7. Melelui internet carilah satu artikel ilmiah yang mengkaji pengelompokan atau pun
filogen makhluk hidup berdasarkar metode morfologi dan molekuler (PCR-RAPD
atau PCR AFLD atau DNA sequencing). Buatlah laporan singkat isi dari artikel
tersebut
Jawab :
Makhluk hidup yang ada di alam sangat beraneka ragam. Makhluk hidup yang
beraneka ragam jenis ini memiliki persamaan dan perbedaan ciri khas. Berdasarkan
hal itu, makhluk hidup dapat digolongkan kepada golongan tertentu. Proses
pengaturan atau penggolongan makhluk hidup dalam kategori golongan yang
bertingkat disebut klasifikasi. Hasil dari proses tersebut berupa sistem
klasifikasi. Klasifikasi mempermudah kita dalam mempelajari dan menyederhanakan
obyek studi. Pengelompokam makhluk hidup berdasarkan aturan tertentu dikatakan
sebagai klasifikasi. Adapun dasar-dasar yang dapat digunakan dalam klasifikasi
makhluk hidup adalah, morfologi, anatomi, fisiologi, biokimia, molekuler (DNA), dan
lain-lain. Namun yang dibahas dalam makalah ini difokuskan kepada klasifikasi
(pengelompokan) tumbuhan berdasarkan aspek molekuler.
1. Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk mengkaji taksonomi pada pengelompokan
tumbuhan berdasarkan aspek molekuler.
BAB. II PEMBAHASAN
1. Karakter Molekuler pada Tumbuhan
Biologi Molekuler merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan
antara struktur dan fungsi molekul-molekul hayati serta kontribusi hubungan tersebut
terhadap pelaksanaan dan pengendalian berbagai proses biokimia. Secara lebih
ringkas dapat dikatakan bahwa Biologi Molekuler mempelajari dasar-dasar molekuler
setiap fenomena hayati. Oleh karena itu, materi kajian utama di dalam ilmu ini adalah
makromolekul hayati, khususnya asam nukleat, serta proses pemeliharaan, transmisi,
dan ekspresi informasi hayati yang meliputi replikasi, transkripsi, dan translasi.
Asal kejadian genetika modern dimulai dari taman sebuah biara, di mana seorang
biarawan bernama Gregor Mendel mencatat sebuah mekanisme penurunan sifat
partikulat. Mendel menemukan prinsip dasar hereditas dengan membudidayakan
kacang ercis dalam suatu percobaan yang terencana dan teliti. Mendel mungkin
memilih untuk bekerja menggunakan kacang ercis karena kacang ercis memiliki
banyak varietas. Sebagai contoh, ada varietas yang mempunyai bunga ungu,
sementara varietas yang lain ternyata mempunyai bunga putih. Ahli genetika
menggunakan istilah karakter untuk menjelaskan sifat yang dapat diturunkan, seperti
warna bunga, yang terdapat pada individu. Setiap varian dari suatu karakter, seperti
warna bunga ungu dan putih pada bunga, dinamakan sifat (trait).
Penggunaan kacang ercis juga membuat Mendel dapat melakukan kontrol yang ketat
berkenaan dengan tanaman mana saja yang dapat saling dikawinkan. Organ kelamin
dari tanaman kacang ercis terdapat pada bunganya dan setiap bunga kacang ercis
mempunyai sekaligus organ kelamin jantan dan betina—masing-masing stamen
(benang sari) dan karpel (putik). Biasanya tanaman ini berfertilisasi sendiri; butir-butir
polen (serbuk sari) lepas dari stamen dan jatuh di karpel dari bunga yang sama, dan
sperma dari polem membuahi ovum di karpel. Untuk mendapatkan penyerbukan
silang (fertilisasi di antara tanaman-tanaman yang berbeda), Mendel memindahkan
stamen yang belum matang dari sebuah tanaman sebelum stamen-stamen tersebut
menghasilkan polen dan selanjutnya menaburkan butir-butir polen dari tanaman lain
ke atas bunga yang telah “dikebiri” tersebut. Setiap zigot yang dihasilkan kemudian
akan berkembang menjadi embrio tanaman yang disimpan di dalam biji (kacang).
