusakan lanjut dari
hepar, ginjal, otak, paru-paru, dan organ lain.
4. Gas yang menyebabkan alergi, dimana jika asap terhirup, partikel dan
aerosol menyebabkan bronkospasme dan edema yang menyerupai asma.

5. Anatomi dan Fisiologi


Anatomi pernafasan agar udara bisa mencapai paru-paru adalah hidung,
laring, trakhea, bronkhus dan bronkhiolus. Fungsi masing-masing bagian ini
sebagai berikut:
1. Hidung : Bulu-bulu hidung berguna untuk menyaring udara yang masuk, debu
dengan diameter > 5 mikron akan tertangkap, selaput lendir hidung berguna
untuk menangkap debu dengan diameter lebih besar, kemudian melekat pada
dinding rongga hidung. Anyaman vena (Plexus venosus) berguna untuk
menyamakan kondisi udara yang akan masuk paru dengan kondisi udara yang
ada di dalam paru. Konka (tonjolan dari tulang rawan hidung) untuk
memperluas permukaan, agar proses penyaringan, pelembaban berjalan dalam
suatu bidang yang luas, sehingga proses diatas menjadi lebih efisien.
2. Pharing, terdapat persimpangan antara saluran napas dan saluran pencernaan.
Bila menelan makanan, glotis dan epiglotis menutup saluran napas untuk
mencegah terjadinya aspirasi. Pada pemasangan endotrakeal tube glotis tidak

5
dapat menutup sempurna, sehingga mudah terjadi aspirasi laring. Terdapat pita
suara / plika vokalis, bisa menutup dan membuka saluran napas, serta melebar
dan menyempit. Gunanya adalah membantu dalam proses mengejan, membuka
dan menutup saluran napas secara intermitten pada waktu batuk. Pada waktu
mau batuk plika vokalis menutup, saat batuk membuka, sehingga benda asing
keluar. Secara reflektoris menutup saluran napas pada saat menghirup udara
yang tidak dikehendaki dan untuk proses bicara.
3. Trakea. Dikelilingi tulang rawan berbentuk tapal kuda (otot polos dan bergaris)
sehingga bisa mengembang dan menyempit. Trakea bercabang menjadi 2
bronkus utama.
4. Bronkus. Merupakan percabangan trakea, terdiri dari bronkus kanan dan kiri.
Antara percabangan ini terdapat karina yang memiliki banyak saraf dan dapat
menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika dirangsang. Bronkus kiri
dan kanan tak simetris. Yang kanan lebih pendek, lebih lebar dan arahnya
hampir vertikal. Yang kiri lebih panjang dan lebih sempit dengan sudut lebih
tajam. Bronkus ini kemudian bercabang menjadi bronkus lobaris, bronkus
segmentasi, bronkus terminalis, asinus yang terdiri dari bronkus respiratorius
yang terkadang mengandung alveoli, duktus alveolaris dan sakus alveolaris
terminalis.
5. Paru. Terdiri dari paru kanan dan kiri yang kanan terdiri dari 3 lobus, kiri 2
lobus. Dibungkus oleh selaput yang disebut pleura visceralis sebelah dalam dan
pleura parietalis sebelah luar yang menempel pada rongga dada. Diantara
kedua pleura terdapat kavum interpleura yang berisi cairan. Di dalam saluran
napas selain terdapat lendir, juga bulu-bulu getar / silia yang berguna untuk
menggerakkan lendir dan kotoran ke atas.8,9,10

6
Fisiologi pernapasan menurut Guyton dkk, respirasi meliputi 2 bidang yakni
respirasi eksterna dan respirasi interna. Respirasi eksterna adalah pengangkutan
oksigen dari atmosfer sampai ke jaringan tubuh dan pengangkutan karbon dioksida
dari jaringan sampai ke atmosfer. Sementara bagaimana oksigen digunakan oleh
jaringan dan bagaimana karbon dioksida dibebaskan oleh jaringan disebut respirasi
internal. Proses respirasi merupakan proses yang dapat dibagi menjadi 5 tahap yaitu
:
1. Ventilasi. Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih
tekanan yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik dari
otot-otot. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma
turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu otot
sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus
dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga. Toraks membesar ke tiga arah
: anteroposterior, lateral dan vertikal. Peningkatan volume ini menyebabkan
penurunan tekanan intrapleura, dari sekitar -4 mmHg (relatif terhadap tekanan
atmosfer) menjadi sekitar -8 mmHg bila paru-paru mengembang pada waktu
inspirasi. Tekanan saluran udara menurun sampai sekitar -2 mmHg (relatif
terhadap tekanan atmosfer) dari 0 mmHg pada waktu mulai inspirasi. Selisih
tekanan antara saluran udara dan atmosfer menyebabkan udara mengalir ke

