Anda di halaman 1dari 33

Tugas Kelompok MK : KMB Lanjut 1

Fasilitator : Dr. Yuliana Syam, S.Kep., Ns., M.Kes

ASUHAN KEPERAWATAN
SIROSIS HEPATIC

OLEH:

SELVIANI ICE RERUNG (R012182006)


SATRIANDA SUKRI (R012182012)
AWAL DARMAWAN (R012182016)
MUH.TASLIM (R012182001)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatNya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini sebagai salah satu tugas dari
mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah Lanjut 1 dengan judul “asuhan keperawatan pada
pasien dengan sirosis hepatis”dengan baik dan tepat waktu.
Makalah ini telah kami susun secara maksimal dengan bantuan dari berbagai pihak,
untuk itu kami menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan
bagi para pembaca. Namun terlepas dari itu, kami menyadari karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman sehingga makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari
segi isi maupun dari tata bahasa. Oleh sebab itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari setiap pembaca agar makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Makassar, 16 September 2019


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronis yang ditandai dengan kerusakan pada
difus dan regenerasi fibrotik sel hati. Jaringan nekrosis akan membentuk jaringan parut,
sehingga akan mengubah struktur hati dan vaskularisasi normal, mengganggu aliran darah
dan limfe, dan akhirnya menyebabkan insufisiensi hepatic (Crawford & Harris,
2013).Sirosis hepatis sangat beresiko dalam mengancam nyawa manusia karena sirosis
hepatis mempunyai beragam penyulit dan manifestasi klinis. Pada tahun 2012 sirosis
hepatis menjadi penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit kardiovaskuler dan
penyakit kanker dengan angka kematian 150 ribu orang (Longo, 2014). Hal ini
menunjukkan bahwa sirosis hepatis merupakan masalah kesehatan yang sulit
dikendalikan.
Sirosis hepatis merupakan salah satu penyebab utama beban kesehatan di dunia,
dimana menyebabkan 31 juta kecacatan sesuai tahun kehidupan atau Disability Adjusted
Life Years (DALYs), atau 1,2% dari DALYs dunia dan 2% dari seluruh kematian di
dunia pada tahun 2010 (Mokdad et al., 2014). Selain hal tersebut, sirosis hepatis
menyebabkan sekitar 170.000 kematian per tahun di Eropa dan 33.539 kematian per
tahun di Amerika Serikat. Sirosis hepatis merupakan alasan utama dilakukannya tindakan
transplantasi hati pada 58.357 orang dewasa di Eropa yang dilakukan pada tahun 1988–
2013 dan mengakibatkan 170.000 kematian yang terjadi di Eropa setiap tahunnya.
Tingginya angka kejadian sirosis hepatis disebabkan oleh alkohol, infeksi virushepatitis B
atau C dan beberapa kondisi metabolik yang memicu proses kerusakan hati (Saputra.L,
2014).
Berdasarkan data dari South East Asia Regional Office (SEARO, 2011), melaporkan
sekitar 5,7 juta orang di Asia Tenggara memiliki virus hepatitis B dan sekitar 480 ribu
orang Asia memiliki virus hepatitis C dan penyakit lainnya (Widjaja, 2011). Hepatitis
merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk di Indonesia, yang terdiri
dari hepatitis A,B,C, D dan E. Virus hepatitis B telah menginfeksi sejumlah 2 milyar
orang didunia, sekitar 240 juta orang diantaranya menjadi pengidap hepatitis kronik,
sedangkan untuk penderita hepatitis C di dunia diperkirakan sebesar 170 juta orang.
Sebanyak 1,5 juta penduduk dunia meninggal setiap tahunnya karena hepatitis (Pusdatin,
2018). Berdasarkan hasil Riskesdas (2013), secara nasional diperkirakan pada tahun 2013
terdapat 1,2% penduduk Indonesia mengidap penyakit hepatitis dan kondisi ini meningkat
2 kali lipat dibandingkan tahun 2007 yaitu sekitar 0,6%. Apabila dikonversikan kedalam
jumlah absolut penduduk Indonesia tahun 2015 sekitar 248.422.956 jiwa, maka bisa
dikatakan bahwa 2.981.075 jiwa penduduk Indonesia terinfeksi hepatitis. Berdasarakan
hasil Riskesdas (2017), sebanyak 7.1% penduduk Indonesia mengidap hepatitis B, ini
menunjukkan terjadinya peningkatan resiko terjadinya sirosis hepatis akibat infeksi virus
hepatitis B. Seseorang yang telah terkena sirosis hepatis akan merasakan gejala sirosis
kompensata seperti mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut
kembung, mual, berat badan menurun (sirosis kompensata). Dan sirosis dekompensata
seperti merasakan gejala hilangnya rambut, gangguan tidur, demam tak begitu tinggi,
adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epitaksis,gangguan siklus haid,
ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, hematemesis melena, perut
membesar dan terjadi asites, kaki bengkak, nyeri pada perut, konsentrasi agitasi
sampai koma (Sudoyo, 2009).
Pada umumnya seseorang akan dibawa ke rumah sakit apabila telah mengalami
komplikasi seperti asites, mengalami perdarahan akibat varises esophagus, dan
mengalami penurunan kesadaran atau enselopati hepatikum. Enselopati hepatikum adalah
sindrom disfungsi neuropsikiatri yang disebabkan oleh portosytematic venous hunting,
dengan atau tanpa penyakit intrinsic hepar. Pasien enselopati hepatikum sering
menunjukkan perubahan status mental dari kelainan psikologik ringan hingga koma
dalam (Ndraha,2015). Enselopati hepatikum sering terlihat pada pasien dengan penyakit
hati kronis. Dimana prevalensi terjadinya enselopati hepatic adalah 30-40% dari pasien
sirosis hati sedangkan untuk enselopati hepatik minimal sebanyak 20-80%. Sebanyak
30%pasien enselopati hepatikum mengalami kematian (Vilstrup.H, 2014).

B. Tujuan
1. Untuk memahami tentang konsep penyakit pada klien dengan sirosis hepatik
2. Untuk memahami tentang proses asuhan keperawatan pada klien dengan sirosis
hepatik
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Defenisi
1. Serosis Hepatis merupakan mekanisme perlukaan dari hati yang disebabkan karena
proses peradangan pada hati yang ditandai dengan regenerasi nodular yang dikelilingi
oleh fibrotik padat yang mengakibatkan distorsi pada pembuluh darah hati yang
mempengaruhi peningkatan resestensi portal aliran darah dan disfungsi sintesis hati.
Serosis hati dianggap sebagai penyakit stadium akhir yang menyebabkan kematian
(Tsochatzis, Bosch, & Burroughs, 2014).
2. Sirosis hati merupakan salah satu penyakit yang kompleks dimana fungsi dari jarigan
hati digantikan oleh jaringan fibrosus sehingga mempengaruhi keadaan penderita baik
secara fisik dan emosional (Crawford & Harris, 2013).
3. Sirosis hati adalah jalur patologis akhir dari kerusakan hati yang timbul dari berbagai
macam penyakit hati kronis (Zhou, Zhang, & Qiao, 2014).
4. Sirosis hati adalah penyakit kronis progresif dicirikan dengan fibrosis luas (jaringan
parut) dan pembentukan nodul. Sirosis terjadi ketika aliran normal darah, empedu dan
metabolisme hepatic diubah oleh fibrosis dan perubahan di dalam hepatosit, duktus
empedu, jalur vaskuler dan sel retikuler (Black & Hawks, 2014).

