PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selain demokrasi, penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan elemen
penting untuk perwujudan sebuah negara yang berkeadaban. Apabila demokrasi
dan HAM berjalan dengan baik maka akan melahirkan sebuah tatanan masyarakat
yang demokratis dan kritis terhadap penegakan HAM.
Di era globalisasi saat ini, hampir semua negara menyatakan sebagai negara
demokrasi termasuk negara yang sistem pemerintahannya bersumber dari
kedaulatan rakyat seperti Indonesia. Kedaulatan rakyat merupakan paham
kenegaraan yang penjabaran dan pengaturannya terdapat dalam Undang-Udang
Dasar suatu negara dan penerapannya disesuaikan dengan filsafat hidup rakyat dari
negara yang bersangkutan.
Spirit kerakyatan yang menjadi watak negara Demokrasi merupakan syarat
utama dalam negara yang berkedaulatan rakyat, karena kekuasaan tertinggi berada
ditangan rakyat.
Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat karena dengan demokrasi
hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi pemerintahan sesuai
kehendaknya dapat dijamin.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dirumuskan adalah :
1. Bagaimana perkembangan demokrasi di dunia?
2. Bagaimana gelombang perkembangan demokrasi?
3. Bagaimana transisi dan konsolidasi demokrasi?
4. Bagaimana hukum HAM di era transisi demokrasi?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penyusunan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui perkembangan demokrasi di dunia
2. Mengetahui gelombang-gelombang perkembangan demokrasi
3. Mengetahui transisi dan konsolidasi demokrasi
4. Mengetahui hukum HAM di era transisi demokrasi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengantar Demokrasi
Nilai-nilai demokrasi sebetulnya telah tumbuh pada masa Mesir dan
Mesopotamia kuno. Namun ide, nilai-nilai, dan istilah demokrasi diakui
lahir/berawal di era Yunani kuno. Kata Demos yang berarti rakyat dan
Kratos/Kratien yang berarti kekuasaan atau pemerintah. Dari sanalah pemahaman
awal tentang demokrasi sebagai pemerintahan atau kekuasaan di tangan rakyat, atau
seringkali dimaknai juga sebagai kedaulatan di tangan rakyat.
Kamus hukum mengartikan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan atau
kekuasaan negara yang tertinggi dimana sumber kekuasaan tertinggi adalah
kekuasaan (ke) rakyat (an) yang terhimpun melalui suatu majelis yang dinamakan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (die gesamte staatsgewaltlieght allein bei der
majelis).
Pola pemerintahan demokratis juga muncul pada akhir abad ke-11 di kota-kota
Italia Utara dan Tengah. Kota-kota tersebut mengacu pada tradisi Republiken, yaitu
tradisi Republik Roma Kuno. Tradisi ini sebenarnya merupakan aristokrasi
(kekuasaan di tangan para bangsawan dan golongan terpandang), tetapi di dalamnya
rakyat (plebs) selalu memainkan peranan amat penting.
Ada dua ciri khusus dari kedua budaya demokratis tersebut di atas, yaitu
pertama, pemerintahan demokratis hanya terwujud dalam kerangka negara yang
luasnya tidak terlalu besar; dan kedua, bahwa demokrasi bersifat cukup langsung di
mana majelis rakyat dan badan-badan perwakilan lain terus menerus berhubungan
langsung dengan rakyat yang telah menetapkan mereka. Akibatnya budaya ini tidak
dapat diterapkan pada negara-negara bangsa yang mulai tumbuh pada abad ke-16.
Itulah sebabnya acuan terhadap cita-cita pemerintahan rakyat secara langsung tidak
dapat ditemukan dalam pustaka filsafat politik dan hukum abad ke-17 dan ke-18.
Seratus tahun kemudian, pada akhir abad ke-19, pola pemerintahan demokratis
modern sudah mulai terwujud dalam beberapa negara.
Melalui sejarah yang panjang dan pengertian-pengertian yang telah disebutkan,
pusat lingkaran demokrasi adalah rakyat yang menjadi awal, sumber, dan tujuan
kekuasaan atau pemerintahan. Kajian-kajian demokrasi di abad pertengahan yang
masih mengikuti garis pemikiran klasik dari jaman Yunani Kuno, sampai pada
pemikiran sosialisme Karl Marx, memaknai demokrasi sebagai sumber wewenang
dan tujuan sistem politik.
