Anda di halaman 1dari 15

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam berdarah Dengue atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) merupakan
penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi salah satu dari
empat tipe virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot, dan atau nyeri
sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diathesis
hemoragik. Pada demam berdarah dengue terjadi perembesan plasma yang ditandai
dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh (WHO, 2010).
Infeksi virus dengue dapat menyebabkan Dengue Fever (DF), Dengue
Haemorrhagic Fever (DHF), dan Dengue Shock Syndrome (DSS). Infeksi dengue
dijumpai sepanjang tahun dan meningkat pada musim hujan. Demam berdarah dengue
merupakan penyakit infeksi yang masih menimbulkan masalah kesehatan. Hal ini
masih disebabkan oleh karena tingginya angka morbiditas dan mordalitas dan
mortalitas (Depkes, 2010).

B. Etiologi
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh
nyamuk. Virus dengue ini termasuk kelompok B Arthropod Virus (Arbovirus) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus dari famili Flaviviride, dan mempunyai 4
jenis serotipe yang dapat menyebabkan penyakit demam berdarah yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Gejala demam berdarah baru muncul saat seseorang
yang pernah terinfeksi oleh salah satu dari empat jenis virus dengue mengalami
infeksi oleh jenis virus dengue yang berbeda. Hal ini disebabkan infeksi dari salah
satu serotipe menimbulkan antibodi terhadap virus yang bersangkutan, sedangkan
antibodi yang terbentuk untuk serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat
memberikan perlindungan terhadap serotipe lain (Kristina dkk, 2004).
Sistem imun yang sudah terbentuk di dalam tubuh setelah infeksi pertama justru
akan mengakibatkan kemunculan gejala penyakit yang lebih parah saat terinfeksi
untuk kedua kalinya. Seseorang dapat terinfeksi oleh sedikitnya dua jenis virus
dengue selama masa hidup, namun jenis virus yang sama hanya dapat menginfeksi

1
satu kali akibat adanya sistem imun tubuh yang terbentuk (Kristina dkk, 2004).
Virus dengue dapat masuk ke tubuh manusia melalui gigitan vektor pembawanya,
yaitu nyamuk dari genus Aedes seperti Aedes aegypti betina dan Aedes albopicus.
Aedes aegypti adalah vektor yang paling banyak ditemukan menyebabkan penyakit
ini. Nyamuk dapat membawa virus dengue setelah menghisap darah orang yang telah
terinfeksi virus tersebut. Sesudah masa inkubasi virus di dalam nyamuk selama 8-10
hari, nyamuk yang terinfeksi dapat mentransmisikan virus dengue tersebut ke manusia
sehat yang digigitnya. Nyamuk betina juga dapat menyebarkan virus dengue yang
dibawanya ke keturunannya melalui telur atau transovarial (Vorvick, 2010)

C. Patogenesis
Patogenesis demam berdarah dengue ( DBD ) dibedakan menjadi dua teori yaitu
teori rantai virulensi dari virus dengue (DEN-1, -2, -3, and -4) dan teori yang
berhubungan dengan respon imunitas host. Teori rantai virulensi dari virus dengue
dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti, yang merupakan vektor transmisi utama penyakit
dengue. Aedes aegypti berkembang biak di tempat penyimpanan air pada sanitasi
yang buruk. Musim hujan merupakan musim yang ideal untuk larva dan lingkungan
yang tepat untuk nyamuk bertelur. Siklus hidup dimulai ketika nyamuk betina Aedes
aegypti menghisap darah dari manusia yang telah terinfeksi virus dengue. Di dalam
sistem pencernaan nyamuk Aedes aegypti, virus bereplikasi selama 8 sampai 12 hari.
Proses ini merupakan periode inkubasi ekstrinsik. Ketika nyamuk yang telah
terinfeksi menghisap kembali, dia akan mentransmisikan virus kepada manusia lain
melalui injeksi cairan ludahnya. Ketika virus telah masuk ke dalam tubuh manusia,
virus akan bereplikasi pada organ target dan akan beredar dalam darah. Proses ini
merupakan periode inkubasi intrinsik. Gejala muncul pada 3 sampai 14 hari setelah
inokulasi dan mungkin bertahan sampai 7 hari atau lebih (Candra, 2010).
Teori lain menyebutkan demam berdarah dengue (DBD) dimediasi oleh respon
imun host termasuk antibodi. Antibodi yang terbentuk saat infeksi dengue adalah IgG
yang berfungsi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit. Pada saat ini
dikenal 2 jenis tipe antibodi yaitu antibodi neutralizing yang tidak dapat memacu
replikasi virus dan antibodi non-neutralizing virus dengue yang meningkatkan
replikasi virus. Antibodi non-neutralizing kurang menetralisir aktivitas yang diinduksi
pada infeksi primer dan infeksi sekunder oleh serotipe virus dengue yang berbeda dan
membentuk kompleks antibodi virus yang berikatan dengan reseptor pada sel target