B. Anatomi Fisiologi

Gambar 1. Anatomi Hati


Hati adalah organ kelenjar terbesar dengan berat kira-kira 1200-1500 gram. Terletak
di abdomen kuadrat kanan atas menyatu dengan saluran bilier dan kandung empedu,
yang terbagi menjadi empat lobus, dimana setiap lobus hati terbungkus oleh lapisan tipis
jaringan ikat yang membentang kedalam lobus itu sendiri dan membagi massa hati
menjadi unit-unit kecil, yang disebut lobulus (Rosida, 2016).
Sirkulasi darah kedalam dan keluar hati sangat penting dalam penyelenggaraan
fungsi hati. Hati menerima supali darah dari dua sumber yang berbeda.sebagian besar
supali darah dating dari vena porta yang mengalirkan darah yang kaya akan zat-zat gizi
dari traktus gastrointestinal. Bagian lain dari suplai darah tersebut masuk kedalam hati
lewat arteri hepatica dan banyak mengandung oksigen. Kedua sumber darah tersebut
mengalir ke dalam kapiler hati yang disebut sinusoid hepatik. Dengan demikian, sel-sel
hati (hepatosit) akan terendam oleh campuran darah vena dan arterial. Dari sinusoid
darah mengalir ke vena sentralis di setiap lobulus, dan dari semua lobulus ke vena
hepatika. Vena hepatika mengalirkan isinya ke dalam vena kava inferior. Jadi terdapat
dua sumber yang mengalirkan darah masuk ke dalam hati dan hanya terdapat satu
lintasan keluarnya (Smettzer S C & Bare G, 2008).

Fungsi metabolik hati adalah sebagai berikut:


a. Metabolisme glukosa
Glukosa yang dikonsumsi akan diambil dari darah vena porta oleh hati dan
diubah menjadi glikogen yang disimpan dalam hepatosit. Selanjutnya glikogen
diubah kembali menjadi glukosa dan jika diperlukan dilepaskan kedalam aliran darah
untuk mempertahankan kadar glukosa yang normal. Glukosa tambahan dapat
disintesis oleh hati lewat proses yang dinamakan glukoneogenesis. Untuk proses ini
hati menggunakan asam-asam amino hasil pemecahan protein atau laktat yang
diproduksi oleh otot yang bekerja.
b. Konversi Amonia
Asam amino yang dipergunakan dalam proses glukoneogenesis akan
membentuk ammonia sebagai hasil sampingan. Hati mengubah amonia yang
dihasilkan oleh proses metabolik ini menjadi ureum. Amonia yang diproduksi oleh
bakteri dalam intestinum juga akan dikeluarkan dari dalam darah portal untuk sintesis
ureum. Dengan cara ini hati mengubah ammonia yang merupakan toksin berbahaya
menjadi ureum yaitu senyawa yang dapat diekskresikan kedalam urin.
c. Metabolisme Protein
Hati akan mensintesis plasma protein termasuk albumin, faktor-faktor
pembekuan darah protein transport yang spesifik dan sebagian besar lipoprotein
plasma. Vitamin K diperlukan hati untuk mensintesis protombin dan sebagian faktor
pembekuan lainnya. Asam-asam amino berfungsi sebagai unsur pembangun bagi
sintesis protein.
d. Metabolis Lemak
Asam-asam lemak dapat dipecah untuk memproduksi energi dan benda keton.
Benda keton merupakan senyawa kecil yang dapat masuk ke dalam aliran darah dan
menjadi sumber energi bagi otot serta jaringan tubuh lainnya. Pemecahan asam
lemak menjadi bahan keton terutama terjadi ketika ketersediaan glukosa untuk
metabolisme sangat terbatas seperti pada kelaparan atau diabetes yang tidak
terkontrol.
e. Penyimpanan Vitamin dan Zat Besi
Hati berperan penting dalam proses penyimpanan nutrisi dan vitamin seperti zat besi,
vitamin A, vitamin B12, vitamin D dan K serta asam folat.
f. Metabolisme Obat
Metabolisme umumnya menghilangkan aktivitas obat tersebut meskipun pada
sebagian kasus, aktivasi obat dapat terjadi. Salah satu lintasan penting untuk
metabolisme obat meliputi konjugasi (pengikatan) obat tersebut dengan sejumlah
senyawa, untuk membentuk substansi yang lebih larut. Hasil konjugasi tersebut dapat
diekskresikan kedalam feses atau urin seperti ekskresi bilirubin.
g. Pembentukan Empedu
Empedu dibentuk oleh hepatosit dan dikumpulkan dalam kanalikulus serta
saluran empedu. Fungsi empedu adalah ekskretorik seperti ekskresi bilirubin dan
sebagai pembantu proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak oleh garam-garam
empedu.
h. Ekskresi Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan hemoglobin oleh sel-sel
pada sistem retikuloendotelial yang mencakup sel-sel kupfer dari hati. Hepatosit
mengeluarkan bilirubin dari dalam darah dan melalui reaksi kimia mengubahnya
lewat konjugasi menjadi asam glukuronat yang membuat bilirubin lebih dapat larut
didalam larutan yang encer. Bilirubin yang terkonjugasi diekskresikan oleh hepatosis
ke dalam kanalikulus empedu didekatnya dan akhirnya dibawa dalam empedu ke
duodenum.
Konsentrasi bilirubin dalam darah dapat meningkat jika terdapat penyakit hati,
bila aliran empedu terhalang atau bila terjadi penghancuran sel-sel darah merah yang
berlebihan. Pada obstruksi saluran empedu, bilirubin tidak memasuki intestinum dan
sebagai akibatnya, urobilinogen tidak terdapat dalam urin.

C. Tipe Sirosis Hepatis


Menurut Smelzer dan Bare, (2001), ada tiga tipe sirosis atau pembentukan parut dalam
hati yaitu:
1. Sirosis portal Laennec (alkoholik, nutrisional) dimana jaringan parut secara khas
mengelilingi daerah portal. Sirosis ini paling sering disebabkan oleh alkoholisme
kronis dan merupakan tipe sirosis yang paling sering ditemukan di Negara barat.
2. Sirosis poscanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat
lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di sekitar saluran
empedu. Tipe ini terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis);
insidennya lebih rendah daripada insidens sirosis Laennec dan poscanekrotik.

D. Etiologi
Menurut Johannes & Thomas Berg (2013), penyebab dari serosis hepatis adalah sebagai
berikut:
1. Virus hepatitis C
Hepatitis C (HVC) dapat menyebabkan kerusakan kronis pada hati yang dapat
ditularkan melalui kontak cairan seperti penggunaan alat suntikan, transfusi darah dan
pada prosedur medis dimana alat ala medis dan tindakan operasi tidak steril.
2. Virus hepatiti B
Virus hepatitis B (HBV) menyerang hati dan membawa virus dengan cepat dan
menimbulkan infeksi kronis. HBV dapat ditularkan secara terbuka lewat cairan
terinfeksi seperti darah, penggunaan obat suntik dan kegiatan seksual.
3. Konsumsi alkohol yang berlebihan
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan pada hati. Jika
muncul luka dihati akan membentuk jaringan parut dan akan menghambat proses
metabolisme di hati dan penyakit hati non alkohol pada negara negara yang lebih
maju.
4. Kelaianan metabolik (termasuk penyakit Wilson)
Pada hemochromatosis (akumulasi besi yang abnormal) atau tembaga, pasien-pasien
mewarisi suatu kecenderungan untuk menyerap suatu jumlah besi yang berlebihan
dari makanan yang dapat menyebabkan sirosis.
5. Kelebihan Berat badan