7
dalam paru-paru sampai tekanan saluran udara pada akhir inspirasi sama lagi
dengan tekanan atmosfer. Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan
gerakan pasif akibat elastisitas dinding dada dan paru-paru atau saat ekspirasi
dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas menyebabkan volume
toraks berkurang. Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan
intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran
udara dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-
paru sampai tekanan saluran udara dan tekanan atmosfer menjadi sama kembali
pada akhir ekspirasi.
2. Difusi Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas
melintasi membran alveolus-kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 m).
Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial
antara darah dan fase gas. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai di
alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekitar
103 mmHg.8,9,10,11 Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta
bahwa udara inspirasi tercampur dengan udara dalam ruang sepi anatomik
saluran udara dan dengan uap air. Ruang sepi anatomik ini dalam keadaan
normal mempunyai volume sekitar 1 ml udara per pound berat badan. Hanya
udara bersih yang mencapai alveolus yang merupakan ventilasi efektif, tekanan
parsial oksigen dalam darah vena campuran (PVO2) di kapiler paru kira-kira
sebesar 40 mmHg. Karena tekanan parsial oksigen dalam kapiler lebih rendah
daripada tekanan dalam alveolus (PAO2 = 103 mmHg), maka oksigen dapat
dengan mudah berdifusi ke dalam aliran darah. Perbedaan tekanan CO2 antara
darah dan alveolus yang jauh lebih rendah (6 mm Hg) menyebabkan karbon
dioksida berdifusi ke dalam alveolus. Karbon dioksida ini kemudian
dikeluarkan ke atmosfer, dimana konsentrasinya pada hakekatnya nol
kendatipun selisih CO2 antara darah dan alveolus amat kecil.
3. Hubungan antara ventilasi-perfusi. Pemindahan gas secara efektif antara
alveolus dan kapiler paru-paru membutuhkan distribusi merata dari udara
dalam paru-paru dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler. Dengan perkataan
lain, ventilasi dan perfusi dari unit pulmonar harus sesuai. Nilai rata-rata rasio

8
antara ventilasi terhadap perfusi (V/Q) adalah 0,8. Angka ini didapatkan dari
rasio rata-rata laju ventilasi alveolar normal (4 L/menit). Ketidak-seimbangan
antara proses ventilasi-perfusi terjadi pada kebanyakan penyakit pernapasan.8
Tiga unit pernapasan abnormal secara teoritis menggambarkan unit ruang sepi
yang mempunyai ventilasi normal, tetapi tanpa perfusi, sehingga ventilasi
terbuang percuma (V/Q = tidak terhingga). Unit pernapasan abnormal yang
kedua merupakan unit pirau, dimana tidak ada ventilasi tetapi perfusi normal,
sehingga perfusi terbuang sia-sia (V/Q = 0). Unit yang terakhir merupakan unit
diam, dimana tidak ada ventilasi dan perfusi.
4. Transpor oksigen dalam darah Oksigen dapat diangkut dari paru-paru ke
jaringan-jaringan melalui dua jalan: secara fisik larut dalam plasma atau secara
kimia berikatan dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin (HbO2). Ikatan
kimia oksigen dengan hemoglobin ini bersifat reversibel. Dalam keadaan
normal jumlah O2 yang larut secara fisik sangat kecil karena daya larut oksigen
dalam plasma yang rendah. Hanya sekitar 1% dari jumlah oksigen total yang
diangkut. Cara transpor seperti ini tidak memadai untuk mempertahankan
hidup.8 Sebagian besar oksigen diangkut oleh hemoglobin yang terdapat dalam
sel-sel darah merah. Dalam keadaan tertentu (misalnya : keracunan karbon
monoksida atau hemolisis masif dimana terjadi insufisiensi hemoglobin) maka
oksigen yang cukup untuk mempertahankan hidup dapat ditranspor dalam
bentuk larutan fisik dengan memberikan oksigen dengan tekanan yang lebih
tinggi dari tekanan atmosfer (ruang oksigen hiperbarik). Satu gram hemoglobin
8
dapat mengikat 1,34 ml oksigen. Pada tingkat jaringan, oksigen akan
berdisosiasi dari hemoglobin dan berdifusi ke dalam plasma. Dari plasma,
oksigen berdifusi ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi kebutuhan
jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan bervariasi, namun
sekitar 75% dari hemoglobin masih berikatan dengan oksigen pada waktu
hemoglobin kembali ke paru-paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi
sesungguhnya hanya sekitar 25% oksigen dalam darah arteria yang digunakan
untuk keperluan jaringan.

