iii
DAFTAR ISI
KEPUTUSAN DIREKTUR............................................................................................................i
KATA PENGANTAR...................................................................................................................iii
DAFTAR ISI..............................................................................................................................iv
BAB I DEFINISI .......................................................................................................................1
BAB II RUANG LINGKUP .......................................................................................................8
BAB III TATA LAKSANA ........................................................................................................12
BAB IV DOKUMENTASI ........................................................................................................13
iv
BAB I
DEFINISI
A. Keselamatan Pasien
1
Bangunlah komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang
keselamatan pasien di Rumah Sakit
• Integrasikan aktvitas pengelolaan risiko
Kembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko, serta
lakukan identifikasi assesment hal yang potensial bermasalah
• Kembangkan sistem pelaporan
Pastikan staf anda agar dengan mudah dapat melaporkan
kejadian/insiden, serta rumah sakit mengatur pelaporan kepada Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS)
• Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien
Kembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan pasien
• Belajar dan berbagi pengalaman tentang Keselamatan Pasien
Dorong staf untuk melakukan analisis akar masalah untuk
belajar bagaimana dan mengapa kejadian itu timbul
• Cegah cedera melalui implementasi sistem Keselamatn Pasien
Gunakan informasi yang ada tentang kejadian/masalah untuk
melakukan perubahan pada sistem pelayanan.
2
kebijakan, stress, training yang tidak akurat, supervise yang buruk dan
beban kerja yang terlalu tinggi
b. Kondsi laten (latent system conditions) : sistem yang kurang tertata yang menjad
predisposisi terjadinya error, misalnya L SOP tidak jelas, tata ruang yang tidak
jelas, termometer yang hanya punya satu untuk banyak pasien
c. Pelanggaran (violation) : ini terjadi ketika individual dan grup dengan sengaja
tidak mengikuti prosedur atau memilih untuk tidak mengikuti prosedur yang baku
karena alasan tertentu, termasuk kemungkinan tidak mengetahui SOP, situasi
tertentu yang mengakibatkan penyimpangan dari SOP/kebijakan yang ada,
karena kebiasaan SOP/kebijakan tidak ditemukan pada saat pekerjaan akan
dilakukan, prosedur yang dilakukan secara berlebihan tapi tidak dituliskan pada
prosedur yang berlaku.
d. Faktor-faktor yang memberi kontribusi (contributory factors) terjadinya
insiden adalah :
1) Pasien : pasien bisa menjadi faktor yang memberi kontribusi
terjadinya insiden seperti umur atau perbedaan bahasa
2) Individual : faktor individual termasuk faktor psikologis, faktor
kenyamanan dan hubungan kerja
3) Komunikasi (communication) : komunikasi termasuk komunikasi tertulis,
verbal dan nonverbal. Komunikasi bisa mengkontribusi atau komunikasi
terlambat. Faktor-faktor ini berkaitan antar individual, dalam atau antar
organisasi.
4) Tim dan faktor sosial, yang termasuk dalam faktor-faktor ini adalah :
komunikasi dalam satu tim, gaya kepemimpinan, struktur hierarki tradisional,
kurang menghargai anggota senior dalam tim dan persepsi staff terhadap
tugas/tanggung jawab
5) Pendidikan dan pelatihan : ketersediaan dan kualitas pelatihan untuk staff
sangat berpengaruh pada kemampuan staff melakukan pekerjaannya atau
untuk merespon pada situasi darurat/emergency
6) Peralatan dan sumber daya (equipment and resources), yang termasuk
pada faktor peralatan adalah apakah peralatan tersebut sesuai dengan
3
kebutuhannya, apakah staff mengetahui cara menggunakan alat tersebut,
dimana menyimannya dan seberapa sering peralatan diperiksa.
4
pelaporan insiden. Survey ini terdiri atas 42 item yang mengukur 12
dimensi keselamatan pasien.
5
efektifitasnya
8. Persepsi keselamatan pasien secara Prosedur dan sistem sudah baik dalam
keseluruhan mencegah kesalahan dan hanya ada
sedikit masalah keselamatan pasien
9. Staffing Jumlah staf cukup untuk menyelesaikan
beban kerja dan jumlah jam kerja sesuai
untuk memberikan pelayanan yang terbaik
untuk keselamatan pasien
10. Ekspektasi dan upaya atasan dalam Atasan mempertimbangkan masukan staf
meningkatkan keselamatan pasien untuk meningkatkan keselamatan pasien,
memberikan pujian bagi staf yang
melaksanakan prosedur keselamatan
pasien, dan tidak terlalu membesar-
besarkan masalah keselamatan pasien
11. Kerja sama tim antar unit Unit kerja di rumah sakit bekerja sama dan
berkoordinasi antara satu unit dengan unit
yang lain untuk memberikan pelayanan
yang tebaik untuk pasien
12. Kerja sama dalam tim unit kerja Staf saling mendukung satu sama lain,
saling menghormati, dan bekerja sama
sebagai tim
6
matritas budaya keselamatan pasien menjadi 5 (lima) tingkat, yaitu patologis, reaktif,
kalkulatif, proaktif dan generatif.
Pada patologis, institusi belum mempunyai sistem keselamatan pasien, institusi
melihat keselamatan pasien sebagai masalah dan beban. Institusi atau organisasi
berusaha untuk menekan atau membatasi informasi serta berfokus pada budaya saling
menyalahkan. Organisasi pada level reaktif sudah mempunyai sistem keselamatan
pasien terbatas, organisasi memadnag bahwa keselamatan pasien sebagai hal yang
penting namun aktivitas yang dilakukan hanya bersifat reaktif kala terjadi cedera medis.
Organisasi yang berada pada level kalkulatif cenderun terikat pada aturan, posisi dan
otoritas departemen. Pendekatan sistematik sudah dimiliki, tetapi penerapan program
keselamatan masih terbatas di lingkup cedera medis yang sering terjadi. Organisasi di
level proaktif sudah memiliki sistem yang tertata baik dan kegiatannya difokuskan pada
upaya untuk mencegah dan mengantisipasi cedera dalam skala yang lebih luas dan
sudah melibatkan stakeholder. Pada tatanan organisasi yang generatif, yang merupakan
level tertinggi dalam budaya keselamatan pasien, sistem terus dipeihara dan diperbaiki
dan menjadi bagian dari misi organisasi. Organisasi secara aktif mengevaluasi efektivitas
intervensi yang telah dikembangkan dan terus belajar dari kegagalan dan kesuksesan.
7
BAB II
RUANG LINGKUP
8
(Risk Taking), merupakan pelaksanaan budaya adil. Kerelaan karyawan untuk
melaporkan insiden karena atasan bersikap tenang ketika informasi disampaikan
sebgaai bentuk penghargaan terhadap pengetahuan petugas, merupakan
pelaksanaan budaya fleksibel. Terpenting, kerelaan karyawan untuk melaporkan
insiden karena kepercayaan bahwa organisasi akan melakukan analisa informasi
insiden untuk kemudian dilakukan perbaikan sistem, merupakan pelaksanaan
budaya pembelanjaran. Interaksi anatara keempat komponen tersebut akan
mewujudkan budaya keselamatan yang kuat.
9
Terbuka dan adil sangat penting diterapkan karena staff tidak akan membat
laporan insiden jika mereka yakin kalu laporan tersebut akan menyebabkan
mereka atay koleganya kena hukuman atau tindakan disiplin. Lingkungan yang
terbuka dan adil akan membantu staff untuk yakin membuat laporan insiden
yang bisa menjadi pelajaran untuk perbaikan.
3. Just Culture
Just Culture adalah suatu lingkungan dengan keseimbangan antara
keharusan untuk melaporkan insiden keselamatan pasien (tanpa takut
dihukum) dengan perlunya tindakan disiplin
Organisasi perlu memahami dan mengakui bahwa petugas garis
depan rentan melakukan kesalahan yang biasanya bukan disebabkan
oleh kesalahan tunggal individu namun karena sistem organisasi yang
buruk Insiden Decision Tree adalah suatu tool untuk membantu
mengidentifikasi apakah suatu tindakan dari individu karena :
• Kesalahan sistem
• Sengaja melakukan tindakan sembrono
• Melakukan unsafe act atau tindakan kriminal
IDT merubah pertanyaan : “siapa yang harus disalahkan?” menjadi
“mengapa seseorang berbuat kesalahan”
10
C. Penerapan Budaya Keselamatan Pasien
11
BAB III
TATA LAKSANA
Salah satu alat untuk mengukur penerapan budaya keselamatan pasien adalah
dengan instrument kuesioner The Hospital Survey of Patient Safety Culture
(HSOPSC) yang dikembangkan oleh Agency for Health Care Research and Quality
(AHRQ). Agency for Health Care Research and Quality merupakan suatu komite
untuk kualitas kesehatan di Amerika yang memimpin lembaga Federal untuk peneltian
tentang kualitas kesehatan, biaya, outcome, dan keselamatan pasien. AHRQ
mendanai 100 penelitian untuk mengidentifikasi instrumen yang dijadikan alat untuk
menilai budaya keselamatan pasien (Fleming, 2006).
Pada dasarnya empat dimensi budaya keselamatan pasien yakni budaya
keterbukaan, pelaporan, keadilan, dan budaya pembelajaran digunakan dalam
menilai budaya keselamatan pasien dalam suatu organisasi kesehatan.
The Hospital Survey of Patient Safety Culture yang dikembangkan oleh
AHRQ menggunakan komponen-komponen sebagai indikator masing-masing
dimensi budaya keselamatan pasien. Yaitu :
a. Indikator dimensi budaya keterbukaan antara lain:
1. Komunikasi terbuka
2. Kerjasama dalam unit,
3. Kerjasama antar unit
4. Persepsi keselamatan pasien.
b. Indikator dimensi budaya keadilan adalah:
1. Umpan balik (feedback) dan komunikasi
2. Staffing
3. Respon tidak menghukum.
c. Indikator dimensi budaya pelaporan mengandung komponen:
1. Pelaporan kejadian
2. Hand over
d. indikator dari dimensi budaya pembelajaran mengandung komponen :
1. Pembelajaran oleh perawat
2. Ekspektasi manajer
3. Dukungan manajemen (Fleming, 2006).
12
BAB IV
DOKUMENTASI
13