E. Tanda dan Gejala


Menurut (Lewis & Direksen, 2014), gejala yang biasa dialami penderita sirosis dari
yang paling ringan yakni lemah tidak nafsu makan, hingga yang paling berat yakni
bengkak pada perut, tungkai, dan penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik pada
tubuh penderita terdapat palmar eritem, spider nevi. Beberapa dari gejala-gejala dan tanda-
tanda sirosis yang lebih umum termasuk:
1. Kulit yang menguning (jaundice) disebabkan oleh akumulasi bilirubin dalam darah
2. Asites, edema pada tungkai
Adanya ketidakseimbangan tekanan di dalam dan di luar sirkulasi (sistem tekanan yang
tinggi di dalam), Peningkatan tekanan darah protal dan penurunan albumin (protein
yang ada di dalam darah) bertanggung jawab dalam tekanan gradien dan menyebabkan
asites abdomen. Faktor lain yang berkontribusi terhadap terjadinya penyakit asites
adalah adanya retensi garam dan air. Volume darah yang beredar dapat dianggap
rendah oleh sensor pada ginjal sehingga terjadilah pembentukan asites yang dapat
menguras beberapa volume cairan dari darah.
3. Hipertensi portal
Hepatitis portal adalah kondisi meningkatnya tekanan darah dalam pembuluh vena
porta. Vena porta merupakan pembuluh darah yang berfungsi mengalirkan
darah dari organ pencernaan (lambung, usus, limpa, dan pankreas) ke hati. Jika
pembuluh darah itu tersumbat, maka tentunya darah tidak dapat mengalir dengan baik
menuju hati. Hal ini menyebabkan tekanan darah pada pembuluh vena porta meningkat.
4. Kelelahan/ Kelemahan
Hati berfungsi dalam menyimpan energy untuk tubuh, tetapi adanya kerusakan pada
hati menyebabkan tubuh kehilangan energy. Selain itu penurunan nafsu makan juga
menyebabkan kelemahan pada tubuh.
5. Gatal
hati berperan penting sebagai penghasil empedu (bilirubin). Sebagian besar empedu
yang dihasilkan oleh hati dialirkan ke kantong penyimpanan (kantong empedu), sampai
nantinya digunakan dalam proses pencernaan makanan. Dan bilirubin ini juga bisa
disimpan di dalam kulit apabila fungsi hati tidak bekerja secara optimal. Bilirubin yang
meningkat di daerah kulit dapat mengakibatkan sensasi gatal.
6. Mudah memar dari pengurangan produksi faktor-faktor pembeku darah oleh hati yang
sakit.

Menurut Smeltzer & Bare ( 2008), gejala klinis yang di perlihatkan oleh penyakit sirosis
hati adalah :
1. Hepatomegaly
Pada awal perjalanan penyakit sirosis, hati cenderung untuk membesar dan sel-selnya
dipenuhi oleh lemak yang menyebabkan hati menjadi keras dan memiliki tepi tajam
yang dapat diketahui melalui pemeriksaan palpasi. Nyeri abdomen dapat diketahui
sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan mengakibatkan regangan pada
selubung fibrosa hati ( Kapsula Glissoni).pada penyakit yang lebih lanjut ukuran hati
akan berkurang yang diakibatkan pengerutan dari jaringan parut sehingga apabila
dipalpasi maka permukaan hati akan teraba berbenjol benjol (noduler).
2. Obstruksi portal dan Asites
Akibat kegagalan dari fungsi hati yang kronis dan sebagian disebabkan oleh obstruksi
sirkulasi portal mengakibatkan semua darah dari organ-organ digestif praktis akan
berkumpul dalam vena portal dan dibawah ke hati. Karena hati yang sirotik tidak
memungkinkan pelintasan darah yang bebas maka aliran darah tersebut akan kembali
kedalam limfe dan traktus gastrointstinal dengan konsekuensi bahwa organ organ ini
menjadi tempat kongesti pasif yang kronis dan kedua tempat ini dipenuhi oleh darah
dan tidak dapat bekerja dengan baik sehingga akibatnya pasien mengalami dispepsia
kronis dan konstipasi atau diare berat, badan pasien akan mengalami penurunan. Cairan
yang kaya akan protein dan menumpuk didalam rongga peritonial akan menyebabkan
asites. Splenomegali dapat terjadi yang di sebabkan oleh dilatasi arteri superfisial yang
menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan yang dapat dilihat melalui inspeksi
terhadap wajah dan keseluruhan tubuh.
3. Varices gastrointestinal
Obstruksi aliran darah yang lewat hati yang terjadi akibat perubahanfibrotik juga
mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral dalam sistem gastrointestinal
dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh portal ke dalam portal kedalam
pembuluh darah tekanan yang lebih rendah. Penderita sirosis hati sering
memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok yang terlihat pada
inspeksi abdomen (kaput medusae) dan distensi pembuluh darah diseluruh traktus
gastrointestinal.distensi pembuluh darah ini akan membentuk varices atau hemoroid
tergantung pada lokasinya.
4. Edema
Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi prediposisi untuk terjadinya
edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta
air dan ekskresi kalium.
5. Defisiensi vitamin dan Anemia
Karena Pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yang tidak
memadai terutama vitamin A,C dan K, maka tanda tanda defesiensi vitamin sering
dijumpai sebagai fenomena hemoragik yang berkaitan dengan defesiensi vitamin K.
Gangguan fungsi gastrointestinal bersama asupan diet yang tidak adekwat dan
gangguan fungsi hati turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis
hati.Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatanyang buruk akan mengakibatkan
kelelahan hebat yang menganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari
hari.
6. Kemunduran mental
Manifestasi klinik lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan ensefalopati dan
koma hepatik yang dapat menimbulkan gangguan orientasi ,kemampuan kognitif dan
pola bicara.
F. Penatalaksanaan
Menurut (Lewis & Direksen, 2014), pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :
1. Supportif, yaitu :
 Istirahat yang cukup
 Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang; misalnya : cukup kalori,
protein 1 gr/kgBB/hari dan vitamin
 Pengobatan berdasarkan etiologi Misalnya pada sirosis hati akibat infeksi virus
C dapat dicoba dengan interferon. Sekarang telah dikembangkan perubahan
strategi terapi bagian pasien dengan hepatitis C kronik yang belum pernah
mendapatkan, pengobatan IFN seperti :
 kombinasi IFN dengan ribavirin
Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta unit 3 x seminggu
dan RIB 1000-2000 mg perhari tergantung berat badan(1000mg untuk berat
badan kurang dari 75kg) yang diberikan untuk jangka waktu 24-48 minggu
 terapi induksi IFN
Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis yang lebih
tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4 minggu yang dilanjutkan dengan 3
juta unit 3 x seminggu selama 48 minggu dengan atau tanpa kombinasi RIB
 terapi dosis IFN tiap hari
Terapi dosis interferon setiap hari. Dasar pemberian IFN dengan dosis 3 juta
atau 5 juta unit tiap hari sampai HCV-RNA negatif di serum dan jaringan
hati.

2. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah terjadi
komplikasi seperti:
Dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas :
a. istirahat

b. diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat dan diet
rendah garam dan penderita dapat berobat jalan dan apabila gagal maka
penderita harus dirawat.
c. Diuretik. Pemberian diuretic hanya bagi penderita yang telah menjalani diet
rendah garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang
d. dari 1 kg setelah 4 hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian
diuretic adalah hipokalem dan hal ini dapat mencetuskan encepalophaty hepatic,
maka pilihan utamadiuretic adalah spironolacton, dan dimulai dengan dosis
rendah, serta dapat dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan
dosis maksimal diuresisnya belum tercapai maka dapat kita kombinasikan
dengan furosemid.

Manajemen Nutrisi

Manajemen nutrisi pada sirosis hepatis (Lewis & Direksen, 2014), sebagai berikut:

 Diet Garam Rendah I (DGR I)

Diet garam rendah I diberikan kepada pasien dengan edema, asites dan atau atau
hipertensi berat. Pada pengolahan makanannya tidak menambahkan garam dapur.
Dihindari bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya. Kadar Natrium pada
Diet garam rendah I ini adalah 200-400 mg Na.

 Diet Hati I (DH I)

Diet Hati I diberikan bila pasien dala keadaan akut atau bila prekoma sudah dapat
diatasi dan pasien sudah mulai mempunyai nafsu makan. Melihat keadaan pasien,
makanan diberikan dalam bentuk cincang atau lunak. Pemberian protein dibatasi
(30 g/hari) dan lemak diberikan dalam bentuk mudah dicerna. Formula enteral
dengan asam amino rantai cabang (Branched Chain Amino Acid /BCAA) yaitu
leusin, isoleusin, dan valin dapat digunakan. Bila ada asites dan diuresis belum
sempurna, pemberian cairan maksimal 1 L/hari.

Makanan ini rendah energi, protein, kalsium, zat besi, dan tiamin; karena itu
sebaiknya diberikan selama beberapa hari saja. Menurut beratnya retensi garam
atau air, makanan diberikan sebagai Diet Hati I Garam rendah. Bila ada asites
hebat dan tanda-tanda diuresis belum membaik, diberikan Diet Garam Rendah I.
Untuk menambah kandungan energi, selain makanan per oral juga diberikan
makanan parenteral berupa cairan glukosa.

 Diet Hati II (DH II)

Diet hati II diberikan sebagai makanan perpindahan dari diet hati II kepada pasien
dengan nafsu makannya cukup. Menurut keadaan pasien, makanan diberikan
dalam bentuk lunak / biasa. Protein diberikan 1 g/Kg berat badan dan lemak
sedang (20-25% dari kebutuhan energi total) dalam bentuk yang mudah dicerna.
Makanan ini cukup mengandung energi, zat besi, vitamin A & C, tetapi kurang
kalsium dan tiamin. Menurut beratnya retensi garam atau air, makanan diberikan
sebagai diet hati II rendah garam. Bila asites hebat dan diuresis belum baik, diet
mengikuti pola Diet Rendah garam I.

 Diet Hati III (DH III)

Diet Hati III diberikan sebagai makanan perpindahan dari Diet Hati II atau
kepada pasien hepatitis akut (Hepatitis Infeksiosa/A dan Hepatitis Serum/B) dan
sirosis hati yang nafsu makannya telah baik, telah dapat menerima protein, lemak,
mi9neral dan vitamin tapi tinggi karbohidrat. Menurut beratnya tetensi garam
atau air, makanan diberikan sebagai Diet Hati III Garam Rendah I.

ALGORITMA PENATALAKSANAAN SIROSIS HEPATIS

Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan SH


G. Komplikasi
Komplikasi sirosis hepatis yang utama adalah hipertensi portal, asites, peritonitis
bakterail spontan, pendarahan varises esophagus, sindroma hepatorenal, ensefalopati
hepatikum, dan kanker hati (Lewis & Direksen, 2014).
1) Hipertensi Portal
Adalah peningkatan hepatic venous pressure gradient (HVPG) lebih 5 mmHg.
Hipertensi portal merupakan suatu sindroma klinis yang sering terjadi. Bila gradient
tekanan portal (perbedaant ekanan antara vena portal dan vena cava inferior) diatas
10-20 mmHg, komplikasi hipertensi portal dapat terjadi.
2) Asites
Penyebab asites yang paling banyak pada sirosis hepatis adalah hipertensi portal,
disamping adanya hipoalbuminemia (penurunan fungsi sintesis pada hati) dan
disfungsi ginjal yang akan mengakibatkan akumulasi cairan dalam peritoniun.
3) Varises Gastroesofagus
Varises gastroesofagus merupakan kolateral porto sistemik yang paling penting.
Pecahnya varises esophagus (VE) mengakibatkan perdarahan varieses yang berakibat
fatal. Varises ini terdapat sekitar 50% penderita sirosis hepatis dan berhubungan
dengan derajat keparahan sirosis hepatis.
4) Peritonisis Bakterial Spontan
Peritonisis bacterial spontan (SBP) merupakan komplikasi berat dan sering terjadi
pada asites yang ditandai dengan i nfeksi spontan cairan asites tanpa adanya fokus
infeksi intra abdominal.
5) Ensefalopati Hepatikum
Sekitar 28% penderita sirosis hepatis dapat mengalami komplikasi ensefalopi
hepatikum (EH). Mekanisme terjadinya ensefalopati hepatikum adalah akibat
hiperamonia, terjadi penutunan hepatic cuptake sebagai akibat dari intrahepatic
portal systemic shunts dan/atau penurunan sintesis urea dan glutamik.
6) Sindrom Hepatorenal
Merupakan gangguan fungsi ginjal tanpa kelainan organic ginjal, yang ditemukan
pada sirosis hepatis lanjut. Sindrom ini sering dijumpai pada penderita sirosis hepatis
dengan asites refrakter. Sindroma Hepatorenal tipe1 ditandai dengan gangguan
progresif fungsi ginjal dan penurunan klirens kreatinin secara berrmakna dalam 1-2
minggu, sedangkan tipe 2 ditandai kreatinin dan lebih baik prognosisnya dari pada
tipe1.

H. Prognosis
Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi etiologi,
beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai. Prognosis sirosis
hati dapat diukur dengan kriteria Child Turcotte-Pugh. Kriteria Child-Turcotte- Pugh
merupakan modifikasi dari kriteria Child Pugh, banyak digunakan oleh para ahli
hepatologi saat ini. Kriteria ini digunakan. untuk mengukur derajat kerusakan hati dalam
menegakkan prognosis kasus-kasus kegagalan hati kronik (Kaplan et al., 2016).
Skor
Parameter
1 2 3
Asites Ringan
- Sedang-Berat
Ensefalopati Ringan-
- Sedang-Berat
Bilirubin serum (mg/dL) Sedang
<2 >3
Albumin serum (mg/L) 2-3
> 3,5 < 2,8
Prothrombin time (detik) 2,8-3,5
1-3 >6
4-6
Tabel 1. Kriteria Child pugh (Kaplan et al., 2016).

Child-Turcotte-Pugh A : 5-6 (prognosis baik)


Child-Turcotte-Pugh B : 7-9 (prognosis sedang)
Child-Turcotte-Pugh C : 10-15 (prognosis buruk)

I. Test Diagnostik
Menurut Smeltzer dan Bare (2013), penyakit Hepar dan pengobatannya ditentukan
setelah mengkaji hasil-hasil pemeriksaan diagnostik. Ada banyak pemeriksaan
diagnostik yang dapat dilakukan untuk memberikan informasi tentang fungsi Hepar.
Adapun pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada penderita Sirosis Hepatis adalah
sebagai berikut :
a. Tes fungsi Hepar.
Pada disfungsi parenkim hepar yang berat, kadar albumin serum cenderung
menurun dan kadar globulin serum meningkat. Pemeriksaan enzim yang
menunjukkan adanya kerusakan sel hepar, yaitu kadar alkali fosfatase, SGPT
(Serum GlutamicPyruvic Transaminase) atau ALT (Alanin Aminotransferase)
sertaSGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) atau AST (Aspartat
aminotransferase) meningkat dan kadar kolinesterase serum dapat menurun.
Pemeriksaan bilirubin dilakukan untuk mengukur ekskresi empedu atau retensi
empedu.
b. Endoskopi bagian atas (esophagogastroduodenoscopy), dapat melihat adanya
varises esophagus.
c. Ultrasonografi (USG).
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat ukuran organ-organ abdomen dan
mendeteksi adanya massa. Pemeriksaan USG juga untuk mengukur perbedaan sel-
sel parenkim hepar dan adanya jaringan parut.
d. Analisis Gas Darah Arterial.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat gangguan keseimbangan ventilasi,
perfusi, dan hipoksia pada sirosis hepatis.
e. Angiografi.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi sirkulasi hepar dan keberadaan sifat
massa pada hepar.
f. Biopsi Hepar.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan perubahan anatomis pada jaringan
hepar.
g. Rontgen Toraks Dan Abdomen.
Foto torak untuk memastikan ada atau tidaknya efusi pleura sedangkan foto polos
abdomen menunjukkan adanya kesuraman yang merata dan batas organ jaringan
yang tidak jelas.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN SIROSIS HEPATIS