Kemunculan Magma Charta pada tahun 1215 telah mendorong nilai-nilai
demokrasi semakin konkrit dalam mempormulasikan hubungan rakyat dan
kekuasaan sebagaimana tercermin dalam dua pesan utama Magma Charta yang
berjangkauan luas, yaitu kekuasaan pemerintahan terbatas, dan HAM lebih tinggi
dari pada kedaulatan raja.
Demokrasi di abad pertengahan ini terus berkembang, lebih-lebih setelah di
Eropa muncul ikaln pencerahan yang dikenal sebagai abad pencerahan (the
enligthment) yang mengawali pemikiran demokrasi, dengan memperkenalkan
konsep emansipasi dalam bidang sosial dan agama yang berlangsung pada awal
abad ke-17. Rene Descartes (1596-1650) adalah tokoh yang terkenal dengan
ucapannya ‘’saya berpikir maka saya ada’’ (cogito ergo sum), telah menginspirasi
lahirnya gagasan baru yang meletakkan adanya kombinasi kebebasan individual
dengan sistem otoritarian yang mengatur masyarakat secara menyeluruh di Eropa.
Di abad pertengahan ini, melalui John Locke (1632-1704), Charles de Secondat
Montesquieu (1689-1755), dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778) gagasan
merasionalisasi kekuasaan dan pembatasan kekuasaan untuk melindungi HAM
semakin mengemuka. Negara yang memiliki kekuasaan yang besar, harus dibatasi,
baik melalui pengaturan sistem kekuasaan untuk menjamin keseimbangan sistem
check and balances seperti gagasan Mntesquieu tentang pemisahan kekuasaan
eksekutif-legislatif dan yudikatif, maupun didasarkan pada hak alamiah yang
dimiliki manusia sejak lahir, yaitu hak hidup, hak atas kemerdekaan, dan hak atas
milik pribadi; sebagai hak asasi manusia yang tidak diserahkan kepada negara.
Gagasan-gagasan besar demokrasi yang berkembang di abad pertengahan itu
menemukan momentumnya yang tepat dalam revolusi Amerika tahun 1776.
Revolusi Amerika tersebut tidak hanya menandai terjadinya institusionalisasi
gagasan demokrasi di dalam Konstitusi Amerika, tetapi juga melambangkan
milestone perkembangan demokrasi dalam tatanan negara modern. Prinsip-prinsip
demokrasi yang dimuat dalam Konstitusi Amerika sangat mempengaruhi
perkembangan gerakan kemerdekaan di berbagai negara serta pertumbuhan
gerakan demokrasi modern, terutama di negara-negara Eropa Timur, Amerika
Latin, Afrika dan Asia yang hingga dekade 1970-an akhir masih berada di bawah
kekuasan rezim otoritarian.
Dalam catatan Huntington pertumbuhan demokrasi berlangsung sangat pesat
sejak 1902 hingga tahun 1997 menganut komunisme berganti menganut demokrasi,
terutama di negara-negara Eropa Timur. Demikian pula negara-negara yang
diperintah oleh junta militer dan otokrasi bertumbangan untuk digantikan dengan
sistem demokrasi.
Gerakan demokrasi yang disuarakan secara bersama-sama dengan gerakan
HAM menjadi gelombang gerakan besar pembebasan manusia dan warganegara
dari dominasi dan hegemoni rezim otoritarian, yang pada akhirnya berhasil
menumbangkan rezim otoritarian itu satu demi satu, termasuk di Indonesia.
Tumbangnya rezim otoritarian atau otokrasi di belahan Amerika Latin, Eropa
Timur, Afrika, dan Asia tersebut diikuti pula oleh gelombang gerakan masyarakat
sipil yang meminta penguasa baru meletakkan HAM sebagai paradigma kebijakan
politik dan hukum di negara bersangkutan.
Kekuatan-kekuatan masyarakat sipil berkeyakinan kuat bahwa rezim
demokrasi yang secara substansial adalah rezim yang menjadikan perlindungan
HAM sebagai nilai dan prinsip demokrasi, memiliki daya dukung sistem kekuasan
untuk melahirkan politik hukum HAM yang sejalan dengan demokrasi.
B. Gelombang Demokrasi
Demokrasi muncul dan berkembang melalui pikiran dan perjuangan individu,
kelompok dan aktor-aktor sosial. Ia lahir dan berkembang dalam dialektika
kekuasan yang panjang, sepanjang sejarah kehidupan politik negara dari waktu ke
waktu. Daya tarik demokrasi yang mendorong individu atau aktor-aktor sosial
menggerakkan negaranya menuju demokrasi menurut Adam Przeworski karena
demokrasi memperkenalkan ketidakpastian dalam politik.