9
5. Pengendalian Pernapasan. Yang disebut pusat pernapasan adalah suatu
kelompok neuron yang terletak bilateral di dalam substansia retikularis medula
oblongata dan pons. Dibagi menjadi 3 daerah utama yaitu :
1. Kelompok neuron medula oblongata dorsalis, yang merupakan area
inspirasi. Letak neuronnya sangat dekat dan berhubungan rapat dengan
traktus solitarius yang merupakan ujung sensorik nervus vagus dan
glosofaringeus. Sebaliknya masing-masing saraf ini menghantarkan
isyarat-isyarat sensorik dari kemoreseptor perifer, dengan cara ini
membantu ventilasi paru.
2. Kelompok neuron medula oblongata ventralis, yang merupakan area
ekspirasi. Merupakan kelompok neuron respirasi ventralis yang bila
terangsang merangsang otot-otot ekspirasi. Area ekspirasi selama
pernapasan tenang dan normal bersifat pasif. Bila dorongan ekspirasi
menjadi jauh lebih besar dari normal maka isyarat-isyarat tertumpah ke
area ekspirasi dari mekanisme osilasi dasar area inspirasi, meningkatkan
tenaga kontraktil yang kuat ke proses ventilasi paru.
3. Area di dalam pons yang membantu kecepatan pernapasan yang disebut
area pneumotaksis. Pusat pneumotaksis menghantarkan isyarat
penghambat ke area inspirasi, yang mempunyai efek membatasi isyarat
inspirasi. Efek sekundernya terjadi bila pembatasan inspirasi
memperpendek masa pernapasan, maka siklus pernapasan berikut akan
terjadi lebih dini. Jadi isyarat pneumotaksis yang kuat dapat meningkatkan
kecepatan pernapasan 30-40 x per menit. Sementara yang lemah hanya
beberapa kali per menit. 8,11

6. Patofisiologi
Trauma inhalasi terjadi melalui kombinasi dari kerusakan epitel jalan nafas
oleh panas dan zat kimia, atau akibat intoksikasi sistemik dari hasil pembakaran itu
sendiri. Hasil dari pembakaran tidak hanya terdiri dari udara saja, tetapi merupakan
campuran dari udara, partikel padat yang terurai di udara (melalui suatu efek iritasi
dan sitotoksik). Aerosol dari cairan yang bersifat iritasi dan sitotoksik serta gas

10
toksik dimana gabungan tersebut bekerja sistemik. Partikel padat yang ukurannya
lebih dari 10 mikrometer tertahan di hidung dan nasofaring. Partikel yang
berukuran 3-10 mikrometer tertahan pada cabang trakeobronkial, sedangkan
partikel berukuran 1-2 mikrometer dapat mencapai alveoli.1,2
Gas yang larut air bereaksi secara kimia pada saluran nafas atas, sedangkan
gas yang kurang larut air pada saluran nafas bawah. Adapun gas yang sangat kurang
larut air masuk melewati barier kapiler dari alveolus dan menghasilkan efek toksik
yang bersifat sistemik. Kerusakan langsung dari sel-sel epitel, menyebabkan
kegagalan fungsi dari apparatus mukosilier dimana akan merangsang terjadinya
suatu reaksi inflamasi akut yang melepaskan makrofag serta aktivitas netrofil pada
daerah tersebut. Selanjutnya akan dibebaskan oksigen radikal, protease jaringan,
sitokin, dan konstriktor otot polos (tromboksan A2, C3A, C5A). Kejadian ini
menyebabkan peningkatan iskemia pada saluran nafas yang rusak, selanjutnya
terjadi edema dari dinding saluran nafas dan kegagalan mikrosirkulasi yang akan
meningkatkan resistensi dinding saluran nafas dan pembuluh darah paru.
Komplians paru akan turun akibat terjadinya edema paru interstitial sehingga terjadi
edema pada saluran nafas bagian bawah akibat sumbatan pada saluran nafas yang
dibentuk oleh sel-sel epitel nekrotik, mukus dan sel-sel darah.1,2
Trauma inhalasi diklasifikasikan menjadi 3, antara lain : 1,2,3,4
1. Trauma pada saluran nafas bagian atas ( trauma supraglotis)
Trauma saluran nafas atas dapat menyebabkan ancaman hidup melalui
obstruksi jalan nafas sesaat setelah trauma. Jika proses ini ditangani secara
benar, edema saluran nafas dapat hilang tanpa sekuele beberapa hari.
2. Trauma pada saluran nafas bawah dan parenkim paru (trauma subglotis)
Trauma ini dapat menyebabkan lebih banyak perubahan signifikan dalam
fungsi paru dan mungkin akan susah ditangani. Trauma subglotis
merupakan trauma kimia yang disebabkan akibat inhalasi hasil-hasil
pembakaran yang bersifat toksik pada luka bakar. Asap memiliki kapasitas
membawa panas yang rendah, sehingga jarang didapatkan trauma termal
langsung pada jalan nafas bagian bawah dan parenkim paru, trauma ini
terjadi bila seseorang terpapar uap yang sangat panas.

