Anda di halaman 1dari 6

TUGAS

MANAJEMEN AGROEKOSISTEM

Oleh :

1. Rizky Fajar Pamungkas (20180210142)


2. Aprilia Budhi Setiawan (20180210147)
3. Yuni Sulis Setiowati (20180120148)

PRODI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
Usaha tani padi sawah sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim karena
keberhasilan usaha produksi pangan pokok ini sangat bergantung kepada daya dukung iklim
yang sebelumnya dianggap stabil. Hasil penelitian Syahbuddin et al., (2007) mengungkapkan
bahwa dalam beberapa dekade terakhir usaha tani tanaman pangan seringkali hanya
mengandalkan kebiasaan dan naluri (instinct) petani dalam penetapan pola tanam. Akibatnya
petani sering berhadapan dengan kendala kekurangan air, terutama pada saat musim kering
yang berlangsung lebih lama. Oleh karena itu, perlu adanya penyesuaian pola tanam yang lebih
adaptif dengan keragaman dan perubahan iklim.

Beberapa hasil penelitian mengungkapkan temperatur di Indonesia telah meningkat


selama beberapa dekade belakangan dan diperkirakan akan terus meningkat sampai tahun
2020, serta adanya indikasi peningkatan level permukaan laut hingga tahun 2100 (IPCC 2007)
yang dapat menyebabkan daerah-daerah dataran rendah di pinggir pantai seperti Surabaya
memiliki resiko mengalami bencana banjir yang lebih tinggi (PEACE 2007). Curah hujan pada
musim hujan di wilayah bagian selatan Indonesia meningkat sementara curah hujan dimasa
kemarau di wilayah bagian utara telah meningkat (Boer dan Faqih 2004, Naylor et al., 2007).

Pengaruh perubahan iklim yang mungkin terjadi terhadap pertanian padi telah
diprediksi oleh Amien et al. (1996) akan terjadi pengurangan hasil produksi tanaman padi
sekitar 1 % per tahun. Oleh sebab itu penelitian dan pemanfaatan varietas padi yang toleran
terhadap dampak perubahan iklim harus segera ditingkatkan untuk mengurangi resiko
kehilangan hasil panen. Pengembangan Kapasitas untuk Kegiatan Adaptasi Perubahan Iklim
di Sektor Pertanian dan Sektor Lainnya yang Relevan (SP-2) di tingkat petani di Indonesia
telah dilakukan pada tahun 2014 di desa-desa di Kecamatan Prigen, Purwosari, dan Gempol di
Kabupaten Pasuruan Provinsi Jawa Timur. Wilayah-wilayah tersebut dipilih sebagai lokasi
percontohan karena mewakili zona dataran tinggi, menengah, dan rendah dari daerah
pertanaman padi yang memiliki infrastruktur air yang cukup minim, serta selama ini terkena
dampak perubahan iklim seperti banjir, kekeringan, dan organisme pengganggu tanaman
(OPT). Program ini menyelenggarakan training of trainer (ToT) dan training of farmers (ToF)
kegiatan adaptasi perubahan iklim kepada para penyuluh pertanian, pegawai dinas pertanian,
pegawai Dinas PU/ Pengairan dan anggota kelompok-kelompok tani.

Perubahan iklim mensyaratkan kapasitas beradaptasi yang memadai dari petani karena
pengelolaan SUT padi sawah sangat bergantung pada daya dukung iklim. Musim menjadi tidak
menentu dan cuaca sulit diprediksi. Petani mulai kesulitan menentukan awal dan komoditas
tanam, sementara serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), banjir, dan kekeringan
sebagai dampak negatif dari perubahan iklim semakin sering terjadi. Melalui survey terhadap
96 petani, penelitian ini menakar kapasitas beradaptasi perubahan iklim petani padi sawah di
daerah pertanaman padi di dataran rendah, sedang, dan tinggi yang pernah menjadi wilayah
percontohan program pengembangan kapasitas adaptasi perubahan iklim. Hasil penelitian
menunjukkan kapasitas adaptasi petani padi sawah masih rendah dan memengaruhi tingkat
penerapan adaptasi perubahan iklim mereka. Disarankan untuk dilakukan evaluasi terhadap
strategi program-program sejenis melalui penelitian mengenai faktor-faktor penentu kapasitas
adaptasi perubahan iklim petani padi sawah.

