1 SM PDF
1 SM PDF
Abstrak
A firm is an enterprise which does not have any legal entity that is
established to run the firm under a collective name as stipulated from Article 16
until Article 35 of KUHD (Commercial Law Code). An enterprise that has legal
entity is the one that can be declared bankrupt. As mentioned in the Commercial
Court’s Ruling at the Makassar District Court No. 01/PKPU/2012/PN. NIAGA.
MKS, it is declared that FIRMA LITHA & CO is bankrupt it then files a request
for PK (Review) against this ruling. The ground and argument in the record of the
Review filed by Firma Litha & CO is that it does not have any legal entity that it
is ended with the Supreme Court’s Ruling No.156 PK/Pdt.Sus/2012 that revokes
the Commercial Court’s Ruling at the Makassar District Court No.
01/PKPU/2012/PN. NIAGA. MKS. This thesis discusses the position of the firm
that does not have any legal entity in the Bankruptcy Law System in Indonesia as
well as the ground of the objection of the Supreme Court to the Firm that files a
request for PKPU (Postponement of Obligation to Pay Debt) in the Supreme
Court’s Ruling No. 156 PK/Pdt.Sus/2012. This thesis also discusses the liabilities
of the associates of the Firm in Indonesian Bankruptcy Law.
I. Pendahuluan
Firma merupakan badan usaha non badan hukum, yang sebagaimana
diatur dalam Pasal 16 sampai Pasal 35 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Firma adalah tiap-tiap persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan
perusahaan dengan nama bersama atau firma adalah persekutuan yang
menyelenggarakan perusahaan atas nama bersama. Setiap sekutu / pengurus
bertanggung jawab sepenuhnya baik sendiri maupun bersama terhadap utang-
utang perusahaan kepada pihak lain. Bila perusahaan mengalami kerugian akan
ditanggung bersama, bila perlu dengan seluruh kekayaan pribadi mereka. Pemilik
firma terdiri dari beberapa orang yang bersekutu dan masing-masing anggota
Ronny Roy Fernando| 2
1
Abdul R Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori Dan Contoh Kasus, Kencana,
Jakarta, 2011, hal. 101 – 102
2
Sri Redjeki Hartono, Hukum Kepailitan,UMM, Malang, 2008, hal. 27
Ronny Roy Fernando| 3
tersebut. Hal ini sebagai konsekuensi dari tidak adanya pemisahan harta kekayaan
antara harta kekayaan persekutuan firma dengan harta kekayaan pribadi sekutu
firma.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 156 PK/Pdt.Sus/2012, yang
membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar
Nomor 01/PKPU/2012/PN. NIAGA.MKS. tanggal 03 September 2012 yang
menyatakan bahwa Firma sebagai Termohon PKPU yang adalah FIRMA LITHA
& CO., yang tidak mempunyai legal standing karena FIRMA LITHA & CO tidak
berstatus badan hukum, sehingga tidak dapat dijadikan subjek hukum. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 156 PK/Pdt.Sus/2012 yang membatalkan Putusan
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar Nomor 01/PKPU/2012/PN.
NIAGA.MKS, dimana pengajuan permohonan PKPU atau Permohonan Pailit
seharusnya ditujukan kepada pengurus/pesero Firma bukan kepada perusahaannya
tersebut.
Berdasarkan latar belakang diatas, dirumuskan beberapa permasalahan
pokok sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kedudukan perusahaan non badan hukum dalam sistem
hukum kepailitan di Indonesia ?
2. Mengapa dalam pertimbangannya MA menolak firma dimohonkan
PKPU dalam Putusan MA No. 156 PK.Pdt.Sus/2012 ?
3. Bagaimanakah tanggung jawab para sekutu dalam sebuah firma dalam
hukum kepailitan Indonesia?
Dengan adanya perumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka
tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui secara pasti kedudukan perusahaan non badan hukum
dalam sistem hukum Kepailitan Indonesia.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan Majelis Hakim dalam
memutuskan perkara PKPU Firma dalam Putusan MA No. 156
PK/Pdt.Sus/2012.
c. Untuk mengetahui dan menganalisis tanggung jawab daripada sekutu
dalam Firma sebagai non badan hukum dalam hal terjadi kepailitan.
Ronny Roy Fernando| 4
Adapun bentuk badan usaha yang tidak berbadan hukum seperti Firma
dan CV di atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 15
sampai dengan Pasal 35. Sedangkan Maatschap atau Persekutuan Perdata sebagai
bentuk badan yang paling dasar diatur dalam Pasal 1618 sampai dengan Pasal
1652 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dimana badan usaha
3
Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi PenelitianHukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1990, hal. 53
4
Ibid.
5
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2011, hal.13
Ronny Roy Fernando| 5
non badan hukum tersebut didirikan oleh dua orang atau lebih dan tiap – tiap
anggotanya bertanggung jawab penuh atas perusahaan.