Terlepas ia memastikan memilih untuk membiarkan penyerbukan sendiri atau
melakukan penyerbukan silang buatan, Mendel selalu dapat mengetahui dengan pasti
asal-usul (induk) biji yang baru.
Mendel juga memastikan bahwa dia memulai percobaannya dengan varietas galur
murni (true-breeding), yang berarti ketika tanaman menyerbuk sendiri, semua
keturunannya akan mempunyai varietas yang sama. Contohnya, suatu tanaman
dengan bunga ungu adalah perkawinan galur murni jika biji dihasilkan melalui
penyerbukan sendiri menghasilkan tanaman yang juga mempunyai bunga ungu.
Dalam sebuah percobaan pengembangbiakan yang biasa dilakukan, Mendel biasanya
akan melakukan penyerbukan silang terhadap dua varietas ercis galur murni yang
kontras—contohnya tanaman berbunga ungu dan tanaman berbunga putih.
Perkawinan, atau penyilangan dua varietas ini disebut hibridisasi. Contoh yang
dijelaskan di sini lebih spesifik yaitu penyilangan monohibrid, istilah untuk
penyilangan yang menelusuri penurunan sifat sebuah karakter pada kasus ini adalah
warna bunga. Induk galur murni disebut generasi P (dari kata parental), dan keturunan
hibridnya adalah generasi F1 (dari kata filial keturunan pertama). Membiarkan hibrid
F1 ini melakukan penyerbukan sendiri menghasilkan generasi F2 (filial kedua).
Mendel biasanya mengikuti sifat-sifat bawaan paling sedikit untuk tiga generasi P, F1,
dan F2. Seandainya saja Mendel menghentikan percobaannya pada generasi F1, pola
dasar penurunan sifat bisa saja menipunya. Analisis kuantitatif Mendel pada tanaman
F2inilah yang terutama mengungkapkan dua prinsip dasar hereditas yang sekarang
dikenal dengan hukum segregasi dan hukum pemilahan bebas. Hukum dasar tentang
genetika telah dikemukakan oleh Gregor Mendel pada tahun 1865, tetapi perubahan-
perubahan yang terjadi dalam sel belum dapat dijelaskan atau belum banyak diketahui.
Para ahli sitologi berhasil mempelajari proses mitosis pada tahun 1875 dan proses
meiosis pada tahun 1890-an. Kemudian di sekitar tahun 1900-an, sitologi dan genetika
bersatu pada saat ahli-ahli biologi mulai melihat kesamaan antara perilaku kromosom
dan perilaku faktor-faktor Mendel. Sebagai contoh, kromosom dan gen kedua-duanya
hadir dalam bentuk pasangan di dalam sel diploid. Kromosom-kromosom homolog
berpisah dan alel-alel bersegregasi selama meiosis, dan fertilisasi (pembuahan)
memulihkan kembali kondisi berpasangan ini baik untuk kromosom maupun untuk
gen. Pada abad XX setelah biologi sel berkembang dengan pesat barulah mekanisme
distribusi faktor-faktor yang menurun ini dapat dijelaskan, yaitu berdasarkan pada
penelitian-penelitian Correns, Tschermack dan De Vries pada tahun 1901. Sekitar
tahun 1902, Walter S. Sutton, Theodor Boveri, dan yang lain-lainnya secara terpisah
memperhatikan kesamaan-kesamaan tersebut dan akhirnya suatu teori kromosom
mengenai penurunan sifat mulai terbentuk. Menurut teori tersebut, gen-gen “Mendel”
mempunyai lokus-lokus khusus pada kromosom, dan kromosomlah yang mengalami
segregasi dan pemilahan independen.