Bagi Lyman Tower Sargent, demokrasi membuka kunci keterlibatan warga
negara dalam pengambilan keputusan politik, kesederajatan diantara warga negara,
kesederajatan kebebasan dan kemerdekaan yang diberikan atau dipertahankan
warga negara, sistem perwakilan dan sistem pemilu.
Gelombang demokrasi di berbagai negara menjadi fenomena politik yang
cukup menonjol semenjak dekade 1970-an, seiring dengan berjatuhannya rezim-
rezim otoritarian. Gelombang menuju demokrasi sejak dekade tersebut menurut
Huntington jumlahnya secara signifikan lebih banyak daripada transisi menuju
kearah sebaliknya. Pada periode diantara 1974 dan 1990 dalam catatan Georg
Sorensen, gelombang demokrasi berawal di Eropa bagian selatan (Yunani, Spanyol,
dan Portugal). Gelombang berikutny a terjadi di Amerik Latin ( Argentina,
Uruguay, Peru, Ekuador, Bolivia, Brazil, dan Paraguay) dan di Amerika Tengah
(Honduras, El Salvador, Nica ragua, Guatemala, dan Meksiko). Kemudian di Eropa
Timur (Polandia, Cekoslowakia, Hungaria, Rumania, Bulgaria, dan bekas Republik
Demokrasi Jerman). Kemudian Afrika dan negara-negara bekas Uni Soviet.
Akhirnya, terjadi di Asia sejak hampir selama periode tahun 1970-an (Papua
Nugini, Thailand, Pakistan,Bnaladesh, Filipina, Korea Selatan, Taiwan, Mongolia,
dan Nepal).
Penjelasan lain terhadap populernya gerakan demokrasi dewasa ini menurut
Giddens dapat dicari penjelasannya dalam eksistensi globalisasi sebagai perubahan
sosial yang paling mendasar dewasa ini. Di mata Giddens, globalisasi adalah
penjelasan paling memadai dibalik gelombang demokrasi global dewasa ini.
Demokrasi menjadi populer dewasa ini karena ia merupakan sistem politik
terbaik yang pernah dicapai peradaban manusia. Dibandingkan dengan fasisme
yang telah lama berlalu, komunisme dan pemerintahan militer yang gagal
menciptakan pemerintahan efektif, demokrasi liberal yang berpasangan dengan
kapitalisme dalam kancah ekonomi membuktikan diri mampu bertahan dan bahkan
semakin berkembang.
Dalam diskursus demokratisasi kontemporer, pandangan ortodok ini
terwakili pemikiran Francis Fukuyama. Fukuyama mengemukakan bahwa
demokrasi liberal merupakan titik akhir dari evolusi ideologi manusia sekaligus
bentuk final dari pemerintahan manusia. Fukuyama melihat bentuk-bentuk
ideologi non demokrasi lainnya cepat atau lambat akan melemah dan akhir nya
runtuh. Hal ini disebabkan ideologi-ideologi di luar demokrasi liberal tidak cukup
mampu mengembangkan legitimasi yang memuaskan atas kekuasaannya sendiri.
Rezim-rezim non demokratis tidak memiliki pundi-pundi kebaikan yang akan
meringankannya dalam melewati masa-masa sulit.
Berbagai upaya demokratisasi yang marak dewasa ini, lebih dilandasi oleh
alasan untuk memperbaiki kebangkrutan dan kebobrokan negara, serta mengejar
ketertinggalannya dengan negara-negara lain yang sukses secara ekonomi politik
melalui penerapan sistem politik demokrasi. Gejala ini nampak sekali pada
gelombang demokratisasi yang marak di Eropa Timur akhir dekade 1980-an.
Menurut teori ini gelombang demokratisasi muncul selain didasari oleh kesadaran
akan tidak efesiennya sistem komunis secara ekonomi dan secara politik, juga
dilandasi keinginan untuk mengejar ketertinggalannya dengan rekan-rekan mereka
di Eropa Barat.