Ada dua alasan dikatakan sebagai badan usaha non badan hukum, yaitu
yang pertama dalam hal Subjek Hukum, yang menjadi subjek hukumnya adalah
orang-orang yang menjadi pengurusnya, bukan badan usaha itu sendiri karena ia
bukanlah badan hukum sehingga tidak dapat menjadi subjek hukum. Jika seorang
pengurus melakukan hubungan hukum dengan pihak ketiga, maka merupakan satu
kesatuan tanggung jawab antara para pengurus. Kedua, dalam hal harta
perusahaan. Dimana harta perusahaan bersatu dengan harta pribadi para
pengurus/anggotanya. Akibatnya kalau perusahaannya pailit, maka harta
pengurus/anggotanya ikut tersita juga.
Adapun yang menjadi syarat kepailitan menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang yaitu memiliki lebih dari satu Kreditor, dan tidak membayar
lunas sedikitnya satu utang kepada Kreditur. Yang menjadi objek dalam Undang-
Undang Kepailitan adalah Debitor, yaitu Debitor yang tidak membayar utang-
utangnya kepada para Kreditornya. Dimana dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 37
Tahun 2004 mendefinisikan debitur sebagai orang yang mempunyai utang karena
perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka
pengadilan. Debitur tersebut dapat berupa orang perorangan maupun badan
hukum. Dalam badan usaha non badan hukum, Debitur dalam kepailitan adalah
tertuju pada para sekutu atau pengurusnya.
Karena bukanlah merupakan badan hukum, jadi tidak mungkin
dinyatakan pailit terhadap badan usaha non badan hukum tersebut. Kepailitan
badan usaha non badan hukum berarti kepailitan dari sekutunya, bukan dari
persekutuannya. Para sekutu atau pengurus masing-masing bertanggung jawab
sepenuhnya terhadap perikatan-perikatan persekutuan komanditernya.Utang-utang
yang tidak dibayar oleh badan usaha tersebut adalah utang-utang dari para persero
badan usaha non badan hukum tersebut.
Ronny Roy Fernando| 6
nyata nyata Perseroan Firma adalah non Badan Hukum. Menurut Hukum
pengajuan permohonan PKPU atau Permohonan Pailit harus ditujukan kepada
Pesero bukan kepada perusahaannya. Karena itu sepanjang permohonan a quo
ditujukan kepada Perusahaan Firma Litha & Co secara langsung oleh Permohonan
PKPU Heriyanto Wijaya maka sepanjang itupula permohonan PKPU cacat
hukum.
Putusan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Makassar juga salah
menerapkan hukum, kurang pertimbangan hukumnya bahkan salah menerapkan
peraturan peraturan karena permohonan ditujukan kepada pihak yang sudah
meninggal, Ribka Ruru. Bahwa hukum acara perdata maupun hukum acara
Pengadilan Niaga tidak memungkinkan pihak yang sudah meninggal diajukan
selaku Pihak dalam Perkara.
Adapun putusan Pengadilan Niaga Makassar dalam putusannnya tanggal
3 September 2012, sama sekali tidak mempertimbangkan fakta- fakta dalam
persidangan yang dilakukan hakim pengawas dengan pengurus bersama dengan
Termohon PKPU dan Pemohon PKPU, sehingga dengan demikian Putusan
Pengadilan Niaga tersebut nyata-nyata melanggar asas Keseimbangan, asas
Kelangsungan Usaha, maupun asas keadilan, sebagaimana yang dianut dalam
Undang Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
Ada juga fakta yang tidak dipertimbangkan adalah tentang kesiapan
Termohon PKPU untuk melakukan penyelesaian disertai dengan jadwal
pembayaran yang jelas, dengan jumlah utang sebesar Rp18.000.000.000,00
(delapan belas miliar Rupiah).
Permohonan Peninjauan Kembali ini dilakukan oleh Termohon PKPU
hanyalah semata mata untuk menjalankan kelangsungan usaha sehingga para
karyawan masih dapat hidup layak dari perusahaan Firma Litha & Co tersebut.
Dalam Firma Litha & Co terdapat ± 2000 (dua ribu) karyawan yang akan
mengalami pemutusan hubungan kerja dengan adanya putusan Pemailitan yang
dilakukan oleh Pengadilan Niaga Makassar tersebut.
Ronny Roy Fernando| 10
PKPU dapat diakhiri baik atas permintaan Hakim Pengawas, satu atau
lebih kreditor atau atas prakarsa Pengadilan sendiri, dalam hal:6
a. Debitor, selama waktu PKPU, bertindak dengan itikad buruk dalam
melakukan pengurusan terhadap hartanya;
b. Debitor telah merugikan atau telah mencoba merugikan kreditornya;
c. Debitor telah melakukan pelanggaran ketentuan Pasal 240 ayat (1);
d. Debitor lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan
kepadanya oleh Pengadilan pada saat atau setelah PKPU diberikan, atau
lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diisyaratkan oleh Pengurus
demi kepentingan harta debitornya;
e. Selama waktu PKPU, keadaan harta debitor ternyata tidak lagi
memungkinkan dilanjutkannya PKPU, atau;
f. Keadaan harta debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi
kewajibannya terhadap para kreditor pada waktunya.