Thomas Hunt Morgan, seorang ahli embriologi pada Columbia University adalah
orang pertama yang menghubungkan suatu gen tertentu dengan kromosom khusus, di
awal abad kedua puluh. Meskipun pada awalnya Morgan meragukan Mendelisme dan
teori kromosom, eksperimen-eksperimen awalnya memberikan bukti yang
meyakinkan bahwa kromosom memang merupakan lokasi dari faktor sifat keturunan
Mendel.
Perkembangan biologi sel dan molekuler semakin pesat dengan ditemukannya materi
genetik oleh F Miescher pada awal abad ke19. Dengan menggunakan mikroskop
sederhana, F Miescher telah menemukan adanya bahan aktif di dalam nucleus
dan disebut sebagai nuclein. Akan tetapi peneliti ini belum bisa menetapkan apakah
nuclein ini kromosom ataukah DNA. Gagasan bahwa gen terletak di dalam kromosom
baru dikemukakan oleh W.Sutton pada tahun 1903 dan gagasan ini mendapat
dukungan secara eksperimental oleh T.H.Morgan pada tahun 1910. Pada tahun 1922
Morgan melakukan pemetaan gen dan melakukan analisis menyeluruh mengenai
posisi relatif lebih dari 2000 gen pada keempat kromosom Drosophila melanogaster.
Pada tahun 1953, James Watson and Francis Crick telah berhasil menemukan model
struktur DNA. Publikasi dari model double heliks DNA ini disusun berdasarkan
penemuan:
1. Penemuan struktur asam nukleat dari Pauling & Corey
2. Pola difraksi DNA (Single-crystal X-ray analysis) dari Wilkins & Franklin
3. Pola perbandingan jumlah A-T, G-C (1:1) dari Chargaff atau dikenal sebagai
Hukum Ekivalen Chargaff:
· Banyaknya adenin sama dengan timin, juga jumlah glisin sama dengan sitosin
Dengan menggunakan model-model molekuler yang terbuat dari kawat, Watson dan
Crick mulai membuat model terskala dari suatu heliks ganda yang sesuai dengan hasil
pengukuran sinar-X dan dengan apa yang kemudian dikenal tentang kimia DNA.
Setelah gagal membuat model yang memuaskan yang menempatkan rantai gula-fosfat
di bagian dalam molekul, Watson mencoba menempatkan rantai-rantai ini di bagian
luar dan memaksa basa-basa nitrogen meliuk-liuk menuju bagian dalam heliks ganda.
Bayangkan heliks ganda ini sebagai tangga tali yang mempunyai anak tangga yang
kaku, dengan tangga terpuntir membentuk spiral. Tali-tali di sampingnya equivalen
dengan tulang belakang gula-fosfat, dan anak tangganya mewakili pasangan basa
nitrogen. Data sinar-X Franklin mengindikasikan bahwa heliks membentuk satu
putaran penuh setiap 3,4 nm panjang heliks. Karena basa-basa tersebut tertumpuk
hanya dengan jarak pemisah 0,34 nm, maka akan terdapat 10 lapis pasangan basa, atau
anak tangga pada tangga, untuk setiap putaran heliks. Pengaturan ini menarik karena
basa-basa nitrogen yang relatif hidrofobik ditempatkan di bagian dalam molekul
sehingga jauh dari medium air di sekelilingnya.
Basa-basa dari nitrogen dari heliks ganda ini berpasangan dalam kombinasi yang
spesifik: adenin (A) dengan Timin (T), dan guanin (G) dengan sitosin (C). Watson
dan Crick menemukan unsur penting DNA ini terutama dengan proses trial and error.
Pada awalnya, Watson membayangkan basa-basa tersebut berpasangan dengan basa
sejenis (like-with-like, sejenis-dengan-sejenis)—sebagai contoh, A dengan A dan C
dengan C. Tetapi model ini tidak sesuai dengan data sinar-X, yang menunjukkan
bahwa heliks ganda tersebut mempunyai diameter yang seragam. Mengapa
persyaratan ini tidak sesuai dengan konsep pasangan basa sejenis-dengan-sejenis?
