Anda di halaman 1dari 63

TUGAS UJIAN LONG CASE

CHRONIC KIDNEY DISEASE


GAGAL JANTUNG AKUT
CONGESTIVE HEART FAILURE

Oleh:
Suci Estetika Sari 1840312635

Penguji:
dr. Akmal M Hanif, Sp.PD-KKV

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2019

1
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN 1
DAFTAR ISI 2
I CHRONIC KIDNEY DISEASE 3
II GAGAL JANTUNG AKUT 32
III CONGESTIVE HEART FAILURE 53

2
1. CHRONIC KIDNEY DISEASE
1.1 Definisi
Sebelum tahun 2002, istilah insufisiensi renal kronis (chronic renal insufficiency) dipakai un
pasien dengan penurunan fungsi ginjal progresif, yang didefinisikan sebagai laju filtrasi glomeru
(glomerular filtration rate) kurang dari 75 ml/mnt/1,73 m2 luas permukaan tubuh.
Istilah baru, yaitu CKD, diperkenalkan oleh NKF-K/DOQI untuk pasien yang memiliki sa
satu kriteria berikut:
1. kerusakan ginjal ≥3 bulan, dimana terdapat abnormalitas struktur atau fungsi ginjal dengan a
tanpa penurunan GFR yang dimanifestasikan oleh satu atau beberapa gejala berikut:
- abnormalitas komposisi darah atau urin
- abnormalitas pemeriksaan pencitraan
- abnormalitas biopsy ginjal
2. GFR <60 ml/mnt/1,73 m2 luas permukaan tubuh selama ≥3 bulan dengan atau tanpa tan
kerusakan ginjal lainnya.

1.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal kro
diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% set
tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal gin
pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 ka
perjuta penduduk pertahun.

1.3 Klasifikasi
Sistem klasifikasi CKD yang sering dipakai diperkenalkan oleh NKF-K/QODI berdasark
tingkat GFR, bersama berbagai parameter klinis, laboratorium dan pencitraan. Tujuan adanya syst
klasifikasi adalah untuk pencegahan, identifikasi awal gangguan ginjal, dan penatalaksanaan yang da
mengubah perjalanan penyakit sehingga terhindar dari end stage renal disease (ESDR). Nam
demikian system klasifikasi ini hanya dapat diterapkan pada pasien dengan usia 2 tahun keatas, kar
adanya proses pematangan fungsi ginjal pada anak dengan usia di bawah 2 tahun.
Klasifikasi menurut NICE 2008
1. Memeriksa adanya proteinuria saat menentukan stadium dari GGK
2. Proteinuria

3
a. Urin ACR (albumin clearance ratio) 30 mg/mmol atau lebih
b. Urin PCR 50 mg/mmol atau lebih
3. Stadium 3 dari GGK harus dibagi menjadi 2 subkategori:
a. LFG 45-59 ml/min/1,73 m2 (stadium 3 A)
b. LFG 30-44 ml/min/1,73 m2 (stadium 3 B)
4. Penanganan pada GGK tidak boleh dipengaruhi usia
Stadiu GFR (ml/mnt/1,73 DESKRIPSI
m m2)
1 ≥90 Kerusakan ginjal dengan GFR
normal/meningkat
2 60-89 Kerusakan ginjal dengan penuruna GFR
ringan
3 30-59 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR
sedang
4 15-29 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR
berat
5 <15 Gagal ginjal

1.4 Etiologi
Penyakit gagal ginjal kronik dapat dibagi dua, yaitu:
1. kelainan parenkim ginjal
- penyakit ginjal primer
 glomerulonephritis
 pielonefritis
 ginjal polikistik
 TBC ginjal
- penyakit ginjal sekunder
 nefritis lupus
 nefropati analgesic
 amyloidosis ginjal
2. penyakit ginjal obstruktif
- pembesaran prostat

4
- batu saluran kencing
-
Kondisi-kondisi yang meningkatkan risiko terjadinya CKD
 Riwayat penyakit ginjal polikistik atau penyakit ginjal genetik lainnya di keluarga
 Bayi dengan berat badan lahir rendah
 Anak-anak dengan riwayat gagal ginjal akut akibat hipoksia perinatal atau serangan
akut lainnya pada ginjal
 Hipoplasia atau displasia ginjal
 Gangguan urologis, terutama uropati obstruktif
 Refluks vesikoureter yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih berulang dan
parut di ginjal
 Riwayat menderita sindrom nefrotik dan nefritis akut
 Riwayat menderita sindrom uremik hemolitik
 Riwayat menderita purpura Henoch-Schőnlein
 Diabetes Melitus
 Lupus Eritermatosus Sistemik
 Riwayat menderita hipertensi
 Penggunaan jangka panjang obat anti inflamasi non steroid

1.5 Patogenesis
Glomerulosklerosis
Progresifitas menjadi CKD berhubungan dengan sklerosis progresif glomeruli yang dipengar
oleh sel intraglomerular dan sel ekstraglomerular. Kerusakan sel intraglomerular dapat terjadi pada
glomerulus intrinsik (endotel, sel mesangium, sel epitel) dan ekstrinsik (trombosit, limfo
monosit/makrofag). Sel endotel dapat mengalami kerusakan akibat gangguan hemodinamik, metabo
dan imunologis. Kerusakan ini berhubungan dengan reduksi fungsi antiinflamasi dan antikoagu
sehingga mengakibatkan aktivasi dan agregasi trombosit serta pembentukan mikrotrombus pada kap
glomerulus serta munculnya mikroinflamasi. Akibat mikroinflamasi, monosit menstimulasi prolife
sel mesangium sedangkan faktor pertumbuhan dapat mempengaruhi sel mesangium yang berprolifer
menjadi sel miofibroblas sehingga mengakibatkan sklerosis mesangium. Karena podosit tidak mam
bereplikasi terhadap jejas sehingga terjadi peregangan di sepanjang membrana basalis glomerulus d

5
menarik sel inflamasi yang berinteraksi dengan sel epitel parietal menyebabkan formasi adesi kapsu
dan glomerulosklerosis, akibatnya terjadi akumulasi material amorf di celah paraglomerular
kerusakan taut glomerulo-tubular sehingga pada akhirnya terjadi atrofi tubular dan fibrosis interstisia

Parut tubulointersisial
Proses fibrosis tubulointerstisialis yang terjadi berupa inflamasi, proliferasi fibroblas interstis
dan deposisi matriks ekstra selular berlebihan. Gangguan keseimbangan produksi dan pemecah
matriks ekstra selular mengakibatkan fibrosis ireversibel

Sklerosis vascular
Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular mengeksaserbasi iskemi intersti
dan fibrosis. Tunika adventisia pembuluh darah merupakan sumber miofibroblas yang berperan dal
berkembangnya fibrosis interstisial ginjal.

1.6 Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit awal y
mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sam
Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi struktur dan fungsi dari nefron yang seh
Kompensasi hipertrofi ini diperantarai oleh molekul vasoaktif sitokin dan growth factor. Hal
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran da
glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maldaptasi beru
sclerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron ya
progrsif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis ren
angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi sclero
dan progrsifisitas peyakit tersebut.
Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin aldosterone, sebagian diperantarai oleh Gro
Factor seperti Transforming Growth Factor ß (TGF-ß). Beberapa hal yang juga dianggap berpe
erhadap progresivitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia d
dyslipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sclerosis dan fibrosis glomeru
maupun tubulointersisial. Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan d
cadang ginjal, pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian sec
perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan funsi nefron yang progesif, yang ditandai deng

6
peningkatan kadar urea an kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih bel
merasakan keluhan (asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin seru
Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mu
nafsu makan berkurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, tekanan dar
gangguan metabolism fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan sebagainya. Pasien juga mud
terkena infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terj
gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hypervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit, ant
lain Na+ dan K+. Pada LFG di bawah 15%, akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, d
dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy) antara lain dialy
atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
Azotemia adalah retensi dari produk sisa nitrogen sebagai perkembangan insufisiensi gin
Uremia adalah tahap yang lebih berat dari progresifitas insufisiensi ginjal dimana berbagai syst
organ telah terganggu. Meskipun urmia bukan penyebab utama, urea dapat menimbulkan gejala kli
seperti anoreksia, malaise, muntah dan sakit kepala. Produk nitrogen lainnya seperti kompon
guanido, urat dan hipurat, hasil akhir metabolism asam nukleat, poliamin, mioinositol, fenol, benzo
dan indol dapat tertahan di dalam tubuh pada penyakit ginjal kronik dalam hal ini dipercaya da
meningkatkan angka kematian pada uremia. Uremia tidak hanya mempengaruhi kegagalan eksk
renal saja tetapi dapat juga menyebabkan gangguan pada fungsi metabolic dan endokrin yang da
menyebabkan anemia malnutrisi, gangguan metabolism karbohidrat, lemak, protein, ganggu
penggunaan energy, dan penyakit tulang metabolic. Lebih jauh lagi kadar plasma berbagai hormo
polipeptida seperti hormone paratiroid (PTH), insulin, glucagon, luteinizing hormone dan prolac
akan meningkat pada gagal ginjal, bukan hanya karena gangguan katabolisme ginjal tetapi juga kar
meningkatkan sekresi endokrin yang menimbulkan konsekuensi sekunder dari ekskresi primer a
gangguan sintetik renal. Di lain sisi, produksi eritropoetin (EPO) dan 1,25-dihidroksikolekalsife
ginjal terganggu. Jadi patofisiologi dari sindroma uremia dapat dibagi menjadi dua bagian. Ya
pertama merupakan akumulasi dari produk metabolism protein, yang kedua merupakan akibat d
kehilangan dari fungsi ginjal seperti keseimbangan cairan dan elektrolit, kelainan hormone.
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah, kuant
hemoglobin, dan volume packed red cells (hematokri) per 100 ml darah. Anemia bukanlah su
diagnosis, melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan mela
anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan konfirmasi laboratorium.
Anemia merupakan satu dari gejala klinik pada gagal ginjal. Anemia pada penyakit gin

7
kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/min/1,73 m2 luas permukaan tubuh, dn
ini menjadi lebih parah dengan semakin memburuknya fungsi ekskresi ginjal. Terdapat var
hematocrit pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal. Kadar nilai hematocrit dan klirens kreati
memiliki hubungan kuat. Kadar hematocrit biasanya menurun saat kreatinin klirens menurun sam
kurang dari 30-35 ml/min. Anemia pada gagal ginjal merupakan tipe normositik normokrom apab
tidak ada factor lain yang memperberat seperti defisiensi besi yang terjadi pada gagal ginjal. Anemia
bersifat hiporegeneratif. Jumlah retikulosit yang nilai hematokritnya dikoreksi menjadi normal, tid
adekuat.

1.7 Manifestasi klinis


1. Gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa
a. Hemostasis natrium dan air
Pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronik yang stabil kandungan Natrium d
H20 pada seluruh tubuh meningkat secara perlahan penyebabnya adalah terganggun
keseimbangan glomerulotubular yang menyebabkan retensi natrium atau natrium dari pro
pencernaan menyebabkan penambahan natrium yang menyebabkan ekspansi volume cai
ekstra seluler (CES) dimana ekspansi CES akan menimbulkan hipertensi yang menyebabk
kerusakan ginjal lebih jauh. Pasien dengan penyakit ginjal kronik yang belum di dialy
tetapi terbukti terjadi ekspansi CES, pemberian loop diuretic bersama dengan pengurang
intake garam dapat digunakan sebagai terapi. Pasien dengan penyakit ginjal kronik ju
memiliki gangguan mekanisme ginjal untuk menyimpan Natrium dan H2O.
b. Hemostasis Kalium
Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu disertai dengan penurunan ekskr
kalium urin. Walaupun demikian hyperkalemia dapat terjadi dengan gejala klinis beru
konstipasi, katabolisme protein, hemolysis, perdarahan, transfusion of stored red blood ce
augmented dietary intake, metabolic asidosis dan beberapa obat dapat menghambat kali
masuk ke dalam sel atau menghambat sekresi kalium di distal nefron. Hypokalemia jara
terdapat pada penyakit ginjal kronis. Biasanya merupakan tanda kurangnya intake kali
dalam kaitannya pada terapi diureik atau kehilangan dari garam intestinal
c. Asidosis metabolic
dengan berlanjutnya gagal ginjal seluruh ekskresi asam sehari-hari dan produksi penyan
jauh dibawah kadar yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan eksternal i

8
ion hydrogen. Asidosis metabolic ialah akibat yang tidak dapat dihindarkan. P
kebanyakan pasien dengan insufisiensi ginjal yang stabil, pemberian 20-30 mmol/h
natrium bikarbonat atau natrium sitrat memperbaiki asidosis. Namun dalam resp
terhadap tantangan asam yang mendadak (apakah dari sumber endogen atau eksogen) pas
gagal ginjal kronik rentan terhadap asidosis, yang dibutuhkan jumlah alkali yang be
untuk koreksi. Pemberian natrium harus dilaksanakan dengan perhatian yang seksa
terhadap status volume.

