Anda di halaman 1dari 19

Ronny Roy Fernando| 1

KEDUDUKAN FIRMA SEBAGAI DEBITUR (TERMOHON)


PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU)
DALAM HUKUM KEPAILITAN
(STUDI TERHADAP PUTUSAN MA No. 156 PK/Pdt.Sus/2012)

RONNY ROY FERNANDO

Abstrak

A firm is an enterprise which does not have any legal entity that is
established to run the firm under a collective name as stipulated from Article 16
until Article 35 of KUHD (Commercial Law Code). An enterprise that has legal
entity is the one that can be declared bankrupt. As mentioned in the Commercial
Court’s Ruling at the Makassar District Court No. 01/PKPU/2012/PN. NIAGA.
MKS, it is declared that FIRMA LITHA & CO is bankrupt it then files a request
for PK (Review) against this ruling. The ground and argument in the record of the
Review filed by Firma Litha & CO is that it does not have any legal entity that it
is ended with the Supreme Court’s Ruling No.156 PK/Pdt.Sus/2012 that revokes
the Commercial Court’s Ruling at the Makassar District Court No.
01/PKPU/2012/PN. NIAGA. MKS. This thesis discusses the position of the firm
that does not have any legal entity in the Bankruptcy Law System in Indonesia as
well as the ground of the objection of the Supreme Court to the Firm that files a
request for PKPU (Postponement of Obligation to Pay Debt) in the Supreme
Court’s Ruling No. 156 PK/Pdt.Sus/2012. This thesis also discusses the liabilities
of the associates of the Firm in Indonesian Bankruptcy Law.

Keywords: Firm Bankruptcy, Liabilities of Firm Associates

I. Pendahuluan
Firma merupakan badan usaha non badan hukum, yang sebagaimana
diatur dalam Pasal 16 sampai Pasal 35 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Firma adalah tiap-tiap persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan
perusahaan dengan nama bersama atau firma adalah persekutuan yang
menyelenggarakan perusahaan atas nama bersama. Setiap sekutu / pengurus
bertanggung jawab sepenuhnya baik sendiri maupun bersama terhadap utang-
utang perusahaan kepada pihak lain. Bila perusahaan mengalami kerugian akan
ditanggung bersama, bila perlu dengan seluruh kekayaan pribadi mereka. Pemilik
firma terdiri dari beberapa orang yang bersekutu dan masing-masing anggota
Ronny Roy Fernando| 2

persekutuan menyerahkan kekayaan pribadi sesuai yang tercantum dalam akta


pendirian perusahaan.
Karena persekutuan firma adalah sebenarnya persekutuan perdata, maka
mengenai bubarnya persekutuan firma sama dengan persekutuan perdata, yang
diatur dalam Pasal 1646 s/d 1652 KUHPerdata, yaitu sebagai berikut:1
1. Lampaunya waktu dimana persekutuan perdata didirikan;
2. Musnahnya barang atau telah diselesaikannya usaha yang menjadi tugas
pokok persekutuan perdata;
3. Kehendak dari seorang atau beberapa orang sekutu;
4. Salah seorang sekutu meninggal dunia atau dibawah pengampuan atau
dinyatakan pailit.
Pembubaran Firma dapat diakibatkan oleh adanya kebangkrutan dalam
usaha atau hal-hal lain yang akhirnya menjadi likuidasi Firma. Pengertian
bangkrut adalah suatu keadaan perusahaan yang mengalami kekurangan dan
ketidak cukupan dana untuk menjalankan atau melanjutkan usahanya. Untuk
dapat dinyatakan pailit, seorang debitur harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
a. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur.
b. Tidak membayar sedikitnya satu utang jatuh waktu dan dapat ditagih.
c. Atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih
krediturnya.2
Dalam pengajuan Permohonan Pailit sebuah Firma, maka sesuai
ketentuan dalam Pasal 5 UUK-PKPU menyebutkan “Permohonan pernyataan
pailit terhadap suatu firma harus memuat nama dan tempat tinggal masing-masing
pesero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh utang firma.” Pasal 5
UU Kepailitan ini menggambarkan bahwa utang suatu persekutuan firma juga
merupakan utang bagi seluruh sekutu firmanya. Persekutuan Firma wajib
melunasi seluruh utangnya, apabila harta kekayaan persekutuan firma tidak
mencukupi untuk pembayaran utang-utang itu, maka tiap-tiap sekutu firma wajib
bertanggung jawab dan melunasinya dari harta pribadi sekutu-sekutu firma

1
Abdul R Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori Dan Contoh Kasus, Kencana,
Jakarta, 2011, hal. 101 – 102
2
Sri Redjeki Hartono, Hukum Kepailitan,UMM, Malang, 2008, hal. 27
Ronny Roy Fernando| 3

tersebut. Hal ini sebagai konsekuensi dari tidak adanya pemisahan harta kekayaan
antara harta kekayaan persekutuan firma dengan harta kekayaan pribadi sekutu
firma.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 156 PK/Pdt.Sus/2012, yang
membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar
Nomor 01/PKPU/2012/PN. NIAGA.MKS. tanggal 03 September 2012 yang
menyatakan bahwa Firma sebagai Termohon PKPU yang adalah FIRMA LITHA
& CO., yang tidak mempunyai legal standing karena FIRMA LITHA & CO tidak
berstatus badan hukum, sehingga tidak dapat dijadikan subjek hukum. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 156 PK/Pdt.Sus/2012 yang membatalkan Putusan
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar Nomor 01/PKPU/2012/PN.
NIAGA.MKS, dimana pengajuan permohonan PKPU atau Permohonan Pailit
seharusnya ditujukan kepada pengurus/pesero Firma bukan kepada perusahaannya
tersebut.
Berdasarkan latar belakang diatas, dirumuskan beberapa permasalahan
pokok sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kedudukan perusahaan non badan hukum dalam sistem
hukum kepailitan di Indonesia ?
2. Mengapa dalam pertimbangannya MA menolak firma dimohonkan
PKPU dalam Putusan MA No. 156 PK.Pdt.Sus/2012 ?
3. Bagaimanakah tanggung jawab para sekutu dalam sebuah firma dalam
hukum kepailitan Indonesia?
Dengan adanya perumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka
tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui secara pasti kedudukan perusahaan non badan hukum
dalam sistem hukum Kepailitan Indonesia.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan Majelis Hakim dalam
memutuskan perkara PKPU Firma dalam Putusan MA No. 156
PK/Pdt.Sus/2012.
c. Untuk mengetahui dan menganalisis tanggung jawab daripada sekutu
dalam Firma sebagai non badan hukum dalam hal terjadi kepailitan.
Ronny Roy Fernando| 4

II. Metode Penelitian


Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dan tujuan dari
penelitian ini maka jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif
yang bersifat deskriptif analitis, sumber data yang digunakan antara lain :
a. Bahan hukum primer.3
Bahan hukum primer yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dan Putusan
Mahkamah Agung No. 156 PK/Pdt.Sus/2012.
b. Bahan hukum sekunder.
Bahan hukum sekunder berupa pendapat hukum atau teori-teori yang diperoleh
dari literatur hukum berupa buku-buku, dokumen-dokumen resmi, hasil-hasil
penelitian yang berwujud laporan,dan lain-lain yang berhubungan dengan judul
penelitian ini.4
c. Bahan hukum tersier.
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang bersifat penunjang untuk
memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder5 seperti jurnal hukum, kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia,
surat kabar, internet dan makalah-makalah yang berkaitan dengan objek
penelitian.

III. Hasil Penelitian dan Pembahasan


A. Kedudukan Badan Usaha Non Badan Hukum Dalam Sistem Hukum`
Kepailitan Di Indonesia

Adapun bentuk badan usaha yang tidak berbadan hukum seperti Firma
dan CV di atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 15
sampai dengan Pasal 35. Sedangkan Maatschap atau Persekutuan Perdata sebagai
bentuk badan yang paling dasar diatur dalam Pasal 1618 sampai dengan Pasal
1652 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dimana badan usaha

3
Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi PenelitianHukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1990, hal. 53
4
Ibid.
5
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2011, hal.13
Ronny Roy Fernando| 5

non badan hukum tersebut didirikan oleh dua orang atau lebih dan tiap – tiap
anggotanya bertanggung jawab penuh atas perusahaan.
Ada dua alasan dikatakan sebagai badan usaha non badan hukum, yaitu
yang pertama dalam hal Subjek Hukum, yang menjadi subjek hukumnya adalah
orang-orang yang menjadi pengurusnya, bukan badan usaha itu sendiri karena ia
bukanlah badan hukum sehingga tidak dapat menjadi subjek hukum. Jika seorang
pengurus melakukan hubungan hukum dengan pihak ketiga, maka merupakan satu
kesatuan tanggung jawab antara para pengurus. Kedua, dalam hal harta
perusahaan. Dimana harta perusahaan bersatu dengan harta pribadi para
pengurus/anggotanya. Akibatnya kalau perusahaannya pailit, maka harta
pengurus/anggotanya ikut tersita juga.
Adapun yang menjadi syarat kepailitan menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang yaitu memiliki lebih dari satu Kreditor, dan tidak membayar
lunas sedikitnya satu utang kepada Kreditur. Yang menjadi objek dalam Undang-
Undang Kepailitan adalah Debitor, yaitu Debitor yang tidak membayar utang-
utangnya kepada para Kreditornya. Dimana dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 37
Tahun 2004 mendefinisikan debitur sebagai orang yang mempunyai utang karena
perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka
pengadilan. Debitur tersebut dapat berupa orang perorangan maupun badan
hukum. Dalam badan usaha non badan hukum, Debitur dalam kepailitan adalah
tertuju pada para sekutu atau pengurusnya.
Karena bukanlah merupakan badan hukum, jadi tidak mungkin
dinyatakan pailit terhadap badan usaha non badan hukum tersebut. Kepailitan
badan usaha non badan hukum berarti kepailitan dari sekutunya, bukan dari
persekutuannya. Para sekutu atau pengurus masing-masing bertanggung jawab
sepenuhnya terhadap perikatan-perikatan persekutuan komanditernya.Utang-utang
yang tidak dibayar oleh badan usaha tersebut adalah utang-utang dari para persero
badan usaha non badan hukum tersebut.
Ronny Roy Fernando| 6

