Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH BUDIDAYA TANAMAN JAHE SECARA

KONVENSIONAL DAN ALTERNATIFNYA

Disusun Oleh:

Nama : Kriston Alfredo Siregar


NPM : E1J016001
Kelas :A
Mata Kuliah : Teknologi Produksi Tanaman Industri
Dosen pembimbing : Helfi Eka Saputra, SP.,M.Si.

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jahe merupakan salah satu komoditas ekspor rempah-rempah Indonesia, disamping itu
juga menjadi bahan baku obat tradisional maupun fitofarmaka, yang memberikan peranan cukup
berarti dalam penyerapan tenaga kerja dan penerimaan devisa negara. Sebagai komoditas ekspor
dikemas berupa jahe segar, asinan (jahe putih besar), jahe kering (jahe putih besar, kecil dan jahe
merah), maupun minyak atsiri dari jahe putih kecil (jahe emprit) dan jahe merah. Volume
permintaannya terus meningkat seiring dengan permintaan produk jahe dunia serta makin
berkembangnya industri makanan dan minuman di dalam negeri yang menggunakan bahan baku
jahe. Pada tahun 1998, ekspor jahe Indonesia mencapai 32.807 ton dengan nilai nominal US $
9.286.161. Tahun 2003 turun menjadi 7.470 ton dengan nilai US $ 3.930.317 karena mutu yang
tidak memenuhi standar. Namun permintaan jahe mengalami peningkatan setiap tahun. Kondisi
ini di Indonesia, direspon dengan makin berkembangnya areal penanaman dan munculnya
berbagai produk jahe.
Pengembangan jahe skala luas sampai saat ini perlu didukung dengan upaya
pembudidayaannya secara optimal dan berkesinambungan. Untuk mencapai tingkat keberhasilan
budidaya yang optimal diperlukan bahan tanaman dengan jaminan produksi dan mutu yang baik
serta stabil dengan cara menerapkan budidaya anjuran. Adanya penolakan ekspor jahe Indonesia
di negara tujuan terutama Jepang, karena tingginya cemaran mikroorganisme, mengakibatkan
anjloknya pendapatan petani jahe. Hal ini perlu segera diantisipasi dengan menerapkan budidaya
anjuran terbaik diantaranya dengan penggunaan bahan tanaman sehat yang berasal dari varietas
unggul. Selain itu, karena kualitas simplisia bahan baku industri hilir ditentukan oleh proses
budidaya dan pascapanennya, maka pembakuan standar prosedur operasional (SPO) budidaya jahe
dibuat guna mendukung GAP (Good Agricultural Practic).
Selama ini tanaman jahe dibudidayakan masyarakat Indonesia secara konvensional. Oleh
karena itu, perlu dilakukannya alternatif lain dalam proses budidaya jahe. Alternatif budidaya jahe
ini diharapkan mampu meningkatkan produktivitas jahe sehingga kebutuhan jahe secara nasionla
dapat terpenuhi.
1.2 Tujuan
Mengetahui budidaya jahe secara konvensional dan alternatifnya.
BAB II
ISI
1.Pembibitan
1.1 Penyediaan Bibit Jahe
a. Konvensional
Jahe diperbanyak dengan menggunakan stek rimpang. Untuk mendapatkan benih yang
baik rimpang perlu diseleksi. Benih yang akan digunakan harus jelas asal usulnya, sehat dan tidak
tercampur dengan varietas lain. Yang dimaksud, benih yang sehat adalah berasal dari pertanaman
yang sehat dan tidak terserang penyakit.
Rimpang yang telah terinfeksi penyakit tidak dapat digunakan sebagai benih karena akan
menjadi sumber penularan penyakit di lapangan. Pemilihan benih harus dilakukan sejak
pertanaman masih di lapangan. Apabila terdapat tanaman yang terserang penyakit atau tercampur
dengan jenis lain, maka tanaman yang terserang penyakit dan tanaman jenis lain harus dicabut dan
dijauhkan dari areal pertanaman. Selanjutnya, pemilihan (penyortiran) dilakukan setelah panen,
untuk membuang benih yang terinfeksi hama dan penyakit atau membuang benih dari jenis lain.
Rimpang yang akan digunakan untuk benih harus sudah tua minimal berumur 10 bulan.