2. Penyakit tulang dan kelainan metabolism kalsium dan fosfat


Kelainan mayor dari penyakit tulang pada penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan seba
high bone turnover dengan tingginya kadar PTH atau low bone turnover dengan rendah atau normal
PTH. Patofisiologi dari penyakit tulang akibat sekunder hiperparatiroidisme berhubungan deng
metabolism mineral yang abnormal, yaitu
- penurunan LFG menyebabkan penurunan ekskresi inorganic fosfat (PO43-) d
menimbulkan retensi PO43-bertahannya PO43- memiliki efek langsung terhadap sintesis P
dan masal sel kelenjar paratiroid
- tertahannya PO43- juga menyebabkan terjadinya produksi yang berlebihan dan ekskresi P
melalui turunnya ion Ca2-, dan dengan supresi produksi klsitriol (1,25-dihidroksi o
kalsiferol).
- Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari penurunan sintesis akibat pengurang
masa ginjal dan akibat hiperfosfatemia. Kadar kalsitriol yang rendah, pada akhirn
menimbulkan hiperpaatioridisme melalui mekanisme langsung dan tidak langsu
Kalsitriol diketahui memiliki efek supresi langsung pada trnaskripsi PTH. Oleh karna
penurunan kalsitriol pada penyakit ginjal kronik menyebabkan peningkatan kadar PT
Selain itu pengurangan kalsitriol menimbulkan gangguan basorbsi Ca2+ dari trak
gastrointestinal, yang kemudian menimbulkan hipokalsemia, yang selanjutn
meningkatkan sekresi dan produksi PTH. Secara keseluruhan, hiperfosfatem
hipokalsemia, dan penurunan sintesis kalsitriol menyebabkan produksi PTH dan prolifer
dari sel paratiroid yang menimbulkan hiperparatiroid sekunder. Low turnover bone da
diklasifikasikan dalam 2 kategori yaitu osteomalasia dan penyakit tulang adinam
Keduanya memiliki karakteristik berupa penurunan jumlah osteoklas dan osteoblast d
dikemudian hari terjadi penurunan aktifitas. Pada osteomalasia, terdapat akumulasi matr

9
tulang yang tidak termineralisasi, atau peningkatan volume osteoid yang da
menyebabkan defisiensi vitamin D, peningkata deposit aluminium, atau asidosis metabo
Penyakit tulang adinamik dikenali sebagai kejadian lesi tulang hiperparatiroid pada pas
dengan penyakit ginjal kronik dan gagal ginjal kronik, dan ini biasanya terjadi pada pas
dengan diabetes. Penyakit tulang adinamik memiliki kriteria berupa pengurangan volu
tulang dan mineralisasi dan merupakan hasil supresi produksi PTH dengan terapi kalsitr
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terja
Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan mengatasi hiperfosfatemia d
pemberian hormone kalsitriol (1,25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia melip
pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absor
fosfat di saluran cerna. Dialysis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga i
berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.

3. Kelainan kardiovaskuler
a. Penyakit jantung iskemik
Peningkatan prevalensi penyakit jantung coroner merupakan akibat dari factor resiko kla
yaitu hipertensi, hypervolemi, dyslipidemia, overaktivitas simpatis, d
hiperhomosisteinemia. Dan factor resiko non tradisional yaitu anemia, hiperfosfatem
hiperparatiroidisme dan derajat mikroinflamasi yang dapat ditemukan dalam setiap dera
penyakit ginjal kronik. Derajat inflamasi meningkatkan reaktan fase akut, seperti interleu
6 (IL-6) dan C-reaktif protein (CRP), yang menyebabkan proses penyumbatan coroner, d
meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler. Nitride- oksida merupakan mediator ya
penting pada dilatasi vaskuler. Keberadaan nitrit oksida pada penyakit ginjal kro
menurun sebab terjadi peningkatan konsentrasi asimetris dimetil-1-arginin.
b. Gagal jantung kongestif
Kelainan jantung sepetti, myocardial ischemic disease dan atau left ventricular hypertro
bersamaan dengan retensi air dan garam pada uremia, kadang menyebabkan gagal jantu
kongestif dan edema pulmonal.
c. Hipertensi merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang paling sering. Hiperte
yang berkepnjangan menyebabkan terjadinya hipertofi ventrikel.

4. Kelainan hematologi

10
a. Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik terutama disebabkan o
defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia ada
defisiensi besi, kehilangan darah (missal perdarahan saluran cerna), masa hidup eritro
yang lebih pendek akibat terjadinya hemolysis, defisiensi asam folat, penekanan sums
tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik, hiperparatiroidisi
yang berat, keracunan aluminium, dan keadaan umum lain seperti hemoglobinopati. Anem
yang tidak diterapi akan berhubungan dengan beberapa kelainan fisiologis, sep
penurunan pengantaran dan penggunaan oksigen ke jaringan, meningkatkan cardiac outp
pembesaran jantung, hipertrofi venrikel, angina, gagal jantung kongestif, penurunan fun
mental dan kognitif, gangguan siklus menstruasi, gangguan host untuk melawan infe
Selain itu anemia dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak dengan penya
ginjal kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤10 g % a
hematocrit ≤30% meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum-serum ir
kapasitas ikat besi total (total iron binding capacity), ferritin serum, mencari sum
perdarahan, morflogi eritrosit, kemungkinan adanya hemolysis dan sebagainya.
b. Gangguan pembekuan
Hal ini berhubungan dengan pemanjangan bleeding time, penurunan aktivitas fac
pembekuan III, kelainan platelet agregasi, dan gangguan konsumsi rotrombin. Gej
kliniknya berupa perdarahan yang abnormal, pendarahan dari luka operasi, perdarah
spontan dari traktus gastrointestinal, dll.
5. Kelainan neuromuscular
Neuropati sentral, perifer, otonom dengan gangguan komposisi dan fungsi otot, merupak
komplikasi yang sering pada penyakit ginjal kronik. Gejala awal pada system saraf pusat, sep
gangguan ingatan sedang, gangguan konsentrasi, dan gangguan tidur; iritabilitas neuromuscular, sep
hiccups, keram, fasikulasi atau twitching otot. Pada uremia terminal didapatkan mioklonus, chor
bahkan sampai terjadi kejang dan koma. Neuropati perifer biasanya menyerang saraf sensoris lebih d
saraf motoric, ekstremitas bawah lebih dari ekstremitas atas bagian distal lebih dari bagian proksimal

6. Kelainan gastrointestinal
Kelainan pada gastrointestinal antara lain sensasi pengecapan seperti metal, gastritis, pep
disease, ulserasi mukosa pada saluran pencernaan yang dapat menyebabkan nyeri perut, mual, mun

11
dan kehilangan darah, peningkatan insiden diverticulosis. Pada pasien dengan penyakit ginjal polikis
meningkatkan terjadinya pankreatitis.

7. Gangguan metabolic endokrin


Pada penyakit ginjal kronik terjadi gangguan metabolism glukosa dan pada wanita terj
penurunan hormone estrogen, sehingga terjadi menore, dan kemungkinan untuk menjadi hamil menj
sangat kecil. Pada laki-laki yang telah menjalani dialysis dalam waktu yang lama akan terj
impotensi, oligospermi, dysplasia sel germinal, yang menurunkan kadar testosterone plasma.
8. Kelainan dermatologi
Pada penyakit ginjal kronik terdapat pallor pada kulit akibat anemia, ekimosis dan hemato
akibat gangguan pembekuan, gatal dan ekskoriasi akibat deposisi kalsium, fosfat dan hiperparatir
sekunder, diskolorasi berwarna kuning akiba deposisi pigmen metabolic dan urokrom, serta urem
frost akibat kadar urea itu sendiri.

12
13
1.8 Pemeriksaan penunjang

A. Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
1. sesuai dengan penyakit yang mendasari (diabetes mellitus, hipertensi, dll)
2. penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, d
penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus kockcroft-gault. Kadar kreatinin ser
saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan asam u
hiper atau hypokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatem
hipokalsemia, asidosis metabolic
4. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosituria, isosisteinuria
B. Gambaran radiologi
Pemeriksaan radiologi penyakit ginjal kronik meliputi:

14
1. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opaque
2. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati fi
glomerulus, di samping kekhawatiran pasien terjadinya pengaruh toksik oleh kon
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
3. Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi
4. USG ginjal memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adan
hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi. Indikasi USG (NICE 2008(:
- Progresif GGK (LFG ≥5 ml/min/1,73 m2 dalam 5 tahun)
- Adanya hematuria
- Ada gejala obstruksi saluran kencing
- Ada riwayat keluarga penyakit ginjal polikistik dan berusia lebih dari 20 tahun
- GGK stadium 4 dan 5
- Memerlukan bipsi ginjal
- pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi

1.9 Diagnosis
Diagnosis GGK ditegakkan apabila LFG < 60 ml/min/1,73 m2 selama lebih dari 3 bulan, a
adanya bukti gagal ginjal (gambaran patologi yang abnormal atau adanya tanda kerusakan, terma
abnormalitas dari pemeriksaan darah dan urin atau gambaran radiologic. Bila dari hasil pemeriks
yang sudah dilakukan belum dapat menegakkan diagnosis, maka dapat dilakukan biopsy gin
terutama pada pasien dengan ukuran ginjal mendekati normal. Tetapi prosedur ini dikontraindikasik
pada ginjal yang kecil bilateral penyakit ginjal polikistik, hipertensi tidak terkontrol, infeksi trak
urinarius, kelainan perdarahan, gangguan pernapasan dan morbid obesity

15
1.10 Tatalaksana
Farmakoterapi menurut NICE guidelines 2008:
A. Kontrol tekanan darah
- Pada orang dengan GGK, harus mengontrol tekanan sistolik <140 mmHg (dengan kisa
target 120-139 mmHg) dan tekanan diastolic <90 mmHg.
- Pada orang dengan GGK dan diabetes dan juga orang dengan ACR 70 mg/mmol atau le
(kira-kira ekuivalent dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, atau proteinuria 1 g/24 jam a
lebih), diharuskan untuk menjaga tekanan sistolik <130 mmHg (dengan kisaran target 1
129 mmHg) dan tekanan diastolic <80 mmHg
B. Pemilihan agen antihipertensi
First line: ACE inhibitor/ARB
ACE inhibitor / ARB diberikan pada:
- Pada GGK dengan diabetes dan ACR lebih dari 2,5 mg/mmol (pria) atau lebih dari
mg/mmol (wanita), tanpa adanya hipertensi atau stadium GGK. Note: Perbedaan ked
batas ACR berbeda diberikan disini untuk memulai pengobatan ACE Inhibitor pada or
CKD dan proteinuria. Potensi manfaat ACE Inhibitor dalam konteks ini sangat menin
jika seseorang juga memiliki diabetes dan hipertensi dan dalam keadaan ini, sebuah ba

16
yang lebih rendah diterapkan.
- GGK pada non diabetic dengan hipertensi dan ACR 30 mg/mmol atau lebih (kira-k
ekuivalen dengan PCR 50 mg/mmol atau lebih, proteinuria 0,5 gr/24 jam atau lebih)
- GGK pada non diabetic dan ACR 70 mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalen dengan P
100 mg/mmol atau lebih, proteinuria 1 gr/24 jam atau lebih), tanpa adanya hipertensi a
penyakit kardiovaskular
- GGK pada non diabetic dengan hipertensi dan ACR <30 mg/mmol (kira-kira ekuival
dengan PCR <50 mg/mmol), atau proteinuria <0,5 gram/24 jam.
- Saat menggunakan ACE Inhibitor / ARBs, upayakan agar mencapai dosis terapi maksim
yang masih dapat ditoleransi sebelum menambahkan terapi second line (spironolakton).
- Hal-hal yang perlu diingat saat menggunakan ACE Inhibitor/ARBs
 Orang dengan GGK, harus mengetahui konsentrasi serum potassium dan perkir
LFG sebelun memulai terapi ACE Inhibitor/ARBs. Pemeriksaa ini diulang antar
sampai 2 minggu setelah penggunaan obat, dan setelah peningkatan dosis.
 Terapi ACE Inhibitor/ARBs tidak boleh dimulai apabila konsentrasi ser
potassium secara signifikan ≥5,0 mmol/L.
 Keadaan hyperkalemia menghalangi dimulainya terapi tersebut, karena menu
hasil penelitian tersebut dapat mencetuskan hyperkalemia
 Obat-obat lain yang digunakan saat terapi ACE Inhibitor/ARBs yang dapat j
mencetuskan hyperkalemia, bukan kontraindikasi penggunaan terapi tersebut, t
harus menjaga konsentrasi serum potassium
 Stop terapi tesebut, bila konsentrasi serum potassium meningkat >6,0 mmol/L a
lebih dan obat lain yang diketahui dapat meningkatkan hyperkalemia sudah tid
digunakan.
 Dosis terapi tidak boleh ditingkatkan bila batas LFG saat sebelum terapi kurang d
25% atau kreatinin plasma meningkat dari batas awal kurang dari 30%
 Apabil perubahan LFG 25% atau lebih atau perubahan kreatinin plasma 30% a
lebih:
o Investigasi adanya deplesi volume ataupun penggunaan NSAIDs.
o Apabila tidak ada penyebab (yang diatas), stop terapi atau dosis ha
diturunkan dan alternative antihipertensi lain bisa digunakan
C. Pemilihan statin dan antiplatelet