B. Pertimbangan Mahkahmah Agung Dalam Menolak Firma Yang


Berkedudukan Sebagai Debitor Termohon Dalam PKPU
1. Kasus posisi
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Makasar berdasarkan Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) antara Heryanto Wijaya dengan Firma Litha & Co,
dalam persidangan kasus ini berisi mengenai perkara permohonan penundaan
kewajiban pembayaran utang (PKPU), dimana Majelis Hakim Pengadilan Niaga
Makassar dinilai telah melanggar Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh Heryanto
Wijaya. Dalam hal ini Termohon PKPU, yakni Firma Litha & Co mengajukan
Peninjauan Kembali.
Adapun yang menjadi dasar dari permohonan PKPU yang diajukan oleh
Heryanto Wijaya terhadap Firma Litha & Co adalah:
1. Termohon PKPU dalam hal ini Firma Litha & Co mempunyai utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih kepada Pemohon PKPU, dalam kasus
ini yang menjadi Pemohon PKPU adalah Heryanto Wijaya.
2. Termohon PKPU telah dihukum untuk membayar utang sebesar
Rp150.219.700,00 ( seratus lima puluh juta dua ratus sembilan belas ribu
tujuh ratus Rupiah) dan ditambah denda sebesar 2 %, untuk setiap
bulannya, selama 2 (dua) tahun, sehingga total utang Termohon PKPU
berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 2051/K/Pdt/2009 tanggal 15
Januari 2010 sebesar Rp222.325.156,00 (dua ratus dua puluh dua juta
tiga ratus dua puluh lima ribu seratus lima puluh enam Rupiah).
3. Termohon PKPU Firma Litha & Co telah mendapat surat teguran
Aanmaning dari Pengadilan Negeri Makassar No. 20 EKS/2011/PN.Mks
jo No. 37/Pdt. G/208/PN. Mks tanggal 1 Agustus 2011, namun sejak
dikeluarkan surat Aanmaning tersebut Termohon PKPU tidak dapat
melaksanakan kewajibannya.
4. Sejak diajukannya Permohonan PKPU terhadap Firma Litha & Co ke
Pengadilan Niaga Makassar, Termohon PKPU belum pernah melakukan
pembayaran secara tunai dan penuh kepada Pemohon PKPU atas seluruh
Ronny Roy Fernando| 7

Utang/Kewajiban Termohon PKPU sebagaimana yang telah disebutkan


diatas.
2. Inti Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan Niaga Makassar
Termohon PKPU dalam hal ini Firma Litha & Co mempunyai utang yang
telah jatuh waktu dan yang dapat ditagih kepada Pemohon PKPU, Heryanto
Wijaya. Adapun Firma Litha & Co tidak menjalankan kewajibannya sebagai
Termohon PKPU tersebut. Pemohon PKPU memperkirakan Termohon PKPU
Firma Litha & Co tidak dapat melanjutkan membayar utangnya tersebut.
Meskipun sudah terbukti Termohon PKPU Firma Litha & Co sudah tidak
dapat lagi melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan
dapat ditagih, Pemohon PKPU masih melihat adanya prospek usaha Termohon
PKPU Firma Litha & Co masih berjalan dan tetap melayani rute pengangkutan ke
beberapa daerah di Sulawesi Selatan.
Berdasarkan Pasal 222 ayat (1) dan ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004,
Pemohon PKPU mengajukan permohonan PKPU ke Pengadilan Niaga adalah
untuk mengajukan sebuah rencana perdamaian yang pada pokoknya berisi
penawaran-penawaran pembayaran atau skema restrukturisasi utang yang
komprehensif dan berkepastian hukum kepada kreditornya termasuk kepada
Pemohon PKPU.
Dalam hal pengajuan permohonan PKPU, Termohon PKPU Firma Litha
& Co mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditor, yakni PT Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk wilayah Makassar, yang juga telah mengalami kesulitan atas
pembayaran cicilan dalam penyelesaian kreditnya.
3. Amar Putusan Pengadilan Niaga Makasar
Mengabulkan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU) yang diajukan oleh Pemohon PKPU terhadap Termohon PKPU/FIRMA
LITHA & CO, yang berkedudukan di Jalan Gunung Merapi No. 160 Kota
Makassar.
Menetapkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
Sementara Termohon PKPU/FIRMA LITHA & CO untuk paling lama 45 (empat
puluh lima) hari terhitung sejak putusan a quo diucapkan.
Ronny Roy Fernando| 8

Menunjuk sdr. Pudjo Hunggul H. Wasisto. Hakim Niaga pada


Pengadilan Negeri/Niaga Makassar sebagai Hakim Pengawas untuk mengawasi
proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sementara yang
diajukan oleh Pemohon PKPU terhadap Termohon PKPU tersebut.
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar telah mengangkat;
Ozak Emanuel Sihotang, Kurator dan Pengurus yang terdaftar di Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Surat Bukti
Pendaftaran Kurator dan Pengurus Nomor: AHU.AH.04.03-23 tanggal 27 Januari
2012, berkantor di di Kerja Bakti IV No. 2 Rt. 06 Rw. 04 Kel. Makassar, Jakarta
Timur. Turman Panggabean, Kurator dan Pengurus yang terdaftar di Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Surat Bukti
Pendaftaran Kurator dan Pengurus Nomor AHU.AH. 04.03-44 tanggal 21
Desember 2010, berkantor di Ruko Cempaka Mas Blok B 24, Jl. Letjen. Suprapto,
Jakarta 10640. Keduanya adalah Pengurus dalam proses Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) sementara yang diajukan oleh Pemohon PKPU
HERYANTO WIJAYA terhadap Termohon PKPU Firma Litha & CO.
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar telah
memerintahkan Pengurus untuk memanggil Termohon PKPU/Debitor dan
Pemohon PKPU/kreditor yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir,
untuk menghadap dalam Sidang yang diselenggarakan paling lambat pada hari ke-
45 (empat puluh lima) terhitung sejak Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang Sementara a quo diucapkan. Menghukum kepada Termohon PKPU untuk
membayar biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp591.000,00 (lima ratus
sembilan puluh satu ribu Rupiah).
4. Alasan Pokok Peninjauan Kembali
Yang menjadi alasan adalah Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Makassar salah menerapkan hukum terhadap Firma Litha & Co berkenan Firma
bukanlah badan hukum. Bahwa Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri
Makassar sama sekali telah keliru dalam menerapkan hukum khususnya terhadap
perusahaan yang non Badan Hukum (perusahaan perorangan/Firma ic. Firma
Litha). Bahwa fakta hukum dalam permohonan Pemohon telah mengajukan
Perseroan Firma Litha & Co Selaku Pihak dalam Permohonan PKPU padahal
Ronny Roy Fernando| 9

nyata nyata Perseroan Firma adalah non Badan Hukum. Menurut Hukum
pengajuan permohonan PKPU atau Permohonan Pailit harus ditujukan kepada
Pesero bukan kepada perusahaannya. Karena itu sepanjang permohonan a quo
ditujukan kepada Perusahaan Firma Litha & Co secara langsung oleh Permohonan
PKPU Heriyanto Wijaya maka sepanjang itupula permohonan PKPU cacat
hukum.
Putusan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Makassar juga salah
menerapkan hukum, kurang pertimbangan hukumnya bahkan salah menerapkan
peraturan peraturan karena permohonan ditujukan kepada pihak yang sudah
meninggal, Ribka Ruru. Bahwa hukum acara perdata maupun hukum acara
Pengadilan Niaga tidak memungkinkan pihak yang sudah meninggal diajukan
selaku Pihak dalam Perkara.
Adapun putusan Pengadilan Niaga Makassar dalam putusannnya tanggal
3 September 2012, sama sekali tidak mempertimbangkan fakta- fakta dalam
persidangan yang dilakukan hakim pengawas dengan pengurus bersama dengan
Termohon PKPU dan Pemohon PKPU, sehingga dengan demikian Putusan
Pengadilan Niaga tersebut nyata-nyata melanggar asas Keseimbangan, asas
Kelangsungan Usaha, maupun asas keadilan, sebagaimana yang dianut dalam
Undang Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
Ada juga fakta yang tidak dipertimbangkan adalah tentang kesiapan
Termohon PKPU untuk melakukan penyelesaian disertai dengan jadwal
pembayaran yang jelas, dengan jumlah utang sebesar Rp18.000.000.000,00
(delapan belas miliar Rupiah).
Permohonan Peninjauan Kembali ini dilakukan oleh Termohon PKPU
hanyalah semata mata untuk menjalankan kelangsungan usaha sehingga para
karyawan masih dapat hidup layak dari perusahaan Firma Litha & Co tersebut.
Dalam Firma Litha & Co terdapat ± 2000 (dua ribu) karyawan yang akan
mengalami pemutusan hubungan kerja dengan adanya putusan Pemailitan yang
dilakukan oleh Pengadilan Niaga Makassar tersebut.
Ronny Roy Fernando| 10

5. Pertimbangan Putusan Mahkamah Agung Tingkat Peninjauan Kembali


Setelah Mahkamah Agung meneliti secara seksama alasan peninjuan
kembali yang diajukan oleh Firma Litha & Co tertanggal 11 September 2012, jika
dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini pengadilan Niaga
pada Pengadilan Negeri Makassar melakukan kekhilafan/kekeliruan yang nyata
dalam memutus perkara a quo, dengan pertimbangan bahwa putusan Judex Facti
tidak tepat dan tidak benar karena FIRMA LITHA & CO sebagai Termohon
PKPU tidak mempunyai legal standing karena FIRMA LITHA & CO tidak
berstatus badan hukum, sehingga tidak dapat dijadikan subjek hukum. Yang
seharusnya yang dapat dijadikan Termohon PKPU adalah pengurus aktif dari
FIRMA LITHA & CO tersebut. Sehingga dengan demikian Permohonan
Peninjauan Kembali dapat dikabulkan dan Putusan Judex Facti harus dibatalkan.
6. Amar Putusan Mahkamah Agung Tingkat Peninjauan Kembali
Adapun yang menjadi Putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah
Agung, yaitu mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh
Pemohon Peninjauan Kembali dalam hal ini yaitu FIRMA LITHA & CO tersebut,
serta membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar
Nomor 01/PKPU/2012/PN. NIAGA.MKS. tanggal 03 September 2012.
Menyatakan permohonan PKPU dari Pemohon PKPU: Heryanto Wijaya tidak
dapat diterima; serta menyatakan Termohon PKPU: FIRMA LITHA & CO tidak
berada dalam keadaan pailit.
7. Analisis Putusan No. 156 PK/Pdt.Sus/2012
Pengajuan permohonan PKPU yang diajukan oleh HERYANTO
WIJAYA terhadap FIRMA LITHA & CO di Pengadilan Niaga Makassar pada
Pengadilan Negeri Makassar adalah sebagai salah satu tindak lanjut sebab FIRMA
LITHA & CO mempunyai utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Bahkan FIRMA LITHA & CO juga telah mendapat teguran Aanmaning dari
Pengadilan Negeri Makassar No. 20 EKS/2011/PN.Mks jo No. 37/Pdt. G/208/PN.
Mks tanggal 01 Agustus 2011, bahkan sampai diajukannya permohonan PKPU,
pihak FIRMA LITHA & CO juga belum melakukan pembayaran secara tunai dan
penuh kepada Pemohon PKPU.
Ronny Roy Fernando| 11

Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang


Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan bahwa
debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas
permintaan seorang atau lebih krediturnya. Dengan demikian dapat penulis
ketahui bahwa syarat yang harus dipenuhi jika debitor ingin mengajukan
permohonan pailit mempunyai adalah terdapatnya utang, dimana utang tersebut
sudah jatuh tempo, dan dapat ditagih, dan juga harus memiliki dua atau lebih
Kreditor.
Adapun yang menjadi Debitor dalam kasus ini adalah FIRMA LITHA &
CO, sedangkan yang menjadi Kreditor adalah HERYANTO WIJAYA (Pemohon
PKPU) dan PT. BANK NEGARA INDONESIA, Tbk., dan PT. SUMBER INDO
CELLULER.
Dalam kasus ini, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar,
telah mengabulkan permohonan dan menetapkan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) Sementara Termohon untuk paling lama 45 (empat
puluh lima) hari terhitung sejak putusan a quo diucapkan sebagaimana isi dalam
Putusan No. 01/PKPU/2012/PN.Niaga.MKS.
Adapun yang menjadi alasan HERYANTO WIJAYA mengajukan
permohonan PKPU adalah bahwa karena FIRMA LITHA & CO mempunyai
utang kepada HERYANTO WIJAYA dan yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih. Dimana Pemohon PKPU juga telah memperkirakan bahwa FIRMA
LITHA & CO tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh
waktu dan dapat ditagih. Salah satu yang menjadi tujuan diajukannya PKPU
adalah untuk memberikan kesempatan kepada Termohon PKPU untuk
mengajukan sebuah rencana perdamaian yang pada pokoknya berisi penawaran-
penawaran pembayaran atau skema restrukturisasi utang yang berkepastian
hukum kepada para kreditornya.
Ronny Roy Fernando| 12

PKPU dapat diakhiri baik atas permintaan Hakim Pengawas, satu atau
lebih kreditor atau atas prakarsa Pengadilan sendiri, dalam hal:6
a. Debitor, selama waktu PKPU, bertindak dengan itikad buruk dalam
melakukan pengurusan terhadap hartanya;
b. Debitor telah merugikan atau telah mencoba merugikan kreditornya;
c. Debitor telah melakukan pelanggaran ketentuan Pasal 240 ayat (1);
d. Debitor lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan
kepadanya oleh Pengadilan pada saat atau setelah PKPU diberikan, atau
lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diisyaratkan oleh Pengurus
demi kepentingan harta debitornya;
e. Selama waktu PKPU, keadaan harta debitor ternyata tidak lagi
memungkinkan dilanjutkannya PKPU, atau;
f. Keadaan harta debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi
kewajibannya terhadap para kreditor pada waktunya.
Dengan diakhirinya PKPU karena Debitor lalai dalam melaksanakan
kewajibannya, maka Pengadilan telah menyatakan Debitor FIRMA LITHA & CO
dalam keadaan pailit, dan terhadap putusan pailitnya tersebut berlaku ketentuan
tentang kepailitan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Dengan melihat Pasal 292 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan dinyatakan
pailitnya perseroan FIRMA LITHA & CO, maka mengakibatkan debitor dalam
keadaan insolvensi.
Dalam Pasal 235 ayat (1) 292 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap
putusan PKPU tidak dapat diajukan upaya hukum apapun. Tujuan utama upaya
hukum dalam suatu proses dimuka Pengadilan adalah untuk memperoleh putusan
hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap putusan yang dijatuhkan
oleh Hakim belum tentu dapat menjamin kebenaran secara yuridis, karena putusan
itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekhilafan, bahkan bisa bersifat memihak.
Supaya kekeliruan dan kekhilafan itu dapat diperbaiki, agar dapat ditegakkannya

6
Sunarmi, Hukum Kepailitan, USU PRESS, Medan, 2009, hal. 196-197
Ronny Roy Fernando| 13

kebenaran dan keadilan, maka terhadap putusan Hakim yang terdahulu dapat
diperiksa ulang.
Dengan dikabulkannya Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung yang
dimohon oleh Pemohon Peninjauan Kembali FIRMA LITHA & CO terhadap
putusan permohonan PKPU telah melanggar ketentuan yang ada dalam Pasal 235
ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang tersebut.
Sebagaimana yang tertuang dalam Putusan No.156 PK/Pdt.Sus/2012,
dimana Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali
permohonan PKPU dengan pertimbangan hukum bahwa Judex Factie dalam hal
ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar telah melakukan
kekhilafan dalam memutus perkara permohonan PKPU.
Dengan melihat Pasal 295 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, bahwa Peninjauan
Kembali bukan hanya dapat diajukan terhadap putusan kasasi, akan tetapi juga
dapat dimintakan terhadap putusan pengadilan tingkat pertama. Dalam hal ini,
tepatlah Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali
putusan PKPU oleh Pengadilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Niaga. Dengan
ditambah bukti-bukti baru yang menyatakan bahwa Pengadilan Niaga Makassar
telah melakukan kekeliruan dan kekhilafan terhadap pemeriksaan Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Bahwa Termohon PKPU FIRMA LITHA & CO mengajukan
Permohonan Peninjauan Kembali terhadap Putusan Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Makassar No. 01/PKPU/2012/PN.Niaga.MKS. Dimana dalam
Putusan Peninjauan Kembali No. 156 PK/Pdt.Sus/2012 tersebut bahwa, FIRMA
LITHA & CO sebagai Termohon PKPU tidak mempunyai legal standing,
dikarenakan FIRMA LITHA & CO bukanlah berstatus badan hukum, sehingga
tidak dapat dijadikan sebagai termohon PKPU.
Dalam hal permohonan PKPU, adapun yang menjadi termohon PKPU
adalah orang perorangan, badan hukum, persekutuan yang tidak berbadan hukum,
harta peninggalan. Dalam hal ini Firma sebagai Termohon PKPU, adalah sebuah
perusahaan yang tidak berbadan hukum.
Ronny Roy Fernando| 14

C. Tanggung Jawab Persekutuan Firma dalam Hukum Kepailitan


Indonesia
Firma sebagai perusahaan non badan hukum, pertanggungjawaban antara
pengurus/sekutu itu bertanggung jawab secara renteng. Sebuah firma juga tidak
ada pemisahan harta kekayaan antara persekutuan dan pribadi pengurus/sekutu,
maka seorang pengurus/sekutu yang bertindak keluar tidak perlu diberi kekuasaan
khusus oleh kawan-kawan anggota lainnya untuk mengikatkan mereka, malahan
mereka itu sudah dengan sendirinya terikat oleh segala perjanjian yang diadakan
oleh salah seorang rekannya.
Dalam hal pertanggungjawaban dalam Pasal 18 KUHD,
pertanggungjawaban sekutu yang bersifat pribadi untuk keseluruhan, yang
merupakan syarat materiil, maksudnya pertanggungjawaban sekutu firma tidak
terbatas pada pemasukan yang dimasukkannya, melainkan juga bertanggungjawab
secara pribadi atas harta kekayaan milik pribadi terhadap persekutuan firmanya.
Walaupun bukan badan hukum, perseroan firma mempunyai harta
kekayaan, yakni harta yang telah dikumpulkan untuk perusahaan guna
menyelenggarakan perusahaan tersebut. Berlainan dengan harta kekayaan dari
suatu badan hukum, harta firma ini dapat ditagih oleh pihak ketiga selaku kreditor.
Apabila seorang anggota firma dijatuhi hukuman karena tak membayar sesuatu,
maka pihak ketiga dapat menyita barang-barang prive (harta pribadi) dari anggota
tersebut, dan apabila ia menurut kebiasaan telah menagih semua anggota firma
bersama, juga dapat menyita barang-barang harta firma tersebut.7
Mengenai tanggung jawab, masing-masing anggota Firma dalam Pasal
18 KUHD, bahwa tiap-tiap anggota perseroan, secara tanggung-menanggung
bertanggung jawab untuk seluruhnya atas segala perikatan dari perseroan firma.
Dengan demikian, para sekutu/pengurus bertanggung jawab secara bersama-sama
terhadap utang maupun segala kewajiban yang dimiliki oleh perseroan Firma
tersebut.

7
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum
Bisnis), Pradnya Paramitha, Jakarta, 1994, hal. 79
Ronny Roy Fernando| 15

Menurut Partadireja, secara umum ada dua macam tanggung jawab


sekutu dalam Persekutuan Firma, yaitu:8
a. Tanggung jawab tidak terbatas (internal), artinya apabila Firma bangkrut
dan harta bendanya tidak memadai untuk membayar utang-utang Firma,
maka harta benda pribadi para sekutu bisa disita untuk dilelang dipakai
untuk membayar utang-utang Firma. Jadi, selain kehilangan modal dalam
Firma, anggota Firma juga kehilangan harta benda pribadi. Dengan kata
lain, bila Firma jatuh pailit, ada kemungkinan anggotanya ada yang
terseret pailit. Sebaliknya, bila sekutunya ada yang dikeluarkan dalam
Firma dan kekayaannya yang ada pada Firma (modal dan keuntungan)
harus dibayarkan.
b. Tanggung jawab soldier atau tanggung renteng (eksternal). Tanggung
jawab ini khususnya terletak dalam hubungan keuangan dengan pihak
ketiga. Sekutu Firma bertanggung jawab penuh atas perjanjian-perjanjian
yang ditutup oleh rekannya untuk dan atas nama Firma. Orang luar
(pihak ketiga) yang mengadakan perjanjian dengan sekutu itu boleh
menuntut salah seorang sekutu, boleh pula menuntut semua anggota
sekalius sampai kepada harta benda pribadinya.
Dalam hal seorang pesero mengadakan ikatan, maka pesero tersebut akan
bertanggung jawab untuk seluruhnya, dan juga ikatan tersebut mengikat pesero
yang lainnya pula. Dengan sendirinya, segala utang-piutang sebuah perseroan
akan dibereskan melalui kas perseroan, namun apabila kas tersebut tidak
mencukupi, maka setiap pesero dapat ditagih untuk melunasi apa yang menjadi
kewajiban perseroan untuk menutupi kekurangannya.
Dengan dikatakannya Firma sebagai perseroan bukan badan hukum, dan
karena para pesero tidak terbatas tanggung jawabnya, maka mereka harus
menanggung segala utang-utang yang telah terjadi sebelumnya. Jika dalam hal
perseroan tidak bisa melunasi utang-utangnya, maka bukan lah seharusnya
perseroan tersebut dikatakan pailit, melainkan para pesero/sekutunya.

8
Mulhadi, Hukum Perusahaan Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia, Ghalia
Indonesia, Bogor, 2010 hal. 51
Ronny Roy Fernando| 16

Dalam hal pailitnya sebuah firma, maka para sekutu/pengurusnya pun


ikut jatuh pailit. Hal ini dapat dimengerti, karena utang perseroan firma juga
menjadi utang mereka yang menjadi tanggungannya dengan harta kekayaan
pribadinya. Hal ini memperlihatkan, bahwa Firma sebagai non badan hukum
dimana didalamnya tidak terdapat pemisahan harta antara Firma dengan para
sekutu/pengurusnya.
Sebagaimana yang juga dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
terdapat pengaturan khusus terhadap firma. Dalam Pasal 5 UU No. 37 Tahun 2004
menyebutkan bahwa “permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma itu harus
memuat nama dan tempat tinggal masing-masing pesero yang secara tanggung
renteng terikat untuk seluruh utang firma”. Dari ketentuan itu, dapatlah sebuah
Firma dapat dimohonkan pailit. Akan tetapi dalam hal permohonan pailitnya,
pasal 5 UU No. 37 Tahun 2004 memperintahkan agar permohonan pailit yang
ditujukan kepada sebuah Firma harus juga mencantumkan nama dan tempat
tinggal pengurus/sekutu. Para sekutu/penguruslah yang bertanggung jawab secara
renteng atas utang yang dimiliki oleh Firma tersebut. Dengan dicantumkannya
nama dan tempat tinggal sekutu/pengurus, jelaslah bahwa yang bertanggung
jawab adalah para pengurus terhadap utang Firma tersebut. Berarti dalam
persekutuan firma tiap-tiap pesero secara tanggung-menanggung bertanggung
jawab untuk seluruhnya atas segala perikatan dari perseroan. Dengan adanya
putusan pailit, maka para sekutu/pengurus yag bertanggungjawab penuh dalam hal
pembayaran utang Firma tersebut.
Putusan MA No. 156 PK/Pdt.Sus/2012 menyatakan Firma LITHA & CO
tidak berada dalam keadaan pailit, karena Firma tidak berstatus badan hukum,
maka yang seharusnya yang bertanggung jawab adalah para pesero Firma tersebut
yakni pesero LITHA BRENT selaku Direktur dan RIBKA RURU selaku Wakil
Direktur. Para pesero firma inilah yang bertanggung jawab sepenuhnya dan
membayar utang Firma yang ada kepada pihak ketiga yakni utang kepada
HERYANTO WIJAYA, PT BANK NEGARA INDONESIA, dan PT SUMBER
INDO CELLUAR selaku para Kreditor.
Ronny Roy Fernando| 17