Ciri-ciri rimpang yang sudah tua antara lain: (1) kandungan serat tinggi dan kasar, (2) kulit licin
dan keras tidak mudah mengelupas, dan (3) warna kulit mengkilat menampakan tanda bernas.
Rimpang yang dipilih untuk dijadikan benih, sebaiknya mempunyai 2-3 bakal mata tunas
yang baik dengan bobot sekitar 25-60 gr untuk jahe putih besar. Sedangkan jahe putih kecil dan
jahe merah masing-masing bobotnya 20-40 gr. Bagian rimpang yang terbaik dijadikan benih
adalah rimpang pada ruas kedua dan ketiga. Kebutuhan benih jahe putih besar untuk lahan seluas
1 ha sekitar 2-3 ton, sedangkan jahe putih kecil dan jahe merah sekitar 1-1,5 ton.
b. Alternatif
Penyakit utama yang menyeranq jahe adalah layu bakteri (Pseudomonas Sp) dan jamur
rimpang (Fusarium Sp). Peran bioteknologi melalui rekayasa genetika pada kultur jaringan
merupakan harapan dalam pengembangan varietas, perbanyakan bibit tanaman dan sifat-sifatnya,
terutama dalam peningkatan resistensi terhadap penyakit-penyakit. Disamping itu melalui
rekayasa genetika juga dimungkinkan ditemukan varietas baru yang memiliki produktivitas yang
lebih tinggi (Hobbelink, 1987), tahan terhadap kekeringan; tanah masam dan tahan beradaptasi
pada ekosistem buatan (Sudarsono, 1987).
1.2 Teknik Penyemaian Bibit Jahe
a. Konvensional
Untuk pertumbuhan tanaman yang serentak atau seragam, bibit jangan langsung ditanam
sebaiknya terlebih dahulu dikecambahkan. Penyemaian bibit dapat dilakukan dengan peti kayu
atau dengan bedengan.
a. Penyemaian pada peti kayu
Rimpang jahe yang baru dipanen dijemur sementara (tidak sampai kering), kemudian
disimpan sekitar 1-1,5 bulan. Patahkan rimpang tersebut dengan tangan dimana setiap
potongan memiliki 3-5 mata tunas dan dijemur ulang 1/2-1 hari. Selanjutnya potongan bakal
bibit tersebut dikemas ke dalam karung beranyaman jarang, lalu dicelupkan dalam larutan
fungisida dan zat pengatur tumbuh sekitar 1 menit kemudian keringkan. Setelah itu
dimasukkan kedalam peti kayu. Lakukan cara penyemaian dengan peti kayu sebagai berikut:
pada bagian dasar peti kayu diletakkan bakal bibit selapis, kemudian di atasnya diberi abu
gosok atau sekam padi, demikian seterusnya sehingga yang paling atas adalah abu gosok atau
sekam padi tersebut. Setelah 2-4 minggu lagi, bibit jahe tersebut sudah disemai.
b. Penyemaian pada bedengan
Buat rumah penyemaian sederhana ukuran 10 x 8 m untuk menanam bibit 1 ton (kebutuhan
jahe gajah seluas 1 ha). Di dalam rumah penyemaian tersebut dibuat bedengan dari tumpukan
jerami setebal 10 cm. Rimpang bakal bibit disusun pada bedengan jerami lalu ditutup jerami,
dan di atasnya diberi rimpang lalu diberi jerami pula, demikian seterusnya, sehingga
didapatkan 4 susunan lapis rimpang dengan bagian atas berupa jerami. Perawatan bibit pada
bedengan dapat dilakukan dengan penyiraman setiap hari dan sesekali disemprot dengan
fungisida. Setelah 2 minggu, biasanya rimpang sudah bertunas. Bila bibit bertunas dipilih agar
tidak terbawa bibit berkualitas rendah. Bibit hasil seleksi itu dipatah-patahkan dengan tangan
dan setiap potongan memiliki 3-5 mata tunas dan beratnya 40-60 gram.
b.Alternatif
Penyemaian jahe juga dapat dilakukan menggunakan karung. Masukkan rimpang jahe
yang telah dikopek, direndam, ditiriskan ke dalam karung. Ikat karung dengan kuat. Gali lubang
untuk menanam karung yang berisi rimpang bibit. Jahe. Kedalaman lubang disesuaikan dengan
ukuran karung dan banyaknya rimpang jahe untuk disemai. Tanam karung tersebut dan tutup
dengan tanah galian diatasnya dengan padat. Tunggu ± 2 minggu dan bongkar karungnya.
Biasanya dalam waktu tersebut bibit jahe sudaj bertunas.