A. Pengkajian Umum
1. Data demografi pasien : berisi tentang identitas Klien
2. Keluhan utama Penyakit
Adapun keluhan utama penyakit ini dapat berjalan tanpa keluhan dan dapat juga
dengan atau tanpa gejala klinik yang jelas. Mula-mula timbul kelemahan badan,
rasa cepat payah yang makin menghebat, na'sumakan menurun, penurunan berat
badan, badan menguning (ikterus, demam ringan, sembabtungkai dan pembesaran
perut (asites).
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Perlu dikaji karena sangat berhubungan pada kesehatan pasien saat ini, apakah
pasien pernah dirawat dengan penyakit yang sama atau penyakit lain yang
berhubungan dengan penyakit hati, sehingga menyebabkan/berhubungan dengan
penyakit cirosis hepatis, karena cirosis hepatis merupakan penyakit kelainan hati
dari komplikasi pada sakit hati primer yang sebelumnya telah ada. Sedangkan
riwayat kesehatan saat ini merupakan keluhan utama pasien saat ini, mengapa
pasien masuk Rumah sakit dan apa keluahan utama pasien, sehingga dapat
ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat muncul.
4. Riwayat Penyakit Masa lalu
Menanyakan apakah pasien pernah dirawat dengan penyakit yang sama
atau penyakit lain yang berhubungan dengan penyakit hati, sehingga
menyebabkan penyakit Sirosis hepatis. Apakah pernah sebagai pengguna alkohol
dalam jangka waktu yang lama disamping asupan makanandan perubahan dalam
status jasmani serta rohani pasien.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Kita mengkaji adakah penyakit-penyakit yang dalam keluarga sehingga membawa
dampak berat pada keadaan atau yang menyebabkan cirosis hepatis, seperti keadaan
sakit DM, hipertensi, ginjal yang ada dalam keluarga. Hal ini penting dilakukan bila
ada gejala-gejala yang memang bawaan dari keluarga pasien.
6. Riwayat tumbuh kembang
Kelainan-kelainan fisik atau kematangan dari perkembangan dan pertumbuhan
seseorang yang dapat menjadi – mempengaruhi keadaan penyakit seperti ada
riwayat pernah icterus saat lahir yang lama, atau lahir premature, kelengkapan
imunisasi, pada form yang tersediatidak terdapat isian yang berkaitan dengan
riwayat tumbuh kembang.
7. Riwayat sosial ekonomi
Keadaan sosial dan ekonomi berpengaruh, apakah pasien suka berkumpul dengan
orang-orang sekitar yang pernah mengalami penyakit hepatitis, berkumpul dengan
orang-orang yang dampaknya mempengaruhi prilaku pasien yaitu peminum alcohol,
karena keadaan lingkungan sekitar yang tidak sehat.
8. Riwayat psikologi dan riwayat sehari-hari
Bagaimana pasien menghadapi penyakitnya saat ini apakah pasien dapat menerima,
ada tekanan psikologis berhubungan dengan sakitnya. Kita kaji tingkah laku dan
kepribadian, karena pada pasien dengan sirosis hati dimungkinkan terjadi perubahan
tingkah laku dan kepribadian, emosi labil, menarik diri, dan depresi. Fatique dan
letargi dapat muncul akibat perasaan pasien akan sakitnya. Dapat juga terjadi
gangguan body image akibat dari edema, gangguan integument, dan terpasangnya
alat-alat invasive (seperti infuse, kateter). Terjadinya perubahan gaya hidup,
perubaha peran dan tanggungjawab keluarga, dan perubahan status financial (Lewis,
Heitkemper, & Direksen, 2000).
B. Pengkajian Kebutuhan
Pengkajian kebutuhan menurut (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010)
1. Aktivitas/ istirahat
Gejala : Kelemahan, kelelahan
Tanda : Letargi, penurunan massa otot.
2. Sirkulasi
Gejala : Riwayat GJK kronik, perikarditis, penyakit jantung rematik,
kanker
Tanda : Disritmia, bunyi jantung tambahan (S3, S4), vena abdomen
distensi
3. Eliminasi
Gejala : Flatus
Tanda : Distensi abdomen (hepatomegali, splenomegali, asites)
Penurunan/ tidak ada bising usus
Faeses warna tanah liat, melena
Urine gelap, pekat
4. Makanan/ cairan
Gejala : Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/ tidak dapat
mencerna
Tanda : Penurunan atau peningkatan (cairan) berat badan
Edema, kulit kering, turgor jelek
Ikterik, angioma spider
Nafas berbau/ fetor hepatikus, perdarahan gusi
5. Neurosensori
Gejala : Orang terdekat dapat melaporkan perubahan kepribadian,
penurunan mental.
Tanda : Perubahan mental, bingung, halusinasi, koma
Bicara lambat/ tidak jelas, asterik ( ensefalopati hepatik )
6. Nyeri/ kenyamanan
Gejala : Nyeri tekan abdomen/ nyeri kuadran kanan atas, pruritus,
neuritis perifer
Tanda : Perilaku berhati-hati/ distraksi
Fokus pada diri sendiri
7. Pernafasan
Gejala : Dispnea
Tanda : Takipnea, pernafasan dangkal, bunyi nafas tambahan
Ekspansi paru terbatas (asites)
Hipoksia
8. Keamanan
Gejala : Pruritis
Tanda : Demam, (lebih umum pada sirosis alkoholik)
Ikterik, ekimosis, petekie
Angioma spider, eritema palmar
9. Seksualitas
Gejala : Gangguan menstruasi, impoten
Tanda : Atropi testis, ginekomastia, kehilangan rambut (dada, bawah
lengan, pubis)
10. Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala : Riwayat penggunaan alkohol jangka panjang,
riwayat penyakit empedu, hepatitis, penggunaan obat yang
mempengaruhi fungsi hati, perdarahan varises esofageal
Rencana pemulangan : Memerlukan bantuan dengan tugas perawatan/ pengaturan
rumah.
A. Intervensi Keperawatan

Nursing Outcome Classsification


Nursing Intervention Classification (Bulechek,
No Diagnosa Keperawatan (Moorhead, Marion, Maas, &
Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013)
Elizabeth, 2013)
1 Ketidakseimbangan nutrisi : Setelah perawatan 3x24 jam status Manajemen Mual
kurang dari kebutuhan tubuh nutrisi : kebutuhan tubuh terpenuhi 1. Kaji frekuaensi mual, durasi, tingkat keparahan, dan
berhubungan dengan dengan kriteria hasil : faktor-faktor pencetus dengan menggunakan alat
ketidakmampuan mengabsorbsi Status Nutrisi; Asupan Nutrisi : pengkajian seperti visual analog scales
makanan 1. Asupan kalori adekuat 2. Observasi tanda-tanda nonverbal dari
Batasan Karakteristik : 2. Asupan protein adekuat ketidaknyamanan
 Mual, muntah 3. Asupan lemak adekuat 3. Dorong pola makan dengan porsi sedikit makanan
 Napsu makan menurun 4. Asupan karbohidrat adekuat yang menarik bagi pasien
 Anoreksia 5. Asupan vitamin adekuat 4. Ajarkan penggunaan tehnik nonfarmakologi seperti
 Mudah kenyang 6. Nafsu makan meningkat relaksasi, terapi musik
 Nyeri abdomen 7. Asupan makanan secara oral adekuat Manajemen Muntah
 Membrane mukosa pucat 1. Kaji emesis terkait dengan warna, konsistensi, adanya
 Berat badan 20% atau lebih darah, waktu, dan sejauhmana kekuatan emesis
dibawah rentang berat 2. Ukur atau perkirakan volume emesis
badan ideal 3. Identifikasi faktor-faktor yang dapat menyebabkan
 Tonus otot menurun muntah
4. Tingkatkan pemberian cairaan secara bertahap
5. Berikan dukungan fisik secara bertahap
6. Bersihkan mulut setelah episode muntah untuk
menghilangkan bau mulut
7. Kolaborasi penggunanaan farmakologi yaitu
antiemetik
Manajemen Nutrisi
1. Tentukan status gizi pasien dan kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan gizi
2. Tentukan apa yang menjadi preferensi makanan bagi
pasien
3. Jelaskan kepada pasien piramida makanan yang cocok
dalam memenuhi kebutuhan nutrisi
4. Tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang
dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan gizi

2 Volume cairan berlebihan Setelah perawatan 3x24 jam status Manajemen Cairan
berhubungan dengan retensi cairan : volume cairan dalam tubuh 1. Timbang berat badan setiap hari
cairan, peningkatan seimbang dengan kriteria hasil : 2. Jaga intake atau asupan yang akurat dan catat output
permeabilitas kapiler Keseimbangan Cairan : pasien
Batasan Karakteristik : 1. Tekanan darah 3. Pemasangan kateter urin
 Edema atau edema 2. Denyut nadi radial 4. Kaji lokasi dan luasnya edema
anasarka 3. Tekanan arteri rata-rata 5. Berikan terapi intravena sesuai yang ditentukan
 Peningkatan berat badan 4. Tekanan vena sentral 6. Berikan diuretik yang diresepkan
 Oliguri 5. Denyut perifer 7. Tingkatkan asupan oral
 Dispneu 6. Keseimbangan intake dan output 8. Distribusikan asupan cairan selama 24 jam
 Perubahan tekanan darah dalam 24 jam 9. Dukung pasien dan keluarga untuk membantu dalam
 Gangguan tekanan darah 7. Berat badan stabil pemberian makanan dengan baik
 Hepatomegaly 8. Turgor kulit 10. Batasi asupan air pada kondisi hiponatremia dengan
9. Kelembapan membran mukosa serum Na dibawah 130 mEq per liter
 Ketidakseimbangan
10. Serum elektrolit 11. Konsultasikan ke dokter jika tanda-tanda dan
elektrolit
11. Hematokrit kelebihan volume cairan memburuk atau menetap
12. Berat jenis urine Monitor Cairan
1. Kaji faktor-faktor resiko yang mungkin menyebabkan
ketidakseimbangan cairan
2. Kaji apakah pasien mengalami kehausan atau gejala
perubahan cairan
3. Periksa ulang kapiler dengan memegang tangan pasien
pada tinggi yang sama
4. Kaji turgor kulit
5. Monitor berat badan
6. Monitor asupan dan pengeluaran
7. Monitor kadar serum dan elektrolit urin
8. Monitor tekanan darah, denyut jantung dan pernapasan
9. Monitor tanda-tanda asites
10. Kolaborasi ke dokter jika pengeluaran urin kurang dari
0,5ml/kg/jam atau asupan cairan orang dewasa kurang
dari 2000 cc dalam 24 jam
11. Cek grapik asupan dan pengeluaran secara berkala
3 Nyeri kronik berhubungan Setelah perawatan 3x24 jam nyeri Manajemen Nyeri
dengan proses penyakit, kronik berkurang / hilang dengan 1. Kaji nyeri (lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, dan
gangguan metabolic kriteria hasil : faktor pencetus)
Batasan Karakteristik : Nyeri : Respon psikologis tambahan: 2. Gali pengetahuan dan kepercayaan mengenai nyeri
 Anoreksia 1. Gangguan pada konsentrasi tidak 3. Bantu keluarga dalam mencari dan menyediakan
 Bukti nyeri ada dukungan
 Focus pada diri sendiri 2. Ansietas tidak ada 4. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri
 Keluhan tentang nyeri 3. Distress nyeri 5. Gali penggunaan metode farmakologi yang diapakai
 Perubahan pola tidur 4. Kesedihan pasien
5. Ketidakberdayaan 6. Kolaborasi pemberian obat analgesik
Manajemen Pengobatan
Control nyeri: 1. Tentukan obat yang diperlukan
1. Mengenali kapan nyeri terjadi 2. Kaji kemampuan pasien untuk mengobati diri sendiri
2. Nyeri berkurang atau hilang 3. Monitor pasien mengenai pengobatan diri sendiri
3. Mampu mengontrol nyeri 4. Monitor tanda dan gejala toksisitas obat
4. Melaporkan nyeri terkontrol 5. Monitor efek samping
6. Pantau kepatuhan mengenai regimen obat
7. Berikan alternatif mengenai jangka waktu dan cara
pengobatan mandiri untuk meminimalkan efek gaya
hidup
4 Pola nafas tak efektif Setelah perawatan 3x24 jam status Monitor Pernafasan
berhubungan dengan tekanan pernapasan : pola napas efektif dengan 1. Monitor kecepatan, kedalaman, dan kesulitan bernafas
pada diafragma, keletihan kriteria hasil : 2. Catat adanya pergerakan dada, ketidakmetrisan dada,
Batasan Karakteristik :  Respiratory status : penggunaan otot bantu pernafasan, dan retraksi
 Dispneu 1. Frekuensi, irama pernafasan interkosta
 Bunyi nafas ronki atau normal 3. Monitor suara nafas tambahan, seperti ngorok atau
weezing 2. Kedalaman inspirasi batas mengi
 Perubahan tanda – tanda normal 4. Monitor pola pernafasan
vital 3. Volume tidal normal 5. Monitor saturasi oksigen pada pasien yang tersedasi
 Takipnea 4. Kapasitas vital normal (seperti, SaO2, SvO2, SpO2)
 Fase ekspirasi memanjang 5. Tidak menggunakan otot bantu 6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Pola nafas abnormal pernafasan 7. Catat onset, karakteristik, dan lamanya batuk
6. Kepatenan jalan napas 8. Monitor nilai fungsi paru (kapasitas vital paru, volume
7. Rileks saat beraktivitas inspirasi maksimal, volume ekspirasi maksimal)
Pengaturan Posisi
1. Tempatkan pasien diatas matras / tempat tidur terapeutik
(matras yang lembut)
2. Dorong pasien untuk terlibat dalam perubahan posisi
3. Monitor status oksigenasi
4. Posisikan pasien untuk mengurangi dispnea (posisi semi
fowler)
5. Sokong bagian tubuh yang oedem
6. Dorong pasien untuk ROM aktif dan pasif
5 Intoleransi aktifitas Setelah perawatan 3x24 jam self Care : Terapi aktivitas
berhubungan dengan kelemahan, ADL ditingkatkan dengan kriteria hasil : 1. Bantu klien untuk memilih aktivitas sesuai kemampuan
imobilitas Toleransi terhadap aktivitas: fisiknya
Batasan Karakteristik : 1. Saturasi oksigen ketika beraktivitas 2. Bantu klien untuk tetap fokus pada kekuatan yang
 Anemia tidak terganggu dimilikinya dibandingkan dengan kelemahan yang
 Asites 2. Frekuensi nadi ketika beraktivitas dimilikinya
 Edema tidak terganggu 3. Bantu klien untuk menjadwalkan waktu-waktu spesifik
 Dispneu 3. Frekuensi pernafasan ketika terkait dengan aktivitas harian
 Keletihan beraktivitas tidak terganggu 4. Berikan kesempatan keluarga untuk terlibat dalam
4. Tekanan darah ketika beraktivitas aktivitas dengan cara yang tepat
tidak terganggu 5. Monitor respon emosi, fisik, sosial, dan spiritual
terhadap aktivitas
Tingkat kelelahan: Manajemen energi
1. Kelelahan tidak ada 1. Kaji status fisiologis pasien yang menyebabkan
2. Tidak ada kehilangan selera makan kelelahan
3. Kualitas tidur tidak terganggu 2. Monitor tanda vital pasien selama aktivitas
4. Kegiatan sehari-hari tidak 3. Tentukan jenis dan banyaknya aktivitas yang
terganggu dibutuhkan untuk menjaga ketahanan
4. Monitor intake/asupan nutrisi untuk mengetahui sumber
Konservasi energi: energi yang adekuat
1. Menyeimbangkan aktivitas dan 5. Anjurkan periode istiahat dan kegiatan secara
istirahat bergantian
2. Menggunakan tidur siang untuk 6. Anjurkan aktivitas fisik sesuai kemampuan klien
memulihkan energi 7. Instruksikan pasien untuk mengenali tanda dan gejala
3. Menggunakan teknik konservasi kelelahan yang memerlukan pengurangan aktivitas
energi secara konsisten 8. Ajarkan klien menggunakan teknik pernafasan bibir
4. Mengatur aktivitas untuk konservasi mengerucut dan pernafasan diafragma selama aktivitas
energi
5. Menyesuaikan gaya hidup dengan
tingkat energi
6. Mempertahankan intake nutrisi yang
cukup
7. Melaporkan kekuatan yang cukup
untuk beraktivitas
6 Kerusakan intergritas kulit Setelah perawatan 3x24 jam integritas Manajemen Pruritus
berhubungan dengan jaringan: kulit dan membran mukosa 1. Tentukan penyebab terjadinya pruritus
penumpukan garam empedu baik dengan kriteria hasil : 2. Lakukan pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi
Batasan Karakteristik : 1. Integritas kulit tidak terganggu terjadinya kerusakan kulit
 Turgor kulit jelek 2. Pigmentasi abnormal tidak ada 3. Pasang perban atau balutan pada tangan atau siku
 Kulit kering 3. Lesi pada kulit tidak ada ketika pasien tidur untuk membatasi gerakan
 Pruritus ( gatal ) 4. Perfusi jaringan tidak terganggu menggaruk tanpa disadari
5. Elastisitas 4. Berikan lotion atau krim yang mengandung obat
6. Tekstur dan ketebalan tidak sesuai dengan kebutuhan
terganggu 5. Berikan kompres dingin untuk meringankan iritasi
7. Wajah pucat tidak ada 6. Instruksikan pasien untuk tidak menggunakan pakaian
yang ketat dan berbahan wol
7. Intruksika pasien mandi dengan air hangat dan tepuk-
tepuk area kulit yang kering
7 Gangguan citra tubuh Setelah perawatan 2x24 jam, persepsi Peningkatan citra tubuh
berhubungan dengan penyakit, pasien baik terhadap penampilan dan 1. Tentukan perubahan fisik saat ini, apakah
perubahan persepsi diri fungsi tubuh dengan kriteria hasil : berkonstribusi pada citra diri pasien
Batasan Karakteristik : Citra tubuh : 2. Bantu pasien memisahkan penampilan fisik dari
 Kulit warna kuning 1. Gambaran internal diri positif perasaan berharga secara pribadi, dengan cara yang
 Sklera warna kuning 2. Kepuasan dengan penampilan tepat
 Asites tubuh baik 3. Bantu pasien untuk mendiskusikan perubahan-
 Edema 3. Kepuasan dengan fungsi tubuh perubahan bagian tubuh yang disebabkan oleh
positif penyakit
4. Penyesuaian terhadap perubahan 4. Gunakan bimbingan antisipasif menyiapkan pasien
tubuh akibat status kesehatan terkait dengan perubahan-perubahan citra tubuh yang
positif telah diprediksikan
Peningkatan harga diri
1. Kaji pernyataan pasien mengenai harga diri
2. Bantu pasien untuk menemukan penerimaan diri
3. Bantu pasien untuk mengidentifikasi respon positif
dari orang lain
4. Bantu untuk mengatur tujuan yang realistik dalam
rangka mencapai harga diri yang lebih tinggi
5. Monitor tingkat harga diri dari waktu ke waktu dengan
tepat
6. Berikan pernyataan positif mengenai pasien
8 Perfusi jaringan tidak efektif Setelah perawatan 3x24 jam, perfusi Pencegahan Perdarahan
berhubungan dengan jaringan efektif, dengan kriteria hasil: 1. Kaji resiko terjadinya perdarahan
hypokalemia, peradarahan Perfusi Jaringan: Organ Abdominal 2. Monitor tanda dan gejala perdarahan yang menetap
Batasan Karakteristik : 1. Tekanan darah normal 3. Catat nilai hemoglobin dan hematokrit sebelum dan
 Feses warna hitam 2. Output urin normal setalah pasien kehilangan darah
( melena ) 3. Keseimbangan elektrolit dan asam 4. Pertahankan tirah baring apabila pasien mengalami
 Hematemesis basa peradarahan aktif
 Perubahan TTV 4. Berat jenis urine normal 5. Anjurkan pasien dan keluarga monitor adanya tanda-
 Penurunan nadi perifer 5. Nitrogen urea darah, kreatinin tanda peradarahan dan mengambil tindakan yang tepat
 Perubahan karakteristik plasma, fungsi hati, enzim jika terjadi peradarahan
kulit pankreas kisaran normal 6. Kolaborasi pemberian vitamin penggantian darah
6. Haus abnormal tidak ada 7. Memotivasi untuk meningkatkan asupan cairan
7. Sakit perut abnormal tidak ada Pengurangan Perdarahan Gastrointestinal
8. Mual muntah tidak ada 1. Monitor indikasi penyaluran oksigen dalam jaringan
9. Distensi abdomen, asites tidak ada (misalnya PaO2, SaO2< level hemoglobin)
10. Diare tidak ada 2. Monitor tanda dan gejala peradarahan yang terus
11. Perubahan keseimbangan cairan menerus
tidak ada 3. Dokumentasikan warna, jumlah, karakter feses
12. Nafsu makan baik 4. Hindari penggunaan koagulan
5. Hindari stres

