Tujuan
Mahasiswa mampu melakukan identifikasi senyawa golongan flavonoid dalam
tanaman.
Tanaman jambu biji (Psidium guajava Linn) bukan merupakan tanaman asli
Indonesia. Tanaman ini pertama kali ditemukan di Amerika Tengah oleh Nikolai Ivanovich
Vavilov saat melakukan ekspedisi ke beberapa negara di Asia, Afrika, Eropa, Amerika
Selatan, dan Uni Soviet antara tahun 1887-1942. Seiring dengan berjalannya waktu, jambu
biji menyebar di beberapa negara seperti Thailand, Taiwan, Indonesia, Jepang, Malaysia,
dan Australia (Parimin, 2005). Jambu biji merupakan tumbuhan perdu dengan tinggi 5-10
m, batang berkayu, kulit batang licin, mengelupas, bercabang, dan berwarna cokelat.
Merupakan daun tunggal, berbentuk bulat telur, ujung tumpul, pangkal membulat, tepi rata
berhadapan, petulangan daun menyirip berwarna hijau kekuningan. Bunganya termasuk
bunga tunggal, terletak di ketiak daun, bertangkai, kelopak bunga berbentuk corong.
Mahkota bunga berbentuk bulat telur dengan panjang 1,5 cm, benang sari pipih berwarna
putih atau putih kekuningan. Berbuah buni, berbentuk bulat telur, dan bijinya kecil-kecil dan
keras (Parimin, 2005). Di berbagai daerah buah ini memiliki nama-nama khas tersendiri
seperti Sumatera: glima breueh (Aceh), galiman (Batak Karo), masiambu (Nias), biawas,
jambu krutuk, jambu krikil, jambu biji, jambu klutuk (Melayu). Jawa: jambu klutuk (Sunda),
hambu bhender (Madura). Sotong (Bali), guawa (Flores), goihawas (Sika). Sulawesi:
gayawas (Manado), dambu 16 (Gorontalo), jambu paratugala (Makasar). Maluku: luhu hatu
(Ambon), gayawa (Ternate, Halmahera) (Hapsoh dan Hasanah, 2011).
Kandungan kimia pada tumbuhan jambu biji pada buah mengandung vitamin C,
vitamin A, zat besi, kalsium dan fosfor. Kandungan vitamin C buah jambu biji lima kali
lebih banyak dibandingkan jeruk. Buah jambu biji mengandung saponin dengan oleanolic,
Morin-3-O-α-Llyxopyranoside dan morin-3-O-α-L-arabopyraoside dan flavonoid,
guaijavarin (BPOM, 2008). Kulit buah terutama mengandung 56-600mg asam askorbatn
(Kumar, 2012). Sedangkan pada daun jambu biji banyak mengandung senyawa aktif seperti
alkaloid, saponin, tannin, minyak atsiri, flavonoid, dan polifenol (Dalimartha, 2006).
Dilaporkan bahwa senyawa seperti phenolic, terpenoid, flavonoid, dan alkaloid memilki
aktivitas juvenil hormone sehingga memiliki pengaruh pada perkembangan serangga
(Elimamet al., 2009).
4. Biflavonoid
Biflavonoid adalah flavonoid dimer dimana yang biasa terlibat di sini
adalah flavon dan flavanon yang secara biosintesis mempunyai pola oksigenasi
yang sederhana 5,7,4’ (kadang-kadang 5,7,3’,4’) dan ikatan dan ikatan antar
flavonoidnya berupa ikatan karbon-karbon atau kadang-kadang ikatan eter
(Gerger & Quinn, 1975). Monomer flavonoid yang digabungkan menjadi
biflavonoid dapat berjenis sama atau berbeda, dan 9 letak ikatan berbeda-beda.
Jenis ikatan karbon-karbon yang lebih sering ditemukan ialah ikatan 6,8’’(gol.
Agatisflavon), ikatan 8,8’’ (gol. Kupresuflavon), ikatan 6,3’’’(gol.
Robustaflavon) dan ikatan 3,8’’. Jenis ikatan eter ialah ikatan 6,4’’’(gol.