2 Teknik Pengolahan Tanah


a. Konvensional
Sebelum benih ditanam dilakukan pengolahan tanah. Tujuan pengolahan tanah adalah
untuk menciptakan tanah menjadi gembur, subur, berhumus, berdrainase baik dan beraerasi baik,
serta membersihkan dari gulma. Tanah yang gembur akan memberikan kesempatan kepada
rimpang jahe untuk tumbuh dengan leluasa. Tanah liat yang kurang diolah menyebabkan rimpang
jahe tertekan, sedangkan tanah berkerikil menyebabkan rimpang tergores sehingga hasil tidak
maksimal.
Drainase yang baik akan mencegah tanaman dari serangan penyakit seperti penyakit layu
akibat tergenang air di sekitar areal tanam karena kurang baiknya drainase. Sedangkan aerasi yang
baik akan memberi ruang gerak bagi akar untuk menyerap unsur hara dan air, serta mengurangi
pembentukan senyawa-senyawa anorganik dalam tanah yang bersifat racun.
Pengolahan tanah dilakukan dengan cara menggarpu dan mencangkul tanah sedalam 30
cm, dibersihkan dari ranting-ranting dan sisa-sisa tanaman yang sukar lapuk. Untuk tanah dengan
lapisan olah tipis, pengolahan tanahnya harus hati-hati disesuaikan dengan lapisan tanah tersebut
dan jangan dicangkul atau digaru terlalu dalam sehingga tercampur antara lapisan olah dengan
lapisan tanah bawah, hal ini dapat mengakibatkan tanaman tumbuh kurang subur.
Setelah tanah diolah dan digemburkan, dibuat bedengan searah lereng (untuk tanah yang
miring), sistem guludan atau dengan sistim parit. Lebar bedengan berkisar antara 60-120 cm, tinggi
bedengan 25-30 cm dan panjang bedengan menyesuaikan dengan kondisi lahan dengan jarak antar
bedengan 30 cm. Setelah dibuat bedengan atau guludan kemudian dibuat lubang tanam sedalam
5-7 cm.
b.Alternatif
Pada saat pengolahan tanah diberi mikroorganisme. Faktor biologi yang potensial dalam
mempengaruhi kesuburan tanah ialah kegiatan mikroorganisme tanah. Berbagai studi manipulasi
mikroorganisme tanah danproses kegiatan metabolismenya terutama tertuju untuk membuat tanah
sebagai ekosistem buatan .yang cocok bagi peninqkatan produktivitas tanaman. Mikroorganisme
tanah yang telah lama dikenal karena memberikan keuntungan bagi tanaman adalah bakteri
Rhizobium sp (Prentis, 1990). Rhizobium atau dikenal dengan bakteri nodul akar, beraosiasi
simbiotik dengan tumbuhan iegum, karena kemampuan bakteri tersebut menambat nitrogen bebas
dari udara. Menurut Sudarsono (1987), mikroba organisme lain yang berasosiasi simbiotik dengan
banyak tanaman pertanian adalah .Mikorhiza. Fungi ini berperan mentransfer hara fosfor dari
tanah kepada akar tanaman.
Biokonversi bahan organik limbah pertanian merupakan bagian yang tak terpisahkan
dalam bioteknologi tanah. Produk bioteknologi yang dapat meningkatkan kesuburan tanah adalah
kompos. Penggunaan kompos pada budidaya jahe merupakan ha1 yang esensial. Jumlah dan
terlebih Lagi mutu kompos sangat berpengaruh terhadap produktivitas dan kesehatan tanaman.
Oleh karenanya peran bioteknologi tanah, baik dalam manipulasi mikroorganisme tanah maupun
dalam biokonversi bahan organik, dalam peningkatan kesuburan ataupun ekosistem yang cocok
bagi tanaman jahe diharapkan semakin besar.
Pemberian pupuk organik dapat digunakan juga sebagai kombinasi media tanam. Pada
umumnya tanaman jahe menghendaki tanah yang subur dan gembur. Pemberian pupuk organik
dalam budidaya jahe berperan penting untuk meningkatkan hasil rimpang terutama untuk klon jahe
gajah. Penelitian Patmawati (2007) tentang pengaruh pupuk organik terhadap produksi jahe gajah
(Zingiber officinale Rosc) organik panen muda menunjukkan bahwa pemberian perlakuan pupuk
kandang ayam menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan kompos jerami, solid dan
bokashi terhadap bobot rimpang per rumpun dan bobot rimpang

3 Penanaman Jahe
a. Konvensional
1. Penentuan Pola Tanaman
Pembudidayaan jahe secara monokultur pada suatu daerah tertentu memang dinilai cukup
rasional, karena mampu memberikan produksi dan produksi tinggi. Namun di daerah,
pembudidayaan tanaman jahe secara monokultur kurang dapat diterima karena selalu
menimbulkan kerugian. Penanaman jahe secara tumpangsari dengan tanaman lain mempunyai
keuntungan-keuntungan sebagai berikut :
a. Mengurangi kerugian yang disebabkan naik turunnya harga.
b. Menekan biaya kerja, seperti: tenaga kerja pemeliharaan tanaman.
c. Meningkatkan produktivitas lahan.
d. Memperbaiki sifat fisik dan mengawetkan tanah akibat rendahnya pertumbuhan gulma (tanaman
pengganggu).
Praktek di lapangan, ada jahe yang ditumpangsarikan dengan sayursayuran, seperti
ketimun, bawang merah, cabe rawit, buncis dan lain-lain. Ada juga yang ditumpangsarikan dengan
palawija, seperti jagung, kacang tanah dan beberapa kacang-kacangan lainnya.
1. Pembutan Lubang Tanam
Untuk menghindari pertumbuhan jahe yang jelek, karena kondisi air tanah yang buruk, maka
sebaiknya tanah diolah menjadi bedengan-bedengan. Selanjutnya buat lubang-lubang kecil atau
alur sedalam 3-7,5 cm untuk menanam bibit.
3. Cara Penanaman Cara penanaman dilakukan dengan cara melekatkan bibit rimpang secara rebah
ke dalam lubang tanam atau alur yang sudah disiapkan.
4. Perioda Tanam Penanaman jahe sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan sekitar bulan
September dan Oktober. Hal ini dimungkinkan karena tanaman muda akan membutuhkan air
cukup banyak untuk pertumbuhannya.
b. Alternatif
1. Penananamn jahe pada lahan pepaya dapat dilakukan. Penanaman jahe tanaman pokok papaya
umumnya dilakukan pada saat jahe berumur 5 bulan. Bersama-sama dengan penanaman jahe,
di bagian tepi bedengan ditanami cabai rawit atau kacang tanah. Jarak tanam papaya 3 m dalam
barisan dan 3 m antar barisan. Tanaman jahe bisa tumbuh di bawah naungan sehingga cocok
juga ditanam secara tumpang sari dengan tanaman berumur pendek dengan tajuknya yang tidak
terlalu menghalangi sinar matahari. Jahe bisa ditumpangsarikan dengan cabai atau jagung dan
kacang merah (dilakukan petani jahe di Garut).
2. Menanam jahe menggunakan keranjang. Keranjang yang digunakan bisa bervariasi. Untuk
menghemat biaya maka dapat digunakan keranjang-keranjang bekas kemasan buah-buahan di
pasar . Tetapi keranjang ini perlu diberi alas karung plastik di bawahnya karena anyaman
bambunya jarang. Selain ini bisa digunakan keranjang yang dipesan khusus untuk budidaya
jahe keranjang berupa keranjang persegi yang rapat anyaman bambunya . Penggunaan
keranjang pesanan memerlukan biaya cukup besar karena harga satu keranjang berkisar antara
Rp. 3.500– 4.000. Petani jahe di Perbaungan (Kabupaten Serdang Bedagai) Provinsi Sumatera
Utara, memodifikasi penggunaan keranjang untuk penghematan biaya. Caranya yaitu memberi
alas karung plastik pada lahan yang akan ditanami jahe, kemudian sekelilingnya dibatasi
dengan bambu betung yang dibelah dan disusun berdiri kira-kira 75-100 cm. Panjang lahan
yang dibatasi bambu betung umumnya 5-6 m.. Kelebihan penggunaan sistem ini adalah
menghemat biaya tetapi kekurangannya perlu media tanam yang lebih banyak.

4 Pemeliharaan Tanaman
a. Konvensional
4. 1 Penyulaman
Sekitar 2-3 minggu setelah tanam, hendaknya diadakan untuk melihat rimpang yang mati. Bila
demikian harus segera dilaksanakan penyulaman gar pertumbuhan bibit sulaman itu tidak jauh
tertinggal dengan tanaman lain, maka sebaiknya dipilih bibit rimpang yang baik serta
pemeliharaan yang benar.
4.2 Penyiangan
Penyiangan pertama dilakukan ketika tanaman jahe berumur 2-4 minggu kemudian dilanjutkan
3-6 minggu sekali. Tergantung pada kondisi tanaman pengganggu yang tumbuh. Namun setelah
jahe berumur 6-7 bulan, sebaiknya tidak perlu dilakukan penyiangan lagi, sebab pada umur
tersebut rimpangnya mulai besar.
4.3 Pembubunan
Tanaman jahe memerlukan tanah yang peredaran udara dan air dapat berjalan dengan baik,
maka tanah harus digemburkan. Disamping itu tujuan pembubunan untuk menimbun rimpang
jahe yang kadang-kadang muncul ke atas permukaan tanah. Apabila tanaman jahe masih muda,
cukup tanah dicangkul tipis di sekeliling rumpun dengan jarak kurang lebih 30 cm. Pada bulan
berikutnya dapat diperdalam dan diperlebar setiap kali pembubunan akan berbentuk gubidan
dan sekaligus terbentuk sistem pengairan yang berfungsi untuk menyalurkan kelebihan air.
Pertama kali dilakukan pembumbunan pada waktu tanaman jahe berbentuk rumpun yang terdiri
atas 3-4 batang semu, umumnya pembubunan dilakukan 2-3 kali selama umur tanaman jahe.
Namun tergantung kepada kondisi tanah dan banyaknya hujan.

4.4 Pemupukan
Pemberian pupuk dimaksudkan agar unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman tersedia cukup.
Oleh karenanya, pemupukan mutlak diperlukan terutama pada lahan yang kurang subur.
Pemupukan memegang peranan penting untuk meningkatkan hasil rimpang, yaitu pupuk organik
untuk memperbaiki tekstur tanah dan aerasi tanah, dan pupuk anorganik terutama N, P, dan K.
Teknologi pemupukan anjuran untuk tanaman jahe.

4.5 Penyiraman dan Pengairan


Tanaman jahe memerlukan tanah yang memiliki ketersediaan air yang cukup untuk menunjang
pertumbuhan tanaman. Air merupakan senyawa penting dalam pertumbuhan tanaman. Apabila
terjadi kelebihan atau kekurangan air dapat mengganggu dan menghambat proses fisiologi yang
terdapat dalam tubuh tanaman sehingga laju prosesnya berlangsung dibawah normal.
Penyediaan air secara cukup pada media pertanaman mutlak diperlukan, terutama pada tanaman
muda yang sangat membutuhkan air untuk proses pertumbuhan vegetatifnya hingga dewasa.
Namun, secara umum kondisi air tanah perlu dijaga pada kapasitas lapang agar pertumbuhan
tanaman menjadi optimum. Pada tanaman jahe jika tidak turun hujan dilakukan penyiraman air
pagi dan sore hari. Hasil penelitian menunjukkan pemberian air setiap hari dapat meningkatkan
Rerata bobot segar rimpang jahe 35 – 36% dibandingkan dengan pemberian air 2 – 3 hari sekali
(Ikha Dewi, 1993)
4.6 Pengendalian Hama Penyakit

b.Alternatif.
1. Pemupukan menggunakan pupuk kompos
Pemberian pupuk kandang umumnya dilakukan sewaktu penambahan media tanam dan
pembumbunan. Sedangkan, pupuk organik cair diberikan secara berkala setiap minggu sekali
dengan cara disemprotkan kepada tanaman. Jika perlu petani juga menambahkan pupuk organik
yang berbentuk tablet yang dihancurkan, dengan dosis 2 tablet per keranjang. Penggunaan pupuk
organik mampu meningkatkan produksi dan mutu jahe pada umur 4 bulan. Bobot rimpang segar
tertinggi pada perlakuan 50% pupuk organik rekomendasi + pupuk organik granular anjuran. Hal
ini menunjukkan bahwa pupuk organik mampu mengurangi penggunaan pupuk anorganik sebesar
50% pada pertanaman jahe muda di pot (Gusmaini, 2007).
Rosita dan Darwati (2007) melakukan penelitian respons pupuk organik untuk
meningkatkan pertumbuhan dan produksi jahe. Perlakuan yang dicobakan pupuk kandang 1
kg/tanaman, pupuk kandang 1 kg/tanaman + asam leonat 45 ppm setiap dua minggu dan kascing
0,5 kg/tanaman. Mereka mendapatkan pemakaian pupuk kandang 1 kg/tanaman akan lebih efisien
dibandingkan dengan pupuk organik lainnya untuk pertumbuhan dan produksi jahe muda 105 hari
setelah tanam.
Maslahah et al. (2007) mendapatkan teknologi pemupukan dengan kompos, pupuk hijau
dan fungi mikoriza arbuskular (FMA) sebagai alternatif pengganti pupuk kandang yang lebih
murah dan berwawasan lingkungan. Produksi jahe muda tertinggi (472, 48 g/rumpun) diperoleh
pada perlakuan 10 ton kompos + 30 ton pupuk hijau + 50% NPK standar + FMA, dengan
peningkatan produksinya sebesar 9,45% dibandingkan dengan pemupukan standar.
Pemanfaatan pupuk organik terkait dengan upaya menghasilkan produk pertanian organik.
Sebagian konsumen hasil pertanian terutama sayuran dan buah segar lebih menyukai produk
pertanian organik dari pada produk pertanian anorganik, rasa, warna, aroma dan tekstur hasil
pertanian organik umumnya lebih baik dari pada produk anorganik. Demikian juga kombinasi
pemberian pupuk P (P2O5) dan pupuk K (K2O) dapat meningkatkan bobot rimpang jahe
(Jurnawaty, 1994).
2. Pengendalian Hama Penyakit
Penyakit yang sering menyerang tanaman jahe yaitu penyakit bercak daun, busuk rimpang
dan layu bakteri. Penyakit layu bakteri ini disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum.
Gejalanya dimulai dari terlihatnya satu atau beberapa batang berubah menjadi layu dan daun-daun
menguning, kering atau hitam mengatup. Dalam 2-4 hari batang mati rebah. Kemudian, secara
berangsur-angsur gejala ini menular kerumpun yang lain. Sampai sekarang belum ada satu paket
teknologi pengendalian yang memberikan hasil yang memuaskan, kecuali dengan usaha
pencegahan yang ketat. Usaha pencegahan yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut:
1. Tidak melakukan penanaman berulang pada lahan yang sama (telah ditanami jahe secara
berturut-turut). Setelah melalui pergiliran tanaman beberapa kali (minimal 3 kali) dengan
tanaman lain, baru lahan tersebut dapat ditanami kembali.
2. Seleksi bibit yang ketat atau menggunakan bibit yang sehat.
3. Perlakuan bibit (tuber treatment) dengan menggunakan Agrimycin dan abu sekam/abu bakar
sebelum ditunaskan.
4. Melakukan pergiliran waktu tanam yang bergerak dari lahan yang terbawah menuju lahan
yang paling tinggi bila penanaman dilakukan dilahan landai, bergelombang, atau berlereng.
5. Meminimalkan terjadinya pelukaan pada akar maupun pada rimpang. Misalnya,
pembumbunan dilakaukan secara hati-hati agar tidak melukai akar atau rimpang.
6. Cepat mencabut atau membakar tanaman yang menunjukkan gejala serangan sebelum
menyebar ke seluruh pertanaman.
Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum pada tanaman jahe
merupakan penyakit penting di beberapa negara di Asia, Australia dan Afrika, termasuk di
Indonesia (Semangun, 2000). Di Indonesia penyakit ini dilaporkan pertama kali di Kuningan, Jawa
Barat kemudian menyebar ke daerah lain di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jambi, Lampung, Sumatera
Utara dan Bengkulu (Januwati, 1999).
Pengendalian penyakit sebaiknya dilakukan secara terpadu melalui penggunaan varitas
tahan, perbaikan kultur teknis, pemakaian bibit sehat, dan secara hayati (Elphinstone dan Aley,
1995). Usaha mendapatkan bibit bebas patogen sulit dilakukan karena hampir 85% lahan pertanian
jahe putih besar terinfeksi oleh patogen (Bustamam, 2003). Suardi (2002) mendapatkan serangan
R. solanacearum tertinggi pada klon jahe gajah yaitu 80,56% dibandingkan dengan jahe merah
hanya 38,89%. Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa penanaman jahe di lahan baru dapat
bebas dari serangan bakteri dibandingkan jika diusahakan di lahan lama bekas pertanaman kopi
atau semusim (Bustamam, 2003).
Bustamam (2001) telah menyeleksi dan mendapatkan 6 jenis jamur pelarut fosfat yang
dapat mengurangi potensi inokulum patogen di tanah sebesar 73,40-84,00% namun potensi
inokulum yang tertinggal di tanah masih tinggi. Hasil seleksi mikroba dari rhizosfer tanaman sehat
di lahan pertanaman jahe yang terinfeksi mikroba yang potensial dipergunakan sebagai pengendali
hayati (Bustamam, 2006). Wahyuti (2002) mendapatkan cairan dari perasan bunga cengkeh
mampu menekan serangan R. solanacearum. Habazar et al., (2007) menyatakan bahwa isolat
rhizobakteria mampu mengimunisasi tanaman jahe sehingga menekan perkembangan penyakit
layu bakteri dengan tingkat efektivitas 33-100%.
Hasil penelitian Suharti dan Habazar (2007) menunjukkan bahwa fungi mikoriza
arbuskular dapat menginduksi ketahanan tanaman jahe terhadap penyakit bakteri R. solanacearum
ras 4. Menurut Martanto (2001) pemberian abu sekam sebanyak 6% dari total media tanam dapat
menekan intensitas serangan penyakit layu Fusarium pada tomat. Penelitian lain bahwa minyak
serai wangi dapat mengendalikan konidia Fusarium penyebab penyakit layu pada tanaman tomat
(Chrisnawati, 2001). Nurmansyah dan Syamsul (2001) menyimpulkan minyak atsiri serai wangi
mempunyai potensi sebagai fungisida alternatif untuk pengendalian layu Fusarium pada tanaman
cabai.