9 Ansietas berhubungan dengan Setelah perawatan 2x24 jam, pasien Penurunan kcemasan:
penyakit kronis, kurang dapat mengontol diri terhadap ansietas, 1. Identifikasi situasi yang memicu kecemasan pasien
pengetahuan tingkat agitasi, tingkat stress dan 2. Berikan informasi yang akurat dan nyata terkait
Batasan karakteristik : peningkatan koping dengan kriteria hasil dengan penyakit, tindakan keperawatan dan prognosis
 Agitasi : dari kondisi yang dialami oleh klien
 Insomnia 1. Klien tampak tidak gelisah 3. Instruksikan klien untuk menggunakan teknik
 Gelisah 2. Tekanan darah dalam batas normal relaksasi yang dapat menurunkan kecemasan.
 Penurunan produktivitas 3. Klien secara konsisten menunjukka 4. Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian obat
 Mengekspresikan pola koping yang efektif yang dapat menurunkan kecemasan.
kekhawatiran karena 4. Klien mampu beradaptasi terhadap Peningkatan koping
perubahan dalam peristiwa perubahan hidup dan status 1. Identifikasi koping postif yang dimiliki oleh klien
hidup. kesehatannya. 2. Berikan penilaian terhadap pemahaman pasien/klien
 Perasaan tidak adekuat 5. Klien mampu menggunakan teknik mengenai proses penyakitnya
relaksasi dalam menurun ansietas 3. Bantu pasien untuk untuk mengindentifikasi kekuatan
(rasa cemas/takut) dan kemampuan diri klien.
6. Klien mampu menggunakan strategi 4. Dukung pasien untuk mengevaluasi perilakunya
koping yang efektif sendiri.
7. Klien tidak menunjukkan Tearapi relaksasi
peningkatan frekuensi pernapasan. 1. Identifikasi jenis relaksasi yang diinginkan oleh klien
(misalnya terapi musik, meditasi, terapi murrotal Al-
Qur’an dan Dzikir, relaksasi rahang dsb)
2. Berikan gambaran yang jelas terhadap tindakan
relaksasi yang dipilih
3. Ciptakan lingkungan yang tenang
4. Dorong klien untuk mengulang praktik teknik
relaksasi jika memungkinkan.
10 Ketidakmampuan koping Setelah perawatan 2x24 jam, pasien Dukungan Spiritual
keluarga berhubungan dengan dapat menunjukkan koping yang baik 1. Gunakan komunikasi terapeutik dalam membangun
penyakit kronik, koma dengan kriteria hasil : hubungan saling percaya dan caring
Batasan Karakteristik : Koping Keluarga: 2. Rujuk pada penasehat spiritual yang dipilih klien atau
 Agitasi 1. Menunjukkan fleksibiltas peran keluarga
 Depresi 2. Mampu menghadapi masalah 3. Terbukalah terhadap keputusasaan keluarga
 Intoleransi 3. Melibatkan anggota keluarga 4. Berikan kesempatan untuk mendiskusikan terkait
 Penolakan dalam mengambil keputusan penyakit dan sistim kepercayaan
 Terlalu khawatir terhadap 4. Peduli terhadap kebutuhan sesama 5. Ajarkan metode relaksasi, imajinasi terbimbing, dan
klien anggota meditasi
 Gejala psikosomatis 5. Mampu mengatur jadwal istirahat 6. Dorong partisipasi dalam bentuk kelompok
Konseling
Tingkat Stres: 1. Bantu pasien untuk mengidentifikasi masalah atau
1. Tidak ada perubahan tanda-tanda situasi yang menyebabkan distress
vital 2. Gunakan tehnik refleksi dan klarifikasi untuk untuk
2. Tidak ada sakit kepala memfasilisati ekspresi yang menjadi perhatian
3. Tidak gelisah 3. Sampaikan secara verbal perbedaan antara perasaan
4. Perilaku komfulsif tidak ada pasien dan perilakunya
5. Gangguan tidur tidak ada 4. Jangan mendukung pembuatan keputusan pada saat
pasien dan keluarga dalam kondisi stress berat
5. Bantu pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi
kekuatan, dan menguatkan hal tersebut
11 Risiko perdarahan berhubungan Setelah perawatan 1x24 jam, pasien Pencegahan Perdarahan
dengan pembekuan darah tidak menunjukkan risiko perdarahan 1. Monitor dengan ketat resiko terjadinya perdarahan
dengan kriteria hasil : 2. Pantau hemaoglobin dan hematokrit
Fungsi liver: 3. Monitor tanda dan gejala pendaharan menetap
1. Nafsu makan baik 4. Monitor komponen koagulasi darah
2. Warna feses tidak terganggu 5. Monitor tanda-tanda vital
3. Rasio albumin normal 6. Instruksikan keluarga dan pasien monitor tanda-tanda
4. Turgor kulit baik perdarahan
5. Peningkatan serum bilirubin tidak 7. Instruksikan pasien mengkonsumsi makanan yang
ada kaya vitamin K
6. Pruritus tidak ada
7. Asites tidak ada
8. Hematemesis tidak ada
9. Melena tidak ada
10. Anoreksi tidak ada
11. Nyeri abdomen tidak ada
Status sirkulasi:
1. Tanda-tanda vital normal
2. PaO2 normal
3. PaCO2 normal
4. Urin output normal
5. Capillary refill normal