Hinokiflavon) dan ikatan 3’,4’ (gol. Oknaflavon). Banyak sifat-sifat
biflavonoid yang sifatnya sama dengan sifat monoflavonoid pembentuknya
(spektrum UV-Vis, Uji Warna, dll, sehingga sukar untuk dikenali tapi KLT
dapat membedakan monomer dan dimer dengan jelas dan dapat dipastikan
dengan cara peleburan basa atau dengan spektroskopi massa. Biflavonoid
jarang ditemukan sebagai glikosida dan penyebarannya terbatas pada
gimnospermae.
a. Fase Diam
Fase diam berupa lapis tipis yang terdiri atas bahan padat atau serbuk halus
yang dilapiskan pada permukaan yang biasanya terbuat dari kaca, tetapi dapat
pula terbuat dari pelat polimer atau logam. Lapisan melekat permukaan dengan
bantuan bahan pengikat. Biasanya kalsium sulfat atau amilum (pati). Pada
umumnya sebagai fase diam digunakan silica gel (Sudjadi, 1988).
b. Fase Gerak
Fase gerak merupakan medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa
pelarut. Pelarut tersebut bergerak di dalam fase diam, yang merupakan lapisan
berpori, karena ada gaya kapiler. Pelarut tersebut bergerak di dalam fase diam
yaitu suatu lapisan berpori, karena ada gaya kapiler. Pelarut yang digunakan
adalah pelarut yang bertingkat mutu analitik, jika menggunakan sistem pelarut
20 multi maksimum tiga komponen. Angka banding campuran dalam fase gerak
dinyatakan dalam bagian volume tertentu sehingga volume total adalah 100
(Stahl,1985).
Pada kromatografi adsorbsi, pelarut pengembang dapat dikelompokkan ke
dalam eluotropik berdasarkan efek elusinya. Efek elusi akan meningkat sesuai
kenaikan kepolaran pelarut. Sebagai contoh pelarut yang biasa digunakan pada
KLT adalah n-heksana, heptana, sikloheksana, karbontetraklorida, benzena,
kloroform, eter, etil asetat, piridin, aseton, etanol, metanol dan air (Stahl, 1985).
Pada kromatografi lapis tipis, lempeng dimasukkan ke dalam bejana untuk
proses pemisahan. Bejana harus tertutup rapat. Lalu dilakukan penjenuhan
bejana dengan memasukkan secarik kertas saring bersih pada dinding sebelah
dalam bejana (Stahl,1985), sehingga atmosfer didalam bejana jenuh dengan fase
pelarut setelah seluruh kertas terbasahi (Harborne,1987).
Tingkat kejenuhan bejana dengan uap pelarut pengembang mempunyai
pengaruh yang nyata pada pemisahan dan letak bercak yang terbentuk pada
bejana yang dijenuhkan sempurna dengan pengembang (Stahl,1985). Lalu
dilakukan penotolan. Peno tolan biasanya dilakukan dengan memakai kapiler
kaca atau pipa kapiler, tetapi dapat pula dilakukan dengan alat otomatis. Pelarut
dibiarkan menguap atau dihilangkan dengan aliran udara kering atau nitrogen
(Sastrohamidjojo,1991). Pengembangan adalah proses pemisahan campuran
cuplikan akibat pelarut pengembangan merambat naik dalam lapisan. Tingkat
kejenuhan bejana dengan 21 kapasitas pelarut pengembangan memiliki
pengaruh yang nyata pada pemisahan dan letak bercak pada kromatogram
(Stahl,1985).
c. Penotolan Sampel
Untuk memperoleh roprodusibilitas, volume sampel yang ditotolkan paling
sedikit 0,5 μl. Jika volume sampel yang ditotolkan lebih besar dari 2-10 μl, maka
penotolan harus dilakukan secara bertahap dengan dilakukan pengeringan antar
totolan (Gandjar & Rohman, 2007).
d. Pengembangan
Bila sampel telah ditotolkan maka tahap selanjutnya adalah mengembangkan
sampel dalam bejana kromatografi yang sebelumnya telah dijenuhi dengan uap
fase gerak. Tepi bagian bawah lempeng tipis yang telah ditotoli sampel
dicelupkan kedalam fase gerak kurang lebih 0,5-1 cm. Tinggi fase gerak dalam
bejana harus dibawah lempeng yang telah berisi totolan sa mpel.