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
1. Kedudukan Perusahaan Non Badan Hukum dalam sistim hukum
kepailitan di Indonesia masih diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang. Pailitnya suatu perusahaan non badan hukum, haruslah
dengan mencantumkan nama sekutu/pengurus selaku Termohon Pailit
sebagaimana juga diatur adalam Pasal 5 UU No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU. Para sekutu/pengurus lah yang menjadi subjek
hukum dalam sebuah perusahaan non badan hukum karena merupakan
satu kesatuan tanggung jawab renteng antara para sekutu/pengurus
dengan perusahaan non badan hukum tersebut.
2. Dengan adanya Putusan Mahkamah Agung No. 156 PK/Pdt.Sus/2012
yang membatalkan Putusan Pengadilan Niaga Nomor
01/PKPU/2012/PN. NIAGA.MKS. Mahkamah Agung menolak Firma
LITHA & CO yang berkedudukan sebagai Debitor atau Termohon
PKPU, sehingga Firma LITHA & CO tidak berada dalam keadaan pailit.
Yang seharusnya menjadi Termohon PKPU adalah badan/lembaga yang
berstatus sebagai badan hukum. Firma LITHA & Co tidak berstatus
sebagai badan hukum, maka tidak dapat dimohonkan PKPU. Para
pengurus/sekutu Firmalah yang seharusnya menjadi subjek pailit.
3. Dalam hal pailitnya sebuah Firma, maka para pengurus/sekutu dalam
sebuah Firma harus bertanggung jawab secara renteng sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 18 KUHD. Pertanggung jawaban secara renteng ini
diakibatkan karena Firma adalah sebagai badan usaha non badan hukum
dimana orang yang bersekutu dalam Firma yang menjalankan usahanya
dengan memakai nama bersama atau satu nama yang digunakan pada
badan usahanya serta Firma dalam menjalankan usahanya tidak terjadi
pemisahan harta kekayaan antara para sekutu/pengurus Firma dengan
perseroan/badan usahanya. Para pengurus/sekutu Firma wajib membayar
dan melunasi utang kepada pihak Kreditor, sebagai bentuk
pertanggungjawaban kepada pihak ketiga karena telah mengadakan
perjanjian yang mewakili Firma tersebut.
Ronny Roy Fernando| 18

B. Saran
1. Perlunya peraturan secara khusus mengenai sistem kepailitan terhadap
perusahaan non badan hukum, sehingga memberikan kepastian terhadap
para pihak pailit.
2. Mahkamah Agung seharusnya lebih teliti lagi memperhatikan bahwa
terhadap putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, tidak
terdapat upaya hukum apapun sebagaimana Pasal 235 UU No. 37
TAHUN 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
3. Dengan adanya pertanggungjawaban secara renteng antara para
pengurus/sekutu harus transparan dan terbuka terhadap harta kekayaan
pribadi mereka dalam hal pemenuhan kewajiban perseroan. Hal ini
dikarenakan tidak adanya pemisahan harta antara perseroan/perusahaan
dengan harta pribadi sekutu/pengurus.

V. Daftar Pustaka
A. Buku

C.S.T Kansil dan Christine S.T., 1994. Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek
Hukum Bisnis), Jakarta : Pradnya Paramitha
Hartono, Sri Redjeki, 2008. Hukum Kepailitan, Malang : UPT Penerbitan
Universitas Muhammadiyah Malang
Mulhadi, 2010. Hukum Perusahaan Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia,
Bogor: Ghalia Indonesia
Saliman, Abdul R, 2011. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan;Teori Dan Contoh
Kasus, Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2011. Penelitian Hukum Normatif, Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Soemitro, Ronny Hanitjo, 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Jakarta : Ghalia Indonesia
Sunarmi, 2009. Hukum Kepailitan, Medan : USU PRESS
Ronny Roy Fernando| 19

B. Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU

Anda mungkin juga menyukai