Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

“PENURUNAN KESADARAN EC SEPSIS, PNEUMONIA,


ANEMIA EC HEMATEMESIS MELENA DISERTAI DM DAN ULKUS JARI KAKI
KE-2 KAKI KIRI”

Pembimbing:
dr. Sri Rachmawati, Sp.An-KIC, M.Kes

Disusun Oleh:
Iga Nuryanti
1810221036

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR MINGGU
JAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

“PENURUNAN KESADARAN EC SEPSIS, ANEMIA EC HEMATEMESIS MELENA


DISERTAI PNEUMONIA, DM DAN ULKUS JARI KAKI KE-2 KAKI KIRI”

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Anestesiologi
dan Terapi Intensif Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal: Oktober 2019

Dokter Pembimbing

dr. Sri Rachmawati, Sp.An-KIC, M.Kes


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul “Penurunan
Kesadaran ec Sepsis, Anemia ec Hematemesis Melena disertai Pneumonia, DM dan Ulkus Jari
Kaki Ke-2 Kaki Kiri”. Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit Umum
Daerah Pasar Minggu Jakarta Selatan.
Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Sri Rachmawati, Sp.An-KIC, M.Kes selaku pembimbing selama penyusunan tugas
ini.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri, pembaca maupun
bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Jakarta, Oktober 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan
oleh kelainan regulasi respon host terhadap infeksi. Disfungsi organ dinyatakan sebagai
perubahan akut pada total skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) >2 poin
sebagai konsekuensi dari infeksi. Nilai SOFA dapat dianggap nol pada pasien yang tidak
diketahui memiliki disfungsi organ. Sementara skor SOFA >2 dihubungkan dengan risiko
kematian kurang lebih 10% pada populasi di rumah sakit umum dengan kecurigaan
adanya infeksi.1
Pada konsensus tahun 19912 dinyatakan bahwa sepsis merupakan respon inflamasi
sistemik (SIRS) terhadap infeksi. Sepsis yang diikuti dengan komplikasi disfungsi organ
disebut sepsis berat (severe sepsis). Sepsis berat dapat berkembang menjadi syok sepsis,
yaitu hipotensi yang menetap yang disebabkan oleh sepsis meskipun telah mendapat
resusitasi cairan adekuat.2 Sebuah kelompok kerja tahun 2001 menyadari keterbatasan pada
definisi ini dan mengembangkan sejumlah kriteria diagnostik pada sepsis namun tidak
berhasil memberikan alternatif lain karena sedikitnya bukti penunjang.3 Akibatnya definisi
sepsis, syok sepsis dan disfungsi organ tidak banyak berubah selama 2 dekade. Namun pada
konsensus tahun 20151 telah diperbarui definisi sepsis dan syok sepsis dan Surviving Sepsis
Campaign telah memperbarui diagnosis dan tata laksana sepsis dan syok sepsis pada tahun
2016.1
BAB II
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 70 tahun
Alamat : Jakarta Selatan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status pernikahan : Menikah

II. Riwayat Penyakit Sekarang (Alloanamnesis)


Dilakukan anamnesis hari Rabu 09/10/2019 (Hari perawatan-4)
Keluhan Utama: Penurunan Kesadaran
Berdasarkan keterangan dari anak kandung pasien, 3 hari yang lalu pasien datang ke
IGD dengan keluhan muntah berwarna kehitaman sejak 3 hari yang lalu. Awalnya hanya 1 x
sehari namun saat kejadian, pasien muntah kehitaman dengan frekuensi 3xsehari sebanyak ½
gelas setiap kali muntah. Sejak 5 hari yang lalu pasien juga mengeluhkan adanya BAB
berwarna hitam seperti aspal, Frekuensi 3x sehari, konsistensi lunak. Sejak 1 minggu yang lalu
pasien juga mengalami demam yang hilang timbul. Suhu tubuh tidak diukur oleh keluarga
pasien. Demam hilang saat diberikan paracetamol dan timbul kembali setelah 6 jam meminum
paracetamol. Pasien mengaku akhir-akhir ini merasa sangat lemas.
Pasien juga memiliki luka di jari kaki ke-2 bagian kaki kiri akibat terbentur meja 1
bulan yang lalu. Hingga saat ini, luka belum sembuh dan luka semakin terlihat dalam. Luka
dibersihkan setiap hari oleh keluarga pasien menggunakan air hangat dan alcohol dan
dibungkus dengan verban. Luka saat ini masih berdarah, terasa nyeri saat berjalan namun tidak
bernanah.
Di IGD pasien dipasang infus, diberi obat obatan melalui infus dan dipasang selang
lambung, dan dipindahkan ke ruang rawat inap. Pasien dirawat selama 2 hari di ruang rawat
inap. Pada hari perawatan pertama di ruang rawat inap, pasien sudah tidak mengeluh muntah
darah, dan tidak demam, namun masih terdapat keluhan BAB hitam. Pasien juga mengeluh
sering batuk berdahak, dahak berwarna kekuningan.
Pada hari perawatan kedua, batuk berdahak terlihat semakin sering. Pasien juga
tampak sesak napas dan napas terasa berat. Sesak dirasakan hilang timbul namun tidak
dipengaruhi posisi duduk atau tidur. Sesak timbul jika pasien sulit mengeluarkan dahaknya
dan hilang setelah di uap. Terkadang pasien juga terdengar berbicara mengacau dan
memngigau. Beberapa jam kemudian, pasien mendadak tidak sadarkan diri, wajahnya terlihat
pucat dan tangan dan kaki pasien teraba dingin. Lalu pasien dipindahkan ke ruang ICU oleh
dokter dan dipasang alat bantu napas berupa intubasi karena pasien membutuhkan alat bantu
napas.
Pada hari perawatan ketiga, pasien belum sadarkan diri, demam disangkal, BAB masih
berwarna kehitaman dan napas terdengar grok-grok. Pada hari perawatan keempat, keluhan
masih serupa dengan hari sebelumnya.

Riwayat Penyakit Dahulu:


 Riwayat Penyakit Serupa disangkal
 Diabetes Melitus tipe 2, sejak 10 tahun yang lalu, tidak terkontrol
 Hipertensi disangkal
 Riwayat Penyakit Jantung disangkal
 Riwayat Penyakit Paru disangkal
 Asma disangkal
 Alergi disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga:


 DM (+) tipe 2
 Hipertensi (-)

Riwayat Sosial Ekonomi:


 Ibu rumah tangga
 Akses berobat dengan BPJS
III.Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Tampak sakit berat
b. Kesadaran : Sopor (E1M2Vett)
c. Vital sign
1) Tekanan Darah : 150/100 (89) mmHg on Raivas 0,05 mcg/24jam
2) Nadi : 120x/menit
3) RR : 30 x/menit on Venti
4) Suhu : 36,8 oC (Paracetamol)
5) Sp02 : 100% on Venti
d. Status Generalis
1) Kepala
Bentuk : normocephal, simetris
Rambut : warna putih, tidak mudah dicabut
2) Mata
Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
Konjungtiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
Pupil : reflek cahaya langsung (+/+)
reflek cahaya tidak langsung (+/+), isokor Ø 3 mm
3) Telinga
Otore (-/-)
Deformitas (-/-)
Nyeri tekan (-/-)
Discharge (-/-)
4) Hidung
Napas cuping hidung (-)
Deformitas (-/-)
Discharge (-/-)
Rinorhea (-/-)
5) Mulut
Terpasang ETT
Bibir sianosis (-)
Bibir kering (-)
Lidah kotor (-)
Gusi berdarah (-)
6) Leher
Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
Kelenjar thyroid : tidak membesar
JVP : nampak, tidak kuat angkat
7) Dada :
a) Paru
Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (+)
Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri anterior
vocal fremitus kanan = kiri posterior
Perkusi : Sonor pada lapang paru kiri dan kanan anterior.
Sonor pada lapang paru kiri dan kanan posterior.
Batas paru – hepar di SIC V LMCD
Auskultasi : vesikuler (+/+), wheezing (-/-)
Ronki basah kasar (+/+), ronki basah halus (-/-)
b) Jantung
Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V 2 jari medial LMCS
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMCS, tidak kuat
angkat
Perkusi : Batas jantung kanan atas :SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas :SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah :SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah :SIC V 2 jari medial
LMCS
Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
8) Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi :timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-), nyeri ketok
costovertebrae (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), undulasi (-)
Hepar/Lien : tidak teraba perbesaran
9) Ekstrimitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas
Superior Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -
Reflek + + + +
fisiologis
Reflek patologis - - - -

e) Status Neurologis
1. Tanda Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : (-) Laseque : >70 / >70
Brudzinski I : (-) Kernig : >135 / >135
Brudzinski II : (-) / (-)
2. Nervus Kranialis : tidak dilakukan
3. Motorik
 Trofi otot
o Lengan: eutrofi/eutrofi
o Tungkai: eutrofi/eutrofi
 Derajat kekuatan otot:

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


RO Thorax AP (08 September 2019)
 Tracheal dengan ujung tip setinggi CVT2 proyeksi diatas carina
 Jantung kesan tidak membesar
 Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
 Trakhea di garis tengah
 Kedua hilus tidak menebal
 Tampak infiltrate pada lapangan atas – bawah paru kanan – kiri
 Lengkung diafragma regular
 Sinus costofrenikus lancip
Kesan :
Bronkopneumonia

Laboratorium (09/09/2019)
AGD
pH : 7.45 (H)
pCO2 : 18.8 mmHg
pO2 : 138.6 (H)
HCO3 : 13.1 (L)
SO2 : 99.3%
BE : -7,7
TCO2 : 13.7 (L)

Darah Lengkap (09/09/2019)


Hb : 10,0 gr/dl (L) Normal : 11.7 – 15.5 gr/dl
Hematokrit : 28% (L) Normal : 35% - 47%
Leukosit : 36.8 x 10^3 /ul (H) Normal : 3.6 – 11 x 10^3 ul
Trombosit : 466.000/ul (L) Normal: 150.000 - 440.000/ul
Eritrosit : 3.41 juta/ul Normal : 3.80 – 5.20 juta/ul
MCV : 83 Normal : 80 - 100 fL
MCH : 29 pg (L) Normal : 26 - 34 pg
MCHC : 35 gr/dl (L) Normal : 32 – 36 gr/dl
Basofil : 0.0 Normal: 0.0 – 1.0 %
Eosinofil : 1.0 (L) Normal: 2.0 – 4.0
Neutrofil Batang : 4.0 Normal: 3.0 – 5.0
Segmen : 85.0 (H) Normal: 50.0 – 70.0
Limfosit : 6.0 (L) Normal: 25.0 – 40.0
Monosit : 4.0 Normal: 2.0 – 8.0
LED : 140 (H) Normal: 0 – 20

SGOT : 13 Normal : <35


SGPT : 16 Normal : <35
GDS : 185 Normal: 70 – 180
Ureum : 92 (H) Normal: <48
Kreatinin : 2.58 (H) Normal: 0.70 – 1.30

Elektrolit
Na : 143 mEq/L Normal : 135 – 147 mEq/L
Kalium : 5.50 mEq/L (H) Normal : 3.5 – 5 mEq/L
Cl : 110 mEq/L (H) Normal : 95 – 105 mEq/L

V. DIAGNOSIS
 Penurunan kesadaran ec sepsis
 Pneumonia
 Anemia ec hematemesis melena
 DM tipe 2
 Ulkus jari kaki ke-2 kaki kiri

VI. PENATALAKSANAAN
 NS 3% infus 500ml/24jam
 Raivas 0,05 mg/KgBB/24jam
 Injeksi ceftriaxone 1x 2gr
 Injeksi omeprazole 2x40mg
 Injeksi ondancentron 2x4mg
 Injeksi asam traneksamat 3x500mg
 PO Sucralfat 3x1 cth
 PO Meformin 3x500 mg
 PO Simvastatin 1x20 mg
 PO Nitrokaf 2x2,5 mg
 PO Diazepam1x2 mg
 Nebu ventolin 3x/hari
 Nebu pulmicort 2x/hari
 O2 via venti dengan mode PC -> SIMV PC/PS SIMV 14 PC/PS 10 PEEP 8 FiO2 50%

VII. PROGNOSIS
- Ad vitam : Dubia ad malam
- Ad sanationum : Dubia ad malam
- Ad fungsionum : Dubia ad malam
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Definisi

Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan
oleh kelainan regulasi respon host terhadap infeksi. Disfungsi organ dinyatakan sebagai
perubahan akut pada total skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) >2 poin
sebagai konsekuensi dari infeksi. Nilai SOFA dapat dianggap nol pada pasien yang tidak
diketahui memiliki disfungsi organ. Sementara skor SOFA >2 dihubungkan dengan risiko
kematian kurang lebih 10% pada populasi di rumah sakit umum dengan kecurigaan adanya

infeksi.3

Konsensus tahun 1991 mendefinisikan bahwa sepsis merupakan respon inflamasi


sistemik (SIRS) terhadap infeksi. Krtiteria dari SIRS dilihat dari suhu tubuh yang lebih dari
38°C atau kurang dari 36°C, takikardi (HR> 90x/menit), asidosis metabolik , biasanya disertai
dengan alkalosis respiratorik terkompensasi (PCO2 <32 mmHg) dan takipneu (RR>
20x/menit), dan peningkatan atau penurunan jumlah sel darah putih (>12.000 sel/uL atau
<4000 sel/uL). Dua dari empat kriteria tersebut mengindikasikan SIRS. Sepsis diandai dengan
kriteria SIRS yang disertai dengan infeksi yang telah terbukti, sedangkan sepsis berat ditandai
dengan sepsis dengan disfungsi organ, kemudian syok sepsis merupakan sepsis dengan syok
hipovolemi meskipun dengan resusitasi cairan yang adekuat.3
SIRS dalam definisi sepsis terdahulu dianggap tidak dapat dijadikan dasar diagnosis
karena respon inflamasi tersebut bisa hanya menggambarkan respon host yang normal dan
adaptif. Bahkan pasien dengan disfungsi organ ringan kondisinya dapat memburuk lebih
jauh, menandakan bahwa sepsis merupakan suatu kondisi yang serius dan membutuhkan
intervensi yang cepat dan tepat.
Pada tahun 2001, sebuah konferensi mengembangkan konsep sistem penderajatan
untuk sepsis berdasarkan empat karakteristik terpisah yang disebut sebagai PIRO. Huruf P
mewakili predisposisi, mengindikasikan kondisi-kondisi ko-morbid yang akan menurunkan
kesintasan. Huruf I mewakili infeksi, yang merefleksikan pengetahuan klinis bahwa beberapa
organisme patogen lebih letal dibandingkan yang lainnya. Huruf R mewakili respons terhadap
adanya infeksi, termasuk timbulnya SIRS. Huruf terakhir yakni O mewakili disfungsi organ
dan termasuk kegagalan organ, termasuk kegagalan sistem seperti sistem koagulasi.5

Tabel 1. Kriteria Sepsis PIRO 2001 berdasarkan konsensus SCCMA/ACCP/ATS/ESCIM/SIS.3

Pada konsensus tahun 2016 Sepsis merupakan disfungsi organ yang mengancam nyawa
yang disebabkan oleh disregulasi respon host terhadap infeksi. Disfungsi organ dinyatakan
sebagai perubahan akut pada total skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) >2
poin sebagai konsekuensi dari infeksi. Nilai SOFA dapat dianggap nol pada pasien yang
tidak diketahui memiliki disfungsi organ. Sementara skor SOFA >2 dihubungkan dengan
risiko kematian kurang lebih 10% pada populasi di rumah sakit umum dengan kecurigaan

adanya infeksi.3
Tabel 2. SOFA SCORE5
Syok sepsis didefinisikan sebagai kondisi lanjut dari sepsis dimana abnormalitas
metabolisme seluler dan sirkulatorik yang menyertai pasien cukup berat sehingga dapat
meningkatkan mortalitas. Pasien dengan syok sepsis dapat diidentifikasi berdasarkan
adanya sepsis yang disertai hipotensi persisten yang membutuhkan vasopresor untuk
menjaga agar MAP >65 mmHg dan kadar laktat serum >2 mmol/L (18 mg/dL) walaupun
telah diberi resusitasi yang adekuat.1

Definisi dan Istilah Sepsis Tebaru

 Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh
disregulasi respons pejamu terhadap infeksi.
 Disfungsi organ dapat diidentifikasi sebagai perubahan akut pada skor SOFA total ≥2 poin
akibat infeksi.
o Baseline skor SOFA dapat diasumsikan nol pada pasien yang tidak diketahui
memiliki disfungsi organ yang sudah ada sebelumnya.
o Skor ASOFA ≥2 mencerminkan keseluruhan risiko kematian sekitar 10% pada
populasi rumah sakit umum dengan infeksi yang dicurigai. Bahkan pasien yang
mengalami disfungsi sederhana dapat memburuk, menekankan keseriusan kondisi
ini dan kebutuhan akan intervensi segera dan tepat, jika belum dilembagakan.

 Dalam istilah awam, sepsis adalah kondisi yang mengancam jiwa yang muncul saat respons
tubuh terhadap infeksi melukai jaringan dan organ tubuh sendiri.
 Pasien dengan infeksi yang dicurigai yang kemungkinan tinggal di ICU lama atau
meninggal di rumah sakit dapat diidentifikasi segera di samping tempat tidur dengan
qSOFA, yaitu perubahan status mental, tekanan darah sistolik ≥100 mmHg, atau tingkat
pernapasan ≥22 / min.
 Syok septik adalah subset dari sepsis dimana kelainan peredaran darah dan seluler /
metabolik cukup besar untuk meningkatkan angka kematian secara substansial.
 Pasien dengan syok septik dapat diidentifikasi dengan konstruk klinis sepsis dengan
hipotensi bertahan yang memerlukan vasopressor untuk mempertahankan MAP ≥65 mmHg
dan memiliki tingkat laktat serum> 2 mmol / L (18mg / dL) meskipun ada resusitasi volume
yang adekuat. Dengan kriteria ini, angka kematian di rumah sakit lebih dari 40%.

Singkatan: MAP, mean arterial pressure; qSOFA, quick SOFA; SOFA: Sequential [Sepsis-
related] Organ Failure Assessment.

Gambar 1. Definisi sepsis menurut The Third International Consensus Definitions for
Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3).4
III.2 Epidemiologi

Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian di Amerika Serikat
dan penyebab utama kematian di ICU dan saat ini insidensinya terus meningkat di negara

maju.5 Kejadian sepsis meningkat hampir empat kali lipat dari tahun 1979-2000, menjadi

sekitar 660.000 kasus (240 kasus per 100.000 penduduk) sepsis atau syok septik per tahun di
Amerika Serikat.5

Angka kejadian sepsis tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin tetapi dipengaruhi oleh
usia dan penyakit yang mendasarinya. Angka mortalitas seiring dengan meningkatnya usia
meningkat tajam, insiden sepsis meningkat tajam di usia dewasa-tua yaitu usia <65 tahun
dengan 17,7%, dan usia >65 tahun dengan 27,7%. Seiring bertambahnya usia maka sistem
imun juga semakin menurun sehingga infeksi atau keadaan sepsis lebih mudah terjadi.6

III.3 Etiologi

Sepsis dapat disebabkan oeh infeksi bakteri Gram negatif 70% (Pseudomonas
aeruginosa, Klebsiella, Enterobacter, E. Colli, Proteus, Neisseria) yang menghasilkan
berbagai produk yang menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu mengeluarkan
mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida
(LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan kompleks utama membran
terluar dari bakteri gram negatif. Infeksi bakteri Gram positif 20-40% (Staphyllococcus
aureus, Streptococcus, Pneumococcus), infeksi jamur dan virus 2- 3% (dengue haemorrhagic
fever, herpes viruses), protozoa (malaria falciparum). Selain disebabkan oleh endotoksin dapat
pula disebabkan oleh eksotoksin, jamur, virus, dan parasit yang berperan sebagai
superantigen.7
III.4 Patofisiologi

III.4.1 Kaskade Inflamasi

Bakteri merupakan patogen yang sering dikaitkan dengan perkembangan sepsis.


Patofisiologi sepsis dapat dimulai oleh komponen membran luar organisme gram negatif
(misalnya, lipopolisakarida, lipid A, endotoksin) atau organisme gram positif (misalnya, asam
lipote choic, peptidoglikan), serta jamur, virus, dan komponen parasit.

Gambar 3. Patofisiologi Sepsis.8

Umumnya, respons imun terhadap infeksi mengoptimalkan kemampuan sel-sel imun


(eutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk meninggalkan sirkulasi dan memasuki tempat
infeksi. Signal oleh mediator ini terjadi melalui sebuah reseptor trans-membran yang dikenal
sebagai Toll-like receptors. Dalam monosit, nuclear factor-kB (NF-kB) diaktifkan, yang
mengarah pada produksi sitokin pro-inflamasi, tumor necrosis factor α (TNF-α), dan
interleukin 1 (IL-1). TNF-α dan IL-1 memacu produksi toxic downstream mediators, termasuk
prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor, dan fosfolipase A2. Mediator ini merusak
lapisan endotel, yang menyebabkan peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu, sitokin ini
menyebabkan produksi molekul adhesi pada sel endotel dan neutrofil. Interaksi endotel
neutrofilik menyebabkan cedera endotel lebih lanjut melalui pelepasan komponen neutrofil.
Akhirnya, neutrofil teraktivasi melepaskan oksida nitrat (NO), vasodilator kuat. Dengan
demikian memungkinkan neutrofil dan cairan mengalami ekstravasasi ke dalam ruang
ekstravaskular yang terinfeksi yang mengarah ke syok septik.8
III.4.2 Hubungan antara inflamasi dan koagulasi

IL-1 dan TNF-α juga memiliki efek langsung pada permukaan endotel. Sebagai hasil
dari sitokin inflamasi ini, faktor jaringan, langkah pertama dalam jalur ekstrinsik koagulasi,
diekspresikan pada permukaan endotelium dan monosit. Faktor jaringan menyebabkan
produksi trombin, yang merupakan zat proinflamasi. Trombin menghasilkan gumpalan fibrin
dalam mikrovaskuler, sekuel yang paling mudah dikenali pada syok septik meningokokus
dengan purpura fulminans. Fibrinolisis juga terganggu selama proses septik. IL-1 dan TNF-α
menyebabkan produksi inhibitor aktivator plasminogen-1, penghambat potensial fibrinolisis.

Sitokin proinflamasi juga mengganggu modulator koagulasi dan inflamasi alami tubuh,
protein aktif C (APC) dan antitrombin. Protein C beredar sebagai zymogen yang tidak aktif
namun, dengan adanya trombin dan protein trombomodulin terikat permukaan endothelial,
diubah menjadi protein yang diaktifkan enzim C. Studi telah menunjukkan bahwa sitokin
proinflamasi dapat menurunkan trombomodulin dari permukaan endotel dan juga
downregulasi molekul ini. untuk mencegah aktifasi protein C.6 APC dan protein kofaktornya,
protein S menghentikan produksi thrombin dengan membagi faktor Va dan VIIIa. APC juga
mengembalikan potensi fibrinolitik dengan menghambat inhibitor aktivator plasminogen-1.7,8
Penelitian in vitro telah mengungkapkan bahwa APC memiliki sifat antiinflamasi langsung,
termasuk menghambat produksi sitokin proinflamasi oleh monosit yang dipicu oleh LPS,
menghambat adhesi leukosit dan rolling, dan menghambat akumulasi neutrofil.

Antitrombin adalah regulator endothelial alami kedua yang terkena selama sepsis.
Antitrombin menghambat produksi trombin pada beberapa tahap dalam kaskade koagulasi dan
juga dengan mengikat dan menghambat trombin secara langsung. Antitrombin, bila terikat
pada glikosaminoglikan permukaan sel endotel (GAG), menyebabkan produksi prostasiklin
anti-inflamasi (prostaglandin I2 [ PGI2]).8

III.5 Manifestasi/ Gejala Klinik

Berdasarkan definisi sepsis pada 2016 sebagai disregulasi respon dari pejamu
sebenarnya tidak ada parameter klinis yang mencerminkan hal tersebut. Namun pada
konsensus 2001, penemuan pada pemeriksaan bedside dan hasil tes laboratorium rutin yang
mengindikasikan adanya inflamasi dan disfungsi organ. Kriteria klinis yang telah dievaluasi
dimana paling tepat sebagai identifikasi pasien-pasien yang memiliki sepsis, diantaranya skor
inflamasi (SIRS) atau disfungsi organ (penilaian SOFA, Logistic Organ Diysfunction System).

Tabel 2. Skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA).4

Skor

Sistem 0 1 2 3 4
Pernapasan

PaO2/FiO2 mmHg (kPa) ≥400 (53.3) <400 (53.3) <300 (40) <200 (26.7) <100 (13.3)
dengan suport dengan suport
pernapasan pernapasan

Koagulasi

Platelet, 10x3 /µL ≥150 <150 <100 <50 <20

Hati

Bilirubin, mg/dL (µmol/L) <1.2 (20) 1.2-1.9 20-5.9 (33-101) 6.0-11.9 (102- >12.0(204)
204)

Kardiovaskular MAP ≥ 70 mmHg MAP <70 Dopamine <5 atau Dopamine <5.1- Dopamine >15
dobutamin 15 atau epinefrin atau epinefrin
≤0.1 atau ≥0.1 atau
norepinefrin ≤0.1 norepinefrin
>0.1

Sistem Saraf Pusat

Glasgow Coma Scale 15 13-14 10-12 6-9 <6

Ginjal

Kreatinin, mg/dL (µmol/L) 1.2 (110) 1.2-1.9 (110- 2.0-3.4 (171-299) 3.5-4.9 (300-440) >5.0 (440)
170)

Keluaran Urin, mL/d <500 <200

b c
Singkatan: FiO2, fraksi inspirasi oksigen; Dosis katekolamin diberikan Range Glasgow Coma Scale 3-15; skor
µg/kg/min selama 1 jam yang lebih besar mengindikasikan fungsi
MAP, mean arterial pressure; neurologis yang lebih baik

PaO2, partial pressure of oxygen

Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu demam,
takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipotensi pada kondisi
vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik atau “hangat”, dengan muka kemerahan dan
hangat yang menyeluruh serta peningkatan curah jantung) atau vasokonstriksi perifer (renjatan
septik hipodinamik atau “dingin” dengan anggota gerak yang biru atau putih dingin). Pada
pasien dengan manifestasi klinis ini dan gambaran pemeriksaan fisik yang konsisten dengan
infeksi, diagnosis mudah ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini.9

Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah kurangnya
beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini mungkin lebih sering ditemukan
dengan manifestasi hipotermia dibandingkan dengan hipertermia, leukopenia dibandingkan
leukositosis, dan pasien tidak dapat ditentukan skala takikardia yang dialaminya (seperti pada
pasien tua yang mendapatkan beta blocker atau antagonis kalsium) atau pasien ini
kemungkinan menderita takikardia yang berkaitan dengan penyebab yang lain (seperti pada
bayi yang gelisah). Pada pasien dengan usia yang ekstrim, setiap keluhan sistemik yang non-
spesifik dapat mengarahkan adanya sepsis, dan memberikan pertimbangan sekurangkurangnya
pemeriksaan skrining awal untuk infeksi, seperti foto toraks dan urinalisis.9

Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin berlanjut menjadi
gambaran sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama perjalanan tinggal di unit gawat
darurat, dengan permulaan hanya ditemukan perubahan samar-samar pada pemeriksaan.
Perubahan status mental seringkali merupakan tanda klinis pertama disfungsi organ, karena
perubahan status mental dapat dinilai tanpa pemeriksaan laboratorium, tetapi mudah
terlewatkan pada pasien tua, sangat muda, dan pasien dengan kemungkinan penyebab
perubahan tingkat kesadaran, seperti intoksikasi. Penurunan produksi urine
(≤0,5ml/kgBB/jam) merupakan tanda klinis yang lain yang mungkin terlihat sebelum hasil
pemeriksaan laboratorium didapatkan dan seharusnya digunakan sebagai tambahan
pertimbangan klinis.9

III.6 Diagnosis

Kultur darah positif atau apus gram dari buffy coat serum atau lesi petekia
menunjukkan mikroorganisme penyebab. Spesimen darah, urin, dan cairan serebrospinal
sebagaimana eksudat lain, abses dan lesi kulit yang terlihat harus dikultur dan dilakukan
pemeriksaan apus untuk menentukan organisme. Pemeriksaan hitung sel darah, hitung
trombosit, waktu protrombin dan tromboplastin parsial, kadar fibrinogen serta D-dimer,
analisis gas darah, profil ginjal dan hati, serta kalsium ion harus dilakukan. Anak yang
menderita harus dirawat di ruang rawat intensif yang mampu melakukan pemantauan secara
intensif serta kontinu diukur tekanan vena sentral, tekanan darah, dan curah jantung.10

Tanda-tanda klinis yang dapat menyebabkan dokter untuk mempertimbangkan sepsis


dalam diagnosis diferensial, yaitu demam atau hipotermia, takikardi yang tidak jelas, takipnea
yang tidak jelas, tandatanda vasodilatasi perifer, shock dan perubahan status mental yang tidak
dapat dijelaskan. Pengukuran hemodinamik yang menunjukkan syok septik, yaitu curah
jantung meningkat, dengan resistensi vaskuler sistemik yang rendah. Abnormalitas hitung
darah lengkap, hasil uji laboratorium, faktor pembekuan, dan reaktan fase akut mungkin
mengindikasikan sepsis.8

Laboratorium

Hasil laboratorium sering ditemukan asidosis metabolik, trombositopenia,


pemanjangan waktu prothrombin dan tromboplastin parsial, penurunan kadar fibrinogen serum
dan peningkatan produk fibrin split, anemia, penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2, serta
perubahan morfologi dan jumlah neutrofil. Peningkatan neutrofil serta peningkatan leukosit
imatur, vakuolasi neutrofil, granular toksik, dan badan Dohle cenderung menandakan infeksi
bakteri. Neutropenia merupakan tanda kurang baik yang menandakan perburukan sepsis.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan neutrofil dan bakteri. Pada stadium awal
meningitis, bakteri dapat dideteksi dalam cairan serebrospinal sebelum terjadi suatu respons
inflamasi.8
Tabel 4. Indikator Laboratorium untuk sepsis.8

III.7 Penatalaksanaan

Early Goal Directed Therapy (EGDT)

Early goal directed therapy berfokus pada optimalisasi pengiriman oksigen jaringan yang
diukur dengan saturasi oksigen vena, pH, atau kadar laktat arteri. Pendekatan ini telah
menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup dibandingkan dengan resusitasi cairan dan
pemeliharaan tekanan darah yang standar. Tujuan fisiologis selama 6 jam pertama resusitasi
sebagai berikut:11
1) Tekanan vena sentral (CVP) 8-12mmHg
2) Tekanan arterial rata-rata (MAP) ≥65mmHg
3) Saturasi oksigen vena sentral (SavO2) ≥70%
4) Urine output ≥0,5ml/kg/jam (menggunakan transfusi, agen inotropik, dan oksigen tambahan
dengan atau tanpa ventilasi mekanik).11

Surviving Sepsis Campaign Care Bundles

Skoring SOFA harus digunakan untuk menggambarkan respons pasien terhadap terapi
strategi dan memungkinkan klinis untuk memantau kemajuan harian dan memberikan evaluasi
obyektif mengenai respons pengobatan. Sebagai contoh, pengetahuan mengenai skor SOFA
pada beberapa waktu dapat memfasilitasi pembuatan keputusan terkait pemberian dukungan
organ. Pengetahuan bahwa skoring SOFA yang menurun dikaitkan dengan perbaikan hasil
akhir maka harus dilakukan terapi agresif, yang dapat menurunkan mortalitas. Penelitian lain
menunjukkan bahwa terjadinya kegagalan organ dapat timbul pada awal rawat intensif, dan
suatu sistem skoring yang memungkinkan pemantauan fungsi organ secara rutin sangat
diperlukan. Kecenderungan skor SOFA selama 48 jam pertama rawat intensif dapat
memberikan suatu sistem seperti di atas dan merupakan suatu indikator hasil akhir yang
sensitif, sebagaimana direfleksikan dengan fakta bahwa adanya penurunan nilai dikaitkan
dengan penurunan mortalitas dari 50% menjadi 27%.15

Menariknya, lama rawat tidak terkait dengan prediksi hasil akhir dan juga skor SOFA
rerata memberikan nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan dengan variabel turunan
SOFA lainnya. Hal ini oleh karena pasien dengan disfungsi organ terbatas dan lama rawat
intensif panjang tetap memiliki kemungkinan tinggi untuk bertahan hidup. Sebagai
kesimpulan, evaluasi skoring SOFA selama rawat ICU merupakan suatu indikator prognostik
yang baik (terutama skor SOFA rerata dan puncak). Nilai awal independen, peningkatan skor
SOFA selama 48 jam pertama rawat intensif dapat memprediksikan laju mortalitas sebesar
50%.16

Berikut adalah tata cara pengelolaan pasien secara terstruktur menurut Surviving Sepsis
Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock
201212
Rangkaian Penyelamatan Sepsis

Harus dituntaskan dalam waktu 3 jam:

1) Mengukur kadar laktat


2) Memperoleh kultur darah untuk menentukan antibiotik
3) Memberikan antibiotik spektrum luas
4) Memberikan 30 mL/kg kristaloid untuk hipotensi atau laktat ≥4 mmol/L

Harus dituntaskan dalam waktu 6 jam:

5) Memberikan vassopressor (untuk hipotensi yang tida respon terhadap resusitasi


cairan sebelumnya
6) Bila terjadi hipotensi arteri persisten meskipun sudah dilakukan resusitasi (syok
septik) atau laktat awal mencapai ≥4mmol/L (36 mg/dL)
 Ukur central venous pressure (CVP)*
 Ukur central venous oxygen saturation (Scvo2)*
7) Ukur ulang kadar laktat jika laktat awal meningkat

*Target untuk resusitasi kuantitatif pada guideline yaitu CVP ≥ 8mmHg, Scvo2 ≥70%, dan
normalisasi laktat

Gambar 4. Tata cara pengelolaan pasien dengan sepsis12

Terapi

a) Terapi Antimikrobial Dini


Hubungan antara terapi antimikrobial yang tepat waktu dan sesuai dengan perbaikan
morbiditas dan mortalitas telah banyak dibuktikan dalam keadaan rawat intensif.
Penelitian observasional menunjukkan adanya penurunan mortalitas signifikan pada saat
antibiotika diberikan dalam waktu 4 sampai 8 jam pertama (p<0,01). Rekomendasi
Surviving Sepsis 27 Campaign terkini adalah untuk memberikan antibiotika dalam waktu
1 jam setelah terjadi diagnosis sepsis. Pemberian antibiotika spektrum luas pada awalnya
yang disesuaikan dengan sumber infeksi potensial dan menurut pola sensitivitas dan
resistensi lokal rumah sakit.12
b) Optimalisasi Hemodinamik Dini

Strategi resusitasi untuk kasus-kasus sepsis berat atau syok sepsis telah diteliti secara
intensif dan menjalani perdebatan bertahun-tahun. Penelitian melibatkan strategi yang
ditujukan untuk mencapai target fisiologik supranormal pada pasien ICU sampai 72 jam rawat
inap, menunjukkan hasil negatif dan bahkan berbahaya untuk pasien. Meta-analisis untuk
penelitian resusitasi sepsis telah mengindikasikan bahwa intervensi dini, yang timbul sebelum
terjadinya disfungsi organ memberikan hasil yang lebih baik. Penelitian baru melibatkan
pasien gawat darurat dengan sepsis berat atau syok sepsis untuk membandingkan resusitasi
hemodinamik sampai parameter fisiologik dengan terapi dini berdasarkan target (EGDT-early
goal directed therapy) menunjukkan adanya reduksi mortalitas yang signifikan secara statistik
(16,5%). 2, 11

EGDT merupakan suatu pendekatan algoritmik untuk optimalisasi yang bertujuan


untuk mengembalikan keseimbangan antara sediaan dan kebutuhan oksigen pada kasus-kasus
sepsis berat atau syok sepsis pada 6 jam pertama rawat gawat darurat. Strategi ini
mentargetkan tercapainya hantaran oksigen adekuat dengan optimalisasi volume intravaskular
(preload) dengan pemantauan tekanan vena sentral (CVP – central venous pressure), tekanan
darah (afterload) dengan pemantauan tekanan arterial rerata (mean arterial pressure – MAP),
kontraktilitas dengan pemantauan untuk menghindari takikardia dan pemulihan keseimbangan
antara hantaran oksigen sistemik dan kebutuhan oksigen (dipandu dengan pengukuran
SCVO2) untuk mengatasi hipoksia jaringan global. Komponen-komponen EGDT diturunkan
dari rekomendasi yang dibuat oleh Society of Critical Care Medicine untuk dukungan
hemodinamik pada sepsis.11

c) Pemantauan Hemodinamik
Optimalisasi hemodinamik dini memerlukan pemantauan tekanan vena sentral
(CVP), tekanan darah arterial dan SCVO2. Pemantauan tekanan intra-arterial
direkomendasikan, terutama untuk pasien-pasien dengan obat-obatan vasopresor, namun
dengan catatan bahwa obat-obatan vasopresor dapat menyebabkan tekanan arterial sentral
terlihat lebih rendah saat diukur dari arteri radialis. SCVO2 dapat diukur secara intermiten
dengan sampel gas vena yang diambil dari saluran distal kateter vena sentral standar atau
secara kontinyu dengan menggunakan kateter vena sentral serat optik. Meskipun pada
tangan ahli arteri pulmonar tetap merupakan tempat pengukuran yang efektif, bukti
keuntungan kesintasan dari penggunaannya masih harus dibuktikan. 2, 5
d) Terapi Volume
Target pertama EGDT pada kasus sepsis adalah pemulihan volume intravaskular
pasien. Terapi cairan intravena harus dimulai dengan bolus 500 cc secara cepat dan
berulang baik cairan kristaloid ataupun koloid sampai tercapai volume cairan resusitasi 20-
40 cc/kgBB, sehingga mencapai CVP 8-12 mmHg. Sampai beberapa saat yang lalu tidak
ada penelitian terkontrol atau tinjauan sistematik telah secara pasti menunjukkan adanya
keuntungan penggunaan koloid ataupun kristaloid pada pasien kritis. Namun demikian,
suatu studi acak terkontrol besar yang membandingkan antara 4% albumin dengan normal
salin pada 6997 pasien sakit kritis het
erogen dan membutuhkan resusitasi volume menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan
dalam mortalitas antar kelompok. Meskipun analisis subkelompok pada pasien dengan
sepsis berat menunjukkan adanya kecenderungan keuntungan mortalitas pada kelompok
yang menerima albumin, temuan ini untuk sementara harus dipandang sebagai sarana
pembentukan hipotesis: hasil ini memerlukan konfirmasi dengan penelitian acak terkontrol
pada pasien sepsis.12
e) Obat-obatan Vasoaktif
Setelah target CVP dicapai, obat-obatan vasopresor diberikan bila pasien tetap
hipotensif (tekanan arterial rerata <65mmHg). Target tekanan arterial rerata 65mmHg
telah ditunjukkan secara fisiologis ekuivalen dengan tekanan yang lebih tinggi. Obat-
obatan vasopresor termasuk dopamin (5-20 μg/kg/menit intravena), noradrenalin (2-
20μg/menit), fenilefrin (40-300μg/menit) dan vasopresin (0,01-0,04 unit/menit). Baik
noradrenalin dan dopamin telah disarankan sebagai obat-obatan vasopresor lini pertama
pada kasus-kasus sepsis. Oleh karena takikardia dapat dieksakserbasi oleh vasopresor β-
agonis, obat-obatan dengan α-agonis yang lebih kuat (seperti noradrenalin dan penilefrin)
dapat lebih dipilih pada pasien dengan takikardia atau penyakit koroner mendasar. 12, 14
Pada saat hipotensi tetap terjadi pada pasien yang telah mendapatkan obat-obatan
vasopresor, kekurangan vasopresin dapat dipertimbangkan; vasopresin sendiri merupakan
hormon yang diproduksi endogen dan sering mengalami kekurangan pada pasien dengan
syok sepsis. Pemberian vasopresin eksogen dalam dosis penggantian fisiologik (0,01-0,04
unit/menit) dapat beraksi sinergistik dengan obat vasopresor lainnya dan telah dikaitkan
dengan penarikan dini obat-obatan katekolamin lainnya. Dosis terapi saat ini dengan 0,01-
0,04 unit/menit dimaksudkan untuk merefleksikan dosis penggantian fisiologik. Dosis
tinggi 0,06-1,8 unit/emint (sebagaimana digunakan terdahulu) tidak direkomendasikan
pada konteks syok sepsis oleh karena adanya efek samping. 12, 14
Epinefrin (1-10μg/menit) dapat dipertimbangkan untuk pasien-pasien yang tidak
berespons terhadap vasopresor lainnya. Obat ini meningkatkan tekanan arterial rerata
dengan meningkatkan keluaran jantung dan volume pompa. Efek samping buruk yang
dikaitkan dengan obat-obatan vasopresor termasuk timbulnya hipoperfusi splanknik,
takikardia berlebih dan iskemia koroner. Bukti-bukti yang tersedia belum secara pasti
membuktikan satu obat vasopresor lebih superior dibandingkan lainnya pada keadaan
sepsis berat ataupun syok sepsis. Beberapa bukti definitif mengenai peranan vasopresin
dan efeknya pada hasil akhir diharapkan pada studi Vasopressin and Septic Shock Trial
(VASST). 12, 14

f) Pemberian Eritrosit
Apabila SCVO2 tetap dibawah 70% setelah optimalisasi preload, afterload dan
saturasi oksigen arterial, kapasitas pembawa oksigen pasien dapat ditingkatkan dengan
pemberian PRC untuk mencapai hematokrit di atas 30%. Meskipun studi-studi terkini
telah menunjukkan bahwa batasan transfusi yang lebih konservatif mungkin dapat
ditoleransi pada kelompok pasien kritis yang heterogen dan stabil secara klinis, hasil ini
tidak dapat diekstrapolasi kepada pasien sepsis akut dengan ketidakimbangan sediaan dan
permintaan. Pada fase resusitasi akut target hematokrit 30% nampaknya sesuai, dengan
strategi transfusi yang lebih restriktif dapat dilakukan pada fase konvalesens. 5, 12, 14
g) Terapi Inotropik
Sepsis dapat disertai dengan penekanan miokardial pada 10-15% pasien, dan
keadaan ini tidak terkait usia. Pada studi EGDT, pasien-pasien ini secara persisten
memiliki SCVO2 rendah setelah mencapai target CVP, tekanan arterial rerata dan
hematokrit. Beberapa pasien datang dengan CVP meningkat sebagai hasil dari penurunan
komplians ventrikular dan bukan kelebihan volume. Dukungan inotropik dengan
dobutamin dapat memperbaiki depresi miokardial, namun dapat juga memperlihatkan
adanya hipovolemia terselubung oleh karena cara kerjanya untuk meningkatkan
kontraktilitas dan menurunkan resistensi tekanan vaskular perifer. Seiring dengan respons
komplians dan kontraktilitas ventrikel, CVP akan turun seiring dengan perbaikan volume
pompa. Penggantian cairan lebih lanjut diperlukan untuk mempertahankan tekanan CVP
8-12 mmHg. Dobutamin kemudian dititrasi dengan peningkatan 2,5μg/kg/menit setiap 20-
30 menit untuk mencapai pengukuran SCVO2 70%. Klinisi harus berhati-hati untuk
menghindari takikardia (dengan mempertahankan laju jantung <100 kali/menit) untuk
mengoptimalkan volume pompa dan meminimalisasi konsumsi oksigen miokardial. 12, 14
Milrinon, suatu penghambat fosfodiesterase, dapat dipertimbangkan sebagai
alternatif untuk meningkatkan keluaran jantung. Sebagaimana dobutamin, obat ini adalah
inotropik yang juga menurunkan tekanan vaskular perifer. Meskipun demikian, waktu
paruhnya (2,4 jam) lebih panjang dibandingkan dobutamin dan mengalami akumulasi
pada gagal ginjal. 12, 14
h) Menurunkan Konsumsi Oksigen
Pada pasien sepsis berat, hantaran oksigen maksimal mungkin tidak dapat secara
adekuat mengembalikan keseimbangan antara sediaan dan permintaan. Strategi untuk
meminimalkan permintaan oksigen harus dipertimbangkan. Intubasi, sedasi dan analgesia
dengan ventilasi mekanis akan menurunkan baik kerja pernapasan dan konsumsi oksigen
oleh otot-otot pernapasan. Pengendalian demam dengan antipiretik seperti asetaminofen
juga akan membantu menurunkan konsumsi oksigen. 12, 14
i) Strategi Tambahan
Beberapa terapi tambahan yang dapat dilakukan pada 24 jam pertama setelah
identifikasi sepsis berat dan syok sepsis, baru-baru ini telah didemonstrasikan
memberikan keuntungan mortalitas. Implementasi awal terapi ini dapat memperbaiki
kesintasan pasien, oleh karena mereka dapat menunda beberapa jam bahkan sampai harian
untuk transfer ke ICU. 12, 14
j) Terapi Steroid
Pada respons neurohumoral terhadap syok sepsis, banyak pasien menunjukkan
cadangan adrenal inadekuat, atau adanya insufisiensi adrenal relatif (RAI-relative adrenal
insufficiency). Mekanisme RAI kompleks dan belum dipahami secara sempurna, namun
nampaknya disebabkan sebagian oleh kaskade inflamasi yang menyebabkan pelepasan
atau respons inadekuat terhadap adrenokortikotropin, dikombinasikan dengan resistensi
steroid perifer pada tingkatan reseptor. RAI harus dipertimbangkan secara klinis berbeda
dengan insufisiensi adrenal absolut, oleh karena RAI biasanya hilang seiring dengan
perbaikan syok sepsis. Pasien dengan RAI olehkarenanya tidak memerlukan terapi
penggantian steroid setelah perbaikan syok. 5, 12, 14

Dibandingkan dengan plasebo, pemberian hidrokortison dosis rendah pada pasien


dengan syok sepsis menurunkan kebutuhan mereka akan vasopresor dan menurunkan laju
mortalitas. Pada suatu penelitian acak terkontrol multicentre yang menunjukkan adanya
keuntungan mortalitas, kortikosteroid (hidrokortison 50 mg intravena setiap 6 jam dan
fludrokortison 50μg per oral sekali sehari) dimulai dalam 8 jam setelah diagnosis syok
sepsis dan dilanjutkan selama 7 hari. Terdapat penurunan 10% dalam mortalitas 28 hari
pada kelompok yang menerima hidrokortison dan fludrokortison serta didiagnosis dengan
RAI pada randomisasi. RAI didiagnosis apabila peningkatan kortisol serum pasien setelah
menerima 250 μg adrenokortikotropin hanya 250 nmol/L (9 μg/dL) atau kurang.
Meskipun demikian studi ini tidak dapat menentukan apakah pemberian kortikosteroid
aman dan efektif untuk kelompok pasien yang tidak mempunyai RAI berdasarkan definisi
yang ditentukan oleh studi tersebut.
Oleh karena nilai batasan untuk keuntungan masih dipertanyakan, keputusan
dikembalikan kepada klinis yang merawat untuk memutuskan apakah tes stimulasi
adrenokortikotropin akan dilakukan untuk membantu keputusan klinis. Oleh karena
dexametason tidak mempengaruhi hasil tes adrenokortikotropin, maka pemberian terapi
empirik dengan 2mg steroid ini dapat diberikan dan tes dilakukan pada saat yang lebih
memungkinkan.
k) Protein C Teraktivasi
Protein C merupakan antikoagulan endogen yang juga memiliki efek profibrinolitik,
anti-inflamatorik, anti-apoptosis dan dapat memperbaiki aliran mikrosirkulasi. Studi
PROWESS (the Recombinant Human Activated Protein C Worldwide Evaluation in
Severe Sepsis), suatu penelitian multicentre acak terkendali, menunjukkan bahwa
pemberian r-APC (juga dikenal sebagai drotecogin alfa activated atau Xigris) menurunkan
mortalitas sepsis berat atau syok sepsis sebesar 6% dibandingkan dengan plasebo.
Analisis subgrup juga menunjukkan bahwa kesintasan dengan r-APC meningkat pada
pasien dengan skor APACHE II 25 atau lebih tinggi dan juga mempunyai disfungsi 2
organ atau lebih. Pemberian r-APC juga dikaitkan dengan kecenderungan risiko
perdarahan (3,5% vs. 2,0%; p=0,06). Pada studi PROWESS, r-APC dimulai dalam waktu
24 jam setelah kriteria sepsis berat dipenuhi.
l) Strategi Perlindungan Paru

Data-data eksperimental telah menunjukkan bahwa ventilasi mekanis dengan


volume tidal besar dapat menarik jaringan paru sampai berlebihan (trauma volume),
mengeksakserbasi respons inflamatorik dan menyebabkan trauma paru akut. Suatu studi
multicentre acak terkendali yang melibatkan pasien dengan trauma paru akut dan sindrom
distres pernapasan dewasa (ARDS) mengevaluasi efek volume tidal rendah (6 cc/kgBB)
dibandingkan dengan strategi volume konservatif (12 cc/KgBB) menunjukkan bahwa
tekanan plateau dipertahankan <30 cmH2O dan adanya penurunan kematian 28 hari
absolut sebesar 9,9% pada pasien dengan volume tidal rendah. Oleh karena sepsis
merupakan penyebab ARDS tersering, maka penting untuk memberikan ventilasi dengan
volume tidal rendah pada saat kerusakan paru atau ARDS terjadi.

m) Kendali Glikemik Ketat


Strategi terapetik lain yang telah ditemukan memberikan keuntungan mortalitas
pada pasien sakit kritis dan terutama pada pasien kardiotorasik pasca bedah adalah kendali
glikemik ketat. Pada saat kendali glikemik konservatif (10,0-11,1 mmol/L) dibandingkan
dengan kendali ketat (4,4-6,1 mmol/L) pada suatu penelitian multicentre acak terkendali,
kendali ketat memberikan penurunan mortalitas signifikan (8,0% vs 4,6%, p<0,04) dan
perbaikan morbiditas 12 bulan. Hasil ini termasuk penurunan kegagalan organ signifikan
(p=0,04) dengan fokus septik terbukti.

III.8 Komplikasi9

Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi komplikasi yang


mungkin terjadi meliputi:

a) Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi respirasi akut
(acute respiratory distress syndrome) Milieu inflamasi dari sepsis menyebabkan kerusakan
terutama pada paru. Terbentuknya cairan inflamasi dalam alveoli mengganggu pertukaran gas,
mempermudah timbulnya kolaps paru, dan menurunkan komplian, dengan hasil akhir
gangguan fungsi respirasi dan hipoksemia. Komplikasi ALI/ ARDS timbul pada banyak kasus
sepsis atau sebagian besar kasus sepsis yang berat dan biasanya mudah terlihat pada foto
toraks, dalam bentuk opasitas paru bilateral yang konsisten dengan edema paru. Pasien yang
septik yang pada mulanya tidak memerlukan ventilasi mekanik selanjutnya mungkin
memerlukannya jika pasien mengalami ALI/ ARDS setelah resusitasi cairan.

b) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) yang disebabkan oleh sepsis,


kaskade koagulasi diaktivasi secara difus sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat yang
sama, sistem fibrinolitik, yang normalnya bertindak untuk mempertahankan kaskade
pembekuan, diaktifkan. Sehingga memulai spiral umpan balik dimana kedua sistem diaktifkan
secara konstan dan difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu diuraikan. Sejumlah besar faktor
pembekuan badan dan trombosit dikonsumsi dalam bekuan seperti ini. Dengan demikian,
pasien berisiko mengalami komplikasi akibat trombosis dan perdarahan. Timbulnya
koagulopati pada sepsis berhubungan dengan hasil yang lebih buruk. 9

c) Gagal jantung depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik, dengan
mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah kerja langsung molekul inflamasi
ketimbang penurunan perfusi arteri koronaria. Sepsis memberikan beban kerja jantung yang
berlebihan, yang dapat memicu sindroma koronaria akut (ACS) atau infark miokardium
(MCI), terutama pada pasien usia lanjut. Dengan demikian obat inotropic dan vasopressor
(yang paling sering menyebabkan takikardia) harus digunakan dengna berhati-hati bilamana
perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak dianjurkan. 9

d) Gangguan fungsi hati biasanya ditandai sebagai ikterus kolestatik, dengan


peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkali fosfatase. Fungsi sintetik biasanya tidak
berpengaruh kecuali pasien mempunyai status hemodinamik yang tidak stabil dalam waktu
yang lama. 9

e) Gagal ginjal hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama terjadinya


gagal ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan sebagai oliguria, azotemia, dan sel-sel
peradangan pada urinalisis. Jika gagal ginjal berlangsung berat atau ginjal tidak mendapatkan
perfusi yang memadai, maka selanjutnya terapi penggantian fungsi ginjal (misalnya
hemodialisis) diindikasikan. 9

f) Sindroma disfungsi multiorgan (MODS) disfungsi dua sistem organ atau lebih
sehingga intervensi diperlukan untuk mempertahankan homeostasis. 9

 Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh infeksi atau
trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan fungsi jantung/paru pada
keadaan pneumonia yang berat.

 Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons peradangan yang
menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau ARDS pada keadaan urosepsis.

III.9 Prognosis

Meskipun insidensi sepsis meningkat, angka mortalitas terus menerus menurun. Pada
studi sebelumnya pada studi cohort, mortality rate 24,4%. Usia dinyatakan sebagai faktor
resiko independen dengan angka mortalitas 27,7%. Pada usia diatas 65 tahun, dibandingkan
dengan 17,7% pada usia dibawah 65 tahun. Perbaikan angka survival pada sepsis bergantung
dengan fasilitas keperawatan yang didapatkan dari rumah sakit.8
DAFTAR PUSTAKA

1. Gotts, J. E., & Matthay, M. A. (2016). Sepsis: pathophysiology and clinical


management. bmj, 353, i1585.
2. Esper AM, Martin GS. Extending international sepsis epidemiology: the impact of
organ dysfunction. Crit Care 2009;13:120
3. Levy, M. M., Fink, M. P., Marshall, J. C., Abraham, E., Angus, D., Cook, D.,&
Ramsay, G. (2003). 2001 sccm/esicm/accp/ats/sis international sepsis definitions
conference. Intensive care medicine, 29(4), 530-538.
4. Singer, M., Deutschman, C. S., Seymour, C. W., Shankar-Hari, M., Annane, D., Bauer,
M., & Hotchkiss, R. S. (2016). The third international consensus definitions for sepsis
and septic shock (sepsis-3). Jama, 315(8), 801-810.
5. Levy, M. M., Dellinger, R. P., Townsend, S. R., Linde-Zwirble, W. T., Marshall, J. C.,
Bion, J., & Parker, M. M. (2010). The Surviving Sepsis Campaign: results of an
international guideline-based performance improvement program targeting severe
sepsis. Intensive care medicine, 36(2), 222-231.
6. Tambajong, R. N., Lalenoh, D. C., & Kumaat, L. (2016). Profil penderita sepsis di ICU
RSUP Prof. Dr. RD Kandou Manadoperiode Desember 2014–November 2015. e-
CliniC, 4(1).
7. Guntur HA. SIRS, SEPSIS dan SYOK SEPTIK (Imunologi, Diagnosis dan
Penatalaksanaan). Surakarta: Sebelas Maret University Press. 2008
8. LaRosa SP. Cleveland Clinic disease management project: Sepsis. [internet]. [updated
2013; cited 2017 September 11]. Available from:
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/infectious-
disease/sepsis/
9. Caterino JM, Kahan S. Master Plan Kedaruratan Medik. Indonesia: Binarupa Aksara
Publisher; 2012
10. Garna HH. Buku ajar divisi infeksi dan penyakit tropis Universitas Padjajaran. Jakarta:
Sagung Seto. 2012
11. Runge MS, Greganti MA. Netter’s Internal Medicine. 2nd ed. Philadelphia USA:
Saunders Elsevier; 2009. p. 644-9
12. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, et al. Surviving
Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and
Septic Shock. 2012.
13. Leksana E. SIRS, sepsis, keseimbangan asam-basa, shock, dan terapi cairan.
Semarang: SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUP Dr. Kariadi/Fak.
Kedokteran Universitas Diponegoro. 2006
14. Silva E, Passos Rda H, Ferri MB, de Figueiredo LF. Sepsis: from bench to bedside.
Clinics (Sao Paulo) 2008;63:109-20.
15. Ferreira FL, Bota DP, Bross A, Melot C, Vincent JL. Serial evaluation of the SOFA
score to predict outcome in critically ill patients. JAMA 2001;286:1754-8.
16. Minne L, Abu-Hanna A, de Jonge E. Evaluation of SOFA-based models for predicting
mortality in the ICU: A systematic review. Crit Care 2008;12:R161

Anda mungkin juga menyukai