17
- Terapi statin digunakan untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskuler. Pada ora
dengan GGK, penggunaannya pun tidak berbeda
- Penggunaan statin pada orang dengan GGK merupakan pencegahan sekunder dari penya
kardiovaskular, terlepas dari batas nilai lipidnya.
- Penggunaan antiplatelet pada orang dengan GGK merupakan pencegahan sekunder d
penyakit kardiovaskular. GGK bukan merupakan kontraindikasi dari penggunaan asp
dosis rendah, tetapi dokter harus memperhatikan adanya kemungkinan perdarahan mi
pada orang dengan GGK yang diberikan antiplatelet multiple.
D. Komplikasi lainnya
- Metabolisme tulang dan osteoporosis
 Melakukan pengukuran rutin untuk kalsium, fosfat, paratiroid hormone (PTH) d
level vitamin D pada orang dengan GGK stadium 1,2,3A/3B, tidakdirekomendasik
 Melakukan pengukuran kalsium, fosfat, konsentrasi PTH pada orang dengan GG
stadium 4 dan 5 (LFG <30 ml/min/1,73 m2)
 Memberikan bisphosphonate, apabila ada indikasi untuk mencegah dan mengob
osteoporosis pada orang dengan GGK stadium 1,2,3A,3B
 Monitor konsentrasi serum kalsium dan fosfat pada orang yang mendapatkan ter
1,25-dihydroxycholecalciferol (calcitriol) atau 1-alpha-hydroxycholecalcife
(alacidol).
 Pemberian suplemen vitamin D:
o GGK stadium 1,2,3A/3B diberikan cholecalciferol atau ergocalciferol
o GGK stadium 4 dan 5 diberikan 1-alpha-hydroxycholecalcife
(alfacalcidol) atau 1,25-dihydroxycholecalciferol (calcitriol)
E. Anemia
- Penanganan anemia pada GGK harus dilakukan saat Hb <11 g/dl (atau 10 g/dl pada usia
tahun)
- Menentukan apakah anemia disebabkan oleh GGK atau bukan. Dengan memperhatik
LFG <60 ml/min/1,73 m2
- Anemia defisiensi besi biasanya pada
 Orang dengan GGK stadium 5 dengan level ferritin <100 mikrogram/L
 Orang dengan GGK stadium 3 dan 4 dengan level ferritin <100 mikrogram/L
- Penganan anemia

18
 Suplementasi eritropoetin
Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan setelah tersedia menggunak
recombinant human eritropoetin yang telah diproduksi untuk aplikasi terapi. Hum
recombinant eritropoetin diberikan intravena kepada pasien hemodialisa, te
dibuktikan menyebabkan peningkatan eritropoetin yang drastic. Hal
memungkinkan untuk mempertahankan kadar Hb normal setelah transfuse da
berakhir pada pasien bilateral nefrektomi yang membutuhkan transfuse regu
Sejumlah eritropoetin diberikan IV 3x seminggu setelah setiap dialis, pasien regu
hemodialysis merespon dengan peningkatan Ht dengan dosis tertentu dal
beberapa minggu. Percobaan menunjukkan bahwa AB yang melawan ma
rekombinan dan menghambat terhadap penggunaan eritropoetin tidak terjadi. E
samping utamanya adalah meningkatkan tekanan darah dan memerlukan do
heparin yang tinggi untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi ekstra korpo
selama dialysis. Pada beberapa pasien, thrombosis pada pembuluh darah da
terlihat
Peningkatan tekanan darah bukan hanya akibat peningkatan viskositas darah tet
juga peningkatan tonus vascular perifer. Komplikasi thrombosis juga berkai
dengan tingginya viskositas arah bagaimanapun sedikitnya satu kelomp
investigator terlihat peningkatan trombosit. Penelitian in vitro menunjukkan e
stimulasi human recombinant eritropoetin pada diferensiasi megakariosit. L
trombositosis mungkin mempengaruhi hiperkoagulabilitas. Konsentrasi ser
predialisis ureum kreatinin yang meningkat dan hyperkalemia dapat mengakibatk
berkurangnya efisiensi dialyzer karena tingginya Ht dan peningkatan nafsu ma
karena peningkatan keadaan umum. Kecepatan eritropoesis yang dipengaruhi o
eritropoetin dapat menimbulkan defisiensi besi khususnya pada pasien deng
peningkatan blood loss.
Indikasi terapi EPO:
Bila Hb <10 g/dl, Ht <30% pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab l
anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah: ferritin serum >100 mcg
saturasi transferrin >20%, tidak ada infeksi berat.
Kontraindikasi: hipersensitivitas EPO
Hati-hati pada keadaan hipertensi tidak terkontrol, hiperkoagulasi, beban cai

19
berlebihan.
 Terapi transplantas ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialysis
Seluruh terapi pengganti ginjal ekstra korporeal dan peritoneal dialysis p
dasarnya mempengaruhi pathogenesis anemia pada gagal ginjal, sejak prosedur
dapat membuang toksin yang menyebabkan hemolysis dan mengham
eritropoesis. Selain itu, pengalaman klinis membuktikan bahwa perkembangann
lebih cepat daripada menggunakan terapi eritropoetin. Ketidakefektivan pada ter
pengganti ginjal merupakan akibat keterbatasan pengetahuan tentang toksin dan c
terbaik untuk menghilangkannya. Pendekatan sederhana untuk meningkatkan ter
detoksifikasi pada uremia dengan meningkatkan batas atas ukuran molecular ya
dibuang dengan difusi dan atau transportasi konvektif tidak menghasilkan hasil ya
memuaskan. Selain itu continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) j
merupakan terapi dengan pembuangan jangkauan molecular yang besar, ini le
baik dibandingkan dengan hemodialysis standar dengan membrane selulosa y
kecil. Beberapa penelitian mengindikasikan CAPD meningkatkan produ
eritropoetin, mungkin juga di luar ginjal dan oleh karena itu meningkatk
eriropoesis, walaupun mekanismenya belum diketahui.
 Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine
Sejak inhibitor eritropoesis diketahui, pada kasus intoksikasi aluminium terapi da
selektif dan efektif. Efek aluminium yang memperberat anemia pada gagal gin
harus selalu diasumsikan ketika terjadi anemia mikrositik dengan normal a
peningkatan feritn serum pada pasien regular hemodialysis. Diagnosis ditegakk
dengan peningkatan nilai aluminium serum, riwayat terpapar aluminium baik o
maupun dialisat, Gejala intoksikasi aluminium seperti ensefalopati, penyakit tula
aluminium dan keberhasilan percobaan terapi. Terapi utama adalah pember
chelator deferoxamin IV selama satu sampai dua jam terakhir saat hemodialisa a
hemofiltrasi atau CAPD. Dosis yang digunakan 0,5-2,0 gr 3 kali seminggu. D
memobilisasi aluminium sebagai larutan yang kompleks, dimana kemudian dibu
dengan terapi filtrasi atau prosedur filtrasi. Efek samping utama adalah hipote
toksisitas ocular, komplikasi neurologi seperti kejang dan mudah terkena infe
jamur. Efek samping ini berespons terhadap pemberhentian terapi sementara wak
pengurangan dosis atau pemberhentian terapi. Efek DFO pada anemia da

20
berakibat drastic yang menggambarkan perubahan nilai hemoglobin, ferritin ser
dan konsentrasi aluminium, MCV, MCH. Setelah beberapa bulan terapi den
DFO, MCV dan MCH berada diatas nilai normal, hemoglobin meningkat sec
signifikan dan ferritin serum dan aluminium menurun.
 Mengkoreksi hiperparatiroidisme
Sekunder hiperparatiroid pada anemia dengan gagal ginjal,paratiroidektomi buk
merupakan indikasi untuk terapi anemia. Pengobatan supresi aktivitas kelen
paratiroid dengan 1,25-dihidroksi vitamin D3 biasanya berhubungan den
pengobatan anemia.
 Terapi androgen
Efek yang positif pada terapi ini yaitu meningkatkan produksi eritropoe
meningkatkan sensitiitas proliferasi eritropoetin yang sensitive terhadap popu
stem cell. Testosteren ester (testosterone propionate, enanthane, cypionate), deriv
17-metil androstanes (floxymesterone, oxymetholone, methyl testosterone), d
komponen 19 nortestosteron 9nandrolone dekanoat, nandrolone phenpropiona
telah sukses digunakan pada terapi anemia dengan gagal ginjal. Responnya lam
dan efek dari obat ini dapat terbukti dalam 4 minggu terapi. Nandrolone dekan
cukup diberikan dengan dosis 100-200 mg, 1 kali seminngu. Testosterone ester ha
dibatasi karena efek sterilitas yang besar. Komponen 19-nortestosteron memi
rasio anabolic:androgenic yang paling tinggi dan yang paling sedikit menyebabk
hirsutisme dan paling aman untuk [asien wanita. Fluoksimesterone da
menyebabkan priapismus pada pasien pria. Penyakit hepatoseluler kolestatisk da
menyebabkan komplikasi pada penggunaan zat ni dan lebih sering pada
methylated steroid. Pada keadaan meningkatnya transamin darah yang progresif
bilirubin serum yang meningkat, terapi harus dihentikan. Namun komponen
methylated steroid ini memiliki rasio anabolic:androgen yang baik dan da
diberikan secara oral. Terapi dengan androgen dapat menimbulkan gej
prostatisme atau pertumbuhan yang cepat dari Ca prostat. Rash kulit, perubah
suara seperti laki-laki dan perubahan fisik adalah efek samping lainnya pada ter
ini
 Suplementasi besi
Penggunaan pengikat fosfat dapat mempengaruhi absorpsi besi pada us

21
Monitoring penyimpanan besi tubuh dengan determinasi ferritin serum satu atau d
kali pertahun merupakan indikasi. Absorpsi besi usus tidak dipengaruhi oleh urem
suplementsi besi oral lebih dipilih ketika terjadi defisiensi besi. Jika terapi oral ga
untuk memperbaiki defisiensi besi, penggantian besi secara parenteral ha
dilakukan. Hal ini dilakukan dengan iron dextran atau interferon. Terapi IV le
aman dan nyaman dibanding injeksi intramuscular. Syok anafilaktik dapat terj
pada 1% pasien yang menerima terapi besi parenteral. Untuk mengurangi kejad
komplikasi yang berbahaya ini pasien harus di tes dengan 5 menit pertama deng
dosis kecil dari total dosis. Jumlah yang diperlukan untuk replenish penyimpan
besi dapat diberikan dengan dosis terbagi yaitu 500 mg dalam 5-10 menit set
harinya atau dosis tunggal dicampur dengan normal saline diberikan 5% iron dext
dan diinfuskan perlahan dalam beberapa jam.
 Transfusi darah
Indikasi transfuse darah adalah:
o Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
o Tidak memungkinkan penggunaan EPI dan Hb <7 g/dL
o Hb <8 g/dL dengan gangguan hemodinamik
o Pasien dengan defisiensi besi yang akan deprogram terapi EPO ataupun ya
telah mendapat EPO tetapi respons belum adekuat, sementara preparat b
IV/IM belum tersedia, dapat diberikan transfuse darah dengan hati-hati
o Target pencapaian Hb dengan transfuse darah adalah 7-9 g/dL. Transf
diberikan secara bertahap untuk menghindari bahaya overhidr
hiperkatabolik 9asidosis) dan hyperkalemia. Bukti klinis menunjukk
bahwa pemberian transfuse darah sampai kadar Hb 10-12 g/dL, berhubun
dengan peningkatan mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat. Pada kelomp
pasien yang idrencanakan untuk transplantasi ginjal, pemberian transf
darah sedapat mungkin dihindar

 Nutrisi
Pemberian nutrisi yang seimbang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energy d
nutrient sekaligus mengurangi gejala-gejala uremia dan menunda percepatan penurun
fungsi ginjal atau memperlambatnya. Status nutrisi memiliki kaitan erat dengan ang

