Anda di halaman 1dari 20

PEMBAHASAN

PERKEMBANGAN FILSAFAT DAN SAINS

A. FILSAFAT

Filsafat secara etimologis berasal dari bahasa Yunani philosophia. Philos berarti suka,
cinta, atau kecenderungan pada sesuatu, sedangkan Sophia artinya kebijaksanaan. Dengan
demikian, secara sederhana, filsafat dapat diartikan cinta atau kecenderungan pada
kebijaksanaan.

Ada beberapa definisi filsafat yang telah diklasifikasikan berdasarkan watak dan fungsinya
sebagai berikut:

a) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang
biasanya diterima secara tidak kritis (arti informal).
b) Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang
sangat kita junjung tinggi (arti formal).
c) Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Artinya filsafat
berusaha untuk mengkombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman
kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam (erti spekulatif)
d) Filsafat adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep.
Corak filsafat yang demikian ini dinamakan juga logosentrisme.
e) Filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung, yang mendapat perhatian dari
manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.

Objek kajian materi filsafat yaitu

1. Masalah Tuhan, yang sama sekali diluar atau diatas jangkauan ilmu pengetahuan biasa.
2. Masalah alam, yang belum atau tidak bisa dijawab dengan ilmu pengetahuan biasa.
3. Masalah manusia

Kegunaan Filsafat yaitu :

1. Pedoman dalam kenyataan kehidupan sehari-hari.


2. Melalui filsafat (salah satunya) tingkah lakunya akan lebih bernila
3. Kehidupan dan penghidupan ke arah yang negatif akan dapat dihindari dan dikurangi.

1
B. SAINS

Ilmu pengetahuan alam atau Sains merupakan terjemahan kata-kata inggris yaitu
natural science artinya ilmu yang mempelajari tentang alam. Sehubungan dengan itu Darmojo,
1992 (Samatowa, 2006: 2) menyatakan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains adalah
pengetahuan yang rasional dan obyektif tentang alam semesta dengan segala isinya. Selain itu
Nash, 1993 (Samatowa, 2006: 2) menyatakan bahwa Sains itu adalah suatu cara atau metode
untuk mengamati alam. Nash juga menjelaskan bahwa cara sains mengamati dunia bersifat
analisis, lengkap, cermat serta menghubungkan antara satu fenomena dengan fenomena lain,
sehingga keseluruhannya membentuk suatu prespektif yang baru tentang objek yang
diamatinya. Jadi penekanan dalam pembelajaran Sains adalah pengembangan kreativitas anak
dalam mengelola pemikirannya menghubungkan antara satu fenomena dengan fenomena lain
yang ada dilingkungannya, sehingga memperoleh suatu gagasan (ide), pemahaman, serta pola
baru dalam berfikir memahami suatu objek yang diamati.

James, 1997 (Samatowa, 2006: 1) mendefinisikan Sains sebagai suatu deretan konsep
serta skema konseptual yang berhubungan satu sama lain dan yang tumbuh sebagai hasil
eksperimentasi dan observasi, serta berguna untuk diamati dan dieksperimentasikan lebih
lanjut. Kemudian Whitehead, 1999 (Samatowa, 2006: 1) menyatakan bahwa Sains dibentuk
karena pertemuan dua orde pengalaman.

Hampir setengah abad yang lalu, Vessel (1965: 2) memberikan jawaban yang sangat
singkat tetapi bermakna yakni “science is what scientists do”. Sains adalah apa yang dikerjakan
para ahli Sains (saintis). Setiap penemuan setiap aspek dari lingkungan sekitar, yang
menjadikan seseorang dapat mengukurnya sebaik mungkin, mengumpul dan menilai data dari
hasil penelitiannya dengan hati-hati dan terbuka. Pada bagian lain, Vessel (1965: 3)
mengemukakan bahwa “science is an intellectual search involving inquiri, rational trough,
and generalization”. Hal itu mencakup tehnik Sains yang sering disebut sebagai proses Sains.
Sedangkan hasilnya yang berupa fakta-fakta dan prinsip biasa disebut dengan produk Sains.

Pengertian lain yang juga sangat singkat tetapi bermakna adalah “science is an away of
knowing” (Trowbridge & Baybee, 1990: 48) frase ini mengandung ide bahwa Sains adalah
proses yang sedang berlangsung dengan fokus pada pengembangan dan pengorganisasian
pengetahuan. Oleh sebab itu Sains juga dapat dipandang dari berbagai segi, 3 (tiga) diantaranya
menurut Abruscato (1992: 6) adalah :

2
Science is the name we give to group of processes through which we can
systematically gather information about the natural world. Science is also the knowledge
gathered throughthe use of such as processes. Finally, science is characterized by those
values and atituted prosessed by people who use scientific processes to gather knowledge.

Secara umum petikan di atas memberikan pengertian (1) Sains adalah sejumlah proses
kegiatan mengumpulkan informasi secara sistematik tentang dunia sekitar, (2) Sains adalah
pengetahuan yang diperoleh melalui proses kegiatan tertentu, dan (3) Sains dicirikan oleh nilai-
nilai dan sikap para ilmuwan menggunakan proses ilmiah dalam memperoleh pengetahuan.
Dengan kata lain, Sains adalah proses kegiatan yang dilakukan para saintis dalam memperoleh
pengetahuan dan sikap terhadap proses kegiatan tersebut.

Sains didasarkan pula pada pendekatan empirik dengan asumsi bahwa alam raya ini
dapat dipelajari, dipahami, dan dijelaskan dengan tidak semata-mata bergantung pada metode
kasualitas tetapi melalui proses tertentu, misalnya observasi, eksperimen dan analisis rasional.
Dalam hal ini juga digunakan sikap tertentu, misalnya berusaha berlaku seobyektif mungkin,
dan jujur dalam mengumpulkan dan mengevaluasi data. Dengan menggunakan proses dan
sikap ilmiah ini akan melahirkan penemuan-penemuan baru yang menjadi produk Sains. Jika
Sains bukan hanya terdiri atas kumpulan pengetahuan atau berbagai macam fakta yang dapat
dihafal, terdiri atas proses aktif menggunakan, pikiran dalam mempelajari gejala-gejala alam
yang belum dapat diterangkan.

Harlen (1997) mengemukakan tiga karakteristik utama Sains yakni: Pertama,


memandang bahwa setiap orang mempunyai kewenangan untuk menguji validitas (kesahihan)
prinsip dan teori ilmiah. Meskipun kelihatan logis dan dapat dijelaskan secara hipotesis, teori
dan prinsip hanya berguna jika sesuai dengan kenyataan yang ada. Kedua, memberi pengertian
adanya hubungan antara fakta-fakta yang di observasi yang memungkinkan penyusunan
prediksi sebelum sampai pada kesimpulan. Ketiga, memberi makna bahwa teori Sains bukanlah
kebenaran yang akhir tetapi akan berubah atas dasar perangkat pendukung teori tersebut. Hal
ini memberi penekanan pada kreativitas dan gagasan tentang perubahan yang telah lalu dan
kemungkinan perubahan di masa depan, serta pengertian tentang perubahan itu sendiri.
Budi (1998) mengutip beberapa pendapat para ahli dan mengemukakan beberapa
rincian hakikat Sains, diantaranya: (1) Sains adalah bangunan atau deretan konsep dan skema
konseptual (conceptual scheme) yang Saling berhubungan sebagai hasil eksperimentasi dan

3
observasi (Conant, dalam Kuslan dan Stone, 1978) , (2) Sains adalah bangunan pengetahuan
yang diperoleh dengan menggunakan metode observasi (Vessel, 1975), (3) Sains adalah suatu
sistem untuk memahami alam semesta melalui data yang dikumpulkan melalui observasi atau
eksperimen yang dikontrol (Carin and Sund, 1989) dan (4) Sains adalah aktivitas pemecahan
masalah oleh manusia yang termotivasi oleh keingintahuan akan alam di sekelilingnya dan
keinginan untuk memahami, menguasai, dan mengelolanya demi memenuhi kebutuhan
(Dawson, 1984).

Jika dicermati ada dua aspek penting dari definisi-definisi tersebut yakni langkah-
langkah yang ditempuh dalam memahami alam (proses Sains) dan pengetahuan yang
dihasilkan berupa fakta, prinsip, konsep, dan teori (produk Sains). Kedua aspek tersebut harus
didukung oleh sikap Sains (sikap ilmiah) berupa keyakinan akan nilai yang harus
dipertahankan ketika mencari atau mengembangkan pengetahuan baru.
a. Kelebihan Sains
1. Sains telah memberikan banyak sumbangannya bagi umat manusia, misalnya dalam
perkembangan sains dan teknologi kedokteran, sains dan teknologi komunikasi dan
informasi
2. Dengan sains dan teknologi memungkinkan manusia dapat bergerak atau bertindak
dengan cermat dan tepat, efektif dan efisien karena sains dan teknologi merupakan hasil
kerja pengalaman, observasi, eksperimen dan verifikasi.

b. Kelemahan sains
1. Sains bersifat objektif, menyampingkan penilaian yang bersifat subjektif. Sains
menyampingkan tujuan hidup, sehingga dengan demikian sains dan teknologi tidak bisa
dijadikan pembimbing bagi manusia dalam menjalani hidup ini.
2. Sains membutuhkan pendamping dalam operasinya. Menurut Albert Einstein, "Sains
tanpa agama lumpuh, dan agama tanpa sains adalah buta (Science without religion is
lame, religion without sains is blind)"

C. HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN ILMU PENGETAHUAN SEBELUM


MASUKNYA TEKNOLOGI

4
Hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan, oleh Louis Kattsoff dikatakan:
Bahasa yang pakai dalam filsafat dan ilmu pengetahuan dalam beberapa hal saling melengkapi.
Hanya saja bahasa yang dipakai dalam filsafat mencoba untuk berbicara mengenai ilmu
pengetahuan, dan bukanya di dalam ilmu pengetahuan. Namun, apa yang harus dikatakan oleh
seorang ilmuwan mungkin penting pula bagi seorang filsuf. Pada bagian lain dikatakan: Filsafat
dalam usahanya mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pokok yang kita ajukan harus
memperhatikan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dalam usahanya menemukan
rahasia alam kodrat haruslah mengetahui anggapan kefilsafatan mengenai alam kodrat tersebut.
Filsafat mempersoalkan istilah-istilah terpokok dari ilmu pengetahuan dengan suatu
cara yang berada di luar tujuan dan metode ilmu pengetahuan. Dalam hubungan ini Harold H.
Titus menerangkan: Ilmu pengetahuan mengisi filsafat dengan sejumlah besar materi yang
faktual dan deskriptif, yang sangat perlu dalam pembinaan suatu filsafat. Banyak ilmuwan yang
juga filsuf. Para filsuf terlatih di dalam metode ilmiah, dan sering pula menuntut minat khusus
dalam beberapa ilmu sebagai berikut:
1. Historis, mula-mula filsafat identik dengan ilmu pengetahuan, sebagaimana juga
filsuf identik dengan ilmuwan.
2. Objek material ilmu adalah alam dan manusia. Sedangkan objek material filsafat
adalah alam, manusia dan ketuhanan.
Bedanya filsafat dengan ilmu-ilmu lain.
1) Filsafat menyelidiki, membahas, serta memikirkan seluruh alam kenyataan, dan
menyelidiki bagaimana hubungan kenyataan satu sama lain. Jadi ia memandang satu kesatuan
yang belum dipecah-pecah serta pembahasanya secara kesuluruhan. Sedangkan ilmu-ilmu lain
atau ilmu vak menyelidiki hanya sebagian saja dari alam maujud ini, misalnya ilmu hayat
membicarakan tentang hewan, tumbuh-tumbuhan dan manusia; ilmu bumi membicarakan
tentang kota, sungai, hasil bumi dan sebagainya.
2) Filsafat tidak saja menyelidiki tentang sebab-akibat, tetapi menyelidiki hakikatnya
sekaligus. Sedangkan ilmu vak membahas tentang sebab dan akibat suatu peristiwa.
3) Dalam pembahasannya filsafat menjawab apa ia sebenarnya, dari mana asalnya, dan hendak
ke mana perginya. Sedangkan ilmu vak harus menjawab pertanyaan bagaimana dan apa
sebabnya. Sebagian orang menganggap bahwa filsafat merupakan ibu dari ilmu-ilmu
vak.Alasannya ialah bahwa ilmu vak sering menghadapi kesulitan dalam menentukan batas-
batas lingkungannya masing-masing.Misalnya batas antara ilmu alam dengan ilmu hayat,
antara sosiologi dengan antropologi.Ilmu-ilmu itu dengan sendirinya sukar menentukan batas-

5
batas masing-masing.Suatu instansi yang lebih tinggi, yaitu ilmu filsafat, itulah yang mengatur
dan menyelesaikan hubungan dan perbedaan batas-batas antara ilmu-ilmu vak tersebut.
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu, dengan mencari
sebab-sebab terdalam, berdasarkan kekuatan pikiran manusia sendiri.Ilmu pengetahuan adalah
kumpulan pengetahuan mengenai suatu hal tertentu (objek atau lapangannya), yang merupakan
kesatuan yang sistematis, dan memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan
dengan menunjukkan sebab-sebab hal itu.Jadi berarti ada metode, ada sistem, ada satu
pandangan yang dipersatukan (memberi sintesis), dan yang dicari ialah sebab-sebabnya.
Demikian filsafat mempunyai metode dan sistem sendiri dalam usahanya untuk
mencari hakikat dari segala sesuatu, dan yang dicari ialah sebab-sebab yang terdalam.Ilmu-
ilmu pengetahuan dirinci menurut lapangan atau objek dan sudut pandangan.Objek dan sudut
pandangan filsafat disebut juga dalam definisinya, yaitu "segala sesuatu". Lapangan filsafat
sangat jelas; ia meliputi segala apa yang ada. Pertanyaan-pertanyaan kita itu mengenai
kesemuanya yang ada, tak ada yang dikecualikan.Hal-hal yang tidak kentara pun (seperti jiwa
manusia, kebaikan, kebenaran, bahkan Tuhan sendiri pun) dipersoalkan.Lapangan yang sangat
luas ini nanti kita bagi-bagi ke dalam beberapa lapangan pokok.
Dalam sejarah filsafat Yunani, filsafat mencakup seluruh bidang ilmu pengetahuan.
Lambat laun banyak ilmu-ilmu khusus yang melepaskan diri dari filsafat.Meskipun demikian,
filsafat dan ilmu pengetahuan masih memiliki hubungan dekat. Sebab baik filsafat maupun
ilmu pengetahuan sama-sama pengetahuan yang metodis, sistematis, koheren dan
mempunyai obyek material dan formal.
Yang membedakan diantara keduanya adalah: filsafat mempelajari seluruh realitas, sedangkan
ilmu pengetahuan hanya mempelajari satu realitas atau bidang tertentu.

D. PERBEDAAN FILSAFAT DAN SAINS

Sains atau science dalam bahasa inggris, berasal dari bahasa latin scientia yang berarti
“mengetahui” merujuk ke metodologi sistematik yang bertujuan menggali informasi akurat
mengenai fakta dan berusaha memodelkannya. Dari model tersebut manusia berusaha
memprediksi apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Tentu saja prediksi yang dibuat
harus dapat diandalkan, kuantitatif, dan konkrit.

Perbedaan yang paling mendasar antara filsafat dan sains adalah cara mengambil
kesimpulan. Filsafat berusaha mencari kebenaran atas suatu hipotesa hanya dengan kekuatan
berfikir. Sains bertumpu pada data-data yang telah diambil dan diverifikasi. Oleh karena itu

6
keluaran yang dihasilkan juga berbeda tipe. Teori-teori keluaran filsafat bersifat Kualitatif dan
Subjektif. Sedangkan sains menghasilkan output yang Kuantitatif dan Objektif.

Terdapat perbedaan yang hakiki antara filsafat dan sains, diantaranya:

1. Sains bersifat analisis dan hanya menggarap salah satu pengetahuan sebagai objek
formalnya. Filsafat bersifat synopsis, artinya melihat segala sesuatu dengan
menekankan secara keseluruhan, karena keseluruhan mempunyai sifat tersendiri yang
tidak ada pada bagian-bagiannya.
2. Sains bersifat deskriptif tentang objeknya agar dapat menentukan fakta-fakta, netral
dalam arti tidak memihak pada etik tertentu.Filsafat tidak hanya menggambarkan
sesuatu melainkan membantu manusia untuk mengambil putusan-putusan tentang
tujuan, nilai-nilai dan tentang apa-apa yang harus diperbuat manusia. Filsafat tidak
netral karena, faktor subjektif memegang peranan yang penting dalam filsafat.
3. Sains mengawali kerjanya dengan bertolak dan suatu asumsi yang tidak perlu diuji,
sudah diakui dan diyakini kebenarannya. Filsafat bisa merenungkan kembali asumsi-
asumsi yang telah ada untuk diuji ulang kebenarannya. Jadi, filsafat dapat meragukan
setiap asumsi yang ada, dimana oleh sains telah diakui kebenarannya.
4. Sains menggunakan eksperimentasi terkontrol sebagai metode yang khas. Verfikasi
terhadap teori dilakukan dengan cara menguji dalam praktek berdasarkan metode sains
yang empiris.Selain menggunakan teori, filsafat dapat juga menggunakan hasil sains,
dilakukan dengan menggunakan akal pikiran yang didasarkan pada pengalaman insani.

Jadi, sains berhubungan dan mempersoalkan fakta-fakta yang faktual, diperoleh dengan
menggunakan eksperimen, observasi dan verifikasi, hanya berhubungan dengan sebagian
aspek kehidupan di dunia ini. Sedangkan filsafat mencoba menghubungkan dengan
keseluruhan pengalaman, untuk memperoleh suatu pandangan yang lebih komprehensif dan
bermakna tentang sesuatu.

Secara umum manusia berpikir induktif, yaitu dari hal khusus ke umum, dan relatif
membuat asumsi-asumsi yang mendukung hipotesanya. Data bersifat kebalikannya, yaitu
membatasi ruang cakupan teori dan mengerucutkan hipotesa sehingga menjadi teorema yang
khusus. Karenanya filsafat juga menghasilkan teori-teori yang Umum dan Eksperimental,
sedangkan keluaran sains bersifat Spesial dan Empiris.

7
Walaupun berbeda, filsafat dan sains tetap memiliki sifat-sifat ilmu yaitu temporal,
sistematis, rasional, kritis, dan logis. Temporal artinya bersifat sementara, teori apapun di dunia
ini jika ada teori pengganti yang lebih baik atau lebih global akan ditinggalkan. Sistematis,
rasional, kritis, dan logis adalah cara manusia berpikir. Keempat sifat itu adalah setting default
otak manusia. Bila satu saja ditinggalkan, teori yang dihasilkan tidak akan bertahan.

Bagaimanapun juga ada beberapa hal yang tidak bisa dicover metode sains secara
indah. Disinilah metode filsafat berperan. Ilmu sosial dan psikologi contohnya. Data yang
diambil seringkali terlalu acak untuk dapat dianalisis dengan metode ilmiah. Maka dari itu
intuisi dan pemikiran manusia yang notabene merupakan metode filsafat banyak berperan
disana.

E. TITIK TEMU FILSAFAT DAN SAINS

Ada beberapa titik temu antara filsafat dan sains yaitu :

Banyak ahli filsafat yang termasyhur yang telah memberikan sumbangannya terhadap
perkembangan sains modern, seperti Leibnitz yang menemukan kalkulus diferensial, Ibnu
Kholdun yang telah memberikan sumbangannya terhadap perkembangan ilmu kedokteran dan
Auguste Comte yang disebut Bapak Sosiologi yang mempelopori perkembangan ilmu sejarah
dan sosiologi.

1. Filsafat dan sains keduanya menggunakan metode berpikir reflektif dalam menghadapi
fakta dunia.
2. Filsafat dan sains keduanya menunjukan sikap kritis dan terbuka dan memberikan
perhatian yang tidak berat sebelah terhadap kebenaran.
3. Filsafat dan sains keduanya tertarik terhadap pengetahuan yang terorganisir dan
tersusun secara sistematis.
4. Sains membantu filsafat dalam mengembangkan sejumlah bahan deskriptif dan faktual
serta esensial bagi pemikiran filsafat.
5. Sains mengoreksi filsafat dengan menghilangkan sejumlah ide-ide yang bertentangan
dengan pengetahuan ilmiah.
6. Filsafat merangkum pengetahuan yang terpotong, yang menjadikan beraneka macam
sains yang berbada serta menyusun bahan tersebut ke dalam suatu pandangan tentang
hidup dan dunia yang lebih menyeluruh dan terpadu.

8
F. SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN

Filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat kita bias menjumpai
pandangan-pandangan tentang apa saja (kompleksitas, mendiskusikan dan menguji kesahihan
dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah dan intelektual (Bagir, 2005).

Menurut kamus Webster New World Dictionary, kata science berasal dari kata latin,
scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti “keadaan atau fakta mengetahui
dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan melalui intuisi atau
kepercayaan. Namun kata ini mengalami perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti
pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan
yang dilakukan untuk menetukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji. Sedangkan dalam
bahasa Arab, ilmu (ilm) berasal dari kata alima yang artinya mengetahui.

Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata
scire. Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains). Sains hanya
dibatasi pada bidang-bidang empirisme– positiviesme sedangkan ilmu melampuinya dengan
nonempirisme seperti matematika dan metafisika (Kartanegara, 2003). Berbicara mengenai
ilmu (sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat. Tugas filsafat pengetahuan adalah
menunjukkan bagaimana “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”. Will Duran
dalam bukunya The story of Philosophy mengibaratkan bahwa filsafat seperti pasukan marinir
yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri inilah sebagai
pengetahuan yang di antaranya ilmu. Filsafat yang memenangkan tempat berpijak bagi
kegiatan keilmuan. Semua ilmu baik ilmu alam maupun ilmu sosial bertolak dari
pengembangannya sebagai filsafat. Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural philosophy)
dan nama asal ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy). Issac Newton (1642-1627)
menulis hukum-hukum fisika sebagai Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1686)
dan Adam Smith (1723-1790) Bapak Ilmu Ekonomi menulis buku The Wealth Of Nation
(1776) dalam fungsinya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow.