Bagi Fukuyama, kapitalisme berkaitan dengan demokrasi karena kapitalisme
mampu menyediakan otonomi material yang memungkinkan terselenggaranya
penghormatan timbal balik. Kemajuan ekonomi yang dihasilkan kapitalisme oleh
Fukuyama dipandang mampu meningkatkan kondisi-kondisi bagiotonomi
individual. Melalui cara pandang ini kapitalisme dan demokrasi menemui titik
temunya dalam pemenuhan hasrat untuk mendapatkan pengakuan suatu hasrat
kemanusiaan yang mendasar dan universal. Konsekuensinya, ideologi-ideologi di
luar demokrasi liberal karena ketidakmampuannya untuk memenuhi hasrat
kemanusiaan yang paling mendasar tersebut diyakini tidak memiliki kemampuan
yang cukup untuk berkembang universal. Selain pendekatan ortodok di atas,
penjelasan tentang akselerasi demokratis dewasa ini datang dari pendekatan
alternatif. Pendekatan alternatif muncul sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap
penjelasan ortodok.
Menurut pendekatan alternatif, pendekatan ortodok selain mencoba
mengukuhkan orthodoksi demokrasi dengan argumentasi baru tidak banyak
menawarkan penjelasan yang membantu. Pendekatan ortodok dalam melihat
fenomena gelombang demokratisasi yang berkembang universal dewasa ini, lebih
mendasarkan diri pada perjalanan dialektika historis yang membuktikan demokrasi
liberal memang ideologi dan sistem politik terbaik serta universal. Terhadap
penjelasan ini, pendekatan alternatif mempertanyakan ; jika ideologi liberal
memang ideologi terbaik dan universal mengapa terjadi gelombang demokratisasi
universal yang baru.
Di samping alasan-alasan teoritik itu, pengalaman traumatik masyarakat dan
kekuatan-kekuatan demokrasi dalam negeri terhadap rezim otoritarian di berbagai
negara yang dilanda gelombang demokrasi memicu percepatan gelombang
demokrasi dimaksud. Meskipun gelombang demokrasi yang terjadi di berbagai
negara itu dalam perkembangannya menunjukkan kecenderungan yang tidak sama.
Pada sebagian justru kembali ke otoritarian , sebagian yang lain berada pada transisi
yang panjang, dan sebagian yang lainnya mengalami stagnasi, dan lebih diwarnai
dengan pemerintahan otoritarian ketimbang warna demokrasi. Dengan kata lain,
gelombang demokrasi yang melanda dan terjadi pada setiap negara , tidak secara
serta merta mengakhiri rezim otoritarian untuk digantikan secara mutlak oleh rezim
demokratis.
Pada sebagian besar kasus, gelombang demokrasi diwarnai oleh negosiasi
dengan kekuatan-kekuatan yang mendukung rezim otoriter. Hal tersebut
disebabkan karena permulaan demokrasi sering didahului dengan perpecahan
dalam koalisi kekuatan-kekuatan di belakang pemerintah otoriter, perpecahan garis
keras dan garis lunak. Garis lunak menginginkan bentuk pemerintahan yang lebih
demokratis dalam rangka mendapatkan kekuasaan dalam konfliknya dengan garis
keras. Sementara sisa kekuatan rezim lama yang masih aktif di panggung politik
yang terang-terangan tidak menyukai demokrasi, memberikan argumen bahwa
demokrasi menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Logika stabilitas politik
sebagai prasyarat kemajuan ekonomi, dan membuka partisipasi masyarakat dalam
menuntut hak dan kebebasan dinilai menghambat perkembangan ekonomi
merupakan alasan golongan yang menolak demokrasi.
Kalangan yang menolak demokrasi itu, sangat mempercayai pandangan
M.Linset, yang menyatakan bahwa semakin kaya suatu bangsa, semakin besar
peluang negara tersebut untuk melangsungkan demokrasi, atau seperti yang
dikatakan Robert Dahl, bahwa semakin tinggi tingkat sosial ekonomi suatu negara,
maka semakin mungkin bagi negara tersebut untuk menjadi demokratis.
Kesejahteraan akan menyediakan sumber daya yang dibutuhkan untuk meredakan
ketegangan yang ditimbulkan oleh konflik politik. Dengan argumen itu, golongan
ini berpendapat pentingnya meningkatkan kesejahteraan ekonomi (pertumbuhan
ekonomi) terlebih dahulu daripada mendorong demokratisasi.
Demokrasi tidak bisa dibangun dan dijalankan dalam keadaan lapar.