22
mortalitas pada pasien dengan GGK. Dianjurkan kecukupan energy >35 kkal/kgBB/h
sedangkan untuk usia >60 tahun diberikan 30 kkal/kgBB/hari. Asupan kalori ha
cukup untuk mencegah terjadinya proses katabolic. Bila asupan peroral tidak mema
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sehai-hari sesuai dengan status gizi seseorang, da
ditambahkan nutrisi parenteral. Perbandingan kalori yang bersumber dari lemak d
karbohidrat sebesar 25% : 75%. Selain itu diberikan kombinasi dari asam amino esen
dan non esensial. Jumlah maksimal pemberian karbohidrat adalah 5g/kgBB. Sedangk
lipid diberikan maksimal 1 g/kgBB dalam bentuk fat emulsion 10-20% sebanyak 5
mL. Pasien dengan gagal ginjal kronis harus mengurangi asupan protein karena prot
berlebih akan menyebabkan terjadinya penumpukan nitrogen dan ion anorganik ya
akan mengakibatkan gangguan metabolic yang disebut uremia.
1.11 Hemodialisa
A. Indikasi untuk inisiasi terapi dialysis
Indikasi terapi dialysis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksikazotemia
malnutrisi, tetapi terapi dialysis terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir ak
memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi absolut: pericarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebih
cairan yang tidak responsive dengan diuretic, hipertensi refrakter, muntah persisten, BUN >120 m
dan kreatinin >10 mg %
Indikasi elektif: LFG antara 5-8 ml/min/1,73 m2, mual, anoreksia, muntah dan asthenia berat

B. Persiapan untuk program dialysis regular


Setiap pasien yang akan menjalani program dialysis regular harus mendapat informasi ya
harus dipahami sendiri dan keluarganya. Beberapa persiapan dialysis regular:
1. Sesi dialysis 3-4 kali per minggu (12-15 jam per minggu)
2. Psikologis yang stabil
3. Finansial cukup untuk program terapi dialysis regular selama waktu tidak terbatas sebel
transplantasi ginjal
4. Pemeriksaan laboratorium dan perasat lainnya sesuai dengan jadwal yang telah ditentuk
Pemeriksaan ini sangat penting untuk menjamin kualitas hidup optimal
5. Disiplin pribadi untuk menjalankan program terapi ajuvan:
a) Diet, pembatasan asupan cairan dan buah-buahan

23
b) Obat-oabtan yang diperlukan yang tidak terjangkau dialysis
6. Operasi A-V fistula dianjurkan pada saat kreatinin serum 7 mg% terutama pasien wan
pasien usia lanjut dan diabetes mellitus

1.12 Transplantasi ginjal


Petimbangan program transplantasi ginjal:
- Ginjal cangkok dapat mengambil alih seluruh fungsi ginjal sedangkan hemodialisa han
mengambil alih 70-80% fungsi ginjal alamiah
- Kualitas hidup normal kembali
- Masa hidup (survival rate) lebih lama
- Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupr
untuk mencegah reaksi penolakan
- Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

Persiapan program transplantasi ginjal:


- Pemeriksaan imunologi:
 Golongan darah ABO
 Tipe jaringan HLA (human leukocyte antigen)
- seleksi pasien (resipien) dan donor hidup keluarga

Pemeriksaan imunologi merupakan kunci keberhasilan program transplantas ginjal


- Golongan darah ABO
 Ketidak serasian golongan darah ABO antara resipien dan donor menyebabk
reaksi penolakan hiperakut (hyperacute immediate rejection)
 Antigen rhesus tidak berperan untuk reaksi penolakan
- Tissue typing HLA (human leukocyte antigen)
Klasifikasi HLA berdasarkan (major histocompatibility gene complex):
 Kelas (I) antigen: HLA-A, HLA-B, HLA-C
 Kelas (II) antigen: HLA-D (DR)

Kontra indikasi mutlak:


- Golongan darah ABO tidak serasi

24
- Reaksi silang positif kecuali untuk B-cell atau D-locus
- Sitotoksik antibody resipien terhadap HLA antigen donor
- Infeksi aktif: disseminated histoplasmosis, Tuberkulosis paru, ISK akut atau kron
Hepatitis B
- Ulkus peptikum masih aktif

Kontra indikasi relative:


- Untuk transplantasi ulang masih mengandung HLA donor sebagai penyebab rea
penolakan
- Antiglomerular basement membrane antibody
- Keganasan pada resipien dalam 2 tahun terakhir
- Keadaan umum resipien buruk: malnutri, debilitas
- Antibodi sitotoksik >50%
- Kelainan yang sulit dikoreksi dari kandung kencing dan atau uretra
- Divertikulosis
- Penyakit ulkus peptikum
- Donor mengandung antibody CMV (cytomegalovirus)

1.13 Prognosis
Penyakit GGK tidak dapat disembuuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya buruk, kecu
dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang bertujuan hanya un
mencegah progresivitas dari GGK itu sendir. Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disad
sampai mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala, sehingga penangaannya seringkali terlamba
Prognosis untuk pasien GGK dengan program HD kronik tergantung dari banyak fac
terutama seleksi pasien dan saat rujukan:
- Umur
Umur<40 tahun mulai program HD kronik mempunyai masa hidup lebih panjang mencapai
tahun. Sebaliknya umu lanjut >55 tahun kemunkinan terdapat komplikasi system kardiovasku
lebih besar
- Saat rujukan
Rujukan terlambat memberi kesempatan, timbul gambaran klinik berat seperti kom
pericarditis, yang sulit dikendalikan denga tindakan HD

25
- Etiologi GGT
Beberapa penyakit dasar seperti lupus, amyloid, diabetes dapat mempengaruhi masa hidup
- Hipertensi
Hipertensi berat dan sulit dikendalikan sering merupakan factor risiko vaskuler (kardiovasku
dan serebral)
- Penyakit system kardiovaskuler
Penyakit system kardiovaskuler (infark, iskemia, aritmia) merupakan factor resiko tindakan H
Program CAPD merupakan factor alternative yang paling aman.
- Kepribadian dan personalitas
- Faktor ini penting untuk menunjang ketergantungan hidup pasien GGT dengan program H
kronik
- Kepatuhan
- Banyak factor yang mempengaruhi ketidakpatuhan program HD kronik

26
DAFTAR PUSTAKA

1. National Kidney Foundation : KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation
Management of Chronic Kidney Disease. Kidney International Supplements 2013;3 (1) :1-163.
2. National Kidney Foundation : K/DOQI Clinical Practice Guidelines and Clinical Pract
Recomendations 2006 Updates: Hemodialysis Adequacy, Peritoneal Dialysis Adequacy a
Vaskular Access. Am J Kidney Dis 2006;48(Suppl 1) : S1-S322.
3. Makadia P, Benson P, Kelly F, Kaplan J. Hemodialysis Principles and controvesies. In: Cari A,
Progress in Hemodialysis – from emergent biotechnology to clinical practice.Rijeka, Croatia :
Tech Publisher; 2011. P. 227-252.
4. Bleyer A. Indications for Initiation of dialysis in Chronic Kidney disease. Uptodate 2012 versi 2
http://www.uptodate.com/contents/indications-for-initiation-of-dialysis-inchronic-kidney-diseas
5. Tattersall J, Dekker F, HeimbuErger O, Jager KJ, Lameire N, Lindley E et al. When to s
dialysis : updated guidance following publication of the initiating Dialysis Early and Late (IDEA
study. Nephrol Dial Transplant (2011) 0:1-5.
6. Levin A, Hemmelgarn B, Culleton B, Tobe S, McFarlane P, Ruzicka M et al. Guidelines for
management of Chronic Kidney disease. CMAJ 2008;179(11):1154-1162.
7. Clinical practice guidelines for chronic kidney disease : evaluation, classification and stratificati
New York National Kidney Foundation, 2002
8. National Kidney Foundation. KDOQI Clinical Practice Guidlines and Clinical Pract
Recomendations for 2006 Updates : Hemodialysis Adequacy, Peritoneal Dialysis Adequacy a
Vaskular Access. Am J Kidney Dis 48:S1-S322,2006 (suppl

27
2. GAGAL JANTUNG AKUT

2.1 Definisi Gagal Jantung Akut


European Society of Cardiology (ESC) mendefinisikan gagal jantung
sebagai suatu sindrom klinis yang ditandai dengan gejala khas (seperti sesak
napas, bengkak pada kaki, dan lemas), dapat juga diiringi dengan tanda-tanda
(seperti peningkatan tekanan vena jugular, ronki paru, dan edema perifer) yang
disebabkan oleh abnormalitas struktur atau fungsi jantung, sehingga menyebabkan
turunnya curah jantung dan/atau peningkatan tekanan intrakardiak saat istirahat
atau stress. Gagal jantung akut sendiri merujuk pada onset gagal jantung yang
cepat atau perburukan tanda-tanda atau gejala dari gagal jantung. Gagal jantung
akut merupakan keadaan yang mengancam jiwa sehingga membutuhkan evaluasi
dan penatalaksanaan secara cepat.1

2.2 Epidemiologi
Gagal jantung merupakan masalah yang sedang berkembang di seluruh
dunia, dengan jumlah pasien di seluruh dunia lebih dari 20 juta orang. Prevalensi
pasien gagal jantung secara keseluruhan pada populasi pasien dewasa di negara-
negara berkembang adalah 2%.2 Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar pada
tahun 2013 di Indonesia, prevalensi pasien gagal jantung pada tahun 2013
berdasarkan diagnosis dokter adalah sebesar 0,13%.3
Prevalensi gagal jantung mengikuti pola eksponensial, meningkat seiring
dengan usia, dan mempengaruhi sekitar 6-10% pasien dengan usia di atas 65
tahun. Prevalensi dari gagal jantung diduga meningkat karena penatalaksanaan
penyakit jantung yang semakin maju, seperti infark miokard, penyakit katup
jantung, dan aritimia, yang menyebabkan pasien bertahan lebih lama.2 Jumlah
pasien yang dirujuk ke departemen emergensi dengan gagal jantung akut juga
meningkat secara paralel dengan meningkatnya populasi individu usia lanjut,
sesuai dengan meningkatnya pasien dengan disfungsi ventrikel kiri dan gagal
jantung yang asimtomatis.4 Usia pasien gagal jantung di Indonesia relatif lebih
muda dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih
berat.5

28
2.3 Klasifikasi dan Etiologi Gagal Jantung Akut
Gagal jantung akut memiliki manifestasi klinis yang beragam, biasanya
dengan kesulitan bernapas dan/atau tanda-tanda kongesti (sindrom).1,4,6 Gagal
jantung akut dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok berdasarkan
ada/tidaknya gagal jantung sebelumnya:1,4,6
1. Gagal jantung akut dekompensata (perburukan)
Gagal jantung yang sudah ada dan stabil sebelumnya tiba-tiba mengalami
perburukan. Penyebab perburukan gagal jantung tersebut dapat datang dari:
a. Kardiak  merupakan konsekuensi dari gagal jantung kronik, dan
mungkin disebabkan oleh hipertensi tidak terkontrol, gangguan irama
jantung.
b. Non-kardiak  dipresipitasi oleh faktor ekstrinsik seperti infeksi, penyakit
paru, perburukan fungsi ginjal, anemia, penyakit endokrin, dan efek
samping obat terutama OAINS, dan ketidak patuhan terhadap pengobatan
atau diet.
2. Gagal jantung akut de novo  tidak ada riwayat gagal jantung sebelumnya.
Gejala dan tanda-tanda tiba-tiba muncul setelah kejadian akut (seperti
misalnya infark miokard akut, insufisiensi katup akut, tamponade
perikardium, atau secara gradual dalam keadaan disfungsi ventrikel kiri
sistolik dan/atau diastolik yang asimtomatis).
Sindrom koroner akut
Takiaritmia (contoh: fibrilasi atrium, takikardi ventrikel)
Peningkatan tekanan darah drastis
Infeksi (contoh: pneumonia, infeksi endokarditis, sepsis)
Tidak patuh terhadap pengobatan atau asupan garam/cairan
Bradiaritmia
Substansi toksik (alkohol, obat-obatan terlarang)

29
Obat-obatan (contoh: NSAID, kortikosteroid, substansi inotropik negatif,
kemoterapi kardiotoksik)
Eksaserbasi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
Emboli paru
Tindakan bedah dan komplikasi perioperatif
Peningkatan kerja simpatis, kardiomiopati-terkait stress
Gangguan metabolik/hormonal (contoh: disfungsi tiroid, ketosis diabetikum,
disfungsi adrenal, dan abnormalitas terkait kehamilan atau peripartum)
Gangguan serebrovaskular
Penyebab mekanik akut: ruptur otot jantung berkomplikasi sindrom koroner akut
(defek septum ventrikel, regurgitasi mitral akut), trauma dada, intervensi jantung,
inkompentensi katup proestetik sekunder terhadap endokarditis, diseksi aorta,
atau trombosis
Tabel 1. Faktor-Faktor yang Dapat Memicu Gagal Jantung Akut
Sumber: 2016 ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. 1

Pedoman ESC tahun 2008 mengklasifikasikan gagal jantung akut menjadi 6


kategori berdasarkan presentasi klinis:7
1. Gagal jantung akut kongestif dekompensata, yang merupakan eksaserbasi dari
gagal jantung kronik, dikarakteristikan dengan onset edema perifer yang
bertahap (signifikan) dan biasanya disertai dispnea.
2. Gagal jantung akut dengan hipertensi, merupakan gagal jantung dengan onset
yang sangat cepat dan dengan tekanan darah sistolik yang tinggi, biasa
dikaitkan dengan kongesti paru dan takikardi karena tonus simpatis yang
meningkat, fraksi ejeksi ventrikel kiri dipertahankan. Gagal jantung tipe ini
biasa terjadi pada wanita usia lanjut, pasien dengan DM, hipertensi, hipertrofi
ventrikel kiri, dan obesitas.
3. Gagal jantung akut dengan edema paru, ditandai dengan onset cepat atau
bertahap dari distres napas berat, rales difus pada kedua lapangan paru,
takipnea atau orthopnea, dan saturasi oksigen <90%. Pada gagal jantung tipe
ini, edema sistemik dapat ditemukan.

30
4. Syok kardiogenik, ditandai dengan onset cepat dari hipoperfusi organ atau
jaringan, oliguria atau anuria, diasosiasikan dengan tekanan darah sistolik <90
mmHg dan pengeluaran urin <0,5 mg/kgBB/jam. Pada gagal jantung tipe ini
tidak didapatkan edema paru mapun sistemik.
5. Gagal jantung akut komplikasi sindrom koroner akut, ditandai dengan
peningkatan tekanan pengisian diastolik ventrikel kiri dan/atau penurunan
curah jantung karena iskemia atau infark otot jantung. Pada gagal jantung tipe
ini, ditemukan gejala dan tanda-tanda sindrom koroner akut.
6. Gagal jantung akut kanan terisolasi, ditandai dengan onset cepat atau bertahap
dari edema, distensi vena jugular, hepatomegali, dan seringnya dengan paru-
paru yang bersih (tidak terdapat edema paru) dan diasosiasikan dengan
hipotensi, tekanan pengisian ventrikel kiri rendah, dan curah jantung rendah.
Klasifikasi gagal jantung akut dari sudut pandang prognostik antara lain
adalah:1,4,8
1. Pasien dengan gagal jantung akut dekompensata, dapat diklasifikasikan
berdasarkan pemeriksaan fisik untuk mendeteksi gejala atau tanda-tanda klinis
dari kongesti (basah atau kering; jika termanifestasi) dan/atau hipoperfusi perifer
(dingin atau panas; jika termanifestasi), disebut juga dengan klasifikasi Nohria-
Stevenson.
Kongesti saat istirahat?
(contoh: orthopnea, peningkatan tekanan vena
jugularis, rales, gallop S3, edema)
Tekanan perfusi Tidak Ya
rendah saat Tidak Hangat dan Hangat dan Basah
istirahat? Kering (Warm and Wet)
(contoh: tekanan (Warm and Dry)
nadi rendah, Ya Dingin dan Kering Dingin dan Basah
ekstremitas (Cold and Dry) (Cold and Wet)
dingin, hipotensi)
Tabel 2. Klasifikasi Pasien berdasarkan Pemeriksaan Fisik untuk Pasien dengan Gagal Jantung
Akut Dekompensata (Klasifikasi Nohria-Stevenson)
Sumber: 2013 ACCF/AHA Heart Failure Guidelines: Executive Summary. 8

31
Keterangan:
 Warm and dry (hangat dan kering): terkompensata, perfusi baik tanpa
kongesti.
 Warm and wet (hangat dan basah): perfusi baik dengan kongesti.
 Cold and dry (dingin dan kering): hipoperfusi tanpa kongesti.
 Cold and wet (dingin dan basah): hipoperfusi dengan kongesti.
2. Pasien dengan gagal jantung akut de novo (gagal jantung komplikasi sindrom
koroner akut), dapat diklasifikasikan berdasarkan pemeriksaan fisik menggunakan
klasifikasi Killip:
Kelas Pemeriksaan Fisik
I Tidak ada S3 dan rales, tidak ada tanda-tanda gagal jantung
Rales pada <50% lapangan paru, bunyi jantung S3, peningkatan tekanan
II
jugular vena
III Rales pada >50% lapangan paru, edema paru akut
Syok Kardiogenik atau hipotensi arteri (tekanan darah sistolik <90
IV
mmHg), tanda-tanda vasokonstriksi perifer (oliguri, sianosis, diaforesis)
Tabel 3. Klasifikasi Killip
Sumber: Mello, dkk. 2014. Validation of the Killip-Kimball Classification and Late Mortality after
Acute Myocardial Infarction. Arq Bras Cardiol.9

2.4 Patofisiologi Gagal Jantung Akut


Gagal jantung merupakan suatu gangguan progresif pada jantung yang
dimulai setelah serangkaian peristiwa terjadi, seperti kerusakan otot jantung,
hilangnya fungsi sel otot jantung, atau hilangnya kemampuan otot jantung dalam
berkontraksi secara normal. Peristiwa-peristiwa ini dapat terjadi secara tiba-tiba
atau perlahan-lahan.2
Mekanisme kompensasi tubuh (mekanisme neurohormonal) dalam
menghadapi kondisi pompa jantung atau curah jantung yang menurun, meliputi
pengaktivasian:2,10
1. Sistem saraf simpatis, dapat meningkatkan kontraktilitas otot jantung

32
2. Sistem renin-angitensin-aldosteron (RAA), sistem saraf adrenergik, dan sistem
ADH. Sistem-sistem ini melalui ginjal dapat meningkatkan retensi natrium
dan air sehingga dapat meningkatkan tekanan pengisian jantung.
3. Sistem-sistem vasodilator seperti ANP, BNP, prostaglandin, dan NO yang
dapat mengimbangi vasokonstriksi perifer yang berlebihan.

Gambar 1. Aktivasi Sistem Neurohormonal Jantung


Sumber: Harrison’s Principles of Internal Medicine 19th Edition. 2015. Section 279. Heart
Failure: Pathophysiology and Diagnosis.2

Pasien gagal jantung mengalami penurunan curah jantung yang dapat


memicu disfungsi baroreseptor pada ventrikel kiri, sinus karotis, dan arkus aorta.
Disfungsi tersebut menyebabkan hilangnya inhibisi tonus parasimpatis terhadap
sistem saraf pusat, sehingga tonus saraf simpatis eferen dapat meningkat secara

33
general. Peningkatan tonus simpatis eferen menyebabkan pelepasan ADH
(vasokonstriktor poten) dan terjadi retensi air. Aktivasi sistem saraf simpatis juga
dapat menyebabkan pelepasan sistem RAA yang dapat menyebabkan peningkatan
kadar angiotensin II dan aldosteron melalui ginjal. Kedua aktivasi RAA dan ADH
dapat meningkatan retensi air dan natrium tubuh serta memicu vasokonstriksi
perifer, hipertrofi miosit, kematian sel miosit, dan fibrosis miokardium.
Mekanisme kompensasi neurohormonal sebenarnya hanya dapat memfasilitasi
adaptasi turunnya curah jantung dalam waktu yang singkat dengan
mempertahankan tekanan darah, sehingga mempertahankan perfusi ke organ-
organ vital. Aktivasi sistem neurohormonal yang terus menerus dapat
menyebabkan perubahan pada jantung dan sitem sirkulasi, meliputi retensi
natrium dan air yang berlebihan pada gagal jantung lanjut. Aktivasi sistem-sistem
neurohormonal dalam waktu yang lama dapat menginduksi proses maladaptif
yang dapat menyebabkan remodelling ventrikel dan disfungsi organ.2,10
Edema jaringan terjadi ketika transudasi cairan dari kapiler ke jaringan
interstisial melebihi kapasitas drainase sistem limfatik, meningkatnya tekanan
hidrostatik transkapiler, dan menurunnya tekanan onkotik transkapiler. Pada
individu yang sehat, peningkatan retensi natrium biasanya tidak akan disertai
pembentukan edema karena jaringan glikosaminoglikan akan menyangga retensi
natrium tersebut. Retensi natrium terjadi secara terus menerus pada pasien gagal
jantung sehingga jaringan glikosaminoglikan akan mengalami gangguan fungsi
dan sistem sangga ini tidak akan terjadi. Hal ini memudahkan terjadinya edema
paru dan edema sistemik.10
Pasien gagal jantung akut sebagian besar mengalami kongesti yang
dipresipitasi oleh redistribusi cairan dari pada akumulasi cairan. Stimulasi saraf
simpatis dapat menginduksi vasokonstriksi transien sehingga memicu
perpindahan volume secara tiba-tiba dari sistem vena splanchnic dan perifer ke
sistem sirkulasi vena paru. Pada individu yang sehat, kapasitas vena meliputi
seperempat dari total volume darah sehingga dapat menyeimbangkan atau
mencegah kelebihan cairan, sedangkan pada pasien gagal jantung akut dengan

34
hipertensi, terjadi perubahan yang dapat meningkatan afterload dan menurunkan
kapasitas vena (peningkatan preload).10
Patofisiologi gagal jantung akut dekompensata yan dominan adalah
akumulasi cairan dengan fraksi ejeksi rendah, dan akan lebih tepat apabila
ditangani dengan diuretik. Patofisiologi gagal jantung akut de novo yang dominan
adalah redistribusi cairan dengan fraksi ejeksi dipertahankan, dan akan lebih tepat
apabila ditangani dengan vasodilator.10
Organ yang Terkongesti Manifestasi Klinis
Jantung Suara jantung ke-3, distensi vena jugular, refluks
hepato-jugular, regurgitasi mitral dan trikuspid,
peningkatan kadar peptida natriuretik (BNP >100
pg/mL, NT-proBNP >300 pg/mL)
Paru-paru Dispnea, ortopnea, paroxysmal nocturnal
dyspnea, rales, crackles, mengi, takipnea,
kelainan gambar radiologis toraks (efusi pleura,
edema alveolar/interstisial)
Ginjal Penurunan BAK, peningkatan kreatinin,
hiponatremia
Hepar Hepatomegali, rasa tidak nyaman pada perut
kanan atas, ikterus, peningkatan kadar bilirubin
(mengindikasikan kolestasis)
Saluran cerna Mual, muntah, nyeri abdomen, asites,
peningkatan tekanan abdomen
Tabel 4. Organ yang Terkongesti dan Manifestasi Klinisnya
Sumber: Arrigo, Mattia, dkk. 2016. Understanding acute heart failure: pathophyisiology and
diagnosis. European Heart Journal Supplements.10

2.5 Manifestasi Gagal Jantung Akut


Gagal jantung akut biasanya bermanifestasi dengan kesulitan bernapas
dan/atau tanda-tanda kongesti (sindrom), seperti yang telah dijielaskan di atas.
Gejala dan tanda-tanda gagal jantung akut merefleksikan kelebihan cairan
pulmonal (kongesti pulmonal) atau sistemik (kongesti sistemik), seperti
misalnya:4

35
 Manifestasi kelebihan cairan pulmonal (kongesti pulmonal)  hipertensi vena
pulmonal yang dapat mengakibatkan edema paru dan alveolar, kongesti paru,
dispnea, orthopnea, rales, dan S3.
 Manifestasi kelebihan cairan sistemik (kongesti sitemik)  distensi vena
jugular dengan atau tanpa edema perifer, peningkatan berat badan tubuh
secara bertahap.
Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri akibat kongesti hemodinamik
mungkin dapat terjadi beberapa hari atau minggu sebelum terjadi kongesti
pulmonal atau sistemik, sehingga pasien diharuskan melakukan kunjungan rumah
sakit. Kongesti hemodinamik ini, dengan atau tanpa manifestasi klinis, mungkin
dapat mempunyai efek buruk seperti iskemia jantung dan pembesaran ventrikel
kiri.4
Manifestasi gagal jantung akut juga merefleksikan akibat dari menurunnya
curah jantung dengan hipoperfusi perifer (jarang). Pasien dengan gagal jantung
akut dapat memiliki tekanan darah sistolik antara 90 hingga 140 mmHg atau >140
mmHg (gagal jantung akut hipertensif). Sedikit pasien (5-8%) memiliki tekanan
darah sistolik rendah (<90 mmHg; gagal jantung akut hipotensif), dan sering
dikaitkan dengan prognosis yang buruk, terutama apabila hipoperfusi juga
terlibat.1,4
Gejala dan tanda-tanda dari gagal jantung dapat dilihat pada Tabel 3
berikut:5

36
Tabel 5. Manifestasi Klinis Gagal Jantung
Sumber: Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung PERKI 2015. 5

2.6 Diagnosis Gagal Jantung Akut


Hal pertama yang harus dilakukan dalam mendiagnosis gagal jantung akut
biasanya adalah untuk menghapus berbagai penyebab untuk gejala dan tanda-
tanda pasien (misalnya infeksi, anemia berat, gagal ginjal akut). Diagnosis awal
dari gagal jantung akut harus berdasarkan penilaian gejala-gejala secara
menyeluruh, menanyakan riwayat penyakit jantung, dan faktor-faktor presipitasi
kardiak atau non-kardiak, serta menilai gejala dan tanda-tanda dari kongesti
dan/atau hipoperfusi dari pemeriksaan fisik yang nantinya akan dikoknfirmasi
dengan pemeriksaan penunjang seperti EKG, rontgen toraks, penilaian
laboratorium (dengan biomarker spesifik), dan ekokardiografi. Inisiasi terapi awal
yang sesuai sangatlah penting pada pasien dengan gagal jantung akut.1
Uji diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan
fraksi ejeksi rendah. Uji diagnostik sering kurang sensitif pada pasien gagal
jantung dengan fraksi ejeksi dipertahankan. Ekokardiografi merupakan metode
yang paling berguna dalam melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik.5

37
Pasien dengan suspek Gagal
Jantung Akut

Fase Urgent setelah


kontak pertama dengan
medis

Ya Dukungan sirkulasi:
Syok Kardiogenik  Farmakologis
 Mekanik

Tidak Dukungan ventilasi:


 Oksigen
 Ventilasi tekanan
Ya positif non-invasif
Gagal napas (CPAP, BPAP)
 Ventilasi Mekanik

Fase Immediate (60-120 Stabilisasi segera dan


Tidak
menit) transfer ke ICU/CCU

Identifikasi etiologi akut: (1) Sindrom


Koroner Akut; (2) Hipertensi
Emergensi; (3) Aritmia; dan (4) Emboli
Paru

Inisiasi cepat penatalaksanaan Tes diagnostik untuk


mengkonfirmasi Gagal
spesifik Jantung Akut

Penegakkan diagnosis untuk


mengkonfirmasi gagal jantung akut.
Evaluasi klinis untukEmemilih manajemen
optimal.

Gambar 2. Manajemen Awal Pasien dengan Gagal Jantung Akut


Sumber: 2016 ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. 1

38
2.6.1 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan
gagal jantung akut adalah:1,5
1. Rontgen toraks
Rontgen toraks dapat membantu dalam diagnosis gagal jantung akut.
Temuan-temuan spesifik untuk gagal jantung akut termasuk kongesti
vena paru, efusi pleura, edema interstisial atau alveolar, dan
kardiomegali, walau hampir sekitar 20% dengan gagal jantung akut
memiliki foto toraks yang normal. Foto toraks juga berguna untuk
mengidentifikasi penyebab gagal jantung akut non-kardiak (misalnya
pneumonia).
2. EKG
EKG jarang terlihat normal pada pasien dengan gagal jantung akut.
EKG juga membantu dalam mengidentifikasi penyebab kardiak atau
faktor presipitasi dari gagal jantung akut (misalnya fibrilasi atrial akut,
infark miokard akut). Namun, EKG memiliki nilai prediktif yang kecil
dalam mendiagnosis gagal jantung.
3. Ekokardiografi
Ekokardiografi wajib dan harus dilakukan segera pada pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil (terutama dengan syok kardiogenik) dan
pada pasien dengan suspek abnormalitas struktural/fungsional dari
kardiak (komplikasi mekanik, regurgitasi katup akut). Pemeriksaan
ekokardiografi secara awal (dalam waktu 48 jam) juga dipertimbangkan
untuk pasien-pasien gagal jantung akut de novo dan pasien dengan
fungsi jantung yang tidak diketahui.
4. Tes laboratorium:
a. Tes natriuretic peptide (NP; peptida natriuretik)
Pasien yang datang ke departemen emergensi dengan dispnea akut
dan suspek gagal jantung akut harus dilakukan tes NP untuk
membantu membedakan gagal jantung akut dari penyebab non-
kardiak (ambang batas BNP <100 pg/mL, NT-proBNP <300

39
pg/mL). Konsentrasi NP yang normal sebelum pasien diobati
mempunyai nilai prediktif yang tinggi dan membuat kemungkinan
gagal jantung sebagai penyebab gejala-gejala yang dikeluhkan
pasien menjadi sangat kecil. Meskipun begitu, nilai NP yang
meningkat belum tentu mengkonfirmasi diagnosis gagal jantung
akut. Kadar NP yang tetap tinggi walau dengan terapi optimal
mengindikasikan prognosis buruk. NP meningkat sebagai respon
terhadap peningkatan tekanan dinding ventrikel. NP mempunyai
waktu paruh yang panjang, penurunan tiba-tiba tekanan dinding
ventrikel tidak langsung menurunkan kadar NP.
b. Darah rutin
c. Urinalisis
d. Troponin jantung (I atau T)
Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung akut
jika gambaran klinis disertai suspek sindrom koroner akut.
Peningkatan ringan kadar troponin jantung sering ditemukan pada
gagal jantung berat dan selama episode gagal jantung akut
dekompensata pada penderita tanpa infark miokard
(mengindikasikan proses nekrosis atau cedera miosit).
e. Tes fungsi ginjal: Blood urea nitrogen (BUN), ureum, kreatinin,
laju filtrasi glomerulus.
f. Elektrolit (natrium, kalium)
g. Tes fungsi hepar
Tes fungsi hepar sering terganggu pada pasien dengan gagal jantung
karena perubahan hemodinamik (baik penurunan curah jantung
ataupun peningkatan kongesti vena). Fungsi hepar yang abnormal
meningkatkan kemungkinan pasien dengan prognosis yang buruk,
sehingga perlu dilakukan manajemen yang optimal.
h. Thyroid Stimulating Hormone (TSH)
5. Pemeriksaan tambahan lain dipertimbangkan sesuai tampilan klinis.

40
Gambar 3. Algoritma Diagnostik Gagal Jantung.
Sumber: Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung PERKI 2015.5

2.7 Tatalaksana Gagal Jantung Akut


Gagal jantung akut adalah kondisi medis yang mengancam jiwa dan pasien
harus mendapatkan terapi segera. Evaluasi awal pada pasien, yaitu mengevaluasi
fungsi kardiorespirasi pasien, meliputi saturasi oksigen, tekanan darah, laju napas,
dan EKG (dalam hitungan menit), untuk melihat adekuat atau tidaknya ventilasi,
perfusi perifer, oksigenasi, nadi, dan tekanan darah. Jumlah urin juga harus
dimonitor. Pasien dengan gagal napas atau gangguan hemodinamik harus
diberikan perhatian lebih. Identifikasi faktor presipitasi atau etiologi dari pasien
serta tatalaksana spesifik awal dari pasien gagal jantung akut harus dilakukan
dalam waktu 60-120 menit.1

41
Faktor presipitasi yang dapat memicu gagal jantung akut pada pasien:1
1. Sindrom koroner akut
Sindrom koroner akut dapat mengganggu fungsi pompa jantung, menurunkan
curah jantung, dan menyebabkan gagal jantung akut. Pasien dengan sindrom
koroner akut harus ditatalaksana sesuai dengan pedoman yang ada.
Keberadaan sindrom koroner akut dan gagal jantung akut yang bersamaan
meningkatakan risiko pasien sehingga strategi invasif untuk revaskularisasi
direkomendasikan, terlepas dari hasil EKG atau temuan biomarker.
2. Hipertensi emergensi
Gagal jantung akut dapat dipresipitasi oleh peningkatan tekanan darah arteri
yang cepat, biasanya bermanifestasi sebagai edema paru akut. Penurunan
tekanan darah secara agresif harus segera dilakukan. Penggunaan vasodilator
intravena dan kombinasi dengan diuretik loop direkomendasikan.
3. Aritmia cepat atau bradikardia berat atau gangguan konduksi
Gangguan irama jantung pada pasien dengan gagal jantung dan kondisi yang
tidak stabil harus segera dikoreksi dengan kardioversi elektrik atau pacu
temporer. Kardioversi elektrik direkomendasikan jika aritmia atrium atau
ventriel berkontribusi terhadap gangguan hemodinamik pasien.
4. Penyebab mekanik akut
Penyebab mekanik akut dapat mendasari timbulnya gagal jantung akut,
misalnya adalah komplikasi dari sindrom koroner akut (ruptur dinding
jantung, regurgitasi mitral akut), trauma dada, intervensi jantung. Penting
dilakukan ekokardiografi untuk diagnosis. Penatalaksanaan gagal jantung akut
dengan penyebab mekanik akut bisanya membutuhkan tindakan bedah atau
intervensi perkutan.
5. Emboli paru akut
Penatalaksanaan segera untuk reperfusi direkomendasikan, dapat
menggunakan trombolisis, tindakan kateter, atau tindakan bedah
(embolektomi). Pasien gagal jantung akut dengan penyebab emboli paru akut
harus ditatalaksana sesuai dengan pedoman yang ada.

42
Gambar 4. Algoritma Terapi Pasien Gagal Jantung Akut
Sumber: Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung PERKI 2015.5

43
2.7.1 Manajemen Fase Awal

Gambar 5. Manajemen Fase Awal Pasien Gagal Jantung Akut berdasarkan Profil Klinis
Sumber: 2016 ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure.1

44
Terapi Oksigen dan Ventilasi
Kongesti dapat mempengaruhi fungsi paru dan meningkatkan tekanan
intrapulmonal, sehingga menyebabkan hipoksemia. Pada pasien dengan
gagal jantung akut, oksigen tidak boleh diberikan secara rutin pada pasien
yang tidak hiposekmia karena dapat menyebabkan vasokonstriksi dan
penurunan curah jantung.1,5,8
Diuretik
Diuretik adalah landasan penatalaksanaan pasien gagal jantung akut
dengan tanda-tanda kelebihan cairan dan kongesti. Diuretik meningkatkan
eksresi air dan garam, serta mempunyai sedikit efek vasodilator. Pada
pasien gagal jantung akut dengan tanda-tanda hipoperfusi, diuretik harus
dihindari. Penatalaksanaan awal pada pasien gagal jantung akut dengan
kongesti meliputi diuretik intravena dengan kombinasi vasodilator untuk
meredakan sesak (jika tekanan darah sistolik tidak <90 mmHg). Pada pasien
gagal jantung, furosemide digunakan sebagai lini pertama, dengan dosis
intravena 20-40 mg. Dosis bolus torasemide intravena 10-20 mg dapat
digunakan sebagai alternatif.1,5,8
Vasodilator
Vasodilator intravena adalah agen kedua yang paling sering digunakan
pada pasien gagal jantung akut untuk meredakan gejala simtomatis.
Vasodilator dapat digunakan untuk menurunkan tonus vena
(mengoptimalkan preload) dan tonus arteri (menurunkan afterload) serta
meningkatkan stroke volume. Penggunaan vasodilatorharus dihindari pada
pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg (atau dengan hipotensi
simtomatik).
Efek Samping
Vasodilator Dosis Lainnya
Utama
Mulai dengan 10-20 Hipotensi, sakit Toleran dalam
Nitrogliserin µg/menit, naikkan kepala penggunaan yang
hingga 200 µg/menit kontinu
Isosorbid Mulai dengan 1 Hipotensi, sakit Toleran dalam
dinitrat mg/jam, naikkan kepala penggunaan yang

45
hingga 10 mg/jam kontinu
Mulai dengan 0,3 Hipotensi, toksisitas Sensitif ringan
µg/kg/menit dan isositrat
Nitroprusside
naikkan hingga 5
µg/kg/menit
Bolus 2 µg/kg + Hipotensi
Nesiritide infus 0,01
µg/kg/menit
Tabel 6. Vasodilator Intravena
Sumber: 2016 ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. 1

Vasopresor
Vasopresor diberikan pada pasien dengan hipotensi untuk
meningkatkan tekanan darah dan mendistribusikan darah ke organ-organ
vital.1,5,8
Vasodilator Bolus Kecepatan Infus
Dobutamin Tidak 2-20 µg/kg/menit
Dopamin Tidak 3-5 µg/kg/menit; inotropik
Milrinone 25-75 µg/kg lebih dari 10- 0,375-0,75 µg/kg/menit
20 menit
Enoximone 0,5-1,0 mg/kg lebih dari 5- 5-20 µg/kg/menit
10 menit
Levosimendan 12 µg/kg lebih dari 10 0,1 µg/kg/menit, dapat
menit (pilihan) diturunkan hingga 0,05 atau
ditingkatkan menjadi 0,2
µg/kg/menit
Norepinefrin Tidak 0,2-1,0 µg/kg/menit
Epinefrin Bolus: 1 mg dapat 0,05-0,5 µg/kg/menit
diberikan secara intravena
selama resusitasi, diulang
tiap 3-5 menit
Tabel 7. Inotropik Positif dan/atau Vasopresor
Sumber: 2016 ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. 1

46
Profilaksis tromboemboli
Profilaksis tromboemboli seperti heparin atau antikoagulan lainnya
direkomendasikan kecuali jika pasien kontraindikasi terhadap antikoagulan
atau tidak diperlukan.1,5,8
Digoxin
Digoxin biasanya diindikasikan pada pasien dengan laju ventrikel
yang cepat (>110x/menit) dan diberikan dalam bentuk bolus (0,25-0,5 mg
intravena. Pemberian digoxin juga harus memperhatikan apakah pasien
mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat mempengaruhi mekanisme kerja
digoxin serta usia pasien. Pasien dengan syok kardiogenik tanpa penyebab
mendasar yang belum diketahui, harus menerima inotropik intravena
sementara hingga diketahui penyebabnya untuk mempertahankan perfusi
sistemik dan mempertahankan fungsi organ.1,5,8

Pasien gagal jantung akut dengan riwayat sindrom koroner akut,


penurunan fraksi ejeksi (≤40%), direkomendasikan untuk menggunakan
ACEi untuk mencegah gagal jantung simtomatis dan untuk menurunkan
mortalitas. Pasien yang tidak dapat diberikan ACEi (Angotensin Converting
Enzyme inhibitor), dapat diberikan ARB (Angiotensin Receptor Blocker)
sebagai alternatif kecuali dikontraindikasikan. Antagonis reseptor aldosteron
juga direkomendasikan pada pasien yang mempunyai riwayat infark
miokard akut atau riwayat diabetes mellitus, kecuali dikontraindikasikan.
2.7.2 Tatalaksana Lainnya
Intra-aortic balloon pump (IABP)
IABP diindikasikan pada pasien untuk mendukung sirkulasi sebelum
tindakan bedah, misalnya pada iskemia atau infark miokard akut.1,5,8
Pleurocentesis
Pleurocentesis mungkin diperlukan pada pasien dengan efusi pleura,
jika dapat meringankan gejala dyspnea yang dialami oleh pasien.1,5,8
Transplantasi jantung

47
Transplantasi jantung dapat dilakukan pada pasien dengan gagal
jantung stadium akhir. Transplantasi jantung meningkatkan angka harapan
hidup secara signifikan dibandingkan dengan tatalaksana tradisional.

2.8 Prognosis
Gagal jantung simtomatis masih memiliki prognosis yang buruk terlepas
dari banyaknya perkembangan evaluasi dan manajemen terbaru gagal jantung.
Sekitar 60-70% pasien meninggal dalam waktu 5 tahun dari gagal jantung akut.2
Gagal jantung akut memiliki prognosis yang buruk, dengan angka mortalitas 1
tahun mencapai 10-30% dan perkiraan rujukan rumah sakit ulang dalam waktu 90
hari.

48
3. CONGESTIVE HEART FAILURE

3.1 Definisi
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak mam
memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang penting dari definisi ini ada
pertama, definisi gagal adalah relatif terhadap kebutuhan metabolik tubuh. Kedua, penekanan arti ga
ditujukan pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spes
pada fungsi miokardium; gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanis
kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan mencegah perkembangan penyakit menjadi ga
jantung. 1
Beberapa istilah dalam gagal jantung : 4
1. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik :
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari pemeriksaan fi
foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan echocardiography.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehing
curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, kemampuan aktivitas fisik menurun d
gejala hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrik
Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50
Ada 3 macam gangguan fungsi diastolik ; Gangguan relaksasi, pseudo-normal, tipe restriktif.
2. Low Output dan High Output Heart Failure
Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelai
katup dan perikard. High output heart failure ditemukan pada penurunan resistensi vasku
sistemik seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A – V, beri-beri, dan Penya
Paget. Secara praktis, kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.
3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena pulmon
dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea. Gagal jantung kanan terjadi ka
kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekund
tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan ede
perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia ga
jantung terjadi pada miokard ke-2 ventrikel, maka retensi cairan pada gagal jantung yang sud

49
berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi berbeda.
4. Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba aki
endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara tiba-t
menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan multivalvu
yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat menyolok, namun tekanan da
masih terpelihara dengan baik.
Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure, hampir sel
disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena (backward failure), karena ventri
yang lemah tidak mampu memompa darah dalam jumlah normal, hal ini menyebabk
peningkatan volume darah di ventrikel pada waktu diastol, peningkatan tekanan diastolik ak
di dalam jantung dan akhirnya peningkatan tekanan vena . Gagal jantung kongestif mung
mengenai sisi kiri dan kanan jantung atau seluruh rongga jantung. 5

3.2 Etiologi
Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta dan defek sept
ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta dan hiperte
sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati. Fak
faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang menda
dapat berupa : aritmia, infeksi sistemik, infeksi paru-paru dan emboli paru. 1
Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit katup mitral a
aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit miokardium primer. Penyebab tersering gagal jantu
kanan adalah gagal ventrikel kiri, yang menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arte
pulmonalis. Gagal jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal jantung kiri pada pasien deng
penyakit parenkim paru dan atau pembuluh paru (kor polmunale) dan pada pasien dengan penya
katup arteri pulmonalis atau trikuspid. 5

3.3 Patofisiologi
Bila jantung mendadak menjadi rusak berat, seperti nfark miokard, maka kemampu
pemompaan jantung akan segera menurun. Sebagai akibatnya akan timbul dua efek utama penurun
curah jantung, dan bendungan darah di vena yang menimbulkan kenaikan tekanan vena jugularis. 5,6,

50
Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal mulai terpacu dalam up
mempertahankan curah jantung. Respons tersebut mencakup peningkatan aktivitas adrenergik simpa
peningkatan beban awal akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrik
Mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal a
hampir normal pada awal perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat. Namun, kelainan ke
ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya ga
jantung, kompensasi menjadi semakin kurang efektif. 1,5,6,7
1. Peningkatan aktivitas adrenergik simpatis :
Salah satu respons neurohumoral terhadap penurunan curah jantung adalah peningka
aktivitas sistem adrenergik simpatis. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis merangs
pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan medulla adrenal. Katekolamin ini a
menyebabkan kontraksi lebih kuat otot jantung (efek inotropik positif) dan peningkatan kecepa
jantung. Selain itu juga terjadi vasokontriksi arteri perifer untuk menstabilkan tekanan arteri d
redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah ke organ-organ yang metabolisme
rendah misal kulit dan ginjal untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak. Vasokonstriksi ak
meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk selanjutnya menambah kekuatan kontra
sesuai dengan hukum Starling. Kadar katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal jantu
terutama selama latihan. Jantung akan semakin bergantung pada katekolamin yang beredar dalam da
untuk mempertahankan kerja ventrikel.namun pada akhirnya respons miokardium terhadap rangsan
simpatis akan menurun; katekolamin akan berkurang pengaruhnya terhadap kerja ventrikel. 1, 4, 6

51
Gambar 1. Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan parasimpatik pada gagal jantung. 8
2. Peningkatan beban awal melalui aktivasi sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron
Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium dan air oleh gin
meningkatkan volume ventrikel. Mekanisme yang mengakibatkan aktivasi sistem renin angioten
aldosteron pada gagal jantung masih belum jelas. Namun apapun mekanisme pastinya, penurunan cu
jantung akan memulai serangkaian peristiwa berikut:
- Penurunan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus
- Pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerulus
- Interaksi renin dan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan angiotensinI
- Konversi angotensin I menjadi angiotensin II
- Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal.
-
Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus kolektifus. Angiotensin II j
menghasilkan efek vasokonstriksi yang meningkatkan tekanan darah. 1, 5, 6, 7

Gambar 2. Sistem Renin - Angiotemsin- Aldosteron 8

3. Hipertrofi ventrikel :
Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium atau bertambah tebalnya dindi
Hipertrofi miokardium akan mengakibatkan peningkatan kekuatan kontraksi ventrikel.
Awalnya, respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang menguntungkan; namun akhirn
mekanisme kompensatorik dapat menimbulkan gejala, meningkatkan kerja jantung, dan memperbu
derajat gagal jantung. Retensi cairan yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan kontraktil
menyebabkan terbentuknya edema dan kongesti vena paru dan sistemik. Vasokontriksi arteri ju

52
meningkatkan beban akhir dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban akhir j
meningkat karena dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja jantung dan kebutuhan oksigen miokardi
juga meningkat. Hipertrofi miokardium dan rangsangan simpatis lebih lanjut akan meningkatk
kebutuhan oksigen miokardium. Jika peningkatan kebutuhan oksigen tidak dapat dipenuhi akan terj
iskemia miokardium dan gangguan miokardium lainnya. Hasil akhir dari peristiwa yang sal
berkaitan ini adalah meningkatnya beban miokardium dan terus berlangsungnya gagal jantung. 1, 4,6,7

Gambar 3. Pola remodelling jantung yang terjadi karena respon terhadap hemodinamik berlebih.

3.4 Manifestasi klinik


Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap derajat latihan fi
yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas gejala hanya muncul saat beraktiv
fisik, tetapi dengan bertambah beratnya gagal jantung, toleransi terhadap latihan semakin menurun d
gejala-gejala muncul lebih awal dengan aktivitas yang lebih ringan. 1, 4
Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara individu sesuai dengan sist
organ yang terlibat dan juga tergantung pada derajat penyakit.1, 4, 9

53
 Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun kelelahan adalah gej
yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi gejala kelelahan merupakan gejala yang tid
spesifik yang mungkin disebabkan oleh banyak kondisi-kondisi lain. Kemampuan seseor
untuk berolahraga juga berkurang. Beberapa pasien bahkan tidak merasakan keluhan ini d
mereka tanpa sadar membatasi aktivitas fisik mereka untuk memenuhi kebutuhan oksigen.
 Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung yang paling umu
Dispnea disebabkan oleh meningkatnya kerja pernapasan akibat kongesti vaskular paru ya
mengurangi kelenturan paru.meningkatnya tahanan aliran udara juga menimbulkan dispn
Seperti juga spektrum kongesti paru yang berkisar dari kongesti vena paru sampai ede
interstisial dan akhirnya menjadi edema alveolar, maka dispnea juga berkembang progre
Dispnea saat beraktivitas menunjukkan gejala awal dari gagal jantung kiri.
 Ortopnea (dispnea saat berbaring) terutama disebabkan oleh redistribusi aliran darah d
bagian-bagian tubuh yang di bawah ke arah sirkulasi sentral.reabsorpsi cairan interstisial d
ekstremitas bawah juga akan menyebabkan kongesti vaskular paru-paru lebih lanjut.
 Paroxysmal Nocturnal Dispnea (PND) yaitu serangan akut berupa sesak napas dan ba
yang sampai membangunkan pasien dari tidur malamnya. PND kemungkinan terjadi aki
peningkatan tekanan pada arteri bronkus, sehingga resistensi.
 Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada posisi berbaring
 Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah ciri khas dari ga
jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru karena pengaruh g
gravitasi.
 Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi akibat distensi ve
 Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena sistemik. Da
diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-vena leher mengalami bendungan . teka
vena sentral (CVP) dapat meningkat secara paradoks selama inspirasi jika jantung ka
yang gagal tidak dapat menyesuaikan terhadap peningkatan aliran balik vena ke jantu
selama inspirasi.
 Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan kapsula hati.
 Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual dapat disebab
kongesti hati dan usus.
 Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Edema mula-m
tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan terutama pada malam hari; dapat terj

54
nokturia (diuresis malam hari) yang mengurangi retensi cairan.nokturia disebabkan o
redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu berbaring, dan juga berkurangnya vasokontri
ginjal pada waktu istirahat.
 Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema anasarka. Meskip
gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena sistemik secara klasik dianggap terj
akibat gagal jantung kanan, namun manifestasi paling dini dari bendungan sistem
umumnya disebabkan oleh retensi cairan daripada gagal jantung kanan yang nyata.
 Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat mengalami siano
dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan. Aritmia ventrikel akibat iritabil
miokardium dan aktivitas berlebihan sietem saraf simpatis sering terjadi dan merupak
penyebab penting kematian mendadak dalam situasi ini.

3.5 Diagnosis
Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan penemuan kl
disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax, EKG, ekokardiografi, pemeriks
laboratorium rutin, dan pemeriksaan biomarker. 2, 10
a. Kriteria Diagnosis : 11
Kriteria Framingham dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif 1,
Kriteria Major :
1. Paroksismal nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peninggian tekana vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria Minor :
1. Edema eksremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea d’effort
4. Hepatomegali

55
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardi(>120/menit)
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor.
Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA), merupakan pedoman un
pengklasifikasian penyakit gagal jantung kongestif berdasarkan tingkat aktivitas fisik, ant
lain: 1
 NYHA class I, penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik serta tid
menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak napas atau berdeb
debar, apabila melakukan kegiatan biasa.
 NYHA class II, penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka tid
mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang biasa dapat menimbulk
gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung berdebar, sesak napas atau ny
dada.
 NYHA class III, penderita penyakit dengan pembatasan yang lebih banyak dalam kegia
fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik ya
kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung sep
yang tersebut di atas.
 NYHA class IV, penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tan
menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik meskip
sangat ringan.
b. Pemeriksaan Penunjang
Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan penunja
sebaiknya dilakukan. 12
1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin : 11, 12, 13
Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN), kreati
serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan gula darah, pr
lipid.

2. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah un
menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy (LVH) atau riwayat

56
(ada atau tidak adanya Q wave). EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkin
adanya disfungsi diastolik pada LV. 11, 12

3. Radiologi :
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung d
bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-kadang efusi pleu
begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi penyeb
nonkardiak pada gejala pasien. . 11, 12, 13

4. Penilaian fungsi LV :
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi, d
menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling berguna adalah echocardiogram 2
Doppler, dimana dapat memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran d
fungsi LV begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada katup dan/a
pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan dila
atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas pada pengis
diastolic pada LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai ga
jantung dengan EF yang normal. Echocardiogram 2-D/Doppler juga bernilai un
menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana sangat penting dal
evaluasi dan penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga memberikan anal
komprehensif terhadap anatomi jantung dan sekarang menjadi gold standard dal
penilaian massa dan volume LV. Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi
adalah EF (stroke volume dibagi dengan end-diastolic volume). Karena EF mu
diukur dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan. Pemeriksaan
diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki beberapa keterbata
sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF dipengaruhi oleh perubahan pada afterlo
dan/atau preload. Sebagai contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral seba
akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah. Walaupun demik
dengan pengecualian jika EF normal (> 50%), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan j
EF berkurang secara bermakna (<30-40%). 11

3.6 Penatalaksanaan

57
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan secara n
farmakologis dan secara farmakologis. Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun kro
ditujukan untuk mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun penatalaksanaan sec
individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi. 13
Terapi : 14
a. Non Farmakalogi :
- Anjuran umum :
 Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.
 Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti bia
Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa dilakukan.
 Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.

- Tindakan Umum :
 Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g p
gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter p
gagal jantung ringan.
 Hentikan rokok
 Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang lainnya.
 Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit a
sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut jantu
maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang).
 Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.
b. Farmakologi
Terapi farmakologik terdiri atas ; panghambat ACE, Antagonis Angiotensin
diuretik, Antagonis aldosteron, β-blocker, vasodilator lain, digoksin, obat inotropik la
anti-trombotik, dan anti-aritmia. 14, 15
a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sed
diuretik reguler dosis rendah. Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau tiaz
Bila respon tidak cukup baik, dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan diure
intravena, atau kombinasi loop diuretik dengan tiazid. Diuretik hemat kaliu
spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pas
dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas fungsional IV) yang disebabk

58
gagal jantung sistolik.
b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivitas neurohormonal, dan p
gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimu
dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.
c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian dimulai do
kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindr
gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung k
fungsional II dan III. Penyekat Beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol a
metaprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan diuretik
d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada intoleransi terhadap A
ihibitor.
e. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi sisto
ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sa
diuretik, ACE inhibitor, beta blocker.
f. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emb
serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang bur
Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwa
emboli, trombosis dan Trancient Ischemic Attacks, trombus intrakardiak
aneurisma ventrikel.
g. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau aritm
ventrikel yang menetap. Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali pada aritmia ya
mengancam nyawa. Antiaritmia klas III terutama amiodaron dapat digunakan un
terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak da
digunakan untuk mencegah kematian mendadak.
h. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis un
mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung.

Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 – 2 l/hari) dan pembata
asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka pendek dapat membantu perbaikan gej
karena mengurangi metabolisme serta meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian heparin subkutan pe
diberikan pada penderita dengan imobilitas. Pemberian antikoagulan diberikan pada penderita deng
fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel. 13

59
Penderita gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis dispneu, takikardia se
cemas,pada kasus yang lebih berat penderita tampak pucat dan hipotensi. Adanya trias hipote
(tekanan darah sistolik < 90 mmHg), oliguria serta cardiac output yang rendah menunjukkan bah
penderita dalam kondisi syok kardiogenik. Gagal jantung akut yang berat serta syok kardioge
biasanya timbul pada infark miokard luas, aritmia yang menetap (fibrilasi atrium maupun ventrik
atau adanya problem mekanis seperti ruptur otot papilari akut maupun defek septum ventrikel pa
infark. 13
Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi dimana memerluk
penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui penyebab, perbaikan hemodinamik, menghilang
kongesti paru, dan perbaikan oksigenasi jaringan. Menempatkan penderita dengan posisi duduk den
pemberian oksigen konsentrasi tinggi dengan masker sebagai tindakan pertama yang dapat dilakuk
Monitoring gejala serta produksi kencing yang akurat dengan kateterisasi urin serta oksigenasi jaring
dilakukan di ruangan khusus. Base excess menunjukkan perfusi jaringan, semakin rendah menunjukk
adanya asidosis laktat akibat metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk. Kore
hipoperfusi memperbaiki asidosis,pemberian bikarbonat hanya diberikan pada kasus yang refrakter. 1
Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan menyebabkan venodilatasi yang ak
memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop diuretik juga meningkatkan produ
prostaglandin vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflam
nonsteroid, sehingga harus dihindari bila memungkinkan. 13
Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam penatalaksanaan gagal jantu
akut berat karena dapat menurunkan kecemasan, nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksig
Opiat juga menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel serta udem paru. Dosis pemberian
3 mg intravena dan dapat diulang sesuai kebutuhan. 13
Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi preload serta tekan
pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina serta gagal jantung. Pada dosis rend
bertindak sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi ar
termasuk arteri koroner. Sehingga dosis pemberian harus adekuat sehingga terjadi.keseimbangan ant
dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya adalah teleransi teruta
pada pemberian intravena dosis tinggi, sehingga pemberiannya hanya 16 – 24 jam. 13
Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang diberikan pada gagal jantu
refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai krisis hipertensi. Pemberian nitropuss
dihindari pada gagal ginjal berat dan gangguan fungsi hati. Dosis 0,3 – 0,5 μg/kg/menit. 13

60
Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator. Nesiritide adalah B
rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan ventrikel. Pemberiannya akan memperba
hemodinamik dan neurohormonal, dapat menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan menurun
kadar epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma. Pemberian intravena menurunkan tekan
pengisian ventrikel tanpa meningkatkan laju jantung, meningkatkan stroke volume kar
berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 μg/kg dalam 1 menit dilanjutkan den
infus 0,01 μg/kg/menit. 13
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung akut yang disertai hipote
dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan / atau vasodilator digunakan pada penderita gagal jantu
akut dengan tekanan darah 85 – 100 mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka inotropik dan/a
vasopressor merupakan pilihan. Peningkatan tekanan darah yang berlebihan akan dapat meningkatk
afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi perfusi jaringan bila tekanan arteri rata - rata >
mmHg. 13
Pemberian dopamin 2 μg/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah splanknik d
ginjal. Pada dosis 2 – 5 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik beta sehingga terj
peningkatan laju dan curah jantung. Pada pemberian 5 – 15 μg/kg/mnt akan merangsang resep
adrenergik alfa dan beta yang akan meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi. Pemberian dopam
akan merangsang reseptor adrenergik 1 dan 2, menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistem
(vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 – 3 μg/kg/mnt, untuk meningkat
curah jantung diperlukan dosis 2,5 – 15 μg/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi penye
beta, dosis yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15 – 20 μg/kg/mnt. 13
Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclic-AMP menjadi AMP sehingga terj
efek vasodilatasi perifer dan inotropik jantung. Yang sering digunakan dalam klinik adalah milrino
dan enoximone. Biasanya digunakan untuk terapi penderia gagal jantung akut dengan hipotensi ya
telah mendapat terapi penyekat beta yang memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone intravena
μg/kg bolus 10 – 20 menit kemudian infus 0,375 – 075 μg/kg/mnt. Dosis enoximone 0,25– 0,75 μg
bolus kemudian 1,25 – 7,5 μg/kg/mnt. 13
Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut yang disertai sy
kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg. Penderita dengan syok kardiogenik biasanya deng
tekanan darah < 90 mmHg atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik 30 mmHg selama
menit.Obat yang biasa digunakan adalah epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin diberikan infus kontin
dengan dosis 0,05 – 0,5 μg/kg/mnt. Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 – 1 μg/kg/mnt. 13

61
Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang menyebabkan terjadinya ga
jantung akut de novo atau dekompensasi. Yang tersering adalah penyakit jantung koroner dan sindr
koroner akut. Bila penderita datang dengan hipertensi emergensi pengobatan bertujuan un
menurunkan preload dan afterload. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat seperti lo
diuretik intravena, nitrat atau nitroprusside intravena maupun natagonis kalsium intravena(nicardipin
Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda kelebihan cairan. Terapi nitrat untuk menurun
preload dan afterload, meningkatkan aliran darah koroner. Nicardipine diberikan pada penderita deng
disfungsi diastolik dengan afterload tinggi. Penderita dengan gagal ginjal,diterapi sesuai penyakit da
Aritmia jantungharus diterapi. 13
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon intra aorta, pemasangan p
jantung, implantable cardioverter defibrilator, ventricular assist device. Pompa balon intra ao
ditujukan pada penderita gagal jantung berat atau syok kardiogenik yang tidak memberikan resp
terhadap pengobatan, disertai regurgitasi mitral atau ruptur septum interventrikel. Pemasangan p
jantung bertujuan untuk mempertahankan laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi atrium d
ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang simtomatik dan blok atrioventriku
derajat tinggi. Implantable cardioverter device bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel d
takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan pompa mekanis yang mengantikan sebga
fungsi ventrikel, indikasi pada penderita dengan syok kardiogenik yang tidak respon terhadap ter
terutama inotropik. 13

3.7 Prognosis
Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat berkembang, tet
prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka mortalitas setahun bervariasi dari 5% pada pasien sta
dengan gejala ringan, sampai 30-50% pada pasien dengan gejala berat dan progresif. Prognosisn
lebih buruk jika disertai dengan disfungsi ventrikel kiri berat (fraksi ejeksi< 20%), gejala menonjol,
kapasitas latihan sangat terbatas (konsumsi oksigen maksimal < 10 ml/kg/menit), insufisiensi gin
sekunder, hiponatremia, dan katekolamin plasma yang meningkat. Sekitar 40-50% kematian aki
gagal jantung adalah mendadak.
Meskipun beberapa kematian ini akibat aritmia ventrikuler, beberapa diantaranya merupak
akibat infark miokard akut atau bradiaritmia yang tidak terdiagnosis. Kematian lainnya adalah aki
gagal jantung progresif atau penyakit lainnya. Pasien-pasien yang mengalami gagal jantung stadi
lanjut dapat menderita dispnea dan memerlukan bantuan terapi paliatif yang sangat cermat.

62
DAFTAR PUSTAKA

1. Ponikowski, dkk. 2016 ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of
acute and chronic heart failure. Eurpoean Heart Journal, 27: 2129-2200.
2. Mann, Doglas L., dan Chakinala, Murali. 2015. Section 279. Heart Failure:
Pathophysiology and Diagnosis. Dalam: Kasper Dennis L., dkk (Editor).
Harrison’s Principles of Internal Medicine 19th Edition.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Infodatin: Situasi
Kesehatan Jantung, Jakarta, hal. 3.
4. Ural, Dilek, dkk. 2015. Diagnosis and management of acute heart failure.
Anatolian Journal of Cardiology, 15: 860-869.
5. Siswanto, Bambang Budi, dkk. 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI).
6. Kurmani, Sameer, dan Squire, Iain. 2017. Acute Heart Failure: Definition,
Classification, and Epidemiology. Current Heart Failure Report, 14: 385-392.
7. Dickstein K., dkk. 2008. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of
acute and chronic heart failure. Eurpoean Heart Journal, 29: 2388-2442.
8. Yancy, dkk. 2013. 2013 ACCF/AHA Heart Failure Guidelines: Executive
Summary. Journal of the American College of Cardiology, 62: 1495-1539.
9. Mello, dkk. 2014. Validation of the Killip-Kimball Classification and Late
Mortality after Acute Myocardial Infarction. Arq Bras Cardiol, 103(2): 107-
117.
10. Arrigo, Mattia, dkk. 2016. Understanding acute heart failure:
pathophyisiology and diagnosis. European Heart Journal Supplements, 18:
G11-G18.
11. Leonard, S. Lilly (editor) Patophysiology of the heart : a collaborative project
of medical students and faculty 5th Ed. : Lippicont Williams &Wikkins, a
WolterKhower Business, 2011
12. PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia). Pedoman
Tatalaksana Gagal Jantung. 2015.
13. ESC (European Society of Cardiology) Guidelines(2016). ESC Guidelines for
the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. European Heart
Journal. Pp: 43-50
63

Anda mungkin juga menyukai