11
3. Toksisitas sistemik akibat inhalasi gas toksik seperti karbon monoksida
(CO) dan sianida.
Inhalasi dari gas toksik merupakan penyebab utama kematian cepat akibat
api, meskipun biasanya trauma supraglotis, subglotis dan toksisitas sistemik
terjadi bersamaan. Intoksikasi CO terjadi jika afinitas CO terhadap
hemoglobin lebih besar dari afinitas oksigen terhadap hemoglobin, sehingga
ikatan CO dan hemoglobin membentuk suatu karboksihemoglobin dan
menyebabkan hipoksia.

7. Gambaran Klinis
Oleh karena onset terjadinya tidak segera dan sering tidak ditangani
sesegera mungkin, maka perlu diketahui tanda-tanda yang dapat mengarahkan kita
untuk bertindak dan harus mencurigai bahwa seseorang telah mengalami trauma
inhalasi antara lain :
- Luka bakar pada wajah
- Alis mata dan bulu hidung hangus
- Adanya timbunan karbon dan tanda-tanda inflamasi akut di dalam orofaring
- Sputum yang mengandung arang atau karbon
- Wheezing, sesak dan suara serak
- Adanya riwayat terkurung dalam kepungan api
- Ledakan yang menyebabkan trauma bakar pada kepala dan badan
- Tanda-tanda keracunan CO (karboksihemoglobin lebih dari 10% setelah
berada dalam lingkungan api) seperti kulit berwarna pink sampai merah,
takikardi, takipnea, sakit kepala, mual, pusing, pandangan kabur, halusinasi,
ataksia, kolaps sampai koma.

12
8. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
 Pulse oximetry
Digunakan untuk mengukur saturasi hemoglobin yang meningkat
palsu akibat ikatan CO terhadap hemoglobin sehingga kadar
karboksihemoglobin seringkali diartikan sebagai oksihemaglon
 Analisa Gas Darah
Untuk mengukur kadar karboksihemoglobin, keseimbangan asam
basa dan kadar sianida. Sianida dihasilkan dari kebakaran rumah
tangga dan biasanya terjadi peningkatan kadar laktat plasma
 Elektrolit
Untuk memonitor abnormalitas elektrolit sebagai hasil dari
resusitasi cairan dalam jumlah besar
 Darah lengkap
Hemokonsentrasi akibat kehilangan cairan biasanya terjadi sesaat
setelah trauma. Hematokrit yang menurun secara progresif akibat
pemulihan volume intravaskular. Anemia berat biasanya terjadi
akibat hipoksia atau ketidakseimbangan hemodinamik. Peningkatan
sel darah putih untuk melihat adanya infeksi.
2. Foto Thoraks
Biasanya normal dalam 3-5 hari, gambaran yang dapat muncul sesudahnya
termasuk atelektasis, edema paru, dan ARDS
3. Laringoskopi dan bronkoskopi fiberoptik
Keduanya dapat digunakan sebagai alat diagnostik maupun terapeutik. Pada
bronkoskopi biasanya didapatkan gambaran jelaga, eritema, sputum dengan
arang, petekie, daerah pink sampai abu-abu karena nekrosis, ulserasi,
sekresi, mukopurulen. Bronkoskopi serial berguna untuk menghilangkan
debris dan sel-sel nekrotik pada kasus-kasus paru atau jika suction dan
ventilasi tekanan positif tidak cukup memadai.