Kapasitas adaptasi perubahan iklim sebagian besar responden relatif masih rendah.
Banyak responden belum memiliki pengetahuan adaptasi perubahan iklim yang dikembangkan
dewasa ini. Responden lebih bersikap adaptif terhadap teknologi budidaya padi sawah, tetapi
kurang adaptif terhadap kondisi iklim dan lingkungan. Selain itu Keterampilan beradaptasi
responden juga relatif rendah. Kebanyakan responden jarang mengikuti kegiatan pelatihan
adaptasi perubahan iklim. Tingkat penerapan adaptasi perubahan iklim responden relatif masih
rendah. Kegiatan Adaptasi responden lebih bersifat reaktif daripada antisipatif. Beberapa
strategi beradaptasi terhadap perubahan iklim yang dikembangkan secara ilmiah dewasa ini
tidak bisa diterapkan karena belum diketahui, berbiaya, atau kurang sesuai dengan letak dan
kondisi geografis lokasi penelitian. Kapasitas beradaptasi terhadap perubahan iklim
memengaruhi tingkat penerapan adaptasi perubahan iklim responden. Jika ada peningkatan
kapasitas beradaptasi, pada saat yang sama penerapan adaptasi perubahan iklim oleh responden
juga meningkat.

Perubahan iklim yang terjadi sangat berpengaruh terhadap system pertanian dan pangan
di seluruh dunia. Menurut Lobel et al. (2008), peningkatan suhu dan penurunan curah hujan di
daerah semi kering kemungkinan akan mengurangi hasil jagung, gandum, beras, dan tanaman
primer lainnya dalam dua dekade mendatang. Sejak tahun 1990-an kenaikan harga komoditas
dan menurunnya area budidaya perkapita telah menyebabakan penurunan produksi pangan dan
mengikis ketahanan pangan di banyak komoditas. Secara substansial daerah subtropis dan
tropis dipengaruhi oleh perubahan iklim global dan fluktuasi harga komoditas global.
Pemanasan global di Samudra Hindia dan iklim yang semakin mirip “El Nino” dapat
mengakibatkan peubahan musim dan curah hujan hujan di seluh bagian Amerika, Afrika, dan
asia. Di negara berkembang terdapat 30% petani yang terancam perubahan iklim. Menurut
Lobell et al. (2008), menunjukkan bahwa perubahan iklim dapat berdampak pada masyarakat
yang kekurangan pangan, hal ini ditunjukkan dengan menurunnya hasil lokal yang
berkontribusi pada kenaikan harga komoditas global seiring dengan penurunan produksi
global yang signifikan dalam pada komoditas jagung, gandum, dan beras. Terlepas dari
tantangan-tantangan ini, produktivitas pertanian yang sangat rendah di negara-negara rawan
pangan menghadirkan peluang besar, dengan cara mengubah sistem pertanian yang ada melalui
peningkatan benih, pupuk, penggunaan lahan, dan tata kelola, dan ketahanan pangan dapat
dicapai oleh semua.