Bejana kromatografi harus tertutup rapat dan sedapat mungkin volume fase
gerak sedikit mungkin, akan tetapi harus mampu mengelusi lempeng sampai
ketinggian lempeng yang telah ditentukan. Untuk melakukan penjenuhan fase
gerak, biasanya bejana dilapisi dengan kertas saring. Jika fase gerak telah
mencapai ujung dari kertas saring, maka dapat dikatakan bahwa fase gerak telah
jenuh (Gandjar & Rohman, 2007).
e. Deteksi Bercak
Deteksi bercak pada KLT dapat dilakukan secara kimia dan fisika. Cara kimia
yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi
melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang
dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan cara pencacahan
radioaktif dan fluorosensi sinar ultraviolet. Fluorosensi sinar ultraviolet terutama
untuk senyawa yang dapat berfluorosensi, membuat bercak akan terlihat jelas
(Gandjar & Rohman, 2007).
b. Bahan
1. Ekstrak Psidium guajava
2. Etanol
3. Aquadest
4. HCL pekat
5. Amonia
6. N-heksana
7. Kiesel gel GF 254
8. Aseton
9. Asam formiat
10. Pereaksi sitrat borat
11. Asam sulfat 10%
b. Reaksi Warna
1. Uji Bate-Smith dan Metcalf
2. Uji Wilsater
Larutan IIIC ditambah dengan larutan HCl pekat sebanyak 0,5 ml dan
ditambahkan juga 4 potong magnesium.
Diamati lagi perubahan warna yang terjadi pada tabung reaksi di setiap
laporan. Perubahan warna menunjukkan adanya senyawa flavon, merah
pucat menunjukkan adanya senyawa flavonol, dan warna merah tua
menunjukkan adanya senyawa flavonon.
Noda kuning yang timbul dikarenakan oleh uap amonia yang hilang
secara perlahan ketika amonianya menguap dan meninggalkan noda
tersebut.
V. Skema Kerja
DAFTAR PUSTAKA
Plantmor.com
Parimin, 2005. Jambu Biji. Budi Daya dan Ragam Pemanfaatannya. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Hapsoh, Hasanah, 2011. Budidaya tanaman obat dan rempah. Medan: USU Press.
BPOM, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia, Jakarta
Dalimartha, S. 2006. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid 5. Pustaka Bunda. Jakarta. 160
hlm
Elimamet, A.M., Elmalik, K. H., dan Ali, F.S. 2009. Larvicidal, Adult Emergence Inhibition and
Oviposition Deterrent Effects of Foliage Extract from Ricinuscommunis L. against Anopheles
arabiensis and Culexquinquefasciatus in Sudan.Tropical Biomedicine. 26(2): 130–139.
Dinata, A. 2009.AtasiJentik DBD denganKulitJengkol. http://arda.studentsblog.undip.ac.id/.
Diaksestanggal10 September2013
Harborne, J. B., 1987, Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan,
Edisi kedua, Hal 5, 69-76, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Soedira, ITB
Press, Bandung.
Markham, K.R., 1988, Cara Mengidentifikasi Flavonoid, diterjemahkan oleh Kosasih
Padmawinata, 15, Penerbit ITB, Bandung.
Sastrohamidjojo, Hardjono, 2001, Spektroskopi, edisi II, Liberty Press, Yogyakarta
Stahl, E, 1985, Analisa Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi, Hal 3 dan 6, ITB Press,
Bandung. Trease,G.E and Evans, W.C, 1978, Fharmacognosy 19 th , Edition II, Baillera
Tindall, London
Sudjadi, 1988, Metode Pemisahan, Hal 167 – 174 dan 417 dan 418, Penerbit kanisius,
Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta.
Gandjar, I.G., dan Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hal. 419, 425.