Definisi
Snake bite sebagai salah satu kegawatdaruratan medis dan penyebab kematian dan
disabilitas, merupakan luka yang disebabkan oleh gigitan ular baik beracun maupun tidak
beracun . (Warrel, 2010).
Epidemiologi gigitan ular pada Asia Tenggara masih kurang terdata dengan baik,
dikarenakan sebagian besar korban tidak ditangani di rumah sakit, namun di tabib, dukun,
dan pengobatan tradisional yang lain (Warrell, 1992). Hal ini terjadi seperti di Thailand,
“moor glang baan” (dukun Thailand) mengobati 72-393 kasus gigitan ular setiap tahunnya
antara 1985-2002. Pada tahun 1954, Swaroop dan Grab memaparkan bahwa terdapat
500.000 kasus gigitan ular, dengan 30.000 hingga 40.000 kematian setiap tahunnya di
Asia. Pada tahun 1998, Chippaux mempublikasikan bahwa terdapat 5.000.000 kasus
dalam setahun dengan 125.000 kematian setiap tahunnya di Asia. Pada tahun 2008,
Kasturiratne et al. memperkirakan 230.000 hingga 1.200.000 kasus terjadi setiap tahunnya
dengan 15.000-50.000 kasus kematian di Asia Pasifik.
Karakteristik dari korban gigitan ular didominasi oleh laki-laki, dengan umur
dominan adalah anak-anak dan dewasa muda. Prevalensi puncak kasus paling parah
terdapat pada anak-anak dan geriatri. Tempat gigitan terutama di kaki dan pergelangan dari
korban. Korban mendapat gigitan terutama apabila ular tidak sengaja terinjak, bai di
tempat gelap maupun semak-semak.
Patofisiologi
Lebih dari 90% racun ular mengandung protein dimana komposisinya dapat berupa
enzim dan neurotoxin.
A. Enzim
Terdiri dari:
1. zinc metalloproteinase haemorrhagins yang dapat membuat kerusakan pada
endotel vascular dan menyebabkan perdarahan
2. enzim prokoagulan seperti protease dan prokoagulan lain seperti faktor X,
prothrombin serta faktor pembekuan lainnya yang dapat menyebabkan
koagulopati konsumtif
3. Phospholipase A2 / Lecithinase – komponen yang paling tersebar pada berbagai
racun. Komponen ini merusak mitokondria, eritrosit, leukosit, platelet, ujung saraf
perifer, otot skeletal, endotel vascular, memberi efek sedative, serta menginduksi
sekresi dari histamine dan antikoagulan
4. Asetilkolinesterase
5. Hyaluronidase – membuat penyebaran racun antar jaringan
B. Neurotoxin
terdiri dari 2 toksin:
1. presynaptic alpha neurotoxin (alpha-bungarotoxin dan cobrotoxin) yang mengikat
reseptor asetilkolin pada motor endplate
2. presynaptic beta neurotoxin (beta-bungarotoxin, crotoxin, taipoxin) yang
melepaskan asetilkolin pada neuromuscular junction dan merusak ujung syaraf
sehingga menghambat pengeluaran neurotransmitter berikutnya.
Komponen dari toksin ular ini yang membuat dampak pada korban gigitan
mengeluarkan manifestasi-manifestasi klinis mulai dari yang ringan hingga yang
dapat membahayakan nyawa seperti perdarahan yang susah dihentikan.
(Bucheri et al., 1968,1971; Gans, 1978; Menez, 2003, Warrel 2010).
Manifestasi Klinis
luka bekas gigitan (gambar a)
nyeri pada luka bekas gigitan (dapat berupa rasa terbakar maupun tertusuk)
pembengkakan kelenjar getah bening sesuai aliran lokasi gigitan (contoh gigitan pada
tungkai bawah akan menuju region femoral atau inguinal, sedang pada extremitas atas
akan menuju siku daerah epitrochlear atau axilla)
melepuh (gambar c)
nekrosis
chemosis (edema conjunctiva)
Paralisis flasid
4 anamnesa penting:
Untuk identifikasi luka gigitan, tanda-tanda yang sudah muncul (bengkak, kemerahan,
perdarahan, pembesaran kelenjar getah bening) serta luas penyebaran racun ular.
Jika pasien sampai di rumah sakit segera setelah tergigit, manifestasi klinis mungkin
minimal walaupun racun pada pasien sudah banyak. Jika pasien digigit saat tidur,
kemungkinan jenis ular krait; apabila digigit di sawah dan lading, kemungkinan jenis
ular Cobra atau Russel; apabila sedang berkebun, kemungkinan jenis green pit viper;
apabila sedang berenang atau di dalam air, kemungkinan Cobra (air tawar) atau ular
laut (air asin).
Jika ular yang sudah dibunuh dibawa, maka identifikasi ular dapat membantu
menentukan beracun atau tidak.
Tanda awal dari penyebaran racun secara sistemik adalah muntah. Pasien juga dapat
kekurangan fibrinogen dan menjadi trombositopenia sehingga tanda-tanda perdarahan
muncul. Tanyakan pula apakah sudah sempat BAK, dan apa warnanya. Hati-hati
terhadap tanda bahaya.