2
yaitu sel fagosit seperti makrofag, monosit dan sel kupfer dan mengakibatkan
peningkatan infeksi virus dengue.
Peningkatan infeksi virus dengue oleh antibodi non-neutralizing disebabkan
antibodi non-neutralizing terbentuk pada infeksi primer dan membentuk kompleks
imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi virus. Antibodi non-
neutralizing yang bebas dalam sirkulasi maupun melekat pada sel, bertindak sebagai
reseptor spesifik untuk melekatkan virus dengue pada permukaan sel fagosit.
Mekanisme ini merupakan mekanisme aferen. Selanjutnya sel monosit yang
mengandung kompleks imun akan menyebar ke usus, hati, limpa dan sumsum tulang.
Mekanisme ini disebut mekanisme eferen.
Terdapat penurunan kadar serum komplemen dikarenakan adanya aktivasi sistem
komplemen dan bukan karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen.
Aktivasi ini menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang dapat menstimulasi sel
mast untuk melepaskan histamine dan sebagai mediator kuat untuk peningkatan
permeabilitas kapiler, penurunan volume plasma dan syok hipovolemik. Komplemen
bereaksi dengan epitop virus di sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T
sehingga mengakibatkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok
dan perdarahan. Komplemen berinteraksi dengan monosit mengeluarkan substansi
sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon gamma dan
interleukin (IL-2 dan IL-1) yang meningkatkan permeabilitas kapiler. Mekanisme ini
disebut mekanisme efektor.
Nilai trombosit saat fase demam pada DBD mengalami penurunan dan mencapai
nilai terendah pada fase syok. Trombositopenia dihubungkan dengan meningkatnya
megakariosit muda dalam sumsum tulang dan masa hidup trombosit yang pendek
mengakibatkan dektruksi trombosit meningkat. Faktor yang menyebabkan
peningkatan dekstruksi trombosit adalah virus dengue, komponen aktif sistem
komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah.
Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit menjadi penyebab utama perdarahan
pada penyakit DBD (Candra, 2010).

D. Perjalanan Penyakit
Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit infeksi dengue, yaitu:
1. Fase demam: viremia menyebabkan demam tinggi
2. Fase kritis/perembesan plasma: onset mendadak adanya perembesan

3
plasma dengan derajat bervariasi pada efusi pleura dan asites
3. Fase recovery/convalescence: perembesan plasma mendadak berhenti
disertai reabsorpsi cairan dan ekstravasasi plasma (Suhendro, 2009)

Perjalanan penyakit infeksi dengue

E. Diagnosis
Demam dengue ditandai oleh gejala-gejala klinik berupa demam, tanda-tanda
perdarahan, hepatomegali, dan syok. Gejala-gejala tersebut yaitu demam tinggi yang
mendadak, berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari, dan demam naik turun
(demam bifasik). Pada beberapa kasus terjadi peningkatan suhu tubuh yang sangat
tinggi hingga 40o C dan dapat terjadi kejang demam. Akhir fase demam merupakan
fase kritis pada demam berdarah dengue. Pada saat fase demam sudah mulai menurun
dan pasien seakan sembuh, hati-hati karena fase tersebut dapat menjadi pertanda awal
kejadian syok, biasanya pada hari ketiga demam (Hadinegoro, 2005).
Gejala klinik dari masing-masing dengue fever (DF), dengue haemorrhagic
fever (DHF), dan dengue shock syndrome (DSS) dapat dibedakan seperti dijelaskan di
bawah ini:
1) Dengue Fever
Gejala klinis dari Demam Dengue dapat berbeda tergantung usia dari
pasien. Pada bayi dan anak usia muda mungkin menunjukkan demam yang
tidak spesifik, sedangkan pada anak - anak yang lebih tua mungkin

