PRIAPISMUS
Oleh:
Pembimbing :
dr. Abdul Aziz, Sp.U
1
DAFTAR ISI
JUDUL .................................................................................................................. 1
DAFTAR ISI......................................................................................................... 2
2
BAB I
PENDAHULUAN
Priapismus adalah suatu gangguan berupa ereksi penis yang terjadi terus-
menerus dalam waktu lebih dari 6 jam. Ereksi yang berkepanjangan ini terjadi
tanpa adanya rangsangan seksual dan sering disertai dengan rasa nyeri. Keadaan
ini jelas merupakan gangguan, bukan sesuatu yang layak dibanggakan. Istilah
priapismus berasal dari kata Yunani priapus yaitu nama dewa kejantanan pada
Yunani kuno.1,2,3
Beberapa tahun terakhir ini, kejadian priapismus di Indonesia cukup
sering dan penyebabnya sama, yaitu pada umumnya setelah menerima suntikan
pada penis. Fenomena ini cukup menarik perhatian karena sebelumnya sangat
jarang terjadi, bahkan tidak pernah diberitakan. Fenomena ini menjadi semakin
menarik kalangan kedokteran karena dikaitkan dengan suntikan pada penis
dalam upaya untuk mengatasi disfungsi ereksi atau impotensi.1,2,3
Priapismus merupakan salah satu kedaruratan di bidang urologi karena
jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat dapat menimbulkan kecacatan yang
menetap berupa disfungsi ereksi.
Sebanyak 60% kasus priapismus merupakan idiopatik yang belum jelas
penyebabnya sedangkan 40% kasus dihubungkan dengan keadaan
lekemia, sickle cell disease, tumor pelvis, infeksi pelvis, trauma penis, spinal
cord trauma, pemakaian obat- obatan tertentu (trazodone, alkohol, psikotropik,
dan antihipertensi) ataupun pasca injeksi intrakavernosa dengan zat vasoaktif.
Tujuan penanganan pasien priapismus adalah untuk terjadinya detumesensi dan
mempertahankan fungsi ereksi.1,2,3
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Anatomi Penis terdiri atas 3 buah korpora berbentuk silindris, yaitu 2 buah
korpora kavernosa yang saling berpasangan dan sebuah korpus spongiosum
yang berada di sebelah ventralnya. Korpora kavernosa dibungkus oleh jaringan
fibroelastik tunika albuginea sehingga merupakan satu kesatuan, sedangkan di
sebelah proksimal terpisah menjadi dua sebagai krura penis. Setiap krus penis
dibungkus oleh otot ishio-kavernosus yang kemudian menempel pada rami osis
ischii (gambar 1). Korpus spongiosum membungkus uretra mulai dari diafragma
urogenitalis dan di sebelah proksimal dilapisi oleh otot bulbo-kavernosus.
Korpus spongiosum ini berakhir pada sebelah distal sebagai glans penis. Ketiga
korpora itu dibungkus oleh fasia Buck dan lebih superfisial lagi oleh fasia
Dartos yang merupakan kelanjutan dari fasia Scarpa tampak pada potongan
melintang penis (gambar 2). Di dalam setiap korpus yang terbungkus oleh tunika
albuginea terdapat jaringan erektil yaitu berupa jaringan kavernus (berongga)
seperti spon. Jaringan ini terdiri atas sinusoid atau rongga lakuna yang dilapisi
oleh endotelium dan otot polos kavernosus. Rongga lakuna ini dapat
menampung darah yang cukup banyak sehingga menyebabkan ketegangan
batang penis. 1, 4
4
Gambar 2. Penampang melintang batang penis 4
Vaskularisasi penis Penis mendapatkan aliran darah dari arteri iliac interna
menuju arteri pudenda interna yang kemudian menjadi arteri penis komunis.