Agus Comte dalam Scientific Metaphysic, Philosophy, Religion and Science, 1963
membagi tiga tingkat perkembangan ilmu pengetahuan yaitu: religius, metafisic dan positif.
Dalam tahap awal asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan
deduksi atau penjabaran religi. Tahap berikutnya orang mulai berspekulasi tentang metafisika
dan keberadaan wujud yang menjadi obyek penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan

9
mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik. Tahap terakhir adalah
tahap pengetahuan ilmiah (ilmu) di mana asas-asas yang digunakan diuji secara positif dalam
proses verifikasi yang obyektif. Tahap terakhir Inilah karakteristik sains yang paling mendasar
selain matematika.

Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut
epistimologi. Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang berarti knowledge,
pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier
tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni epistemology dan ontology (on = being,
wujud, apa + logos = teori ), ontology ( teori tentang apa). Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh
pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah.
Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja,
yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa;
sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif
akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau
validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.

Sedang pengetahuan tak-ilmiah adalah yang masih tergolong prailmiah. Dalam hal ini
berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama
maupun baru didapat. Di samping itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau di luar
kesadaran seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi).

Dengan lain perkataan, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis,
jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri
dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang
prailmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu
tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan
demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak diperoleh secara sistematis-metodologis ada
yang cenderung menyebutnya sebagai pengetahuan “naluriah”.

Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebut tahap-mistik,


tidak terdapat perbedaan di antara pengetahuanpengetahuan yang berlaku juga untuk obyek-
obyeknya. Pada tahap mistik ini, sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib
di sekitarnya, sehingga semua obyek tampil dalam kesemestaan dalam artian satu sama lain
berdifusi menjadi tidak jelas batas-batasnya.

10
Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu mempunyai implikasi
sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan untuk
dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui segala-galanya. Fenomena tersebut sejalan
dengan tingkat kebudayaan primitif yang belum mengenal berbagai organisasi
kemasyarakatan, sebagai implikasi belum adanya diversifikasi pekerjaan. Seorang pemimpin
dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja, antara lain sebagai kepala pemerintahan,
hakim, guru, panglima perang, pejabat pernikahan, dan sebagainya. Ini berarti pula bahwa
pemimpin itu mampu menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan keanekaragaman
fungsional yang dicanangkan kepadanya. Tahap berikutnya adalah tahap-ontologis, yang
membuat manusia telah terbebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, sehingga mampu
mengambil jarak dari obyek di sekitarnya, dan dapat menelaahnya.

Orang-orang yang tidak mengakui status ontologis obyek-obyek metafisika pasti tidak
akan mengakui status-status ilmiah dari ilmu tersebut. Itulah mengapa tahap ontologis
dianggap merupakan tonggak ciri awal pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah
obyek dengan pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata mengandalkan logika
berpikir secara nalar. Hal ini merupakan salah satu ciri pendekatan ilmiah yang kemudian
dikembangkan lebih lanjut menjadi metode ilmiah yang makin mantap berupa proses berpikir
secara analisis dan sintesis. Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikir secara deduktif,
yaitu menarik kesimpulan khusus dari yang umum.

Hal ini mengikuti teori koherensi, yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat pada
sumbernya yang disebut premis-premis yang telah teruji kebenarannya, dengan kesimpulan
yang pada gilirannya otomatis mempunyai kepastian kebenaran. Dengan lain perkataan
kesimpulan tersebut praktis sudah diarahkan oleh kebenaran premis-premis yang bersangkutan.
Walaupun kesimpulan tersebut sudah memiliki kepastian kebenaran, namun mengingat bahwa
prosesnya dipandang masih bersifat rasional–abstrak, maka harus dilanjutkan dengan logika
berpikir secara induktif. Hal ini mengikuti teori korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil
pemikiran rasional dengan dukungan data empiris melalui penelitian, dalam rangka menarik
kesimpulan umum dari yang khusus. Sesudah melalui tahap ontologis, maka dimasukan tahap
akhir yaitu tahap fungsional.

Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas dari kepungan kekuatan-
kekuatan gaib, dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah secara empiris, melainkan
lebih daripada itu. Sebagaimana diketahui, ilmu tersebut secara fungsional dikaitkan dengan

11
kegunaan langsung bagi kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Tahap fungsional
pengetahuan sesungguhnya memasuki proses aspel aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang
membahas amal ilmiah serta profesionalisme terkait dengan kaidah moral. Sementara itu,
ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan pengetahuan dalam satu nafas tercakup
pula telaahan filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi
ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti sejak
awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial.

Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu,
dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat
diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan
ditarik kesimpulan. Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal
surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan.

Telaahan kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai
kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan
teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi
langkahlangkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di
dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya. Telaahan ketiga ialah dari segi
aksiologi, yang sebagaimana telah disinggung di atas terkait dengan kaidah moral
pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh.

Epistimologi, Ontologi, dan Aksiologi

1. Tahapan Ontologi(Hakikat Ilmu)


a) Obyek apa yang telah ditelaah ilmu?
b) Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
c) Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir,
merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?
d) Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?
e) Bagaimana prosedurnya?

2. Epistimologi (Cara Mendapatkan Pengetahuan)


a) Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?
b) Bagaimana prosedurnya?
c) Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan dengan benar?

12
d) Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri?
e) Apa kriterianya?
f) Sarana/cara/teknik apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang
berupa ilmu?

3. Aksiologi (Guna Pengetahuan)


a) Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan?
b) Bagaiman kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
c) Bagaimana penetuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
d) Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode
ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?

Teori pengetahuan yang bersifat subjektif akan memberikan jawaban ”TIDAK”, kita tidak
akan mungkin mengetahui, menemukan hal-hal yang ada di balik pengaman dan ide kita.
Sedangkan teori pengetahuan yang bersifat obyektif akan memberikan jawaban ”YA”.

Sumber-Sumber Pengetahuan

Ada 2 cara pokok mendapatkan pengetahuan dengan benar: pertama, mendasarkan diri
dengan rasio. Kedua, mendasarkan diri dengan pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan
rasionalisme, dan pengalaman mengembangkan empirisme. Kaum rasionalis mengembangkan
metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dari ide yang
diangapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukan ciptaan pikiran manusia.
Prinsip itu sudah ada, jauh sebelum manusia memikirkannya (idelisme).

Di samping rasionalisme dan pengalaman masih ada cara lain yakni intuisi atau wahyu.
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran, bersifat
personal dan tak bisa diramalkan. Sedangkan wahyu merupakan pengetahuan yang
disampaikan oleh Tuhan kepada manusia.m Masalah yang muncul dalam sumber pengetahuan
adalah dikotomi atau gap antara sumber ilmu umum dan ilmu agama. Bagi agama Islam sumber
ilmu yang paling otoritatif adalah Alquran dan Hadis. Bagi ilmu umum (imuwan sekuler)
satunya-satunya yang valid adalah pengalaman empiris yang didukung oleh indrawi melalui
metode induksi. Sedangkan metode deduksi yang ditempuh oleh akal dan nalar sering dicurigai
secara apriopri (yakni tidak melalui pengalaman). Menurut mereka, setinggitingginya

13
pencapaian akal adalah filsafat. Filsafat masih dipandang terlalu spekulatif untuk bisa
mengkonstruksi bangunan ilmiah seperti yang diminta kaum positivis. Adapun pengalaman
intuitif sering dianggap hanya sebuah halusinasi atau ilusi belaka. Sedangkan menurut
agamawan pengalaman intuitif dianggap sebagai sumber ilmu, seperti para nabi memperoleh
wahyu ilahi atau mistikus memperoleh limpahan cahaya Ilahi.

Masalah berikutnya adalah pengamatan. Sains modern menentukan obyek ilmu yang
sah adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi (the observables) atau diamati oleh indra.
Akibatnya muncul penolakan dari filosof logika positivisme yang menganggap segala
pernyataan yang tidak ada hubungan obyek empirisnya sebagai nonsens. Perbedaan ini
melahirkan metafisik (dianggap gaib) dan fisik (dianggap science). Masalah lainnya adalah
munculnya disintegrasi pada tatanan klasifikasi ilmu. Penekanan sains modern pada obyek
empiris (ilmu-ilmu fisika) membuat cabang ilmu nonfisik bergeser secara signifikan ke
pinggiran. Akibatnya timbul pandangan negatif bahwa bidang kajian agama hanya
menghambat kemajuan. Seperti dalam anggapan Freud yang menyatakan agama dan terutama
pendukungnya yang fanatic bertanggung jawab terhadap pemiskinan pengetahuan karena
melarang anak didik untuk bertanya secara kritis. Masalah lainnya yang muncul adalah
menyangkut metodologi ilmiah. Sains pada dasarnya hanya mengenal metode observasi atau
eksperimen. Sedangkan agamawan mengembangkan metode lainnya seperti metode intuitif.
Masalah terakhir adalah sulitnya mengintegrasikan ilmu dan agama terutama indra, intektual
dan intuisi sebagai pengalaman legitimate dan riil dari manusia.

G. TINJAUAN PERKEMBANGAN FILSAFAT ABAD KE-20

Filsafat yang berkembang sebelum abad ke-20 adalah rasionalisme yang sangat
mendewakan rasio. Ahmad Tafsir menyebut filsafat abad ke-20 adalah filsafat pasca modern
karena periode waktunya setelah abad modern. Ciri khas filsafat pasca modern adalah kritik
terhadap filsafat modern.

Nieztche adalah tokoh pertama yang menyatakan ketidakpuasannya terhadap dominasi


atau pendewasaan rasio pada tahun 1880-an. Menurutnya budaya barat pada waktu tersebut
telah berada di pinggir jurang kehancuran karena terlalu mendewasakan rasio dan pada tahun
1990-an Capra menyatakan bahwa budaya barat telah hancur juga karena mendewakan rasio.
Oleh karena itu filsafat pada abad ke-20 berusaha untuk mendekonstruksi filsafat rasionalisme.

14
Bila hubungan antara hati dan akal telah diputuskan maka manusia akan memperoleh
kenyataan bahwa pertanyaan tentang rumusan hidup ideal tidak akan pernah terjawab. Sikap
mendewakan rasio mengakibatkan adanya kecenderungan untuk menyisihkan seluruh nilai dan
norma yang berdasarkan agama dalam memandang kenyataan hidup. Mereka juga menolak
adanya akhirat. Manusia terasing tanpa batas, kehilangan orientasi. Manusia dipacu oleh situasi
mekanistik yang diciptakannya sendiri sehingga kehilangan waktu merenungkan hidupnya dan
alam semesta.

Menurut Capra dalam Ahmad Tafsir menyatakan pada awal dua dasawarsa terakhir
abad ke-20 kita menemukan diri kita dalam suatu krisis global yang serius yaitu suatu krisis
kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan
kesehatan, kualitas lingkungan hidup, hubungan sosial, ekonomi, teknologi dan politik. Hal ini
dapat dilihat munculnya krisis-krisis kemanusian di berbagai belahan dunia. Kelaparan dan
munculnya kaum borjuis, imperialsme, kemiskinan, kolonialisme dan perjuangan
kemerdekaan, kelaparan penyebaran penyakit serta peledakan nuklir yang mengakibatkan
puluhan juta manusia musnah merupakan gambaran nyata kondisi kejiwaan manusia saat itu.

Tiga dasawarsa terakhir menjelang berakhirnya abad ke-20, terjadi perkembangan baru
yang mulai menyadari bahwa manusia selama ini salah dalam menjalani hidupnya. Di dunia
ilmu muncul pandangan yang menggugat paradigma positivistik. Thomas Khun (1970) telah
mengisaratkan adanya upaya pendobrakan tatkala ia mengatakan bahwa kebenaran ilmu
bukanlah kebenaran sui generis (objektif).

Salah satu sebab heterogenitas filsafat abad kedua puluh adalah “profesionalisme” yang
semakin besar. Kebanyakan filsuf abad kedua puluh merupakan spesialis-spesialis dalam
matematika, fisika, psikologi, sosiologi dan ekonomi. Jelas bahwa titik pangkal yang khas ini
juga membawa sutau cara berpikir yang khas dan suatu perhatian untuk masalah-masalah yang
khas pula.

H. PERKEMBANGAN FILSAFAT ILMU

Filsafat ilmu berkembang dari masa ke masa sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta realitas sosial. Dimulai dengan aliran rasionalisme-emprisme
,kemudian kritisisme dan positivisme.

Rasionalisme adalah paham yang menyatakan kebenaran haruslah ditentukan melalui


pembuktian, logika, dan dan analisis yang berdasarkan fakta. Paham ini menjadi salah satu

15
bagian dari renaissance atau pencerahan dimana timbul perlawanan terhadap gereja yang
menyebar ajaran dengan dogma-dogma yang tidak bisa diterima oleh logika. Filsafat
Rasionalisme sangat menjunjung tinggi akal sebagai sumber dari segala pembenaran. Segala
sesuatu harus diukur dan dinilai berdasarkan logika yang jelas. Titik tolak pandangan ini
didasarkan kepada logika matematika. Pandangan ini sangat popular pada abad 17. Tokoh-
tokohnya adalah Rene Descartes (1596-1650), Benedictus de Spinoza – biasa dikenal: Barukh
Spinoza (1632-1677), G.W. Leibniz (1646-1716), Blaise Pascal (1623-1662).

Empirisisme adalah pencarian kebenaran melalui pembuktian-pembukitan indrawi.


Kebenaran belum dapat dikatakan kebenaran apabila tidak bisa dibuktikan secara indrawi,
yaitu dilihat, didengar dan dirasa. Francis Bacon (1561-1624) seorang filsuf Empirisme pada
awal abad Pencerahan menulis dalam salah satu karyanya Novum Organum: Segala kebenaran
hanya diperoleh secara induktif, yaitu melalui pengalamn dan pikiran yang didasarkan atas
empiris, dan melalui kesimpulan dari hal yang khusus kepada hal yang umum. Empirisisme
muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap superioritas akal. Paham ini bertolak belakang
dengan Rasionalisme yang mengutamakan akal. Tokoh-tokohnya adalah John Locke (1632-
1704); George Berkeley (1685-1753); David Hume (1711-1776). Kebenaran dalam Empirisme
harus dibuktikan dengan pengalaman. Peranan pengalaman menjadi tumpuan untuk
memverifikasi sesuatu yang dianggap benar. Kebenaran jenis ini juga telah mempengaruhi
manusia sampai sekarang ini, khususnya dalam bidang Hukum dan HAM.

Kedua aliran ini dibedakan lewat caranya untuk mencari kebenaran rasionalisme
didominasi akal sementara empirisisme didominasi oleh pengalaman dalam pencarian
kebenaran. Kedua aliran ini secara ekstrim bahkan tidak mengakui realitas di luar akal,
pengalaman atau fakta. Superioritas akal menyebabkan agama dilempar dari posisi yang
seharusnya. Agama didasarkan pada doktrin-dokrtin yang tidak bisa diterima oleh rasio
sehingga tidak diterima oleh para pemegang paham rasionalisme dan empirisisme. Bukan
berarti dogma yang diajarkan agama itu tidak benar, tapi rasio manusia masih terbatas untuk
menguji kebenaran dogma Tuhan. Munculah aliran kritisisme sebagai jawaban dari
rasionalisme dan empirisisme untuk menyelamatkan agama.

Kritisisme merupakan filsafat yang terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-
batas rasio sebelum melakukan pencarian kebenaran. Tokoh yang terkenal dari aliran ini adalah
Immanuel Kant (1724-1804). Filsafatnya dikenal dengan Idealisme Transendental atau Filsafat
Kritisisme. Menurutnya, pengetahuan manusia merupakan sintesa antara apa yang secara

16
apriori sudah ada dalam kesadaran dan pikiran dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman
(aposteriori).

Filsafat positivisme membatasi kajian filsafat ke hal-hal yang dapat di justifikasi (diuji)
secara empirik. Hal-hal tersebut dinamakan hal-hal positif. Positivisme digunakan untuk
merumuskan pengertian mengenai relaita sosial dengan Penjelasan ilmiah, prediksi dan control
seperti yang dipraktekan pada fisika, kimia, dan biologi. Tahap penelitian positivisme dimulai
dengan pengamatan, percobaan, generalisasi, produksi, manipulasi.

Krisis Sains

Perkembangan sains sampai ke abad 20 membawa manusia ke tingkat yang lebih tinggi
pada kehidupannya. Level pemahaman terhadap alam mencapai tingkat level yang lebih tinggi.
Pengamatan alam sudah sampai ke level mikroskopis, ternyata pengamatan pada level
mikroskopis mementahkan hukum-hukum fisika yang pada saat itu menajdi pijakan ilmu
fisika. Hukum-hukum fisika klasik seperti mekanika dan gravitasi dimentahkan oleh perilaku
elektron dan proton yang acak tapi teratur. Penemuan-penemuan baru pada bidang fisika pada
level mikroskopis merubah pandangan ilmuwan pada saat itu mengenai alam secara
keseluruhan. Tenyata sains merupakan ilmu yang tidak pasti, ada ketidakpastian dalam
kepastian terutama pada level mikroskopis dimana ketidakpastian itu semakin besar. Pada masa
ini terjadi pergeseran paradigma dari paradigma Newtonian ke paradigm pos Newtonian.

Perubahan paradigma ini merupakan revolusi pada bidang fisika, yang melahirkan tokoh-tokoh
baru seperti Einstein dan Heisenberg

Objek Paradigma Newtonian Paradigma Pos Newtonian

Alam Mesin Sistem / jaringan

Fenomena objek Interaksi benda Transformasi objek

Ruang, waktu Datar, tak berbatas Melengkung, tak berbatas

Kekuatan alam Determenistik, realistik Indeterministik, anti-


realistik

17
Werner Heisenberg mengajukan teori ketidakpastian yang menyatakan tidak mungkin
mengukur secara teliti suatu partikel secara stimultan dalam ruang dan waktu. Teori ini bukan
hanya menjungkirbalikan teori fisika klasik yang dikembangkan oleh Newton, namun juga
mengubah cara pandang berbagai disiplin ilmu terhadap sifat alam yang tadinya dianggap
determentstik (dapat ditentukan) menjadi indeterminsitik (tidak dapat ditentukan). Teori ini
menjadi landasan fisika kuantum. Perubahan paradigma terhadap alam mengubah arah
perkembangan teknologi. Namun perkembangan teknologi yang revolusioner malah menjadi
petaka bagi seluruh umat manusia, puncaknya ketika Albert Einstein menemukan bom atom
dan digunakan oleh manusia untuk menghancurkan kota Hirosima dan Nagasaki. Dunia
terkejut oleh kemampuan sains yang bukan hanya memudahkan manusia, namun juga
menghancurkan. Pada tahap ini mulai dipertanyakan peranan sains dalam menuju kehidupan
manusia yang lebih baik. Kritik mulai dilontarkan terhadap sains karena ternyata kemajuan
sains belum tentu memajukan kemanusiaan di muka bumi.

Sains memiliki tiga sifat utama yaitu netral, humanistik dan universal. Namun pada
perkembangannya ternyata sains tidak netral, humanistik dan universal. Sains sangat
tergantung pada kondisi ekonomi, sehingga pemilik modal dapat mengarahkan perkembangan
sains. Pada masa perang dunia II sains memberi kontribusi besar pada kematian umat manusia
lewat penemuan senjata pemusnah masal. Sains juga kehilangan sifat netralnya karena
pengembangan sains sangat tergantung dari pemilik modal. Sains berpihak kepada pemilik
modal.

Sains bersifat humanistik yaitu manusia sebagai pusat dari segalanya. Ternyata
pandangan ini malah menghancurkan manusia. Kemajuan sains seiring dengan kemajuan
teknologi. Teknologi sangat menguntungkan manusia karena bersifat memudahkan. Teknologi
membutuhkan sumber daya yang diambil dari alam dan teknologi juga menghasilkan limbah
yang sulit diuraikan aoleh sistem alam. Eksploitasi sumber daya alam berlebih mengakibatkan
keseimbangan lingkungan terganggu yang menjadikan Bumi rentan terhadap bencana. Limbah
hasil industri diketahui berbahaya bagi manusia, sehingga menimbulkan kanker yang
membunuh jutaan manusia tiap tahunnya.

Sains hanya alat untuk mencapai sesuatu, namun dasar motivasi untuk mencapai suatu
hal adalah hal yang berbeda. Akal budi lebih berperan untuk menentukan arah tujuan sains
tersebut. Perkembangan dari sains seharusnya diikuti dengan perkembangan akal budi agar
tercipta kehidupan manusia yang lebih baik.

18
PENUTUP

1. Kesimpulan

Filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat kita bias menjumpai
pandangan-pandangan tentang apa saja (kompleksitas, mendiskusikan dan menguji kesahihan
dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah dan intelektual (Bagir, 2005).

Ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata scire.
Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains). Sains hanya dibatasi
pada bidang-bidang empirisme– positiviesme sedangkan ilmu melampuinya dengan
nonempirisme seperti matematika dan metafisika (Kartanegara, 2003). Berbicara mengenai

19
ilmu (sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat. Tugas filsafat pengetahuan adalah
menunjukkan bagaimana “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”.

2. Saran

Berbicara mengenai ilmu (sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat. Tugas filsafat
pengetahuan adalah menunjukkan bagaimana “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana
adanya”. Oleh karena itu, diharapkan kita para mahasiswa mengerti dan memahami lebih lagi
mengenai filsafat dan sains. Karena sebagai mahasiswa kita tidak bisa terlepas dari yang
namanya filsafat dan ilmu pengetahuan.

20

Anda mungkin juga menyukai