Demokrasi hanya bisa tegak dalam masyarakat serba kecukupan. Pandangan
demikian itu dalam realitas di beberapa negara tidak terbukti. Taiwan,Singapura
dan China adalah contoh negara dengan pencapaian kemajuan ekonomi dan
kesejahteraan yang tinggi dalam struktur kekuasaan yang tidak demokratis , atau
sebaliknya, India bisa menjalankan demokrasi dalam keadaan situasi ekonomi yang
tidak stabil.
Gelombang demokrasi dua dekade terakhir memang harus dijelaskan lebih
mendalam, dalam berbagai konteks dan negara karena tidak ada faktor tunggal yang
menyebabkan gelombang tersebut. Terdapat variabel yang saling terkait di level
internal dan eksternal masing-masing negara. Pendek kata gelombang demokrasi
yang melanda negara-negara yang lepas dari kekuasaan otoritarian tidak serta merta
memuluskan transisi demokrasi menuju pembentukan negara demokrasi, beserta
seluruh perangkat-perangkat kelembagaan dan prosesnya pada keadaan yang
sepenuhnya dalam kendali kekuatan pro demokrasi.
Pertarungan kepentingan antara pendukung rezim lama , yaitu militer dan
birokrasi sipil yang menyangga administrasi kekuasaan, berhadapan dengan
kekuatan pro demokrasi , cenderung menghasilkan kompromi-kompromi politik,
lebih-lebih jika rezim masa lalu itu menanggung dosa hukum dan politik , seperti
korupsi dan pelanggaran HAM yang serius, maka tentu agen-agen rezim otoritarian
masa lalu tidak akan membiarkan gelombang demokrasi menuju penataan sistem
politik demokratis itu sepenuhnya dalam skenario kekuatan pro demokrasi. Setidak-
tidaknya mereka membayang-bayangi proses itu dengan menghembuskan
kemungkinan skenario merebut kembali kekuasaan dengan cara kudeta. Bayang-
bayang itulah yang mengantarkan kekuatan rezim lama dan rezim baru menuju
meja perundingan untuk menegosiasikan kemungkinan-kemungkinan politik dan
hukum terhadap dosa-dosa rezim sebelumnya itu.
Gelombang demokrasi dan transisi demokrasi di banyak negara paska
otoritarian memang lebih banyak ditandai dengan negosiasi dan kompromi,
sebagaimana yang terjadi di Afrika Selatan, Uganda, Argentina, Rwanda, Somalia,
dan seterusnya. Meskipun hasil dan wujud kompromi itu berbeda-beda, tetapi ia
tetap merupakan hasil kesepakatan-kesepakatan yang lahir dari pergolakan
pemikiran dikalangan kaum realis dan idealis dalam tubuh kekuatan pro demokrasi
, yaitu antara menyelamatkan demokrasi terlebih dahulu atau mengedepankan jalan
hukum dengan resiko terancamnya transisi demokrasi.
Pada negara-negara yang umunya dikendalikan atau ditopang oleh kekuatan
militer dengan masa lalu yang diliputi oleh kentalnya kejahatan pada kemanusiaan
dan korupsi, gelombang dan transisi menuju demokrasi tetap dibayangi oleh
resistensi militer (terutama) yang mencemaskan, karena pada banyak negara
ancaman kedua kudeta atau bentu-bentuk operasi militer rahasia sebagai bagian dari
upaya menggelapkan masa lalu atau menekan elite baru agar tidak menyentuh
kejahatan masa lalu, telah membuat banyak negara tersebut mengambil jalan
kompromi, sebagai transisi demokrasi yang berlangsung, lebih merupakan
perubahan karakter rezim dengan melupakan masa lalu, atau minimal tidak
mengingat-ingat masa lalu, sembari menyerukan agar masyarakat dan pemimpin
bangsa melihat lurus ke depan, dan tidak perlu lagi melihat ke belakang.
B. Saran
Sebagai masyarakat yang hidup di negara yang demokrasi kita harus
melaksanakan peran kita sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dengan baik,
jangan menyalah gunakan hak dan kewajiban sebagai masyarakat. Berani menolak
hukum yang bertentangan dengan HAM.
Daftar Pustaka
Ismatullah,Dedi. 2012. Pengantar Ilmu Hukum. Pustaka Setia : Bandung
Marzuki, Suparman. 2011. Tragedi Ilmu Politik. Pustaka Belajar : Jogjakarta
Haricahyono, Cheppy. 1995
Dimensi-dimensi Pendidikan Moral. IKIP : Semarang