Selanjutnya arteri ini bercabang menjadi arteri kavernosa atau arteri sentralis,
arteri dorsalis penis, dan arteri bulbouretralis (gambar 3). Arteri penis komunis
ini melewati kanal dari Alcock yang berdekatan dengan os pubis dan mudah
mengalami cedera jika terjadi fraktur pelvis. Arteri sentralis memasuki rongga
kavernosa kemudian bercabang-cabang menjadi arteriole helisin, yang kemudian
arteriole ini akan mengisikan darah ke dalam sinusoid. 3,4
5
Darah vena dari rongga sinusoid dialirkan melalui anyaman/pleksus yang
terletak di bawah tunika albuginea. Anyaman/pleksus ini bergabung membentuk
venule emisaria dan kemudian menembus tunika albuginea untuk mengalirkan
darah ke vena dorsalis penis (gambar 4). 3,4
6
Gambar 5. Persarafan saluran urogenital 4
7
menjadi siklik guanil mono fosfat (cGMP). Substansi terakhir ini menurunkan
jumlah kadar kalsium di dalam sel otot polos yang menyebabkan relaksasi otot
polos kavernosum sehingga terjadi ereksi penis. 1,4
Fase-fase ereksi
Ereksi terjadi melalui rangkaian fisiologis dan biokimiawi yang kompleks,
melibatkan hormon dan syaraf. Ereksi biasanya dimulai dari rangsangan eksotik,
yang menyebabkan melepasnya zat di daerah dinding pembuluh darah penis. Zat
tersebut akan merangsang enzim guanilat siklase sehingga meningkatkan kadar
siklik guanisin monofosfat (cGMP). Mekanisme ereksi terdiri dari beberapa
fase, yaitu :
1. Fase permulaan dalam keadaan masih lemas (flasid)
Penis flaccid dibawah pengaruh saraf simpatis. Arteri inflow rendah (dibawah
15cm/detik) dan otot polos trabekula berkontraksi. Sinusoid kosong dan gas
darah sama dengan darah vena.
8
5. Fase tegak dan keras (rigrit)
Dibawah pengaruh saraf pudenda, kontraksi otot ischiokavernosa, memeras
krura dan meningkatkan tekanan intrakavernosa diatas tekanan darah sistolik.
Penis menjadi kaku dan tegak. Otot ischiokavernosa dapat berkontraksi volunter
atau dibawah pengaruh reflek bulbokavernosa (yang maintain kekakuan selama
penetrasi). Arteri inflow tidak dapat masuk lagi dan vena eminen menutup
sempurna. Ketika otot rangka menjadi lelah terjadi penurunan tekanan
intrakavernosa kembali ke level fase ereksi penuh, mengikuti sirkulasi kembali
ke jaringan kavernosa.
9
Sistem Persarafan Ereksi
Pada dasarnya mekanisme ereksi terjadi melalui proses neurologis dan
hemodinamik yang dikontrol oleh faktor psikologis. Sehingga penyebab
disfungsi ereksi dibagi menjadi faktor psikologis dan faktor organik yang dapat
disebabkan oleh kelainan pada pembuluh darah (vaskulogenik), persarafan
(neurogenik) dan hormon (endokrinologik). Rangsangan seksual akan diolah
pada susunan saraf pusat di beberapa tempat terutama di jaras supra spinal yaitu
area preoptik medial (MPOA) dan nukleus paraventrikularis (PVN)
dihipotalamus dan hippokampus yang merupakan pusat integrasi fungsi seksual
dan ereksi4,5
Rangsangan dari susunan saraf pusat akan dilanjutkan pada tingkat medula
spinalis yang mempunyai dua pusat persarafan ereksi, sistem persarafan
parasimpatis yang merupakan pusat rangsangan terjadinya ereksi (erektogenik)
terletak pada segmen sakrum (S2 - S4) pada manusia nukleus parasimpatis
terutama terdapat di saraf preganglion parasimpatis pada columna intermedio
lateral medula spinalis sakrum S3. Akson parasimpatis akan melalui nervus
pelvikus menuju pleksus pelvis dan bersinap dengan persarafan post ganglion
dimana akson menujun ke nervus cavernosus. Sistem persarafan simpatis yang
terutama menghambat ereksi (erektolitik) pusatnya terletak pada kolumna
intermedio lateral dan komisura dorsal abu abu pada segmen torakolumbal (T11
– L2) medula spinalis.
Penis di persarafi oleh sistem persarafan otonom (simpatis dan parasimpatis)
pada daerah pelvis kedua saraf bersatu membentuk nervus kavernosus yang
masuk ke dalam korpus kavernosus, korpus spongiosum dan gland penis untuk
pengaturan aliran darah selama ereksi dan detumesen. Sistem persarafan somatis
yaitu nervus pundendus berperan sebagai sensorik penis dan kontraksi dan
relaksasi otot otot lurik bulbokavernosus dan isciokavernosus.