Tanda bahaya
- Tanda sistemik awal: kolaps (shock, hipotensi), mual, muntah, diare, nyeri kepala
hebat, susah buka mata (kelopak mata terasa berat), ptosis maupun rasa ngantuk yang
tidak sewajarnya
Pemeriksaan fisik
- Pada luka: Tanda-tanda edema pada luka, apakah ada penyebaran ke system limfatik,
nyeri pada luka, melepuh, tanda-tanda pembusukan
- Pemeriksaan umum: ukur tanda-tanda vital pasien, tanda-tanda perdarahan sistemik
Tabel 2. Grading dan klasifikasi gigitan ular beserta tatalaksananya. )Juckett, 2002)
Diagnosis
Pemeriksaan laboratoris sangat berguna untuk menunjang diagnosa dan severitas dari
racun di dalam tubuh pasien. Pemeriksaan ini terdiri dari:
1. 20-minute whole blood clotting test (20WBCT)
Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan dimana saja dengan menggunakan 1
kontainer kaca yang bersih, baru, dan kering.
Cara melakukannya yaitu:
- letakkan 2mL sampel darah vena pada gelas tersebut
- biarkan selama 20 menit pada suhu ruangan
- goyangkan gelas/botol satu kali
- jika setelah 20 menit darah masih belum membeku, maka pasien sedang
mengalami hypofibrinogenemia sebagai hasil dari koagulopati konsumptif akibat
dari racun ular.
- Jangan menggunakan gelas yang sudah dibersihkan dengan detergen karena dapat
menghambat aktifasi faktor XI – faktor Hageman dan tes akan tidak valid.
Gunakanlah pula kontrol darah orang normal sebagai pembanding.
Gambar 2. 20WBCT pada pasien dengan racun ular Papuan taipan yang masih
mengalami perdarahan pada tempat gigitan. Darah pada botol belum membeku
menandakan koagulopati konsumptif.
Diagnosa Banding
o Urtikaria dan Angioedema (urtikaria dan eritrema)
o Anafilaksis
o Trauma vaskular ekstremitas
o DVT (deep vein thrombosis)
o DIC (disseminated intravascular coagulopathy)
o Luka terinfeksi
o Sepsis dan shock sepsis
o Idiopatik Trombositopenia (dari ekimosis, melepuh, serta tanda nekrosis
jaringan)
o GBS (Guillain-Barre Syndrome)
o Myasthenia Gravis
o Botulinism
(Daley, 2017)
Penatalaksanaan
Algoritma tatalaksana
- Tatalaksana awal
- Transport menuju Rumah Sakit
- Assesmen klinis cepat dan resusitasi
- Assesmen klinis detil dan diagnosis spesifik
- Pemeriksaan penunjang
- Terapi Anti Bisa Ular
- Observasi respons serum anti bisa ular
- Menentukan apakah dosis SABU perlu diulang
- Terapi supportif
- Terapi area tergigit
- Rehabilitasi
- Terapi komplikasi
b. Pemberian SABU
Indikasi pemberian sabu sesuai dengan grading dan klasifikasi
gigitan yang telah dibahas di atas.
1) Metode iv push injection – SABU beku yang diencerkan atau
SABU cair diberikan dengan IV pelan (tidak lebih dari 2 ml/ menit)
2) Metode iv infusion – SABU beku yang diencerkan atau SABU cair
didilusikan dalam 5-10 mL cairan isotonic per Kg BB (contoh 250-
500 mL normal saline pada orang dewasa) dan diinfuskan dengan
kecepatan konstan dalam 1 jam.
Pemberian SABU pada anak dan dewasa jumlahnya sama, karena ular
menginjeksikan racun dalam jumlah sama pada anak dan dewasa.
Edukasi
Edukasi yang dapat diberikan kepada pasien yaitu
Gigitan ular dapat menimbulkan gejala yang mengancam nyawa, oleh karena
itu lain kali hati-hati dan menggunakan alat pelindung diri apabila akan
melakukan kegiatan di ruang terbuka.
Menghindari obat-obatan seperti aspirin atau ibuprofen yang dapat
mempengaruhi platelet dan meningkatkan risiko pendarahan.
Lindungi luka dari air dan sentuhan agar tidak infeksi
Menjelaskan cara Identifikasi ular yang berbisa
-
Manifestasi klinis dari gigitan ular sangatlah bervariasi mulai dari bengkak, nyeri, perdarahan
ringan, hingga terjadinya rhabdomyolysis, efek neurotoksin, serta shock. Manifestasi klinis
ini dipengaruhi dari kandungan toksin ular yang menggigit. Maka dari itu apabila mungkin,
perlu dilakukan identifikasi spesies ular yang menggigit. Diagnosis gigitan ular dapat
dilakukan dengan melihat luka bekas gigitan dan tanda-tanda sistemik, kemudian ditunjang
dengan hasil laboratorium terutama faal koagulasi. Tatalaksana awal di tempat kejadian, cara
membawa pasien, serta tatalaksana di rumah sakit perlu dilakukan secara sistematis. Dari hal
ini kita dapat mempelajari apabila ditemukan suatu kasus gigitan ular dan cara menanganinya
secara sistematis untuk mencegah morbiditas dan mortalitas pasien.
DAFTAR PUSTAKA