Adenin dan guanin adalah purin, basa nitrogen dengan dua cincin organik. Sebaliknya,
sitosin dan timin adalah anggota famili basa nitrogen yang dikenal sebagai pirimidin,
yang mempunyai satu cincin tunggal. Oleh karena itu, purin (A dan G) kurang lebih
dua kali lebih lebar daripada pirimidin (C dan T). Pasangan purin-purin terlalu lebar,
sedangkan pasangan pirimidin-pirimidin terlalu sempit untuk heliks ganda yang
diameternya 2 nm. Jalan keluarnya adalah selalu memasangkan satu purin dengan satu
pirimidin.
Watson dan Crick beralasan bahwa pasti ada kekhususan tambahan lain mengenai
pemasangan yang ditentukan oleh struktur basa-basa itu. Setiap basa memiliki gugus-
gugus samping kimiawi yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan pasangannya
yang sesuai: Adenin dapat membentuk dua ikatan hidrogen dengan timin dan hanya
dengan timin; Guanin membentuk tiga ikatan dengan sitosin dan hanya dengan sitosin.
Notasi pendeknya, A berpasangan dengan T, dan G berpasangan dengan C.
Model Watson-Crick ini menjelaskan aturan-aturan Chargaff. Di mana saja satu untai
molekul DNA memiliki sebuah A, untaian pasangannya pasti mempunyai sebuah T.
Dan sebuah G pada satu untai selalu berpasangan dengan sebuah C pada untai
komplementernya. Oleh karena itu, pada DNA dari setiap organisme, banyaknya
adenin sama dengan banyaknya timin, dan banyaknya guanin sama dengan banyaknya
sitosin. Meskipun aturan pemasangan basa menentukan kombinasi basa nitrogen yang
membentuk “anak tangga” dari heliks ganda, aturan ini tidak membatasi urutan
nukleotida di sepanjang masing-masing untai DNA. Jadi, urutan linear dari keempat
basa ini dapat diubah-ubah dengan cara yang tidak terhingga banyaknya, dan setiap
gen mempunyai urutan yang unik, atau urutan basa.
Pada bulan April 1953, Watson dan Crick menyentak kalangan ilmiah sedunia dengan
satu artikel singkat setebal satu halaman di jurnal Inggris Nature. Artikel tersebut
melaporkan model molekuler mereka untuk DNA: heliks ganda, yang sejak itu
menjadi simbol bologi molekuler. Keindahan model tersebut adalah strukturnya
menunjukkan mekanisme dasar replikasi DNA.
segregasi baru, varietas hibrida dan sintetik unggul baru, serta dalam menentukan
tetua yang digunakan untuk memilih pasangan persilangan baru. Walaupun informasi
dari kelompok heterosis tidak selalu mampu menghasilkan kombinasi
1. Marka (primer) yang terlalu umum, sehingga informasi yang diperoleh kurang akurat.
Marka RAPD bersifat dominan, dalam arti lain band hasil RAPD tidak menunjukkan
perbedaan antara keadaan heterosigos dan homosigos.
2. Terdapat kesulitan untuk memperoleh pola pita yang identik walaupun digunakan
primer dan materi (DNA) yang sama.
3. Pola pita RAPD muncul pada DNA keturunan tetapi tidak muncul pada DNA tetua,
dimana fenomena ini biasa disebut heteroduplex formation. Hal ini mungkin
disebabkan karena reaksi RAPD dipengaruhi oleh persaingan antar primer sites dalam
genom.
4. dapat memberikan hasil yang berbeda-beda apabila diulang, sehingga dianggap
kurang handal (reliable), khususnya bagi keperluan diagnostik, seperti sidik jari DNA
5. Tidak dapat membedakan individu homozigot dan heterozigot karena bersifat sebagai
penanda dominan. Adanya perubahan sekecil apapun dalam reaksi dapat mengubah
jumlah dan intensitas produk amplifikasi sehingga keterulangan sulit untuk
dipertahankan.
6. RAPD mempunyai keterbatasan yaitu tidak dapat membedakan individu homozigot
dan heterozigot karena bersifat sebagai penanda dominan, dan sangat sensitif terhadap
perubahan kondisi reaksi PCR (Arif et al., 2010).