Penurunan intensitas hujan merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim.
Menurut studi yang dilakukan oleh Angles, dkk. (2011) menyebutkan bahwa berkurangnya
intensitas hujan adalah alas an terbesar dari penurunan hasil panen petani di lahan kering di
Dharmapitri, India. Penurunan hasil panen tersebut menyebabkan penurunan pendapatan para
petani. Penurunan pendapatan petani tersebut merupakan dampak jangka pendek, sedangkan
dampak jangka panjangnya adalah berakhirnya profesi petani lahan kering (offfarm
employment) ( Ida, 2015). Angles, dkk. (2011), menunjukkan bahwa secara kualitatif 92,22
persen dari semua sampel mengatakan bahwa berkurangnya intensitas hujan adalah faktor
penyebab utama penurunan hasil panen. Studi ini membuktikan bahwa variasi iklim seperti
kejadian masa kemarau memiliki dampak yang tinggi pada hasil tanaman lahan kering. Analisis
kuantitatif, variabel-variabel seperti pendidikan, penghasilan, pengalaman, keanggotaan
asosiasi petani, karakter berani mengambil risiko merupakan faktor yang signifikan dalam
mempengaruhi pemakaian mekanisme penyelesaian masalah pada lahan kering.
Petani menyadari perubahan iklim dan dampaknya terhadap produksi tanaman pangan
telah mampu mengembangkan strategi mata pencaharian, serta adaptasi yang mereka lakukan
dengan cara yang terus menerus bias dilakukan untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang
tidak menentu terhadap produksi tanaman pangan (Ayunwuy, dkk., 2010). Soejono, dkk. (2009)
menyatakan bahwa faktor-faktor yang signifikan terhadap produksi adalah pupuk, obat-obatan
dan tenaga kerja. Sedangkan factor yang tidak signifikan berpengaruh terhadap produksi adalah
luas lahan dan benih. Sejak tahun 1990-an, berbagai kawasan di Indonesia sering dilanda
kekeringan dan kebanjiran. Dampak dari kekeringan adalah gagal panen, peningkatan kematian
vegetasi, dan percepatan pelapukan. Akibatnya, setiap terjadi kekeringan, ratusan hektar sawah
di Pulau Jawa mengalami gagal panen atau puso.
Dampak perubahan iklim juga dirasakan oleh petani cabai rawit di Desa Bulu Pasar,
Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Mayoritas petani cabai rawit mengetahui mengenai
perubahan iklim dalam bentuk kenaikan curah hujan. Terjadi peningkatan curah hujan dari
1.415 mm pada tahun 2009, menjadi 1.943 mm pada tahun 2010. Menurut Maulidah, dkk.
(2012), hal ini mengakibatkan petani melakukan penanganan berdasarkan analisis yang telah
dibuat. Dari 45 petani responden, 13 orang petani melakukan perawatan, 5 orang petani
melakukan pencabutan tanaman, dan 23 orang petani melakukan pembiaran. 13 orang petani
tersebut sadar bahwasannya perlu ada perlakukan tambahan terkait dengan perubahan iklim.
Pencabutan dilakukan sebelum tanaman berbunga dengan pertimbangan apabila proses
budidaya dilanjutkan maka menambah biaya perawatan, selain itu responden merasa gagal,
dengan indikator pertumbuhan yang terhambat. Sedangkan kelompok responden terakhir
berasusmsi apabila dilakukan perlakuan tambahan maka akan menambah biaya, namun apabila
dicabut maka akan sia-sia, hal ini mengakibatkan responden membiarkan tanaman budidaya
begitu saja.
Akibat dari dampak perubahan iklim tersbut adalah terjadinya penurunan produksi
cabai rawit. Pada 2009 produksi cabai rawit rata-rata di Desa Bulu Pasar mencapai 1.237
kg/Ha, sedangkan pada 2010 produksi cabai rawit mengalami penurunan tajam hingga
menyentuh angka 615 kg/Ha. Hal ini menimbulkan kelangkaan cabai rawit ditengah
permintaan pasar yang tetap tinggi. Dampak yang ditimbulkan adalah lonjakan harga cabai
rawit yang luar biasa. Dari harga Rp8.437 pada 2009, meningkat menjadi Rp54.146 pada 2010.
Hal ini menyebabkan peningkatan pendapatan petani di Desa Bulu Pasar dari rata-rata sebesar
Rp2.976.833 pada 2009, menjadi Rp29.328.137 pada 2010. Menurut Maulidah, dkk. (2012),
hal ini tidak sepenuhnya menguntungkan petani, dikarenakan kemungkinan dampak buruk dari
kenaikan curah hujan lebih kompleks sehingga perlu analisis yang matang agar petani dapat
memilih tindakan yang tepat. Di daerah lain contohnya, kenaikan harga cabai hanya terjadi di
pasar sehingga hasil tidak dapat dirasakan sepenuhnya oleh petani.
Dampak dari perubahan iklim juga dirasakan oleh petani apel di Kota Batu, Malang.
Curah hujan yang semakin tinggi dapat menurunkan produktivitas apel. Curah hujan yang ideal
berkisar 2200 hingga 2800 mm per tahun. Hal ini disebabkan oleh bunga dan buah yang gugur
serta serangan hama. Sedangkan kenaikan temperatur yang terjadi, yaitu sekitar 22 oC tidak
begitu berpengaruh terhadap produktivitas yang tetap tinggi. Namun dampak dari perubahan
iklim bukanlah penyebab tertinggi dari turunnya produktivitas apel di Kota Batu. Berdasarkan
pengamatan di lapangan, penyebab penurunan produktivitas apel adalah: (a) Konversi lahan
tanaman apel menjadi komoditas lain; (b) Umur tanaman apel yang semakin tua sehingga
produktivitas menurun; (c) Budidaya apel yang kurang intensif; (d) Semangat petani apel
malang yang menurun dikarenakan persaingan pasar dengan produk apel impor. (Ruminta,
2015).
DAFTAR PUSTAKA

Amien I., Rejekiningrum, P., Pramudia, A., Susanti. E., (1996), Effects of Interannual Climate
Variability and Climate Change on Rice Yield in Java, Indonesia dalam Climate
Change Vulnerability and Adaptation in Asia and the Pacific, Doi: 10.1007/978-94-
017-1053-4.
Angles, Chinnadurai, and Sundar. (2011). Awareness on impact of climate change on dryland
agriculture and coping mechanisms of dryland farmers. Indian Journal of Agricultural
Economics. Vol.66, hlm. 365- 372.
Ayunwuy, Kuponiyi, Ogunlade, and Oyetoro. (2010). Farmers perception of impact of climate
changes on food crop production in Ogbomoso Agricultural Zone of Oyo State, Nigeria.
Continental Journal
D. B. Lobell et al., Science 319, 607 (2008).
Ida, N, H. Suryanto. 2015. Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Produksi Pertanian Dan
Strategi Adaptasi Pada Lahan Rawan Kekeringan. Jurnal Ekonomi dan Studi
Pembangunan. Vol. 16, hlm. 42-52.
IPCC, (2007), Climate Change 2007: Synthesis Report. Contribution of Working Groups I, II
and III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate
Change, (Core Writing Team, Pachauri, R.K and Reisinger, A. {eds.}). IPCC Geneva,
Switzerland, 104 pp., https://www.ipcc.ch/pdf/assessment-report/ar4/syr/ar4_syr
_full_report.pdf
Lipińska, I., (2016), Managing the Risk in Agriculture Production: The Role of Government.
Europ, Countrys 2· 2016, DOI: 10.1515/euco-2016-0007
Maulidah, S., Santoso, H., Subagyo, H., & Rifqiyyah, Q. (2012). DAMPAK PERUBAHAN
IKLIM TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHA TANI CABAI
RAWIT (Studi Kasus di Desa Bulupasar, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri). Sepa,
8(2), 51–182. https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2
Naylor, R.L., Battisti, D.S., Vimont, D.J., Falcon, W.P., Burke, M.B., (2007), Assesing the
Risk of Climate Variability and Climate Change for Indonesian Rice Agriculture dalam
Proceeding of the National Academic of Sci 114: 7752-7757, Doi:
10.1073/pnas.0701825104.
PEACE, (2007), Indonesia and Climate Charge: Current Status and Policies. Jakarta, PEACE
Ruminta, R. (2015). Dampak perubahan iklim pada produksi apel di Batu Malang Impacts of
climate change on production of apple in Batu Malang. Kultivasi, 14(2), 42–48.
https://doi.org/10.24198/kltv.v14i2.12064
Soejono, D., Sunarsih, M., dan Diantoro, K. (2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi padi pada kelompok tani Patemon II di Desa Patemon Kecamatan Tlogosari
Kabupaten Bondowoso. J-SEP. Vol. 3, hlm. 55-59.
Syahbuddin, H., Las, I., Unadi, A., Runtunuwu, E., (2007), Identifikasi dan Delineasi Kalender
Tanam dan Pola Tanam Pada Lahan Sawah Terhadap Anomali Iklim di Pulau Jawa,
Laporan Akhir Penelitian pada Satuan Kerja Balai Penelitian Agroklimat dan
Hidrologi, Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jakarta. Balitbang
Pertanian Departemen Pertanian.

Anda mungkin juga menyukai