13
9. Penatalaksanaan
Diagnosis yang cepat terhadap trauma inhalasi adalah penting untuk
penanganan cepat agar terhindar dari gagal nafas yang berakibat kematian.
Pengobatan untuk trauma inhalasi adalah bersifat suportif.
1. Airway
Jika dicurigai seseorang dengan trauma inhalasi maka sebelum dikirim ke
pusat luka bakar sebaiknya dilakukan intubasi cepat untuk melindungi jalan
nafas sebelum terjadi pembengkakan wajah dan faring yang biasanya terjadi
24-48 jam setelah kejadian, dimana jika terjadi edema maka yang
diperlukan adalah trakeostomi atau krikotiroidotomi jika intubasi oral tidak
dapat dilakukan.
2. Breathing
Jika didapatkan tanda-tanda insufisiensi pernapasan, susah bernapas,
stridor, batuk, retraksi suara nafas bilateral atau tanda-tanda keracunan CO
maka dibutuhkan oksigen 100% atau oksigen tekanan tinggi yang akan
menurunkan waktu paruh dari CO dalam darah.1,2,3
3. Circulation
Pengukuran tekanan darah dan nadi untuk mengetahui stabilitas
hemodinamik. Untuk mencegah syok hipovolemik diperlukan resusitasi
cairan intravena. Pada pasien dengan trauma inhalasi biasanya dalam 24 jam
pertama digunakan cairan kristaloid 40-75% lebih banyak dibandingkan
pasien yang hanya luka bakar saja.1,3
4. Neurologik
Pasien yang berespon/sadar membantu untuk mengetahui kemampuan
mereka untuk melindungi jalan nafas dan merupakan indikator yang baik
untuk mengukur kesuksesan resusitasi. Pasien dengan kelainan neurologik
seringkali memerlukan analgetik poten.2
5. Luka bakar

14
Periksa seluruh tubuh untuk mengetahui adanya trauma lain dan luka bakar.
Cuci NaCl kulit yang tidak terbakar untuk menghindari sisa zat toksik yang
bermakna.2
6. Medikasi1,2
 Kortikosteroid : digunakan untuk menekan inflamasi dan
menurunkan edema
 Antibiotik : Mengobati infeksi sekunder yang biasanya disebabkan
oleh Staphylococcus Aureus dan Pseudomonas Aeruginosa pada
pasien-pasien dengan kerusakan paru
 Amyl dan Sodium Nitrit untuk mengobati keracunan sianida tetapi
harus berhati-hati jika ditemukan pula tanda-tanda keracunan CO
karena obat ini dapat menyebabkan methahemoglobinemia. Oksigen
dan Sodium tiosulfat juga dapat sebagai antidotum sianida,
antidotum yang lain adalah hidroksikobalamin dan EDTA.
 Bronkodilator untuk pasien-pasien dengan bronkokonstriksi. Pada
kasus-kasus berat bronkodilator digunakan secara intavena.

10.Komplikasi
1. Trauma paru berat, edema, dan ketidakmampuan untuk oksigenasi atau
ventilasi yang adekuat dapat menyebabkan kematian
2. Keracunan CO dan inhalasi dari hasil pembakaran yang lain secara
bersamaan dapat menyebabkan hipoksemia, trauma organ dan morbiditas.

11.Prognosis
Pada trauma inhalasi ringan biasanya self limited dalam 48-72 jam. Berat
ringannya trauma langsung pada parenkim paru tergantung pada luas dan lamanya
paparan serta jenis inhalan yang diproduksi secara bersamaan.2

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Rajpura A., Inhalation Injury, available at www.burncenter.com, Januari


2011
2. Emily B Nazarian., Inhalation Injury, available at www.emedicine.com,
Januari 2011
3. Herold, L Cerny, Inhalation Injury, available at
www.ynovaburnandreconstructive surgery.com, Januari 2011
4. Michael D Peck., Smoke Inhalation Injury, available at
www.ameriburn.org , 2005
5. Robert A Benner, Inhalation Injury, available at www.burnresource.com,
2001-2002
6. Argenta, L.C., Inhalation Injury, Basic Science for Surgeon : A Review,
Saunders, North Carolina, 2004
7. Craig Feied, Inhalation Injury, available at www.NCEMI.com, 2006

16
8. Guyton, AC., Pernafasan, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9, EGC,
2000
9. Luhulima, J. W., Thorax, Anatomi Program Pendidikan Dokter, Jilid 4,
Bagian Anatomi FKUH, Makassar, 2001
10. Snell, RS., Cavitas Thoracis, Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa
Kedokteran, Bagian 1, Edisi 3, EGC, 1997
11. Putz, R., Alat Pernafasan, Atlas Anatomi Manusia Sobotta, Jilid 1, Edisi
21, EGC, 2006

17

Anda mungkin juga menyukai