4
menunjukkan demam yang lebih ringan atau gejala klasik. Gejala klasik
dari demam dengue antara lain demam tinggi mendadak, kadang kadang
pola bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola
mata, nyeri otot, tulang, sendi, mual, muntah dan timbul ruam (WHO,
2005). Ruam ini dapat berbentuk makulopapular yang biasa timbul pada
awal timbulnya gejala (1 - 2 hari) kemudian menghilang tanpa bekas dan
selanjutnya timbul ruam merah halus (hari ke 6 atau 7) terutama di daerah
kaki, telapak kaki dan tangan. Selain itu dapat juga ditemukan petekia.
Dari pemeriksaan darah dapat dijumpai leukopeni dan kadang
trombositopeni. Masa penyembuhan dapat disertai rasa lesu
berkepanjangan, terutama pada usia dewasa (Depkes RI, 2007). Pada
keadaan wabah dilaporkan adanya demam dengue yang disertai dengan
perdarahan seperti epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna,
hematuri dan menoragi. Keadaan demam dengue dengan perdarahan ini
harus dibedakan dengan demam berdarah dengue, karena pada demam
dengue tidak dijumpai adanya kebocoran plasma yang dapat dibuktikan
dengan adanya hemokonsentrasi, pleural efusi dan asites.
2) Dengue Hemorrhagic Fever
Gejala klasik dari demam berdarah dengue ditandai dengan 4
manifestasi klinis utama yaitu demam tinggi, perdarahan, terutama
perdarahan kulit dan seringkali disertai pembesaran hati (hepatomegali)
dan kegagalan peredaran darah. Keluhan lain seperti anoreksia, nyeri
kepala, otot, tulang dan sendi, serta mual dan muntah sering ditemukan.
Biasanya juga ditemukan nyeri perut di epigastrium dan dibawah tulang
iga. Pada beberapa penderita kadang mengeluh nyeri telan dengan faring
hiperemis saat dilakukan pemeriksaan, namun jarang didapatkan batuk –
pilek (Depkes RI, 2007). Bentuk perdarahan yang paling sering ditemukan
adalah pada uji tourniquet, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas
suntikan intravena atau bekas pengambilan darah. Umumnya ditemukan
petekie halus yang tersebar didaerah ekstremitas, aksila, wajah dan
palatum mole pada fase awal demam. Epistaksis, perdarahan pada gusi,
dan perdarahan pada saluran cerna kadang ditemukan pada fase demam.
Hati biasanya membesar dengan perabaan mulai dari hanya teraba sampai
2 - 4 cm di bawah arcus costae kanan. Fenomena patofisiologi utama yang

5
membedakan DBD dari DD adalah meningkatnya permeabilitas dinding
pembuluh darah, menurunnya volume plasma, hipotensi, trombositopenia,
peningkatan hematokrit (hemokonsentrasi), dan hipoproteinemia. Masa
krisis terjadi pada akhir fase demam, dimana terjadi penurunan suhu tiba -
tiba yang seringkali disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi
beratnya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan terjadi perubahan
minimal dan hanya sementara, sedangkan pada kasus berat penderita dapat
mengalami syok.
3) Dengue Shock Syndrome
Syok biasanya terjadi saat atau segera setelah demam turun, yaitu
antara hari ke 3 - 7. Penderita awalnya nampak letargi atau gelisah,
kemudian jatuh dalam keadaan syok yang ditandai dengan kulit dingin,
lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat lemah, tekanan nadi < 20 mmHg
dan hipotensi. Kebanyakan pasien masih sadar walaupun sudah mendekati
stadium akhir. Dengan diagnosis dini dan penggantian cairan yang adekuat
biasanya syok dapat teratasi, namun bila terlambat dapat menimbulkan
penyulit lainnya yang dapat memperburuk prognosis. Penyulit lainnya
antara lain: asidosis metabolik, perdarahan hebat saluran cerna, infeksi
(pneumonia, sepsis, phlebitis), over hidrasi, gagal hati (Hadinegoro, 2005).
Dari fase klinis yang telah disampaikan diatas pada beberapa kasus gejala
yang timbul cukup ringan dan membaik tanpa perlu dirawat. Bahkan pada beberapa
kasus yang berat perawatan intensif sangat diperlukan.

6
Derajat DHF berdasarkan klasifikasi WHO 2011

F. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis DHF adalah (Widoyono, 2011):
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung
jenis, hematokrit dan trombosit. Antigan NS1 dapat dideteksi pada
hari ke-1 setelah demam dan akan menurun sehingga tidak
terdeteksi seteah hari sakit ke 5-6. Deteksi antigen virus ini dapat
digunakan untuk diagnosis awal menentukan adanya infeksi
dengue, namun tidak dapat membedakan penyakit DF/DHF.
b. Uji serologi IgM dan IgG anti dengue
i. Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari ke-5
sakit dan mencapai puncaknya pada hari ke 10- 14,
selanjutnya akan menurun/menghilang pada akhir minggu
keempat sakit.
ii. Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat
terdeteksi pada hari sakit ke-14 dan menghilang setelah 6

7
bulan dampai 4 tahun. Sedangkan pada infeksi sekunder
IgG anti dengue akan terdeteksi pada hari sakit ke-2.
iii. Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi
primer dan infeksi sekunder. Apabila rasio IgM:IgG > 1,2
menunjukkan infeksi primer, namun apabila IgM:IgG rasio
< 1,2 menunjukkan infeksi sekunder.

Interpretasi uji serologi IgM dan IgG pada infeksi dengue

2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus
dilakukan atas indikasi:
a. Distres pernafasan/sesak
b. Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa
kelainan radiologis terjadi bila perembesan plasma telah mencapai
20-40%
c. Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk
menilai edema paru karena overload pemberian cairan
d. Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru
terutama daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak
dibandingkan yang kiri, dan efusi pleura.
G. Diagnosis banding
Selama fase akut penyakit, sulit untuk membedakan DHF dari demam dengue
dan penyakit virus lain yang ditemukan di daerah tropis. Maka untuk membedakan
dengan campak, rubela, demam chikungunya, leptospirosis, malaria, demam tifoid,

8
perlu ditanyakan gejala penyerta lainnya yang terjadi bersama demam. Pemeriksaan
laboratorium diperlukan sesuai indikasi. Sedangkan penyakit darah seperti ITP,
leukemia, dan anemia aplastik dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium darah
tepi lengkap disertai pemeriksaan pungsi sumsum tulang apabila diperlukan. Selain
itu, penyakit infeksi lain seperti sepsis dan meningitis juga perlu dipikirkan apabila
penderita mengalami demam disertai syok (Suhendro, 2009).

H. Penatalaksanaan

Jalur triase kasus curiga infeksi dengue

1. Fase demam
a. Medikamentosa
Terapi medikamentosa yang dapat diberikan seperti
antipiretik dan antibiotik. Kortikosteroid diberikan pada DBD
ensefalopati jika tidak ada perdarahan saluran cerna. Diusahakan
untuk tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (seperti
antasida maupun antiemetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi
obat dalam hati.
b. Supportif
Dapat diberikan cairan peroral dan cairan intravena rumatan
per hari + 5% defisit yang diberikan untuk 48 jam atau lebih.

9
Kecepatan cairan IV sendiri disesuaikan dengan kecepatan
kehilangan plasma, sesuai keadaan klinis, tanda vital, diuresis, dan
hematokrit.
c. Tanda kegawatan (Warning signs)
Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase perjalanan
penyakit infeksi dengue, seperti berikut:
- Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama
masa transisi ke fase bebas demam sejalan dengan proses
penyakit
- Muntah yang menetap, tidak mau minum
- Nyeri perut hebat
- Letargi dan/atau gelisah, perubahan tingkah laku mendadak
- Perdarahan: epistaksis, BAB hitam, hematemesis, menstruasi
yang hebat, warna urin gelap (hemoglobinuria)/ hematuria.
- Giddiness (pusing/perasaan ingin terjatuh)
- Pucat, akral dingin dan lembab
- Diuresis kurang/tidak ada dalam 4-6 jam
d. Prinsip umum terapi cairan pada DBD
Sebelumnya perlu diketahui indikasi pemberian cairan
intravena yaitu pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk
cairan per oral atau muntah, hematokrit meningkat 10-20%
meskipun dengan rehidrasi oral, dan didapatkan ancaman syok atau
dalam keadaan syok. Adapun prinsip umum terapi cairan pada
pasien DBD sebagai berikut:
- Kristaloid isotonik harus digunakan selama masa kritis
- Cairan koloid diguakan pada pasien dengan perembesan plasma
hebat dan tidak ada respon pada minimal volume cairan kristaloid
yang diberikan
- Volume cairan rumatan + dehidrasi 5% harus diberikan untuk
menjaga volume dan cairan intravaskular yang adekuat
- Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan dengan keadaan
klinis
- Pemeriksaan laboratorium baik pada kasus syok maupun non
syok saat tidak ada perbaikan klinis walaupun penggantian

10
volume sudah cukup, maka perhatikan ABCS yang terdiri dari A
– Acidosis: gas darah, B – Bleeding: hematokrit, C – Calcium:
elektrolit, Ca++ dan S – Sugar: gula darah.
2. Fase kritis
Pada fase kritis pemberian cairan sangat diperlukan yaitu
kebutuhan rumatan + defisit, disertai monitor keadaan klinis dan
laboratorium setiap 4-6 jam.

Tata laksana DBD dengan syok (DSS)

Pada DBD dengan syok berkepanjangan (DBD derajat IV)


penanganan yang dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Cairan: 20 ml/kg cairan bolus dalam 10-15 menit, bila tekanan
darah sudah didapat, cairan selanjutnya sesuai dengan algoritma
pada derajat III
b. Bila syok belum teratasi: setelah 10 ml/kg pertama diulang 10
ml/kg, dapat diberikan bersama koloid 10-30 ml/kgBB secepatnya
dalam 1 jam dan koreksi hasil laboratorium yang tidak normal
c. Transfusi darah segera dipertimbangkan sebagai langkah
selanjutnya (setelah review hematokrit sebelum resusitasi)
d. Monitor ketat (pemasangan kateterisasi urin, kateterisasi pembuuh
darah vena pusat/jalur arteri)
e. Inotropik dapat digunakan untuk mendukung tekanan darah

11
Apabila jalur intravena tidak didapatkan segera, dapat diberikan
cairan elektrolit per oral bila pasien sadar atau lewat jalur intraoseus. Jalur
intraosesus dilakukan dalam keadaan darurat atau setelah dua kali
kegagalan mendapatkan jalur vena perifer atau setelah gagal pemberian
cairan melalui oral. Cairan intraosesus harus dikerjakan secara cepat dalam
2-5 menit.
3. Fase penyembuhan
Pada fase penyembuhan diperlukan cairan rumatan atau cairan oral,
serta monitor tiap 12-24 jam. Pasien dapat dipulangkan dengan indikasi
sebagai berikut:
a. Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik
b. Nafsu makan telah kembali
c. Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan,
dan nadi teratur
d. Diuresis baik
e. Minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok
f. Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites
g. Trombosit > 50.000/mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi,
pada umumnya jumlah trombosit akan meningkat ke nilai
normal dalam 3-5 hari (Karyanti, 2014).

I. Pencegahan
Terjadinya DBD di Indonesia berhubungan dengan berbagai faktor risiko,
yaitu: 1) Lingkungan yang masih kondusif untuk terjadinya tempat perindukan
nyamuk Aedes; 2) Pemahaman masyarakat yang masih terbatas mengenai pentingnya
pemberantasan sarang nyamuk (PSN) 3M Plus; 3) Perluasan daerah endemik akibat
perubahan dan manipulasi lingkungan yang etrjadi karena urbanisasi dan
pembangunan tempat pemukiman baru; serta 4) Meningkatnya mobilitas penduduk.
Dalam penanganan DBD, peran serta masyarakat untuk menekan kasus ini
sangat menentukan. Oleh karenanya program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
dengan cara 3M Plus perlu terus dilakukan secara berkelanjutan. Program PSN, yaitu:
1) Menguras, adalah membersihkan tempat yang sering dijadikan tempat
penampungan air seperti bak mandi, ember air, tempat penampungan air minum,
penampung air lemari es dan lain-lain; 2) Menutup, yaitu menutup rapat-rapat tempat-

12
tempat penampungan air seperti drum, kendi, dan lain sebagainya; dan 3)
Memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang bekas yang memiliki potensi
untuk jadi tempat perkembangbiakan nyamuk penular Demam Berdarah. Adapun
yang dimaksud dengan 3M Plus adalah segala bentuk kegiatan pencegahan seperti 1)
Menaburkan bubuk larvasida pada tempat penampungan air yang sulit dibersihkan; 2)
Menggunakan obat nyamuk atau anti nyamuk; 3) Menggunakan kelambu saat tidur;
4) Memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk; 5) Menanam tanaman pengusir
nyamuk, 6) Mengatur cahaya dan ventilasi dalam rumah; dan 7) Menghindari
kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah yang bisa menjadi tempat istirahat
nyamuk.
PSN perlu ditingkatkan terutama pada musim penghujan dan pancaroba,
karena meningkatnya curah hujan dapat meningkatkan tempat-tempat
perkembangbiakan nyamuk penular DBD, sehingga seringkali menimbulkan kejadian
luar biasa (KLB) terutama pada saat musim penghujan (Kemenkes RI, 2016).

J. Pembahasan

Teori Kasus
Tanda dan gejala
Manifestasi yang dapat ditemukan dapat Berdasarkan anamnesis yang dilakukan
bervariasi tergantung derajat penyakit, pada pasien, didapatkan keluhan demam
diantaranya demam tinggi mendadak selama 6 hari, nyeri kepala, nyeri otot,
berlangsung selama 2-7 hari, nyeri dan mual.
kepala, nyeri belakang bola mata, nyeri
otot, tulang, sendi, mual, muntah dan
timbul ruam.
Pemeriksaan fisik
Dilakukan pemeriksaan tanda vital untuk Saat datang ke IGD RSIS, tanda –tanda
mengetahui apakah penderita jatuh ke vital pasien sudah stabil. Ditemukan
dalam kondisi syok. Selain itu perlu manifestasi perdarahan spontan pada
diperhatikan adanya manifestasi pasien yaitu ptekie (+) dan perdarahan
perdarahan baik spontan maupun tidak, gusi (+). Tidak ditemukan efusi pleura
dan tanda-tanda kebocoran plasma seperti maupun ascites.

13
efusi pleura maupun ascites.
Pemeriksaan penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang Pada pasien dilakukan pemeriksaan
dapat dilakukan yaitu pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil
laboratorium: 1) darah perifer lengkap, trombositopenia (trombosit: 33.000) dan
didapatkan trombositopenia dan peningkatan hematokrit (HCT: 50%).
peningkatan hematokrit, 2) uji serologi, Sementara dari hasil foto thorax tidak
IgM dan IgG anti dengue atau NS1, selain ditemukan kelainan.
itu juga dapat dilakukan pemeriksaan
radiologis untuk melihat adanya tanda
kebocoran plasma.
Diagnosis
Berdasarkan derajatnya dibagi menjadi Hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
Dengue Fever dan Dengue Haemorrhagic penunjang sesuai dengan diagnosis DHF
Fever grade I - IV grade II
Tatalaksana
Berupa terapi medikamentosa (antipiretik, Awalnya pasien berada di fase kritis (saat
antibiotik, dan simptomatik lain) dan di PKM Sedayu) dibuktikan dengan hasil
suportif (cairan rumatan). pemeriksaan fisik hipotensi 70/50
Penatalaksanaan harus sesuai dengan fase sehingga sudah dilakukan
perjalanan penyakit DBD sendiri yang penatalaksanaan awal (loading cairan) di
dibagi menjadi 3 fase yaitu fase demam, PKM. Ketika datang ke IGD RSIS, fase
fase kritis, dan fase penyembuhan. kritis sudah terlewati, tensi sudah naik
menjadi 110/90 meskipun dari hasil lab
didapatkan trombositopenia. Oleh karena
itu di RSIS pasien diberikan terapi
rumatan dan medikamentosa (injeksi
Antrain 3x1, Ceftriaxone 2x1, dan
Ondansetron 2x8mg), serta dilakukan
monitor ketat untuk mengantisipasi
terjadinya perburukan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Candra, A. 2010. Demam berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko
Penularan. Aspirator Vol. 2 No. 2 hal 110-119.

Depkes RI. 2010. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue. Jakarta:
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Hadinegoro SR, Satari HI. 2005. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis
Anak & Dokter Spesialis 
Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


Karyanti, MR. 2014. Diagnosis dan Tata Laksana Terkini Dengue. Diakses di
https://humasidikabbekasi.files.wordpress.com/2014/05/pit1_diagnosis-dan-
tatalaksana-dbd-terkini.pdf tanggal 16 April 2018.

Kemenkes RI. 2016. Kendalikan DBD dengan PSN 3M Plus. Diakses di


http://www.depkes.go.id/article/view/16020900002/kendalikan-dbd-dengan-psn-3m-
plus.html tanggal 17 April 2018.

Kristina, Isminah, Leny Wulandari. 2004. Demam Berdarah Dengue. Diakses dari
http://www.litbang.depkes.go.id/maskes/052004/demamberdarah1.htm tanggal 15
April 2018.

Suhendro, dkk. 2009. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia.

Vorvick, L. 2010. Dengue Haemorrhagic Fever. Diakses di


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC88892/ tanggal 15 April 2018

Widoyono. 2011. Penyakit Tropis tentang Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &


Pemberantasannya. Edisi II. Jakarta: Erlangga.

World Health Organization. 2010. Handbook for Clinical Management of Dengue. Diakses
dari http://www.who.int/rpc/guidelines/9789241547871/en/ tanggal 15 April 2018.

15

Anda mungkin juga menyukai