Dengan diakhirinya PKPU karena Debitor lalai dalam melaksanakan
kewajibannya, maka Pengadilan telah menyatakan Debitor FIRMA LITHA & CO
dalam keadaan pailit, dan terhadap putusan pailitnya tersebut berlaku ketentuan
tentang kepailitan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Dengan melihat Pasal 292 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan dinyatakan
pailitnya perseroan FIRMA LITHA & CO, maka mengakibatkan debitor dalam
keadaan insolvensi.
Dalam Pasal 235 ayat (1) 292 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap
putusan PKPU tidak dapat diajukan upaya hukum apapun. Tujuan utama upaya
hukum dalam suatu proses dimuka Pengadilan adalah untuk memperoleh putusan
hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap putusan yang dijatuhkan
oleh Hakim belum tentu dapat menjamin kebenaran secara yuridis, karena putusan
itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekhilafan, bahkan bisa bersifat memihak.
Supaya kekeliruan dan kekhilafan itu dapat diperbaiki, agar dapat ditegakkannya
6
Sunarmi, Hukum Kepailitan, USU PRESS, Medan, 2009, hal. 196-197
Ronny Roy Fernando| 13
kebenaran dan keadilan, maka terhadap putusan Hakim yang terdahulu dapat
diperiksa ulang.
Dengan dikabulkannya Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung yang
dimohon oleh Pemohon Peninjauan Kembali FIRMA LITHA & CO terhadap
putusan permohonan PKPU telah melanggar ketentuan yang ada dalam Pasal 235
ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang tersebut.
Sebagaimana yang tertuang dalam Putusan No.156 PK/Pdt.Sus/2012,
dimana Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali
permohonan PKPU dengan pertimbangan hukum bahwa Judex Factie dalam hal
ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar telah melakukan
kekhilafan dalam memutus perkara permohonan PKPU.
Dengan melihat Pasal 295 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, bahwa Peninjauan
Kembali bukan hanya dapat diajukan terhadap putusan kasasi, akan tetapi juga
dapat dimintakan terhadap putusan pengadilan tingkat pertama. Dalam hal ini,
tepatlah Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali
putusan PKPU oleh Pengadilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Niaga. Dengan
ditambah bukti-bukti baru yang menyatakan bahwa Pengadilan Niaga Makassar
telah melakukan kekeliruan dan kekhilafan terhadap pemeriksaan Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Bahwa Termohon PKPU FIRMA LITHA & CO mengajukan
Permohonan Peninjauan Kembali terhadap Putusan Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Makassar No. 01/PKPU/2012/PN.Niaga.MKS. Dimana dalam
Putusan Peninjauan Kembali No. 156 PK/Pdt.Sus/2012 tersebut bahwa, FIRMA
LITHA & CO sebagai Termohon PKPU tidak mempunyai legal standing,
dikarenakan FIRMA LITHA & CO bukanlah berstatus badan hukum, sehingga
tidak dapat dijadikan sebagai termohon PKPU.
Dalam hal permohonan PKPU, adapun yang menjadi termohon PKPU
adalah orang perorangan, badan hukum, persekutuan yang tidak berbadan hukum,
harta peninggalan. Dalam hal ini Firma sebagai Termohon PKPU, adalah sebuah
perusahaan yang tidak berbadan hukum.
Ronny Roy Fernando| 14
7
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum
Bisnis), Pradnya Paramitha, Jakarta, 1994, hal. 79
Ronny Roy Fernando| 15
8
Mulhadi, Hukum Perusahaan Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia, Ghalia
Indonesia, Bogor, 2010 hal. 51
Ronny Roy Fernando| 16
B. Saran
1. Perlunya peraturan secara khusus mengenai sistem kepailitan terhadap
perusahaan non badan hukum, sehingga memberikan kepastian terhadap
para pihak pailit.
2. Mahkamah Agung seharusnya lebih teliti lagi memperhatikan bahwa
terhadap putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, tidak
terdapat upaya hukum apapun sebagaimana Pasal 235 UU No. 37
TAHUN 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
3. Dengan adanya pertanggungjawaban secara renteng antara para
pengurus/sekutu harus transparan dan terbuka terhadap harta kekayaan
pribadi mereka dalam hal pemenuhan kewajiban perseroan. Hal ini
dikarenakan tidak adanya pemisahan harta antara perseroan/perusahaan
dengan harta pribadi sekutu/pengurus.
V. Daftar Pustaka
A. Buku
C.S.T Kansil dan Christine S.T., 1994. Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek
Hukum Bisnis), Jakarta : Pradnya Paramitha
Hartono, Sri Redjeki, 2008. Hukum Kepailitan, Malang : UPT Penerbitan
Universitas Muhammadiyah Malang
Mulhadi, 2010. Hukum Perusahaan Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia,
Bogor: Ghalia Indonesia
Saliman, Abdul R, 2011. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan;Teori Dan Contoh
Kasus, Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2011. Penelitian Hukum Normatif, Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Soemitro, Ronny Hanitjo, 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Jakarta : Ghalia Indonesia
Sunarmi, 2009. Hukum Kepailitan, Medan : USU PRESS
Ronny Roy Fernando| 19
B. Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU