Pembimbing:
dr. Sri Rachmawati, Sp.An-KIC, M.Kes
Disusun Oleh:
Iga Nuryanti
1810221036
LAPORAN KASUS
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Anestesiologi
dan Terapi Intensif Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu
Dokter Pembimbing
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul “Penurunan
Kesadaran ec Sepsis, Anemia ec Hematemesis Melena disertai Pneumonia, DM dan Ulkus Jari
Kaki Ke-2 Kaki Kiri”. Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit Umum
Daerah Pasar Minggu Jakarta Selatan.
Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Sri Rachmawati, Sp.An-KIC, M.Kes selaku pembimbing selama penyusunan tugas
ini.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri, pembaca maupun
bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan
oleh kelainan regulasi respon host terhadap infeksi. Disfungsi organ dinyatakan sebagai
perubahan akut pada total skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) >2 poin
sebagai konsekuensi dari infeksi. Nilai SOFA dapat dianggap nol pada pasien yang tidak
diketahui memiliki disfungsi organ. Sementara skor SOFA >2 dihubungkan dengan risiko
kematian kurang lebih 10% pada populasi di rumah sakit umum dengan kecurigaan
adanya infeksi.1
Pada konsensus tahun 19912 dinyatakan bahwa sepsis merupakan respon inflamasi
sistemik (SIRS) terhadap infeksi. Sepsis yang diikuti dengan komplikasi disfungsi organ
disebut sepsis berat (severe sepsis). Sepsis berat dapat berkembang menjadi syok sepsis,
yaitu hipotensi yang menetap yang disebabkan oleh sepsis meskipun telah mendapat
resusitasi cairan adekuat.2 Sebuah kelompok kerja tahun 2001 menyadari keterbatasan pada
definisi ini dan mengembangkan sejumlah kriteria diagnostik pada sepsis namun tidak
berhasil memberikan alternatif lain karena sedikitnya bukti penunjang.3 Akibatnya definisi
sepsis, syok sepsis dan disfungsi organ tidak banyak berubah selama 2 dekade. Namun pada
konsensus tahun 20151 telah diperbarui definisi sepsis dan syok sepsis dan Surviving Sepsis
Campaign telah memperbarui diagnosis dan tata laksana sepsis dan syok sepsis pada tahun
2016.1
BAB II
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 70 tahun
Alamat : Jakarta Selatan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status pernikahan : Menikah
e) Status Neurologis
1. Tanda Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : (-) Laseque : >70 / >70
Brudzinski I : (-) Kernig : >135 / >135
Brudzinski II : (-) / (-)
2. Nervus Kranialis : tidak dilakukan
3. Motorik
Trofi otot
o Lengan: eutrofi/eutrofi
o Tungkai: eutrofi/eutrofi
Derajat kekuatan otot:
Laboratorium (09/09/2019)
AGD
pH : 7.45 (H)
pCO2 : 18.8 mmHg
pO2 : 138.6 (H)
HCO3 : 13.1 (L)
SO2 : 99.3%
BE : -7,7
TCO2 : 13.7 (L)
Elektrolit
Na : 143 mEq/L Normal : 135 – 147 mEq/L
Kalium : 5.50 mEq/L (H) Normal : 3.5 – 5 mEq/L
Cl : 110 mEq/L (H) Normal : 95 – 105 mEq/L
V. DIAGNOSIS
Penurunan kesadaran ec sepsis
Pneumonia
Anemia ec hematemesis melena
DM tipe 2
Ulkus jari kaki ke-2 kaki kiri
VI. PENATALAKSANAAN
NS 3% infus 500ml/24jam
Raivas 0,05 mg/KgBB/24jam
Injeksi ceftriaxone 1x 2gr
Injeksi omeprazole 2x40mg
Injeksi ondancentron 2x4mg
Injeksi asam traneksamat 3x500mg
PO Sucralfat 3x1 cth
PO Meformin 3x500 mg
PO Simvastatin 1x20 mg
PO Nitrokaf 2x2,5 mg
PO Diazepam1x2 mg
Nebu ventolin 3x/hari
Nebu pulmicort 2x/hari
O2 via venti dengan mode PC -> SIMV PC/PS SIMV 14 PC/PS 10 PEEP 8 FiO2 50%
VII. PROGNOSIS
- Ad vitam : Dubia ad malam
- Ad sanationum : Dubia ad malam
- Ad fungsionum : Dubia ad malam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1 Definisi
Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan
oleh kelainan regulasi respon host terhadap infeksi. Disfungsi organ dinyatakan sebagai
perubahan akut pada total skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) >2 poin
sebagai konsekuensi dari infeksi. Nilai SOFA dapat dianggap nol pada pasien yang tidak
diketahui memiliki disfungsi organ. Sementara skor SOFA >2 dihubungkan dengan risiko
kematian kurang lebih 10% pada populasi di rumah sakit umum dengan kecurigaan adanya
infeksi.3
Pada konsensus tahun 2016 Sepsis merupakan disfungsi organ yang mengancam nyawa
yang disebabkan oleh disregulasi respon host terhadap infeksi. Disfungsi organ dinyatakan
sebagai perubahan akut pada total skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) >2
poin sebagai konsekuensi dari infeksi. Nilai SOFA dapat dianggap nol pada pasien yang
tidak diketahui memiliki disfungsi organ. Sementara skor SOFA >2 dihubungkan dengan
risiko kematian kurang lebih 10% pada populasi di rumah sakit umum dengan kecurigaan
adanya infeksi.3
Tabel 2. SOFA SCORE5
Syok sepsis didefinisikan sebagai kondisi lanjut dari sepsis dimana abnormalitas
metabolisme seluler dan sirkulatorik yang menyertai pasien cukup berat sehingga dapat
meningkatkan mortalitas. Pasien dengan syok sepsis dapat diidentifikasi berdasarkan
adanya sepsis yang disertai hipotensi persisten yang membutuhkan vasopresor untuk
menjaga agar MAP >65 mmHg dan kadar laktat serum >2 mmol/L (18 mg/dL) walaupun
telah diberi resusitasi yang adekuat.1
Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh
disregulasi respons pejamu terhadap infeksi.
Disfungsi organ dapat diidentifikasi sebagai perubahan akut pada skor SOFA total ≥2 poin
akibat infeksi.
o Baseline skor SOFA dapat diasumsikan nol pada pasien yang tidak diketahui
memiliki disfungsi organ yang sudah ada sebelumnya.
o Skor ASOFA ≥2 mencerminkan keseluruhan risiko kematian sekitar 10% pada
populasi rumah sakit umum dengan infeksi yang dicurigai. Bahkan pasien yang
mengalami disfungsi sederhana dapat memburuk, menekankan keseriusan kondisi
ini dan kebutuhan akan intervensi segera dan tepat, jika belum dilembagakan.
Dalam istilah awam, sepsis adalah kondisi yang mengancam jiwa yang muncul saat respons
tubuh terhadap infeksi melukai jaringan dan organ tubuh sendiri.
Pasien dengan infeksi yang dicurigai yang kemungkinan tinggal di ICU lama atau
meninggal di rumah sakit dapat diidentifikasi segera di samping tempat tidur dengan
qSOFA, yaitu perubahan status mental, tekanan darah sistolik ≥100 mmHg, atau tingkat
pernapasan ≥22 / min.
Syok septik adalah subset dari sepsis dimana kelainan peredaran darah dan seluler /
metabolik cukup besar untuk meningkatkan angka kematian secara substansial.
Pasien dengan syok septik dapat diidentifikasi dengan konstruk klinis sepsis dengan
hipotensi bertahan yang memerlukan vasopressor untuk mempertahankan MAP ≥65 mmHg
dan memiliki tingkat laktat serum> 2 mmol / L (18mg / dL) meskipun ada resusitasi volume
yang adekuat. Dengan kriteria ini, angka kematian di rumah sakit lebih dari 40%.
Singkatan: MAP, mean arterial pressure; qSOFA, quick SOFA; SOFA: Sequential [Sepsis-
related] Organ Failure Assessment.
Gambar 1. Definisi sepsis menurut The Third International Consensus Definitions for
Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3).4
III.2 Epidemiologi
Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian di Amerika Serikat
dan penyebab utama kematian di ICU dan saat ini insidensinya terus meningkat di negara
maju.5 Kejadian sepsis meningkat hampir empat kali lipat dari tahun 1979-2000, menjadi
sekitar 660.000 kasus (240 kasus per 100.000 penduduk) sepsis atau syok septik per tahun di
Amerika Serikat.5
Angka kejadian sepsis tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin tetapi dipengaruhi oleh
usia dan penyakit yang mendasarinya. Angka mortalitas seiring dengan meningkatnya usia
meningkat tajam, insiden sepsis meningkat tajam di usia dewasa-tua yaitu usia <65 tahun
dengan 17,7%, dan usia >65 tahun dengan 27,7%. Seiring bertambahnya usia maka sistem
imun juga semakin menurun sehingga infeksi atau keadaan sepsis lebih mudah terjadi.6
III.3 Etiologi
Sepsis dapat disebabkan oeh infeksi bakteri Gram negatif 70% (Pseudomonas
aeruginosa, Klebsiella, Enterobacter, E. Colli, Proteus, Neisseria) yang menghasilkan
berbagai produk yang menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu mengeluarkan
mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida
(LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan kompleks utama membran
terluar dari bakteri gram negatif. Infeksi bakteri Gram positif 20-40% (Staphyllococcus
aureus, Streptococcus, Pneumococcus), infeksi jamur dan virus 2- 3% (dengue haemorrhagic
fever, herpes viruses), protozoa (malaria falciparum). Selain disebabkan oleh endotoksin dapat
pula disebabkan oleh eksotoksin, jamur, virus, dan parasit yang berperan sebagai
superantigen.7
III.4 Patofisiologi
IL-1 dan TNF-α juga memiliki efek langsung pada permukaan endotel. Sebagai hasil
dari sitokin inflamasi ini, faktor jaringan, langkah pertama dalam jalur ekstrinsik koagulasi,
diekspresikan pada permukaan endotelium dan monosit. Faktor jaringan menyebabkan
produksi trombin, yang merupakan zat proinflamasi. Trombin menghasilkan gumpalan fibrin
dalam mikrovaskuler, sekuel yang paling mudah dikenali pada syok septik meningokokus
dengan purpura fulminans. Fibrinolisis juga terganggu selama proses septik. IL-1 dan TNF-α
menyebabkan produksi inhibitor aktivator plasminogen-1, penghambat potensial fibrinolisis.
Sitokin proinflamasi juga mengganggu modulator koagulasi dan inflamasi alami tubuh,
protein aktif C (APC) dan antitrombin. Protein C beredar sebagai zymogen yang tidak aktif
namun, dengan adanya trombin dan protein trombomodulin terikat permukaan endothelial,
diubah menjadi protein yang diaktifkan enzim C. Studi telah menunjukkan bahwa sitokin
proinflamasi dapat menurunkan trombomodulin dari permukaan endotel dan juga
downregulasi molekul ini. untuk mencegah aktifasi protein C.6 APC dan protein kofaktornya,
protein S menghentikan produksi thrombin dengan membagi faktor Va dan VIIIa. APC juga
mengembalikan potensi fibrinolitik dengan menghambat inhibitor aktivator plasminogen-1.7,8
Penelitian in vitro telah mengungkapkan bahwa APC memiliki sifat antiinflamasi langsung,
termasuk menghambat produksi sitokin proinflamasi oleh monosit yang dipicu oleh LPS,
menghambat adhesi leukosit dan rolling, dan menghambat akumulasi neutrofil.
Antitrombin adalah regulator endothelial alami kedua yang terkena selama sepsis.
Antitrombin menghambat produksi trombin pada beberapa tahap dalam kaskade koagulasi dan
juga dengan mengikat dan menghambat trombin secara langsung. Antitrombin, bila terikat
pada glikosaminoglikan permukaan sel endotel (GAG), menyebabkan produksi prostasiklin
anti-inflamasi (prostaglandin I2 [ PGI2]).8
Berdasarkan definisi sepsis pada 2016 sebagai disregulasi respon dari pejamu
sebenarnya tidak ada parameter klinis yang mencerminkan hal tersebut. Namun pada
konsensus 2001, penemuan pada pemeriksaan bedside dan hasil tes laboratorium rutin yang
mengindikasikan adanya inflamasi dan disfungsi organ. Kriteria klinis yang telah dievaluasi
dimana paling tepat sebagai identifikasi pasien-pasien yang memiliki sepsis, diantaranya skor
inflamasi (SIRS) atau disfungsi organ (penilaian SOFA, Logistic Organ Diysfunction System).
Skor
Sistem 0 1 2 3 4
Pernapasan
PaO2/FiO2 mmHg (kPa) ≥400 (53.3) <400 (53.3) <300 (40) <200 (26.7) <100 (13.3)
dengan suport dengan suport
pernapasan pernapasan
Koagulasi
Hati
Bilirubin, mg/dL (µmol/L) <1.2 (20) 1.2-1.9 20-5.9 (33-101) 6.0-11.9 (102- >12.0(204)
204)
Kardiovaskular MAP ≥ 70 mmHg MAP <70 Dopamine <5 atau Dopamine <5.1- Dopamine >15
dobutamin 15 atau epinefrin atau epinefrin
≤0.1 atau ≥0.1 atau
norepinefrin ≤0.1 norepinefrin
>0.1
Ginjal
Kreatinin, mg/dL (µmol/L) 1.2 (110) 1.2-1.9 (110- 2.0-3.4 (171-299) 3.5-4.9 (300-440) >5.0 (440)
170)
b c
Singkatan: FiO2, fraksi inspirasi oksigen; Dosis katekolamin diberikan Range Glasgow Coma Scale 3-15; skor
µg/kg/min selama 1 jam yang lebih besar mengindikasikan fungsi
MAP, mean arterial pressure; neurologis yang lebih baik
Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu demam,
takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipotensi pada kondisi
vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik atau “hangat”, dengan muka kemerahan dan
hangat yang menyeluruh serta peningkatan curah jantung) atau vasokonstriksi perifer (renjatan
septik hipodinamik atau “dingin” dengan anggota gerak yang biru atau putih dingin). Pada
pasien dengan manifestasi klinis ini dan gambaran pemeriksaan fisik yang konsisten dengan
infeksi, diagnosis mudah ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini.9
Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah kurangnya
beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini mungkin lebih sering ditemukan
dengan manifestasi hipotermia dibandingkan dengan hipertermia, leukopenia dibandingkan
leukositosis, dan pasien tidak dapat ditentukan skala takikardia yang dialaminya (seperti pada
pasien tua yang mendapatkan beta blocker atau antagonis kalsium) atau pasien ini
kemungkinan menderita takikardia yang berkaitan dengan penyebab yang lain (seperti pada
bayi yang gelisah). Pada pasien dengan usia yang ekstrim, setiap keluhan sistemik yang non-
spesifik dapat mengarahkan adanya sepsis, dan memberikan pertimbangan sekurangkurangnya
pemeriksaan skrining awal untuk infeksi, seperti foto toraks dan urinalisis.9
Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin berlanjut menjadi
gambaran sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama perjalanan tinggal di unit gawat
darurat, dengan permulaan hanya ditemukan perubahan samar-samar pada pemeriksaan.
Perubahan status mental seringkali merupakan tanda klinis pertama disfungsi organ, karena
perubahan status mental dapat dinilai tanpa pemeriksaan laboratorium, tetapi mudah
terlewatkan pada pasien tua, sangat muda, dan pasien dengan kemungkinan penyebab
perubahan tingkat kesadaran, seperti intoksikasi. Penurunan produksi urine
(≤0,5ml/kgBB/jam) merupakan tanda klinis yang lain yang mungkin terlihat sebelum hasil
pemeriksaan laboratorium didapatkan dan seharusnya digunakan sebagai tambahan
pertimbangan klinis.9
III.6 Diagnosis
Kultur darah positif atau apus gram dari buffy coat serum atau lesi petekia
menunjukkan mikroorganisme penyebab. Spesimen darah, urin, dan cairan serebrospinal
sebagaimana eksudat lain, abses dan lesi kulit yang terlihat harus dikultur dan dilakukan
pemeriksaan apus untuk menentukan organisme. Pemeriksaan hitung sel darah, hitung
trombosit, waktu protrombin dan tromboplastin parsial, kadar fibrinogen serta D-dimer,
analisis gas darah, profil ginjal dan hati, serta kalsium ion harus dilakukan. Anak yang
menderita harus dirawat di ruang rawat intensif yang mampu melakukan pemantauan secara
intensif serta kontinu diukur tekanan vena sentral, tekanan darah, dan curah jantung.10
Laboratorium
III.7 Penatalaksanaan
Early goal directed therapy berfokus pada optimalisasi pengiriman oksigen jaringan yang
diukur dengan saturasi oksigen vena, pH, atau kadar laktat arteri. Pendekatan ini telah
menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup dibandingkan dengan resusitasi cairan dan
pemeliharaan tekanan darah yang standar. Tujuan fisiologis selama 6 jam pertama resusitasi
sebagai berikut:11
1) Tekanan vena sentral (CVP) 8-12mmHg
2) Tekanan arterial rata-rata (MAP) ≥65mmHg
3) Saturasi oksigen vena sentral (SavO2) ≥70%
4) Urine output ≥0,5ml/kg/jam (menggunakan transfusi, agen inotropik, dan oksigen tambahan
dengan atau tanpa ventilasi mekanik).11
Skoring SOFA harus digunakan untuk menggambarkan respons pasien terhadap terapi
strategi dan memungkinkan klinis untuk memantau kemajuan harian dan memberikan evaluasi
obyektif mengenai respons pengobatan. Sebagai contoh, pengetahuan mengenai skor SOFA
pada beberapa waktu dapat memfasilitasi pembuatan keputusan terkait pemberian dukungan
organ. Pengetahuan bahwa skoring SOFA yang menurun dikaitkan dengan perbaikan hasil
akhir maka harus dilakukan terapi agresif, yang dapat menurunkan mortalitas. Penelitian lain
menunjukkan bahwa terjadinya kegagalan organ dapat timbul pada awal rawat intensif, dan
suatu sistem skoring yang memungkinkan pemantauan fungsi organ secara rutin sangat
diperlukan. Kecenderungan skor SOFA selama 48 jam pertama rawat intensif dapat
memberikan suatu sistem seperti di atas dan merupakan suatu indikator hasil akhir yang
sensitif, sebagaimana direfleksikan dengan fakta bahwa adanya penurunan nilai dikaitkan
dengan penurunan mortalitas dari 50% menjadi 27%.15
Menariknya, lama rawat tidak terkait dengan prediksi hasil akhir dan juga skor SOFA
rerata memberikan nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan dengan variabel turunan
SOFA lainnya. Hal ini oleh karena pasien dengan disfungsi organ terbatas dan lama rawat
intensif panjang tetap memiliki kemungkinan tinggi untuk bertahan hidup. Sebagai
kesimpulan, evaluasi skoring SOFA selama rawat ICU merupakan suatu indikator prognostik
yang baik (terutama skor SOFA rerata dan puncak). Nilai awal independen, peningkatan skor
SOFA selama 48 jam pertama rawat intensif dapat memprediksikan laju mortalitas sebesar
50%.16
Berikut adalah tata cara pengelolaan pasien secara terstruktur menurut Surviving Sepsis
Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock
201212
Rangkaian Penyelamatan Sepsis
*Target untuk resusitasi kuantitatif pada guideline yaitu CVP ≥ 8mmHg, Scvo2 ≥70%, dan
normalisasi laktat
Terapi
Strategi resusitasi untuk kasus-kasus sepsis berat atau syok sepsis telah diteliti secara
intensif dan menjalani perdebatan bertahun-tahun. Penelitian melibatkan strategi yang
ditujukan untuk mencapai target fisiologik supranormal pada pasien ICU sampai 72 jam rawat
inap, menunjukkan hasil negatif dan bahkan berbahaya untuk pasien. Meta-analisis untuk
penelitian resusitasi sepsis telah mengindikasikan bahwa intervensi dini, yang timbul sebelum
terjadinya disfungsi organ memberikan hasil yang lebih baik. Penelitian baru melibatkan
pasien gawat darurat dengan sepsis berat atau syok sepsis untuk membandingkan resusitasi
hemodinamik sampai parameter fisiologik dengan terapi dini berdasarkan target (EGDT-early
goal directed therapy) menunjukkan adanya reduksi mortalitas yang signifikan secara statistik
(16,5%). 2, 11
c) Pemantauan Hemodinamik
Optimalisasi hemodinamik dini memerlukan pemantauan tekanan vena sentral
(CVP), tekanan darah arterial dan SCVO2. Pemantauan tekanan intra-arterial
direkomendasikan, terutama untuk pasien-pasien dengan obat-obatan vasopresor, namun
dengan catatan bahwa obat-obatan vasopresor dapat menyebabkan tekanan arterial sentral
terlihat lebih rendah saat diukur dari arteri radialis. SCVO2 dapat diukur secara intermiten
dengan sampel gas vena yang diambil dari saluran distal kateter vena sentral standar atau
secara kontinyu dengan menggunakan kateter vena sentral serat optik. Meskipun pada
tangan ahli arteri pulmonar tetap merupakan tempat pengukuran yang efektif, bukti
keuntungan kesintasan dari penggunaannya masih harus dibuktikan. 2, 5
d) Terapi Volume
Target pertama EGDT pada kasus sepsis adalah pemulihan volume intravaskular
pasien. Terapi cairan intravena harus dimulai dengan bolus 500 cc secara cepat dan
berulang baik cairan kristaloid ataupun koloid sampai tercapai volume cairan resusitasi 20-
40 cc/kgBB, sehingga mencapai CVP 8-12 mmHg. Sampai beberapa saat yang lalu tidak
ada penelitian terkontrol atau tinjauan sistematik telah secara pasti menunjukkan adanya
keuntungan penggunaan koloid ataupun kristaloid pada pasien kritis. Namun demikian,
suatu studi acak terkontrol besar yang membandingkan antara 4% albumin dengan normal
salin pada 6997 pasien sakit kritis het
erogen dan membutuhkan resusitasi volume menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan
dalam mortalitas antar kelompok. Meskipun analisis subkelompok pada pasien dengan
sepsis berat menunjukkan adanya kecenderungan keuntungan mortalitas pada kelompok
yang menerima albumin, temuan ini untuk sementara harus dipandang sebagai sarana
pembentukan hipotesis: hasil ini memerlukan konfirmasi dengan penelitian acak terkontrol
pada pasien sepsis.12
e) Obat-obatan Vasoaktif
Setelah target CVP dicapai, obat-obatan vasopresor diberikan bila pasien tetap
hipotensif (tekanan arterial rerata <65mmHg). Target tekanan arterial rerata 65mmHg
telah ditunjukkan secara fisiologis ekuivalen dengan tekanan yang lebih tinggi. Obat-
obatan vasopresor termasuk dopamin (5-20 μg/kg/menit intravena), noradrenalin (2-
20μg/menit), fenilefrin (40-300μg/menit) dan vasopresin (0,01-0,04 unit/menit). Baik
noradrenalin dan dopamin telah disarankan sebagai obat-obatan vasopresor lini pertama
pada kasus-kasus sepsis. Oleh karena takikardia dapat dieksakserbasi oleh vasopresor β-
agonis, obat-obatan dengan α-agonis yang lebih kuat (seperti noradrenalin dan penilefrin)
dapat lebih dipilih pada pasien dengan takikardia atau penyakit koroner mendasar. 12, 14
Pada saat hipotensi tetap terjadi pada pasien yang telah mendapatkan obat-obatan
vasopresor, kekurangan vasopresin dapat dipertimbangkan; vasopresin sendiri merupakan
hormon yang diproduksi endogen dan sering mengalami kekurangan pada pasien dengan
syok sepsis. Pemberian vasopresin eksogen dalam dosis penggantian fisiologik (0,01-0,04
unit/menit) dapat beraksi sinergistik dengan obat vasopresor lainnya dan telah dikaitkan
dengan penarikan dini obat-obatan katekolamin lainnya. Dosis terapi saat ini dengan 0,01-
0,04 unit/menit dimaksudkan untuk merefleksikan dosis penggantian fisiologik. Dosis
tinggi 0,06-1,8 unit/emint (sebagaimana digunakan terdahulu) tidak direkomendasikan
pada konteks syok sepsis oleh karena adanya efek samping. 12, 14
Epinefrin (1-10μg/menit) dapat dipertimbangkan untuk pasien-pasien yang tidak
berespons terhadap vasopresor lainnya. Obat ini meningkatkan tekanan arterial rerata
dengan meningkatkan keluaran jantung dan volume pompa. Efek samping buruk yang
dikaitkan dengan obat-obatan vasopresor termasuk timbulnya hipoperfusi splanknik,
takikardia berlebih dan iskemia koroner. Bukti-bukti yang tersedia belum secara pasti
membuktikan satu obat vasopresor lebih superior dibandingkan lainnya pada keadaan
sepsis berat ataupun syok sepsis. Beberapa bukti definitif mengenai peranan vasopresin
dan efeknya pada hasil akhir diharapkan pada studi Vasopressin and Septic Shock Trial
(VASST). 12, 14
f) Pemberian Eritrosit
Apabila SCVO2 tetap dibawah 70% setelah optimalisasi preload, afterload dan
saturasi oksigen arterial, kapasitas pembawa oksigen pasien dapat ditingkatkan dengan
pemberian PRC untuk mencapai hematokrit di atas 30%. Meskipun studi-studi terkini
telah menunjukkan bahwa batasan transfusi yang lebih konservatif mungkin dapat
ditoleransi pada kelompok pasien kritis yang heterogen dan stabil secara klinis, hasil ini
tidak dapat diekstrapolasi kepada pasien sepsis akut dengan ketidakimbangan sediaan dan
permintaan. Pada fase resusitasi akut target hematokrit 30% nampaknya sesuai, dengan
strategi transfusi yang lebih restriktif dapat dilakukan pada fase konvalesens. 5, 12, 14
g) Terapi Inotropik
Sepsis dapat disertai dengan penekanan miokardial pada 10-15% pasien, dan
keadaan ini tidak terkait usia. Pada studi EGDT, pasien-pasien ini secara persisten
memiliki SCVO2 rendah setelah mencapai target CVP, tekanan arterial rerata dan
hematokrit. Beberapa pasien datang dengan CVP meningkat sebagai hasil dari penurunan
komplians ventrikular dan bukan kelebihan volume. Dukungan inotropik dengan
dobutamin dapat memperbaiki depresi miokardial, namun dapat juga memperlihatkan
adanya hipovolemia terselubung oleh karena cara kerjanya untuk meningkatkan
kontraktilitas dan menurunkan resistensi tekanan vaskular perifer. Seiring dengan respons
komplians dan kontraktilitas ventrikel, CVP akan turun seiring dengan perbaikan volume
pompa. Penggantian cairan lebih lanjut diperlukan untuk mempertahankan tekanan CVP
8-12 mmHg. Dobutamin kemudian dititrasi dengan peningkatan 2,5μg/kg/menit setiap 20-
30 menit untuk mencapai pengukuran SCVO2 70%. Klinisi harus berhati-hati untuk
menghindari takikardia (dengan mempertahankan laju jantung <100 kali/menit) untuk
mengoptimalkan volume pompa dan meminimalisasi konsumsi oksigen miokardial. 12, 14
Milrinon, suatu penghambat fosfodiesterase, dapat dipertimbangkan sebagai
alternatif untuk meningkatkan keluaran jantung. Sebagaimana dobutamin, obat ini adalah
inotropik yang juga menurunkan tekanan vaskular perifer. Meskipun demikian, waktu
paruhnya (2,4 jam) lebih panjang dibandingkan dobutamin dan mengalami akumulasi
pada gagal ginjal. 12, 14
h) Menurunkan Konsumsi Oksigen
Pada pasien sepsis berat, hantaran oksigen maksimal mungkin tidak dapat secara
adekuat mengembalikan keseimbangan antara sediaan dan permintaan. Strategi untuk
meminimalkan permintaan oksigen harus dipertimbangkan. Intubasi, sedasi dan analgesia
dengan ventilasi mekanis akan menurunkan baik kerja pernapasan dan konsumsi oksigen
oleh otot-otot pernapasan. Pengendalian demam dengan antipiretik seperti asetaminofen
juga akan membantu menurunkan konsumsi oksigen. 12, 14
i) Strategi Tambahan
Beberapa terapi tambahan yang dapat dilakukan pada 24 jam pertama setelah
identifikasi sepsis berat dan syok sepsis, baru-baru ini telah didemonstrasikan
memberikan keuntungan mortalitas. Implementasi awal terapi ini dapat memperbaiki
kesintasan pasien, oleh karena mereka dapat menunda beberapa jam bahkan sampai harian
untuk transfer ke ICU. 12, 14
j) Terapi Steroid
Pada respons neurohumoral terhadap syok sepsis, banyak pasien menunjukkan
cadangan adrenal inadekuat, atau adanya insufisiensi adrenal relatif (RAI-relative adrenal
insufficiency). Mekanisme RAI kompleks dan belum dipahami secara sempurna, namun
nampaknya disebabkan sebagian oleh kaskade inflamasi yang menyebabkan pelepasan
atau respons inadekuat terhadap adrenokortikotropin, dikombinasikan dengan resistensi
steroid perifer pada tingkatan reseptor. RAI harus dipertimbangkan secara klinis berbeda
dengan insufisiensi adrenal absolut, oleh karena RAI biasanya hilang seiring dengan
perbaikan syok sepsis. Pasien dengan RAI olehkarenanya tidak memerlukan terapi
penggantian steroid setelah perbaikan syok. 5, 12, 14
III.8 Komplikasi9
a) Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi respirasi akut
(acute respiratory distress syndrome) Milieu inflamasi dari sepsis menyebabkan kerusakan
terutama pada paru. Terbentuknya cairan inflamasi dalam alveoli mengganggu pertukaran gas,
mempermudah timbulnya kolaps paru, dan menurunkan komplian, dengan hasil akhir
gangguan fungsi respirasi dan hipoksemia. Komplikasi ALI/ ARDS timbul pada banyak kasus
sepsis atau sebagian besar kasus sepsis yang berat dan biasanya mudah terlihat pada foto
toraks, dalam bentuk opasitas paru bilateral yang konsisten dengan edema paru. Pasien yang
septik yang pada mulanya tidak memerlukan ventilasi mekanik selanjutnya mungkin
memerlukannya jika pasien mengalami ALI/ ARDS setelah resusitasi cairan.
c) Gagal jantung depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik, dengan
mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah kerja langsung molekul inflamasi
ketimbang penurunan perfusi arteri koronaria. Sepsis memberikan beban kerja jantung yang
berlebihan, yang dapat memicu sindroma koronaria akut (ACS) atau infark miokardium
(MCI), terutama pada pasien usia lanjut. Dengan demikian obat inotropic dan vasopressor
(yang paling sering menyebabkan takikardia) harus digunakan dengna berhati-hati bilamana
perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak dianjurkan. 9
f) Sindroma disfungsi multiorgan (MODS) disfungsi dua sistem organ atau lebih
sehingga intervensi diperlukan untuk mempertahankan homeostasis. 9
Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh infeksi atau
trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan fungsi jantung/paru pada
keadaan pneumonia yang berat.
Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons peradangan yang
menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau ARDS pada keadaan urosepsis.
III.9 Prognosis
Meskipun insidensi sepsis meningkat, angka mortalitas terus menerus menurun. Pada
studi sebelumnya pada studi cohort, mortality rate 24,4%. Usia dinyatakan sebagai faktor
resiko independen dengan angka mortalitas 27,7%. Pada usia diatas 65 tahun, dibandingkan
dengan 17,7% pada usia dibawah 65 tahun. Perbaikan angka survival pada sepsis bergantung
dengan fasilitas keperawatan yang didapatkan dari rumah sakit.8
DAFTAR PUSTAKA