Anda di halaman 1dari 10

HIPERTENSI

1. DEFINISI :
Menurut JNC 7 didfinisikan sebagai kondisi dimana tekanan darah sistolik lebih dari atau
sama 140 mm Hg atau tekanan darah diastolik lebih dari atau sama dengan 90 mm Hg.

2. EPIDEMIOLOGI
Siti Setiadi dan Bambang Sutrisna (2005) melaporkan prevalensi hipertensi pada
penduduk usia di atas 40 tahun di Indonesia sebesar 37,32%.
Ekowati dkk, 2009 melaporkan prevalensi hipertensi pada penduduk berusia di atas 18
tahun di Indonesia sebesar 32,3%.
Resiko hiperensi meningkat sesuai usia, riwayat hipertensi dalam keluarga, peningkatan
indeks massa tubuh (BMI) dan pendidikan rendah.

3. FAKTOR RESIKO
a. Faktor genetik
b. Diet tinggi garam
c. Stress
d. Obesitas

4. TERAPI FARMAKOLOGI HIPERTENSI :


Pada dasarnya terapi obat Hipertensi dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan cara
kerjanya :
4.1 ACE (Angiotensin Converting Enzyme) Inhibitor
Ace inhibitor merupakan jenis obat yang paling sering digunakan di klinik untuk
pengobatan hipertensi dan gagal jantung. Ace inhibitor menghambat perubahan
angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan
sekresi aldosteron. Selain itu, degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar
bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE
Inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan
berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan natrium dan retensi
kalium. Pada gagal jantung kongestif efek ini akan sangat mengurangi beban jantung
dan akan memperbaiki keadaan pasien. Walaupun kadar Angiotensin I dan renin
meningkat, namun pemberian ACE Inhibitor jangka panjang tidak menimbulkan
toleransi dan penghentian obat ini biasanya tidak menimbulkan rebound hipertensi.
Selain itu ACE Inhibitor menurunkan resistensi perifer tanpa diikuti refleks
takikardia. Besarnya penurunan tekanan darah pada pmeberian akut sebanding dengan
tingginya kadar renin plasma. Namun obat golongan ini tidak hanya efektif pada

1
hipertensi dengan kadar renin yang tinggi, tapi juga pada hipertensi renin normal
maupun rendah. Hal ini karena ACE Inhibitor menghambat degradasi bradikinin yang
mempunyai efek vasodilatasi. Selain itu ACE Inhibitor juga diduga berperan
menghambat pembentukan angiotensi II secara lokal di endotel pembuluh darah.
Pemberian diuretik dan pembatasan asupan garam akan memperkuat
antihipertensinya.
Berkurangnya produksi Angiotensi II oleh ACE Inhibitor akan mengurangi sekresi
aldosterin di korteks adrenal. Akibatnya terjadi ekskresi air dan natrium, sedangkan
kalium mengalami retensi sehingga ada tendensi terjadinya hiperkalemia terutama
pada gangguan fungsi ginjal.
Di ginjal ACE Inhibitor menyebabkan vasodilatasi arteri renalis sehingga
meningkatkan aliran darah ginjal dan secara umum akan memperbaiki laju filtrasi
glomerulus. Pada sirkulasi glomerulus, ACE Inhibitor menimbulkan vasodilatasi lebih
dominan pada areteriol aferen dibanding dengan arteriol aferen sehingga menurunkan
tekanan intraglomeruler. Efek ini dimanfaatkan untuk mengurangi proteinuria pada
nefropati diabetik dan sindrom nefrotik, dan juga memperlambat progresivitas
nefropati diabetik.
Namun pada stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis uilateral pada ginjal
tunggal ACE Inhibitor dapat memperburuk fungsi ginjal. Penurunan tekanan filtrasi
glomerulus pada keadaan stenosis arteri renalis diatas dapat menimbulkan kegagalan
filtrasi.
Berikut merupakan salah satu obat Angiotensin Converting Enzym-Inhibitor yang
dipilih oleh kelompok kami :
 Captopril
- Indikasi : hipertensi ringan sampai sedang dan hipertensi berat yang resisten
terhadap pengobatan lain ; gagal jantung kongestif; setelah infrk miokard;
nefropati diabetik
- Kontraindikasi : hipersensitif terhadap golongan ACE Inhibitor (termasuk
angioedema); penyakit renovaskuler; stenosis aortik ; kehamilan
- Efek Samping : hipotensi; pusing, sakit kepala, letih, astenia, mual, diare, batuk
kering yang persisten, gangguan kerongkongan, perubahan suara, stomatitis,
dispepsia
- Dosis : hipertensi digunakan dosis awal 12,5 mg 2 kali sehari; maksimal 50 mg 2
kali sehari.

4.2 Angiotensin receptor blocker (ARB)

2
Angiotensin receptor blocker (ARB) merupakan salah satu obat anti hipertensi
yang bekerja dengan cara menurunkan tekanan darah melalui sistem renin-
angiotensin-aldosteron. ARB mampu menghambat angiotensin II berikatan dengan
reseptornya, sehingga secara langsung akan menyebabkan vasodilatasi, penurunan
produksi vasopresin, dan mengurangi sekresi aldosteron. Ketiga efek ini secara
bersama-sama akan menyebabkan penurunan tekanan darah. Kerjanya sangat mirip
kerja inhibitor ACE, yang memblok pembentukan angiotensin II. Namun, ARB tidak
menimbulkan batuk. Obat ini efektif untuk menurunkan tekanan darah.
Merupakan kelompok obat yang memodulasi sistem RAS dengan cara
menginhibisi ikatan angiotensin II dengan reseptornya, yaitu pada reseptor AT1 secara
spesifik. Semua kelompok ARB memiliki afinitas yang kuat ribuan bahkan puluhan
ribu kali lebih kuat dibanding angiotensin II dalam berikatan dengan reseptor AT1.
Akibat penghambatan ini, maka angiotensin II tidak dapat bekerja pada reseptor AT1,
yang secara langsung memberikan :
– efek vasodilatasi
– penurunan vasopressin
– penurunan aldosteron
– penurunan retensi air dan Na
– penurunan aktivitas seluler yang merugikan (misalnya hipertrofi).
– Sedangkan Angiotensin II yang terakumulasi akan bekerja di reseptor AT2
dengan efek berupa vasodilatasi, antiproliferasi. Sehingga pada akhirnya
rangsangan reseptor AT2 akan bekerja sinergistik dengan efek hambatan pada
reseptor AT1.20
Golongan sartan atau ARB digunakan untuk menangani pasien dengan hipertensi,
terutama terhadap pasien yang intoleransi dengan terapi ACE inhibitor. Keunggulan
ARB dibanding ACE inhibitor adalah ARB tidak menghambat penguraian bradikinin
dan kinin lain, sehingga tidak menimbulkan batuk atau angioedem yang dipicu
bradikinin. Akhir-akhir ini, mulai dikembangkan penggunaan ARB pada gagal
jantung bila terapi menggunakan ACE inhibitor menemui kegagalan, terutama dengan
Candesartan. Irbesartan dan losartan juga menunjukkan keuntungan pada pasien
hipertensi dengan diabetes tipe II, dan terbukti menghambat secara bermakna
progresivitas nefropati diabetik. Candesartan juga telah diuji coba secara klinis dalam
mencegah dan mengatasi migrain.
Spesifikasi penggunaan ARB berdasarkan efektivitasnya dalam menghambat
ikatan angiotensin II dan reseptornya dapat dijadikan sebagai ukuran untuk
mempertimbangkan golongan mana yang dapat dipilih. Terdapat 3 parameter

3
penggunaan ARB, yaitu menurut efek inhibisi dalam 24 jam, tingkat afinitasnya
terhadap reseptor AT1 dibanding AT2, dan waktu paruh obat.
Berikut merupakan salah satu obat Angiotensin Converting Reseptor Blocker
yang dipilih oleh kelompok kami :
Candesartan
- Indikasi : hipertensi
- Kontraindikasi : menyusui; kolestasis
- Efek Samping : vertigo, sakit kepala, mual (sangat jarang), hepatitis, kerusakan
darah, hiponatremia, nyeri punggung, sakit sendi, urtikaria
- Dosis :
Hipertensi : dosis awal 8 mg sekali sehari, tingkatkan jika perlu pada interval 4
minggu hingga maksimal 32 mg sekali sehari
Gagal Jantung : dosis awal 4 mg sekali sehari, tingkatkan pada interval
sedikitnya 2 minggu hingga dosis target 32 mg sekali sehari.

4.3 Calsium Chanel Blocker


Calcium channel blocker (CCB) adalah sekelompok obat yang bekerja dengan
menghambat secara selektif masuknya ion Ca²+ melewati slow channel yang terdapat
pada membran sel (sarkolema) otot jantung dan pembuluh darah, sehingga
mendilatasi arteri utama jantung, dan meningkatkan pengiriman oksigen ke otot
jantung dengan menghambat spasme arteri koroner.
Secara garis besar, CCB dibedakan menjadi 2 :
1) Dyhidropyridine (DHP) : bekerja terhadap dilatasi pembuluh darah perifer, tidak
berdampak sama sekali terhadap jantung. (Amilodipine, Felodipine, Isradipine,
Nicardipine, Nifedipine, Nimodipine, Nisoldipine, Nitrendipine. )
2) Non Dyhidropyridine : bekerja terhadap dilatasi pembuluh darah perifer, tetapi
juga memiliki dampak kronotropik negatif terhadap jantung, antara lain :
 Dyphenilalkilamine : Verapamil dll
 Benzotiazepin : Diltiazem dll,
 Piperazine : Sinarizine dll,
 Bepridil dll.
Berdasarkan lama kerjanya, CCBs dibedakan menjadi short acting (mula
kerjanya cepat, tetapi masa kerjanya pendek) dan long acting ( mula kerjanya lebih
lambat, tetapi masa kerjanya panjang)

4
Beberapa tipe penyekat-kanal-kalsium adalah tipe L (tempat ditemukan:
Otot,saraf), tipe T (tempat ditemukan : jantung, saraf), tipe N (tempat ditemukan :
saraf), tipe P (tempat ditemukan saraf purkinje serebral).
Cara kerja CCB tipe L merupakan tipe yang dominan pada otot jantung dan otot
polos dan diketahui terdiri dari beberapa reseptor obat. Telah dibuktikan bahwa ikatan
nifedipine dan dyhidropyridine lainnya terdapat pada satu situs, sedangkan verapamil
dan diltiazem diduga mengadakan ikatan pada reseptor yang berkaitan erat, tetapi
tidak identik pada regio lainnya. Ikatan obat pada reseptor verapamil atau diltiazem
juga mempengaruhi pengikatan dyhidropyridine. Region reseptor tersebut bersifat
stereoselektif, karena terdapat perbedaan yang mencolok baik dalam afinitas
pengikatan stereoisomer maupun potensi farmakologis pada enansiomer verapamil,
diltiazem dan kongener nifedipin yang secara optis aktif.
Penyekatan oleh obat tersebut menyerupai penyekatan pada kanal natrium oleh
anastetika lokal : obat tersebut bereaksi dari sisi dalam membrane dan mengikat lebih
efektif pada kanal di dalam membrane yang terdepolarisasi. Pengikatan obat tersebut
diduga mengubah cara kerja kanal, dari terjadinya pembukaan secara konsisten
setelah depolarisasi, ke cara lain yang jarang terjadi pembukaan tersebut. Hasilnya
adalah penurunan mencolok pada arus kalsium transmembran yang dihubungkan
dengan relaksasi otot polos yang berlangsung lama dan di dalam otot jantung dengan
penurunan kontraktilitas di seluruh jantung dan penurunan kecepatan pacemaker pada
nodus sinus dan penurunan kecepatan konduksi pada nodus atrioventrikuler.
Respons otot polos terhadap aliran masuk kalsium melalui kanal kalsium yang
dioperasikan reseptor juga menurun pada penggunaan obat tersebut, tetapi tidak
begitu mencolok. Penyekatan tersebut berubah secara parsial dengan peningkatan
konsentrasi kalsium,meskipun kadar kalsium yang diperlukan tidak dapat diperoleh
dengan mudah. Penyakatan juga dapat berubah secara parsial dengan penggunaan
obat yang dapat meningkatkan aliran kalsium transmembran, seperti
simpatomimetika.
Tipe kanal kalsium lainnya kurang sensitive terhadap penyakatan oleh penyakatan
kanal kalsium. Oleh karena itu, jaringan dengan tipe kanal tersebut memainkan peran
utama- neuron dan sebagian besar kelenjar sekresi-kurang dipengaruhi oleh obat
tersebut dibandingkan dengan otot jantung dan otot polos.
Beberapa CCBs berbeda dalam hal lama kerjanya, proses eliminasi dari tubuh, dan
paling penting, dalam kemampuannya untuk mempengaruhi denyut dan kontraksi
5
jantung. Sebagai contoh amlodipine mempunyai sangat sedikit efek pada denyut dan
kontraksi jantung, sehingga aman untuk digunakan pada penderita gagal jantung
atau bradycardia (denyut jantung yang perlahan).
Verapamil dan diltiazem mempunyai efek-efek yang paling besar pada jantung
dan mengurangi kekuatan dan angka dari kontraksi. Oleh karenanya, mereka
digunakan dalam mengurangi denyut jantung ketika jantung berdenyut terlalu cepat.
Nifedipin, verapamil dan diltiazem mudah larut dalam lemak, mudah diabsorbsi pada
pemberian per oral dan sublingual (di bawah lidah).
Indikasi CCBs :
 merawat tekanan darah tinggi,
 angina,
 irama-irama jantung yang abnormal (contohnya, atrial
fibrillation, paroxysmal supraventricular tachycardia).
Efek Samping
 Efek-efek sampingan yang paling umum dari CBs adalah sembelit, mual, sakit
kepala, ruam, edema (pembngkakan kaki-kaki dengancairan), tekanan darah
rendah, keadaan mengantuk, dan kepusingan.
 Disfungsi hati dan pertumbuhan lebih dari gusi-gusi mungkin juga terjadi. Ketika
diltiazem (Cardizem) atau verapamil (Calan, Isoptin) diberikan pada individu-
individu dengan gagal jantung, gejala-gejala dari gagal jantung mungkin
memburuk karena obat-obat ini mengurangi kemampuan dari jantung untuk
memompa darah.
 Seperti obat-obat tekanan darah lain, CCBs dihubungkan dengan disfungsi
seksual.
Berikut merupakan pengulasan obat CCBs yang dipilih oleh kelompok kami :
 Nifedipine
- Indikasi : hipertensi; profilaksis dan pengobatan angina
- Kontraindikasi : syok kardiogenik; stenosis aorta lanjjut; kehamilan
- Efek Samping : pusing, sakit kepala, takikardi, palpitasi, mual, ruam kulit (eritema
multiforme pernah dilaporkan)
- Dosis : Hipertensi ringan – sedang : 30 mg sekali sehari atau 20 mg 2 kali sehari
dengan atau setelah makan

4.4 Beta Bloker


Golongan obat ini menghambat adrenoseptor beta (beta bloker) menghambat
adrenoreseptor beta di jantung, pembuluh darah perifer, bronkus, pankreas, dan hati.
6
Saat ini tersedia banyak beta bloker yang pada umumnya menunjukkan
efektivitas yang sama. Namun, terdapat perbedaaan-perbedaan diantara berbagai beta
bloker, yang akan mempengaruhi pilihan dalam mengobati penyakit atau pasien
tertentu.
Aktivitas simpatomimetik intrinsik menunjukkan kapasitas beta bloker untuk
merangsang maupun memblok reseptor adrenergik.
Beta bloker memperlambat denyut jantung dan dapat menyebabkan depresi
miokard; beta bloker dikontra indikasikan pada pasien termasuk anak-anak dengan
blok AV derajat dua atau tiga. Beta bloker harus juga dihindari pada pasien gagal
jantung tidak stabil yang memburuk. Diperlukan kehati-hatian dalam memulai
pemberian beta bloker pada pasien gagal jantung stabil. Sotalol dapat memperpanjang
interval QT, dan kadang-kadang menyebabkan aritmia ventrikel yang mengancam
jiwa (penting: perhatian khusus untuk menghindari hipokalemia pada pasien yang
menggunakan sotalol).
Beta bloker dapat mencetuskan asma. Karena itu, harus dihindarkan
pemberiannya pada pasien dengan riwayat asma atau bronkospasme. Jika tidak ada
alternatif lainnya, beta bloker kardioselektif dapat digunakan dengan sangat hati-hati
di bawah pengawasan dokter spesialis. Atenolol, bisoprolol, metoprolol,
dan asebutolol efeknya kurang pada reseptor beta2 (bronkial), karena itu relatif
kardioselektif, tetapi tidak kardiospesifik. Beta bloker tersebut lebih sedikit
menimbulkan resistensi saluran nafas, tetapi tidak bebas dari efek samping ini.
Beta bloker dapat menyebabkan efek lelah, rasa dingin di kaki dan tangan (lebih
jarang terjadi pada beta bloker yang memiliki aktivitas simpatomimetik intrinsik), dan
gangguan tidur dengan mimpi buruk (jarang terjadi pada beta bloker yang larut dalam
air). Beta bloker tidak dikontraindikasikan pada pasien diabetes tetapi dapat sedikit
memperburuk toleransi glukosa, juga mengganggu respons metabolik dan autonomik
terhadap hipoglikemia. Beta-bloker yang kardioselektif mungkin lebih baik, tetapi
semua beta-bloker sebaiknya dihindarkan pada pasien dengan episode hipoglikemia
yang sering.
Untuk pengobatan rutin hipertensi tanpa komplikasi, pemberian beta bloker
sebaiknya dihindarkan pada pasien dengan diabetes atau pada pasien dengan risiko
tinggi diabetes, terutama jika dikombinasi dengan diuretika tiazid.
Berikut merupakan ulasan dari salah satu beta bloker yang dipilih oleh kelompok
kami :
7
 Propanolol
- Indikasi : hipertensi; angina; aritmia; kardiomiopati obstruktif hipertrofi;
takikardi ansietas; profilaksis setelah infark miokard
- Kontra indikasi : asma; gagal jantung yang tak terkendali, bradikardi, hipotensi,
AV blok derajat dua atau tiga, syok kardiogenik
- Efek Samping : bradikardia, gagal jantung, hipotensi, gangguan konduksi,
bronkospasme, vasokontriksi perifer, gangguan saluran cerna, ruam kulit (jarang)
- Dosis Hipertensi : dosis awal 80 mg 2 kali sehari, tingkatkan dengan interval
mingguan bila perlu; dosis penunjang 160-320 mg sehari
Hipertensi portal: dosis awal 40 mg 2 kali sehari, tingkatkatkan sampai 80 mg 2
kali sehari, maksimal 160 mg 2 kali sehari

4.5 Diuretik
Diuretika adalah zat-zat yang dapat memperbanyak pengeluaran kemih (diuresis)
melalui kerja langsung terhadap ginjal. Obat-obat lainnya yang menstimulasi diuresis
dengan mempengaruhi ginjal secara tidak langsung. Diuretik bekerja meningkatkan
ekskresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan
ektraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah.
Obat-obat ini merupakan penghambat transpor ion yang menurunkan reabsorbsi
Na + dan ion lain seperti Cl- memasuki urin dalam jumlah lebih banyak dibandingkan
dalam keadaan normal bersama-sama air, yangmengangkut secara pasif untuk
mempertahankan keseimbangan osmotik. Perubahan Osmotik dimana dalam tubulus
menjadi menjadi meningkat karena Natrium lebih banyak dalam urine, dan mengikat
air lebih banyak didalam tubulus ginjal.Dan produksi urine menjadi lebih banyak.
Dengan demikian diuretic meningkatkan volume urine dan sering mengubah PH-nya
serta komposisi iondidalam urine dandarah.
Ada beberapa jenis Diuretik, yang sudah dikenal dan sering digunakandalam
pengobatan klien dengan masalah gangguan cairan dan elektrolit. Jenis- jenistersebut
adalah diuretik osmotik, diuretik penghambat karbonik anhidrase ginjal,diuretik
derifat tiasid, diuretik loop, diuretik hemat kalium, diuretik merkuri organik dan
diuretik pembentukan asam.
Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi respon diuretik ini. Pertama,tempat
kerja diuretik di ginjal. Diuretik yang bekerja pada daerah yangreabsorbsinatrium
sedikit, akan memberi efek yang lebih kecil bila dibandingkandengandiure-tik yang
bekerja pada daerah yang reabsorbsi natrium banyak. Kedua,status fisiologi dari
8
organ. Misalnya dekompensasi jantung, sirosis hati, gagalginjal.Dalam keadaan ini
akan memberikan respon yang berbeda terhadap diuretik.Ketiga, interaksi antara obat
dengan reseptor. Seb agaimana umumnya diketahui, diuretikdigunakan untuk
merangsang terjadinya diuresis.
Berikut merupakan ulasan dari salah satu beta bloker yang dipilih oleh kelompok
kami :
 Furosemide
- Indikasi : Edema oleh karena gagal jantung
- Kontraindikasi : gagal ginjal dengan anuria, prekoma dan koma hepatik, defisiensi
elektrolit, hipovolemia, hipersensivitas.
- Efek samping : gangguan elektrolit, dehidrasi, hiporolemia, hipotensi, peningkatan
creatinin, hiponatremia, hipoglukemia paling sering
- Dosis : awal 40 mg, pada pagi hari bisa ditingkatkan sampai 80 mg perhari.

5. KOMBINASI FARMAKOLOGI TERAPI HIPERTENSI


Hipertensi merupakan faktor resiko independen terhadap kejadian kardiovaskuler
dan penyakit ginjal. Tujuan dari terapi anti hipertensi adalah target tekanan darah <
140 / 90 mm Hg dan < 130 / 80 mm Hg pada diabetes mellitus dan penyakit ginjal
kronik. Terapi kombinasi adalah strategi yang efektif untuk meningkatkan efikasi anti
hipertensi paada pasien dengan tekanan darah tidak terkontrol.
ESH/ESC 2013, menganjurkan kombinasi dua obat antihipertensi dengan dosis
tetapi dalam satu tabel karena mengurangi jumlah tablet yang diminum sehingga
meningkatkan ketaatan, yang ternyata rendah pada pasien hipertensi. Kombinasi
antihipertensi yang dianjurkan oleh ESH/ESC 2013. Garis putus-putus menunjukkan
kombinasi yang kurang dianjurkan, garis hijau menunjukkan kombinasi yang
dianjurkan, dan garis merah adalah kombinasi yang tidak dianjurkan.

9
DAFTAR PUSTAKA

- Departemen Farmakologi dan Teraupetik Fakultas Kedokteran Univertas


Indonesia 2007, ISBN : 978-979-16104-0-7
- Hipertensi, Manajemen Komprehensif , SMF Kardiologi dan Kedokteran
Vaskular – Universitas Airlangga,
- Farmakologi Dasar dan Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
ISBN : 979-96399-1-3 (JILID 1) , 979-96399-0-5 (JILID LENGKAP)
- http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-2-sistem-kardiovaskuler-0/23-antihipertensi
- http://pionas.pom.go.id/monografi/furosemid

10

Anda mungkin juga menyukai