Sistem persarafan tersebut bertanggung jawab terhadap terjadinya tiga
macan tipe ereksi : psikogenik, refleksogenik dan nokturna. Ereksi psikogenik
yang terjadi karena rangsangan pendengaran, penciuman dan fantasi yang diolah
pada susunan saraf pusat akan dilanjutkan pada pusat ereksi di medula spinalis
(T11-L2 dan S2-S4) sehingga terjadi ereksi. Ereksi refleksogenik yang terjadi
karena rangsangan perabaan pada organ genital dan sekitarnya, akan menuju
pusat ereksi di medula spinalis yang akan menimbulkan persepsi sensoris yang
10
akan mengaktifkan sistem saraf otonom untuk menyampaikan rangsangan pada
nervus kavernosus sehingga terjadi ereksi. Tipe ereksi ini akan tetap terjadi pada
pasien dengan cedera medula spinalis diatas segmen sakrum 2. Ereksi nokturna
umumnya terjadi selama tidur rapid eye movement (REM). Selama tidur REM
akan mengaktifkan sistem saraf kolinergik yang terletak pada tegmentum pontin
lateral, sehingga terjadi peningkatan ketegangan penis.4,5
11
2.3 Definisi
2.4 Etiologi
2.5 Epidemiologi
2.6 Klasifikasi
Low blood flow (ischemic) priapism – tipe yang paling sering dan kondisi
yang sangat serius, biasa terjadi karena kurangnya aliran darah melalui
penis
High blood flow (non-ischemic) priapism – tipe yang jarang terjadi dan
biasa disebabkan trauma daerah genital atau perineum
Recurrent or intermittant (stuttering) priapism - mirip dengan priapism tipe
iskemik tetapi ditandai dengan ereksi yang rekuren, terjadi sangat lama, dan
sangat nyeri yang berakhir setelah 2-3 jam1,4,9,10,11,12
12
2.7 Faktor Risiko1,6,7,8
2.8 Patogenesis
i.
Gambar 7. Penyebab Priapismus12
13
Patofisiologi Priapismus
Priapismus terjadi akibat kegagalan penis untuk kembali kepada keadaan
flaccid. Secara umum, dibedakan menjadi 2 yaitu karena kegagalan aliran darah
balik vena atau aliran darah arteri yang berlebihan. Pada dasarnya, mekanisme
yang terjadi adalah ketidakseimbangan antara aliran darah yang keluar dan yang
masuk. Beberapa faktor yang telah teridentifikasi berperan dalam
ketidakseimbangan ini adalah darah, pembuluh darah, otot polos pada pembuluh
darah dan saraf yang terkait pada penis.
Pada priapsimus tipe low flow, salah satu dari beberapa faktor yang telah
teridentifikasi dapat mencetuskan ereksi yang tidak dapat kembali kepada
keadaan flaccid.1,3,7,9,11
1. Pelepasan neurotransmitter yang berlebihan
2. Kelumpuhan sistem saraf
3. Gangguan pada drainase venula
a. Gangguan pada pembuluh darah
b. Gangguan pada darah
4. Relaksasi otot polos berlebihan
Apabila terdapat gangguan pada salah satu faktor tersebut, vena akan
mengalami kegagalan dalam mengangkut darah pada penis, sehingga terjadi
penumpukkan darah pada penis yang bersifat stasis, dengan demikian akan
menyebabkan iskemia. Iskemia yang terjadi akan menimbulkan nyeri dan
14
kerusakan jaringan pada otot polos pada sinus yang terletak dalam korpus
kavernosum, yang akan digantikan dengan jaringan ikat. Keadaan darah yang
stasis pada priapismus tipe low flow akan menyebabkan thrombosis arteri pada
korpus kavernosum. Adanya kerusakan jaringan, jaringan ikat yang terbentuk
pada korpus kavernosum dan thrombosis arteri pada korpus kavernosum akan
menyebabkan ereksi yang tidak efektif.
Pada studi dengan mikroskop cahaya, apabila priapismus tidak ditangani
akan menyebabkan korpus kavernosum yang menebal, bengkak, kemudian
fibrosis. Kerusakan yang terjadi berbanding lurus dengan jumlah vena yang
mengalami gangguan dan durasi berlangsungnya gangguan.
Pada studi dengan mikroskop elektron, didapatkan edema pada trabekula
interstitial pada 12 jam pertama. Pada priapismus lebih dari 24 jam didapatkan
kerusakan endothel sinus kavernosum, membrana basalis yang terpapar bebas,
dan adhesi thrombosit. Pada priapismus lebih dari 48 jam didapatkan thrombi
pada ruang di sinus, otot polos sinus yang mengalami nekrosis dan digantikan
dengan jaringan ikat. Priapismus menyebabkan kegagalan ereksi permanen
apabila terjadi lebih dari 24 jam.
Pada priapismus tipe high flow, penyebab utama adalah ruptur arteri
kavernosa sehingga terjadi kebocoran terus menerus dengan adanya fistula dari
arteri kavernosa menuju korpus spongiosum. Penyebab utama dari ruptur adalah
trauma pada daerah penis dan trauma langsung mengenai pembuluh darah arteri
pada penis.
Apabila terjadi priapismus tipe high flow, aliran darah pada arteri akan
berlebih pada penis, sehingga menyebabkan volume darah berlebihan pada penis
yang bersifat dinamis, sehingga tidak menyebabkan iskemia, dengan demikian
akan menyebabkan nyeri yang minimal atau tidak nyeri karena tidak terjadi
iskemia.6,7,8
Gejala klinik pada priapismus dibagi menjadi 2, yaitu gejala pada tipe low flow
dan gejala pada tipe high flow.
15
Pada priapismus tipe low flow, gejala berupa penis mengalami ereksi
selama lebih dari 4 jam atau tidak berhubungan dengan stimulasi seksual,
nyeri yang bersifat progresif, dan batang penis mengalami ereksi dan kaku
total (fully rigid) tetapi glans teraba empuk. Nyeri pada priapismus tipe
low flow dapat menghilang pada prolonged priapism karena terjadi
kerusakan pada serabut saraf di penis. Pada keadaan ini, oksigenasi
jaringan bersifat inadekuat.12
Pada priapismus tipe high flow, gejala berupa penis mengalami ereksi
selama lebih dari 4 jam atau tidak berhubungan dengan stimulasi seksual,
tidak disertai rasa nyeri atau nyeri yang minimal karena distensi kulit oleh
penis yang mengalami bengkak oleh ereksi, dan batang penis mengalami
ereksi tetapi tidak kaku total. Pada keadaan ini, oksigenasi jaringan
bersifat adekuat.12
16
Mengerti tentang riwayat dari episode priapismus itu penting karena dapat
menentukan etiologi dan penanganan yang paling efektif. Hal-hal yang harus
diidentifikasi dalam riwayat pasien adalah :13
Durasi dari ereksi
Derajat rasa nyeri (Priapismus iskemik itu nyeri sedangkan priapismus
non iskemik tidak nyeri)
Riwayat Priapismus sebelumnya dan penanganan sebelumnya
Penggunaan obat-obatan yang diasosiasikan dengan priapismus antara
lain, antihipertensi, antikoagulan, antidepresant, zat psikoaktif (alkohol,
marijuana, kokaine dan yang lainya) dan agen vasoaktif yang digunakan
untuk injeksi intracavernosa sebagai terapi alprostadil, papaverine,
prostaglandin E1, phentolamine, dll.
Riwayat dari trauma pelvis, genital, dan perineum terutama straddle injury
Riwayat dari penyakit sickle cell anemia dan abnormalitas hematologis
lainya.
17
mengidentifikasi kelainan berupa infeksi akut atau abnormalitas darah (sickle
cell anemia, leukemia, abnormalitas trombosis). Pemeriksaan darah lain yang
dapat dilakukkan adalah jumlah hitung retikulosit (meningkat pada sickle cell
anemia), Hemoglobin elektrophorosis (thalasemia). Pada keadaan emergensi
skrining untuk sickle cell anemia dapat menggunakan tes sikledex dan
pemeriksaan darah tepi. Skrining untuk obat psikoaktif dan toksikologi urin
dapat dilakukan (jika dicurigai) dapat menyebabkan priapismus..
18
dan pseudoaneurisma pada pasien dengan priapismus non iskemik.Abnormalitas
ini paling sering disebabkan karena straddle injury atau trauma scrotum secara
langsung sehingga paling sering ditemukan di porsi perineum dari corpora
cavernosa. Color duplex ultrasonography harus dilakukkan pada posisi litotomi
mulai dari perineum hingga sepanjang penis.
Gambar 12. Color Doppler pada pasien rekuren sikle cell pada priapismus12
Gambar 13. Kesimpulan berdasarkan analisa gas darah & scan Doppler1
20
atau rekuren.
Priapismus iskemik
Priapismus non-iskemik
Priapismu rekuren
2.13 Penatalaksanaan
21
Low-Flow (ischaemic) Priapism1,4,7,8,9,12
Acute ischaemic priapism merupakan kondisi gawatdarurat. Tujuan dari
penatalaksanaan adalah untuk mengembalikan penile flaccidity, tanpa rasa nyeri,
untuk mencegah kerusakan dari corpora cavernosa.
22
2. Aspirasi atau irigasi dengan 0.90% saline solution
Intervensi pertama untuk episode priapismus yang berlangsung > 4 jam terdiri
dari corporal aspiration untuk drain/ mengalirkan stagnant blood dari corporal
bodies. Aspirasi darah dapat dilakukan dengan akses intracorporeal melalui
glans atau melalui akses jarum percutaneous dengan menggunakan
angiocatheter 16G/ 18G atau jarum butterfly.
23
Adrenaline
Adrenalin intracavernosal telah digunakan pada priapismus iskemik.
Oral terbutaline
Oral terbutaline merupakan beta-2-agonis dengan efek minor beta-1 dan
sebagian aktivitas alpha-agonist. Dosis 5 mg disarankan untuk mengobati ereksi
yang berlangsung lebih dari 2.5 jam, setelah peyuntikan secara intracavernosal
dengan agen vasoaktif. Oral terbutaline harus digunakan dengan hati-hati pada
pasien coronary artery disease, increased intravascular fluid volume, oedema
and hypokalaemia.
24
Ebbehoj’s technique : teknik meliputi multiple tunical incision windows
antara glans dan tiap bagian dari corpus cavernosum dengan ukuran 11
pisau scalpel.
T-shunt : teknik ini meliputi prosedur dengan menggunakan pisau scalpel
berukuran 10 yang ditempatkan secara vertical melalui glans sampai
corpus cavernosum.
25
2. Open distal (corpora-glanular) shunts
Al-Ghorab’s procedure : prosedur ini dengan eksisi bilateral terbuka pada
circular cone segment dari distal tunika albuginea melalui glans penis.
Burnett’s technique : merupakan modifikasi dari Al-Ghorab
26
4. Vein anastomoses/shunts
Grayhack’s procedure : mobilisasi dari saphenous vein di bawah dari
junction dari femoral vein dan anastomosis vena pada corpus cavernosum.
Indikasi :
o Iskemik yang berlangsung lebih dari 36 jam
o Kegagalan aspirasi dan penyuntikan sympatomimetik intracavernous
o Kegagalan dari shunting distal dan proximal
o MRI atau corporal biopsy menunjukan nekrosis dari corporal smooth muscle
27
2. Selective arterial embolisation
Selective arterial embolisation dapat dilakukan dengan menggunakan bekuan
darah autologous, gel foam atau gelatin sponge, atau lebih banyak zat permanen
seperti microcoils atau acrylic glue.
3. Surgical management
Dapat dilakukan surgical ligation of the fistula. Namun, potensial timbulnya
komplikasi pada prosedur ini termasuk impotensi.
2.15 Komplikasi12
Priapismus iskemik dapat menyebabkan komplikasi yang serius. Darah
yang terperangkap dalam penis menjadi beracun terhadap jaringan. Jika ereksi
berlangsung lebih dari 4 jam, darah yang kekurangan oksigen akan mulai
merusak jaringan penis. Sehingga dapat mengakibatkan :
Disfungsi ereksi, ketidakmampuan penis menjadi atau bertahan untuk ereksi
dengan rangsangan seksual
Impotensi
Nekrosis jaringan penis
Hidronefrosis
2.16 Prognosis12
Apabila priapismus dapat diatasi dalam waktu 12 – 24 jam biasanya
tidak menimbulkan kerusakan jaringan yang serius. Namun, apabila priapismus
berlangsung lebih dari 24 jam dapat menyebabkan impotensi menetap karena
tekanan yang tinggi pada penis sehingga menyebabkan kerusakan jaringan.
2.17 Pencegahan15
28
BAB III
KESIMPULAN
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Montague DK, Jarow J, Broderick GA, Dmochowski R, Heaton JP, Lue TF, Nehra
A, Sharlip ID. American urological association guidelines on the management of
Priapism. J Urol 2003;170:1318–24.
2. .Smith & Tanagho’s. Male Sexual Dysfunction & Male urethra 18th edition. General
Urology. McGraw Hill. 2013. Page 596-601
3. Reynard J, Brewster S, Biers. Sexual Health : Priapsm. Oxford Handbook of Urology
third edition, United Kingdom. 2013. Page 584-587
4. Kirby. S Roger, Lue T.F. An Atlas of Erectile Dysfunction. Second edition; 2005
30
31