12 Risiko ketidakseimbangan Setelah perawatan 1x24 jam, pasien Manajemen Diare


elektrolit berhubungan dengan tidak menunjukkan risiko 1. Instruksikan pasien atau keluarga untuk mencatat
diare ketidakseimbangan elektrolit dengan warna, volume, konsistensi, dan frekuensi feses
kriteria hasil : 2. Amati turgor kulit secara bertahap
Keparahan Hipokalemia: 3. Monitor persiapan makanan yang aman
1. Penurunan serum pottasium tidak 4. Instruksikan untuk menghindari makanan laksatif
ada 5. Instruksikan rendah serat, tinggi protein, tinggi kalori
2. Tekanan darah normal sesuai kebutuhan
3. Apatis tidak ada 6. Anjurkan pasien untuk menghindari makanan yang
4. Distensi abdomen tidak ada pedas
5. Kelelahan, letargi, aritmia tidak ada Manajemen Elektrolit
Fungsi Gastrointestinal: 1. Monitor nilai serum yang abnormal
1. Frekuensi BAB baik 2. Monitor manifestasi ketidakseimbangan elektrolit
2. Warna feses normal 3. Berikan cairan sesuai resep, jika diperlukan
3. Konsistensi dan bising usus tidak 4. Konsultasikan pada dokter terkait pemberian elektrolit
terganggu 5. Monitor kehilangan cairan yang kaya dengan elektrolit
4. Distensi perut tidak ada 6. Berikan diet sesuai dengan kondisi ketidakseimbangan
5. Darah pada feses tidak ada elektrolit pasien
7. Tingkatkan orientasi
DAFTAR PUSTAKA
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. (A. Suslia, F. Ganiajri, P. P. Lestari, & R. W. A. Sari, Eds.) (8th
ed.). Singapore: Elsevier Ltd.
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013). Nursing
Intervention Classification (NIC). (I. Nurjannah & R. D. Tumanggor, Eds.) (Edisi
Keen). United Kingdom: Elsevier.
Crawford, A., & Harris, H. (2013). A complex cascade of care: Cirrhosis understanding this
condition will help you provide optimal care for patients and their families. Nursing
Critical Care, 8(4), 26–30. https://doi.org/10.1097/01.CCN.0000431436.99749.9f

Doenges, M., Moorhouse, M., & Murr, A. (2010). Nursing care plans: Guidelines for
individualizing client care across the life span, 321–343.

Johannes, W., & Thomas Berg, P. D. med. (2013). The Etiologi, diagnosis and prevention of
Liver cirrhosis, 110(6), 85–91. https://doi.org/10.3238/arzteb.2013.0085

Heather, H. T. (2015). NANDA International Inc. Diagnosis Keperawatan : Defenisi &


Klasifikasi 2015-2017 (Edisi 10). Jakarta: EGC.

Kaplan, D. E., Dai, F., Skanderson, M., Aytaman, A., Knott, A., Mehta, R., Pocha, C. (2016).
Recalibrating the Child – Turcotte – Pugh Score to Improve Prediction of Transplant-
Free Survival in Patients with Cirrhosis. Digestive Diseases and Sciences.
https://doi.org/10.1007/s10620-016-4239-6
Kesehatan RI Riskesdas. (2017). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.

Lewis, S. M., Heitkemper, M. M., & Direksen, S. (2014). Medical Surgical Nursing :
Assesment and management of clinical problem (9th ed.). St. Louis: CV. Mosby

Longo. (2014). Harrison Gastroenterologi dan Hepatologi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Moorhead, S., Marion, J., Maas, M. L., & Elizabeth, S. (2013). Nursing Outcones
Classification (NOC). (I. Nurjannah & R. D. Tumanggor, Eds.) (Edisi Keli). United
Kingdom: Elsevier.

Ndraha (2009), The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology, and Digestive


Endoscopy. Volume 10(3).

Rosida, A. (2016). Pemeriksaan laboratorium penyakit hati, 123–131.


Smettzer S C & Bare G. (2008). Brunner and Sudarth’ Texbook of Medical- Surgical
Nursing. Washintong USA.
Smeltzer, S.(2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &Suddarth. Vol. 2. E/8.
EGC, Jakarta.

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., alwi, I., Simdibrata, M., & setiadi, S . (2009). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam (Edisi 4).Jakarta:Interna Publising

Tsochatzis, E. A., Bosch, J., & Burroughs, A. K. (2014). Liver cirrhosis. The Lancet,
383(9930), 1749–1761. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(14)60121-5
Vilstrup, H., Amodio, P., Bajaj, J., Cordoba, J., Ferenci, P., Mullen, K. D., Weissenborn, K.,
Wong, P. (2014), Hepatic Encephalopathy in Chronic Liver Disease: Practice
Guideline by the American Association for the Study of Liver Diseases and the
European Association for the Study of the Liver. Hepatology, 60(2), 715-735.

Zhou, W. C., Zhang, Q. B., & Qiao, L. (2014). Pathogenesis of liver cirrhosis. World Journal
of Gastroenterology, 20(23), 7312–7324. https://doi.org/10.3748/wjg.v20.i23.7312
Widjaja FF (2011). Pencegahan perdarahan berulang pada pasien sirosis hati. Jakarta,
Universitas Indonesia. Artikel Ilmiah.

Anda mungkin juga menyukai