5. Panen
Pemanenan jahe tergantung pada produk akhir yang diinginkan walaupun umumnya jahe
dipanen setelah umur 8- 12 bulan. Untuk konsumsi segar sebagai bumbu dipanen pada umur 8
bulan, sedang untuk keperluan bibit dipanen umur 10 bulan atau lebih. Sementara untuk keperluan
asinan jahe, jahe awet dipanen muda berumur 3-4 bulan.
Panen dilakukan dengan cara membongkar seluruh tanaman menggunakan cangkul atau
garpu. Agar rimpang hasil panen tidak lecet dan tidak terpotong perlu kehati-hatian waktu panen
karena akan mengurangi mutu jahe. Rimpang dibersihkan dari kotoran dan tanah yang menempel.
Tanah yang menempel apabila dibiarkan akan mengering dan sulit dibersihkan.
Selanjutnya, jahe tersebut diangkut ke tempat pencucian untuk disemprot dengan air. Pada
saat pencucian jahe tidak boleh digosok agar tidak lecet, kemudian dilakukan penyortiran sesuai
tujuan. Berdasarkan standar perdagangan, mutu rimpang jahe segar dikategorikan menjadi ;
(a) Mutu I, bobot 250 g/rimpang, kulitnya tidak terkelupas, tidak mengandung benda asing dan
kapang,
(b) Mutu II, bobot 150-249 g/rimpang, kulitnya tidak terkelupas, tidak mengandung benda asing
dan kapang, dan
(c) Mutu III, bobot sesuai hasil analisis, kulit yang terkelupas maksimum 10%, benda asing
maksimum 3%, dan kapang maksimum 10%.
BAB III
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Poses budidaya jahe dilakukan secara konvensional. Proses budidaya jahe secara
konvensional merupakan cara budidaya yang banyak diterapkan oleh masyarakat dan berlangsung
sejak lama. Adanya cara alternatif dalam proses budidaya jahe memudahkan kita dan diharapkan
hasilnya jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan konvensional. Dan cara alternatif dapat
digunakan ketika bahan atau alat yang kita perlukan dalam proses budidaya jahe secara
konvensional tidak tersedia/menggantikan bahan, cara, alat pada konvensional.
Daftar Pustaka
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2008. Teknologi Budidaya
Jahe. BPTP, Bogor.
Bustamam, H. 2001. Pengaruh pemberian jamur terhadap serapan p dan pengurangan penyakit
layu bakteri pada tanaman jahe. Akta Agrosia 4(2): 69-75.
Bustamam, H. 2003. Perkembangan penelitian penyakit jahe di Bengkulu. Proscesding Lokakarya
Grand Desain Pengembangan Jahe Sehat di Provinsi Bengkulu.
Bustamam, H. 2006. Seleksi mikroba rizosfer antagonis terhadap bakteri Ralstonia solanacearum
Penyebab Penyakit layu bakteri pada tanaman jahe di lahan tertindas. JIPI 8(1):12- 18.
Chrisnawati, 2001. Uji daya kendali pestisida nabati minyak serai wangi dan fraksinya terhadap
Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici Penyebab Penyakit Layu Fusarium Tanaman Tomat
(Stigma IX (4)) Fakultas Pertanian Universitas Mahaputra Yamin, Solok. Hal. 350-353.
Elphinstone, JG and P. Aley. 1996. Integreted Control of Bacterial Wilt of Potato in Warm Tropics
of Peru. P: 276-283. In: Hartman G. L and AC Hayward (eds). Bacterial Wilt. ACIAR Proc.
No. 45, Canberra, Australia.
Gusmaini, 2007. Pengujian efektifitas pupuk organik granular terhadap pertanaman jahe muda.
Abstrak Seminar Nasional dan Pameran perkembangan Teknologi Tanaman Obat dan
Aromatik. Hal. 68-69.
Habazar T, Nasrun, Dachryanus, N Suharti, Y. Yanti dan Deswita, 2007. Imunisasi tanaman jahe
dengan Rhizobakteria untuk pengendalian penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum
Ras 4). Semirata BKS PTN Bidang Ilmu Pertanian, Pekanbaru. Hal. 224.
Hapsoh., Y. Hasanah dan E. Julianti. 2010. Budidaya dan Teknologi Pasca Panen Jahe. USU Press,
Medan.
Hobbelink, H. 1987. New Hope or Promise Biotechnology and Third World Agriculture. ICDA.
Brussels.
Ikha Dewi, 1993. Pengaruh tingkat pemberian air dan pupuk kandang terhadap pertumbuhan dan
produksi tanaman jahe badak (Zingeber officinale Rosc.) (Skripsi) Jurusan Budidaya
Pertanian Fakultas Pertanian, IPB.
Januwati, M. 1999. Optimalisasi Usahatani Tanaman Jahe. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat.
Jurnawaty, S., 1994. Pemupukan Fosfor dan Kalium Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jahe
(Zingiber officinale). LP UNRI, Pekanbaru.
Martanto E A, 2001. Pengaruh abu sekam terhadap pertumbuhan tanaman dan intensitas penyakit
layu fusarium pada tomat (Jurnal 8 (2)) Program Studi Agronomi Jurusan Budidaya
Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Negeri Papua. Hal. 37-40.
Maslahah, N., O. Trisilawati dan Setiawan, 2007. Efisiensi budidaya jahe dengan pupuk organik
alternatif dan mikoriza arbuskula. Abstrak Seminar Nasional Teknologi Tanaman Obat dan
Aromatik. Hal. 76.
Nurmansyah dan H. Syamsul, 2001. Pengaruh minyak atsiri beberapa klon unggul serai wangi
terhadap patogen penyebab penyakit layu dan busuk pangkal batang tanaman cabai (Stigma
IX (4)) IPPTP Laing, Solok. Hal. 359-361.
Patmawati, L., 2007. Pengaruh pupuk organik terhadap produksi tanaman jahe gajah (Zingiber
officinale Rosc) organik panen muda. Skripsi S1. Fakultas Pertanian, Program S1 Non
Reguler Jurusan Budidaya Pertanian (Agronomi) Universitas Riau. Pekanbaru.
Rosita, S. M. D dan I. Darwati, 2007. Pengaruh pupuk organik dan stadia pertunasan benih
terhadap pertumbuhan dan produksi jahe muda (Zingiber officinale Rosc.). Abstrak Seminar
Nasional Teknologi Tanaman Obat dan Aromatik. Hal. 80- 81.
Semangun, H. 2000. Penyakit- Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Suardi A, 2002. Uji Ketahanan beberapa klon jahe terhadap penyakit layu bakteri (Ralstonia
solanacearum) (Skripsi) Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian
Universitas Syiah Kuala Darussalam, Banda Aceh.
Sudiarto, Elna K dan Natalini NK. 1991. Teknik Budidaya Jahe. Pusat Pengembangan Tanaman
Industri. Balitro. Bogor.
Wahyuti, 2002. Uji Beberapa antibiotik dan cairan perasan bunga cengkeh dalam pengendalian
penyakit layu bakteri pada jahe (Skripsi) Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas
Pertanian Universitas Syiah Kuala Darussalam, Banda Aceh.

Anda mungkin juga menyukai