7. RAPD memiliki tingkat reproduksibilitas pola marka dari laboratorium ke
laboratorium berbeda dan memerlukan konsentrasi primer dan kondisi siklus suhu
yang optimal pada saat pengujian (Waugh and Powell, 1992).
1. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam pengelompokan tumbuhan berdasarkan molekuler
adalah sebagai berikut.
1. Marka yang berdasarkan pada hibridisasi DNA seperti restriction fragment length
polymorphism (RFLP)
2. Marka yang berdasarkan pada reaksi rantai polymerase yaitu polymerase chain
reaction (PCR) dengan menggunakan sekuen-sekuen nukleotida sebagai primer,
seperti randomly amplified polymorphic DNA (RAPD) dan amplified fragment length
polymorphism (AFLP)
3. Marka yang berdasarkan pada PCR dengan menggunakan primer yang menggabungkan
sekuen komplementer spesifik dalam DNA target, seperti sequence tagged
sites (STS), sequence characterized amplified regions (SCARs), simple sequence
repeats (SSRs) atau mikrosatelit, dan single nucleotide polymorphisms(SNPs).
5. Analisis Keragaman Genetik Tanaman Jarak Pagar Lokal (Jatropha curcas L.)
Berdasarkan Penanda Molekuler Random Amplified Polymorphic DNA
Maftuchah (2007) menjelaskan keragaman genetik plasma nutfah sangat diperlukan
untuk mendukung program pemuliaan tanaman. Penanda random amplified
polymorphic DNA telah dipergunakan secara luas dalam studi keragaman genetik
tanaman. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendapatkan informasi keragaman
genetik tiga aksesi jarak pagar lokal (Karangtengah, Nusa Tenggara Barat serta
Lamongan) dengan menggunakan penanda molekuler Random Amplified
Polymorophic DNA. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Molekuler Tanaman,
Pusat Pengembangan Bioteknologi -Universitas Muhammadiyah Malang dengan
menggunakan plasma nutfah jarak pagar koleksi Balai Penelitian Tanaman Tembakau
dan Serat, Karangploso – Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 3 aksesi
plasma nutfah jarak pagar yang diamplifikasi dengan menggunakan 14 primer RAPD
(OPA 2, OPA 9, OPA 10, OPA 13, OPA 15, OPA 18, OPA 19, OPA20, OPF 6, OPF
8, OPF 10, OPF 13, OPF 15 dan OPF 18) telah diperoleh total sejumlah 75 pita DNA
pada jarak pagar aksesi Karang tengah, 91 pita pada aksesi Lamongan dan 60 pita
pada aksesi NTB. Pita-pita DNA yang dihasilkan dalam reaksi PCR-RAPD tersebut
bervariasi dengan ukuran antara 200 bp sampai 2642 bp. Pemakaian primer OPA 18
dan OPA 20 memberikan pola pita DNA yang serupa pada ketiga aksesi tanaman jarak
pagar yang diuji. Primer OPA 13, OPA 15, OPA 19 dan OPF 8 tidak memberikan
perbedaan pada pola pita DNA yang dihasilkan dari jarak pagar aksesi Karangtengah
dan aksesi Lamongan, namun pada aksesi NTB diperoleh perbedaan pola pita DNA
yang dihasilkan dibandingkan kedua aksesi lainnya. Hasil analisis kekerabatan
menunjukkan bahwa aksesi Lamongan dan Karangtengah memiliki tingkat
kekerabatan yang lebih dekat (dengan nilai koefisien 0,72) dan kedua aksesi tersebut
memiliki kekerabatan dengan koefisien 0,56 pada aksesi NTB.
1. Saran
Pada makalah ini penulis hanya membahas pengelompokan tumbuhan berdasarkan
aspek fisiologi. Oleh karena itu, disarankan untuk mengembangkan makalah ini
dengan kajian dari aspek lain seperti biokimia, molekuler, dan lain-lain.